Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia �p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
INTERAKSI
SIMBOLIK MEMBANGUN KOMUNIKASI DALAM PENANAMAN NASIONALISME INDONESIA DI PAPUA
Sat
Hari Wibowo, Jamalullail, Frengki Napitupulu
Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Sekolah
Pascasarjana, Universitas Sahid Jakarta, Indonesia
E-mail: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Papua memiliki riwayat konflik
berkepanjangan dimulai sejak awal berdirinya RI sebagai suatu negara merdeka
dan berdaulat penuh hingga pada masa pembangunan saat ini, konflik terjadi
akibat dari keinginan Kerajaan Belanda untuk tetap menguasai wilayah Indonesia
menjadi bagian dari negaranya, Papua sebelumnya dibawah kekuasaan kerajaan Belanda
di wilayah Hindia Belanda yang terakhir bergabung kedalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui konfrotasi fisik dengan pengerahan kekuatan
bersenjata maupun konfontasi komunikasi melalui langkah-langkah diplomasi
kenegaraan. Penelitian ini mengkaji tentang peristiwa komunikasi yang terjadi
di Papua dimana melalui komunikasi yang dijalankan oleh prajurit TNI AD baik
secara pribadi indifidu maupun secara kesatuan dalam upayanya mengembalikan
anak bangsa kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa
komunikasi yang dibahas merupakan komunikasi sebagai praktek nyata dalam
kehidupan prajurit TNI AD ketika melaksanakan interaksi sosial dengan
masyarakat Papua, yang memiliki latar belakang yang berbeda terutama latar
belakang budaya yang akan dipadukan dengan teori komunikasi sehingga menjadi
suatu karya yang bermanfaat sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas pembinaan
territorial di daerah rawan Papua. Komunikasi melalui Interaksi sosial
dilakukan dengan menggunakan symbol symbol verbal yaitu melalui penyampaian
pesan dengan symbol symbol bahasa kata kata langsung kepada masyarakat maupun
secara non verbal dengan memperhatikan symbol symbol yang berlaku dalam
masyarakat. Simbol simbol yang digunakan baik melalui symbol keagamaan Nasrani
yang memiliki penganut terbesar di daerah tersebut, symbol symbol yang berlaku
dalam masyarakat adat maupun symbol symbol kebersamaan.
Kata Kunci :
Interaksi, Simbolik, Komunikasi, Nasionalisme.
Abstract
Papua
has a history of prolonged conflicts starting from the beginning of the
establishment of Indonesia as an independent and fully sovereign state until
the current development period, conflicts occurred as a result of the desire of
the Kingdom of the Netherlands to keep control of Indonesian territory as part
of its country, Papua was previously under the rule of the Dutch kingdom in the
Dutch East Indies region which last joined the territory of the Unitary State
of the Republic of Indonesia through physical confrontation with the deployment
of force armed and confrontational communication through state diplomacy
measures. This study examines communication events that occurred in Papua where
through communication carried out by TNI Army soldiers both individually and
individually and as a unit in an effort to return the nation's children to the
lap of the Unitary State of the Republic of Indonesia. The communication events
discussed are communication as a real practice in the lives of TNI AD soldiers
when carrying out social interactions with the Papuan people, who have
different backgrounds, especially cultural backgrounds that will be combined
with communication theory so that it becomes a useful work as a guide in the
implementation of territorial development tasks in Papua's vulnerable areas.
Communication through social interaction is carried out using verbal symbols,
namely through the delivery of messages with symbols, symbols, language, words,
directly to the community and non-verbally by paying attention to the symbols
that apply in society. Symbols are used both through Christian religious
symbols that have the largest adherents in the area, symbols that apply in
indigenous peoples and symbols of togetherness.�
Keywords: Symbolic, Interaction, Communication,
Nasionalism.
Pendahuluan
Papua
memiliki riwayat konflik berkepanjangan dimulai sejak awal berdirinya RI
sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat penuh hingga pada masa pembangunan
saat ini, konflik terjadi akibat dari keinginan Kerajaan Belanda untuk tetap
menguasai wilayah Indonesia menjadi bagian dari negaranya, Papua sebelumnya
dibawah kekuasaan kerajaan Belanda di wilayah Hindia Belanda yang terakhir
bergabung kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui konfrotasi
fisik dengan pengerahan kekuatan bersenjata maupun konfontasi komunikasi
melalui langkah-langkah diplomasi kenegaraan. Konflik Papua merupakan konflik
politik dan keamanan sebagai warisan permasalahan yang ditinggalkan oleh Belanda,
kelompok elit politik orang asli Papua pada saat itu dijanjikan untuk
mendapatkan jabatan politik dalam negara boneka Papua, diawali dengan
didirikannya Dewan Papua (Niuew
Gueinea Raad) sebagai persiapan pendirian sebuah negara. Akibat
dari pemberdayaan dibidang politik dan pemerintahan oleh Belanda untuk
menyiapkan berdirinya suatu negara boneka Papua, berkembang menjadi gerakan
separatis OPM, baik melalui kegiatan politik maupun kelompok bersenjata, dalam
gerakannya sering kali menimbulkan korban serta mengakibatkan disintegrasi
nasional.
Penelitian
ini akan mengkaji tentang peristiwa komunikasi yang terjadi di Papua dimana
melalui komunikasi yang dijalankan oleh prajurit TNI AD baik secara pribadi
indifidu maupun secara kesatuan dalam upayanya mengembalikan anak bangsa
kedalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komunikasi melalui
interaksi simbolik dalam menanamkan nasionalisme kebangsaan Indonesia pada
masyarakat Papua yang memiliki latar belakang budaya dan etnis yang berbeda tersebut
mampu mengajak masyarakat yang memiliki ideologi separatis organisasi papua
merdeka untuk kembali ke pangkuan NKRI dengan menyerahkan 30 pucuk senjata
tanpa adanya pertumpahan darah. Komunikasi yang dilaksanakan serta adanya
fenomena kembalinya kelompok masyarakat pendukung OPM kedalam pangkuan NKRI
tersebut menarik untuk dilakukan penelitian, dengan pertanyaan penelitian dengan
Batasan sebagai berikut : Bagaimana komunikasi interaksi
simbolik menanamkan nasionalisme kebangsaan Indonesia pada masyarakat Papua ?,
Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
komunikasi melalui interaksi simbolik ditengah perbedaan budaya dan agama
masyarakat ?
Metode
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif, penelitian kualitatif menurut
(Anderson, 2010) meliputi mengumpulkan, menganalisis, dan meng-interpretasi
data yang tidak mudah direduksi menjadi angka. Ali and Yusof (2011) menambahkan
bahwa penelitian apa pun yang tidak menggunakan prosedur statistik disebut
"kualitatif". Lebih lanjut Creswell, (2014:32) mengemukakan bahwa
penelitian kualitatif adalah pendekatan untuk mengeksplorasi dan memahami makna
individu atau kelompok yang berkaitan dengan masalah sosial atau manusia. Ini
berarti bahwa penelitian kualitatif mempelajari budaya suatu kelompok dan
mengidentifikasi bagaimana perkembangan pola perilaku penduduk dari waktu ke
waktu. Mengamati perilaku masyarakat dan keterlibatannya dalam kegiatan
tersebut menjadi salah satu elemen kunci dari pengumpulan data. Penelitian ini
untuk memahami interasi sosial indifidu maupun satuan atau kelompok dalam
menyampaikan pesan wawasan kebangsaan Indonesia untuk mengembalikan masyarakat
sadar menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Hasil
dan Pembahasan
Sejarah panjang Papua menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari NKRI diawali sejak berdirinya bangsa Indonesia sebagai suatu
negara yang merdeka berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan RI yang dikumandangkan
oleh Dwitunggal Soekarno Hatta sama dengan wilayah wilayah lain yang bergolak
untuk mempertahankan kemerdekaan. Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia
berkumandang dan sampai di Papua, pengenalan wawasan kebangsaan Indonesia sudah
ditanamkan oleh seorang pendidik Sekolah Pendidikan Pamong Praja Pribumi (OSIBA-
Opleidings School Voor Inheemse Bestuurs Ambtenaren) Soegoro Atmoprasodjo. Sugoro
yang setia kepada perjuangannya selalu menanamkan sikap nasional kepada
siswa-siswa sekolah kursus pamong praja. ''Diantara orang-orang lrian yang
menjadi siswa kursus tersebut adalah Markus Kaisiepo. Frans Kaisiepo, Nicolas
Youwe, Lukas Rumkorem, Silas Papare. dilain pihak pada batalyon Papua terdapat
Marthin Indey". Melalui sekolah inilah melahirkan tokoh-tokoh nasionalisme
Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari Hindia Belanda dengan
melakukan Gerakan gerakan perlawanan melalui jalur politik dengan mendirikan
partai politik seperti Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) maupun Gerakan
pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Selain itu juga adanya penanaman Nasionlisme
Papua oleh Van Eechoud yang merupakan pendiri OSIBA. Kondisi
tersebut menunjukkan adanya perang Komunikasi, yaitu adanya perebutan pengaruh
dalam penyampaian pesan, dimana dua pesan yang berbeda maksud dan
kepentingannya disampaikan pada satu tempat dan dalam waktu yang bersamaan.
Papua Merdeka Sebuah Masalah
Sejak pengakuan kedaulatan Indonesia 27 Desember 1949,
Hollandia sekarang adalah Jayapura menjadi tujuan utama keturunan Belanda yang
eksodus dari wilayah Indonesia yang merdeka. Pada mulanya usaha Belanda untuk
mempertahankan Papua sebagai bagian dari koloni Hindia Timurnya ini didasarkan
pada keinginan untuk mencadangkan Papua sebagai tempat pemukiman kembali kaum
Indo-Belanda yang ingin mencari tanah air baru. Papua bahkan tidak cuma
dicita-citakan sebagai tempat pemukiman kembali kaum Indo, tapi juga bagi para
imigran Belanda Totok dari kampung halaman mereka yang sudah terancam peledakan
penduduk. Para keturunan Belanda ini kemudian beradaptasi dengan lingkungan
Hollandia dan memanfaatkan orang-orang Papua sebagai tenaga kerja mereka
(Aditjondro, 2001: xvii). Pemukiman keturunan Belanda di Hollandia diatur oleh
ALKOL (Algemene Leider van de Kolonisatie: asisten residen urusan migrasi). Belanda
memperjelas status Irian Barat menjadi bagian dari wilayahnya dengan membentuk
pemerintahan tersendiri serta mendirikan badan badan pemerintahan serta partai
partai politik yang beranggotakan masyarakat asli Irian Barat sebagai persiapan
untuk melakukan Self determination ketika wilayah tersebut masih dibawah
kekuasaan Belanda.
Pemerintah Belanda mengambil langkah langkah untuk
mempercepat proses self determination sebagai perlawanan terhadap Indonesia,
dalam disertasi Bernarda Beteray dengan judul Penyemaian Dua Nasionalisme:
Papua dan Indonesia di Nederlands Nieuw Guinea pada masa pemerintahan Belanda,
1925-1962 melalui Program Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun untuk menyiapkan
masyarakat Papua dalam self determination. Program Rencana Pembangunan Sepuluh
Tahun yang diluncurkan Pemerintah Belanda pada 5 April 1960 diantaranya: Pembentukan
Dewan Papua yang memiliki kekuatan, yang kemudian akan diperluas sebagai embrio
parlemen di wilayah ini serta pembentukan pasukan sukarelawan Papua untuk
membantu polisi.
Pembentukan
Dewan Nugini oleh pemerintah Belanda dengan alasan sebagai sarana untuk
pembangunan politik masyarakat Irian Barat, langkah tersebut sebagai wujud
perlawanan terhadap hasil KMB dengan membangkitkan nasionalisme Papua yang pada
dasarnya arah tujuannya untuk membangkitkan perlawanan masyarakat Papua
terhadap Indonesia. Korps Relawan Papua (PVK ; Papoea
Vrijwilligers Korps) dibentuk pada tanggal
21 Februari 1961 untuk membantu Belanda dalam mempertahankan Irian Barat
dari penyusupan militer Indonesia PVK terdiri dari penduduk Papua dari berbagai
macam suku. PVK dipersenjatai dan para anggotanya mengenakan seragam khaki dan
topi yang miring ke kiri atas; topi tersebut dihiasi lambang PVK dan bulu
burung. Setelah kekuasaan atas Irian Barat diserahkan ke Indonesia, mantan
anggota PVK bergabung dengan masyarakat sipil untuk melakukan pemberontakan
yang pada akhirnya menjadi suatu gerakan separatis bersenjata yang disebut
dengan Organisasi Papua Merdeka yang saat ini makin eksis.
Pada hari Kamis tanggal 17 Agustus 2017, bertepatan HUT
Kemerdekaan RI ke-72, sebanyak 77 orang mantan anggota Organisasi Papua Merdeka
(OPM) di Kabupaten Kepulauan Yapen turun gunung dan menyatakan kembali ke NKRI.
Mantan anggota OPM ini bersama 300 simpatisan OPM menyatakan ikrar kesetiaan
kepada NKRI yang disampaikan di hadapan Danrem 173/PVB, Brigjen TNI I Nyoman
Cantiasa di Kampung Wadapi, Distrik Persiapan Wadimomi, Kabupaten Kepulauan
Yapen. Anggota OPM yang menyerahkan diri ini berasal dari dua kelompok. Yakni
kelompok TPN-OPM wilayah Yapen Timur pimpinan Kris Nussy Sineri alias Coromis
dan kelompok TPN-OPM wilayah Yapen Utara pimpinan almarhum Maikel Marani.
Selain menyatakan ikrar setia kepada NKRI, 77 orang anggota OPM ini juga
menyerahkan 32 pucuk senjata api dan satu bendera Bintang Kejora yang
diserahkan secara simbolis oleh Kris Nussy Sineri alias Coromis kepada Danrem
173/PVB, Brigjen TNI I Nyoman Cantiasa. Dalam penyerahan tersebut pimpinan
TPN-OPM wilayah Yapen Timur, Kris Nussy Sineri menyerahkan dua pucuk pistol
organik miliknya kepada Danrem 173/PVB.
Berdasarkan
teori interaksi simbolik Blumer yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari
gagasan Mead dihadapkan pada adanya data tersebut diatas dapat diuraikan sebagai
berikut; Self (konsep diri) Dalam konteks penelitian ini menunjukkan
bahwa Komunikan yang merupakan prajurit TNI AD sebelumnya merupakan warga
negara biasa yang secara sadar mengembangkan dirinya dengan bergabung menjadi
anggota TNI. Dalam penelitian yang dilakukan oleh DR. Muhadjir Effendy, M.AP,
menemukan bahwa faktor penting yang membentuk seseorang untuk menjadi anggota
TNI adalah significant other, yaitu sosok atau orang yang sangat berarti
bagi dirinya. Di dalam masa pendidikan tentunya kemiliteran memiliki ciri khas
khusus yang berbeda dengan lembaga lainnya yaitu gaya komunikasi yang
menekankan non verbal secara tegas, lugas dan bersuara lantang. Itu merupakan
gaya komunikasi yang memang sudah dimiliki militer sejak dulu. Interaksi dengan
gaya seperti itu dapat mempengaruhi pemaknaan simbol dan internalisasi seorang
anggota TNI. Gaya komunikasi seperti itu bahkan dapat membentuk jati diri
seseorang.
Dalam
pasal 2 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa Jati Diri TNI
sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara
professional, Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga
negara Indonesia; Tentara pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam
melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya; Tentara Nasional, yaitu tentara
kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara dan di atas
kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama; dan Tentara Profesional,
yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak
berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta
mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi
sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional
yang telah diratifikasi.
Dalam
penelitian ini pengungkapan jadi diri sebagai tentara rakyat terlihat secara
jelas melalui berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh pimpinan maupun seluruh
anggota dalam kehidupan kemasyarakatan di Kabupaten Kepulauan Yapen propinsi
Papua. Undangan kegiatan kemasyarakatan maupun yang sifatnya keagamaan selalu
dihadiri secara langsung bersama sama dengan anggota, walaupun kadang kadang
tempat yang akan dituju membutuhkan perjuangan tersendiri untuk mencapai tempat
tersebut, selain rawan keamanan dimana masih terdapat anggota OPM , juga rawan
geografis yang sulit untuk ditempuh dengan kendaraan biasa. Kegiatan yang
dilaksanakan terlihat adanya kebersamaan antara anggota TNI dengan masyarakat
Papua, tanpa membedakan mereka makan bersama sama dengan hidangan yang sama di
tempat yang sama juga, selain itu juga ditunjukkan melalui kegiatan sehari hari
bersama masyarakat dengan makan pinang bersama dimanapun berada.
Dalam
penelitian ini mengungkapkan jadi diri sebagai tentara pejuang melalui berbagai
kegiatan yang dilaksanakan, baik dalam kegiatan sosial kemasyarakatan maupun
kegiataan dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya. Walaupun secara tegas
dinyatakan bahwa tidak ada operasi militer di daerah rawan Papua, namun dalam
kenyataannya berbagai macam operasi digelar di wilayah Papua dimulai dari
operasi pengamanan perbatasan, operasi pengamanan pulau terluar hingga pada
operasi pengamanan daerah rawan Papua. Kegiatan interaksi sosial kemasyarakatan
yang dilakukan hingga pelosok kabupaten bahkan pelaksanaan prosesi penyerahan
diri melalui ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatua Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 2017 tidak didukung anggaran sama sekali, hal ini
menunjukkan adanya implementasi dari jati diri TNI sebagai prajurit pejuang
dimana seluruh anggota rela mengorbankan waktu dan tenaganya demi kepentingan
masyarakat bangsa dan negara sehingga kegiatan dapat berlangsung hingga sukses.
Tentara
Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan
negara dan di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama. Prajurit
TNI memiliki anggota dengan berbagai macam latar belakang daerah, suku, ras dan
golongan agama dari Sabang hingga Merauke, namun keberagaman tersebut bukan
menjadikan suatu masalah untuk komando dan pengendalian dalam mencapai
keberhasilan tugas pokok. Keberagaman yang ada justru menjadi kekuatan karena
adanya kesadaran jati dirinya sebagai tentara nasional yang melekat di dada
kirinya bukanlah tentara Jawa, Sumatra ataupun Papua, namun sebagai Tentara
Nasional Indonesia.
Jati
diri sebagai tentara profesional merupakan suatu tuntutan sebagai organ vital
dari suatu negara yang harus menjalankan tugasnya secara profesional sebagai
konsekwensinya harus berani mati dalam menjaga kedaulatan negara secara penuh.
Sikap profesional ini seringkali dilihat bahwa prajurit itu keras dan tegas,
kondisi ini sebagai akibat dari adanya kekerasan dalam pendidikan militer untuk
melatih kekuatan fisik maupun kekuatan naluri dalam mempertahankan hidupnya
dalam kondisi terjelek sekalipun. Kekerasan tidak selalu diperankan oleh TNI
dalam menjalankan tugasnya, melalui bekal ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya
ilmu komunikasi, TNI menghadapi ancaman dengan prinsip menang tidak harus
menyerang dan menghancurkan, menang tidak harus mengalahkan. Hal ini
dilaksanakan oleh Kodim 1709/ Yapen Waropen dalam menghadapi kelompok kelompok
sparatis bersenjata maupun kelompok politik OPM yang berada di wilayahnya,
memenangkan dengan cara memenangkan hati dan pikiran rakyat sehingga dengan
suka rela kembali ke dalam pangkuan NKRI.
Action
(konsep perbuatan), Setiap masyarakat baik yang secara sukarela maupun secara
terpaksa karena adanya kondisi yang mengharuskan mereka bermukim dan tinggal di
Papua bersama sama dengan masyarakat lainnya menyadari kondisi yang
dihadapinya. Mereka menyadari berbagai permasalahan yang akan dihadapi menjadi
bagian dari masyarakat papua, terlebih lagi bagi masyarakat pendatang yang
memiliki latar belakang suku dan ras yang berbeda dengan penduduk asli
tersebut. Karena sadar akan situasi yang dihadapi dalam menjalani kehidupan
dalam lingkungan masyarakat tersebut, indifidu yang secara sadar memasuki
wilayah Papua berusaha merancang apa yang harus dilakukan agar tidak terbawa
dalam situasi namun bisa mengendalikan dirinya sehingga bisa bertahan samapai
dengan sekarang ini. Kondisi tersebut diatas juga berlaku secara umum termasuk
kepada prajurit TNI AD khususnya anggota Kodim 1709/Yapen Waropen masing masing
anggota secara indifidu melakukan rancangan rancangan Tindakan agar tidak
terbawa dalam situasi setempat sehingga dapat menjalani kehidupan dalam
hubungannya dengan organisasi satuan yang menaunginya maupun dengan masyarakat.
Secara satuan organisasi demikian juga harus segera mempelajari untuk dapat
melakukan Tindakan-tindakan yang menguntuntungkan bagi kelangsungan hidup
organisasi maupun dalam rangka mencapai keberhasilan tugas pokok. Perkembangan
situasi yang terjadi dalam lingkungan wilayah tugasnya senantiasa dipantau pada
setiap bidang kehidupan baik sosial budaya , politik, hukum bahkan geografi
dilakukan pengamatan serta Analisa kemungkinan perkembangannya sehingga dapat
menentukan cara bertindak yang terbaik.
Object
(konsep objek). Papua dengan kekhasan budayanya banyak terdapat obyek yang
memiliki makna sebagai interaksi simbolik, dalam penelitian ini terdapat
beberapa obyek diantaranya obyek fisik berupa noken, kalau di daerah lain
maknanya hanya merupakan sebuah tas pada umumnya untuk menyimpan sesuatu. Noken
seringkali dipakai dalam upacara-upacara adat atau perayaan seperti
pengangkatan kepala suku, penyimpanan harta pusaka, upacara perkawinan, upacara
inisiasi anak, menyambut kedatangan tamu, dengan menggunakan pakaian adat dan
tarian adat, noken dikalungkan ke tamu. Dalam Ikrar kesetiaan kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan oleh mantan anggota TPN/OPM di
Wadapi pada saat itu juga menggunakan noken sebagai tempat bendera OPM dan dua
buah pistol pabrikan yang dikalungkan ke Danrem 173/PVB Brigjen TNI I Nyoman
Chantiasa.
Obyek
fisik berikutnya adalah pinang, mengkonsumsi buah pinang dalam kehidupan sehari
hari merupakan suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku umum masyarakat Papua,
dilakukan oleh semua orang baik anak anak maupun dewasa, laki laki maupun
perempuan, masyarakat dengan kedudukan status sosial tinggi maupun masyarakat
biasa. Yuliana dalam disertasi dengan judul Pinang dalam kehidupan Orang Papua
di Kota Jayapura (2018) membuat kesimpulan diantaranya, Pinang yang dipahami
sebagai kebersamaan diartikan pula sebagai �buah pengikat hubungan� sesama
orang Papua, terutama untuk menciptakan suasana keakraban yang harmonis. Dalam
kenyataan hidup sehari-hari, orang Papua di setiap perjumpaan terdapat model
komunikasi yang merupakan bagian dari interaksi simbolik yang bernilai positif
yaitu adanya keinginan untuk selalu berbagi secara spontan (memberi dan
menawarkan pinang). Selain itu pinang juga bagi orang Papua dipahami sebagai
buah yang memiliki fungsi integrasi dan fungsi politik. Objek fisik berikutnya
adalah Alkitab, Alkitab adalah kitab suci yang diinspirasikan/diilhamkan Allah
kepada para penulis sehingga mereka menulis kitab suci sesuai dengan keinginan
Allah tanpa salah secara keseluruhannya. Bukan hanya dalam bentuk pikiran,
tetapi juga kata-katanya adalah pilihan Allah secara sempurna. Alkitab adalah
salah satu bentuk penyataan diri Allah bagi manusia. Oleh karena itu Alkitab
sebagai symbol Kekristenan sangat penting keberadaannya dalam masyarakat Papua.
Objek
lain yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan masyarakat Papua diantaranya
Pendeta yang merupakan obyek sosial, Pendeta beserta rohaniawan Kristen lainnya
mempunyai peran sangat penting dalam kehidupan masyarakat Papua. Pemerintah
memerlukan peran para pendeta untuk menjadi faktor pengungkit bagi pertumbuhan
di sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan di Papua karena pendeta menjadi
pusat kepercayaan publik, rakyat yakin dan percaya pada pendeta dan pemuka
agama. Kelebihan dari pendeta kita adalah mereka bukan hanya sekedar
mengajarkan agama, tapi juga peduli dengan isu pendidikan, Kesehatan dan
ekonomi kerakyatan. Selain itu terdapat juga obyek abstrak yang berkaitan
dengan upaya interaksi sosial masyarakat Papua, diantaranya adanya adat
istiadat masyarakat Papua yang merupakan kebiasaan yang dilakukan secara turun
menurut dan dilakukan terus menerus. Adat istiadat tersebut adakalanya juga
yang bersifat magis yang merupakan larangan larangan atau merupakan pantangan
apabila dilakukan, serta kegiatan kegiatan dalam menghadapi kemungkinan adanya
bencana selalu dikaitkan dengan hal magis. Acara acara penting yang dilakukan
pada lingkungan masyarakat selalu diiringi dengan prosesi ada yang melibatkan
obyek obyek fisik seperti pinang dan noken dalam prosesinya.
Social Interaction
(konsep interaksi sosial) Dalam penelitian ini, interaksi sosial yang dilakukan
diantaranya melalui pendekatan keagamaan, dengan mengambil momen perayaan
keagamaan yaitu perayaan hari Pentakosta yang dilaksanakan oleh seluruh Gereja
di Papua dari Gereja di perkotaan hingga pedalaman menyambutnya dengan
sukacita. Personil Kodim 1709/Yapen Waropen dipimpin oleh Komandan Kodim
memilih beribadah di Gereja GKI Ora Et Labora Kampung Sasawa Distrik Yapen
Barat pada hari Senin 16 Mei 2016 yang merupakan basis TPN OPM dibawah pimpinan
Fernando Worobai, saat itu merupakan kelompok terbesar di wilayah Kabupaten
Kepulauan Yapen.
Pesan
secara verbal yang disampaikan di pedalaman Papua tersebut pada kenyataannya
bukan hanya didengar sebatas tembok gereja saja namun juga menyebar ke seluruh
wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen, serta daerah lainnya hal ini tidak lepas
dari peran wartawan yang mengiringi perjalan Dandim 1709. Pesan perdamaian dan
kasih yang disampaikan bukan hanya dalam bentuk verbal dengan merangkaikan simbol
simbol bahasa, yaitu kata kata kedalam kalimat yang menyejukkan dan mengajak
secara langsung serta dengan mengutip ayat ayat dalam Alkitab, namun juga
dilakukan secara non verbal. Komunikasi secara non verbal ditunjukkan dimulai
dari perjalanan hingga di daerah kegiatan yang sama sekali tidak memperlihatkan
pengawalan yang ketat dan bergabung bersama sama dengan masyarakat untuk
ibadah, menunjukkan bahwa kedatangan pimpinan TNI AD kali ini membawa pesan perdamaian
dan kasih, hingga koran Cenderawasih Pos saat itu mengekpos dengan judul
�Bersenjatakan Alkitab dalam Noken, Dandim Yawa masuk sarang OPM�.
Interaksi
Simbolik dengan mengadopsi simbol simbol keagamaan dilakukan oleh Kodim
1709/Yapen Waropen pada setiap momen perayaan keagamaan, termasuk menjelang
perayaan Natal, Kodim 1709 mengadakan bulan kasih dan pawai Santa Claus di
Kabupaten Kepulauan Yapen. Bulan Kasih dilaksanakan bukan hanya diikuti oleh
gereja gereja ataupun masyarakat Nasrani saja, namun organisasi keagamaan
lainnya bergabung bersama sama dalam sebuah kegiatan parade Santa Claus
tersebut. Seperti halnya tradisi Santa Claus yang selalu membagikan hadiah
kepada anak anak, demikian juga dalam acara Bulan Kasih, Kodim 1709 membagikan
bingkisan kepada anak anak, bukan hanya di daerah pelaksanaan parade, pembagian
dilaksanakan hingga ke daerah wilayah Kampung Wadapi Distrik Angkaisera
Kabupaten Kepulauan Yapen yang merupakan daerah dibawah pengaruh TPN OPM Yapen
Timur.
Komunikasi
secara non verbal dengan mengangkat simbol simbol keagamaan juga dilakukan pada
saat menerima John Mansai anggota kelompok TPN OPM dari wilayah Wadapi
Kabupaten Kepulauan Yapen yang memilih kembali ke pangkuan NKRI. Dalam
kesempatan tersebut Dandim 1709/Yawa menyampaian pesan sebagai berikut ; �Apa
yang menjadi aspirasi John Mansai akan kami perhatikan, untuk itu, mari kita
bersama-sama bergandengan tangan, kita satukan tekad membangun tanah Papua yang
kita cintai ini, agar anak cucu serta generasi penerus kita dapat menjadi
generasi yang membanggakan bagi Papua,". Selain menyampaikan secara
langsung, secara non verbal dihadapan pemuka agama Kristen Pendeta Martinus
Matinori dan aparat keamanan yang sempat hadir pada saat itu, Dandim 1709/Yawa
, menyerahkan Alkitab yang dicetak khusus dengan menggunakan sampul loreng ciri
khas TNI.
Penanaman
wawasan kebangsaan Indonesia terus dilakukan bukan hanya di perkotaan, dalam
setiap kunjungan kerjanya ke wilayah satuan jajarannya, Komandan Kodim
1709/Yapen Waropen menyempatkan diri untuk mengunjungi sekolah di wilayah
tersebut dengan maksud menanamkan wawasan kebangsaan Indonesia. Dalam
kesempatan itu Dandim menyampaikan �Pembekalan
Materi Wawasan Kebangsaan agar adek-adek dapat mengetahui keindahan Indonesia
dengan kehidupan yang berpedoman kepada Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila yang
menjadi dasar dari negara kita, sehingga kita semua dapat hidup berdampingan
dengan damai serta terhindar dari isu-isu serta polemik yang akan memutuskan
tali persaudaraan dan persatuan kita sebagai penerus masa depan Bangsa
Indonesia�. Dalam acara tersebut juga dilakukan pembagian alat tulis kepada
para peserta, yang menarik dalam kegiatan tersebut, alat tulis yang dibagikan
dengan sampul khusus mengenalkan simbol simbol kebangsaan Indonesia yaitu
Bendera kebangsaan Indonesia Bendera Merah Putih, Lambang Negara dan teks
ideologi negara Pancasila serta foto Presiden dan wakil Presiden pada saat itu.
Interaksi
sosial dengan menggunakan simbol simbol yang yang berlaku di dalam masyarakat
adat Papua juga digunakan dalam melakukan komunikasi dengan masyarakat pada semua
tingkatan masyarakat, penggunaan tas rajutan atau lebih dikenal dengan Noken
yang biasa dipakai oleh masyarakat juga digunakan oleh Komandan dan anggota
jajaranya. Noken yang merupakan tas rajutan yang biasa saja diadopsi dan
digunakan untuk mengenalkan wawasan kebangsaan, melalui keterampilan istri yang
merupakan anggota Persit membuat Noken dengan menempelkan atribut kebangsaan
Indonesia yaitu Bendera Merah Putih, hingga akhirnya seluruh pejabat di
Kabupaten Kepulauan memesan Noken dengan konsep yang sama untuk digunakan.
Selain Noken, kebiasaan makan pinang pada saat berkumpul dengan masyarakat adat
Papua juga diikuti oleh seluruh prajurit dalam setiap kegiatan tidak lupa
membawa buah pinang untuk dimakan bersama sebagai sarana kontak untuk menjalin
kebersamaan.
Joint
Action (tindakan bersama) Interaksi sosial yang
dilakukan baik antara indifidu anggota Kodim 1709/ Yapen Waropen yang bertugas
sebagai Babinsa di wilayah tersebut maupun anggota yang juga merupakan anggota
masyarakat setempat maupun secara satuan dengan kelompok masyarakat pendukung
OPM memunculkan suatu reaksi. Reaksi yang timbul sebagai akibat dari hubungan
tersebut mengakibatkan suatu tindakan yang lebih luas melalui penyesuaian dari
berbagai ide wawasan kebangsaan Indonesia yang menimbulkan keserasian serta
mengalami penyatuan ide untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Penyatuan
ide hinggga terjadi suatu tindakan bersama tersebut melalui proses yang panjang
serta mengalami berbagai hambatan dan tantangan yang tidak sedikit, namun
dengan kesamaan ide tersebut maka terjadi Tindakan bersama dalam bentuk Ikrar
Kesetian kepada NKRI pada tanggal 17 Agustus 2017
Faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan komunikasi melalui interaksi simbolik
Penelitian
ini dapat melihat berbagai factor yang mempengaruhi keberhasilan komunikan
dalam melakukan komunikasi diantaranya; Pertama, bahwa komunikan berhasil
menerapkan peran diri dalam setiap interaksi sosialnya, komunikan menyadari
peran dirinya sebagai seorang prajurit mempunya jati diri serta kode etik dalam
menjalani tugas profesinya maupun saat melaksanakan interaksi sosial dengan
masyarakat. Dengan menyadari jadi dirinya sebagai seorang prajurit TNI serta
menjadikan kode etik menjadi pedoman dalam menjalin hubungan dengan masyarakat
baik dalam rangkaian pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan organisasi maupun
dalam kehidupan sehari harinya akan memudahkan dalam melakukan komunikasi.
Prajurit TNI yang terkenal dengan kekerasan serta ketegasannya dapat bersikap
luwes dan ramah karena melaksanakan Sapta Marga dalam menjalin interaksi sosial
masyarakat asli Papua.
Kedua,
rasa percaya diri dari komunikator hal ini tidak lepas dari pengalaman
penugasan yang dialami oleh subyek penelitian dimana sebagian besar anggota
Kodim 1709/Yapen Waropen memiliki masa dinas yang sudah lama sehingga memiliki
kedewasaan dalam bertindak. Kepercayaan diri juga dikarenakan penguasaan
terhadap materi yang disampaikan kepada masyarakat, materi wawasan kebangsaan
Indonesia serta ajakan persatuan dan kesatuan bangsa senantiasa menjadi bekal
secara rutin kepada seluruh anggota pada setiap jam komandan. Kemampuan berbicara
dalam menjalin komunikasi juga bisa menjadi bekal dalam interaksi dengan
masyarakat yang akan semakin menjadikan prajurit untuk percaya diri.
Ketiga,
kedekatan antara Komunikator dan obyek komunikasi. Kedekatan tersebut bukan
begitu saja didapatkan karena tidak ada hubungan kesamaan suku apalagi hubungan
darah, kedekatan tersebut didapat melalui proses yang panjang diawali dengan
memperhatikan symbol symbol yang berlaku dalam masyarakat adat tersebut
dijadikan pedoman dalam setiap langkah interaksi sosial. Pemahaman akan symbol
symbol yang berlaku dan memadukan dengan symbol symbol wawasan kebangsaan
Indonesia memudahkan interaksi sosial masyarakat sehingga tumbuh saling percaya
dikarenakan adanya penghormatan terhadap budaya yang berlaku.
Keempat,
Fokus pada pesan yang disampaikan. Fokus akan pesan yang disampaikan merupakan
poin yang sangat penting dalam setiap pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan
dengan hasil yang maksimal. Hal ini perlu dipedomani terutama dalam pelaksanaan
tugas di Papua yang terkenal akan kekayaan alamnya yang masih sangat besar yang
bisa mengakibatkan mengaburkan tujuan utama dalam pelaksanaan tugas, bukan
tugas pokok yang dijalannya justru hal lain yang tidak ada kaitannya
diutamakan. Fokus pada pesan yang ingin disampaikan akan memudahkan bagi
penerima pesan untuk memahami keinginan dan harapan dari penyampai pesan, dalam
penelitian ini pesan wawasan kebangsaan Indonesia diterima dan dinyatakan
melalui ikrar kesetiaan kepada NKRI karena pesan itu disampaikan dengan
kesungguhan karena fokus.
Kelima,
pandangan positif. Pandangan yang positif masyarakat Papua terhadap TNI AD
dalam hal ini Kodim 1709/Yapen Waropen tidak lepas dari upaya pemberdayaan
masyarkat yang dilakukan melalui pendekatan pendekatan sosial baik melalui
program seperti TNI Manunggal Membangun Desa ( TMMD ) maupun karya bhakti.
Pandangan positif tersebut juga tumbuh dengan kegiatan sosial lainnya seperti
pengobatan masal di daerah dibawah pengaruh OPM dengan melibatkan istri istri
prajurit yang mempunyai keahlian dibidang medis baik sebagai dokter maupun
perawat. Kegiatan lainnya juga membantu ekonomi masyarakat dengan melaksanakan
kegiatan pasar murah yang menjual bahan bahan kebutuhan pokjok masyarakat
dengan harga dibawah harga pasaran dan kegiatan itupun melibatkan istri istri
prajurit, hal ini menunjukkan bahwa kehadiran TNI bukan untuk berperang namun,
membawa kedamaian dan kesejahteraan.
Kesimpulan
����������� Gerakan
separatis Organisasi Papua Merdeka sebagai bom waktu yang ditinggalkan oleh
pemerintah Belanda untuk menghadapi gerakan perjuangan Indonesia dalam
mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
konsekwensi dari hasil KMB. Konflik Papua yang awalnya merupakan konflik antara
pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah kerajaan Belanda, setelah
Belanda pergi, konflik berubah antara pemerintah Indonesia melawan kelompok
separatis Organisasi Papua Merdeka. Konflik Papua merupakan masalah nasional
namun ada upaya kelompok organisasi Papua Merdeka untuk mengangkat masalah ini
menjadi masalah Internasional melalui dukungan dari negara negara Pasific maupun
Australi dan Inggris.
����������� Keberhasilan satuan Kodim 1709/Yapen
Waropen untuk mengajak kembali kelompok separatis TPN OPM kembali ke pangkuan
NKRI melalui ikrar setia yang dilakukan pada saat peringatan kemerdekan
Indonesia 17 Agustus 2017 merupakan hasil interaksi sosial yang dibangun.
Interaksi sosial dilakukan dengan menggunakan symbol symbol verbal yaitu
melalui penyampaian pesan dengan symbol symbol bahasa kata kata langsung kepada
masyarakat maupun secara non verbal dengan memperhatikan symbol symbol yang
berlaku dalam masyarakat. Simbol simbol yang digunakan baik melalui symbol
keagamaan Nasrani yang memiliki penganut terbesar di daerah tersebut, symbol
symbol yang berlaku dalam masyarakat adat maupun symbol symbol kebersamaan. Kemampuan
pemahaman terhadap symbol symbol dalam masyarakat merupakan merupakan suatu
factor yang mempengaruhi keberhasilan dalam interaksi simbolik , sehingga dapat
menggunakan symbol tersebut untuk melakukan interaksi sosial bahkan memadukan
dengan symbol identitas nasional. Kemampuan dalam memahami symbol yang berlaku
dalam masyarakat tidak lepas dari lamanya indifidu berinteraksi dengan
masyarakat tersebut, dalam konteks ini komunikator sebelumnya sudah lama
bertugas di Papua sebelum mendapatkan kepercayaan untuk memimpin suatu Komando
Kewilayahan tersebut. Latar belakang pemimpin yang memahami kondisi masyarakat
dengan budayanya yang berbeda memudahkan dalam memahami makna symbol yang
berlaku dalam masyarakat sehingga dapat menggunakan symbol tersebut dalam
melakukan interaksi simbolik.
Komunikator
juga sangat paham terhadap symbol agama Nasrani, dengan latar belakang
pendidikan militer yang menanamkan semangat persatuan dan kesatuan dan
penghormatan terhadap suatu perbedaan melalui pendidikan dalam asrama yang tinggal
bersama dengan perbedaan suku dan agama yang berbeda. Selain itu latar belakang
agama komunikan yang sama dengan mayoritas masyarakat Papua secara tidak
langsung tanpa adanya penyesuaian diri komuniukasi secara verbal maupun non
verbal yang dilakukan dalam merefleksikan symbol symbol yang berlaku di
kalangan Nasrani. Kondisi keluarga juga mendukung dalam pelaksanaan interaksi
sosial dimana istri yang lama tinggal di Papua juga merupakan potensi yang
dapat diberdayakan dalam melakukan interaksi sosial, baik keterampilannya di
bidang Kesehatan maupun komunikasi secara verbal dan non verbal yang dilakukan
sangat dipahami oleh masyarakat Papua.
�
BIBLIOGRAFI
Andi Mirza Ronda. (2018). Tafsir Kontemporer Ilmu Komunikasi, Indigo
Media Tanggerang.
Ahmad. (2020).
Metode Riset Komunikasi, Indigo Media Tanggerang.
Ahmad Fauzi dkk. (2022).
Metodologi Penelitian, Banyumas.
Aman, M.Pd. (2015).
Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan: 1945-1998, Yogyakarta.
Abdul Muhid, dkk. (2020).
Interaksi Simbolik Teori dan Aplikasi dalam Penelitian Pendidikan dan
Psikologi, Madani Malang
Deddy Mulyana. (2016).
Komunikasi Lintas Budaya, PT Remaja Rosdakarya Bandung
Frans Pekey. (2018).
Papua Mencari Jalan Perdamaian, Kompas Jakarta
France. (2018). Otonomi
Khusus Papua, Kompas Jakarta 2018
Frits Bernard
Ramandey. (2007). Irian Barat, Irian Jaya sampai Papua, Aliansi Jurnalistik Independen
Papua Jayapura
George Herbert
Mead. (2018). Mind Self & Sosiety, Forum Jakarta.
Herbert Blumer. (1956).
Symbolic Interactionism, University of California Press London
John Francis
Saltford BA, M.A. (2000). UNTEA and UNRWI: United Nations Involvement in West
New Guinea During the 1960's, 2000
Joel M. Charon. (2007).
Symbolic Interactionism, Pearson Education New Jersey
Leontine E Visser
dkk, (2008).Bakti Pamong Praja di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia,
Kompas Jakarta
Nurani Soyomukti. (2012).
Pengantar Ilmu Komunikasi, Yogjakarta.
Nurwasis dkk. (2018).
Operasi Penumpasan Gerakan Separatis di Papua 1965-1991, Dinas Sejarah Angkatan
Darat, Bandung
Onnie Lumintang
dkk, (1997). Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare, Jakarta
Otto Syamsudin
Ishak dkk, (2012). Oase Gagasan Papua Damai, Imparsial Jakarta
Pim Schoorl. (2001).
Belanda di Irian Jaya, Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962, Jakarta
Pius Suryo Haryono
dkk. (1996). Pahlawan Nasional Frans Kaisiepo, Jakarta.
Ponco Dewi
Karyaningsih,M.M. (2018). Ilmu Komunikasi, Yogyakarta, 2018
R.Z. Leirissa. (1992).
Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya dkk, Jakarta
Riris Katharina. (2019).
Menakar Capaian Otonomi Khusus Papua, Yayasan Pustaka Obor Indonesia Jakarta
Rofinus Neto Wuli.
(2022). Manajemen Konflik Berbasis Budaya, Kompas Jakarta
Siswanto. (2020). Indonesia
dan Diplomasi Irian Barat 1949-1962, memanfaatkan perang dingin, Jakarta
Stephen W.
Littlejohn. (2009). Teori Komunikasi, Salemba Humanika Jakarta.
Zuchri Abdussamad.
(2021). Metode Penelitian Kualitatif, Makasar.
Angel Yohana,
Muhammad Saifulloh. (2019). Interaksi Simbolik Dalam Membangun Komunikasi Antara
Atasan Dan Bawahan di Perusahaan WACANA, Volume 18 No. 1, Juni 2019, hlm.
122-130
Ari Rohmawati dkk,
(2021). Potrait of Social Interaction among the Vilagers in the Perspective of
George Herbet Mead�s Symbolic Interactionalism Theory, IJoASER (International
Journal on Advanced Science, Education, and Religion) Volume 4, Number 1,
March.
Bernarda Meteray, (2016).
Penguatan Demokrasi di Tanah Papua di Era Nieuw Guienea Raad (NGR) 1961 dan
Majelis Rakyat Papua (MRP) 2005, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol 42 (1) Juni
2016
Bachtiar S. Bachri,
(2010). Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi pada Penelitian
Kualitatif, Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol.10 No. 1, April 2010 (46-62)
Diningrum
Citraningsih dkk, (2022). Interaksionisme Simbolik: Peran Kepemimpinan Dalam
Pengambilan Keputusan Social Science Studies Vol. 2 No. 1 2022 Page 072-086
Engkus Kuswarno, (2006).
Tradisi Fenomenologi Pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah Pengalaman
Akademis, Media Tor Vol 7 Juni
Edrizal Saputra
dkk, (2021). How an ex-Convict Child Survives: Self-Conception,Symbolic
Interaction, and Interpersonal Communication, Journal Communication Spectrum:
Capturing New Perspectives in Communication Vol. 11(2) pp. 95-107
Eka Wijaya Pranata
dkk, (2019). Symbolic Interaction of The Deaf Students in Public School
Interaksi Simbolik Siswa Tunarungu di Sekolah Umum, Jurnal The Messenger, Vol.
11, No. 1, January
Edison Hutapea
dkk, (2022). Street Children's Self-Concept (Study of Symbolic Interaction in
the Area under the Grogol Bridge, Kedoya Metro TV and Demolition) International
Journal of Social Science And Human Research Volume 05 Issue 11 November
Hari Surono, (2010).
Studi Kasus Migrasi di Papua : Perkembangan kota Hollandia 1944� 1962, Jurnal
Balai Arkeologi Jayapura Papua Vol 2 November.
Hasbi dkk, (2019).
The Social Meaning of Rambu Solo Ceremony in Toraja (The Perspective of
Symbolic Interactionism Theory, The Journal of Social Sciences Research Vol. 5,
Issue. 3, pp: 778-781.
Linn Katrine
Fivelsdal dkk. (2022). Who Am I Really? Concept of the Self, Body Image, and
Buying Behavior, Management International Conference (MIC) Ljubljana, Slovenia
Muhammad Luthfie dkk,.
(2017). Interaksi Simbolik Organisasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa. INFORMASI
Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47. Nomor 1. Juni
Mailinda dkk. (2018).
Komunikasi Interaksionisme Simbolik Antara Pekerja Tunarungu Dengan Tamu (Studi
Komunikasi di Kafe Kopi Tuli Depok), Koneksi Vol. 2, No. 2, Desember, Hal
426-432
Mardiana. (2023). The
Symbolic Meaning of Leadership In The Perspective of Symbolic Interaction
(Sahbirin noor's leadership style analysis), International Journal of
Environmental, Sustainability and Social Science (IJESSS) Volume: 4 Number: 2
Page: 374 � 382
Randi Yudistian dkk.
(2019). An Analysis of Communication Strategies Used by Surf Guides In Their
Interaction To Foreigners, International Journal of Language and Literature, Vol.
3, No. 3, August.
Scott Grills. (2013).
Symbolic interaction and organizational leadership: From theory to practice in
university settings, Department of Sociology Brandon University.
Sri Wulandari dkk.
(2021). Social Interaction Of Students In The Environment Of Isi Communication
Science Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon And Fikom Universitas Islam
Bandung, International Journal of Entrepreneurship and Business Development)
Volume 04 Number 04 July .
Tina Kartika, (2015).
Street Children, (Study Symbolic Interaction and Regulation has been Set up by
the Indonesian Government) Journal of Law, Policy and Globalization Vol.36
Copyright holder: Sat
Hari Wibowo, Jamalullail, Frengki Napitupulu (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |