Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober
2022
RASIO
PRATEGANG PARSIAL (PPR) MINIMUM BERDASARKAN KONTROL LEBAR RETAK PADA BALOK
LENTUR BETON PRATEGANG PARSIAL PASCA TARIK
Syaiful Ashari, Resmi Bestari
Muin
Program Magister Teknik Sipil,
Universitas Mercu Buana, Jakarta, Indonesia
E-mail : syaiful_ashari@yahoo.com, [email protected]
Abstrak
Pengurangan
gaya prategang pada beton prategang penuh akan mengakibatkan tegangan tarik
yang makin besar, sehingga diperlukan baja non prategang yang dapat memberikan
kontribusi terhadap kapasitas lentur yang dibutuhkan dan juga mengendalikan
lebar retak pada balok. Walaupun SNI 03-2847-2019 membolehkan penggunaan beton
prategang parsial namun belum mensyaratkan rasio prategang parsial (PPR)
minimum. Oleh karena itu dilakukan studi analisis untuk mengetahui PPR minimum
terkait kontrol lebar retak yang disyaratkan. Studi kasus dilakukan pada PPR
0.0 sampai dengan 1.0 terhadap desain parameter yang sudah disajikan meliputi :
pembebanan, penampang properties dan material properties. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa lebar retak dipengaruhi dari tegangan tarik baja yang terjadi
pada kondisi retak, fs� dan nilai momen
inersia retak penampang beton, Icr. Lebar retak (w) yang terjadi pada semua
bentang (L = 20 m, 25 m, 30 m) pada setiap PPR (0.0 � 1.0) memiliki nilai lebar
retak yang lebih kecil dibandingkan lebar retak ijin yang direkomendasikan ACI
Committee 224 (wmax = 0.410 mm). Pada hasil studi kasus PPR 0.0
sampai dengan PPR 1.0, untuk mencegah retak akibat pengaruh beban mati (DL) dan
terjadi retak yang disyaratkan akibat pengaruh beban layan (DL+LL) nilai PPR
minimum yang dihasilkan bervariasi yaitu : PPR = 0.60 (balok bentang 20 m), PPR
= 0.70 (balok bentang 25 m), PPR = 0.80 (balok bentang 30 m). Dari hasil studi
kasus ini disimpulkan bahwa Nilai PPR minimum dapat dihitung dengan
perbandingan rasio antara momen akibat beban mati (DL) terhadap nilai momen
akibat beban total (DL+LL) pada kondisi ultimit.��
Kata kunci: prategang parsial, PPR, tegangan tarik,
lebar retak.
Abstract
Reducing the prestressing force in fully
prestressed concrete will result in greater tensile stress, so a
non-prestressing steel is needed which can contribute to the required bending
capacity and also control the crack width in the beam. Although SNI
03-2847-2019 allows the use of partially prestressed concrete, it does not yet
require a minimum partial prestress ratio (PPR). Therefore an analytical study
was carried out to find out the minimum PPR in relation to the required crack
width control. Case studies were carried out at PPR 0.0 to 1.0 against the
design parameters that have been presented including: loading, cross-sectional
properties and material properties. From the results of the study it was found
that the width of the crack is influenced by the tensile stress of the steel
that occurs in the cracked condition, fs and the value of the moment of inertia
of the cracked concrete cross-section, Icr. The crack width (w) that occurs in
all spans (L = 20 m, 25 m, 30 m) at each PPR (0.0 � 1.0) has a smaller crack
width value than the allowable crack width recommended by ACI Committee 224
(wmax = 0.410 mm). In the results of the PPR 0.0 to PPR 1.0 case studies, to
prevent cracking due to the effect of dead load (DL) and required cracking due
to the effect of service load (DL + LL) the resulting minimum PPR value varies,
namely: PPR = 0.60 (span beam 20 m), PPR = 0.70 (25 m span beam), PPR = 0.80
(30 m span beam). From the results of this case study it is concluded that the
minimum PPR value can be calculated by comparing the ratio between the moment
due to dead load (DL) to the value of the moment due to total load (DL+LL) at
the ultimate condition.
Keywords: partial prestress, PPR, tensile
stress, crack width
Pendahuluan
Pengurangan gaya prategang yang diperlukan pada suatu penampang beton
prategang penuh (full prestressed) menyebabkan diperlukannya baja non
prategang, sehingga beton prategang berperilaku menjadi beton prategang
parsial. Semakin besar
pengurangan gaya prategang pada beton prategang parsial akan mengakibatkan
tegangan tarik yang semakin makin besar pula walaupun kapasitas lentur yang
terjadi tetap sama dengan kapasitas lentur beton prategang penuh.. Jika
tegangan tarik semakin besar maka lebar retak pada beton prategang parsial akan
semakin besar pula yang akan membahayakan kabel prategang dari korosi, dan akan
menyebabkan makin besarnya lendutan. Walaupun SNI 03-2847-2019 membolehkan penggunaan beton prategang
parsial namun belum mensyaratkan batasan rasio prategang parsial (PPR) yang
harus digunakan terkait keretakan akibat pengaruh beban mati (DL) atau pun
akibat pengaruh beban layan (DL+LL), sehingga perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui rasio prategang parsial (PPR) pada beton prategang parsial terkait
batasan lebar retak yang disyaratkan oleh ACI commitee 224 dan sesuai
dengan standar perancangan beton prategang.
Penelitian mengenai balok beton prategang parsial telah banyak dilakukan
sehingga memberikan banyak manfaat dan dapat menjadi referensi bagi penelitian
ini. Sebagian besar hasil penelitian terdahulu menjadi dasar atau referensi
dalam menentukan metoda atau urutan yang harus dilakukan, serta memperdalam
pengetahuan mengenai variabel apa saja yang mempengaruhi hubungan nilai PPR
terhadap lebar retak pada penelitian ini.
Moustafa (1977), mempresentasikan kinerja umum dan desain kekuatan
ultimate pada balok lentur prategang parsial untuk memproporsikan penulangannya
berdasarkan kompatibilitas regangan. Total indeks tulangan tarik dihitung
sesuai momen ultimit yang terjadi, sedangkan gaya prategang dihitung
berdasarkan kondisi pengaruh beban mati terhadap tegangan ijin tarik yang
disyaratkan.
Dibandingkan dengan beton prategang penuh maka pada beton prategang
parsial hanya dibutuhkan gaya prategang yang lebih kecil sehingga dapat
mengurangi jumlah tendon dan pengangkuran. Selain itu dengan gaya prategang
yang lebih kecil ini juga memungkinkan untuk mengurangi ledutan keatas (camber)
dan mengurangi ukuran penampang yang dibutuhkan untuk melawan gaya tekan akibat
prategang pada saat struktur dalam keadaan tidak terbebani.
Beton prategang parsial umumnya dirancang untuk memperbolehkan retak
pada kondisi beban kerja. Adanya retak akan meningkatkan resiko terjadinya
korosi pada tulangan yang dapat mengurangi kekakuan balok sehingga menyebabkan
lendutan yang berlebihan pada balok. Retak yang terlalu lebar juga mengganggu
segi estetika dari struktur. Oleh karena itu lebar retak pada kondisi beban
kerja harus dibatasi.
Mast (1998), memberikan pendekatan praktis terkait analisa elastis dari
penampang retak beton prategang. Perhitungan posisi garis netral pada penampang
retak menjadi hal yang pernting diketahui sebagai langkah awal terhadap kontrol
terhadap lebar retak.
Utuk mengatasi keretakan pada penampang maka diadakan penulangan tarik
pada balok beton prategang parsial yang berupa kombinasi tulangan baja non
prategang dan tulangan baja prategang. Tulangan non prategang ini tidak hanya
memberikan kontribusi terhadap kekuatan lentur yang dibutuhkan tetapi juga
mengendalikan lebar retak pada balok.
Dilger & Suri (1986), mempresentasikan metode untuk menghitung
langsung tegangan pada baja. Tegangan baja dihitung berdasarkan asumsi bahwa
baja prategang dan baja non-prategang terletak berdekatan satu sama lain dan
gaya dekompresi bekerja pada level baja prategang. Tabel desain telah diusulkan
dari mana tegangan baja pada level kombinasi titik berat dari kedua baja dapat
diperoleh.
Chowdhury (2001), menurunkan rumus prediksi lebar retak maksimum pada
balok beton bertulang dan prategang parsial secara statistik dengan menggunakan
faktor perkalian tertentu terhadap beberapa data uji yang menunjukan akurasi
formula yang diajukan adalah baik.�
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rasio prategang parsial
(PPR) minimum yang memungkinkan beton prategang parsial tidak terjadi retak
akibat pengaruh beban mati (DL) namun diperbolehkan terjadi retak akibat
pengaruh beban layan (DL+LL) dengan lebar retak yang masih disyaratkan.
Metodologi Penelitian
A. Diagram Alir Design
Prategang Parsial dengan Metode PPR
Prosedur
penelitian yang disusun dalam diagram alir pada Gambar 1 sebagai berikut:
Gambar 1
Diagram
Alir Desain Prategang Parsial Berdasarkan Metode PPR
B. Rasio Prategang
Parsial (PPR)
Balok beton
prategang parsial tersebut sangat tergantung pada perbandingan parsial
prategangnya (Partial Prestessing Ratio atau PPR). Nilai PPR diukur
berdasarkan perbandingan antara momen lentur yang diakibatkan oleh gaya prategang dan
momen lentur total. Persamaannya dapat ditulis sebagai berikut
:
�
Jika dp
= ds atau jika de�
didefinisikan sebagai jarak dari serat tekan terluar ke pusat gaya tarik
resultan, nilai PPR direduksi menjadi bentuk yang sesuai :���������������������������������������
����������� ��������
����� Dimana:
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
PPR ini dapat berkisar dari 0.0 sampai
dengan 1.0, atau (0 s/d 100%) prategang. Balok dengan prosentase 0% prategang
(PPR= 0.0) adalah balok beton bertulang, dan balok dengan 100% prategang (PPR=
1.0) adalah balok prategang penuh (fully prestressing).
C. Retak dan Lebar Retak
Balok beton
prategang parsial pada umumnya dirancang untuk tidak terjadi keretakan akibat
pengaruh beban mati (MDL) namun memperbolehkan retak pada saat beban
layan (MDL
+ MLL). Keretakan pada penampang balok beton prategang mulai terjadi
apabila momen yang dihasilkan akibat pengaruh beban luar melebihi tahanan momen
retak penampang, Mcr. Pada balok prategang parsial, keretakan penampang beton
akibat pengaruh beban mati (MDL) dapat dihidari dengan menentukan
batasan PPR minimum seperti yang jelaskan pada gambar 2 dibawah.
Momen retak, Mcr adalah momen
yang terjadi pada saat tegangan tarik di serat tarik terluar penampang beton
mencapai tegangan dari modulus runtuh beton, fr. Pada serat
tarik terluar penampang beton, momen retak dapat dihitung dengan persamaan
sebagai berikut :
Dimana :�����
Gambar 2
Grafik
Momen Retak penampang balok beton prategang berdasarkan nilai PPR
D. Rumus Lebar Retak :
Gergely-Lutz
Lebar retak
harus lebih kecil dari batas lebar retak maksimum yang direkomendasikan didalam
peraturan perencanaan. Lebar retak dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti� : tegangan tarik baja setelah
kondisi dekompresi, tipe tulangan yang digunakan, ketebalan selimut beton, luas
area beton yang tertarik, distribusi tulangan pada daerah tarik beton, kualitas
mutu beton, metode prategangan, pembebanan yang diberikan, luas total baja non
prategang.
Gergely-Lutz
menyusun persamaan lebar retak berdasarkan analisa statistik terhadap data-data
dari 6 percobaan terhadap balok beton. Variabel-variabel yang ditinjau dalam
penelitian tersebut adalah luas efektif penampang beton yang berada dalam
daerah tarik, jumlah banyaknya tulangan, tebal selimut beton dan tegangan di
tulangan baja.
Hasil dan Pembahasan
A.
Data dan Asumsi Design
Tabel 2
Design
parameter
B. Grafik Hasil
Perhitungan
Seluruh hasil perhitungan ditampilkan
dalam bentuk grafik, seperti yang tertera dibawah ini :
Gaya
Tarik Baja Prategang dan Baja Non Prategang pada kondisi Nominal
Grafik 1
Luas Tulangan Baja Prategang dan Baja
Non Prategang
Grafik 2
Momen pada Penampang Balok Terhadap PPR
Grafik 3
Tegangan Tarik Baja pada Kondisi Retak dan Lebar Retak
C. Nilai PPR minimum pada
kondisi�
1.
Hasil studi kasus dengan PPR 0.0 sampai dengan PPR
1.0, dari grafik 4.3, diperoleh nilai PPR minimum
sebagai berikut :
a.
Pada
bentang Balok L = 20 m :��� PPR minimum =
0.60
b.
Pada
bentang Balok L = 25 m :��� PPR minimum =
0.70
c.
Pada
bentang Balok L = 30 m :��� PPR minimum =
0.80
2.
Nilai PPR
minimum yang dihitung berdasarkan rasio momen akibat beban mati (MDL)
terhadap momen akibat beban total (MDL + MLL) pada
kondisi ultimit :
Bentang 20 m :
Diketahui :
MDL = 558.8 kN.m ����
MLL =� 300.0 kN.m
Sehingga :
Bentang 25 m :
Diketahui������� :
�MDL = 1309.1 kN.m
MLL =� 468.8 kN.m
Sehingga :
Bentang 30 m :
Diketahui :
MDL = 3187.1 kN.m���
MLL =� 675.0 kN.m
Sehingga :
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Rasio Prategang Parsial (PPR)
minimum yang digunakan untuk mencegah keretakan akibat pengaruh beban mati (DL)
dan membatasi lebar retak yang masih disyaratkan akibat pengaruh beban layan
(DL+LL) dapat dihitung berdasarkan perbandingan rasio antara momen akibat beban
mati (MDL) terhadap nilai momen akibat beban total (MDL+MLL)
pada kondisi ultimit.
Lebar retak (w) yang terjadi pada semua bentang (L = 20 m, 25 m, 30 m) pada setiap PPR (PPR = 0.0 � 1.0)
memiliki nilai lebar retak yang lebih kecil dibandingkan lebar retak ijin yang
direkomendasikan ACI Committee 224 (wmax = 0.410 mm).
BIBLIOGRAFI
Chowdhury, S. H. (2001).
Crack Width Predictions of Reinforced and Partially Presetressed Concrete Beams
: a Unified Formula. Structural Engineering, Mechanics and Computation,
327-333.
Dilger, W. H.,
& Suri, K. M. (1986). Steel Stresses in Partially Prestressed Concrete
Members. PCI Journal, 89-112.
El Shahawi,
M., & Batchelor, B. D. (1986). Design methods for partially prestressed
concrete-a review. CAN. J. CIV. ENG. VOL.14, 269-277.
Grebovic, R.
S. (2012). Stresses in Prestressing Steel of Partially Prestressed Element with
Cracks. Scientific Conference, 240-247.
Gunasinghe, M.
K. (2017). Estimation of Flexural crack width in Prestressed Beams. Sri
Lanka Institute of Information Technology, 1-5.
Kusuma, G. H.,
Tjio, V. S., & Pudjisuryadi, P. (2000). Perhitungan Lebar Retak pada Balok
Pratekan Parsial Dengan Unified Approach. Dimensi Teknik Sipil Vol. 2,
9-21.
Lee, D. H.,
Han, S. J., Joo, H. E., & Kim, K. S. (2018). Control of Tensile Stress in
Prestressed Concrete Members Under Service Loads. International Journal of
Concrete Structures and Materials, 1-17.
Mast, R. F.
(1998). Analysis of Cracked Prestressed Concrete Sections: A Practical
Approach. PCI Journal, 80-91.
Moustafa, S.
E. (1977). Design of Partially Prestressed Concrete Flexural Member. PCI
Journal, 12-29.
Nawy, E. G.,
& Huan, P. T. (1977). Crack and Deflection Control of Pretensioned
Prestressed Beams. PCI Journal, 30-47.
Nilson, A. H.
(1976). Flexural Stresses After Cracking in partially Prestressed Beams. PCI
Journal, 72-81.
Copyright holder: Syaiful Ashari, Resmi Bestari
Muin (2022) |
First publication
right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |