Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.10, Oktober 2022
PELAKSANAAN
PERAN CAMAT SEBAGAI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DI KABUPATEN
NGAWI
Bima Yuda Prakoso1, Harun2,
Rizka3
Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Indonesia1,2,3
Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3
Abstrak
Dalam meningkatkan pelayanan
pertanahan kepada masyarakat merupakan salah satu tugas utama dari Pemerintah,
guna memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efektif dan efesien, maka
pemerintah melakukan kebijakan-kebijakan melalui pengelolaan Birokrasi
pertanahan, dengan melalui pendelegasian penyelenggaraan Pemerintahan, dari
tingkat Pusat kepada pemerintahan Daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi
serta Kabupaten/Kota dengan kata lain Otonomi Daerah. Tujuan
Penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk mengakaji dan menganalisis
secara yuridis empiris Pelaksanaan Peran Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah dipandang dalam konteks Hukum Pertanahan Indonesia. (2) Untuk mengetahui
model pelayanan PPAT yang humanis sebagai pelayanan publik dalam proses
Pendaftaran Tanah di Kabupaten Ngawi.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis
Empiris. Pendekatan Yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai Peraturan Perundang-undangan
tentang Peran Camat Sebagai Pejabat Pembuat Tanah Akta Sementara. Kesimpulan
hasil penelitian menunjukkan (1) Pelaksanaan tugas dan kewenangan camat sebagai
PPAT Sementara dalam pembuatan akta tanah di Kabupaten Ngawi dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah dan Peraturan Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. (2) Pelayanan
humanis dalam pendaftaran tanah oleh PPAT di Kabupaten Ngawi merupakan
pelayanan yang bebas dari KKN yang dilaksanakan secara on line dengan
menerapkan teknologi dalam rangka mewujudkan pelayanan yang cepat, murah dan
sederhana dalam proses pendaftaran tanah.
kata
kunci:
peran camat, pembuat
akta tanah
Abstract
Improving
land services to the community is one of the main tasks of the Government, in order
to provide services to the community effectively and efficiently, the
government carries out policies through the management of the land bureaucracy,
by delegating governance, from the central level to regional governments in
this case. Provincial and Regency/City Governments in other words Regional
Autonomy. The aims of this study are as follows: (1) To examine and analyze
empirically juridically the implementation of the role of the sub-district head
as an official making land deeds in the context of Indonesian land law. (2) To
find out the humane PPAT service model as a public service in the land
registration process in Ngawi Regency. The approach method used in this study
is an empirical juridical approach. The Juridical Approach is used to analyze
various laws and regulations concerning the role of the sub-district head as an
official for making temporary land deeds. The conclusions of the research
results show (1) The implementation of the duties and authorities of the
sub-district head as a Temporary PPAT in making land deeds in Ngawi Regency is
carried out in accordance with the provisions of the applicable laws and
regulations, namely Government Regulation Number 37 of 1998 concerning Position
Regulations for Officials Making Land Deeds and Agency Regulations National
Land Affairs Number 1 of 2006 concerning Provisions for the Implementation of
Government Regulation Number 37 of 1998 concerning Regulations for the Position
of Officials Making Land Deeds. (2) Humanist services in land registration by
PPAT in Ngawi Regency are services that are free from KKN which are carried out
online by applying technology in order to realize fast, inexpensive and simple
services in the land registration process.
keywords:
role of camat, maker of land deeds
Pendahuluan
Reformasi telah
membawa perubahan signifikan dalam kebijakan pemerintah terkait Pembangunan
Nasional, khususnya di bidang pertanahan, sebagaimana diatur dalam TAP MPR
Nomor II/MPR/1998, yang berbunyi: “Bahwa penguasaan dan penataan tanah oleh
Negara diarahkan pemanfaatan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Penguasaan tanah oleh Negara, sesuai dengan tujuan
pemanfaatnya, perlu memperhatikan kepentingan masyarakat luas dan tidak
menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah digunakan atau
dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang dan tata wilayah untuk mewujudkan
kemakmuran dengan memperhatikan hak-hak atas tanah, fungsi sosial hak atas
tanah, batas maksimum kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian termasuk
berbagai upaya lain mencegah pemusatan penguasaan tanah dan penelatarannya.”
Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.” Inti dari pernyataan ini adalah bahwa negara memiliki
tanggung jawab untuk memastikan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
dilakukan dengan tujuan memajukan kesejahteraan rakyat. Pasal tersebut
memberikan dasar hukum untuk peran negara dalam menguasai dan mengelola sumber
daya alam bagi kepentingan publik. Pasal 2 UUPA kemudian memperkuat amanat ini
dengan menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan tanah dan sumber daya alam
sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104.
Kewenangan negara
atas sumber daya alam dimaksudkan agar pengelolaan dan pemanfaatannya bisa
dilakukan demi kemakmuran seluruh rakyat. Tujuan akhirnya adalah menciptakan
kondisi di mana masyarakat dapat hidup bahagia, sejahtera, dan merdeka dalam
lingkungan sosial dan negara yang berlandaskan hukum. Melalui pengaturan ini,
pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan bahwa semua tindakan yang terkait
dengan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam memenuhi prinsip-prinsip
hukum dan peraturan yang ada.[1]
Masih
berdasarkan ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberi negara kewenangan
penuh atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di
Indonesia. Hak ini, dikenal sebagai konsep
"hak menguasai negara," diberikan kepada negara sebagai mandat untuk
mengelola sumber daya tersebut demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Artinya bahwa sebagai pemegang kekuasaan atas sumber daya alam, negara berperan
mewakili kepentingan rakyat. Tugas utamanya adalah memastikan bahwa setiap
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya dilakukan secara adil dan merata, agar
manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Selain itu, negara wajib
mematuhi dan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku dalam setiap aspek
pengelolaan sumber daya alam ini, agar prinsip keadilan dan keberlanjutan tetap
terjaga..
Dalam kapasitasnya sebagai badan yang
berwenang atas penguasaan tanah, negara memiliki kewenangan untuk mengatur dan
menetapkan berbagai jenis hak atas tanah. Pasal 16 ayat (1) UUPA merinci
jenis-jenis hak yang dapat diberikan oleh negara, dengan negara dapat
memberikan hak-hak ini baik kepada perseorangan maupun kepada badan hukum. Selain
mengelola tanah sesuai hak yang dimiliki, pemegang hak diwajibkan mendaftarkan
hak tanahnya sebagai upaya mencapai kepastian hukum, sesuai dengan batasan yang
berlaku[2].
Tujuan
utama dari jaminan hukum terkait kepemilikan hak atas tanah yaitu untuk
memastikan jika tanah digunakan secara efektif untuk memenuhi berbagai
kebutuhan dasar masyarakat. Fungsi tanah mencakup beragam sektor, mulai dari
lahan perumahan, pertanian, perkebunan, industri, hingga kehutanan, yang
semuanya merupakan bagian penting dari pembangunan nasional di bidang
pertanahan. Selain itu, tanah juga memiliki nilai ekonomi yang penting, tidak
hanya sebagai properti tetapi juga sebagai aset produktif. Bagi pemilik tanah,
baik itu perorangan maupun entitas bisnis, tanah dapat dimanfaatkan sebagai
jaminan untuk memperoleh modal dari bank dalam bentuk pinjaman. Tanah juga bisa
menjadi jaminan dalam transaksi bisnis lain, misalnya sebagai bentuk investasi
dalam proyek tertentu atau kemitraan usaha.
Namun, di tengah pemanfaatan tanah yang
luas untuk berbagai sektor perekonomian ini, penting untuk memastikan adanya
perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan tanah. Tanpa perlindungan yang
memadai, potensi penyalahgunaan atau sengketa tanah dapat menghambat
perkembangan ekonomi dan merugikan masyarakat. Sehingga negara memegang peranan
yang signifikan untuk menyediakan pelayanan pertanahan yang dapat memberikan
jaminan atas kepastian hukum dan melindungi masyarakat, memastikan bahwa hak
atas kepemilikan tanah dapat dipertahankan dan digunakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Pemerintah
memprioritaskan peningkatan kualitas pelayanan pertanahan untuk masyarakat agar
proses pengurusan tanah dapat berjalan lebih efisien dan efektif. Salah satu
langkah yang diambil adalah dengan menerapkan kebijakan yang mendukung
pengelolaan birokrasi pertanahan secara lebih terdesentralisasi, melalui
pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dalam
sistem pengelolaan pertanahan, Kepala Daerah di tingkat Kabupaten atau Kota
(seperti Bupati atau Walikota) memiliki kewenangan untuk mendelegasikan
sebagian tugas dan tanggung jawabnya kepada Camat, yang merupakan pejabat yang
bertugas di tingkat kecamatan. Sebagai pejabat yang memegang wewenang di
wilayahnya, camat berfungsi sebagai penghubung antara pemerintahan daerah dan
masyarakat. Akan tetapi meskipun camat diharapkan untuk menjalankan tugas
sebagai “Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara)”, dalam
praktiknya sering kali mereka belum memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai
hukum pertanahan, walaupun camat telah memenuhi persyaratan administratif.
Dengan latar
belakang tersebut, muncul dua permasalahan utama: (1) bagaimana peran camat
sebagai PPAT sementara di Kabupaten Ngawi dapat dijelaskan, baik dari fungsi
maupun kedudukannya dalam konteks Otonomi Daerah? (2) bagaimana membangun model
pelayanan PPAT yang lebih humanis, guna meningkatkan kualitas pelayanan publik
di bidang pertanahan?
Metode Penelitian
Pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini berarti menggunakan dua cara untuk menganalisis masalah. Pertama, pendekatan yuridis yang berfokus pada norma atau aturan hukum yang berlaku (hukum normatif). Kedua, pendekatan empiris yang berfokus pada data nyata atau fakta yang ditemukan langsung di lapangan, seperti observasi atau wawancara dengan para pihak terkait. Pendekatan yuridis berfokus pada analisis terhadap peraturan hukum yang mengatur peran dan tanggung jawab camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara, sehingga mampu memahami aturan-aturan yang ada dalam aspek hukum. Sementara itu, pendekatan empiris lebih berfokus pada kenyataan di lapangan, melihat bagaimana hukum diterapkan dan berinteraksi dengan berbagai faktor sosial, seperti pengaruh politik, ekonomi, dan budaya di masyarakat. Dalam penelitian, temuan-temuan yang ditemukan di lapangan, yang bersifat individual, akan digunakan untuk mengungkap masalah yang ada, namun tetap didasarkan pada peraturan yang berlaku.[3]
Karena penelitian tidak mungkin mencakup seluruh populasi, peneliti memilih
untuk menggunakan metode non-random sampling untuk menentukan sampel. Peneliti
memilih dua camat yang pernah menjabat sebagai PPAT Sementara di Kabupaten
Ngawi, yaitu Camat Gerih dan Camat Ngawi, sebagai sampel yang mewakili populasi
yang homogen.
Penelitian ini
mengandalkan dua metode pengumpulan data, yaitu penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan berfokus pada pengumpulan materi
hukum, seperti peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas dan kewenangan
PPAT, serta referensi dari hukum sekunder yang
mencakup buku ilmiah, makalah, dan hasil penelitian terkait, yang digunakan
untuk menganalisis dan memperdalam pemahaman tentang peraturan yang ada. Sedangkan dalam
penelitian lapangan, data dikumpulkan melalui wawancara, yang dibagi menjadi
dua jenis. Pertama, wawancara terstruktur melibatkan penggunaan daftar
pertanyaan yang telah disusun secara sistematis sebelum wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang lebih terarah dan sistematis. Sementara itu,
wawancara tidak terstruktur lebih bersifat
fleksibel dan mengalir mengikuti percakapan yang ada, memungkinkan peneliti
untuk menggali informasi yang lebih mendalam dan dinamis sesuai dengan situasi
yang berkembang.
Hasil dan Pembahasan
A. Pelaksanaan Peran Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah dipandang dalam konteks Hukum Pertanahan Indonesia
Seiring dengan
perkembangan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti jumlah
penduduk yang terus meningkat serta kemajuan di bidang ekonomi, sosial, budaya,
dan teknologi, kebutuhan masyarakat terhadap tanah juga semakin besar. Dalam
konteks ini, pentingnya alat bukti kepemilikan hak atas tanah menjadi semakin
nyata, mengingat populasi yang terus berkembang akan membutuhkan akses terhadap
tanah yang terbatas. Di sisi lain, luas tanah yang tersedia tidak mengalami
peningkatan, bahkan cenderung berkurang akibat faktor alamiah maupun penyebab
lainnya. Sehingga sangat penting untuk mengelola dan memanfaatkan tanah secara
adil dan terstruktur guna memenuhi kebutuhan tersebut.[4]
Tanah berperan
penting dalam kehidupan manusia, sehingga tidak jarang muncul keinginan untuk
memilikinya, yang sering kali menimbulkan sengketa atau perselisihan, baik di
antara individu maupun keluarga. Ketidaksepakatan mengenai penguasaan atau
kepemilikan tanah ini sering berujung pada masalah hukum, termasuk sengketa
batas tanah yang tak jarang terjadi. Permasalahan ini dapat muncul akibat
ketidakjelasan batas tanah, baik itu di sisi barat, timur, selatan, maupun
utara, yang menyebabkan pertentangan dalam masyarakat.
Maka dari itu,
Pemerintah telah menyusun peraturan hukum terkait hak kepemilikan tanah untuk
mencegah dan menyelesaikan potensi masalah yang timbul akibat penggunaan tanah.
Menurut E. Utrecht, konflik antara kepentingan individu atau kelompok bisa
mengarah pada kekacauan dalam masyarakat, kecuali ada mekanisme hukum yang
berfungsi untuk menyeimbangkan dan mengatur kepentingan-kepentingan tersebut.
Tanpa adanya hukum atau otoritas yang menegakkan aturan, upaya untuk memenuhi
kepentingan yang berbeda bisa saling bertentangan dan menimbulkan ketegangan
atau ketidakstabilan sosial.[5]
Pada 24 September
1960, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan “Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA)”, yang mengakibatkan
perubahan besar dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia. Tujuan utama
lahirnya UUPA yaitu untuk memberikan kepastian hukum terkait hak-hak atas tanah
di Indonesia. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan
mengimplementasikan sistem pendaftaran tanah yang tertib dan terorganisir.[6]
Untuk
mengonfirmasi siapa yang memiliki hak atas suatu tanah, baik individu maupun
badan hukum, diperlukan bukti yang sah menurut hukum. Sertifikat tanah, yang
diatur dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dianggap sebagai bukti yang sah dan kuat untuk
membuktikan hak kepemilikan atas tanah tersebut. Sertifikat tanah dikeluarkan
oleh Kantor Pertanahan setelah tanah tersebut melalui proses pendaftaran sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Jika suatu tanah belum terdaftar, tanah tersebut
tidak akan memiliki sertifikat yang sah. Tanpa sertifikat yang sah, kepemilikan
tanah tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum, yang dapat menyebabkan
masalah hukum di masa depan jika terjadi sengketa atau klaim atas tanah
tersebut.
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, yang dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
mengenai Jabatan PPAT, yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2016. Dalam Pasal 1 ayat (1) peraturan tersebut disebutkan bahwa:
“Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT)
adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”.
Menurut
ketentuan tersebut, BPN RI adalah lembaga yang memiliki kewenangan utama dalam
pengelolaan dan administrasi pertanahan di Indonesia. Untuk melaksanakan tugas
ini, BPN RI bekerja sama dengan berbagai pejabat yang diberi tugas khusus
sesuai peraturan yang berlaku. Salah satu pejabat yang terlibat adalah Pejabat
Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS), yang sering kali dijabat oleh Camat.
Camat
ketika bertindak sebagai PPATS, memiliki tanggung jawab untuk mengesahkan
berbagai tindakan hukum yang berkaitan dengan tanah, seperti perjanjian jual
beli atau pengalihan hak atas tanah. Salah satu dokumen yang dihasilkan dari
tugas ini adalah Akta Jual Beli (AJB), yang berfungsi sebagai bukti yang sah
dari transaksi jual beli antara penjual dan pembeli. AJB merupakan dokumen yang
diakui secara hukum dan memiliki kekuatan hukum, sehingga transaksi yang
tercatat di dalamnya dianggap sah dan mengikat bagi kedua belah pihak. Namun, untuk
memastikan bahwa AJB tersebut sah, Camat sebagai PPATS harus memastikan bahwa
semua syarat yang ditentukan oleh hukum telah dipenuhi, baik dari segi
prosedural (seperti mengikuti prosedur yang berlaku) maupun substansial
(seperti memenuhi ketentuan materiil yang terkait dengan perjanjian jual beli).
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa akta yang diterbitkan tidak hanya sah
secara formal, tetapi juga sah secara materiil, sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sebagai
kepala pemerintahan di tingkat kecamatan dan PPATS, Camat memiliki peran yang
sangat penting dalam menciptakan tertib administrasi pertanahan di wilayah
kerjanya. Tertib administrasi pertanahan sangat penting untuk memastikan bahwa
setiap transaksi atau perubahan hak atas tanah tercatat dengan benar dan sah. Dalam
hal ini akta tanah merupakan dokumen yang digunakan untuk membuktikan
kepemilikan atau pengalihan hak atas tanah secara sah. Untuk memastikan bahwa
akta ini memiliki kekuatan hukum, Camat yang ditunjuk sebagai PPATS bertanggung
jawab untuk menyusun dan menerbitkan akta tersebut. Camat harus memastikan
bahwa semua persyaratan hukum yang berlaku dipatuhi dalam pembuatan akta tanah.
Hal ini sangat penting, karena dengan memenuhi ketentuan hukum, hak atas tanah
yang tercatat dalam akta tersebut akan memiliki kekuatan hukum yang sah, diakui
oleh negara, dan dapat dipertanggungjawabkan di masa depan.
Indonesia
sebagai negara hukum menjadikan hukum sebagai landasan bagi semua tindakan
hukum, termasuk bagi penyelenggara pemerintahan seperti Camat yang bertindak
sebagai PPATS. Secara prinsip, aturan yang digunakan oleh Camat sebagai PPATS
tidak berbeda dengan yang diterapkan pada PPAT atau notaris lainnya. Keberadaan
peraturan hukum yang jelas memberikan jaminan kepastian hukum terhadap peran
Camat sebagai PPATS, membuat masyarakat yang akan melakukan transaksi atau
perbuatan hukum terkait hak atas tanah mereka, seperti jual beli atau
pengalihan hak. Regulasi mengenai PPAT tercantum dalam Pasal 37 “Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997”, yang menyatakan bahwa: “peralihan hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun melalui transaksi jual beli, tukar
menukar, hibah, dan tindakan hukum lainnya hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang sesuai ketentuan
peraturan yang berlaku.”[7]
Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 mengatur secara rinci tugas dan kewenangan yang
dimiliki oleh PPAT, yang menetapkan berbagai ketentuan mengenai bagaimana PPAT
harus menjalankan tugasnya, serta hak dan kewajiban yang dimilikinya dalam
proses pembuatan akta tanah. Peraturan ini diterbitkan untuk memberikan pedoman
yang jelas mengenai tanggung jawab PPAT dalam memastikan legalitas dan
keabsahan setiap transaksi pertanahan yang tercatat dalam akta otentik yang
mereka buat. Sebagai pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah, PPAT terdiri dari berbagai pihak yang memiliki peran penting
dalam pembuatan akta tanah. Pertama, Notaris yang berfungsi membuat akta
otentik terkait transaksi tanah. Kedua, Camat yang ditunjuk sebagai PPAT
Sementara, yang memiliki kewenangan untuk membuat akta atas tanah di tingkat
kecamatan. Ketiga, Kepala Kantor Pertanahan yang ditunjuk sebagai PPAT Khusus.[8]
Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 memberikan ketentuan lebih lanjut
mengenai tugas dan kewenangan PPAT, yang bertujuan untuk memberikan pedoman
pelaksanaan yang jelas sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998.[9]
PPAT
berfungsi untuk mendukung Kepala Kantor Pertanahan dalam kegiatan administrasi
pertanahan, terutama dalam membuat akta-akta yang akan digunakan sebagai dasar
untuk melakukan perubahan data tanah. Sebagai pejabat yang memiliki kewenangan
publik, PPAT berperan penting dalam menyusun akta yang sah menurut hukum, yaitu
akta otentik. Akta otentik berfungsi sebagai bukti hukum yang sah dan dapat
diterima di pengadilan, memiliki kekuatan pembuktian yang lebih tinggi
dibandingkan dengan akta biasa. Akta ini digunakan untuk mencatat dan
membuktikan peristiwa hukum tertentu, seperti peralihan hak atas tanah, dan
sangat penting untuk memastikan bahwa transaksi atau perubahan status hak atas
tanah tercatat dengan sah. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk mencegah
terjadinya sengketa di masa depan, karena semua pihak yang terlibat telah
memiliki bukti yang sah dan jelas terkait dengan perubahan hak atas tanah
tersebut. Oleh karena itu, PPAT harus sangat berhati-hati dan
teliti dalam membuat akta tersebut, memastikan semua informasi dan prosedur
yang tercantum dalam akta tersebut jelas, tidak ambigu, dan sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Proses yang cermat ini penting agar akta yang
dihasilkan tidak menimbulkan masalah hukum di masa depan, seperti klaim atau sengketa
terhadap hak atas tanah yang tercatat dalam akta tersebut.
Secara umum, PPAT hanya memiliki kewenangan untuk
membuat akta yang berkaitan dengan transaksi atau perubahan status hukum atas
tanah atau satuan rumah susun yang berada dalam area tugas atau yurisdiksi
tempat PPAT bertugas. Hal ini diatur dalam peraturan Pasal 4 ayat (1). Hal ini berarti bahwa PPAT hanya dapat mengesahkan
transaksi atau perbuatan hukum yang melibatkan tanah atau rumah susun yang
terletak di daerah kerjanya, yaitu wilayah administrasi tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi Pasal 4 ayat (2) memberikan pengecualian
terhadap aturan tersebut. Pengecualian ini membuat PPAT untuk tetap membuat
akta yang berkaitan dengan transaksi tertentu, seperti tukar menukar tanah,
pemasukan aset ke dalam perusahaan (inbreng), atau pembagian hak bersama,
meskipun sebagian dari tanah atau properti yang terlibat berada di luar wilayah
kerjanya. Artinya meskipun sebagian hak terletak di luar
wilayah kerjanya, PPAT masih bisa membuat akta selama ada keterkaitan dengan
wilayah kerjanya, untuk memastikan transaksi tersebut sah secara hukum.
Berikut
merupakan kewenangan PPAT yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Kepala BPN Nomor
1 Tahun 2006, seperti:
Dalam ayat (1) berbunyi “PPAT mempunyai kewenangan
membuat akta tanah yang merupakan “akta otentik” mengenai semua perbuatan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya”.
Sementara ayat (2) menyebutkan “PPAT Sementara
mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan “akta otentik” mengenai
semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja di dalam
wilayah kerja jabatannya”.[10]
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala
Seksi Pemerintahan Kecamatan Ngawi Kabupaten Ngawi yang mengatakan bahwa :
“Akta PPAT
berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli.
Meskipun jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian
yang lain, namun
dalam sistem pendaftaran
tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997,
pendaftaran peralihan hak
atas tanah di
kantor pertanahan hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT/PPAT Sementara
sebagai alat bukti yang sah”
Dari penjelasan diatas, pelaksanaan tugas dan wewenang
Camat sebagai PPATS di Kabupaten Ngawi dilakukan sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang menjadi dasar hukum yang mengatur
kewenangan dan tugas PPAT, termasuk Camat sebagai PPATS dalam pembuatan akta
tanah. Selain itu, Peraturan BPN Nomor 1 Tahun 2006 memberikan pedoman lebih
lanjut mengenai pelaksanaan teknis terkait jabatan PPAT, memastikan bahwa
setiap prosedur yang diambil oleh Camat sebagai PPATSsudah sesuai dengan
ketentuan hukum yang ada.
B. Model Pelayanan
PPAT yang Humanis sebagai Pelayanan Publik dalam Proses Pendaftaran Tanah di
Kabupaten Ngawi
Paradigma
humanis menekankan bahwa dalam menjalankan tugas atau pelayanan, pemerintah
atau aparat birokrasi harus memperlakukan individu atau kelompok dengan penuh
penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaannya. merupakan bagian dari sistem
administrasi negara, namun dalam memberikan layanan kepada mereka, pihak
birokrasi tidak hanya melihat aspek prosedural atau formal saja, tetapi juga
memperhatikan kebutuhan emosional dan sosial dari individu atau kelompok yang
dilayani. Pendekatan ini bertujuan untuk menjamin bahwa layanan yang diberikan
tidak hanya berdaya guna dan hemat biaya, tetapi juga memperhatikan martabat
dan kesejahteraan masyarakat, sehingga tercipta hubungan yang lebih manusiawi
dan empatik antara aparatur negara dan masyarakat.
Menurut
Max Weber, jika prinsip humanis diterapkan secara efektif dalam birokrasi, maka
hal itu akan menghasilkan suatu sistem administrasi yang lebih baik dengan
karakteristik administrasi modern yang ideal, yaitu:
1)
Proses birokrasi dilakukan secara sistematis dengan batasan kewenangan secara tegas.
2) Terdapat struktur wewenang yang jelas.
3) Ada peraturan yang tegas mengenai tindakan,
kewenangan, dan kewajiban pekerja.
4) Penerimaan pekerja berdasarkan sistem prestasi, tidak
berdasarkan hubungan kekerabatan.[11]
Pelayanan PPAT dalam proses pendaftaran tanah di
Kabupaten Ngawi juga harus mengutamakan pendekatan yang humanis. Proses
pendaftaran tanah dilaksanakan secara terstruktur, dengan kewenangan PPAT yang
jelas dan tegas. Terdapat hierarki kewenangan yang mengatur interaksi antara
pihak-pihak yang terlibat dalam layanan pendaftaran tanah. Aturan yang jelas
tentang perilaku, otoritas, dan tanggung jawab pegawai dalam birokrasi
pelayanan tersebut juga menjadi dasar operasional. Selain itu, rekrutmen
pegawai untuk pelayanan pendaftaran tanah dilakukan berdasarkan sistem merit,
bukan berdasarkan ikatan kekerabatan.
Perubahan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1998 menjadi PP Nomor 24 Tahun 2016
tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) membawa sejumlah pembaruan penting.
Perubahan tersebut mencakup peningkatan ketentuan terkait usia calon PPAT, yang
kini diwajibkan menjalani masa magang sebelum diangkat, serta perpanjangan masa
kerja PPAT dari yang sebelumnya terbatas hingga usia 65 tahun menjadi 67 tahun.
Selain itu, peraturan baru ini juga memperkenalkan tambahan jenis pemberhentian
bagi PPAT, memperluas wilayah kerja yang semula hanya satu kabupaten/kota
menjadi satu provinsi, serta menambahkan larangan bagi PPAT untuk merangkap
jabatan guna memastikan integritas dan transparansi dalam pelaksanaan tugas.
Aspek
yuridis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tetap mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah. Perubahan
yang diatur dalam peraturan ini sesungguhnya mendorong implementasi sistem
pendaftaran tanah secara online dan pelaksanaan reforma agraria di Kementerian
Agraria dan instansi terkait.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dipahami bahwa pelayanan humanis
dalam pendaftaran tanah oleh PPAT di Kabupaten Ngawi merupakan pelayanan yang
bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilaksanakan secara on
line dengan menerapkan teknologi dalam rangka mewujudkan pelayanan yang
cepat, murah dan sederhana.
Kesimpulan
Penelitian menyimpulkan
bahwa di Kabupaten Ngawi, pelaksanaan tugas
dan kewenangan Camat
yang bertindak sebagai PPAT Sementara telah menjalankan tugasnya berdasarkan
peraturan yang telah ditetapkan, yakni yang tercantum dalam dua regulasi
penting yang mengatur jabatan PPAT yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 dan Peraturan Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006. Dalam proses
pembuatan akta tanah, PPAT di Kabupaten Ngawi mengutamakan layanan yang
humanis, memastikan bahwa tidak ada praktik KKN yang terlibat dalam prosedur
tersebut. Selain itu, pendaftaran tanah kini dilakukan secara online untuk
mempercepat, mempermudah, dan menekan biaya bagi masyarakat yang membutuhkan
layanan tersebut. Melalui teknologi yang diterapkan, tujuan utamanya adalah
memberikan layanan yang lebih efisien, murah, dan sederhana.
BIBLIOGRAFI
Himpunan Peraturan
Jabatan Pembuat Akte Tanah.
Http://www.hukumonline.com,
Kewenangan PPAT, diaskses pada hari Selasa, tanggal, 22 Juni 2021, pukul 21.17
WIB.
Moh. Hatta, 2005. Hukum Tanah Nasional, dalam presfektif Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Yogyakarta:
Penerbit Media Abadi.
Mujiono, 1992. Hukum Agraria, Yogyakarta:
Liberty.
Pasal 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akte
Tanah.
Pasal 37 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Perangin Effendi, 1991. Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang
Praktisi, Jakarta: Penerbit Rajawali Press.
Prasodjo, T. 2016.
Strategi Pembangunan Kualitas Manusia: Suatu Perspektif Administrasi Publik.
Jurnal Ilmu Administrasi Publik-UNM, Vol. 6 (2).
Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian
Hukum dan Jurimentri, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ronny Hanitijo
Soemitro. 1990. Metode Penelitian Dan Hukum dan Yurimetri. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Ryan Alfi
Syahri, Perlindungan Hukum
Kepemilikan Hak Atas Tanah, Jurnal Ilmu
Hukum Legal Opinion Edisi 5, Volume 2, Tahun 2014, hal.10
Utrecht, 1987. Pembaharuan
Hubungan di Indonesia, Bandung: Politis.
Copyright
holder: Bima Yuda Prakoso, Harun, Rizka (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |
[1] Moh. Hatta, Hukum Tanah Nasional, dalam
presfektif Negara Kesatuan Republik Indonesia, 2005, Media Abadi,
Yogyakarta. Hal 4
[2] Perangin Effendi,
Hukum Agraria di Indonesia, Suatu
Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi, Rajawali Press, Jakarta. 1991, hal 5
[3] Ronny Hanitijo Soemitro,
Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal
78
[4] Mujiono, Hukum
Agraria, Liberty, Yogyakarta 1992, hal.
24
[5] Utrecht, Pembaharuan Hubungan di Indonesia,
Politis Bandung, 1987, hal. 5
[6] Ryan Alfi Syahri,
Perlindungan Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 5, Volume 2,
Tahun 2014, hal.10
[7] Lihat Pasal 37 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
[8] Lihat Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998, Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
[9] Himpunan Peraturan Jabatan Penbuat
Akte Tanah, Ibid, hal. 41
[10] http://www.hukumonline.com,
Kewenangan PPAT, diaskses pada hari Selasa, tanggal, 22 Juni 2021, pukul 21.17
WIB.
[11] Prasodjo, T. (2016). Strategi
Pembangunan Kualitas Manusia: Suatu Perspektif Administrasi Publik. Jurnal Ilmu Administrasi
Publik-UNM, Vol. 6 (2), hal. 48