Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

PERDAGANGAN NARKOBA SEBAGAI PROBLEMATIKA KEJAHATAN TRANSNASIONAL TERORGANISASI (TINJAUAN PERSPEKTIF HUBUNGAN INTERNASIONAL)

 

Armita Eki Indahsari, Margaretha Hanita

Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Perdagangan narkoba merupakan kejahatan transnasional terorganisasi yang menempati posisi penting dalam domain ilmu hubungan internasional. Teori hubungan internasional tidak hanya berfokus pada aktor masyarakat sipil tetapi juga secara sistematis menganalisis berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat non-sipil, termasuk kelompok perdagangan gelap narkoba. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena perdagangan narkoba sebagai bagian dari kejahatan transnasional terorganisasi berdasarkan perspektif ilmu hubungan internasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. Hasil dari menelitian ini menunjukkan bahwa organisasi perdagangan narkoba memiliki sistem yang kompleks dengan struktur komando dan kontrol yang komprehensif mulai dari memproduksi, hingga memindahkan dan/atau mendistribusikan substansi narkoba ilegal dengan jumlah besar. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa perdagangan narkoba mempengaruhi hampir seluruh negara di dunia, baik negara tersebut sifatnya sebagai produsen, transit, atau daerah tujuan. Wilayah perbatasan internasional menjadi titik rawan karena ketika perbatasan menjadi semakin keropos, penyalahgunaan narkoba global dan aksesibilitas terhadap narkoba menjadi semakin meluas. Permasalahan narkoba merupakan fenomena yang saling ketergantungan dengan dimensi kehidupan lainnya, sejalan dengan konsep pemikiran neorealisme dalam hubungan internasional yang menganggap bahwa rezim internasional bersifat dinamis dan sesuai dengan kekuatan aktor yang menyusunnya. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi permasalahan narkoba yang menjadi isu strategis dalam keamanan internasional, diperlukan kerja sama multi-lateral di antara pemerintah, serta melibatkan partisipasi banyak departemen pemerintah secara lebih komprehensif dan menyeluruh.

 

Kata kunci: perdagangan narkoba; kejahatan transnasional terorganisasi; hubungan internasional

 

Abstract

Drug trafficking is an organized transnational crime that occupies an important position in the domain of international relations. International relations theory does not only focus on civil society actors but also systematically analyzes various activities carried out by non-civil society, including drug trafficking organizations. This study aims to analyze the phenomenon of drug trafficking as part of organized transnational crime based on the perspective of international relations. This study used a qualitative approach with descriptive analysis techniques. The results of this research show that drug trafficking organizations have a complex system with a comprehensive command and control structure starting from producing, to transferring and/or distributing illegal drug substances in large quantities. The results of this study also reveal that drug trafficking affects almost all countries in the world, whether the country is a producer, transit or destination. The international border area becomes a critical point because when the borders become increasingly porous, global drug abuse and accessibility to drugs become more widespread. The drug problem is a phenomenon related to other dimensions of life. in line with the concept of neorealism in international relations which considers that the international regime is dynamic and in accordance with the strengths of the actors who compose it. In this study, it can be concluded that in order to overcome the drug problem which is a strategic issue in international security, multi-lateral cooperation between governments is needed, also involving the participation of many government departments in a more comprehensive and comprehensive manner.

 

Keywords: drug trafficking; organized transnational crime; international relations

 

 

Pendahuluan

Perdagangan narkoba merupakan isu terkait kejahatan transnasional terorganisasi atau transnational organized crime (TOC) yang sering dibahas dalam domain ilmu hubungan internasional. Zayzda et al. (2020) mengungkapkan bahwa perdagangan narkoba menyumbang sekitar 20 persen keuntungan dari kejahatan transnasional secara keseluruhan. Bahkan, dari seluruh produk gelap yang diperdagangkan oleh pelaku kejahatan terorganisir, perdagangan narkoba merupakan yang paling terkenal sehingga telah mendapat perhatian sistematis selama beberapa dekade terakhir. UNODC (2017) menyebutkan bahwa narkoba terus menjadi sumber pendapatan utama bagi kelompok kriminal terorganisir dan kini model bisnisnya kian berkembang. Para pelaku telah merambah teknologi dan jaringan baru, seperti Darknet (jaringan virtual terenkripsi), yang turut mengubah sifat perdagangan narkoba dan jenis aktor yang terlibat. Kejahatan perdagangan narkoba transnasional memiliki jaringan kompleks (mencakup struktur, jangkauan operasional, serta pengaruh) yang mirip dengan korporasi transnasional resmi.

Meskipun tidak pernah menjadi pusat teori hubungan internasional (HI), kejahatan transnasional terorganisasi (termasuk perdagangan narkoba) secara inheren merupakan fenomena internasional yang berdampak pada keamanan internasional, politik dunia, perdagangan internasional, dan hak asasi manusia. Namun, TOC tidak diragukan lagi menempati posisi penting dalam domain ilmu hubungan internasional sehingga harus dikaji dan dipahami, baik secara teoritis maupun empiris. Zabyelina (2009) mengemukakan bahwa jaringan kriminal tidak boleh diabaikan dalam disiplin HI. Penekanan tradisional dalam HI mengenai pemahaman konflik dan kerja sama antar aktor negara harus disesuaikan. Cara berpikir yang sesuai tentang TOC adalah melalui teori HI yang mengakui hak prerogatif aktor non-negara global. Dengan demikian, teori ini seharusnya tidak hanya berfokus pada aktor masyarakat sipil (non-negara) tetapi juga secara sistematis menganalisis berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat non-sipil, termasuk kelompok perdagangan gelap narkoba.

Kajian tentang perdagangan narkoba maupun kejahatan transnasional terorganisasi telah cukup banyak dilakukan, di antaranya oleh Chandra & Joba (2015) yang meneliti tentang jaringan aliran kokain dan heroin transnasional di kawasan Eropa Barat. Penelitian tersebut menggunakan data aliran jaringan kokain dan heroin yang diolah dengan pendekatan social network untuk kemudian dibandingkan antara dua jaringan tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa analisis terhadap jaringan aliran narkoba dapat mengungkap fitur struktural penting dari jaringan perdagangan yang dapat berguna untuk mengalokasikan sumber daya pengendalian narkoba. Sifat yang berbeda dari jaringan kokain dan heroin juga menunjukkan bahwa kebijakan yang bersifat �one-size-fits-all� tidak berjalan sebaik pendekatan yang mempertimbangkan karakteristik khusus masing-masing jaringan.

Penelitian lain dilakukan oleh Colson (2019) mengenai kebijakan narkoba transnasional yang ditinjau dari perspektif perbandingan hukum. Penelitian tersebut membahas sistem pengawasan narkoba PBB dari perspektif hukum komparatif untuk mengeksplorasi isu-isu terkait kebijakan pelarangan narkoba. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tatanan global tentang narkoba sekarang berada di bawah tekanan yang ekstrim, dengan beberapa negara membangun pasar rekreasi untuk produk-produk yang dilarang berdasarkan hukum internasional sedangkan yang lainnya mengejar perang masif terhadap pengguna narkoba, sehingga hukum komparatif menyediakan platform yang ideal untuk menggambarkan lanskap perubahan kebijakan narkoba.

Selain itu, penelitian lain yang juga dapat dijadikan sebagai rujukan adalah penelitian oleh Prayuda, Warsito, & Surwandono (2021) yang mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan ASEAN tidak efektif dalam menyelamatkan penyelundupan narkoba transnasional, termasuk internalisasi nilai dan norma Deklarasi Bebas Narkoba ASEAN (ASEAN Drug-Free Declaration) yang tidak optimal. Penelitian tersebut menggunakan data primer dan data sekunder. Analisis data dan observasi dilakukan secara bersamaan, dimana data dianalisis secara langsung setelah diperoleh dengan menggunakan analisis deskriptif. Data dianalisis secara induktif dengan menyimpulkan data yang diperoleh dari pandangan umum ke khusus. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa perkembangan ASEAN telah memunculkan gagasan �ASEAN Way�, yaitu forum keamanan ASEAN untuk menghilangkan penggunaan kekuatan dalam menjaga hubungan antar negara anggota melalui sosialisasi nilai-nilai yang disepakati. Negosiasi multilateral di tingkat ASEAN menekankan kepentingan negara-negara anggota ASEAN dalam menentukan perjanjian yang berkaitan dengan kejahatan narkoba transnasional. Terdapat beberapa faktor penghambat dalam proses negosiasi yaitu perbedaan persepsi negara-negara ASEAN terhadap ancaman penyelundupan narkoba di Asia Tenggara dan perbedaan prioritas dan agenda para pemimpin ASEAN.

Beberapa penelitian terdahulu yang juga menggunakan tinjauan perspektif hubungan internasional terhadap sejumlah isu transnasional antara lain penelitian tentang perspektif hubungan internasional terhadap kekerasan seksual atau pemerkosaan pada masa perang (Kirby, 2013), pembentukan konsensus dalam hubungan internasional terkait kasus perdagangan orang (Charnysh, Lloyd, & Simmons, 2015), serta pengembangan kerangka dimensi tata kelola keamanan terhadap kejahatan pencucian uang atau money laundering (Jakobi, 2018).

Sejumlah penelitian yang mengkaji tentang tinjauan perspektif hubungan internasional terhadap sejumlah isu transnasional telah cukup banyak dilakukan, namun masing-masing tentu memiliki karakteristik yang berbeda terkait tema tersebut. Penelitian ini memiliki kebaruan yaitu mengkaji tentang fenomena perdagangan narkoba sebagai bagian dari kejahatan transnasional terorganisasi berdasarkan perspektif ilmu hubungan internasional. Lebih lanjut, penelitian ini akan menganalisis perdagangan narkoba dan struktur organisasinya, posisi kejahatan perdagangan narkoba sebagai ancaman terhadap keamanan internasional, serta perspektif hubungan internasional terhadap kejahatan perdagangan narkoba.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. Seperti halnya diungkapkan oleh Creswell (2018), penelitian dengan pendekatan kualitatif merupakan media untuk mendalami dan mememahami makna dari suatu individu, kelompok, maupun unit atau subjek tertentu yang diasumsikan berasal dari isu atau permasalahan sosial. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis secara komprehensif mengenai kasus perdagangan narkoba sebagai problematika kejahatan transnasional terorganisasi yang ditinjau berdasarkan perspektif ilmu hubungan internasional.

Penggunaan pendekatan kualitatif dipilih karena adanya pertimbangan bahwa isu kejahatan perdagangan narkoba merupakan hal yang sangat kompleks dan memerlukan analisis terperinci. Pendekatan kualitatif sesuai untuk diaplikasikan dalam penelitian ini karena dapat menggambarkan suatu fenomena yang kompleks secara komprehensif; menyelidiki peristiwa yang bersifat eksklusif; memberikan pemahaman dari berbagai perspektif yang berbeda; dan menjadi sarana eksplorasi awal untuk pengembangan teori sehingga menghasilkan atau menguji suatu hipotesis. Penelitian kualitatif yang baik dilakukan secara sistematis, berupaya meminimalisasi bias dan kesalahan, serta mengidentifikasi bukti-bukti yang mungkin bertentangan dengan hipotesis awal.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan berdasarkan penelusuran literatur (library research) atau studi dokumentasi apada literatur akademik, jurnal ilmiah, laporan resmi, arsip-arsip legal, serta data dari media daring yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. (Johnston, 2014) mengungkapkan bahwa analisis terhadap data sekunder menawarkan manfaat metodologis dan dapat berkontribusi pada pengetahuan ilmiah melalui penawaran perspektif alternatif. Analisis data sekunder membutuhkan proses sistematis yang mengakui tantangan dalam pemanfaatan data yang ada dan mengatasi karakteristik berbeda dari setiap data.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Perdagangan Narkoba dan Struktur Organisasinya

Beberapa karakteristik dari proses suatu tindak kejahatan penting untuk diperhitungkan apabila ingin memahami lebih dalam tentang kejahatan tersebut. Motivasi untuk melakukan tindak kejahatan biasanya mendapatkan proporsi perhatian yang paling besar, sementara aspek penting lainnya dari suatu tindak kejahatan hanya mendapat sedikit perhatian, terutama sejauh mana kelompok kejahatan diorganisir, karakteristik organisasi tersebut, dan dampak struktur organisasi terhadap perilaku. Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kelompok kriminal terorganisir akan berpengaruh terhadap pengembangan teori serta tanggapan kebijakan terhadap kejahatan. Selain mengetahui sekelompok individu yang terlibat atau berpartisipasi dalam suatu kasus, struktur interaksi mereka merupakan aspek penting dari proses yang harus dipahami dan diperhitungkan.

Pada bagian ini, struktur organisasi kejahatan transnasional terorganisir akan berfokus pada konteks perdagangan gelap narkoba internasional. Burt (1992) dan Williams (1998) mengemukakan bahwa suatu organisasi formal dapat terdiri dari sejumlah unit yang lebih kecil dan kelompok tindak kejahatan yang terlibat dalam peredaran gelap narkoba mungkin memiliki akses ke informasi dan teknologi yang memungkinkan mereka untuk beroperasi secara independen dari struktur organisasi yang lebih besar. Lebih lanjut, Williams (1998) berpendapat bahwa kunci untuk memahami kelompok-kelompok tersebut adalah dengan memandang mereka sebagai jaringan atau serangkaian node (individu, organisasi, perusahaan, dan alat berbagi informasi) yang terhubung di seluruh dan di dalam organisasi.

Departemen Peradilan Amerika Serikat atau United States Department of Justice menyebut organisasi perdagangan narkoba secara resmi dengan istilah drug trafficking organizations (DTOs). Selanjutnya, DTOs didefinisikan sebagai organisasi kompleks dengan struktur komando dan kontrol yang komprehensif dalam memproduksi, memindahkan dan/atau mendistribusikan substansi narkoba ilegal dengan jumlah besar. Dalam melancarkan aksinya, tidak jarang DTOs menggunakan senjata maupun teror yang berpotensi menimbulkan kejahatan kriminal lainnya. Banyak organisasi perdagangan narkoba berstruktur paramiliter yang beranggotakan preman bersenjata untuk menjaga stok narkoba, dari tahap kultivasi hingga distribusi. Sekumpulan DTOs sangat mungkin saling bekerja sama untuk bersekongkol mengendalikan pasar narkoba pada suatu wilayah yang kemudian disebut dengan istilah kartel. Selain itu, DTOs juga sering mengikutsertakan geng jalanan atau sekelompok individu yang pada umumnya mengklaim kontrol atas suatu wilayah dan secara aktif terlibat dalam aktivitas kriminal. Pelibatan geng jalanan ini berpotensi menimbulkan dampak buruk seperti menstimuasi tingkat kejahatan hingga kemiskinan bagi lingkungan sosial di suatu wilayah (U.S. Department of Justice, 2010).

Zaitch (2002) dalam studinya yang mengkaji tentang impor narkoba dari Columbia ke Belanda, menemukan bukti hierarki vertikal dalam bisnis peredaran gelap narkoba. Hasil studi tersebut menggambarkan bahwa operasi penyelundupan narkoba merupakan jaringan fleksibel yang terdiri dari kelompok-kelompok yang dinamis dan terisolasi yang dapat dengan cepat mengubah taktik dan relatif terpisah dari setiap bagian dalam rantai transaksi penyelundupan. Dengan kata lain, segmen kelompok penyelundupan narkoba dapat dengan cepat mengubah modus operandinya tanpa mengganggu keseluruhan operasi karena sub-unit relatif terisolasi dari langkah-langkah lain dalam proses karena sifatnya yang tidak hierarkis. Pada umumnya, anggota yang dilibatkan biasanya dipilih berdasarkan hubungan kerja sebelumnya, kekerabatan, etnis, atau hanya bersifat penugasan jangka pendek.

Tindak kejahatan perdagangan narkoba tidak hanya melibatkan warga sipil yang masih bebas, melainkan juga dapat melibatkan narapidana yang berada di dalam penjara atau lembaga pemasyarakatan. Tidak hanya di Indonesia, peredaran narkoba tersebar luas di penjara di seluruh dunia. Rute jalur peredaran narkoba hingga dapat masuk ke penjara sangat banyak, bervariasi, dan kemungkinan berbeda antara satu penjara dengan penjara lainnya. Rute tersebut membutuhkan perencanaan dan persiapan yang matang guna menghindari sistem yang diterapkan untuk mencegah penyelundupan narkoba. Narapidana memiliki berbagai macam modus dalam menyelundupkan narkoba, yang membuat tugas manajemen keamanan semakin sulit (Woodall, 2011).

Hagan & Hardwick (2017) dalam tulisannya yang berjudul �Behind Bars: The Truth about Drugs in Prisons� mengungkapkan berbagai cara narkoba masuk ke penjara di antaranya melalui:

1.       Pengunjung

Hal ini tidak berarti pengunjung dengan sukarela membawa narkoba ke penjara, namun dalam beberapa kasus dipaksa dan ditekan oleh pihak ketiga. Penyerahan dapat dilakukan dengan berjabat tangan, 'sloppy kiss' (penyaluran melalui mulut), dan bahkan hanya dengan menyerahkan barang di atas meja.

2.       Melalui tembok penjara

Di penjara dengan batas yang panjang dan pergerakan tahanan yang relatif bebas, paket kecil berisi narkoba dapat dilempar ke atas melewati tembok atau pagar. Berbagai barang dapat digunakan untuk menyembunyikan narkoba saat dilemparkan ke pagar, mulai dari bola tenis, hingga burung mati.

3.       Tahanan baru atau yang kembali

Rute lain bagi narkoba untuk masuk penjara adalah melalui narapidana yang baru dihukum atau yang kembali. Dalam beberapa kasus, narapidana akan dengan sengaja berusaha agar diri mereka dipanggil kembali ke pengadilan sehingga mereka dapat menyelundupkan narkoba ke dalam penjara saat mereka kembali lagi.

4.       Pos atau paket barang

Banyak insiden ditemukannya narkoba di pos-pos penjara. Hal ini dikarenakan tidak semua paket dari luar dipindai.

5.       Staf penjara yang korup

Staf yang terlibat termasuk penjaga, petugas, dan dokter yang saling melindungi saat mengedarkan narkoba kepada narapidana. Petugas penjara cenderung lebih mudah untuk membawa narkoba ke dalam penjara, karena penggeledahan jarang dilakukan kepada petugas.

 

B.  Perdagangan Narkoba sebagai Ancaman dalam Hubungan Internasional

Konvergensi teknologi dan liberalisasi arus transnasional barang dan jasa ilegal telah menciptakan peluang yang tak terhitung jumlahnya untuk TOC. Aksi yang dilakukan oleh organisasi kriminal global telah meluas secara kuantitatif dan juga berkembang secara kualitatif. Pelaku kriminal tidak lagi menjadi pemain tunggal dan independen, melainkan merupakan simpul penting dalam matriks saling ketergantungan antara aktor negara dan non-negara. Besarnya skala kejahatan transnasional, membuat kecil kemungkinan program anti-TOC nasional dapat berhasil jika hanya terbatas pada yurisdiksi nasional. Upaya bilateral maupun multilateral melalui kerja sama internasional harus diperkuat untuk mengatasi ketidakpastian dan tantangan yang mengganggu yang ditimbulkan oleh TOC (Zabyelina, 2009).

Perdagangan narkoba mempengaruhi hampir seluruh negara di dunia, baik negara tersebut sifatnya sebagai produsen, transit, atau daerah tujuan. Wilayah perbatasan internasional merupakan tempat bertemunya dua negara atau lebih sebagai batas kedaulatan masing-masing negara. Letak geografis perbatasan negara-negara tersebut sering kali menimbulkan singgungan baik dalam aspek sosial-kultural, politik, dan ekonomi, hingga menyangkut pertahanan dan keamanan. Ketika wilayah perbatasan internasional menjadi semakin keropos, penyalahgunaan narkoba global dan aksesibilitas terhadap narkoba menjadi semakin meluas. Perdagangan internasional ini melibatkan petani, produsen, kurir, pemasok, dan dealer. Hal ini mempengaruhi hampir semua negara, merusak stabilitas politik dan ekonomi, menghancurkan kehidupan individu, dan merusak komunitas. Pengguna akhir dan pecandu sering kali menjadi korban bisnis yang kuat dan manipulatif. Jika tidak ditangani dengan serius, maka permasalahan terkait narkoba tersebut akan berpotensi menciptakan goncangan nasional maupun hubungan bilateral suatu negara dengan negara lainnya.

Perdagangan narkoba global berkaitan dengan sebagian besar masalah keamanan internasional, mulai dari perang, terorisme, migrasi, hingga stabilitas negara. Lebih dari sekadar aspek lain dalam agenda keamanan internasional, perdagangan narkoba dapat memperburuk ancaman terhadap keamanan nasional dan internasional. Dalam hal ini, perdagangan narkoba global tidak boleh diperlakukan sebagai satu masalah keamanan internasional di antara banyak masalah lainnya. Sebaliknya, karena sifat perdagangan yang unik, narkoba telah membuat ancaman utama terhadap keamanan nasional dan internasional menjadi lebih kompleks, tahan lama, dan gawat.

Kan (2016) mengungkapkan bahwa perdagangan narkoba telah berkembang menjadi salah satu isu paling serius yang mempengaruhi keamanan internasional, dan menjadi pemicu tekanan yang signifikan bagi individu, masyarakat, ekonomi, negara, dan sistem internasional. Kan berpendapat bahwa perdagangan narkoba dalam sistem internasional pasca-Perang Dingin harus diperlakukan sebagai masalah keamanan unik yang memiliki implikasi merugikan pada masa depan negara-bangsa dan konsolidasi demokrasi di seluruh dunia, terutama di antara demokrasi yang baru lahir di negara-negara berkembang. Perdagangan narkoba, yang sekarang menjadi bagian tak terpisahkan dari "globalisasi menyimpang" dan "kekacauan yang bertahan lama" dari sistem internasional baru, telah menghancurkan kerangka masyarakat dan bersinggungan dengan semua masalah keamanan Perang Dingin lainnya seperti konflik intranegara, kejahatan, kesehatan masyarakat, dan serangan siber.

Lebih lanjut, Kan menyatakan bahwa beberapa faktor yang mendorong evolusi pengaruh perdagangan narkoba pada tatanan dunia antara lain teknologi, sikap, dan organisasi. Inovasi teknologi telah mempengaruhi cara narkoba ditemukan, diproduksi, dan didistribusikan. Sikap masyarakat terhadap narkoba telah mempengaruhi parameter kebijakan dan strategi pengendalian narkoba. Organisasi perdagangan yang dibentuk mereka yang telah berusaha untuk berpartisipasi di dalamnya dan mengendalikannya juga telah membentuk arah sejarahnya.

Perdagangan narkoba sering dikaitkan dengan bentuk kejahatan lain, seperti pencucian uang (money laundering) atau korupsi. Rute perdagangan juga dapat digunakan oleh jaringan kriminal untuk mengangkut produk terlarang lainnya. Ketika kelompok jaringan perdagangan narkoba menemukan cara yang lebih kreatif untuk menyamarkan narkoba dalam sistem distribusinya, aparat penegak hukum akan menghadapi tantangan yang kian kompleks dalam mendeteksi zat tersembunyi tersebut. Selain itu, UNODC (2013) mengungkapkan bahwa narkoba sintetis jenis baru atau yang biasa dikenal dengan New Psychoactive Substances (NPS) semakin masif diproduksi dan dikembangkan secara teratur, sehingga aparat penegak hukum juga harus selalu mewaspadai tren dan produk baru di pasar gelap.

Sebagaimana ditekankan di berbagai literatur yang ada, Schneider (2013) menyebutkan bahwa sebagian besar konflik yang muncul antara kelompok-kelompok kejahatan merupakan hasil persaingan atas wilayah tertentu dan/atau pangsa pasar gelap, khususnya terkait narkoba. Terdapat persaingan yang signifikan, dan seringkali mematikan, antara kelompok kejahatan terorganisir yang bersaing dari tahap produksi hingga distribusi obat-obatan terlarang. Ada juga korupsi di setiap tahap rantai pasokan narkoba, termasuk melalui keterlibatan pejabat pelabuhan dan bandara yang korup. Selain itu, kelompok kejahatan terorganisir yang terlibat dalam perdagangan narkoba biasanya juga terlibat dalam berbagai aktivitas kriminal lainnya, dan keuntungan dari perdagangan narkoba digunakan untuk mendanai bentuk operasi kriminal lainnya, seperti jual-beli senjata api ilegal dan mendanai terorisme.

Negara-negara dan badan-badan PBB harus memperkuat kerja sama dalam menangani kejahatan transnasional, khususnya terkait pengendalian narkoba internasional. Untuk benar-benar mengatasi ancaman perdagangan narkoba dan dampak buruk yang ditimbulkannya pada kelompok rentan di seluruh dunia, perlu dilakukan pendekatan kolektif dan inovatif. Dunia internasional perlu mengambil langkah-langkah komprehensif dan seimbang yang berfokus tidak hanya pada represi, tetapi juga pada pencegahan, dukungan kepada para korban, rehabilitasi penyalahguna narkoba dan perlindungan pada kelompok rentan lainnya.

C.  Perspektif Hubungan Internasional terhadap Kejahatan Perdagangan Narkoba

Kompleksitas perdagangan narkoba internasional tidak hanya berasal dari sifat inherennya sebagai perusahaan gelap transnasional, tetapi juga dari tema dan persepsi yang digunakan untuk mengkarakterisasi, memahami dan menjelaskannya. Berdasarkan perspektif ilmu hubungan internasional, isu perdagangan narkoba memiliki keterkaitan erat dengan keamanan manusia(human security). Crick (2012) mengemukakan bahwa pada paruh pertama abad ke-20, wacana 'narkoba sebagai ancaman eksistensial' berpusat pada kerusakan yang diakibatkan oleh narkoba terhadap individu dan masyarakat, atau dengan kata lain, keamanan manusia. Penyalahguna narkoba digambarkan sebagai orang luar yang menimbulkan ancaman akan merusak tatanan masyarakat, dan lebih lanjut akan berpengaruh terhadap identitas nasional suatu negara.

Pada era setelah Perang Dingin, ancaman keamanan nasional dominan berasal dari aktor non-negara (non-state actor), berbeda dengan pada periode Perang Dingin yang kebanyakan ancamannya berasal dari aktor negara. Selain itu, Rahman (2016) menyebutkan bahwa pengertian keamanan nasional juga semakin berkembang, mencakup isu pembangunan, lingkungan, ekonomi, hak asasi manusia, konflik etnis, demokratisasi, dan berbagai masalah sosial lainnya. Perkembangan terkait pembaruan definisi keamanan tersebut kini biasa dikenal dengan keamanan non-tradisional (non-traditional security) yang juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pendekatan neorealisme, menyempurnakan definisi keamanan tradisional (traditional security) dari pendekatan realisme. Oleh karena itu, teori tentang pendekatan neorealisme akan digunakan untuk menganalisa isu kejahatan perdagangan narkoba dalam tulisan ini.

Waltz (2001) mengungkapkan bahwa pendekatan neorealisme didukung oleh lima asumsi utama. Asumsi pertama adalah bahwa negara merupakan aktor utama dalam sistem internasional dan beroperasi di bawah kondisi anarki internasional. Anarki menyiratkan bahwa struktur sistem internasional tidak memiliki otoritas legitimasi menyeluruh di tingkat global. Oleh karena tidak ada otoritas yang lebih tinggi di atas negara, bagi kaum penganut paham neorealis, negara merupakan awal dan akhir dari politik internasional dan dengan demikian merupakan unit analisis utama. Konsekuensi dari anarki tersebut selanjutnya mengarah pada asumsi kedua neorealisme: ada dilema keamanan bagi negara-negara dalam sistem internasional karena ketidakpastian tentang niat negara-negara lain dan dengan demikian kurangnya kepercayaan di antara mereka. Kurangnya kepercayaan yang berasal dari dilema keamanan mengarah ke elemen inti ketiga neorealisme: kelangsungan hidup. Di bawah kondisi anarkis, tujuan akhir negara adalah bertahan hidup dengan cara negara sendiri, karena dalam sistem anarkis selalu ada kemungkinan negara yang mengancam keselamatan orang lain. Asumsi keempat dari pendekatan neorealisme adalah bahwa untuk mencapai kelangsungan hidup, negara memiliki setidaknya beberapa kemampuan militer ofensif. Asumsi terakhir neorealisme adalah bahwa, dalam arti kiasan, negara 'berpikir' dan 'bertindak' secara strategis tentang bagaimana bertahan dalam sistem internasional, dan dengan demikian negara adalah aktor rasional yang mampu mengatur preferensi mereka.

Peningkatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba semakin tak terbendung meskipun terdapat peningkatan tindakan internasional untuk mencegahnya. Salah satu faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi yaitu karena para pembuat kebijakan menanggapi kekhawatiran tersebut seolah-olah permasalahan narkoba sebagai suatu masalah tunggal. Padahal, permasalahan narkoba bersifat multi-dimensi. Sudah sepatutnya permasalahan narkoba menjadi perhatian banyak aktor negara dan non-negara, memerlukan kerja sama multi-lateral di antara pemerintah, melibatkan partisipasi banyak departemen pemerintah secara lebih komprehensif dan menyeluruh. Dalam pengertian ini, "masalah narkoba" dapat digambarkan sebagai fenomena dengan karakteristik yang saling ketergantungan.

Pertumbuhan saling ketergantungan yang tak terbantahkan di dunia (termasuk dalam permasalahan narkoba) sejalan dengan konsep pemikiran neorealisme dalam hubungan internasional. Neorealisme pada dasarnya memberikan konsep rezim internasional sebagai sarana pembenahan filosofi politik kekuasaan realisme. Dalam pendekatan ini, rezim internasional dipahami sebagai fenomena dinamis yang sejalan dengan kekuatan aktor negara yang menyusunnya. Meski demikian, masih terdapat kekurangan dalam tinjauan konseptualisasi neorealisme politik dunia apabila digunakan untuk menjelaskan fenomena permasalahan narkoba. Kekurangan neorealisme dalam menjelaskan esensi permasalahan narkoba terletak pada asumsi utamanya, yaitu bahwa sistem internasional berada di bawah kondisi anarki dan bahwa negara berdaulat adalah aktor utama di dalamnya. Berdasarkan asumsi tersebut, pendekatan ini mengabaikan situasi peningkatan kekuatan aktor non-negara. Sedangkan di sisi lain, ancaman yang ditimbulkan oleh aktor transnasional dan non-negara yang terlibat dalam permasalahan narkoba merupakan salah satu tantangan terbesar bagi keamanan dan perdamaian internasional.

 

 

 

Kesimpulan

Kejahatan transnasional terorganisasi (termasuk perdagangan narkoba) merupakan fenomena internasional yang menempati posisi penting dalam domain ilmu hubungan internasional sehingga harus dikaji dan dipahami, baik secara teoritis maupun empiris. Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kelompok kriminal terorganisir akan berpengaruh terhadap pengembangan teori serta tanggapan kebijakan terhadap kejahatan. Selain mengetahui sekelompok individu yang terlibat atau berpartisipasi dalam suatu kasus, struktur interaksi mereka merupakan aspek penting dari proses yang harus dipahami dan diperhitungkan.

Organisasi perdagangan narkoba merupakan organisasi kompleks dengan struktur komando dan kontrol yang komprehensif dalam memproduksi, memindahkan dan/atau mendistribusikan substansi narkoba ilegal dengan jumlah besar. Dalam melancarkan aksinya, tidak jarang organisasi perdagangan narkoba menggunakan senjata maupun teror yang berpotensi menimbulkan kejahatan kriminal lainnya. Lebih lanjut, sekumpulan organisasi tersebut sangat mungkin saling bekerja sama untuk bersekongkol mengendalikan pasar narkoba pada suatu wilayah.

Perdagangan narkoba telah berkembang menjadi salah satu isu paling serius dalam domain ilmu hubungan internasional karena menjadi pemicu tekanan yang signifikan bagi individu, masyarakat, ekonomi, negara, dan sistem internasional. Permasalahan narkoba bersifat multi-dimensi dan saling ketergantungan karena melibatkan banyak sektor dalam suatu negara maupun antar negara. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permasalahan narkoba menjadi perhatian banyak aktor negara dan non-negara, memerlukan kerja sama multi-lateral di antara pemerintah, melibatkan partisipasi banyak departemen pemerintah secara lebih komprehensif dan menyeluruh.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Burt, R. S. (1992). Structural holes. Cambridge, MA: Harvard University Press.

 

Chandra, S., & Joba, J. (2015). Transnational cocaine and heroin flow networks in western Europe: A comparison. International Journal of Drug Policy, 26(8), 772�780. https://doi.org/10.1016/j.drugpo.2015.04.016

 

Charnysh, V., Lloyd, P., & Simmons, B. A. (2015). Frames and consensus formation in international relations: The case of trafficking in persons. European Journal of International Relations, 21(2), 323�351. https://doi.org/10.1177/ 1354066114530173

 

Colson, R. (2019). Fixing Transnational Drug Policy: Drug Prohibition in the Eyes of Comparative Law. Journal of Law and Society, 46(S1), S73�S94.

 

Creswell, J. W. (2018). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (5th Ed.). California: Sage Publications.

 

Crick, E. (2012). Drugs as an existential threat: An analysis of the international securitization of drugs. International Journal of Drug Policy, 23(5), 407�414. https://doi.org/10.1016/j.drugpo.2012.03.004

 

Hagan, A. O., & Hardwick, R. (2017). Behind Bars: The Truth about Drugs in Prisons. Forensic Research & Criminology International Journal, 5(3), 309�320. https://doi.org/10.15406/frcij.2017.05.00158

 

Jakobi, A. P. (2018). Governing illicit finance in transnational security spaces: the FATF and anti-money laundering. Crime, Law and Social Change, 69, 173�190. https://doi.org/10.1007/s10611-017-9750-y

 

Johnston, M. P. (2014). Secondary Data Analysis: A Method of which the Time Has Come. Qualitative and Quantitative Methods in Libraries (QQML), 3, 619�626.

 

Kan, P. R. (2016). Drug Trafficking and International Security. Maryland: Rowman & Littlefield.

 

Kirby, P. (2013). How is rape a weapon of war? Feminist International Relations, modes of critical explanation and the study of wartime sexual violence. European Journal of International Relations, 19(4), 797�821. https://doi.org/10.1177/ 1354066111427614

 

Prayuda, R., Warsito, T., & Surwandono. (2021). Problems faced by ASEAN in dealing with transnational drug smuggling in Southeast Asia region. Foresight: The Journal of Futures Studies, Strategic Thinking and Policy, 23(3), 353�366. https://doi.org/10.1108/FS-12-2019-0106

 

Rahman, A. (2016). Ancaman Peredaran Narkoba Ditinjau dari Perspektif Keamanan Manusia. Sosio Informa, 3, 273�290.

 

Schneider, S. (2013). Violence, organized crime, and illicit drug markets: a Canadian case study. Sociologia, Problemas e Pr�ticas, 71, 125�143.

 

UNODC. (2013). The challenge of new psychoactive substances. Vienna: United Nations Office on Drugs and Crime.

 

UNODC. (2017). The Drug Problem and Organized Crime, Illicit Financial Flows, Corruption and Terrorism. In World Drug Report 2017 (Vol. 5). Vienna: United Nations Office on Drugs and Crime.

 

U.S. Department of Justice. (2010). Drug Trafficking Organizations. Retrieved June 7, 2022, from National Drug Threat Assessment 2010 website: https://www.justice.gov/archive/ndic/pubs38/38661/dtos.htm#Top

 

Waltz, K. N. (2001). Man, the state, and war: a theoretical analysis. New York: Columbia University Press.

 

Williams, P. (1998). The nature of drug-trafficking networks. Current History, 97, 154�159.

 

Woodall, J. (2011). Social and environmental factors influencing in-prison drug use. Health Education, 112(1), 31�46.

 

Zabyelina, Y. (2009). Transnational Organized Crime in International Relations. Central European Journal of International and Security Studies, 3(1), 11�22.

 

Zaitch, D. (2002). Trafficking cocaine: Colombian drug entrepreneurs in the Netherlands. The Hague, Netherlands: Kluwer.

 

Zayzda, N. A., Haryanto, A., & Darmawan, A. B. (2020). Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi di Asia Tenggara. Bantul: Soedirman Center for Global Studies & Oceania Press.

 

Copyright holder:

Armita Eki Indahsari, Margaretha Hanita (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: