Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN KABUPATEN/ KOTA DI KALIMANTAN TENGAH
Nadya Chinthya, Muhammad Handry Imansyah, Dewi Rahayu
Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Lambung Mangkurat,
Indonesia
E-mail: [email protected], [email protected],
[email protected]
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh upah minimum, pendapatan perkapita, tingkat
pengangguran terbuka, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan, pengeluaran
pemerintah bidang kesehatan, dan sektor pertanian terhadap tingkat kemiskinan
kabupaten/kota di Kalimantan Tengah. Alat analisis
yang digunakan adalah
regresi data panel,
menggunakan data panel tahun 2010-2019 pada 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah. Teknik estimasi data panel yang digunakan adalah fixed effect model (FEM) dengan pendekatan generalized
least square (GLS). Hasil yang diperoleh yaitu secara simultan upah minimum, pendapatan perkapita, tingkat
pengangguran terbuka, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan, pengeluaran pemerintah
bidang kesehatan, dan sektor pertanian berpengaruh signifikan terhadap tingkat
kemiskinan kabupaten/kota di Kalimantan Tengah. Secara
parsial upah minimum dan pengeluaran pemerintah bidang pendidikan berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Kalimantan
Tengah. Pendapatan perkapita dan pengeluaran pemerintah bidang kesehatan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan kabupaten/kota di
Kalimantan Tengah. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka dan pengeluaran
pemerintah bidang kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat
kemiskinan kabupaten/kota di Kalimantan Tengah.
Kata kunci: Upah minimum, pendapatan perkapita, tingkat
pengangguran terbuka, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan, pengeluaran
pemerintah bidang kesehatan, sektor pertanian
This study aims to analyze the
effect of the minimum wage, per capita income, open unemployment rate, government education expenditure, government
health expenditure, and the agricultural sector
on the poverty level of districts/cities in Central Kalimantan. The analytical tool used
is panel data regression, by using panel data for 2010-2019 in 14
districts/cities in Central Kalimantan Province. The panel data estimation technique used is a fixed effect
model (FEM) with a generalized least square (GLS) approach. The results obtaine that
simultaneously the minimum wage, per capita income, open unemployment rate, government education expenditure, government
health expenditure, and the agricultural
sector have a significant effect on the poverty level of districts/cities in
Central Kalimantan. Partially, the minimum wage and government spending on education have a negative
and significant effect on the poverty level of districts/cities in
Central Kalimantan. Per capita income
and government expenditure on health have a positive and significant impact on
poverty in districts/cities in Central
Kalimantan. Meanwhile, the open unemployment rate and government spending on health have no significant effect on the poverty
level of districts/cities in Central Kalimantan.
Keywords: Minimum wage, per capita
income, open unemployment rate, government education expenditure, government health expenditure,
agriculture sector.
Kemiskinan merupakan permasalahan yang masih menjadi fokus
yang berusaha dituntaskan atau setidaknya dikurangi di setiap negara khususnya
negara berkembang seperti Indonesia. Pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat
maupun daerah senantiasa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk
mengentaskan kemiskinan.
Angka
kemiskinan di Indonesia mencapai 9,41% dari jumlah penduduk per Maret 2019 atau
mencapai 25,14 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan Maret 2018 yang berada di
angka 9,82% atau 25,95 juta jiwa, angka kemiskinan turun sebesar 41 basis poin
(bps) atau sebanyak 810 ribu jiwa. Dari 34 provinsi, terdapat 16 provinsi yang
memiliki angka kemiskinan di atas angka nasional dan 18 provinsi lainnya berada
dibawah angka nasional (Badan Pusat
Statistik, 2020).
Lima
provinsi yang memiliki angka kemiskinan terbesar berada di kawasan timur
Indonesia. Provinsi tersebut adalah Papua (26,55%), Papua Barat (21,51%), Nusa
Tenggara Timur (20,62%), Maluku (17,65%), dan Gorontalo (15,31%). Sedangkan
lima provinsi yang memiliki angka kemiskinan terendah adalah DKI Jakarta, Bali,
Kalimantan Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kalimantan Tengah.
Kalimantan Tengah merupakan salah
satu provinsi di Indonesia yang juga tidak terlepas dari masalah kemiskinan.
Faktanya pada tahun 2019 sekitar 4,81% penduduk di Kalimantan Tengah merupakan
penduduk miskin. Secara umum jumlah
penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Tengah selama 10 Tahun terakhir yaitu
sejak tahun 2010 hingga tahun 2019 terus mengalami penurunan. Pada tahun 2010
jumlah penduduk miskin di Kalimantan Tengah mencapai 166.003 jiwa sedangkan
pada tahun 2019 mecapai 134.590 jiwa artinya telah terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin sekitar 31.413 jiwa. Tetapi jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik sebanyak
431 jiwa, dari yang sebelumnya berjumlah 48.127 jiwa pada September 2018
menjadi 48.558 jiwa pada Maret 2019, sementara di daerah peperdesaan berkurang
sebanyak 2.283 orang, dari yang sebelumnya berjulah 88.319 jiwa pada September
2018 menjadi 86.036 jiwa pada Maret 2019.
Berbeda dengan
jumlah penduduk miskin, daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di
Provinsi Kalimantan Tengah berada di Kabupaten Seruyan (17,9%), Kabupaten
Barito Timur (6,32%), dan Kabupaten Murung Raya (6,0 %). Sedangkan daerah
dengan persentase penduduk miskin terendah berada di Kabupaten Lamandau
(3,01%), Kabupaten Sukamara (3,16), dan Kota Palangkaraya (3,35%).
Kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan (Badan Pusat Statistik, 2020). Besarnya kemiskinan dapat
diukur dengan atau tanpa mengacu pada garis kemiskinan (poverty line), konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut
kemiskinan absolute (Tambunan, 2001).
Peranan
komoditi makanan terhadap garis kemiskinan di Kalimantan Tengah sebesar 79,05
persen jauh lebih besar dari peranan komoditi bukan makanan. Tiga jenis
komoditi makanan yang berpengaruh paling besar terhadap nilai garis kemiskinan
di Kalimantan Tengah adalah beras, rokok kretek filter, daging ayam ras untuk
daerah perkotaan sedangkan daerah perdesaan dipengaruhi oleh beras, rokok
kretek filter, telur ayam ras. Kemudian terdapat lima komoditi bukan makanan
yang paling dominan yaitu biaya perumahan, listrik, bensin, pendidikan dan perlengkapan
mandi (Widodo et
al., 2011).
Menurut Aprilia (2016) salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinan adalah upah
minimum.
Dalam penelitiannya menyebutkan adanya pengaruh yang negatif dan signifikan
antara upah minimum dan kemiskinan di Jawa Timur. Gagasan
upah minimum yang sudah dimulai dan dikembangkan sejak awal tahun 1970-an
dengan tujuan sebagai jaring pengaman terhadap pekerja atau buruh agar tidak
diekspolitasi dalam bekerja dan mendapat upah yang dapat memenuhi kebutuhan
hidup layak (KHL). Jika kebutuhan hidup layak dapat terpenuhi, maka
kesejahteraan pekerja dapat meningkat dan terbebas dari masalah kemiskinan.
Selain upah minimum Aprilia (2016) juga menyebutkan bahwa tingkat pengangguran
terbuka juga memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap
kemiskinan di Jawa Timur. Hal ini sejalan dengan penelitian Fadlillah et al., (2016) yang juga menyebutkan bahwa tingkat
pengangguran terbuka memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap
kemiskinan di Jawa Tengah.
Menurut Sukirno (2004) efek buruk dari pengangguran
adalah mengurangi pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat
kemakmuran yang telah dicapai seseorang. Semakin rendah kesejahteraan
masyarakat akibat menganggur tentunya akan meningkatkan peluang mereka terjebak
dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan.
Dalam penelitian
yang sama Fadlillah et al., (2016) juga menyebutkan adanya faktor lain
yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah yaitu pendapatan perkapita dimana
memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap kemiskinan. Pendapatan
perkapita merupakan salah satu ukuran kemakmuran bagi tiap daerah. Semakin
tinggi pendapatan tersebut maka semakin tinggi daya beli penduduk, dan daya
beli yang bertambah ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Sukirno,
2006).
Intervensi
pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan tentunya masih sangat diperlukan. Beberapa tahun terakhir ini
pemerintah Kalimantan Tengah telah mengeluarkan banyak kebijakan yang berhubungan dengan pengentasan
kemiskinan melalui sekolah dan kesehatan gratis bagi penduduk miskin. Hal ini
sejalan dengan amanat dari
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 49 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 171 tentang Kesehatan agar mengalokasikan 20 persen
untuk sektor pendidikan dan 10 persen untuk sektor kesehatan.
Menurut
Baruwadi
(2018) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan
pengeluaran pemerintah sektor kesehatan merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan di Gorontalo. Pengeluaran pemerintah sektor pendidikan
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan sedangkan pengeluaran pemerintah
sektor kesehatan memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan.
Struktur
perekonomian kabupaten/kota di Kalimantan Tengah relatif bervariasi. Secara
umum Lapangan Usaha Pertanian masih mendominasi kecuali Kota Palangka Raya.
Lapangan usaha lainnya yang cukup berperan penting dalam perekonomian
kabupaten/kota adalah Industri Pengolahan, Perdagangan Besar dan Eceran,
Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, dan Pertambangan dan Penggalian.
Dalam
sektor pertanian peningkatan luas panen, produktivitas dan produksi tanaman
pangan, khususnya padi merupakan tanaman unggulan dan prioritas di Provinsi
Kalimantan Tengah sehingga pemerintah terus berupaya mengoptimalisasi lahan
pertanian dan meningkatkan produktivitas. Hal ini menjadi penting karena
Provinsi Kalimantan Tengah khususnya Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang
Pisau di gadang-gadang akan menjadi Lumbung Pangan Nasional atau Food Estate.
Selain
padi, salah satu sub sektor pertanian Provinsi Kalimantan Tengah secara
keseluruhan yang
paling menonjol adalah perkebunannya. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit di
pulau Kalimantan terletak di Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah menjadi
sentra produksi kelapa sawit dan memberikan kontribusi ekonomi yang besar untuk
PDRB masing-masing daerah yang berada di Kalimantan Tengah, yang juga merupakan
penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia selain Provinsi Riau dan Sumatera.
Sihombing & Bangun (2019) melakukan analisis korelasi
sektor pertanian terhadap tingkat kemiskinan di sumatera utara menunjukkan
bahwa terdapat hubungan signifikan yang bersifat negatif antara sektor
pertanian dengan kemiskinan. Sejalan dengan penelitian Purnami &
Saskara (2016) menemukan bahwa kontribusi
sektor pertanian berpengaruh signifikan positif pada kemiskinan. Sektor
pertanian masih merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang
banyak yaitu sebesar 38,1% dan hal ini diharapkan dapat menurunkan kemiskinan.
Penelitian
dalam tesis ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu yang telah
dilakukan terutama dilihat dari periode waktu penelitian dan pendekatan analisis datanya. Penelitian ini dilakukan di
14 kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Tengah dengan periode Tahun 2010-2019
dengan menggunakan Analisis Regresi Data Panel . Variabel yang digunakan adalah
Upah Minimum,
Pendapatan Perkapita, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Pengeluaran
Pemerintah Bidang Pendidikan, Pengeluaran Pemerintah Bidang Kesehatan dan Sektor pertanian.
Kemudian dari aspek fenomena
empiris Kalimantan Tengah berbeda dengan Provinsi-Provinsi lainnya di Indonesia
yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi. Kalimantan Tengah justru mengalami
penurunan tingkat kemiskinan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Bahkan faktanya Kalimantan
Tengah berada di posisi ke-5 kategori Provinsi di Indonesia yang memiliki
jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin terendah setelah Kalimantan
Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Maluku Utara, serta Kepulauan Riau. Hal
inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengetahui apa saja faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Berdasarkan kepada rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengidentifikasi apakah Upah Minimum, Pendapatan Perkapita, Tingkat Pengangguran Terbuka, dan Pengeluaran Pemerintah Bidang Pendidikan, Pengeluaran Pemerintah Bidang Kesehatan dan Sektor pertanian secara parsial dan simultan berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Kemiskinan di 14 Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Tengah. (2) Untuk mengidentifikasi faktor manakah yang paling dominan mempengaruhi tingkat kemiskinan di 14 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah.
Manfaat
penelitian ini adalah : (1) Dapat dijadikan sebagai bahan masukan atau
sumbangan dari pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan terkait
dengan masalah kemiskinan. (2) Sebagai bahan referensi peneliti lain yang
sedang melakukan penelitian dalam bidang sejenis.
(3) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta memperkaya pustaka dan menambah
pengalaman bagi penulis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
tingkat kemiskinan yang ada di 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Variabel
yang digunakan adalah Upah Minimum (X1), Pendapatan Perkapita (X2) Tingkat Pengangguran Terbuka (X3), Pengeluaran
Pemerintah Bidang Pendidikan (X4), Pengeluaran Pemerintah Bidang Kesehatan (X5) dan Sektor Pertanian (X6). Jenis
penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis statistik yang
diperlukan untuk memecahkan masalah penelitian (Sugiyono, 2014). Metode analisis yang
digunakan adalah metode analisis regresi data panel.
Koefisien Determinasi (R2) menunjukkan persentase pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen. Menurut Gujarati & Porter (2003) besarnya R2 dikenal sebagai koefisien determinasi (sampel) yang merupakan ukuran paling umum digunakan untuk mengukur goodness of fit dari sebuah garis regresi. Nilai tersebut melihat seberapa besar proporsi atau presentasi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen.
Tingkat ketepatan regresi ditentukan oleh besarnya nilai adjusted R2 antara 0 sampai dengan 1 (0≤ R2 ≤1). Semakin nilai R2 mendekati angka 1, berarti variabel independen dapat menjelaskan pengaruh terhadap variabel dependen dengan semakin baik.
Uji F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas yang dimasukkan kedalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat atau dependen.
Pengujian ini dilakukan hipotesa sebagai berikut :
H0: β1, β2, β3 = 0, artinya semua variabel independen bukan merupakan variabel penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.
H1: β1, β2, β3 ≠ 0, artinya semua variabel independen secara simultan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.
Keputusan diambil dengan cara melakukan perbandingan terhdap F hitung dengan F tabel. H0 diterima dan H1 ditolak apabila F hitung < F tabel, yang artinya variabel penjelas secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel yang dijelaskan secara signifikan. H0 ditolak dan H1 diterima apabila F hitung > F tabel, yang artinya variabel penjelas secara serentak dan bersama-sama mempengaruhi variabel yang dijelaskan secara signifikan.
Menurut Gujarati & Porter (2003) uji signifikansi merupakan sebuah prosedur yang digunakan untuk menguji kebenaran atau kesalahan dari hasil hipotesis nol dari sampel. Ide dasar pengujian signifikansi dilatar belakangi oleh uji statistik (estimator) dari distribusi sampel dari suatu statistik di bawah hipotesis nol.
Hipotesis dalam uji t-statistik adalah :
H0:βi = 0 Variabel independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
H1:β1 ≠ 0 Variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen
Sebuah
statistik dikatakan siginifikan secara statistik apabila nilai dari uji
statistiknya berada di daerah tolak. Sebaliknya, sebuah pengujian dikatakan tidak
signifikan secara statistik, jika nilai dari uji statistiknya berada di daerah
penerimaan. H0 diterima jika t hitung > t tabel, artinya tidak ada pengaruh signifikan
antara variabel independen terhadap variabel dependen. H1 diterima jika t
hitung < t tabel, artinya ada pengaruh antara signifikan variabel independen
terhadap variabel dependen.
Selain itu tingkat signifikansi pengaruh
masing-masing variable independen terhadap variable dependen dapat dilihat
melalui nilai probabilitas t dari setiap variabel independen pada hasil regresi
data panel dengan alpha atau taraf nyata. Jika p-value atau nilai probabilitas
t < alpha maka menunjukan bahwa variabel independen berpengaruh terhadap
variable dependen.
Dalam pembahasan menjawab hipotesis adalah mengestimasi model regresi
terlebih dahulu sesuai dengan teknik analisis yang ditemukan dalam metode
penelitian. Peneliti dengan bantuan program Eviews 9 memperoleh hasil
perhitungan koefisien regresi tiap variabel penelitian yang dapat dilihat sebagai
berikut:
Hasil Regresi Data Panel
Dependent Variable : Tingkat Kemiskinan |
|||
Variabel |
Common
Effect |
Fixed
Effect (GLS) |
Random
Effect |
Konstanta |
33,8413*** |
40,96036*** |
39,80571*** |
UM |
-2,258814*** |
-2,846332*** |
-2,440796*** |
PKP |
-0,938009 |
0,949902* |
0,336179 |
TPT |
-0,083574 |
-0,006662 |
-0,054278* |
EDUC |
-0,360054** |
-0,078424* |
-0,087561 |
HEALTH |
0,702373*** |
0,104714 |
0,074348 |
FARM |
0,002224 |
0,077676** |
0,025950 |
R-square |
0,339681 |
0,947062 |
0,717941 |
Adj
R-square |
0,309892 |
0,938680 |
0,705216 |
F-test |
11,40295 |
112,9894 |
56,42195 |
Durbin
Watson |
0,172792 |
1,288860 |
0,845725 |
Uji
Redundant |
|
69,441448*** |
|
Uji
Hausman |
|
|
31,377634*** |
Sumber: Hasil
Olah Data Regresi Panel Data dengan Eviews (Lampiran)
Keterangan : �� * = signifikan pada alpha
10%����������� *** = signifikan pada alpha
1%
**
= signifikan pada alpha 5%
Berdasarkan hasil regresi
data panel maka dapat dilihat bahwa model common effect memiliki
r-square sebesar 0,339681 atau 33,96%. Model fixed effect memiliki r-square sebesar 0,947062 atau 94,70%. Sedangkan model random effect memiliki
r-square sebesar 0,717941 atau 71,79%. R-square
disebut juga sebagai koefisien determinasi yang menjelaskan seberapa jauh
variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Berdasarkan nilai
r-square model fixed effect adalah
yang memiliki nilai tertinggi yaitu 94,70%.
Penentuan model
yang paling tepat antara model common effect,
fixed effect dan random effect
dapat dilihat dari pengujian yang telah dilakukan. Dalam penelitian ini uji
redundant/ uji chow digunakan untuk menentukan model estimasi terbaik antara model common effect atau fixed
effect yang paling tepat digunakan dalam mengestimasi data panel. Hipotesis
dari uji redundant/uji chow sebagai berikut.
H0: model common effect
H1: model fixed effect
Jika nilai
probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikansi (α) dapat disimpulkan
model estimasi yang terbaik adalah model fixed
effect, yang berarti H0 ditolak. Berdasarkan Tabel 5.5 hasil uji redundant/ menunjukkan nilai signifikan
pada tingkat
kepercayaan α=1% yang berarti hipotesis nol (H0) ditolak, maka model yang
terbaik adalah model fixed effect.
Selanjutnya
dilakukan uji hausman untuk menentukan model estimasi antara model fixed effect atau model random
effect yang paling tepat digunakan dalam mengestimasi data panel. Hipotesis
dari uji Hausman sebagai berikut:
H0:
model random effect
H1:
model fixed effect
Kriteria
penolakan hipotesis nol (H0) apabila nilai probabilitas lebih kecil dari tingkat
signifikansi (α). Berdasarkan
tabel 5.5 nilai uji hausman
signifikan pada tingkat
kepercayaan α=1% yang berarti hipotesis nol (H0) ditolak, maka model yang terbaik
adalah model fixed effect.
Model
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan Fixed Effect Model dengan pendekatan
GLS. Metode GLS (Generalized Least Square) dipilih dalam penelitian ini
karena adanya nilai lebih yang dimiliki oleh GLS dibandingkan OLS dalam
mengestimasi parameter regresi dan menurut Iswati et al., (2014) bahwa parameter GLS lebih
efisien dan stabil dibandingkan parameter OLS. Metode OLS yang umum tidak
mengasumsikan bahwa variansi variabel adalah heterogen. Metode GLS sudah
memperhitungkan heterogenitas yang terdapat pada variabel independent secara
eksplisit, sehingga metode ini mampu menghasilkan estimator yang memenuhi
kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) Gujarati & Porter (2009). Salah satu kelebihan metode GLS yaitu
tidak perlu memenuhi asumsi klasik. (Kosmaryati et al., 2019).
����������� Dari hasil uji Chow dan uji Hausman model terbaik yang akan
digunakan untuk mengetahui pengaruh upah minimum, pendapatan perkapita, tingkat
pengangguran terbuka, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan, pengeluaran
pemerintah bidang kesehatan dan sektor pertanian terhadap tingkat kemiskinan
di provinsi Kalimantan Tengah adalah model Fixed
Effect (GLS).
Uji analisis statistik adalah tahapan yang dilakukan setelah memilih
estimasi model terbaik untuk menjawab dari hipotesis dalam penelitian ini.
Setelah melalui pengujian pemilihan model model terbaik yang terpilih adalah
model Fixed Effect (GLS). Berdasarkan hasil regresi
yang telah dilakukan maka persamaan regresinya sebagai berikut:
TK = 40,960 � 2,846 UM + 0,949 PKP - 0,006 TPT- 0,078 EDUC +
0,104 HEALTH + 0,077 FARM + e
Tabel 2
Ringkasan Hasil Estimasi Regresi Model Fixed Effect
(GLS)
Variabel |
Coefficient |
Standart
error |
t-statistic |
Prob. |
Keterangan |
Konstanta |
40,96036 |
4,289867 |
9,548166 |
0,0000 |
|
UM |
-2,846332 |
0,373100 |
-7,628865 |
0,0000 |
negatif dan signifikan |
PKP |
0,949902 |
0,501096 |
1,895650 |
0,0604 |
positif dan
signifikan |
TPT |
-0,006662 |
0,026183 |
-0,254451 |
0,7996 |
tidak
signifikan |
EDUC |
-0,078424 |
0,046831 |
-1,674610 |
0,0966 |
negatif dan
signifikan |
HEALTH |
0,104714 |
0,109784 |
0,953813 |
0,3421 |
tidak signifikan |
FARM |
0,07676 |
0,031822 |
2,440918 |
0,0161 |
positif dan
signifikan |
R� |
0,947062 |
||||
Adjusted R� |
0,938680 |
||||
Prob. F |
0,0000 |
Sumber: Lampiran (diolah)
1. Uji Koefisien determinasi
(R�)
Koefisien determinasi (R�) adalah
suatu nilai yang menunjukkan seberapa besar variasi dari variabel dependen
dapat dijelaskan oleh variabel independen. Semakin besar nilai koefisien, maka
semakin baik model tersebut dalam menjelaskan pengaruh variabel-variabel
independen terhadap dependen.
Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel
5.6 menunjukkan bahwa nilai koefisien R� sebesar 0,9470 yang berarti variasi-variasi dari
perubahan variabel pengaruh upah minimum, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran
terbuka, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan, pengeluaran pemerintah
bidang kesehatan dan sektor pertanian, dapat menjelaskan sebesar 94,70% terhadap variasi variabel
tingkat kemiskinan, sedangkan sebesar 5,3% dijelaskan oleh variasi variabel-variabel
lain diluar model yang tercermin dalam variabel penganggu (error term).
2. Uji simultan (uji F)
Uji secara simultan dasarnya
dilakukan untuk menunjukkan apakah upah minimum, pendapatan perkapita, tingkat
pengangguran terbuka, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan, pengeluaran
pemerintah bidang kesehatan dan sektor pertanian mempunyai pengaruh secara
bersama-sama terhadap tingkat kemiskinan.
Berdasarkan Tabel 5.6 hasil regresi data panel
menggunakan model Fixed Effect
(GLS) menunjukkan
bahwa nilai probabilitas F adalah 0,0000 yang berarti bahwa probabilitas F <
α=1%.
Dapat disimpulkan bahwa keputusannya H0 ditolak atau H1 diterima yang berarti
secara simultan atau bersama-sama variabel upah minimum, pendapatan perkapita,
tingkat pengangguran terbuka, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan,
pengeluaran pemerintah bidang kesehatan dan sektor pertanian berpengaruh
terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Hasil uji F menunjukkan bahwa besar
kecilnya tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah dipengaruhi oleh upah
minimum, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran terbuka, pengeluaran
pemerintah bidang pendidikan, pengeluaran pemerintah bidang kesehatan dan
sektor pertanian yang dimiliki oleh masing-masing daerah kabupaten/kota di
Provinsi Kalimantan Tengah.
3. Uji individual (uji t)
Uji individual dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan tingkat signifikansi pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dapat dilihat melalui nilai probabilitas t dari setiap variabel independen pada hasil regresi data panel dengan alpha atau taraf nyatanya.
Berdasarkan
Tabel 5.8 uji signifikansi individual variabel upah minimum menunjukkan nilai
probabilitas 0,0000 lebih kecil dari nilai alpha α=1%, yang berarti
bahwa upah minimum
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi
Kalimantan Tengah.
Variabel pendapatan perkapita
menunjukkan nilai probabilitas 0,0604 lebih kecil dari nilai alpha α=10%,
yang berarti bahwa pendapatan perkapita berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat
kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Variabel tingkat pengangguran terbuka
menunjukkan nilai probabilitas 0,7996 lebih besar dari nilai alpha α=10%,
yang berarti bahwa tingkat pengangguran terbuka tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Variabel pengeluaran pemerintah
bidang pendidikan menunjukkan nilai probabilitas 0,0966 lebih kecil dari nilai
alpha α=10%, yang berarti bahwa pengeluaran pemerintah bidang pendidikan berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Variabel pengeluaran pemerintah bidang
kesehatan menunjukkan nilai probabilitas 0,3421 lebih besar dari nilai alpha α=10%, yang berarti bahwa pengeluaran pemerintah bidang kesehatan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi
Kalimantan Tengah.
Variabel sektor pertanian menunjukkan
nilai probabilitas 0,0161 lebih kecil dari nilai alpha α=5%, yang berarti
bahwa sektor pertanian berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan
di Provinsi Kalimantan Tengah.
Berdasarkan hasil uji parsial atau
uji individual dapat disimpulkan bahwa variabel upah minimum adalah faktor yang
paling dominan mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kalimantan Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa upah minimum berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kalimantan Tengah dengan koefisien
sebesar -2,8. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika ada kenaikan upah minimum
sebesar 1 persen, maka dapat menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 2,8 persen. Hasil penelitian sesuai
dengan hipotesis penelitian yang diajukan, maka hipotesis penelitian diterima.
Berdasarkan penelitian terdahulu Aprilia
(2016) upah minimum berpengaruh
negatif terhadap tingkat kemiskinan. Dengan adanya standar upah minimum yang
telah ditetapkan oleh pemerintah, maka akan memberikan penghasilan yang
layak bagi para pekerja/karyawan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
pekerja dan produktivitas pekerja juga akan meningkat. Hal tersebut juga merupakan
perlindungan bagi para pekerja agar tidak terjerat dalam kemiskinan.
Sejalan dengan penelitian Kurniawati et
al., (2017) yang
menyatakan adanya pengaruh negatif dan signifikan antara upah minimum dengan
kemiskinan dikarenakan kenaikan upah minimum dapat meningkatkan pendapatan dari
pekerja sehingga dapat membantu mereka keluar dari kemiskinan ketika pekerja
tersebut termasuk dalam kategori miskin. Penetapan upah minimum juga salah satu
upaya untuk mengurangi kesenjangan upah terendah dan upah tertinggi dan
meningkatkan penghasilan pekerja pada tingkat bawah.
Hasil penelitian ini sesuai dengan tujuan penetapan
upah minimum yang disampaikan oleh Kaufman (2000) yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan pekerja sehingga terbebas dari kemiskinan. Penetapan upah minimum
yang mendekati KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) dan diatas garis kemiskinan telah mampu menurunkan tingkat
kemiskinan.
Berikut adalah perbandingan Upah Minimum Provinsi pada Regional Kalimantan pada tahun
2019:
a.
Kalimantan Utara :
2.765.463,00
b.
Kalimantan Timur :
2.747.561,00
c.
Kalimantan Tengah :
2.663.435,00
d.
Kalimantan Selatan :
2.651.782,00
e.
Kalimantan Barat :
2.211.500,00
Kalimantan Tengah
berada pada urutan 3, lebih tinggi daripada upah minimum Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Barat namun lebih rendah daripada Kalimantan Utara dan Kalimantan
Timur. Artinya UMP di Kalimantan Tengah berada pada posisi yang relatif
ditengah-tengah, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah jika
dibandingkan provinsi di sekitarnya.
Upah minimum di Indonesia sejak Januari 2001, otoritas
penetapannya didesentralisasikan kepada Gubernur. Penetapan upah minimum dan
persetujuan penangguhan pelaksanaan merupakan kewenangan pemerintah/gubernur.
Proses perumusan
angka UMP/ UMK, diatur mengikuti prosedur yakni melalui Dewan Pengupahan (lembaga
non-struktural)
baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini dimaksudkan agar
dalam merumuskan UMP/ UMK itu, benar-benar merupakan hasil kajian menggunakan data
yang dapat dipertanggungjawakan. Dengan demikian diharapkan upah minimum yang ditetapkan bersifat
akseptabel.
Status Dewan Pengupahan adalah sebagai unit pemikir yang bersifat tripartit yang
bertugas memberikan saran, dan pertimbangan kepada pemerintah dalam rangka
perumusan kebijakan
pengupahan dan pengembangan sistem pengupahan, juga saran dan pertimbangan
penetapan UMP dan UMK. Disebut tripartit karena keanggotaan Dewan Pengupahan
terdiri atas unsur pemerintah, Organisasi Pengusaha, Serikat Pekerja/Serikat
Buruh, akademisi, dan pakar (Sudiarta
& Putra, 2015).
Dengan demikian penetapan upah minimum dapat menjaga stabilitas hubungan
kerja di Kalimantan Tengah dan juga dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan
untuk menurunkan kemiskinan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita berpengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kalimantan Tengah dengan koefisien
sebesar 0,94. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika ada kenaikan pendapatan
perkapita sebesar 1 persen, maka dapat meningkatkan kemiskinan sebesar 0,94
persen.
Penelitian ini tidak
sejalan dengan Sukirno (2006) yang menyatakan pendapatan perkapita masyarakat di
suatu daerah dapat dijadikan suatu parameter kesejahteraan masyarakat di daerah
tersebut. Ketika pendapatan perkapita naik maka masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan mudah sehingga
kemiskinan dapat berkurang. Hal ini juga mengidentifikasi bahwa semakin besar
pendapatan perkapita suatu masyarakat maka seharusnya semakin sejahtera juga
suatu wilayah.
Sektor terbesar yang mendukung perekonomian di
Provinsi Kalimantan Tengah adalah sektor pertanian, industri pengolahan,
perdagangan besar & eceran reparasi mobil & sepeda. Secara umum
terlihat bahwa pendapatan perkapita Kalimantan Tengah cukup tinggi disebabkan
karena dukungan sektor pertanian sebesar 20,12 % terhadap total PDRB secara
keseluruhan. Kemudian didukung juga oleh sektor industri pengolahan yang
menyumbangkan sebesar 14,98 % terhadap total PDRB. Selanjutnya adalah sektor
perdagangan besar & eceran reparasi mobil & sepeda yang menyumbangkan
sebesar 13,25 % dari total PDRB secara keseluruhan.
Jika dilihat sektor yang paling dominan yaitu sektor
pertanian pada tahun 2019, distribusi persentase PDRB pertanian terbesar adalah
dari subsektor perkebunan yaitu 59,96%. Sedangkan untuk subsektor lain tanaman
pangan 8,91 %, tanaman hortikultura 2,64%, peternakan 8,74%, perburuan 3,08%,
kehutanan dan penebangan kayu 4,71% serta perikanan 11,96%. Artinya dalam
sektor pertanian masih didominasi oleh perkebunan yaitu lebih spesifik lagi adalah
perkebunan kelapa sawit yang mempengaruhi pendapatan perkapita di Kalimantan
Tengah.
Permasalahan yang terjadi, manfaat ekonomi dari sub
sektor perkebunan yang didominasi oleh perkebunan kelapa sawit ini tidak
dinikmati oleh seluruh masyarakat. Ini disebabkan karena 88,92 % perkebunan
kelapa sawit di Kalimantan Tengah di kuasai oleh swasta sedangkan hanya sedikit
saja yang merupakan perkebunan rakyat yaitu 11,08 %. Artinya keuntungan dari
tingginya sektor pertanian khususnya sub sektor perkebunan hanya dinikmati oleh
perusahaan dan membuat pendapatan perusahan yang semakin tinggi, namun tidak
dinikmati oleh masyarakat Kalimantan Tengah secara umum.
Penelitian ini sejalan dengan Marmujiono
(2014) yang
menyatakan bahwa pendapatan perkapita berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kemiskinan karena dampak peningkatan pendapatan perkapita belum merata
ke seluruh masyarakat dan hanya sekelompok masyarakat saja yang merasakan
peningkatannya.
Indeks Gini atau Rasio Gini adalah indikator yang
digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar penduduk. Nilai Rasio
Gini berkisar antara 0 hingga 1. Nilai Rasio Gini yang semakin mendekati 1 mengindikasikan
tingkat ketimpangan yang semakin tinggi. Rasio Gini bernilai 0 menunjukkan
adanya pemerataan pendapatan yang sempurna, atau setiap orang memiliki
pendapatan yang sama. Sedangkan, Rasio Gini bernilai 1 menunjukkan ketimpangan
yang sempurna, atau satu orang memiliki segalanya sementara orang-orang lainnya
tidak memiliki apa-apa. Dengan kata lain, Rasio Gini diupayakan agar mendekati
0 untuk menunjukkan adanya pemerataan distribusi pendapatan antar penduduk
(Badan Pusat Statistik, 2019).
Rasio Gini di Indonesia pada tahun 2019 berada pada
angka 0,38. Tiga provinsi dengan tingkat ketimpangan pendapatan tertinggi yang
jauh di atas rata-rata nasional adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (0,42), kedua
adalah Gorontalo (0,41), dan yang ketiga adalah Jawa Barat (0,39). Ketimpangan
pendapatan (Gini Ratio) Kalimantan Tengah tahun 2019 berada pada angka 0,336
hanya memiliki selisih 0,04 saja dari ketimpangan nasional (0,38) dan hanya
memiliki selisih 0,08 dari gini rasio provinsi dengan ketimpangan pendapatan
tertinggi di Indonesia (0,42). Hal ini membuktikan bahwa distribusi pendapatan
di Kalimantan Tengah tidak merata.
Pendapatan perkapita tidak memcerminkan pemerataan
pendapatan. Perhitungan pendapatan perkapita secara garis besar merupakan nilai
keseluruhan PDRB dibagi dengan jumlah penduduk. Jika dilihat dari nilai PDRB
tinggi yang merupakan sumbangsih sub sektor perkebunan khususnya sawit kemudian
dibagi secara merata terhadap jumlah penduduk di Kalimantan Tengah tentu tidak
akan memberikan gambaran riil tentang seberapa besar sesungguhnya pendapatan
perkapita masyarakat di Kalimantan Tengah. Hal ini tidak dapat pula dijadikan
acuan untuk mengukur seberapa besar kesejahteraan dan kemampuan daya beli
masyarakat sehingga wajar jika pendapatan perkapita meningkat maka kemiskinan
akan ikut meningkat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka tidak
berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Kalimantan Tengah. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori
dan penelitian terdahulu yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini dan
tidak sesuai hipotesis penelitian yang diajukan, maka hipotesis penelitian tidak
diterima.
Tidak semua orang yang sementara menganggur itu selalu
miskin. Karena seperti halnya penduduk yang termasuk dalam kelompok
pengangguran terbuka ada beberapa macam penganggur, yaitu mereka yang mencari
kerja, mereka yang mempersiapkan usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan
karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan dan yang terakhir mereka yang
sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Diantara empat kategori
pengangguran terbuka diatas bahwa sebagian diantaranya ada yang masuk dalam
sektor informal, dan ada juga yang mempunyai pekerjaan dengan jam kerja kurang
dari yang ditentukan.
Selain itu ada yang sedang berusaha atau mempersiapkan
usaha sendiri, ada juga yang sedang menunggu mulainya bekerja, ada juga yang
mempunyai pekerjaan paruh waktu (part time) namun dengan penghasilan melebihi
orang bekerja secara normal, dan yang mana semua golongan tersebut masuk dalam
kategori pengangguran terbuka. Menurut Anjari &
Nurhasanah (2012) kemiskinan
mungkin tidak selalu berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Arsyad (2016) yang menyatakan bahwa salah
jika beranggapan setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah miskin,
sedang yang bekerja secara penuh adalah orang kaya. Hal ini karena kadangkala
ada pekerja di perkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari
pekerjaan yang lebih baik yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya.
Mereka menolak pekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka bersikap
demikian karena mereka mempunyai sumber lain yang bisa membantu masalah
keuangan mereka.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Mukhtar et
al., (2019) yang
menyatakan bahwa tingkat pengangguran terbuka tidak berpengaruh signifikan
terhadap kemiskinan karena orang-orang yang disebut menganggur belum tentu
miskin. Sama juga halnya adalah, banyaknya individu yang mungkin bekerja secara
penuh per hari, tetapi tetap memperoleh pendapatan yang sedikit. Banyak pekerja
yang mandiri disektor informal yang bekerja secara penuh tetapi mereka tetap
miskin.
Tidak berpengaruhnya tingkat pengangguran terbuka
terhadap tingkat kemiskinan di Kalimantan Tengah bisa disebabkan karena tingkat
pengangguran terbuka kurang dapat mencerminkan pengangguran secara keseluruhan
di Kalimantan Tengah. Hal ini dikarenakan tingkat pengangguran terbuka hanya
dapat menggambarkan pengangguran yang ada di perkotaan saja sedangkan untuk
daerah perdesaan sesungguhnya juga terdapat pengangguran terselubung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah bidang pendidikan
berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kalimantan Tengah dengan koefisien
sebesar -0,07. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika ada kenaikan pengeluaran
pemerintah bidang pendidikan sebesar 1 persen, maka dapat menurunkan tingkat
kemiskinan sebesar 0,07 persen. Hasil penelitian sesuai dengan hipotesis
penelitian yang diajukan, maka hipotesis penelitian diterima.
Pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dalam jangka
pendek dan jangka panjang memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap
tingkat kemiskinan. Hal ini terjadi dikarenakan hubungan pendidikan dengan
tingkat kemiskinan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk
berkembang lewat penguasaan. Ilmu dan keterampilan yang akan meningkatkan
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Ketika seseorang memiliki perkerjaan
yang sesuai dengan pendidikannya maka akan mendapatkan upah atau gaji yang
layak, sehingga dengan memiliki penghasilan yang layak seseorang dapat memenuhi
kebutuhan dasar sehari-hari. Pada akhirnya ketika seseorang dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya maka sesorang terhindar dari tingkat kemiskinan. Oleh karena
itu ketika pendidikan meningkat maka akan menyebabkan tingkat kemiskinan
menurun.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Sudiharta
& Sutrisna, 2014) bahwa
pendidikan secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kemiskinan. Selain itu penelitian ini juga menyatakan bahwa semakin tinggi
jenjang pendidikan yang di tempuh, maka akan tinggi juga produktivitas
kerjanya. Seperti yang dikemukakan oleh (Arsyad,
1999) bahwa
pendidikan berperan penting dalam mengurangi tingkat kemiskinan melalui
perbaikan produktivitas dan pelatihan pada golongan miskin sehingga akan
meningkatkan pendapatan. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam ilmu
ekonomi sering disebut dengan mutu modal manusia atau human capital.
Menurut Wahyudi
(2020) dukungan
anggaran pemerintah untuk pendidikan merupakan wujud nyata dari investasi
sumber daya manusia (human capital investment) untuk meningkatkan produktivitas
masyarakat dalam jangka panjang. Dalam konteks ini, alokasi anggaran untuk
bidang pendidikan terus diupayakan relatif lebih besar dibandingkan bidang
lainnya. Alokasi anggaran sektor publik ini difokuskan peningkatan sarana dan
prasarana pendidikan termasuk peningkatan tenaga pendidikan yang pada dasarnya
ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga akan memberi
dampak secara langsung terhadap
proses pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan tidak sesuai
dengan hipotesis penelitian yang diajukan, maka hipotesis penelitian tidak
diterima.
Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Demak et al.,
(2020) berdasarkan
pada studinya secara umum penelitian tersebut mengemukakan bahwa pengeluaran
pemerintah bidang kesehatan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kemiskinan. Setiap terjadi peningkatan satu unit pengeluaran pemerintah bidang kesehatan,
tidak diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian berpengaruh
positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Kalimantan Tengah dengan
koefisien sebesar -0,07. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika ada kenaikan
sektor pertanian sebesar 1 persen, maka dapat meningkatkan kemiskinan sebesar
0,07 persen.
Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Sihombing
& Bangun (2019) yang menyatakan
terdapat korelasi yang kuat namun arah negatif antara kemiskinan dengan sektor
pertanian. Ginantie
(2016) juga
menyatakan bahwa pertumbuhan sektor pertanian terbukti mampu mengurangi tingkat
kemiskinan. Namun masih diperlukan adanya langkah diversifikasi sektor
pertanian guna meningkatkan value added pertanian serta sinergitas sektor
pertanian dengan sektor-sektor lainnya. Hal ini karena wilayah dengan basis
pertanian ternyata lebih lambat dalam mengurangi kemiskinan dibandingkan dengan
wilayah nonbasis pertanian.
Tetapi hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Salqaura,
2020) yang
menyatakan adanya hubungan positif dan signifikan antara sektor pertanian
terhadap kemiskinan. Hal ini disebabkan karena persentase jumlah penduduk
miskin justru yang tertinggi berada di daerah-daerah yang merupakan sentra
pertanian di perdesaan. Sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan untuk
mengentaskan kemiskinan mengingat pencaharian utama penduduk perdesaan adalah
bertani.
Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah yang masih
sangat bergantung pada sektor pertanian. Terbukti sebesar 20,12% dari total
PDRB Kalimantan Tengah berasal dari sektor pertanian. Berdasarkan lapangan
pekerjaan pada Agustus 2019, lapangan pekerjaan utama paling banyak di
Kalimantan Tengah terdapat pada sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 38,01%,
sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor 15,69%,
serta Adminitrasi Pemerintah, Pertahanan dan Jaminan Sosial 7,89% (Badan Pusat
Statistik, 2019).
Berdasarkan pembahasan dan hasil analisis tentang
pengaruh upah minimum, pendapatan perkapita, tingkat pengangguran terbuka,
pengeluaran pemerintah bidang pendidikan, pengeluaran pemerintah bidang
kesehatan dan sektor pertanian terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi
Kalimantan Tengah tahun 2010-2019 yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: (1) Upah minimum, pendapatan perkapita, tingkat
pengangguran terbuka, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan, pengeluaran
pemerintah bidang kesehatan dan sektor pertanian secara simultan (bersama-sama)
berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan
Tengah. (2) Upah minimum dan pengeluaran pemerintah bidang pendidikan
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi
Kalimantan Tengah. Pendapatan perkapita dan sektor pertanian memiliki pengaruh
positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan
Tengah. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka dan pengeluaran pemerintah
bidang kesehatan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan
di Kalimantan Tengah. (3) Upah minimum merupakan faktor yang paling dominan
mempengaruhi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah.
Adji, W., Suwerli, & Suratno. (2007). Ekonomi
Jilid 2. Erlangga.
Alfian,
Tan, M. G., & Soemardjan, S. (1980). Kemiskinan Struktural : Suatu
Bunga Rampai. Pulsar.
Anjari,
A. ., & Nurhasanah, A. . (2012). Analisis Pengaruh Pdrb Per Kapita Dan
Tingkat Pengangguran Terbuka Terhadap Kemiskinan Di Provinsi Banten Tahun 2010
� 2011. UIN Sjarif Hidayatullah.
Aprilia,
R. D. (2016). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Upah Minumum, Pendidikan, dan
Tingkat Pengangguran Terhadap Kemiskinan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB
Universitas Brawijaya.
Arsyad,
L. (1999). Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE.
Arsyad,
L. (2016). Ekonomi Pembangunan. UPP STIM YKPN.
Badan
Pusat Statistik. (2019a). Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Kalimantan Tengah
Agustus 2019. BPS Provinsi Kalimantan Tengah.
Badan
Pusat Statistik. (2019b). Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Kalimantan
Tengah Menurut Lapangan Usaha 2015-2019. BPS Provinsi Kalimantan Tengah.
Badan
Pusat Statistik. (2020). Kalimantan Tengah Dalam Angka Tahun 2020. BPS
Provinsi Kalimantan Tengah.
Baruwadi,
M. A. (2018). Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Sektor Pendidikan dan
Kesehatan Terhadap Kemiskinan di Kabupaten/ Kota Provinsi Gorontalo.
Universitas Negeri Gorontalo.
Boediono.
(1993). Ekonomi Makro, Seni Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi. BPFE.
Cervantes-Godoy,
D., & Dewbre, J. (2010). Economic Importance of Agriculture for Poverty
Reduction. OECD Food, Agriculture and Fisheries Working Papers,.
Demak,
S. N. K., Masinambow, V. A. ., & Londa, A. T. (2020). Pengaruh Belanja
Pendidikan, Belanja Kesehatan, Belanja Modal, dan Inflasi Terhadap Kemiskinan
di Kota Manado. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, Volume 20.
Fadlillah,
N., Sukiman, & Dewi, A. S. (2016). Analisis Pengaruh Pendapatan Perkapita,
Tingkat Pengangguran, IPM dan Pertumbuhan Penduduk Terhadap Kemiskinan di Jawa
Tengah Tahun 2009-2013. EKO-REGIONAL, 11.
Ginantie,
B. (2016). Analisis Dampak Pertumbuhan Sektor Pertanian Terhadap Kemiskinan
Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB Universitas Brawijaya.
Gujarati,
D. N., & Porter, D. C. (2003). Ekonometrika Dasar. Erlangga.
Gujarati,
D. N., & Porter, D. C. (2009). Dasar-Dasar Ekonometrika. Salemba
Empat.
Hendra,
R. (2010). Determinan Kemiskinan Absolut di Kabupaten/ Kota Provinsi
Sumatera Utara Tahun 2005-2007. Universitas Indonesia.
Iswati,
Helmi, Syahni, R., & Maiyastri. (2014). Perbandingan Penduga Ordinary Least
Square (OLS) dan Generalized Least Square (GLS) Pada Model Regresi Linier
dengan Regresor Bersifat Stokastik dan Galat Model Berautokeralasi. Jurnal
Matematika UNAND.
Jhingan,
M. L. (2000). Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT Raja Grafindo Persada.
Kartasasmita,
G. (1996). Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan. CIDES.
Kaufman,
B. E. (2000). The Economic of Labor Markets (Fifth). The Dryden Press.
Kosmaryati,
Handayani, C. A., Isfahani, R. N., & Widodo, E. (2019). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kriminalitas di Indonesia Tahun 2011-2016 dengan Regresi Data
Panel. Indonesian Journal of Applied Statistic, Volume 2 N.
Kuncoro,
M. (1997). Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah Dan Kebijakan. YPKN.
Kurniawati,
A., Gunawan, B. T., & Indrasari, D. P. R. (2017). Dampak Upah Minimum
Terhadap Kemiskinan di Indonesia Tahun 2006-2014. Journal of Research in
Economics Management, Volume 17,.
Lanjouw.
(2001). Poverty, Education and Health in Indonesia. Who Benefits From Public
Spending? World Bank Working Paper No 2379.
Mahmudi.
(2007). Manajemen Kinerja Sektor Publik. UPP STIM YKPN.
Mangkoesoebroto.
(1994). Kebijakan Publik di Indonesia Subtansi dan Urgensi. PT Gramedia
Pustaka Utama.
Marmujiono,
S. P. (2014). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan dan
strategi pengentasan kemiskinan di KAB. Brebes tahun 2009-2011. Economics
Development Analysis Journal UNNES.
Mukhtar,
S., Saptono, A., & Arifin, A. S. (2019). The Analysis of The Effects of
Human Development Index and Opened Unemployment Levels to the Poverty in
Indonesia. Jurnal Ecoplan.
Nachrowi,
D., & Usman, H. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika
untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Universitas Indonesia.
Nanga,
M. (2001). Makroekonomi : Teori, Masalah dan Kebijakan. PT Raja
Grafindo Persada.
Purnami,
N. M. S., & Saskara, I. A. N. (2016). Analisis Pengaruh Pendidikan Dan
Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Serta Jumlah Penduduk
Miskin Di Provinsi Bali Tahun 2004-2013. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan
Universitas Udayana.
Richardson,
H. W. (1991). Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Lembaga Penerbit FE UI.
Sajogyo.
(1996). Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Aditya Media.
Salqaura,
S. S. (2020). Analisis Korelasi Sektor Pertanian Dengan Kemiskinan di Provinsi
Sumatera Utara. Jurnal Agristan.
Samuelson,
P. A., & Nordhaus, W. D. (2004). Ilmu Makro Ekonomi. (Alih Bahasa
Gretta, Theresa T, Bosco C, Anna E). Media Global Edukasi.
Sharp,
A. M., Register, C. A., & Leftwich, R. H. (1996). Economics of Social
Issues. Richard D. Irwin.
Sihombing,
A. O., & Bangun, R. H. (2019). Analisis Korelasi Sektor Pertanian Terhadap
Tingkat Kemiskinan di Provinsi Sumatera Utara. Agrica (Jurnal Agribisnis
Sumatera Utara).
Simanjuntak,
P. J. (1985). Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Lembaga Penerbit FE
UI.
Soetrisno.
(1984). Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara. BPFE.
Sudiarta,
K., & Putra, I. B. W. (2015). Kebijakan Pemerintah Dalam Penetapan Upah
Minimum. Journal Ilmu Hukum, Vol. 03, N.
Sudiharta,
P. S. P., & Sutrisna, K. (2014). Pengaruh PDRB Perkapita, Pendidikan, dan
Produktivitas Tenaga Kerja Terhadap Kemiskinan di Provinsi Bali. E-Jurnal EP
Unud, Vol. 3, No.
Sugiyono.
(2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Alfabeta.
Sukirno,
S. (2004). Pengantar Teori Makro Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada.
Sukirno,
S. (2006). Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan.
Prenada Media Group.
Sukirno,
S. (2012). Makro Ekonomi Teori Pengantar. PT Raja Grafindo Persada.
Sumarsono,
S. (2009). Ekonomi Sumber Daya Manusia Teori dan Kebijakan Publik. Graha
Ilmu.
Sumarsono,
S. (2013). Ekonomi Manajemen Sumber Daya Manusia dan Ketenagakerjaan.
Graha Ilmu.
Suryana.
(2000). Ekonomi Pembangunan: Problematika serta Pendekatan. Salemba
Empat.
Tambunan,
T. (2001). Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Ghalia
Indonesia.
Todaro,
M. P. (2003). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga.
Todaro,
M. P., & Smith, S. C. (2006). Pembangunan Ekonomi. Erlangga.
Wahyudi.
(2020). Pengeluaran Pemerintah dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
dan Tingkat Kemiskinan di Indonesia. Prosiding Seminar Akademik Tahunan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan.
Widarjono,
A. (2013). Ekonometrika: Pengantar dan Aplikasinya Disertai Panduan Eviews.
UPP STIM YKPN.
Widodo,
A., Waridin, & Johanna Maria K. (2011). Analisis Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pengentasan Kemiskinan
Melalui Peningkatan Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal
Dinamika Ekonomi Pembangunan, Vol. 1.
Wongdesmiwati.
(2009). Pertumbuhan Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Tahun
1990-2004. Jurnal Ekonomi Pembangunan.
Copyright holder: Nadya Chinthya, Muhammad
Handry Imansyah, Dewi Rahayu (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |