Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

KEDUDUKAN PERKAWINAN PENGHAYAT BADUY LUAR MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

 

Chika Angelica Awaloei, Jeane N Saly

Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kedudukan perkawinan yang dilakukan oleh penghayat Baduy Luar berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia. Penghayat Baduy Luar merupakan komunitas adat yang menganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan sebagai agama dan kepercayaan mereka. Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dengan mengumpulkan data primer dari peraturan perundang-undangan terkait perkawinan, serta data sekunder berupa putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan. Analisis data dilakukan dengan mengkaji ketentuan-ketentuan yang terkait dengan sah atau tidaknya perkawinan penghayat Baduy Luar berdasarkan Undang-Undang Perkawinan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan di Indonesia dianggap sah jika dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diakui oleh negara. Namun, agama-agama resmi yang diakui negara hanya terbatas pada enam agama yang diakui berdasarkan surat Edaran Mendagri tahun 1985. Oleh karena itu, perkawinan penghayat Baduy Luar yang didasarkan pada aliran kepercayaan Sunda Wiwitan dianggap tidak sah menurut hukum negara. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 telah menghapus kata "agama" dalam beberapa pasal terkait Administrasi Kependudukan, yang berimplikasi pada pengakuan hak dan keberadaan penghayat aliran kepercayaan. Putusan tersebut menegaskan bahwa hak atau kemerdekaan warga negara untuk menganut agama tidak boleh dibatasi oleh undang-undang.

 

Kata Kunci: Perkawinan Penghayat Baduy Luar, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Kedudukan Hukum Perkawinan.

 

 

Abstract

This research aims to examine the legal status of marriages conducted by the adherents of Baduy Luar community based on Law Number 1 of 1974 concerning Marriage in Indonesia. The adherents of Baduy Luar are an indigenous community who follow the Sunda Wiwitan belief system as their religion and faith. This research utilizes a normative approach by collecting primary data from relevant laws and regulations regarding marriage, as well as secondary data in the form of relevant decisions from the Constitutional Court. Data analysis is conducted by examining provisions related to the validity of marriages among the adherents of Baduy Luar based on the Marriage Law. The findings of this research indicate that according to Article 2 paragraph 1 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, marriages in Indonesia are considered valid if they are conducted in accordance with the recognized religion and belief system by the state. However, the officially recognized religions by the state are limited to the six religions acknowledged based on the Circular Letter from the Minister of Home Affairs in 1985. Therefore, marriages among the adherents of Baduy Luar based on the Sunda Wiwitan belief system are deemed invalid according to the laws of the country. Nevertheless, this research also reveals that the Constitutional Court decision No. 97/PUU-XIV/2016 has eliminated the term "religion" in certain articles related to Population Administration, which has implications for the recognition of rights and existence of adherents of belief systems. The decision emphasizes that the rights and freedom of citizens to practice their religion should not be restricted by legislation.

 

Keywords: Marriages among the adherents of Baduy Luar, Marriage Law No. 1 of 1974, Legal Status of Marriages.

 

Pendahuluan

Penduduk Indonesia yang menduduki kepulauan di Indonesia yang berasal dari wilayah di seluruh Indonesia yang bermacam ragam adat istiadat dan budaya serta hukum adatnya. Perbedaan tersebut sebagai akibat dari kehidupan nenek moyangnya sejak dahulu kala yang hidup dalam kehidupan masyarakatnya yang berbeda-beda.

Ada masyarakat yang lebih banyak dipengaruhi tradisi zaman dahulu, ada pula yang dipengaruhi oleh agama yang ada di Indonesia seperti Hindu, Islam dan Kristen. Dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia maka terwujudlah satu kesatuan cita dari berbagai masyarakat adat yang berbeda- beda, sehingga menjadi �Bhineka Tunggal Ika�, walaupun berbeda-beda adat budaya dan hukum adatnya tetapi menjadi satu kesatuan dalam wadah Negara Pancasila (Hilman Hadikusuma, 2003).

Setiap suku memiliki adat istiadatnya masing-masing. Adat diartikan sebagai aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; kebiasaan; cara (kelakuan) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nila-nilai budaya, norma, hukum dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.

Adat yang diartikan sebagai aturan itu berasal dari tingkah laku sehari-hari, berkembang terus sampai saat ini yang karena keberadaannya di wilayah- wilayah di seluruh Indonesia, tidak diabaikan oleh pemerintah. Hal itu dapat dilihat dalam pengaturan keberadaan dan hak masyarakat hukum adat, Pengaturan mengenai keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia terdapat di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hal tersebut menunjukan bahwa keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat telah diterima dalam kerangka hukum yang berlaku di Indonesia. Sub-bagian ini akan memberikan penjelasan ringkas mengenai pengaturan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat dalam UUD 1945, Undang- undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan. Akan tetapi dalam praktik mengenai perkawinan penghayat aliran kepercayaan sangatlah tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 dan peraturan yang berlaku, khususnya perkawinan adat pada masyarakat adat Baduy. Padahal pertimbangan atau alasan dibentuknya UU Perkawinan adalah perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negar yang sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka akan diteliti mengenai keabsahan perkawinan pasangan aliran kepercayaan. Pencatatan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975.

Sedangkan pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan PP No 37 Tahun 2007 Tentang Peraturan Pelaksanannya. Adapun tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan diatur dalam BAB X Pasal 81 sampai dengan Pasal 83.

Ditinjau dari hukum positif Indonesia, maka perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan aliran kepercayaan sundawiwitan pada masyarakat adat Baduy luar adalah tidak sah menurut hukum negara, meskipun menurut keyakinan mereka, perkawinannya sah karena sudah sesuai dengan tata cara adat istiadat yang berlaku. Hal tersebut dikarenakan UU Perkawinan tidak mengatur mengenai perkawinan pasangan penghayat aliran kepercayaan. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yang sah menurut negara adalah yang berdasarkan agama resmi yang diakui oleh negara.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa kedudukan hukum perkawinan pasangan aliran kepercayaan dianggap tidak sah dan tidak pernah ada karena tidak sesuai dengan Undang-undang perkawinan yang mengharuskan perkawinan berdasarkan agama resmi dan dicatatkan pada pegawai pencatat yang berwenang. Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat adat baduy Luar tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal tersebut jelas merugikan kaum wanita dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, karena keduduakn anak yang lahir dari pasangan aliran kepercayaan adalah anak luar kawin. Sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan keluarga ibunya saja dan istri tidak berhak menuntut atas nafkah dari suami. Hal tersebut jelas tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan niat dari perkawinan sesuai dengan amanah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa �Undang-Undang �perkawinan belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan para penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia. Karena undang-undang perkawinan tidak mengatur secara tegas tentang perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Berdasarkan pengetahuan penulis yang pernah penulis baca hampir 300.000 ribu warga Indonesia yang menganut kepercayaan leluhur.

Perkawinan bagi penghayat kepercayaan khususnya adat baduy sangatlah tidak sejalan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 29 tayat 2 mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan. Karena dalam praktik, mereka masih mengalami diskriminasi-diskriminasi terutama dalam hal pencatatan perkawinannya.

Semakin maraknya aksi protes baik dari individu maupun Lembaga penghayat� aliran� kepercayaan� yang� merasa� hak� konstitusionalnya� tidak di akomodir oleh negara, baru-baru ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk. Hal ini membuat para penganut kepercayaan bisa mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama saat membuat KTP. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan pula bahwa kata "agama" dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk �kepercayaan". MK juga menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam putusannya, MK menyatakan adanya kalimat "penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama" membatasi hak atau kemerdekaan warga negara pada agama yang diakui perundang-undangan. Konsekuensinya, secara a contrario, tanggung jawab atau kewajiban konstitusional negara untuk menjamin dan melindungi hak atau kemerdekaan warga negara untuk menganut agama. Juga terbatas pada warga negara yang menganut agama yang diakui sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Hal inilah yang tidak sejalan dengan jiwa UUD 1945 yang secara tegas menjamin bahwa tiap-tiap warga negara merdeka untuk memeluk agama dan kepercayaan dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan itu. Hal itu tentu saja menjadi angin segar bagi penghayat �aliran kepercayaan, terlebih masyarakat adat baduy yang merasa di anak tirikan oleh pemerintah.

Berdasarkan uraian latar belakang seperti yang� telah� diungkapkan diatas, maka penulis tertarik untuk membahas tentang Kedudukan Perkawinan Penghayat Baduy Luar Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Tujuan �penelitian ini untuk menggambarkan yaitu: (1) Untuk mengetahui proses kependudukan penghayat kepercayaan Baduy luar menurut Undang � Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. (2) Untuk mengetahui akibat hukum status penghayat kepercayaan dalam memperoleh status kependudukan menurut Undang � Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pengetahuan serta pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya ilmu hukum acara perdata yang berkaitan dengan perkawinan.

 

Metode Penelitian

1.    Tipe Penelitian

Penelitian tentang: �Kedudukan Perkawinan Penghayat Baduy Luar Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan� merupakan suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum, yaitu hukum dalam bentuk arti law as it written in the books (dalam peraturan perundang- undangan)��.

2.    Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat deskriptip analistis, yaitu menggambarakan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai perkawinan dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang kemudian dilakukan analisis pemecahan masalah yang timbul mengenai perkawinan terhadap perkawinan atas dasar aliran kepercayaan dan adat sebelum dan sesudah putusan MK tentang dimasukanya kolom aliran kepercayaan padakolom Kartu Tanda Penduduk.

3.    Data

Data di bagi menjadi dua :22

a.      Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat yang berfungsi untuk melengkapi data sekunder.

b.      Data sekunder adalah data dasar yang diperoleh dari bahan pustaka.

4.    Pengumpulan Data

a.      Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji, meneliti dan menelusuri data-data sekunder mencangkup bahan primer yaitu bahan- bahan hukum yang mengikat, bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.24

b.      Penelitian Lapangan

Dalam penelitian hukum yang menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan paling utama adalah penelitian kepustakaan, sehingga data yang diperoleh hanya berasal dari narasumber.

5.    Analisis Data

Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis dengan pendekatan kualitatif yang lebih menekankan pada kualitas atau isi dari data tersebut.25 Kemudian dianalisis secara mendalam mengenai perkawinan atas dasar kepercayaan pada masyarakat adat baduy luar guna perumusan kesimpulan dalam penelitian ini.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Kedudukan Hukum Perkawinan Adat di Baduy Banten Atas Dasar Kepercayaan Sundawiwitan pada Masyarakat Adat Baduy Luar Dikaitkan dengan Pasal (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: �(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.� Menurut penjelasan Pasal 2 UU Perkawinan tersebut, Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang- undang ini.

Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sahnya perkawinan oleh 2 (dua) hal yaitu sesaui dengan hukum agama dan kepercayaannya dan selanjutnya dilakukan pencatatan perkawinan. Adapun hubungan antara Pasal 2 ayat (1) dan (2) menurut M. Yahya Harahap adalah ayat 1 pada Pasal 2 UU Perkawinan merupakan syarat mutlak sahnya perkawinan, sedangkan ayat 2 mengenai pencatatan perkawinan bukanlah merupakan syarat sahnya perkawinan, tetapi hanya merupakan tindakan administratif.2

Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pengertian �agama dan kepercayaannya itu� dalam Pasal tersebut menuai banyak penafsiran dari para ahli hukum. Kata �kepercayaan� dalam Pasal tersebut dapat diartikan sebagai kepercayaan atas suatu agama tertentu atau juga kepercayaan terhadap aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, termasuk juga kepercayaan sunda wiwitan yang dianut oleh masyarakat adat baduy luar.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka akan dianalisis mengenai keabsahan perkawinan pasangan aliran kepercayaan. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannnya itu. Sekilas bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan terdengar sederhana, namun pelaksanaannya menjadi tidak mudah karena adanya perbedaan pandangan dalam penafsiran istilah �kepercayaan�. Istilah �kepercayaannya� dalam UU Perkawinan itu ternyata ditafsirkan berbeda-beda. Menurut Prof.DR.H. Mohamad Rasjidi, Kata kepercayaan menurut istilah (terminology) ialah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa di luar agama atau tidak termasuk kedalam agama.3 Menurut Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam suratnya kepada para Gubernur Kepala daerah Tingkat I seluruh Indonesia tanggal 18 oktober 1978 Nomor: B.VI/11215 antara lain menyatakan:

�Dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal adanya tata cara perkawinan, sumpah dan penguburan menurut aliran kepercayaan, dan tidak dikenal pula penyebutan �aliran kepercayaan� sebagai �agama� baik dalam kartu tanda penduduk (KTP) dan lain-lain�.4

Orang beragama/pemeluk agama yang mengikuti aliran kepercayaan tidaklah kehilangan agama yang dipeluknya. Oleh karena itu pula tidak ada tata cara �perkawinan menurut aliran kepercayaan� dan �sumpah menurut aliran kepercayaan�.5 Permasalahan pertama dalam hal ini adalah mengenai pengertian tentang �agama� dan �kepercayaan�. Kata �percaya� menurut kamus besar bahasa Indonesia mempunyai beberapa makna antara lain: mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata.6 Selanjutnya kata �kepercayaan� dapat diartikan sebagai anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yg dipercayai itu benar atau nyat.7 Menurut Sir W. Hamilton, kepercayaan digunakan untuk menunjukan �a state of mind� khususnya untuk membedakannya dari apa yang disebut �knowledge� yakni kita menerima kebenaran suatu dalil dengan menolak alasan-alasan yang masuk akal.8 Selanjutnya kata �agama� diambil dari bahasa sansekerta untuk menunjukan sistem kepercayaan dalam tradisi agam budha/hindu. Pengertian �agama� adalah jalan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah �agama� diartikan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Menurut Drs. D Hendropuspito, O.C : agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.9

Menurut Pasal 1 angka 18 PP Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Sedangkan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai- nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.10 Bahwa dari definisi di atas semakin menegaskan bahwa istilah �kepercayaan� mempunyai kedudukan yang hakiki dan utama di mana menyangkut mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa definisi dari agama dan kepercayaan mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Kata �agama� yang diartikan sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, menunjukan bahwa inti sari agama adalah kepercayaan itu sendiri. Lebih lanjut lagi agama merupakan suatu perwujudan dari kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.

Permasalahan selanjutnya adalah mengenai frasa �agama dan kepercayaanya itu� pada Pasal 2 ayat (1) apakah merupakan satu kesatuan atau bisa diartikan terpisah yang merujuk pada aliran kepercayaan yang ada di Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikatakan, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang- undang ini. Jadi bagi mereka yang beragama Islam, maka yang menentukan sah tidaknya perkawinan itu adalah ketentuan-ketentuan syariat Islam. Hal tersebut juga berlaku bagi agama-agama lain, yang menentukan sah tidaknya perkawinan adalah ditentukan oleh ketentuan-ketentuan dari masing- masing agama. Menurut Dr. H. Ichtijanto, SH, istilah yang dipakai dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan �hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu� bukan �masing-masing hukum agama dan kepercayaanya itu�. Hal tersebut berarti menunjuk pada hukum agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia. Agama yang dimaksud adalah agama resmi yang diakui oleh negara. Dengan demikian frasa �agama dan kepercayaannya itu� tersebut merupakan satu kesatuan, diartikan bahwa kata �kepercayaannya itu� merujuk pada kata agama yang disebutkan sebelumnya, bukan mengacu pada aliran kepercayaan yang ada di indonesia. Dengan demikian, perkawinan yang sah dimata negara adalah perkawinan yang didasarkan pada agama-agama resmi berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama.

Kemudian pada perkembangannya, �kepercayaan� itu diartikan sebagai suatu hal yang terpisah dari �agamanya�. Hal tersebut didasarkan pada fakta sosial yang ada dari dahulu hingga sekarang bahwa di Indonesia sebelum masuknya keenam agama resmi tersebut, terdapat kepercayaan lokal yang dianut dan diyakini oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, ironisnya, kepercayaan lokal tersebut dipandang sebagai suatu yang menyesatkan hingga menimbulkan sebuah diskriminatif terhadap para penganutnya. Mereka bahkan dianggap sebagai atheis karena tidak memilih untuk salah satu agama resmi yang ada. Menurut M Yahya Harahap, yang dimaksud dengan �agama dan kepercayaaanya� tersebut adalah sesuai dengan yang ditentukan dalam Undang- undang Dasar 1945.11 Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaaanya. Jadi untuk mengatur hukum agama yang mengatur pelaksanaan perkawinan sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah agama dan kepercayaan yang dipeluk oleh mereka yang hendak melangsungkan perkawinan. Selanjutnya M. Yahya Harahap menyatakan:

�Bagi mereka yang belum memeluk agama dan kepercayaan juga tidak ada kesulitan. Misalnya, sebagaimana kita tahu, bahwa berdasar ethnograpi masih ada lagi dijumpai suku bangsa kita yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Maka ukuran kaidah yang berlaku bagi mereka dengan sendirinya ditentukan oleh tata cara perkawinan yang terdapat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat animisme dan dinamisme tersebut�.12

Berkaitan dengan kasus penelitian mengenai perkawinan masyarakat adat baduy luar yang berdasarkan aliran kepercayaan sunda wiwitan dan bukan berdasarkan pada agama yang diakui resmi oleh pemerintah yang disyarakat oleh Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, maka secara otomatis perkawinannya tidak sah menurut hukum negara. Karena hukum perkawinan yang sah diamata negara haruslah berdasarkan lima agama resmi yang diakui negara yang sesuai dengan Surat Edaran Mendagri Tahun 1985. Diatas telah diuraikan bahwa makna �agama dan kepercayaan� merupakan kesatuan kalimat, bukan diartikan secara terpisah. Kata �kepercayaan� merujuk pada kata �agama� yang ada sebelumnya.

Selanjutnya akan dibahas mengenai kedudukan hukum perkawinan atas dasar aliran kepercayaan pada masyarakat adat baduy luar. Dimuka telah dijelaskan bahwa perkawinan pada masyarakat adat baduy luar dilakukan berdasarkan adat istiadat mereka dan tidak berdasarkan agama resmi yang diakui negara. Sehingga perkawinannya tidak dapat dicatatkan di kantor pencatat perkawinan.

Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapatpada Pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: �(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dankepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturanperundang-undangan yang berlaku.� Mengenai frasa �agama dan kepercayaan� pada Pasal 2 ayat (1) telah diuraikan diatas bahwa pengertiannya merupakan satu kesatuan, yang artinya kata �kepercayaan� itu merujuk pada kata sebelumnya yakni �agama�, bukan aliran kepercayaan yang ada di indonesia.

Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan.

Oleh sebab tidak sahnya perkawinan masyarakat adat baduy luar karena melangsungkan perkawinan berdasarkan aliran kepercayaan sunda wiwitan, maka perkawinan masyarakt adat baduy luar tidak dapat dicatatkan. Karena pencatatan perkawinan hanya bisa dilakukan apabila pasangan tersebut menganut agama resmi yang diakui oleh negara.

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yangmelakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan diKUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yangberagama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasarhukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Sedangkan pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan PP No 37 Tahun 2007 Tentang Peraturan Pelaksanannya. Adapun tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan diatur dalam BAB X Pasal 81 sampai dengan Pasal 83.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa kedudukan hukum perkawinan pasangan aliran kepercayaan dianggap tidak sah dan tidak pernah ada karena tidak sesuai dengan Undang-undang perkawinan yang mengharuskan perkawinan berdasarkan agama resmi dan dicatatkan pada pegawai pencatat yang berwenang. Sehingga perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat adat baduy Luar tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal tersebut jelas merugikan kaum wanita dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, karena keduduakn anak yang lahir dari pasangan aliran kepercayaan adalah anak luar kawin. Sehingga anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan keluarga ibunya saja. Dan istri tidak berhak menuntut atas nafkah dari suami. Hal tersebut jelas tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan niat dari perkawinan sesuai dengan amanah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Dengan demikian, tidak ada alasan pejabat KUA maupun Catatan sipil untuk menolak pencatatan akte pernikahan masyarakat adat baduy. Karena dasar hukum yang mereka gunakan telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah berpendapat bahwa mengabaikan eksistensi para penghayat dan tidak mencatatkankanya di dalam catatan adinistrasi sipil, merupakan tindakan diskriminasi. Sehingga seharusnya perkawinan adat di baduy sudah bisa dicatatkan dengan dasar hukum putusan MK No 97/PUU- XIV/2016.

Oleh karena hak untuk menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa Merupakan Hak konstitusi warga negara, bukan pemberian negara. Dalam gagasan negara demokratis, yang juga dianut oleh Undang- undang Dasar 1945, negara hadir atau dibentuk untuk melindungi (yang didalamnya juga berarti menghormati dan menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut.

Putusan MK tersebut merupakan angin segar bagi penghayat aliran kepercayaan, karena dalam putusan tersebut MK memerintahkan pemerintah untuk mengakui penghayat aliran kepercayaan sebagai keyakinan yang sah dan dicatat negara. Efek domino pun bergulir, dari pencatatan di KTP hingga kini penghayat aliran kepercayaan bias menikah sesuai keyakinanya. Hal itu seperti terlihat di kalangan komunitas sedulur sikep, kudus, jawa tengah. Pada kamis (25/4) malam, mereka menghelat pernikahan dicatat Disdukcapil Kudus untuk pertama kalinya.15 Pernikahan sesuai ajaran seduler sikep hal itu merupakan penerapan dari putusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016 terkait pengisian kolom agama di KTP dan KK bagi penghayat aliran kepercayaan.

B.     Faktor-faktor yang Menghambat Diakuinya Secara Hukum Positif Perkawinan Adat di Baduy Banten

Perkawinan Pada masyarakat Baduy Luar dilaksanakan menurut adat istiadat yang bersumber dari aliran kepercayaan sunda wiwitan, hal tersebut jelas tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan yang mengharuskan perkawinan berdasarkan agama resmi yang diakui pemerintah.

Berdasarkan hal tersebut, ditemui faktor-faktor yang menyebabkan perkawinan pada masyarakat adat baduy luar tidak diakui sah dimata negara. Adapun faktor-faktornya adalah sebagai berikut:

1.    Faktor-faktor dari dalam (Internal)

Adapun faktor-faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat adat baduy Luar itu sendiri, adapun hambatan- hambatannya adalah sebagai berikut:

a.      Adat istiadat masyarakat baduy

Masyarakat baduy luar adalah masyarakat adat yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan menutup diri dari dunia luar. Kepercayaan yang mereka yakini adalah sunda wiwitan. Sunda wiwitan adalah aliaran kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur yang dianut oleh masyarakat tradisional sunda. Kepercayaan yang mereka yakini tersebut merupakan sumber dari adat istiadat yang mereka pertahankan dari dahulu hingga sekarang.

Bagi masyarakat Baduy sendiri, perkawinan merupakan sesuatu yang sakral. Karena alasan tersebut maka tata cara perkawinan pun dimulai dari proses peminangan sampai membina rumah tangga juga diatur dalam ketentuan adat Baduy yang mengikat. Menurut mereka, perkawinan adalah merupakan hukum alam yang harus terjadi dan dilakukan oleh setiap manusia tanpa terkecuali. Orang Baduy menyebutnya perkawinan sebagai rukun hirup, artinya bahwa perkawinan harus dilakukan, karena jika tidak maka ia akan menyalahi kodratnya sebagai manusia.

Menurut mereka, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan adat istiadat yang telah ditetapkan oleh adat. Artinya, suatu perkawinan dianggap sah apabila perkawinan tersebut sesuai dengan adat istiadat yang telah ditetapkan oleh kepala adat. Menurut adat baduy, perkawinan tidak harus dicatatkan, karena selain mereka buta huruf, mereka juga mengganggap pencatatan itu tidak penting. Yang jadi masalah apabila masyarakat baduy luar itu keluar dari lingkungan adat mereka, mereka tidak mempunyai akte-akte keperdataan sama sekali.

b.      Pandangan yang keliru mengenai Hukum Perkawinan Nasional

Pada masyarakat adat baduy luar, perkawinan yang mereka laksanakan tidak jauh berbeda dengan tata cara perkawinan dalam islam, yakni dengan mengucapka kalimat syahadat dan dihadiri saksi serta dilakukan dihadapan penghulu. Menurut pemahaman mereka, ada 2 macam perkawinan, yakni perkawinan menurut adat dan perkawinan menurut negara. Perkawinan menurut negara adalah perkawinan yang dilakukan dihadapan penghulu sebagai perwakilan dari negara. Mereka beranggapan bahwa dengan dilaksanakanya perkawinan dihadapan penghulu maka perkawinannya adalah sah menurut hukum negara, karena menurut pemahaman mereka, dengan menikah dihadapan pegawai KUA yang notabennya adalah perkawakilan pemerintah, maka perkawinannya adalah sah dan diakui. Ini jelas keliru, karena KUA hanya berwenang menikahkan orang Islam saja dan tidak berwenang dalam menikahkan pasangan aliran kepercayaan.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan masyarakat adat baduy luar mengenai hukum perkawinan nasional adalah kurangnya pemahaman mengenai hukum perkawinan itu sendiri. Bahkan mereka tidak tahu bahwa ada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan. Hal ini jelas karena memang masyarakat adat baduy luar cenderung menutup diri dan tidak mau tahu urusan-urusan di luar.

2.    Faktor-faktor dari luar (Eksternal)

Sosialisasi menganai hukum perkawinan yang tidak optimal Masyarakat Adat Baduy Luar yang primitif dan cenderung menutup diri dari dunia luarmerupakan daktor utama mengapa terhambatnya sosialisasi mengenai hukum perkawinan. Hal lain yang menyebabkan timbulnya hambatan-hambatan dalam hal perkawinan atas dasar aliran kepercayaan pada masyrakat adat Baduy luar adalah kurangnya sosialsisasi dari pemerintah. Berdasarkan diskusi yang penulis lakukan terhadap masyrakat adat baduy luar, mayoritas orang baduy tidak tahu mengenai hukum perkawinan yang berlaku nasioanal. Mereka menganggap dengan dilaksanakannya perkawinan didepan penghulu yang diutus oleh KUA leuwidawar, maka mereka telah menikah secara negara.

Faktor lain yang menyebabkan kurangnya sosialsiasi perkawinan pada masyarakat adat baduy luar adalah masyarakat adat baduy luar tidak mengenal baca-tulis dan mengganggap administrasi perkawinan seperti pencatatan perkawinan tidak terlalu penting. Sehingga hal tersebut menyulitkan pihak luar untuk menjelasakan hukum perkawinan yang benar menurut negara.

a.      Tidak tegasnya pejabat KUA Lewidamar

Berdasarkan diskusi antara penulis dengan kepala adat baduy mengenai campur tangan petugas KUA dalam pelaksanaan perkawinan pada masyarakat baduy luar, jaro dainah selaku kepala adat baduy luar pernah meminta KUA Leuwidamar untuk mengutus seorang penghulu untuk menikahkan warganya. Kesediaan KUA leuwidamar yang menikahkan masyarakat Adat Baduy Luar atas permintaan kepala adat Baduy merupakan faktor mengapa hingga saat ini masyarakat adat baduy masih meyakini bahwa perkawinan yang mereka lakukan sudah sesuai dengan hukum negara. Hal ini jelas keliru, karena KUA tidak berwenang menikahkan pasangan aliran kepercayaan dan hanya berwenang mengawinkan pasanagan yang beragama Islam. Seharusnya KUA leuwidamar menolak permintaan kepala adat baduy luar yang meminta untuk menikahkan warganya, seperti pada saat mereka menolak untuk membuatkan akte nikah untuk orang baduy luar.

Seharunya KUA leuwidamar menolak dengan tegas permintaan masyarakat baduy luar tersebut, karena dalam hal ini, KUA tidak berwenang dalam menikahkan pasangan aliran kepercayaan dan sudah menyalahi prosedur yang berlaku. Sebenarnya KUA hanya berwenang untuk menikahkan pasangan yang beragama Islam saja, selain agama Islam, kewenangan tersebut ada pada Kantor Catatan Sipil.

b.      Politic will pemerintah

Pemerintah beranggapan bahwa aliran kepercayaan memiliki dasar agama dan tidak independen, bukan agama baru, berbeda dengan agama namun memiliki dasar agama. Oleh karena pemerintah tidak mengakui perkawinan aliran kepercayaan, yang diwujudkan dengan tidak dicatatkan perkawinan aliran kepercayaan, kecuali perkawinan tersebut berdasarkan agama-agama yang diakui saja. Dalam hal ini pemerintah seolah-olah menganut sentralisme hukum, dan cenderung mengabaikan hukum-hukum lain yang hidup di masyarakat (living law).

�

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan: (1) Perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan yang diakui oleh negara dan dicatat sesuai peraturan perundang-undangan. (2) Hanya agama-agama resmi yang diakui oleh negara yang dapat menjadi dasar sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. (3) Perkawinan berdasarkan aliran kepercayaan Sunda Wiwitan pada masyarakat adat Baduy Luar dianggap tidak sah menurut hukum negara, karena tidak sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perkawinan yang mensyaratkan perkawinan berdasarkan agama resmi yang diakui negara. (4) Perkawinan yang tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang tidak memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak diakui oleh negara. (5) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 menghapus kata "agama" dalam pasal-pasal terkait Administrasi Kependudukan dan menyatakan bahwa hak atau kemerdekaan warga negara untuk menganut agama tidak boleh dibatasi oleh undang-undang. (6) Dengan putusan tersebut, perkawinan masyarakat adat Baduy diakui sebagai sah dan dapat dicatatkan, karena negara mengakui hak dan keberadaan penghayat aliran kepercayaan sesuai dengan UUD 1945

Faktor-faktor yang menjadi penghambat diakuninya perkawinan adat di baduy banten dibagi kedalam 2 faktor, yaitu factor internal dan factor eksternal. Adapaun faktor internal yang menjadi penghambat adalah Adat istiadat masyarakat baduy, pandangan yang keliru mengenai hukum perkawinan positif. Sedangkan hambatan eksternal adalah sosialisasi tentang hukum perkawinan positif yang kurang optimal, politic will pemerintah dan tidak tegasnya pejabat KUA setempat dan belum sempurnanya undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang sampai saat ini belum bias mengakomodir semua kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat adat baduy.


BIBLIOGRAFI

 

Al Afifi, Haha Abdullah. Hak Orang Tua Pada Anak Dan Hak Anak Pada Orang Tua. Diterjemahkan Oleh Zaid Husein Al Hamid. (Jakarta: Dar El Fikr Indonesia, 1987).

 

Apeldorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Pradnja Paramita, 1985). Armico. Hukum Keluarga. (Bandung: 1988).

 

Asmin. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986).

 

Basyir, Ahmad Azar. Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta: UII Press, 1999). Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqih Jilid 2. (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995).

 

Darmabrata, Wahyono. Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974. (Jakarta: Gitama Jaya, 2003).

 

Departemen Dalam Negeri. Bahan Ajar Pencattan Perkawinan dan Perceraian Dalam KerangkaSistem Admintrasi Kependudukan. (Jakarta: Pusdiklat Kependidikan dan Pembangunan Depdagri, 2006).

 

Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995).

 

Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum. (Jakarta: Universitas Trisakti, 2008).

 

Friedmann, W. Teori dan Filsafat Hukum, (Legal Theori), Susunan I, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin. Cetakan kedua. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993).

 

Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis. (Bandung: Nusamedia, 2004).

 

Fuller, Lon L. The Morality of Law. (New Haven: Yale University Press, 1971). Garna, Judistira K. Masyarakat Baduy di Banten. 1993.

 

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003).

 

Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasioal. (Medan: Zahir Trading, 1975).

 

Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Cet 20. (Yogyakarta: Kanisius, 2006). Junus, Mahmuda. Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad: Sayfi�I, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1989).

 

Komariah. Hukum Perdata. (Malang: Universitas Muhamadiyah Malang, 2002).

 

Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin. Saatnya Baduy Bicara. (Jakarta: Bumi Aksara, 2010).

 

Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Nasiona. (Bandung: Bina Cipta, 1998).

 

Marcus. Kehidpuan Orang Baduy. (Bandung: CV. Rosda, 1986).

 

Noer, Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Cetakan II. Edisi Revisi. (Bandung, Pustaka Mizan, 1997).

 

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Hukum. (Jakarta: Universitas Trisakti, 2011).

 

Prints, Darwan dan Iman Jauhari. Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam. (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003).

 

Rasjidi, Mohamad. Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional. 1980.

Rawls, John. A Theory of Justice. (Publisher: Belk n ap Press, 1999).

 

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008).

 

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam. (Jakarta: UI Press, 1982).

 

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).

 

Warman, Kurnia. Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia. (Bandung: Mandiri Maju, 1990).

 

Dalam Pasal Ini Tidak Ditentukan Batas Umur Minimal Untuk Diberikan Dispensasi, Juga Tidak Ditentukan Dalam Hal Bagaimana Dispensasi Boleh Diberikan Pengadilan Atau Pejabat Yang Dimaksud. Dharmabrata, hal. 23-24.

 

Copyright holder:

Chika Angelica Awaloei, Jeane N Saly (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: