Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
HUKUM
ISLAM DALAM ADAT WARIS PADA MASYARAKAT KERINCI: STUDI TENTANG PEMIKIRAN HUKUM
ISLAM, ASAS HUKUM ADAT, DAN RELEVANSINYA DALAM MASYARAKAT KONTEMPORER
Husin Bafadhal, Qorry A�yuna Putri
UIN Sultan Thaha Saifuddin, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Seperti yang diketahui bahwa Indonesia terdiri
dari masyarakat yang heterogen, luasnya wilayah di Indonesia menjadikan setiap
kelompok masyarakatnya memiliki hukum adat yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Hukum adat
terkait warisan memang memiliki corak dan sifat tersendiri serta khas
Indonesia, tentunya berbeda dengan hukum Islam maupun hukum barat. Adapun
penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan normative
yang dimaksudkan untuk menelusuri alasan yang dipakai dalam pelaksanaan proses
pembagian harta warisan berdasarkan hukum Islam dalam Adat Masyarakat Kerinci.
Hasil pembahasan menjelaskan bahwa keberadaan hukum adat masyarakat Kerinci
terkait hukum kewarisan dalam kajian pemikiran Islam dinilai bertolak belakang.
Namun, untuk terhindar dari konflik sosial yang bisa melemahkan jati diri
bangsa maka dibutuhkan toleransi untuk dapat menerima perbedaan dan keberagaman
tersebut. Sebagaimana bahwa Keberagaman dan perbedaan asas hukum adat dalam
pemikiran Islam juga merupakan sebuah sunnatullah yang akan menyamakan
dalam perbedaan. Tentunya berbagai konflik dapat muncul, sehingga perlu
disikapi dalam maslahat untuk kebersamaan.
Kata Kunci: Hukum
Islam, Hukum Adat, Hukum Waris, Masyarakat Kerinci
Abstract
As it is known that Indonesia consists of heterogeneous societies, the
vast territory in Indonesia makes each community group have customary laws that
are different from one another. Customary
law related to inheritance does have its own style and nature and is unique to
Indonesia, of cqourse, different from Islamic law and western law. This
research is qualitative research. The research approach used is normative which
is intended to explore the reasons used in the implementation of the process of
distribution of inheritance based on Islamic law in the Customary People of
Kerinci. The results of the discussion explained that the existence of
customary law of the Kerinci people related to inheritance law in the study of
Islamic thought was considered contradictory. However, to avoid social
conflicts that can weaken the nation's identity, tolerance is needed to be able
to accept these differences and diversity. Just as the diversity and
differences in the principles of customary law in Islamic thought are also a
sunatullah that will equate in differences. Of course, various conflicts can
arise, so it needs to be addressed in the community for togetherness.
Keywords: Islamic
Law, Customary Law, Inheritance Law, Kerinci Society
Pendahuluan
Seperti yang diketahui bahwa Indonesia merupakan
negara yang mengakui keberlakuan hukum adat. Hukum adat merupakan sistem aturan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari kebiasaan atau budaya
yang dilakukan secara turun temurun, dihormati, dan ditaati oleh masyarakat (Tahrir &
Darussalam, 2021).
Secara tertulis hukum adat mendapat pengakuan dalam
UUD 1945 melalui penjelasan umum yang mengatur bahwa UUD 1945 adalah dasar hukum yang tertulis sedangkan di
sampingnya UUD itu berlaku juga dasar hukum yang tidak tertulis ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan dipelihara dalam praktik penyelenggara
walaupun tidak tertulis.
Masyarakat adat Kerinci, salah satu suku di
Indonesia, memiliki warisan budaya yang kaya, termasuk sistem hukum adat yang
unik. Hukum adat waris di Kerinci merupakan bagian integral dari kehidupan
masyarakat dan memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana harta benda
dan properti akan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Namun, dalam era modern ini, banyak masyarakat adat
di Indonesia menghadapi tantangan dalam menjaga dan mempertahankan
praktik-praktik adat mereka. Globalisasi, urbanisasi, dan pengaruh hukum
nasional telah menyebabkan perubahan dalam pola pikir dan tata cara hidup
masyarakat adat, termasuk dalam konteks hukum adat waris.
Adapun hukum adat yang tidak tertulis tumbuh dan
berkembang serta mengakar pada budaya tradisional yang diwujudkan sebagai hukum
rakyat yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Seperti
yang diketahui bahwa Indonesia terdiri dari masyarakat yang heterogen, luasnya
wilayah di Indonesia menjadikan setiap kelompok masyarakatnya memiliki hukum
adat yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Hukum adat
terkait warisan memang memiliki corak dan sifat tersendiri serta khas
Indonesia, tentunya berbeda dengan hukum Islam maupun hukum barat. Hal tersebut terletak pada pola pikir bangsa
Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat. Di Indonesia saat ini
terdapat 3 jenis hukum waris yang masih berlaku dan diterima oleh masyarakat
yakni 1) hukum berdasarkan syariat Islam (ilmu fara�id), hukum kewarisan adat (sifatnya tidak tertulis),
dan 3) hukum kewarisan berdasarkan KUHPerdata/ BW (Ningsih, 2022).
Hingga saat ini hukum kewarisan menjadi fenomena
menarik di lingkungan sosial masyarakat Indonesia. Hal tersebut dikarenakan
hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia masih bersifat pluraristik, artinya
masing-masing golongan masyarakat memiliki hukum adat sendiri-sendiri (Tahrir &
Darussalam, 2021).
Hukum Islam berasal dari agama Islam, yaitu hukum
yang diturunkan oleh Allah sesuai dengan fitrah manusia dan mengajarkan
kebebasan, keadilan, dan persamaan serta menyuruh untuk saling tolong menolong
dalam kebaikan dan taqwa serta melarang tolong menolong dalam perbuatan buruk (Pirman et al.,
2022). Ditinjau dari kondisi sosial bagi masyarakat
Indonesia yang memeluk agama Islam tentunya sudah paham konsep hukum Islam
mengenai waris atau dikenal dengan mawarits. Istilah mawarits adalah
perpindahan pemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang
masih hidup, baik berupa uang, barang kebutuhan atau hak-hak syariah.
Masyarakat Indonesia menganut berbagai macam agama
dan kepercayaan, memiliki bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan
yang berbeda. Sehingga, memiliki pengaruh dalam sistem kewarisan hukum adat.
Secara khusus dalam hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan
tetapi berdasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan kebutuhan waris
yang bersangkutan (Ramdania, 2016). Dalam penelitian ini tertarik untuk melakukan
riset terkait hukum kewarisan dalam adat masyarakat Kerinci.
Kerinci dikenal sebagai masyarakat yang mengadopsi
sistem matrilineal dari Minangkabau ditinjau dari sistem pembagian warisnya.
Secara geografis Kerinci berada di sebelah Selatan Sumatera Barat, lebih dekat
dengan Minangkabau dibandingkan dengan Jambi sebagai Provinsi. Hal yang menarik
dari penelitian terkait hukum islam dalam adat masyarakat Kerinci yakni
kesetaraan hak waris yang sama besar antara perempuan dengan laki-laki (Rahma, 2017). Bahkan beberapa studi observasi yang dilakukan
peneliti sebelumnya menjelaskan bahwa jumlah harta warisan yang didapatkan ahli
waris perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (Pirman et al.,
2022).
Hal tersebut dikarenakan sistem pembagian warisan
menggunakan sistem kekerabatan matrilineal. Sistem kekerabatan matrilinieal
adalah dimana laki-laki yang sudah menikah akan pulang ke rumah perempuan dan
berdiam di rumah perempuan tersebut, alasan perempuan mendapat jumlah yang
lebih banyak karena perempuan cenderung tidak mencari uang dan tugas mencari
nafkah diserahkan kepada laki-laki, dan perempuan dituntut juga menjaga orang
tua mereka yang sudah lanjut usia.
Dari pendapat hukum adat yang belaku di lingkungan
masyarakat Kerinci tersebut tentunya terdapat masalah terutama pembagian harta
waris yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Sehingga berdasarkan gambaran fenomena
sosial tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan analisis studi tentang
pemikiran hukum Islam, asas hukum adat dan relevansinya dalam masyarakat
kontemporer terkait hukum Islam dalam adat masyarakat Kerinci perihal warisan.
Metode
Penelitian
Adapun
penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan normative
yang dimaksudkan untuk menelusuri alasan yang dipakai dalam pelaksanaan proses
pembagian harta warisan berdasarkan hukum Islam dalam Adat Masyarakat Kerinci. Pengumpulan data penelitian menggunakan metode
kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan bersumber dari
peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil
penelitian (Mawarni et al.,
2023). Selanjutnya
analisis data yang digunakan deskriptif analisis.
Hasil dan Pembahasan
A. Pemikiran Hukum
Islam
Secara umum sering
dirumuskan bahwa pemikiran hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan akhirat (kelak) dengan mengambil manfaatnya dan mencega mudarat (yang
tidak berguna) bagi kehidupan. Para Ulama Ushul Fikih dalam teori Maqashid
Al-Syariah menjelaskan bahwa tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan
kesejahteraan manusia (Sya�bani, 2015). Sebab, tidak
satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan.
Tujuan hukum Islam dapat ditinjau dari dua sisi
yakni; 1) sisi pembuat hukum (Tuhan), pembuat petunjuk pelaksanaan hukum
(UtusanNya), dan 2) sisi kedua adalah penemu, perumus dan pelaksana hukum itu
sendiri (manusia). Jika ditinjau dari segi yang pertama, pembuat hokum, tujuan
hukum. Islam adalah untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat
primer, sekunder, dan tersier, yang dalam kepustakaan ilmu fikih masing-masing
disebut dengan istilah "dharuriyat",
"hajjiyat". Selanjutnya
ditinjau dari tujuan segi kedua yaitu pelaku dan pelaksana hukum yakni manusia,
adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan mempertahankan kehidupan itu.
Umat manusia sebagai pelaku dan pelaksana hukum Tuhan berkewajiban mentaati dan
melaksanakan perintah Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Agar dapat
melaksanakan dengan baik dan benar sesuai kehendak pembuat hukum, maka manusia
wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari
dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai metodologinya.
Adapun tujuan utama yang wajib dijaga dalam Hukum
Islam adalah kepentingan hidup manusia yang bersifat primer. Kepentingan yang
bersifat primer ini meliputi: kepentingan agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta (Rusdi, 2017). Berdasarkan permasalahan yang dijelaskan dalam
latar belakang penelitian, maka dalam pembahasan ini akan difokuskan pada
analisis tentang pemikiran hukum Islam terkait harta khususnya warisan.
Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku di samping
hukum perkawinan, hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang
memiliki peranan penting. Bahkan menentukan dan mencerminkan system dan bentuk
hukum yang berlaku dalam masyarakat. Adapun wujud warisan atau harta
peninggalan menurut pemikiran hukum Islam sangat berbeda dengan hukum waris
adat.
Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam
yaitu �sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam
keadaan bersih�. Artinya harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli waris
adalah sejumlah harta benda serta segala hak, �setelah dikurangi dengan
pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang
diakibatkan oleh wafatnya si peninggal waris� (Hamdani &
Yunus, 2019).
Dalam kajian pemikiran Islam terkait hukum waris,
ahli waris dikelompokkan menjadi dua yaitu: ahli waris sababiyyah dan ahli waris nasabiyah.
1.
Ahli waris sababiyah ialah orang yang berhak mendapat bagian
harta warisan, karena adanya sebab, yaitu adanya akad perkawinan, sehingga
antara suami dan isteri mempunyai hubungan saling mewarisi.
2.
Ahli waris nasabiyah ialah orang yang berhak memperoleh harta
warisan karena ada hubungan nasab (hubungan darah/keturunan). Ahli waris nasabiyah
ini dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: furu` al-mayyit, usul al-mayyit, dan al-hawasyi (Nasution, 2012).
Bagi umat Islam melaksanakan ketentuan yang
berkenaan dengan hukum kewarisan merupakan suatu kewajiban yang harus dijalani,
karena itu merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya. Akan tetapi dalam sejarah perjalanan penerapan hukum Islam, di
mana hukum Islam itu berada telah melahirkan beberapa titik singgung dengan
masyarakat setempat, termasuk Indonesia.
Pada dasarnya, proses perwarisan yang berlaku
menurut hukum adat di dalam masyarakat Indonesia hanya ada dua bentuk, yaitu: pertama,
proses pewarisan yang dilakukan semasa pewaris masih hidup; dan kedua, proses
pewarisan yang dilakukan setelah pewaris wafat. Apabila proses pewarisan
dilakukan semasa pewaris masih hidup maka dapat dilakukan dengan cara
penerusan, pengalihan, berpesan, berwasiat dan beramanat. Sebaliknya, apabila
dilaksanakan setelah pewaris wafat, berlaku cara penguasa yang dilakukan oleh
anak tertentu, anggota keluarga atau kepada kerabat, sedangkan dalampembagian
dapat berlaku pembagian ditangguhkan, pembagian dilakukan berimbang, berbanding
atau menurut hukum agama.
Sebagaimana yang diketahui bahwa istilah hukum
merupakan sekumpulan peraturan, ketentuan dan penetapan yang telah disepakati
oleh masyarakat dan para penegak hukum yang dilaksanakan sebaik-baiknya. Kata
Islam sendiri berasal dari kata aslama - yuslimu � islam, yang berarti
melepaskan diri dari penyakit lahir dan batin, kedamaian dan ketaatan.
Hukum Islam merupakan istilah khas di Indonesia,
sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islami atau dalam keadaan konteks tertentu
disebut al-Syari�ah al-Islamiyah. Istilah ini menurut ahli hukum Barat disebut
dengan Islamic Law. Dalam al-Qur�an dan Sunnah, istilah al-hukm al-Islamiy tidak
ditemukan. Namun, yang digunakan adalah kata syari�at Islam, yang kemudian
dalam penjabarannya disebut dengan fiqh.
Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan
hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam
istilah lain, waris disebut juga sebagai fara`iḍh, artinya bagian
tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.
Di dalam al-Qur�an memang sudah dijelaskan
pembagian harta warisan menurut Islam secara rinci dan jelas pembagian antara
anak laki-laki dan anak perempuan, di mana dua untuk laki-laki dan satu untuk
perempuan.
Berkaitan dengan pembagian harta warisan yang tidak
sesuai dengan pembagian warisan yang sudah dijelaskan dalam al-Qur�an dan
hadis, Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesai (MUI) yang juga
pemimpin Pondok Pesantren Ilmu Qur�an al-Misbah Jakarta, K.H Misbahul Munir
mengatakan, bagian (harta waris) anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan (lidzdzakari mitslu hazhzhil untaayain, petikan surah al-Nisa
ayat 11) merupakan prinsip dasar dan awal atau ketentuan yang baku dalam
syariat Islam. Karena itu, dia menilai, ketetapan tersebut jangan sampai
diubah. Akan tetapi apabila setelah harta waris dibagikan kemudian ahli waris
laki-laki bersepakat dengan ikhlas memberikan hartanya sehingga sama rata atau
lebih besar yang diberi kepada ahli waris perempuan karena telah banyak
berkorban baik moriel maupun materiel, hal tersebut diperbolehkan. Sebab,
setiap ahli waris telah memperoleh haknya dengan tanpa mengubah hukum awal atau
prinsip dasar dalam pembagian harta waris dan setiap ahli waris pun telah
bersepakat dan mengikhlaskan. �Misal si perempuan lebih banyak berjasa menggunakan
hartanya (berkorban untuk pewaris), tentu dihitung.
Berdasarkan hakikat tersebut konseptualisasi hukum
Islam terkait warisan bertolak belakang dengan hukum adat masyarakat Kerinci.
Seperti yang diketahui bahwa adat merupakan kebiasaan turun-temurun atau budaya
yang dilakukan secara berulang dan sudah menjadi tradisi atau ciri khas pada
suatu daerah, dengan keyakinan dan norma yang tumbuh dan berkembang pada
masyarakat tersebut. Pembagian harta waris berdasarkan hukum adat masyarakat
Kerinci cukup berbeda, ahli waris yang mendapatkan warisan lebih banyak yaitu
perempuan, baik itu anak bungsu atau pun sulung (Kahfi, 2019).
Hukum adat masyarakat Kerinci memiliki istilah
yakni hak pakai dan hak milik untuk harta pusaka yang ditinggalkan secara
turun-temurun. Hak milik ini itu didapatkan oleh perempuan dan laki-laki,
sedangkan hak pakai yaitu peninggalan harta pusaka jika orang tua meninggal
dunia dan meninggalkan harta pusaka seperti sawah, perkebunan, atau rumah.
Semua harta pusaka itu dapat dipakai oleh perempuan, hak pakai di sini yaitu
perempuan memiliki hak untuk memakai semua peninggalan harta warisan berupa
harta pusaka tersebut. Laki-laki tidak memiliki hak untuk memakai harta pusaka
tersebut. Jika harta pusaka itu dijual, maka laki-laki memiliki hak sebagian
dari hasil penjualan harta pusaka keluarga mereka, karena laki-laki memiliki
hak milik di dalamnya. Proses penjualan harta pusaka juga harus didiskusikan
kepada pihak laki-laki supaya mengetahui dan mendapatkan sebagian dari hasil
yang telah disepakati bersama (Syaifudin, 2020).
Terdapat alasan mengapa hukum adat pembagian
warisan, hal tersebut juga terdaoat dalam istilah berikut �Putoih taloi surot
ketambeang,� adapun maksudnya adalah ketika terjadi sesuatu hal dalam rumah
tangga sang suami dan istri, laki-laki yang pulang ke rumah wanita ketika
bercerai akan kembali ke saudara perempuanya di rumah pusaka orang tua mereka
dan diurus sementara oleh pihak perempuan karena harta pusaka seperti rumah,
sawah dan perkebunan didapatkan oleh perempuan dan tanggung jawab perempuan
yang mengurus saudara laki-lakinya ketika mendapat masalah seperti itu.
Berkaitan dengan fenomena sosial tersebut maka
sistem pembagian warisan tidak sesuai dengan al-Qur'an dan hadis. Sebagaimana
yang dijelaskan bahwa bagian (harta waris) anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan (lidzdzakari mitslu hazhzhil untsaayain), petikan
surah al-Nisa� ayat 11 merupakan prinsip dasar dan awal atau ketentuan yang
baku dalam syariat Islam. Karena itu, dia menilai, ketetapan tersebut jangan
sampai diubah. Akan tetapi apabila setelah harta waris dibagikan kemudian ahli
waris laki-laki bersepakat dengan ikhlas memberikan hartanya sehingga sama rata
atau lebih besar yang diberi kepada ahli waris perempuan karena telah banyak
berkorban baik secara moral maupun material, hal tersebut diperbolehkan. Sebab,
setiap ahli waris telah memperoleh haknya dengan tanpa mengubah hukum awal atau
prinsip dasar dalam pembagian harta waris dan setiap ahli waris pun telah
bersepakat dan mengikhlaskan.
B.
Asas Hukum Adat dan Relevansinya dalam
Masyarakat Kontemporer
Eksistensi hukum adat dapat dinyatakan berdiri
kokoh pada fondasi yang kuat yakni dengan dasar teoritik dan yuridis. Dasar
tersebut yang melegitimasi dalam keberlakuan hukum adat. Hal ini sudah ada jauh
sebelum hukum modern masuk di tengah masyarakat. Saat ini perkembangan zaman
modern menjadi pemicu berubah atau menghilangnya suatu norma adat yang berlaku
pada wilayah tertentu. Hal tersebut merupakan bentuk dari perkembangan
masyarakat dengan terminologi kekinian.
Salah satu asas hukum adat waris yang umum
ditemukan di Kerinci adalah asas keturunan. Menurut asas ini, warisan akan
diturunkan kepada anggota keluarga yang memiliki hubungan darah langsung dengan
orang yang meninggal. Biasanya, keturunan laki-laki memiliki hak waris yang
lebih kuat daripada perempuan, dengan sistem waris patrilineal yang umum
dijumpai. Asas kedekatan keluarga juga sering menjadi pertimbangan dalam hukum
adat waris di Kerinci. Orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan orang
yang meninggal, seperti anak, saudara kandung, atau cucu, mungkin memiliki
klaim yang lebih kuat terhadap warisan daripada anggota keluarga yang lebih
jauh secara hubungan darah.
Istilah masyarakat kontemporer merupakan kondisi
sosiologis masyarakat yang terdiri dari berbagai aneka ragam bentuk pada
kelompok sosial. Pemahaman kelompok sosial yang berjalan di tengah masyarakat
membuktikan kenyataan bahwa dalam keberadaannya masyarakat dituntut menyadari
kebersamaan dalam keanekaragaman. Sehingga, hal tersebut jika dikorelasikan
dengan keberadaan hukum adat dinilai masyarakat harus mau menerima
keanekaragaman tersebut.
Relevansi asas hukum adat waris di Kerinci dalam
masyarakat kontemporer dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Di satu sisi,
asas-asas ini masih dipegang kuat oleh beberapa keluarga dan komunitas adat di
Kerinci. Mereka melihat hukum adat waris sebagai bagian penting dari identitas
budaya mereka dan berusaha untuk menjaga dan melanjutkan tradisi tersebut. Namun,
di sisi lain, perkembangan masyarakat kontemporer dan pengaruh hukum nasional
telah menyebabkan perubahan dalam praktik waris di Kerinci. Pemberlakuan hukum
waris nasional yang berlaku di Indonesia, seperti Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, telah mempengaruhi beberapa
aspek hukum adat waris.
Perubahan sosial dan kesadaran akan kesetaraan
gender juga berdampak pada praktik waris di Kerinci. Peningkatan partisipasi
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan telah memicu pergeseran dalam
pengakuan hak waris perempuan di beberapa keluarga dan komunitas adat.
Relevansi hukum adat waris di Kerinci dalam
masyarakat kontemporer bergantung pada sejauh mana keluarga dan komunitas adat
mempertahankan dan mempraktikkan tradisi tersebut. Beberapa keluarga masih
menerapkan hukum adat waris secara ketat, sementara yang lain mengadopsi
kombinasi asas hukum adat dan hukum nasional. Penting untuk dicatat bahwa
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, termasuk hukum
adat waris, menjadi isu penting dalam konteks hak asasi manusia. Pemerintah dan
masyarakat perlu menghargai keanekaragaman budaya serta memastikan bahwa
hak-hak masyarakat adat diakui dan dihormati sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum yang berlaku di negara ini.
Dalam realitas sosial masyarakat Islam akan lebih
mudah untuk memikul tanggung jawab mulia dalam menumbuhkan persatuan umat
secara islami sebagai pengejawantahan dari pengembanan amanat yang telah Allah
SWT percayakan kepada mereka di muka bumi ini.
Penutup
Berdasarkan latar
permasalahan fenomena penelitian dan analisis pembahasan dalam penelitian, maka
dapat disimpulkan bahwa keberadaan hukum adat
masyarakat Kerinci terkait hukum kewarisan dalam kajian pemikiran Islam dinilai
bertolak belakang.
Hukum Islam dalam adat
masyarakat Kerinci memiliki pemikiran dan prinsip-prinsip yang saling
melengkapi. Meskipun ada beberapa perbedaan antara Hukum Islam dan hukum adat
Kerinci, adaptasi dan interpretasi telah dilakukan untuk mempertahankan
relevansi hukum tersebut dalam masyarakat kontemporer. Masyarakat Kerinci perlu
terus berdiskusi dan bekerja sama untuk memperkuat pemahaman dan penerapan
Hukum Islam dalam adat mereka dengan memperhatikan perkembangan sosial,
keadilan gender, dan perlindungan hak-hak individu. Dengan demikian, Hukum
Islam dalam adat masyarakat Kerinci akan tetap relevan dan menjadi pijakan yang
kuat dalam memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat Kerinci di masa depan.
Namun, untuk terhindar dari konflik social yang bisa melemahkan jati
diri bangsa maka dibutuhkan toleransi untuk dapat menerima perbedaan dan
keberagaman tersebut. Sebagaimana bahwa Keberagaman dan perbedaan asas hukum
adat dalam pemikiran Islam juga merupakan sebuah sunnatullah yang akan
menyamakan dalam perbedaan. Tentunya berbagai konflik dapat muncul, sehingga
perlu disikapi dalam maslahat untuk kebersamaan.
BIBLIOGRAFI
Hamdani, H., & Yunus, I. (2019). Perbandingan Tanggung Jawab Ahli
Waris Terhadap Hutang Pewaris Menurut Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan, 3(2), 290�300.
Kahfi, A. C. (2019). Eksistensi Sistem Pewarisan Tunggu Tubang Pada
Masyarakat Adat Semende di Perantauan (Studi Pada Masyarakat Adat Semende
Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus).
Mawarni, W., Hidayati, R., & Rokhim, A. (2023). Perlindungan Hukum
terhadap Anak Korban Kekerasan Seksual menurut Hukum Positif di Indonesia
(Analisis Putusan Nomor 320/Pid. Sus/2022/PN. Kpn). Jurnal Mercatoria, 16(1),
13�30.
Nasution, A. H. (2012). Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif
Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Rajagrafindo Persada.
Ningsih, A. S. A. (2022). Pembagian waris secara wasiat pada Sistem
Matrilineal dalam perspektif keadilan: Studi di Desa Sumur Jauh Kecamatan Danau
Kerinci Barat Kabupaten Kerinci. Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim.
Pirman, R., Adawiyah, R., Sulhani, S., Rasito, R., & Lestiyani, T.
E. K. (2022). Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian Harta Warisan di Desa
Lolo Hilir Kecamatan Bukit Kerman Kapubaten Kerinci. NALAR FIQH: Jurnal Hukum
Islam, 13(1), 37�50.
Rahma, D. K. (2017). Adat Bersandi Syarak, Syarak Bersandi Kitabullah:
Konstruksi Adat dan Agama Dalam Hak Waris Masyarakat Matrilineal. BUANA GENDER:
Jurnal Studi Gender Dan Anak, 2(1), 35�58.
Ramdania, D. (2016). Kajian Terhadap Waris Anak Angkat Adat Batak Toba.
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, 15(2).
Rusdi, M. A. (2017). Maslahat Sebagai Metode Ijtihad dan Tujuan Utama
Hukum Islam. DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum, 15(2), 151�168.
Salik, M. (2020). Nahdlatul Ulama dan gagasan moderasi Islam. Literindo
Berkah Jaya Malang.
Sya�bani, A. (2015). Maqasid Al-Syari�ah Sebagai Metode Ijtihad. El-Hikam,
8(1), 127�142.
Syaifudin, M. S. I. (2020). Waris Lotre Masyarakat Muslim Desa Tunglur
Perspektif Konstruksi Sosial. The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil
Law, 1(1), 88�104.
Tahrir, I., & Darussalam, D. (2021). Pandangan Hukum Islam Terhadap
Adat Mana�Simanai dalam Kewarisan di Kecamatan Rongkong Kabupaten Luwu Utara. Qadauna:
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Hukum Keluarga Islam, 2(2), 282�296.
Copyright holder: Husin Bafadhal, Qorry A�yuna Putri (2022) |
First publication right: Syntax LiterateJurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |