Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7 No. 10 Oktober 2022

 

ANALISIS PENGEMBANGAN DESA WISATA SEBAGAI BEST PRACTICE PENGGUNAAN DANA DESA UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DAN COLLABORATIVE GOVERNANCE

 

Rasmadi Didik Aryadi�

Fakultas Hukum, Universitas Muria Kudus, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengembangan desa wisata sebagai best practice penggunaan dana desa guna mewujudkan good governance dan collaborative governance. Desa wisata dipilih sebagai studi kasus karena potensi untuk meningkatkan perekonomian masyarakat desa sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan studi lapangan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen terkait penggunaan dana desa dalam pengembangan desa wisata. Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap, termasuk identifikasi pelaksanaan program desa wisata, partisipasi masyarakat, keterlibatan pemerintah desa, dan strategi kolaborasi dengan pihak terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan desa wisata telah memberikan dampak positif dalam penerapan good governance dan collaborative governance. Partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan telah meningkatkan akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana desa. Pemerintah desa berperan sebagai fasilitator dan memastikan alokasi dana desa sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah desa, lembaga pemerintahan, dan stakeholder terkait juga menjadi kunci keberhasilan dalam pengembangan desa wisata. Keterlibatan aktif dari semua pihak memungkinkan penggunaan sumber daya secara efisien dan memberdayakan masyarakat desa dalam mengelola destinasi wisata. Penelitian ini menyarankan agar pengembangan desa wisata menjadi model terbaik dalam penggunaan dana desa untuk mencapai good governance dan collaborative governance di tingkat desa. Namun, tantangan seperti pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat perlu terus diatasi agar keberlanjutannya dapat terjamin.

 

Kata kunci: Desa Wisata; Dana Desa; Good Governance; Collaborative Governance; Partisipasi Masyarakat.

 

Abstract

This study aims to analyze the development of tourism villages as a best practice in using village funds to realize good governance and collaborative governance. Tourism villages were chosen as case studies because of their potential to improve the economy of rural communities while maintaining the sustainability of the local environment and culture. The research method used is a qualitative approach with field studies, in-depth interviews, and document analysis related to the use of village funds in the development of tourism villages. Data collection is carried out through several stages, including identification of tourism village program implementation, community participation, village government involvement, and collaboration strategies with related parties. The results showed that the development of tourism villages has had a positive impact in the implementation of good governance and collaborative governance. The active participation of the community in planning and decision-making has increased accountability and transparency in the use of village funds. The village government acts as a facilitator and ensures the allocation of village funds in accordance with the priorities and needs of the community. Collaboration between village governments, government institutions, and related stakeholders is also the key to success in the development of tourism villages. Active involvement from all parties enables efficient use of resources and empowers rural communities in managing tourist destinations. This research suggests that tourism village development is the best model in using village funds to achieve good governance and collaborative governance at the village level. However, challenges such as sustainable resource management and community empowerment need to be addressed so that sustainability can be guaranteed.

 

Keywords: Tourism Village; Village Fund; Good Governance; Collaborative Governance; Community Participation.

 

Pendahuluan

Harapan desa untuk dapat bertenaga secara sosial dan berdaulat secara politik sebagai fondasi demokrasi desa. Serta berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya sebagai wajah kemandirian desa. Harapan tersebut semakin membuncah ketika UU Desa itu menghadirkan azas rekognisi dan subsidiaritas (Silahuddin, 2015). Alhasil UU Desa menjadi legal standing desa membangun, dalam arti sesungguhnya, yakni desa sebagai subjek dan bukan lagi sebagai objek pembangunan. Karena pemerintah telah memberikan pengakuan kepada desa menjadi pemerintahan tersendiri (rekognisi), dan diberikan kewenangan untuk menjalankan pembangunan desa (subsidiaritas).

Dinilai memiliki potensi wisata, Desa Rahtawu pun bangkit membangun dan mengembangkan sektor wisata. Culo Park, Puncak Songolikur, Puncak Natas Angin, air terjun Kertomo, air terjun Kalibanteng, petilasan Sendang Bunton, Eyang Pandu, Eyang Semar Badranaya, Eyang Gajah Mada, dan lain seterusnya adalah destinasi wisata yang sering menjadi rujukan wisatawan.

Sejalan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat, tuntutan kepada pemerintah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) juga meningkat, termasuk pembangunan dari Dana Desa, dan pengembangan wisata (Safitri & Fathah, 2018). Governance menjadi paradigma baru dalam tatanan pengelolaan kepemerintahan. Sehingga terjadi pergeseran paradigma dari government kearah governance yang menekankan pada kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan tiga pilar governance, maka dikembangkan paradigma baru administrasi publik yang disebut dengan kepemerintahan yang baik (good governance) (Setiawan, 2019).

Good governance juga diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Good dalam governance mengandung dua pengertian, pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak masyarakat, meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan nasional untuk kemandirian, pembangunan berkelanjutan serta keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang effisien dan efektif dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan (Nofianti, 2015). Jika good governance berjalan dalam satu pemerintahan, tentu kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, dan ekologi akan berkembang (Hakim, 2016).

Isu tingkat korupsi di Indonesia, menjadikan penilaian good governance juga lemah. Hasil penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC), peringkat persepsi korupsi Indonesia stabil di peringkat atas, jika dibandingkan dengan 16 negara Asia Pasifik lainnya. Dari skor 7,98 (2008) peringkat 3, menjadi peringkat ke-1 dengan skor 8,32 (2009), kemudian skor 9,07 (2010) juga peringkat ke-1. Selain itu, masalah korupsi juga terkait erat dengan birokrasi, birokrasi Indonesia dinilai terburuk. Implementasi good governance masih perlu diusahakan, disebabkan oleh akuntabilitas yang belum berjalan sepenuhnya. Indeks persepsi tentang korupsi selama dekade terakhir dalam hasil penelitian PERC 2022, Indonesia peringkat ke-1 (2022), peringkat ke-2 (2013, 2014, 2015, 2016, 2017, 2021), dan peringkat 3 (2018, 2019, 2020).

Butuh kebersamaan dalam melawan korupsi dan sekaligus meningkatkan good governance, yaitu semangat collaborative governance. Menurut Chris Ansell dan Alison Gash, collaborative governance adalah sebuah tata kelola pemerintahan dimana institusi-institusi pemerintahan secara langsung melibatkan aktor di luar pemerintah (baik masyakat/komunitas, nongovernment organization (NGO), maupun private sector) dalam proses pengambilan keputusan secara formal, yang berorientasi pada kepentingan bersama (Wardani & Fauzi, 2019). Tujuannya adalah untuk melaksanakan kebijakan dan mengelola program dan sumber daya secara Bersama (Muzwardi, 2020). Kebersamaan atau kolaborasi bisa menjadi kunci, tetapi juga tidak mudah.

Kolaborasi bukanlah efek otomatis dari berkembangnya jaringan yang saling terkoneksi dalam suatu komunitas, namun membutuhkan gagasan besar untuk bisa menghasilkan nilai publik (nilai yang bisa menyatukan banyak pihak) (Bianchi et al., 2021). Pengembangan desa wisata Rahtawu merupakan gagasan besar, yang dinilai mampu menjadi perekat kolaborasi.

Tabel 1 Dana Desa Rahtawu Tahun 2019-2023

Tahun

Dana Desa

Selisih

Persentase

2019

1.505.958.130

 

 

2020

1.635.157.084

129.198.954

8,6%

2021

1.746.226.000

111.068.916

6,8%

2022

1.351.227.000

-394.999.000

-22,6%

2023

1.218.464.000

-132.763.000

-9,8%

Rata-rata

1.491.406.442

 

 

Sumber: Dokumen APBDesa 2019-2023 Pemdes Rahtawu, 2023

Desa Rahtawu telah bertindak sebagai subjek pembangunan desa. Dengan jumlah Dana Desa sebagaimana tabel 2, rata-rata Dana Desa yang diterima Desa Rahtawu sebesar 1,49 Milyar setiap tahunnya, beberapa diantaranya dialokasikan untuk pengembangan desa wisata.

Dana Desa memang telah menjadi pondasi dasar desa, membangun kemampuan keuangan desa, dan berguna dalam mengejawantahkan kewenangan desa di bidang pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat (Kumalasari & Riharjo, 2016). Tidak disebutkannya kewenangan desa dalam mengelola wisata dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016, sementara Pemerintah Desa Rahtawu yang mempedomani Pertauran Menteri Desa PDTT -yang ditetapkan setiap tahun- melakukan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan dana yang bersumber dari Dana Desa menjadi isu hukum penelitian ini.� Isu hukum itu tepat untuk penelitian hukum normatif, karena isu hukum itu mempersoalkan hubungan antar proposisi yang ada di dalam hukum (Budiono et al., 2015).

Bertolak dari �desa baru� sebagaimana tersaji dalam tabel 1 desa lama vs desa baru, dan resourches keuangan dana desa, dimana Desa Rahtawu seharusnya memiliki power yang cukup untuk mewujudkan desa yang mandiri dan swasembada. Namun, kenyataannya Desa Rahtawu selama 7 tahun terakhir belum pernah mendapatkan predikat mandiri dan/atau swasembada, ataupun kemandirian sebagaimana Desa Pemecutan, Denpasar Utara, Denpasar, Bali maupun Desa Ponggok, Klaten . Penelitian ini ingin mencari jawaban atas kesenjangan/ ketimpangan yang terjadi, dengan pendekatan teori good governance dan collaborative governance.

Dengan latar belakang demikian, rumusan penelitian ini yaitu; 1) Bagaimana analisa yuridis pengembangan desa wisata antara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa dan Peraturan Menteri Desa PDTT setiap tahunnya tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa? 2) Bagaimana pengembangan Desa Wisata dari penggunaan Dana Desa di Rahtawu? 3)���� Bagaimana pengembangan Desa Wisata dalam mewujudkan good governance (GG) di Desa Rahtawu? 4) Bagaimana pengembangan Desa Wisata dalam mewujudkan collaborative governance (CG) di Desa Rahtawu?

 

Metode Penelitian

Penelitian ini memiliki 4 rumusan masalah, dan dalam rangka menjawab permasalahan serta tujuan penelitian, penulis menggunakan model pendekatan yang berbeda. Pertama, menggunakan pendekatan yuridis normatif, untuk melakukan analisa yuridis pengembangan desa wisata antara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa dan Peraturan Menteri Desa PDTT setiap tahunnya tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Kedua, pendekatan yuridis empiris untuk mengungkap bagaimana pengembangan desa wisata dari Dana Desa, pengembangan Desa Wisata dalam mewujudkan good governance, dan collaborative governance di Rahtawu.

Merujuk pada pendekatan penelitian yang berbeda, konsepsikan jenis data juga berbeda.

Pertama, tidak menggunakan data hukum, melainkan bahan� hukum dalam rangka melakukan analisa yuridis pengembangan desa wisata antara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa dan Peraturan Menteri Desa PDTT setiap tahunnya tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Beda antara data hukum dengan bahan hukum, dalam penelitian hukum normatif diperlukan bahan hukum, sementara dalam penelitian hukum empirik diperlukan data (Budiono et al., 2015).

Kedua, untuk mengungkap bagaimana pengembangan desa wisata dari Dana Desa, pengembangan Desa Wisata dalam mewujudkan good governance, dan collaborative governance di Rahtawu, peneliti membutuhkan jenis data primer dengan sumber data dari wawancara, observasi dan kuesioner. Dan jenis data sekunder, yang bersumber dari dokumen resmi, buku, laporan penelitian, jurnal/ artikel ilmiah, dan lain seterusnya yang kredibel.

Pertama, mencari dan menganalisa bahan hukum yang ada secara yuridis, karena peneliti hendak menemukan argumentasi hukum dari analisa yuridis pengembangan desa wisata antara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa dan Peraturan Menteri Desa PDTT setiap tahunnya tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa. Hal ini sesuai skema klasifikasi penelitian hukum normatif dan empirik, bahwa penelitian hukum normatif memiliki skema sebagai problem solving, argumentasi hukum, bahan hukum, praktik hukum.

Kedua, data primer dan data sekunder tentang pengembangan desa wisata dari Dana Desa, pengembangan Desa Wisata dalam mewujudkan good governance, dan collaborative governance di Rahtawu yang diperoleh, akan dilakukan pengelompokkan, kemudian dilakukan analisa kualitatif tematik. Untuk data sekunder yang terkumpul dari sumber kuesioner dilakukan analisis isi (Content analysis) sebelum ditarik sebuah kesimpulan. Bernard Berelson menegaskan bahwa content analysis adalah suatu teknik penelitian untuk deskripsi objektif, sistematis, dan kuantitatif dari isi komunikasi yang tampak.� Untuk kemudian hasil akhir dari penelitian ini adalah kualitatif.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Pengembangan Desa Wisata Dalam Perspektif Kewenangan Desa Dan Prioritas Penggunaan Dana Desa

Dalam Permendagri Nomor 44 Tahun 2016 tidak disebutkan secara eksplisit mengenai kewenangan desa dalam pengembangan desa wisata. Berbeda halnya dengan Peraturan Menteri Desa PDTT yang terbit setiap tahun, sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2023, secara eksplisit selalu melahirkan frase desa wisata. Sementara Menteri Dalam Negeri yang mendapat mandat regulasi (PP 47 Tahun 2015) untuk menetapkan kewenangan Desa, justru tidak menyebutkan baik secara implisit maupun eksplisit bahwa desa wisata merupakan kewenangan desa.

Hal ini dapat menimbulkan kegalauan tingkat tinggi karena, Dana Desa sampai sejauh ini digunakan untuk mendanai pelaksanaan kewenangan Desa, baik kewenangan berdasarkan hak asal usul maupun kewenangan lokal berskala Desa yang diatur dan diurus oleh Desa.� Kemudian, Dana Desa itu diprioritaskan untuk membiayai belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa sebagaimana tertuang dalam prioritas belanja Desa yang disepakati dalam Musyawarah Desa (Rahajeng, 2021).

Namun dibelakang hari diketahui, di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Dalam Permendagri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa itu sendiri, justru tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai kewenangan desa dalam pengembangan desa wisata.

1.      Analisa Yuridis Pengembangan Desa Wisata Dalam Perspektif Kewenangan Desa

Isu hukum yang diangkat oleh penelitian ini, yaitu �kewenangan desa� menjadi menarik ketika terjadi �perebutan� kewenangan untuk pertama kali, siapa yang sebenarnya berhak untuk membina desa itu dibuktikan dengan adanya peraturan menteri tentang kewenangan desa (Atmasasmita, 2012).

Berdasarkan Pasal 39 PP Nomor 43 Tahun 2014, disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kewenangan desa diatur dengan peraturan menteri, namun belum ada ketentuan, ini menteri yang mana. Dengan klausul ini, lahirlah Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.

Stakeholder pembangunan desa, baik ditingkat desa, kecamatan, dan kabupaten termasuk para pendamping desa, merasa senang karena telah terbit kepastian hukum untuk menjalankan apa-apa saja yang menjadi kewenangan desa, seiring dengan adanya Dana Desa.

Perdebatan mengenai siapa yang paling berhak menetapkan kewenangan desa seakan nampak ke permukaan, seiring adanya PP Nomor 47 Tahun 2015 yang merevisi PP Nomor 43 Tahun 2014. Dimana klausul Pasal 39 diubah, sehingga berbunyi, ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kewenangan desa diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri.

Jadi jelas, berdasarkan PP 47 Tahun 2015 (30 Juni 2015), Menteri Dalam Negeri adalah pihak yang paling berwenang untuk menetapkan kewenangan Desa. Sekalipun dalam penetapan kewenangan desa nantinya, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri nantinya berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan dan pemberdayaan masyarakat desa.� Kementerian Dalam Negeri baru menetapkan kewenangan Desa �satu tahun kemudian- melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa pada tanggal 30 Juni 2016.

Sederhananya kewenangan Desa praktis mempedomani Permendesa Nomor 1 Tahun 2015 sejak 28 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2016. Dan setelah 30 Juni 2016 sampai dengan semarang, kewenangan Desa telah mempedomani Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016.

Dengan adanya Permendagri dimaksud, penetapan kewenangan desa ditentukan secara berjenjang. Yakni, pertama, dijenjang kabupaten, adanya Peraturan Bupati/Walikota tentang daftar kewenangan Desa dan Desa Adat, yang mana Bupati/ Walikota menetapkan Rancangan Peraturan Bupati dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Gubernur. Dan Gubernur dalam melakukan konsultasi atas Rancangan Peraturan Bupati berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.�

 

2.   Analisa Yuridis Pengembangan Desa Wisata Dalam Perspektif Prioritas Penggunaan Dana Desa (PPDD)

Dana Desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan, namun diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.� Dan penetapan prioritas penggunaan Dana Desa (PPDD) paling lambat tiga bulan sebelum dimulainya tahun anggaran oleh Menteri yang menangani Desa, dengan berkoordinasi terlebih dahulu dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, Menteri, dan menteri teknis/ pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.

Dalam implementasinya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri Desa PDTT) menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa (PPDD) untuk setiap tahunnya, sejak Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2023. Adapun analisa yuridis pengembangan desa wisata dalam persepktif PPDD, disajikan sebagai berikut:

a. PPDD Tahun 2015, secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 7 Permendesa PDTT Nomor 5 Tahun 2015, bahwa PPDD diposisikan untuk mendukung target pembangunan sektor unggulan dalam RPJMN 2015-2019 dan RKP setiap tahunnya, yang diprioritaskan untuk mendukung kedaulatan pangan, energi, pembangunan kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan industri.

b. PPDD Tahun 2016. Sebagaimana terdapat dalam Lampiran Pedoman Umum Prioritas Pembangunan Dan Pemberdayaan Berdasarkan Tipologi Desa Permendesa PDTT Nomor 21 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016, sebagaimana diubah Permendesa PDTT Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016, ditentukan bahwa, tipologi desa merupakan fakta, karakteristik dan kondisi nyata yang khas, keadaan terkini di Desa, maupun keadaan yang berubah, berkembang dan diharapkan terjadi di masa depan (visi desa).

c. PPDD Tahun 2017. Permendesa PDTT Nomor 22 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017 sebagaimana diubah Permendesa PDTT Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, menunjukkan bahwa PPDD 2017 melanjutkan PPDD 2016, namun porsi untuk kegiatan wisata lebih luas lagi, yang meliputi pengadaan, pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana Desa Wisata, antara lain pondok wisata, panggung hiburan, kios cinderamata, kios warung makan, wahana permainan anak, permainan outbound, taman rekreasi, tempat penjualan tiket, rumah penginapan, angkutan wisata, dan sarana prasana lain yang sesuai analisis kebutuhan dan kondisi desa yang diputuskan dalam musyawarah desa.

Dalam analisa yuridis PPDD selama 9 tahun terakhir dan kewenangan desa, diperoleh gambaran faktual, bahwa pengembangan desa wisata merupakan kewenangan desa yang dijamin peraturan perundangan (Permendagri Nomor 44 Tahun 2016, Peraturan Bupati Nomor 32 Tahun 2018, Peraturan Desa Rahtawu Nomor 9 Tahun 2019) dan menjadi prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Desa PDTT tentang PPDD selama 9 tahun terakhir.

Seiring dengan adanya Peraturan Bupati Kudus Nomor 32 Tahun 2018, menjadikan Permendagri Nomor 44 Tahun 2016 tentang kewenangan desa dalam pengembangan desa wisata dapat lebih mudah dipahami, serta menunjukkan, bahwa pengembangan dalam perspektif kewenangan desa dengan PPDD tidak ada pertentangan/ perbedaan. Regulasi tentang kewenangan desa, dan regulasi tentang PPDD yang ada, justru saling melengkapi dan menguatkan.

 

B.     Pengembangan Desa Wisata Di Rahtawu Sebagai Best Practice Penggunaan Dana Desa

Desa Rahtawu yang berbatasan dengan Desa Tempur Kecamatan Keling Kabupaten Jepara disebelah utara, Perhutani wilayah Bate Alit Kabupaten Jepara disebelah barat. Desa Ternadi Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus disebelah timur, Desa Menawan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus disebelah selatan, memiliki sejumlah potensi wisata, sebagai berikut: 1) Wisata Jambu Ukir, Kali Cengkal dan Kedung Cengger. 2)�������� Wisata Sokokaleh. 3) Wisata alam Kertomo. 4) Destinasi wisata Culo. 5) Perkampungan Wetan Kali. 6) Perkampungan Semliro. 7) Wisata Agro Godang. 8) Wisata Gundi. 9) Rest Area Nganguk. 10) Wisata alam air terjun Kalibanteng.

Dengan banyaknya potensi wisata, Rahtawu dianugerahi Desa Wisata Rintisan, sebagaimana Keputusan Bupati Kudus Nomor 556/112/2020 tentang Penetapan Desa Rahtawu Kecamatan Gebog sebagai Desa Wisata Klasifikasi Rintisan di Kabupaten Kudus.

a.      Pengembangan Desa Wisata melalui BUM Desa

Dalam rangka memaksimalkan potensi desa, dan berdasarkan kewenangan desa, prioritas penggunaan dana desa (PPDD) serta Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberdayaan Desa Wisata di Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Desa Rahtawu mengembangkan satu strategi untuk meningkatkan potensi, kapasitas sumber daya lokal, peningkatan pendapatan masyarakat serta pendapatan asli desa, melalui pengembangan usaha produktif di bidang pariwisata, dengan mendirikan BUM Desa Utama Karya Rahtawu untuk mengelola wisata di desa Rahtawu. Penyertaan modal desa kepada BUM Desa Utama Karya Rahtawu sebagaimana tabel 1 berikut.

Tabel 2 Penyertaan Modal Desa Rahtawu Kepada BUM Desa Utama Karya Bersumber dari Dana Desa

Tahun

APB Desa (Rp)

Realisasi APB Desa (Rp)

Keterangan

2023

92.754.727,00

-

Dana Desa, Modal BUM Desa Utama Karya

2022

�50.000.000

50.000.000

Dana Desa, Modal BUM Desa Utama Karya

2022

�50.000.000

50.000.000

Dana Desa, Modal BUM Desa Bersama Rukun Lestari

2017

200.000.000

200.000.000

Dana Desa, Modal BUM Desa Utama Karya

Sumber: Data APB Desa dan Realisasi APB Desa Rahtawu Tahun 2022 dan 2023

 

Perjalanan usaha pengelolaan wisata BUM Desa Utama Karya Rahtawu pada periode pertama 2017-2021, dinilai kurang maksimal dan banyak kekurangan, baik dari sisi kelembagaan, konsep pengembangan wisata, sarana dan prasrana wisata, promosi dan networking.

Perjalanan usaha pengelolaan wisata BUM Desa Utama Karya pada periode kedua 2022-2027, diawali dengan langkah yang cukup meyakinkan. Pertama, Pemerintah Desa menerbitkan Peraturan Desa Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pungutan Desa, dimana BUM Desa melalui Peraturan Kepala Desa Nomor 7 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Desa Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pungutan Desa, diberikan kepercayaan untuk melakukan pungutan desa, salah satunya adalah tiket masuk desa wisata Rahtawu sebesar Rp2.000,-, dimana BUM Desa memperoleh porsi 40%, dan bagian pendapatan asli desa sebesar 60%. Ini artinya, terjadi hubungan mutualisme, hubungan yang saling menguntungkan.

 

b.      Pengembangan Desa Wisata Rahtawu melalui Pembangunan dan Pemberdayaan bersumber dari Dana Desa

Pada Tahun 2020, Pemerintah Desa Rahtawu telah merealisasikan anggaran pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dalam konteks pengelolaan Desa Wisata Rahtawu sebesar Rp 1.318.684.250 dengan 20 kegiatan. Yakni kegiatan dibidang pemerintahan 2 kegiatan (profil desa dan dokumen perencanaan), dibidang pembangunan 8 kegiatan (desa siaga, pembangunan/ rehabilitasi/ peningkatan/ pengerasan jalan, drainase, penyadaran tentang lingkungan hidup, dan sarpras wisata), kemudian dibidang pembinaan kemasyarakatan 4 kegiatan (pembinaan group kesenian dan kebudayaan tingkat desa, penyelenggaraan festival kesenian adat/ kebudayaan dan keagamaan, dan dibidang pemberdayaan masyarakat 6 kegiatan (pengenalan Tekhnologi Tepat Guna, dan Pembentukan/Fasilitasi/Pelatihan/Pendampingan kelompok usaha ekonomi produktif� (pengrajin pedagang industri rumah tangga dll)).

Sementara Tahun 2021, perhatian Pemerintah Desa Rahtawu sebesar Rp 1.039.326.000 untuk membiayai 12 kegiatan (mulai dari sistem informasi desa, penyelenggaraan pos kesehatan Desa, penyelenggaraan desa siaga, ambulance desa, pengelolaan lingkungan hidup, Pembangunan/ Rehabilitasi/ Peningkatan Sarana dan Prasarana Pariwisata Milik Desa, pelatihan kesiapsiagaan/tanggap bencana skala lokal desa, sampai dengan penyelenggaraan festival kesenian adat/ kebudayaan dan keagamaan (perayaan hari kemerdekaan hari besar keagamaan dll) tingkat desa).

Dan Tahun 2022, Pemerintah Desa Rahtawu telah merealisasikan anggaran dari Dana Desa untuk mendukung wisata sebesar Rp 548.335.500 untuk mendanai 16 kegiatan. Yaitu kegiatan penyuluhan dan pelatihan bidang kesehatan (untuk masyarakat tenaga kesehatan kader kesehatan), penyelenggaraan desa siaga kesehatan, pembangunan/rehabilitasi/peningkatan/pengerasan jalan usaha tani, sambungan air bersih ke rumah tangga (pipanisasi dll), pengelolaan lingkungan hidup desa, sarana dan prasarana pariwisata milik desa, pelatihan kesiapsiagaan/tanggap bencana skala lokal desa, pembinaan group kesenian dan kebudayaan tingkat desa, penyelenggaraan festival kesenian adat/kebudayaan dan keagamaan (perayaan hari kemerdekaan hari besar keagamaan) tingkat Desa, pelatihan pembinaan lembaga kemasyarakatan, peningkatan kapasitas perangkat desa, Revitalisasi BUM Desa (persiapan dan pembentukan awal BUM Desa), dan penyertaan modal BUM Desa) (Pakpahan, 2018).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perhatian Pemerintah Desa Rahtawu terhadap pengembangan Desa Wisata Rahtawu melalui Pembangunan dan Pemberdayaan bersumber dari Dana Desa terhitung besar. Pada Tahun 2019, 60% dari total Dana Desa yang diperoleh dialokasikan untuk menata infrastruktur desa yang notebenenya sangat mendukung wisata desa. Tahun 2020, 80,6% dari, Tahun 2021, 59,5%, dan Tahun 2022 sebesar 40,6% dari total Dana Desa dialokasikan untuk penyusunan perencanaan desa, pembangunan infrastruktur desa, sarpras wisata, penyediaan akses kesehatan, kebesihan, peningkatan kapasitas masyarakat, termasuk sampai dengan mitigasi kebencanaan.

 

C.    Pengembangan Desa Wisata Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance

Guna mengukur bagaimana pengembangan desa wisata dalam mewujudkan good governance, penulis menggunakan indikator menurut Leny Nofianti, dimana ia mengutarakan bahwa kunci utama penerapan good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Tolak ukur kinerja suatu pemerintahan diukur dari prinsip dimaksud. Penyelenggaraan pemerintahan dinilai baik atau buruk dinilai dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Prinsip-prinsip good governance adalah participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategi vision. Sembilan indikator itu saling memperkuat, tidak dapat berdiri sendiri (Nofianti, 2015).

Dengan menggunakan skala 1 sampai dengan 5, dengan angka 1 dipersepsikan sangat rendah dan 5 dipersepsikan sangat tinggi untuk menilai� semua unsur prinsip-prinsip good governance (Ulibarri et al., 2020).

Prinsip pertama good governance, yakni partisipasi, memperoleh skor sangat tinggi yakni 97,5% dari penilaian 3 unsur, yaitu; setiap warga/ perwakilan warga memiliki kesempatan (akses) untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan termasuk penganggaran di desa baik melalui musyawarah, penyampaian secara langsung, whatsapp, atau lainnya memperoleh skor 97,5%; setiap warga/ perwakilan warga memiliki kesempatan (akses) melakukan check and balance (pengawasan dan monitoring) terhadap pelaksanaan kebijakan termasuk penganggaran di desa memperoleh skor 97,5%; dan Pemerintah Desa mendorong partisipasi warga dalam proses penganggaran di Desa memperoleh skor 97,5%.

Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan desa wisata yang dilakukan oleh Pemerintah Desa rahtawu dari sisi partisipasi/ pelibatan masyarakat dinilai responden sangat tinggi. Yaitu masyarakat dilibatkan/ diberikan akses dalam penyusunan kebijakan, melakukan pengawasan dan monitoring pembangunan maupun penganggaran di Desa, hal ini dikarenakan Pemerintah Desa sendiri memang mendorong adanya partisipasi warga masyarakat.

Prinsip kedua dari good governance, adalah rule of law -atau sampai sejauhmana Pemerintah Desa Rahtawu mengikuti aturan hukum dalam mengembangan desa wisata- ini diperoleh skor sangat tinggi yakni 96,5% yang dinilai dari 6 unsur, yaitu: Pembatasan kekuasaan pemerintah. Menurut responden dinilai sangat baik dengan skor 93%. Pembatasan kekuasaan pemerintah dibangun dari assesement terhadap 5 aspek, yaitu: kekuasaan Pemerintah Desa dibatasi oleh BPD, memperoleh skor 80%; kekuasaan Pemerintah Desa di audit oleh Kecamatan/ Kabupaten/ APIP/ APH/ tinjauan independen, memperoleh skor 95%; Kepala Desa/ Perangkat Desa dikenai sanksi jika melanggar, memperoleh skor 100%; kekuasaan Pemerintah Desa juga di monitor oleh non-pemerintah, memperoleh skor 93%; dan terakhir assesement terhadap peralihan kekuasaan tunduk pada hukum, memperoleh skor 98%.

Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Rahtawu telah mengikuti aturan hukum dalam penembangan desa wisata, baik dari unsur pembatasan kekuasaan pemerintahan, ketiadaan korupsi, pemerintahan terbuka (keterbukaan pemerintah), pemenuhan terhadap hak-hak fundamental, ketertiban dan keamanan, maupun penegakan peraturan.

Prinsip ketiga dari good governance, yaitu transparancy atau keterbukaan Pemerintah Desa Rahtawu menurut responden sangat tinggi yakni 97,5% dari penilaian 4 unsur, yaitu: manajemen kerja Pemerintah Desa Rahtawu menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi proses pelayanan publik, memperoleh skor 98%; adanya mekanisme yang memfasilitasi komplain terhadap kebijakan dan pelayanan publik, memperoleh skor 95%; adanya mekanisme pelaporan / penyebaran informasi kebijakan atau penganggaran baik melalui media offline/ online, memperoleh skor 98%; adanya mekanisme pelaporan jika terdapat penyimpangan tindakan dari apratur Pemerintah Desa, memperoleh skor 98%.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, transparancy atau keterbukaan Pemerintah Desa Rahtawu sangat baik, dengan didukung manajemen kerja Pemerintah Desa Rahtawu yang menjamin sistem keterbukaan dan standarisasi proses pelayanan publik, adanya mekanisme yang memfasilitasi komplain terhadap kebijakan dan pelayanan publik, adanya mekanisme pelaporan/ penyebaran informasi kebijakan atau penganggaran baik melalui media offline/ online, adanya mekanisme pelaporan jika terdapat penyimpangan tindakan dari apratur Pemerintah Desa.

Prinsip keempat dari good governance, adalah responsiveness, atau responsivitas/ daya tanggap Pemerintah Desa Rahtawu menurut responden sangat tinggi yakni 98,8% yang dinilai dari penilaian 2 unsur, yaitu: Kepala Desa atau Perangkat Pemerintah Desa mendengarkan, kemudian menanggapi tuntutan warga dan/atau kelompok, memperoleh skor 100%; Kepala Desa atau Perangkat Pemerintah Desa menangani pembangunan dan masalah pembangunan secara totalitas, tidak terkesan hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja, memperoleh skor 98%.

Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Rahtawu (yang dalam hal ini yang dinilai adalah Kepala Desa/ Perangkat Desa) dinilai sangat tanggap karena mau mendengarkan, menanggapi tuntutan warga/ kelompok masyarakat, serta menangani masalah-masalah yang muncul baik di bidang pembangunan secara totalitas. Tidak hanya sekedar formalitas mau mendengarkan, menanggapi, lalu menangani hanya sebatas foto, untuk kemudian diviralkan.

Prinsip kelima dari good governance, adalah consensus orientation atau berorientasi pada kesepakatan bersama Pemerintah Desa Rahtawu menurut responden sangat tinggi yakni 100,0% yang dinilai dari penilaian 2 unsur, yaitu:� keputusan apapun yang diambil oleh Pemerintah Desa Rahtawu telah melalui proses musyawarah yang diterima semua pihak, dan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, memperoleh skor 100%; Pemerintah Desa Rahtawu mampu menjadi agregat kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya konsensus yang terbaik dan diterima semuanya, memperoleh skor 100%.�����

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dalam mengembangkan desa wisata rahtawu, pemerintah desa rahtawu telah berorientasi kepada kesepakatan. Dimana kesepakatan itu dibahas dan diputuskan melalui proses musyawarah, disamping pemerintah desa rahtawu juga mampu menjadi penengah beragam kepentingan/ keinginan warga masyarakat.

Prinsip keenam dari good governance, yaitu equity (kesetaraan) menurut responden, dinilai sangat tinggi yakni 98,8% yang dinilai dari penilaian 2 unsur, yaitu: Pemerintah Desa Rahtawu memiliki SOP (standar operasional prosedur pelayanan), memperoleh skor 98%; Pemerintah Desa Rahtawu memperlakuan dan memberikan pelayanan yang sama bagi semua masyarakat, memperoleh skor 100%.

Hal ini menunjukkan bahwa kesetaraan yang menjadi salah satu indikator good governance telah mampu dihadirkan oleh Pemerintah Desa Rahtawu, yakni dengan cara adanya SOP dalam pelayanan serta memberikan perlakuan pelayanan yang sama kepada siapapun yang mengurus. Tidak melihat kaya/ miskin, pejabat/ rakyat, tokoh/ petani biasa, bersepatu/ tidak.

Prinsip ketujuh dari good governance, yakni effectiveness and efficiency (berdaya guna dan berhasil guna) menurut responden sangat tinggi yakni 98,8% yang dinilai dari penilaian 2 unsur, yaitu: regulasi/ kebijakan di Desa Rahtawu yang disusun menghadirkan tujuan yang jelas dan terlaksana sampai dengan sekarang, memperoleh skor 100%; dan regulasi/ kebijakan di Desa Rahtawu yang telah disusun kemudian dilakukan evaluasi tetapi terlaksana sampai dengan sekarang, memperoleh skor 98%.

Responden memberikan penilaian yang sangat baik kepada Pemerintah Desa Rahtawu atas prinsip effectiveness and efficiency atau berdaya guna dan berhasil guna, karena menurut responden, Pemerintah Desa Rahtawu dinilai mampu menyusun regulasi/ kebijakan di Desa Rahtawu dengan menghadirkan tujuan yang jelas dan terlaksana sampai dengan sekarang, walaupun ada evaluasi tetapi terlaksana juga sampai dengan sekarang.

Prinsip kedelapan dari good governance, yakni accountability (akuntabilitas) menurut responden sangat tinggi yakni 98,6% yang dinilai dari penilaian 3 unsur, yaitu:

1. Tahapan saat pembuatan keputusan, memperoleh skor 100%. Dinilai dari 5 aspek, yaitu: sebuah keputusan harus dibuat tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan, memperoleh skor 100%; penyusunan keputusan harus memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku (sesuai dengan tata naskah administrasi maupun nilai-nilai yang berlaku), memperoleh skor 100%; jelas sasaran dari kebijakan yang diambil, dan relevan dengan visi misi Pemerintah Desa Rahtawu juga standar yang berlaku, memperoleh skor 100%; adanya mekanisme untuk menjamin bahwa standar telah terpenuhi dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika standar tersebut tidak terpenuhi, memperoleh skor 100%; konsistensi mencapai target operasional yang telah ditetapkan, memperoleh skor 98%.

2. Tahapan sosialisasi kebijakan, memperoleh skor 96%. Dinilai dari 4 aspek, yaitu: adanya penyebarluasan keputusan, melalui media massa, maupun media komunikasi persona, memperoleh skor 93%; akurasi dan kelengkapan informasi sehingga bagaimana bisa mencapai sasaran, memperoleh skor 98%; akses publik pada informasi/keputusan setelah keputusan dibuat, juga bagaimana mekanisme pengaduan masyarakat, memperoleh skor 98%; ketersediaan sistem informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh Pemerintah Desa Rahtawu, memperoleh skor 100%.

3. Setiap kegiatan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh Pemerintah Desa Rahtawu, memperoleh skor 100%.

Hal ini menunjukkan bahwa akuntabilitas di Desa Rahtawu telah berjalan efektif. Karena pada saat pembuatan keputusan telah dibuat secara tertulis, dan setiap warga yang membutuhkan dapat mengakses, penyusunan keputusan juga telah memenuhi standar etika dan nilai yang berlaku, sasaran dari kebijakan yang hendak diambil juga sesuai dengan visi misi Desa Rahtawu, disamping mekanisme pertanggungjawaban dari pelaksanaan kebijakan/ keputusan yang telah diambil.

Prinsip kesembilan dari good governance, yakni strategy vision atau kepemilikan pandangan strategis untuk menghadapi masa depan menurut responden sangat tinggi yakni 99,2% yang dinilai dari penilaian 3 unsur, yaitu: pemimpin, aparatur pemerintah desa dan masyarakat desa memiliki pemahaman atas kesejarahan, budaya dan sosial Desa Rahtawu yang menjadi dasar bagi perspektif masa depan, memperoleh skor 98%; pemimpin, aparatur pemerintah desa dan masyarakat desa Rahtawu memiliki pandangan-pandangan strategis, baik tentang pemerintahan yang baik, pembangunan manusia, serta kepekaan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan harapan di masa depan Desa Rahtawu, memperoleh skor 100%; Pemerintah Desa Rahtawu memberikan kesempatan dan peluang bagi masyarakat untuk memiliki mimpi dan harapan yang lebih baik di masa depan, memperoleh skor 100%.

Berdasarakan data di atas, menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Rahtawu yang aktif sekarang dinilai telah memiliki pandangan terhadap masa depan. Baik pemimpin, aparatur pemerintah desa maupun masyarakat desa Rahtawu memiliki pandangan kedepan yang strategis, baik soal pemerintahan yang baik, pembangunan manusia, serta pembangunan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan harapan di masa depan di Desa Rahtawu. Berdasar atas kesejarahan, budaya dan sosial Desa Rahtawu. Dengan demikian Pemerintah Desa Rahtawu telah berhasil memberikan kesempatan dan peluang bagi warga masyarakat Desa Rahtawu untuk memiliki mimpi dan memiliki harapan yang lebih baik di masa depan.

Penilaian responden terhadap pengembangan Desa Wisata dalam rangka mewujudkan Good Governance telah diuraikan setiap indikator yang beberapa indikator diantaranya diurai menjadi beberapa unsur dan bahkan diurai lagi menjadi beberapa aspek rincinya.� Dan perolehan skor akhir dari responden untuk penilaian good governance adalah 99,2%.

Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Rahtawu telah mampu mengelola sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan sumber daya keuangan, dengan transparan, akuntabel, untuk tujuan pembangunan yang adil dan berkelanjutan dalam konteks lingkungan politik dan kelembagaan yang menghargai tinggi hak asasi manusia, prinsip-prinsip demokrasi, dan juga supremasi hukum, sebagaimana dimaksud dalam Cotonou Partnership Agreement Art Bundschuh-Riesenede, (2008) Atau dapat dikatakan juga, bahwa Pemerintah Desa Rahtawu telah menyelenggarakan pemerintahan dengan baik dalam melaksanakan tugas yang diembannya, bertanggungjawab terhadap publik secara profesional, transparan, dan adil, sebagaimana dimaksud Soepomo.� Pemerintah Desa Rahtawu telah menempuh jalan yang berbeda dengan jalan �KKN� dan memperbaiki kinerja pemerintah, dan semoga saja pemerintah Desa Rahtawu dapat sejalan dengan cita-cita Bangsa Indonesia, mewujudkan keadilan sosial melalui sistem pemerintahan yang baik.

 

Conclusion

Setelah dianalisis secara yuridis pengembangan desa wisata antara Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa dan Peraturan Menteri Desa PDTT setiap tahunnya tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, yakni dengan adanya Permendagri dimaksud, penetapan kewenangan desa ditentukan secara berjenjang. Ditingkat kabupaten tedapat Peraturan Bupati Nomor 32 Tahun 2018 tentang Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul Dan Kewenangan Lokal Berskala Desa Di Kabupaten Kudus, ditetapkan pada tanggal 20 Desember 2018, yang mana Bupati/ Walikota dalam menetapkan Rancangan Peraturan Bupati dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Gubernur. Dan Gubernur dalam melakukan konsultasi atas Rancangan Peraturan Bupati berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAPHY

Atmasasmita, R. (2012). Tiga paradigma hukum dalam pembangunan nasional. Jurnal Hukum Prioris, 3(1), 1�26.

 

Bianchi, C., Nasi, G., & Rivenbark, W. C. (2021). Implementing collaborative governance: models, experiences, and challenges. In Public Management Review (Vol. 23, Issue 11, pp. 1581�1589). Taylor & Francis.

 

Budiono, A. R., SH, M. H., Bellefroid, Z., Chand, H., Sidharta, B. A., & Mahmud, P. (2015). Ilmu Hukum Dan Penelitian Hukum*. tt.

 

Bundschuh-Rieseneder, F. F. (2008). Good governance: Characteristics, methods and the Austrian examples. Transylvanian Review of Administrative Sciences, 4(24), 26�52.

 

Hakim, A. (2016). Dinamika Pelaksanaan Good Governance Di Indonesia (Dalam Perspektif Yuridis Dan Implementasi). Civil Service Journal, 10(1 Juni).

 

Kumalasari, D., & Riharjo, I. B. (2016). Transparansi dan akuntabilitas pemerintah desa dalam pengelolaan alokasi dana desa. Jurnal Ilmu Dan Riset Akuntansi (JIRA), 5(11).

 

Muzwardi, A. (2020). Analisa Collaborative Governance Dalam Menarik Investasi Asing Kawasan Free Trade Zone Bintan. Jurnal PIR: Power in International Relations, 3(2), 126�139.

 

Nofianti, L. (2015). Ringkasan Buku PUBLIC SECTOR GOVERNANCE Pada Pemerintah Daerah. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

 

Pakpahan, R. (2018). Implementasi Prinsip Pariwisata Berbasis Komunitas Dalam Pengembangan Desa Wisata Nglinggo Yogyakarta. Barista: Jurnal Kajian Bahasa Dan Pariwisata, 5(1), 103�116.

 

Rahajeng, M. M. (2021). Penerapan Prinsip�Prinsip Good Governance Dalam Pengelolaan Dana Desa Di Desa Wlahar Wetan Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas. Public Policy And Management Inquiry, 4(2), 163�174.

 

Safitri, T. A., & Fathah, R. N. (2018). Pengelolaan Alokasi Dana Desa Dalam Mewujudkan Good Governance. Jurnal Litbang Sukowati: Media Penelitian Dan Pengembangan, 2(1), 89�105.

 

Setiawan, A. (2019). Pengelolaan Alokasi Dana Desa Dalam Mewujudkan Good Governance. Among Makarti, 11(2).

 

Silahuddin, M. (2015). Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia.

 

Ulibarri, N., Emerson, K., Imperial, M. T., Jager, N. W., Newig, J., & Weber, E. (2020). How does collaborative governance evolve? Insights from a medium-n case comparison. Policy and Society, 39(4), 617�637.

 

Wardani, M. K., & Fauzi, A. S. (2019). Analisis Penerapan Good Corporate Governance Dalam Pengelolaan Dana Desa Di Desa Sewurejo Karanganyar. Among Makarti, 11(2).

 

Copyright holder:

Rasmadi Didik Aryadi (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: