Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 10, Oktober 2022
KEDUDUKAN PERKAWINAN PENGHAYAT BADUY LUAR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
Chika Angelica
Awaloei, Jeane N Saly
Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji kedudukan perkawinan yang dilakukan oleh penghayat
Baduy Luar berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di
Indonesia. Penghayat Baduy Luar merupakan komunitas adat yang menganut aliran
kepercayaan Sunda Wiwitan sebagai agama dan kepercayaan mereka. Penelitian ini
menggunakan pendekatan normatif dengan mengumpulkan data primer dari peraturan
perundang-undangan terkait perkawinan, serta data sekunder berupa
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan. Analisis data dilakukan
dengan mengkaji ketentuan-ketentuan yang terkait dengan sah atau tidaknya
perkawinan penghayat Baduy Luar berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan di Indonesia dianggap sah jika
dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diakui oleh negara. Namun,
agama-agama resmi yang diakui negara hanya terbatas pada enam agama yang diakui
berdasarkan surat Edaran Mendagri tahun 1985. Oleh karena itu, perkawinan
penghayat Baduy Luar yang didasarkan pada aliran kepercayaan Sunda Wiwitan
dianggap tidak sah menurut hukum negara. Namun, penelitian ini juga menemukan
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 telah menghapus kata
"agama" dalam beberapa pasal terkait Administrasi Kependudukan, yang
berimplikasi pada pengakuan hak dan keberadaan penghayat aliran kepercayaan.
Putusan tersebut menegaskan bahwa hak atau kemerdekaan warga negara untuk
menganut agama tidak boleh dibatasi oleh undang-undang.
Kata Kunci: Perkawinan Penghayat Baduy Luar, Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kedudukan Hukum Perkawinan.
Abstract
This research aims to examine the legal status of
marriages conducted by the adherents of Baduy Luar community based on Law
Number 1 of 1974 concerning Marriage in Indonesia. The adherents of Baduy Luar
are an indigenous community who follow the Sunda Wiwitan belief system as their
religion and faith. This research utilizes a normative approach by collecting
primary data from relevant laws and regulations regarding marriage, as well as
secondary data in the form of relevant decisions from the Constitutional Court.
Data analysis is conducted by examining provisions related to the validity of
marriages among the adherents of Baduy Luar based on the Marriage Law. The
findings of this research indicate that according to Article 2 paragraph 1 of
Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, marriages in Indonesia are considered
valid if they are conducted in accordance with the recognized religion and
belief system by the state. However, the officially recognized religions by the
state are limited to the six religions acknowledged based on the Circular
Letter from the Minister of Home Affairs in 1985. Therefore, marriages among
the adherents of Baduy Luar based on the Sunda Wiwitan belief system are deemed
invalid according to the laws of the country. Nevertheless, this research also
reveals that the Constitutional Court decision No. 97/PUU-XIV/2016 has
eliminated the term "religion" in certain articles related to
Population Administration, which has implications for the recognition of rights
and existence of adherents of belief systems. The decision emphasizes that the
rights and freedom of citizens to practice their religion should not be
restricted by legislation.
Keywords: Marriages among the adherents of Baduy Luar, Marriage Law No.
1 of 1974, Legal Status of Marriages.
Penduduk Indonesia yang menduduki kepulauan di Indonesia yang berasal dari wilayah di seluruh Indonesia yang
bermacam ragam adat istiadat dan budaya serta hukum adatnya.
Perbedaan tersebut sebagai akibat dari kehidupan nenek moyangnya sejak dahulu kala yang hidup dalam kehidupan masyarakatnya yang berbeda-beda.
Ada masyarakat yang lebih banyak
dipengaruhi tradisi zaman dahulu, ada pula yang dipengaruhi oleh agama yang ada di Indonesia seperti
Hindu, Islam dan Kristen. Dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia maka terwujudlah satu kesatuan cita dari
berbagai masyarakat adat yang berbeda- beda, sehingga
menjadi �Bhineka Tunggal
Ika�, walaupun berbeda-beda adat budaya dan hukum adatnya
tetapi menjadi satu kesatuan dalam
wadah Negara Pancasila (Hilman Hadikusuma, 2003).
Setiap suku memiliki
adat istiadatnya masing-masing. Adat diartikan sebagai
aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut
atau dilakukan sejak dahulu kala; kebiasaan; cara
(kelakuan) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri
atas nila-nilai budaya,
norma, hukum
dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi
suatu sistem.
Adat yang diartikan sebagai aturan itu berasal dari tingkah laku sehari-hari, berkembang
terus sampai saat ini yang karena keberadaannya di wilayah- wilayah di seluruh Indonesia, tidak
diabaikan oleh pemerintah. Hal itu dapat dilihat dalam pengaturan keberadaan dan hak masyarakat hukum adat, Pengaturan mengenai keberadaan dan hak-hak
masyarakat hukum adat di Indonesia
terdapat di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hal tersebut menunjukan bahwa keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat telah diterima dalam
kerangka hukum yang berlaku di Indonesia. Sub-bagian ini akan memberikan penjelasan
ringkas mengenai pengaturan keberadaan
dan hak-hak masyarakat hukum adat dalam UUD 1945, Undang- undang
dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu pihak harus
dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung
segala kenyataan yang hidup dalam
masyarakat dewasa ini. Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan. Akan tetapi dalam praktik mengenai perkawinan penghayat aliran
kepercayaan sangatlah tidak sejalan dengan
amanat UUD 1945 dan peraturan yang berlaku, khususnya perkawinan adat pada masyarakat adat Baduy. Padahal
pertimbangan atau alasan dibentuknya
UU Perkawinan adalah perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negar yang
sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita
untuk pembinaan hukum
nasional.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka akan
diteliti mengenai keabsahan
perkawinan pasangan aliran kepercayaan. Pencatatan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain
Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975.
Sedangkan pencatatan perkawinan bagi penghayat
kepercayaan diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan dan PP No 37 Tahun
2007 Tentang Peraturan
Pelaksanannya. Adapun tata
cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan diatur dalam BAB X Pasal 81 sampai dengan Pasal 83.
Ditinjau dari hukum positif Indonesia, maka perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan
aliran kepercayaan sundawiwitan pada masyarakat adat Baduy luar adalah tidak
sah menurut hukum negara, meskipun menurut keyakinan
mereka, perkawinannya sah karena sudah sesuai dengan tata cara adat istiadat yang berlaku. Hal tersebut
dikarenakan UU Perkawinan tidak mengatur mengenai
perkawinan pasangan penghayat
aliran kepercayaan. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, perkawinan yang sah
menurut negara adalah yang berdasarkan agama resmi yang diakui oleh negara.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa kedudukan hukum perkawinan pasangan
aliran kepercayaan dianggap tidak sah dan tidak pernah ada karena tidak sesuai dengan Undang-undang
perkawinan yang mengharuskan perkawinan
berdasarkan agama resmi dan dicatatkan pada pegawai pencatat
yang berwenang. Sehingga
perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat adat baduy Luar tidak mempunyai
kekuatan hukum tetap. Hal tersebut
jelas merugikan kaum
wanita dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut,
karena keduduakn anak yang lahir dari pasangan
aliran kepercayaan adalah anak luar kawin. Sehingga anak tersebut
hanya mempunyai hubungan hukum dengan
keluarga ibunya saja dan istri tidak berhak menuntut atas nafkah
dari suami. Hal tersebut jelas tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan niat dari perkawinan
sesuai dengan amanah Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Kenyataan tersebut
menunjukkan bahwa �Undang-Undang
�perkawinan belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan
para penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia. Karena undang-undang perkawinan tidak mengatur secara
tegas tentang perkawinan
bagi penghayat kepercayaan. Berdasarkan pengetahuan penulis yang pernah penulis baca hampir 300.000 ribu warga
Indonesia yang menganut kepercayaan leluhur.
Perkawinan bagi penghayat kepercayaan khususnya adat
baduy sangatlah tidak sejalan sebagaimana yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 29 tayat 2 mengenai kebebasan beragama
dan berkeyakinan. Karena dalam
praktik, mereka masih mengalami diskriminasi-diskriminasi terutama
dalam hal pencatatan perkawinannya.
Semakin maraknya aksi protes baik dari individu
maupun Lembaga penghayat�
aliran� kepercayaan� yang�
merasa� hak� konstitusionalnya� tidak di
akomodir oleh negara, baru-baru ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang
mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk. Hal ini membuat para penganut kepercayaan bisa
mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama saat membuat
KTP. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan pula bahwa kata "agama" dalam Pasal 61
ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan
dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk
�kepercayaan". MK juga menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5)
Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam putusannya, MK menyatakan adanya kalimat "penduduk yang agamanya belum
diakui sebagai agama" membatasi hak atau kemerdekaan warga negara pada agama yang diakui perundang-undangan. Konsekuensinya, secara a contrario, tanggung jawab atau kewajiban konstitusional negara untuk menjamin
dan melindungi hak atau kemerdekaan warga negara untuk menganut agama. Juga terbatas pada warga
negara yang menganut agama yang
diakui sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Hal inilah yang tidak sejalan dengan jiwa UUD 1945
yang secara tegas menjamin
bahwa tiap-tiap warga negara merdeka untuk memeluk
agama dan kepercayaan dan
untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan itu. Hal itu tentu saja menjadi angin segar bagi penghayat
�aliran kepercayaan, terlebih masyarakat adat
baduy yang merasa di anak tirikan oleh pemerintah.
Berdasarkan uraian latar belakang seperti
yang� telah� diungkapkan
diatas, maka penulis
tertarik untuk membahas
tentang Kedudukan Perkawinan
Penghayat Baduy Luar Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Tujuan �penelitian ini untuk menggambarkan yaitu: (1) Untuk mengetahui proses
kependudukan penghayat kepercayaan Baduy luar menurut Undang � Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. (2) Untuk
mengetahui akibat hukum status
penghayat kepercayaan dalam memperoleh status kependudukan menurut Undang �
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pengetahuan serta pemikiran yang
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
hukum khususnya ilmu hukum acara
perdata yang berkaitan dengan perkawinan.
Metode Penelitian
1.
Tipe Penelitian
Penelitian tentang: �Kedudukan Perkawinan Penghayat Baduy Luar Menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan� merupakan suatu penelitian yuridis
normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis
norma hukum, yaitu hukum dalam bentuk
arti law as it written in the books (dalam
peraturan perundang- undangan)��.
2.
Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat deskriptip analistis, yaitu menggambarakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai
perkawinan dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian dilakukan
analisis pemecahan masalah
yang timbul mengenai
perkawinan terhadap perkawinan atas dasar aliran kepercayaan
dan adat sebelum dan sesudah putusan
MK tentang dimasukanya kolom aliran kepercayaan padakolom Kartu Tanda Penduduk.
3.
Data
Data di bagi menjadi dua :22
a.
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat yang berfungsi untuk melengkapi data sekunder.
b.
Data sekunder adalah data dasar yang diperoleh dari bahan pustaka.
4.
Pengumpulan Data
a.
Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji, meneliti
dan menelusuri data-data sekunder
mencangkup bahan primer
yaitu bahan- bahan hukum yang mengikat, bahan hukum sekunder
yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, dan bahan hukum tertier
yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer
dan sekunder.24
b.
Penelitian Lapangan
Dalam penelitian hukum yang menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan paling utama adalah penelitian kepustakaan,
sehingga data yang diperoleh hanya berasal
dari narasumber.
5.
Analisis Data
Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis
dengan pendekatan kualitatif yang lebih menekankan pada kualitas atau isi
dari data tersebut.25 Kemudian dianalisis secara mendalam mengenai
perkawinan atas dasar kepercayaan
pada masyarakat adat baduy luar guna perumusan
kesimpulan dalam penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan
dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun
1974, perkawinan ialah
ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: �(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.� Menurut penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan tersebut, Yang dimaksud dengan
hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku
bagi golongan agamanya
dan kepercayaannya itu sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam Undang- undang ini.
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sahnya perkawinan oleh 2 (dua) hal yaitu sesaui dengan hukum agama dan kepercayaannya dan selanjutnya dilakukan pencatatan perkawinan. Adapun hubungan antara Pasal 2 ayat
(1) dan (2) menurut M. Yahya Harahap adalah ayat 1 pada Pasal 2 UU Perkawinan merupakan syarat mutlak sahnya perkawinan,
sedangkan ayat 2 mengenai pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat
sahnya perkawinan, tetapi
hanya merupakan tindakan
administratif.2
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah
perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pengertian �agama
dan kepercayaannya itu� dalam Pasal
tersebut menuai banyak
penafsiran dari para ahli hukum. Kata �kepercayaan� dalam Pasal tersebut dapat diartikan sebagai kepercayaan atas
suatu agama tertentu atau juga kepercayaan terhadap aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, termasuk
juga kepercayaan sunda wiwitan yang dianut oleh masyarakat adat baduy
luar.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka akan
dianalisis mengenai keabsahan perkawinan pasangan aliran kepercayaan. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannnya itu. Sekilas bunyi Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
terdengar sederhana, namun pelaksanaannya menjadi tidak mudah karena adanya
perbedaan pandangan dalam penafsiran istilah
�kepercayaan�. Istilah �kepercayaannya� dalam UU Perkawinan itu ternyata ditafsirkan berbeda-beda. Menurut Prof.DR.H. Mohamad Rasjidi, Kata kepercayaan menurut
istilah (terminology) ialah
keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa di luar agama atau tidak termasuk
kedalam agama.3 Menurut Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam suratnya kepada para
Gubernur Kepala daerah Tingkat
I seluruh Indonesia
tanggal 18 oktober
1978 Nomor: B.VI/11215 antara lain menyatakan:
�Dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila tidak dikenal adanya tata cara perkawinan, sumpah dan penguburan menurut aliran kepercayaan, dan tidak dikenal
pula penyebutan �aliran kepercayaan� sebagai �agama� baik dalam kartu tanda penduduk
(KTP) dan lain-lain�.4
Orang beragama/pemeluk agama yang mengikuti aliran kepercayaan tidaklah kehilangan agama yang
dipeluknya. Oleh karena itu pula tidak
ada tata cara �perkawinan menurut aliran kepercayaan�
dan �sumpah menurut aliran kepercayaan�.5 Permasalahan
pertama dalam hal ini adalah mengenai pengertian tentang �agama� dan �kepercayaan�. Kata �percaya� menurut
kamus besar bahasa Indonesia mempunyai beberapa makna
antara lain: mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata.6
Selanjutnya kata �kepercayaan� dapat diartikan
sebagai anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu benar atau nyat.7 Menurut Sir
W. Hamilton, kepercayaan digunakan untuk menunjukan
�a state of mind� khususnya untuk
membedakannya dari apa yang disebut �knowledge� yakni kita menerima kebenaran suatu dalil dengan menolak alasan-alasan yang masuk akal.8 Selanjutnya
kata �agama� diambil dari bahasa
sansekerta untuk menunjukan sistem kepercayaan dalam tradisi agam budha/hindu. Pengertian �agama�
adalah jalan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
istilah �agama� diartikan sebagai sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya. Menurut
Drs. D Hendropuspito, O.C : agama ialah
suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan
non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas
pada umumnya.9
Menurut Pasal 1 angka 18 PP Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan
yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan
dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta
pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Sedangkan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut
Penghayat Kepercayaan adalah
setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai- nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.10
Bahwa dari definisi di atas semakin
menegaskan bahwa istilah
�kepercayaan� mempunyai kedudukan yang hakiki dan utama di mana
menyangkut mengenai hubungan antara manusia
dengan Tuhannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa definisi dari agama dan kepercayaan mempunyai
hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Kata �agama�
yang diartikan sebagai
sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Mahakuasa, menunjukan bahwa
inti sari agama
adalah kepercayaan itu sendiri. Lebih
lanjut lagi agama
merupakan suatu perwujudan dari kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.
Permasalahan selanjutnya adalah mengenai frasa �agama dan kepercayaanya itu� pada Pasal
2 ayat (1) apakah merupakan satu kesatuan atau
bisa diartikan terpisah yang merujuk
pada aliran kepercayaan yang ada di Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikatakan, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya
dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak
ditentukan lain dalam Undang-
undang ini. Jadi bagi mereka yang beragama Islam, maka yang menentukan
sah tidaknya perkawinan itu adalah ketentuan-ketentuan syariat Islam. Hal tersebut juga berlaku bagi agama-agama lain, yang menentukan sah tidaknya
perkawinan adalah ditentukan oleh ketentuan-ketentuan dari masing- masing agama. Menurut Dr. H. Ichtijanto, SH, istilah yang dipakai dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan �hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu� bukan �masing-masing hukum agama dan kepercayaanya itu�. Hal
tersebut berarti menunjuk pada hukum agama yang dipeluk
oleh penduduk Indonesia. Agama yang dimaksud adalah agama resmi yang diakui oleh
negara. Dengan demikian frasa
�agama dan kepercayaannya itu� tersebut merupakan satu kesatuan, diartikan bahwa kata �kepercayaannya itu�
merujuk pada kata agama yang
disebutkan sebelumnya, bukan mengacu pada aliran kepercayaan yang ada di
indonesia. Dengan demikian, perkawinan yang sah dimata negara adalah perkawinan yang didasarkan pada agama-agama resmi berdasarkan Penetapan
Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama.
Kemudian pada perkembangannya,
�kepercayaan� itu diartikan sebagai suatu
hal yang terpisah dari �agamanya�. Hal tersebut didasarkan pada fakta sosial yang ada dari dahulu hingga
sekarang bahwa di Indonesia sebelum masuknya keenam
agama resmi tersebut, terdapat kepercayaan lokal yang
dianut dan diyakini oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi,
ironisnya, kepercayaan lokal tersebut dipandang sebagai suatu yang menyesatkan hingga menimbulkan sebuah
diskriminatif terhadap para penganutnya. Mereka bahkan dianggap sebagai atheis karena
tidak memilih untuk salah satu agama resmi yang
ada. Menurut M Yahya Harahap, yang dimaksud dengan �agama dan kepercayaaanya� tersebut adalah
sesuai dengan yang ditentukan dalam Undang- undang Dasar 1945.11 Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaaanya. Jadi untuk mengatur
hukum agama yang mengatur pelaksanaan perkawinan sesuai
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah agama dan
kepercayaan yang dipeluk oleh mereka
yang hendak melangsungkan perkawinan. Selanjutnya M. Yahya Harahap
menyatakan:
�Bagi mereka yang belum memeluk
agama dan kepercayaan juga tidak ada kesulitan. Misalnya, sebagaimana kita tahu, bahwa
berdasar ethnograpi masih ada lagi dijumpai
suku bangsa kita yang menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme. Maka ukuran kaidah yang berlaku bagi mereka dengan sendirinya ditentukan oleh tata cara perkawinan yang terdapat dalam
kehidupan sosial budaya masyarakat animisme dan dinamisme tersebut�.12
Berkaitan dengan kasus penelitian mengenai
perkawinan masyarakat adat baduy
luar yang berdasarkan aliran kepercayaan sunda wiwitan dan
bukan berdasarkan pada agama yang diakui resmi oleh pemerintah yang disyarakat oleh
Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, maka secara otomatis perkawinannya tidak sah
menurut hukum negara. Karena hukum perkawinan yang sah diamata negara haruslah berdasarkan lima agama resmi yang diakui
negara yang sesuai
dengan Surat Edaran Mendagri Tahun 1985. Diatas telah diuraikan bahwa makna �agama dan kepercayaan�
merupakan kesatuan kalimat, bukan diartikan secara terpisah. Kata �kepercayaan� merujuk pada
kata �agama� yang ada sebelumnya.
Selanjutnya akan dibahas mengenai kedudukan hukum
perkawinan atas dasar aliran
kepercayaan pada masyarakat adat baduy luar. Dimuka telah dijelaskan bahwa perkawinan pada
masyarakat adat baduy luar dilakukan berdasarkan
adat istiadat mereka dan tidak berdasarkan agama resmi yang diakui negara. Sehingga
perkawinannya tidak dapat dicatatkan di kantor pencatat perkawinan.
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan
terdapatpada Pasal 2 UU Perkawinan,
yang berbunyi: �(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dankepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturanperundang-undangan yang berlaku.�
Mengenai frasa �agama dan kepercayaan� pada Pasal 2 ayat (1) telah diuraikan
diatas bahwa pengertiannya merupakan
satu kesatuan, yang artinya kata �kepercayaan� itu merujuk pada kata sebelumnya yakni �agama�, bukan
aliran kepercayaan yang ada di indonesia.
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah
perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika
suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah
dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau
ritual lainnya, maka perkawinan
tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di
mata agama dan kepercayaan masyarakat
perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan.
Oleh sebab tidak sahnya perkawinan masyarakat adat
baduy luar karena melangsungkan
perkawinan berdasarkan aliran kepercayaan sunda wiwitan, maka perkawinan masyarakt adat baduy luar tidak dapat
dicatatkan. Karena pencatatan perkawinan hanya bisa dilakukan
apabila pasangan tersebut
menganut agama resmi yang diakui
oleh negara.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan.
Bagi mereka yangmelakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan diKUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka
yangberagama dan kepercayaan selain Islam,
cukup menggunakan dasarhukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun
1975. Sedangkan pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun
2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan
PP No 37 Tahun 2007 Tentang Peraturan Pelaksanannya. Adapun tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat
kepercayaan diatur dalam BAB X Pasal 81 sampai dengan Pasal 83.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah
bahwa kedudukan hukum perkawinan pasangan aliran kepercayaan dianggap
tidak sah dan tidak pernah ada karena tidak sesuai dengan Undang-undang perkawinan yang mengharuskan perkawinan berdasarkan agama resmi dan dicatatkan pada pegawai pencatat yang berwenang. Sehingga
perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat adat
baduy Luar tidak mempunyai kekuatan
hukum tetap. Hal tersebut jelas merugikan
kaum wanita dan anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut, karena
keduduakn anak yang lahir dari pasangan aliran
kepercayaan adalah anak luar
kawin. Sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan keluarga ibunya saja. Dan istri tidak berhak
menuntut atas nafkah dari suami. Hal tersebut jelas tidak sejalan
dengan cita-cita dan tujuan niat dari perkawinan sesuai dengan
amanah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dengan demikian, tidak ada alasan pejabat KUA maupun
Catatan sipil untuk menolak
pencatatan akte pernikahan masyarakat adat baduy. Karena dasar hukum yang mereka gunakan
telah dihapuskan oleh Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah berpendapat bahwa mengabaikan eksistensi para penghayat dan
tidak mencatatkankanya di dalam catatan adinistrasi sipil, merupakan tindakan diskriminasi. Sehingga
seharusnya perkawinan adat di baduy
sudah bisa dicatatkan dengan dasar hukum putusan MK No 97/PUU- XIV/2016.
Oleh karena hak untuk menganut
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa Merupakan Hak konstitusi warga negara, bukan pemberian negara. Dalam gagasan negara demokratis,
yang juga dianut oleh Undang- undang
Dasar 1945, negara hadir atau dibentuk untuk melindungi (yang didalamnya juga berarti menghormati dan
menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut.
Putusan MK tersebut
merupakan angin segar bagi penghayat
aliran kepercayaan, karena
dalam putusan tersebut MK memerintahkan pemerintah untuk
mengakui penghayat aliran kepercayaan sebagai keyakinan yang sah dan dicatat negara.
Efek domino pun bergulir, dari pencatatan di KTP hingga
kini penghayat aliran
kepercayaan bias menikah sesuai keyakinanya. Hal itu seperti terlihat di kalangan komunitas sedulur sikep, kudus,
jawa tengah. Pada kamis (25/4) malam, mereka menghelat pernikahan dicatat Disdukcapil Kudus untuk pertama kalinya.15 Pernikahan
sesuai ajaran seduler sikep hal itu merupakan
penerapan dari putusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016 terkait pengisian kolom agama di KTP dan KK bagi penghayat aliran
kepercayaan.
Perkawinan Pada masyarakat Baduy Luar dilaksanakan menurut adat istiadat
yang bersumber dari aliran kepercayaan sunda wiwitan, hal tersebut jelas tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh
undang-undang perkawinan yang mengharuskan perkawinan berdasarkan agama resmi yang diakui pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut,
ditemui faktor-faktor yang menyebabkan perkawinan pada masyarakat adat baduy luar
tidak diakui sah dimata negara. Adapun faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
Adapun faktor-faktor internal adalah faktor-faktor yang
berasal dari dalam masyarakat adat baduy Luar itu sendiri,
adapun hambatan- hambatannya adalah sebagai berikut:
a.
Adat istiadat masyarakat
baduy
Masyarakat baduy luar adalah masyarakat adat yang sangat menjunjung
tinggi adat istiadat dan menutup diri dari dunia luar. Kepercayaan
yang mereka yakini adalah sunda wiwitan. Sunda wiwitan adalah aliaran kepercayaan
pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur
yang dianut oleh masyarakat tradisional sunda. Kepercayaan yang mereka yakini tersebut
merupakan sumber dari adat istiadat yang mereka pertahankan dari dahulu hingga
sekarang.
Bagi masyarakat Baduy sendiri, perkawinan merupakan
sesuatu yang sakral. Karena alasan
tersebut maka tata cara perkawinan pun dimulai
dari proses peminangan sampai membina rumah tangga juga diatur dalam ketentuan adat Baduy yang mengikat. Menurut mereka, perkawinan adalah merupakan hukum alam
yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia
tanpa terkecuali. Orang Baduy menyebutnya perkawinan sebagai rukun hirup, artinya bahwa
perkawinan harus dilakukan, karena jika tidak maka ia akan menyalahi
kodratnya sebagai manusia.
Menurut mereka, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan adat istiadat yang telah ditetapkan
oleh adat. Artinya, suatu perkawinan
dianggap sah apabila perkawinan tersebut sesuai dengan adat istiadat yang telah ditetapkan oleh kepala adat.
Menurut adat baduy, perkawinan tidak
harus dicatatkan, karena selain mereka buta
huruf, mereka juga mengganggap pencatatan itu tidak penting. Yang jadi masalah apabila masyarakat
baduy luar itu keluar dari lingkungan adat mereka, mereka tidak mempunyai
akte-akte keperdataan sama sekali.
b.
Pandangan yang keliru mengenai Hukum Perkawinan Nasional
Pada masyarakat adat baduy luar, perkawinan yang mereka laksanakan tidak jauh berbeda dengan tata cara
perkawinan dalam islam, yakni dengan mengucapka kalimat syahadat dan
dihadiri saksi serta dilakukan
dihadapan penghulu. Menurut pemahaman mereka, ada 2 macam perkawinan, yakni perkawinan menurut
adat dan perkawinan menurut negara. Perkawinan
menurut negara adalah perkawinan yang dilakukan dihadapan penghulu sebagai perwakilan dari negara. Mereka
beranggapan bahwa dengan dilaksanakanya perkawinan dihadapan penghulu
maka perkawinannya adalah sah menurut hukum negara, karena menurut pemahaman
mereka, dengan menikah
dihadapan pegawai
KUA yang notabennya adalah perkawakilan pemerintah, maka perkawinannya adalah sah dan diakui. Ini
jelas keliru, karena KUA hanya
berwenang menikahkan orang Islam saja dan tidak berwenang dalam menikahkan pasangan
aliran kepercayaan.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan masyarakat adat baduy luar mengenai hukum
perkawinan nasional adalah kurangnya pemahaman
mengenai hukum perkawinan itu sendiri. Bahkan mereka
tidak tahu bahwa ada Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 yang mengatur
tentang perkawinan. Hal ini jelas
karena memang masyarakat adat baduy
luar cenderung menutup
diri dan tidak mau tahu urusan-urusan di luar.
Sosialisasi menganai hukum perkawinan yang tidak optimal Masyarakat Adat Baduy Luar yang primitif dan cenderung menutup diri dari dunia
luarmerupakan daktor utama mengapa terhambatnya sosialisasi mengenai hukum perkawinan. Hal lain yang menyebabkan timbulnya hambatan-hambatan dalam hal perkawinan atas dasar aliran kepercayaan pada masyrakat adat Baduy luar adalah kurangnya
sosialsisasi dari pemerintah. Berdasarkan diskusi yang penulis
lakukan terhadap masyrakat
adat baduy luar,
mayoritas orang baduy tidak tahu
mengenai hukum perkawinan yang berlaku nasioanal. Mereka menganggap
dengan dilaksanakannya perkawinan didepan penghulu yang diutus oleh KUA leuwidawar, maka mereka telah
menikah secara negara.
Faktor lain yang menyebabkan kurangnya sosialsiasi
perkawinan pada masyarakat adat baduy
luar adalah masyarakat adat baduy luar tidak
mengenal baca-tulis dan mengganggap administrasi perkawinan seperti
pencatatan perkawinan tidak terlalu penting.
Sehingga hal tersebut menyulitkan pihak luar untuk menjelasakan
hukum perkawinan yang benar menurut
negara.
a.
Tidak tegasnya pejabat KUA Lewidamar
Berdasarkan diskusi antara penulis dengan kepala adat baduy mengenai campur tangan petugas KUA dalam pelaksanaan perkawinan pada masyarakat baduy luar, jaro dainah selaku
kepala adat baduy luar pernah
meminta KUA Leuwidamar untuk mengutus seorang
penghulu untuk menikahkan warganya. Kesediaan KUA leuwidamar yang menikahkan masyarakat Adat Baduy Luar atas permintaan kepala adat Baduy merupakan faktor mengapa hingga
saat ini masyarakat adat baduy masih meyakini bahwa perkawinan yang mereka lakukan
sudah sesuai dengan hukum negara. Hal ini jelas keliru, karena KUA tidak
berwenang menikahkan pasangan
aliran kepercayaan dan hanya berwenang mengawinkan pasanagan yang beragama Islam.
Seharusnya KUA leuwidamar menolak permintaan kepala adat baduy luar yang meminta
untuk menikahkan warganya,
seperti pada saat mereka menolak
untuk membuatkan akte nikah untuk
orang baduy luar.
Seharunya KUA leuwidamar menolak dengan tegas permintaan masyarakat baduy luar tersebut, karena
dalam hal ini, KUA tidak berwenang dalam menikahkan pasangan
aliran kepercayaan dan sudah menyalahi prosedur yang berlaku.
Sebenarnya KUA hanya
berwenang untuk menikahkan
pasangan yang beragama Islam saja, selain agama Islam, kewenangan tersebut
ada pada Kantor
Catatan Sipil.
b.
Politic will pemerintah
Pemerintah beranggapan bahwa aliran kepercayaan memiliki
dasar agama dan tidak independen, bukan agama baru, berbeda dengan
agama namun memiliki dasar
agama. Oleh karena pemerintah tidak mengakui
perkawinan
aliran kepercayaan, yang diwujudkan dengan tidak dicatatkan perkawinan aliran kepercayaan, kecuali perkawinan tersebut berdasarkan agama-agama yang diakui saja. Dalam hal ini pemerintah
seolah-olah menganut sentralisme
hukum, dan cenderung mengabaikan hukum-hukum
lain
yang hidup di masyarakat (living law).
�
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan:
(1) Perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan
yang diakui oleh negara dan dicatat sesuai peraturan perundang-undangan. (2) Hanya
agama-agama resmi yang diakui oleh negara yang dapat menjadi dasar sahnya
perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. (3) Perkawinan
berdasarkan aliran kepercayaan Sunda Wiwitan pada masyarakat adat Baduy Luar
dianggap tidak sah menurut hukum negara, karena tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Perkawinan yang mensyaratkan perkawinan berdasarkan agama resmi
yang diakui negara. (4) Perkawinan yang tidak dicatat oleh pejabat yang
berwenang tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak diakui oleh negara. (5)
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 menghapus kata
"agama" dalam pasal-pasal terkait Administrasi Kependudukan dan
menyatakan bahwa hak atau kemerdekaan warga negara untuk menganut agama tidak
boleh dibatasi oleh undang-undang. (6) Dengan putusan tersebut, perkawinan
masyarakat adat Baduy diakui sebagai sah dan dapat dicatatkan, karena negara
mengakui hak dan keberadaan penghayat aliran kepercayaan sesuai dengan UUD 1945
Faktor-faktor yang menjadi penghambat diakuninya
perkawinan adat di baduy banten
dibagi kedalam 2 faktor, yaitu factor internal dan factor eksternal. Adapaun faktor internal
yang menjadi penghambat adalah Adat istiadat
masyarakat baduy, pandangan
yang keliru mengenai
hukum perkawinan positif.
Sedangkan hambatan eksternal
adalah sosialisasi tentang
hukum perkawinan positif
yang kurang optimal,
politic will pemerintah dan tidak tegasnya
pejabat KUA setempat
dan belum sempurnanya undang-undang no 1 tahun 1974
tentang perkawinan yang sampai saat
ini belum bias mengakomodir semua kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat adat baduy.
Al Afifi, Haha Abdullah. Hak Orang Tua Pada Anak Dan Hak Anak Pada Orang Tua. Diterjemahkan Oleh Zaid Husein
Al Hamid. (Jakarta:
Dar El Fikr Indonesia, 1987).
Apeldorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta:
Pradnja Paramita, 1985). Armico. Hukum Keluarga. (Bandung: 1988).
Asmin. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau
Dari Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974. (Jakarta: PT. Dian Rakyat,
1986).
Basyir, Ahmad Azar. Hukum Perkawinan
Islam. (Yogyakarta: UII Press, 1999). Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqih Jilid 2. (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995).
Darmabrata, Wahyono. Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974. (Jakarta:
Gitama Jaya, 2003).
Departemen Dalam Negeri. Bahan Ajar Pencattan Perkawinan dan
Perceraian Dalam KerangkaSistem Admintrasi Kependudukan. (Jakarta: Pusdiklat Kependidikan dan Pembangunan Depdagri, 2006).
Ekadjati,
Edi S. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan
Sejarah). (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995).
Fakultas
Hukum Universitas Trisakti. Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Hukum. (Jakarta:
Universitas Trisakti, 2008).
Friedmann, W. Teori dan Filsafat
Hukum, (Legal Theori),
Susunan I, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin.
Cetakan kedua. (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada,
1993).
Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis. (Bandung: Nusamedia, 2004).
Fuller, Lon L. The Morality
of Law. (New Haven: Yale University Press, 1971). Garna, Judistira K. Masyarakat
Baduy di Banten.
1993.
Hadikusuma, Hilman.
Hukum Perkawinan Adat dengan
Adat Istiadat dan Upacara Adatnya. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2003).
Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasioal. (Medan: Zahir Trading, 1975).
Hendropuspito, D. Sosiologi
Agama. Cet 20. (Yogyakarta: Kanisius, 2006). Junus, Mahmuda.
Hukum Perkawinan Islam Menurut
Mazhad: Sayfi�I, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta:
Pustaka Mahmudiyah, 1989).
Komariah. Hukum Perdata. (Malang: Universitas Muhamadiyah Malang, 2002).
Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin. Saatnya Baduy Bicara. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010).
Kusumaatmadja, Mochtar.
Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Nasiona. (Bandung: Bina Cipta, 1998).
Marcus. Kehidpuan Orang Baduy. (Bandung:
CV. Rosda, 1986).
Noer,
Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri Barat.
Cetakan II. Edisi Revisi. (Bandung, Pustaka
Mizan, 1997).
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum. (Jakarta: Universitas
Trisakti, 2011).
Prints, Darwan dan Iman
Jauhari. Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam. (Jakarta: Pustaka Bangsa
Press, 2003).
Rasjidi, Mohamad.
Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional. 1980.
Rawls, John. A Theory of Justice. (Publisher: Belk n
ap Press, 1999).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008).
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan
Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam. (Jakarta: UI Press, 1982).
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Warman, Kurnia.
Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan
Hak Masyarakat Hukum Adat Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia. (Bandung: Mandiri Maju, 1990).
Dalam Pasal
Ini Tidak Ditentukan Batas Umur Minimal Untuk Diberikan Dispensasi, Juga Tidak Ditentukan Dalam Hal Bagaimana Dispensasi Boleh Diberikan Pengadilan Atau Pejabat Yang Dimaksud. Dharmabrata, hal. 23-24.
Copyright holder: Chika Angelica Awaloei,
Jeane N Saly (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |