Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
CARA MENGATASI PERASAAN BERSALAH YANG
BERLEBIHAN DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI DAN AGAMA BUDDHA
Amita Wardhani
Pendidikan Keagamaan Buddha,
STAB Kertarajasa, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Kesalahan
adalah hal yang wajar dilakukan oleh setiap orang. Baik itu kesalahan kecil,
menengah, atau berat, kesalahan adalah hal yang mudah ditemukan di kehidupan
sehari-hari. Akibat kesalahan tersebut, umumnya ada sebagian orang akan merasa
sangat bersalah dan muncul penyesalan. Perasaan bersalah itu wajar, tetapi ada
beberapa orang yang memiliki perasaan bersalah yang berlebihan, bahkan dengan
kesalahan kecil sekalipun. Untuk itu, artikel ini membahas mengenai bagaimana
cara mengatasi perasaan bersalah yang berlebihan dari persepsi Psikologi dan
Agama Buddha dengan menggunakan metode penelitian kajian kepustakaan. Cara yang
dapat dilakukan untuk mengatasi perasaan bersalah yang berlebihan menurut
psikologi adalah 1) memberikan apresiasi kepada diri sendiri, 2) melihat
masalah dari sudut pandang orang lain, 3) melihat emosi rasa bersalah dengan
lebih dalam, dan 4) mengurangi berpikir negatif. Selanjutnya, dalam Agama
Buddha, cara untuk mengatasi perasaan bersalah adalah dengan memancarkan cinta
kasih kepada diri sendiri agar mau memaafkan kesalahan yang sudah diperbuat dan
melakukan perbaikan sikap dengan mempraktikkan Dhamma.
Kata
Kunci: Perasaan Bersalah, Psikologi, Agama
Buddha.
Abstract
How
to Overcome an Intemperate Feeling Guilty from Psychological Perspective and
Buddhism] Mistakes are normal for everyone. Either it is slight, moderate, or
serious mistakes are easy to find in daily life. As a result of doing mistakes,
usually someone will feel guilty. Feeling of
guilt is natural, but there are some people who have interperate guilty even
for minor faults. Fir this reason, this article contains ways of how to
overcome interperate feeling guilt from the perception of Psychology and
Buddhism by using literature review methods. In pyschology, intemperate guilty
can be overcome by: 1) giving appreciation to yourself, 2) seeing the problem
form the other perspective, 3) seeing deeply the emotion, and 4) reducing
negative thinking. Furthermore, in Buddhism, the way to overcome intemperate
feeling guilty is to cultivate loving kindess oneself in order to able to
forgive himself and to improve one�s attitude by practicing Dhamma.
Keywords:
Feeling guilt, Psychology, Buddhism.
Pendahuluan
Perasaan bersalah yang
berlebihan adalah masalah yang dialami oleh banyak orang di seluruh dunia (Asnawati, 2022).
Terlalu banyak rasa bersalah dapat menyebabkan gangguan psikologis, stres,
kecemasan, dan bahkan depresi (Sulistyorini & Sabarisman, 2017).
Perasaan bersalah yang berkepanjangan dan tidak diatasi dengan baik dapat
mengganggu kualitas hidup seseorang dan hubungan interpersonalnya (Surjoseto & Sofyanty, 2022).
Setiap orang pasti pernah
melakukan kesalahan (Trianingsih, 2019).
Kesalahan yang dilakukan ini dapat membuat perasaan bersalah dan membuat tidak
nyaman (Ananda & Mastuti, 2013).
Perasaan bersalah sendiri berasal dari kepedulian terhadap orang lain, sehingga
rasa bersalah termasuk dalam bagian self-perceived (Endraswari, 2021).
Rasa bersalah ini memiliki ciri-ciri adanya kecenderungan untuk mengevaluasi
perilaku diri yang negatif dan kecenderungan agar memperbaiki tindakan (Aini, 2018).
Perasaan bersalah ini adalah perbaikan emosi yang muncul karena perilaku yang
dilakukan dan hasil yang muncul tidak sesuai dengan apa yang diinginkan
individu (Afifah & Zarefar, 2021).
Banyak orang mengalami
perasaan bersalah yang berlebihan tanpa alasan yang jelas atau proporsional
terhadap kesalahan yang telah dilakukan (Sukatin et al., 2020).
Perasaan bersalah yang berkepanjangan dapat mengganggu fungsi sehari-hari dan
mengurangi rasa percaya diri seseorang (Dirgayunita, 2016).
Perasaan bersalah yang tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan gangguan
mental dan emosional yang lebih serius (Nancye & Maulidah, 2017).
Perasaan bersalah itu membuat
individu menutup diri dari fakta yang ada, membuat individu menipu dirinya sendiri,
dan munculnya sifat agresif untuk menyelamatkan diri dari serangan dirinya
sendiri (Mulyadi et al., 2016).
Perasaan bersalah itu juga umumnya disertai dengan rasa khawatir, malu, bahkan
cemas (Oktamarin et al., 2022).
Sebenarnya perasaan bersalah cukup umum terjadi pada kebanyakan orang. Namun,
apabila perasaan bersalah itu berlebihan dan tidak segera diatasi, perasaan itu
bisa menjadi boomerang dan berakibat buruk (Ramadhanti et al., 2022).
Penelitian ini memiliki
urgensi yang tinggi karena perasaan bersalah yang berlebihan merupakan masalah
yang sangat mempengaruhi kesejahteraan psikologis masyarakat secara global.
Dengan memahami penyebab dan cara mengatasi perasaan bersalah, kita dapat
membantu individu untuk mengembangkan mekanisme koping yang lebih efektif dan
meningkatkan kualitas hidup mereka.
Penelitian ini akan
memberikan kontribusi baru dalam bidang psikologi dan agama Buddha dengan
mengeksplorasi dan memadukan perspektif kedua disiplin ilmu tersebut dalam
mengatasi perasaan bersalah yang berlebihan. Kajian lintas disiplin ini akan
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang fenomena perasaan bersalah
dan memberikan pandangan yang lebih luas tentang cara-cara mengatasinya.
��� Beberapa penelitian yang relevan yang telah
dilakukan sebelumnya dapat mencakup: (1) Studi psikologi tentang mekanisme
koping dan pengelolaan emosi yang efektif. (2) Penelitian tentang peran agama
dalam membantu individu mengatasi perasaan bersalah. (3) Studi tentang
ajaran-ajaran Buddha tentang pemaafan dan penyelesaian karma sebagai landasan
untuk memahami perasaan bersalah dari perspektif agama Buddha.
Ada beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk mengatasi perasaan bersalah, cara itu bisa mencoba
mengikuti cara-cara yang dianjurkan oleh Ilmu Psikologi atau Ajaran Buddha.
Jurnal ini dibuat untuk mengetahui cara mengatasi rasa bersalah dari perspektif
Psikologi dan Agama Buddha.
Metode Penelitian
Jurnal ini menggunakan
metode penelitian kajian kepustakaan (Library Research). Menurut
Mirzaqon (3-4), studi kepustakaan adalah suatu studi yang dilakukan dalam
pengumpulan informasi dan data bantuan yang berupa material yang berupa dokumen,
buku, majalah, situs online yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan.
Metode penelitian kepustakaan ini digunakan untuk menyusun informasi mengenai
cara mengatasi rasa bersalah yang berlebihan dengan Langkah-langkah, yaitu: 1)
pemilihan topik; 2) eksplorasi informasi; 3) menentukan fokus penelitian; 4)
pengumpulan sumber data; 5) persiapan penyajian data; dan 6) penyusunan
laporan. Teknik pengumpulan data dalam jurnal ini adalah studi literatur. Data
yang ditemukan lalu dikompilasi, dianalisis, lalu disimpulan bagaimana cara
untuk mengatasi perasaan bersalah yang berlebihan dalam perspektif Psikologi
dan Agama Buddha.
Hasil dan Pembahasan
A. Perasaan
Bersalah dari Perspektif Psikologi.
Rasa
bersalah adalah perbaikan emosi yang merupakan hasil dari introspeksi diri dari
peristiwa negatif yang tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. Rasa
bersalah ini membuat individu menutup diri dari fakta dan menipu diri, serta menimbulkan
perilaku agresif yang berlebihan. Ia berusaha menolak dari akibat yang muncul dan
mencoba memberikan akibat perbuatannya kepada orang lain. Rasa bersalah ini
dipengaruhi oleh kecemasan, trauma masa kecil, budaya, agama, dan tekanan social
(Trifiana, 2021).
Seperti yang sudah disebutkan tadi, salah satu penyebab rasa bersalah adalah
agama. Oleh karena itu, orang yang memiliki pendidikan agama yang kuat akan
cepat merasa bersalah karena takut bahwa mereka mungkin telah melanggar
larangan Tuhan (Ratna et al., 2015).
Ratna
(2015) menjelaskan
bahwa rasa bersalah dalam psikologi dibagi menjadi dua, yaitu rasa bersalah
objektif dan rasa bersalah subjektif. Berikut adalah penjelasan terperincinya:
1.
Rasa Bersalah Objektif
Rasa
bersalah objektif adalah rasa bersalah karena adanya pelanggaran hukum.
Meskipun adanya pelanggaran hukum, individu tersebut belum tentu merasa
bersalah. Rasa bersalah objektif ini dibagi menjadi empat, yaitu: 1) legal-guilt,
yaitu rasa bersalah yang menjadi masalah karena melanggar hukum yang berlaku di
masyarakat; 2) sosial-guilt, yaitu rasa bersalah karena
pelanggaran hukum yang tidak tertulis dan pelanggaran tata krama; 3) personal-guilt,
yaitu rasa bersalah karena pelanggaran terhadap kesadaran akan kebenaran yang
ada pada diri seseorang; dan 4) theological-guilt, yaitu rasa bersalah
karena pelanggaran terhadap hukum-hukum.
2.
Rasa Bersalah Subjektif
Rasa
bersalah subjektif adalah rasa bersalah yang timbul perasaannya sendiri. Orang
yang memiliki rasa bersalah subjektif bisa saja merasa ketakutan, putus asa,
gelisah, dan menyalahkan diri sendiri secara terus-menerus. Perilaku yang dia
lakukan bisa saja tidak melanggar kebenaran atau aturan masyarakat, tetapi ia
tetap merasa bersalah. Rasa bersalah ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu a
fear of punishment (perasaan takut akan hukuman), a loss in self-esteem (perasaan
kehilangan harga diri), dan a feeling of loneliness, rejection, or isolation
(perasaan kesepian, penolakan, atau pengasingan). Meskipun rasa bersalah
subjektif tidak selamanya buruk karena dorongan untuk memperbaiki tingkah laku,
tetapi perasaan bersalah yang sangat kuat bisa merusak. Seperti yang sudah
disebutkan bahwa perasaan bersalah yang berlebihan dapat merusak.
Berikut
adalah cara untuk mengatasi perasaan bersalah Azmi (2021):
1. Memberikan apresiasi terhadap usaha yang dilakukan salah satu cara untuk
menghilangkan rasa bersalah adalah menyadari dan mengapresiasi usaha diri
sendiri. Jika penyebab dari rasa bersalah yang terus menerus dan kuat sudah
ditemukan, usaha selanjutnya adalah menghargai diri sendiri. Evaluasi usaha
yang sudah dilakukan. Apabila usaha yang dilakukan adalah usaha yang terbaik,
tidak perlu lagi merasa bersalah. Karena selain faktor dari diri sendiri,
faktor dari luar juga bisa membuat hasil dari usaha tidak sesuai dengan
harapan. Untuk itu, terima faktor-faktor tersebut dan ungkapkan rasa terima
kasih karena telah berusaha sekuat tenaga. 2. Melihat permasalahan dari
perspektif orang lain. Pada saat merasa bersalah yang berlarut-larut, coba
untuk mengesampingkan perasaan tersebut dan mencoba melihat dari sudut pandang
orang lain. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan introspeksi
diri dan bagaimana diri sendiri menanggapi masalah tersebut apabila
kesalahannya dilakukan orang lain. Ada kemungkinan bahwa jika orang lain yang
melakukan kesalahan, diri sendiri individu tidak akan bereaksi terlalu besar,
sehingga rasa bersalah itu hanya bentuk dari perilaku yang terlalu keras kepada
diri sendiri. Jika memang perasaan bersalah itu hanya bentuk sikap yang terlalu
keras, perasaan tersebut dapat diatasi dengan mencoba memberikan rasa belas
kasihan yang sama seperti memberikan kepada orang lain. 3. Melihat emosi rasa
bersalah dengan lebih dalam Apabila perasaan bersalah tidak kunjung hilang, ada
kemungkinan perasaan bersalah itu adalah bentuk emosi lain yang lebih besar.
Emosi itu bisa berupa kemarahan, perasaan terintimidasi, atau perasaan
tertekan. Sebagai contoh, memiliki hubungan yang dekat dengan seorang narsistik.
Orang yang narsisitik memiliki kencenderungan untuk menyalahkan orang lain
terus menerus, padahal kenyataannya bisa jadi bukan kesalahan orang tersebut.
Karena terus menerus disalahkan, adanya emosi kecemasan terhadap orang yang
menyalahkan dan merasa tertekan. Oleh karena itu, salah satu cara untuk
menghilangkan rasa bersalah karena emosi lain ini adalah dengan melihat lebih
dalam mengenai emosi apa yang ada di baliknya. 4. Mengurangi berpikir negatif.
Untuk dapat mengurangi perasaan bersalah, berusahalah untuk menerima kesalahan
yang dilakukan dan berjanji akan melakukan hal yang lebih baik lagi. Anggap
bahwa kesalahan adalah pelajaran terbaik untuk menjadi lebih baik dan berusaha
untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
B. Perasaan
Bersalah dari Perspektif Agama Buddha.
Perspektif
Agama Buddha mengacu pada penjelasan khususnya yang terdapat dalam Abhidhamma Pitaka,
perasaan bersalah adalah salah satu karakteristik dari dosa. Dosa atau
kebencian adalah keadaan batin yang tidak nyaman. Dosa bisa berwujud kemarahan,
penolakan, rasa takut, menyesal, atau merasa bersalah. Sekecil apapun ketidaknyamanan,
maka kebencian sedang muncul di batin orang tersebut (Dhamma Home).
Selanjutnya, jika membahas perasaan bersalah dari perspektif Agama Buddha,
kesalahan itu sendiri pastinya perlu dibahas juga. Di dalam agama Buddha, tidak
masalah untuk melakukan kesalahan dan tidak masalah apabila menjadi individu
yang tidak sempurna. Maksudnya adalah seorang individu lebih baik mengakui dan
menyadari bahwa dirinya pernah melakukan kesalahan, dibanding menganggap
dirinya hebat dan tidak pernah melakukan kesalahan. Selanjutnya, setelah
melakukan kesalahan yang tidak disengaja, berikan cinta kasih agar dapat
memaafkan diri sendiri (Brahm).
Ada
beberapa hal yang menghalangi seseorang untuk mengakui kesalahan: 1) Kondisi
kepribadian yang membuatnya merasa sangat penting dan harus dikagumi. 2) Tiga
sifat buruk yang ada dalam pikiran individu. Tiga sifat ini merupakan tiga akar
kejahatan, yaitu dosa (kebencian) termanifestasi pada sikap penolakan
terhadap fenomena kesalahan yang terjadi, lobha (keserakahan) termanifestasi
pada sikap untuk terus-menerus selalu mendapatkan pujian, dan moha (kebodohan
batin) termanifestasi pada perasaan ketakutan dan kekhawatiran terhadap
kesalahan dan akibat yang didapatkan setelah mengakui kesalahan. Untuk itu, cara
untuk mengatasi rasa bersalah yang berlebihan dalam Ajaran Agama Buddha pertama
adalah yang dapat dikaitkan dengan cinta kasih atau metta. Metta adalah cinta
kasih yang universal. Metta ini berada di Metta Sutta, Khuddaka Nikaya.
Dalam
Metta Sutta, dijelaskan bahwa jangan mengharapkan orang lain untuk celaka
karena kemarahan atau niat jahat. Orang yang diharapkan celaka ini bukan
manusia saja, tetapi semua makhluk, bahkan diri sendiri juga dipancarkan cinta
kasih. Pengembangan cinta kasih ini dilakukan tanpa ada kondisi-kondisi imbalan
tertentu dan penuh ketulusan. Itulah kenapa, cinta kasih sangat penting untuk diarahkan
terutama kepada orang yang telah melakukan kesalahan. Dengan pemancaran cinta
kasih tersebut, siapapun yang melakukan kesalahan akan dimaafkan dan menjadi
lebih tenang.
Dalam
Metta Sutta juga dijelaskan bahwa orang yang ingin mencapai Nibbana salah
satunya adalah tidak kurang ajar, hati-hati, tidak tamak, dan tidak melakukan
apa pun yang akan dicela oleh para bijaksanawan. Itu artinya, meskipun
memancarkan cinta kasih kepada diri sendiri yang melakukan kesalahan, perlu
diingat bahwa harus ada pelajaran yang ia ambil agar mau berusaha lebih baik
lagi. Hal ini dapat disesuaikan dengan inti ajaran Buddha yaitu �Not finding
fault, not hurting, restraint by regulations, knowing the right measure of
food, living in a remote dwelling, devotion to meditation�this is the teaching
of the Buddhas� atau �Tidak mencari-cari kesalahan, tidak menyakiti makhluk
lain, dikendalikan oleh peraturan, mengetahui batasan dalam mengkonsumsi
makanan, hidup dalam tempat tinggal yang terpencil, berlatih meditasi�ini
adalah ajaran paraBuddha (Dhammapada: 183). Kedua, untuk menghindari melakukan
kesalahan yang sama secara berulang dapat mempraktikkan inti ajaran Buddha
tersebut. Selain itu, untuk dapat mencegah diri sendiri dari melakukan
kesalahan yang melanggar hukum, dapat menjadikan hiri dan ottapa sebagai
pegangan hidup. Hiri adalah rasa malu untuk melakukan tindakan-tindakan
yang tidak bermoral. Ottapa adalah takut untuk melakukan perbuatan yang
tidak bermoral karena takut akan akibat yang akan terjadi. Hiri dan Ottapa
adalah Dhamma pelindung dunia. Hiri timbul karena rasa hormat kepada
diri sendiri, sedangkan ottapa timbul karena rasa hormat kepada orang
lain. Dalam Anguttara Nikaya II:9 dijelaskan bahwa apabila dua Dhamma pelindung
dunia ini tidak dilaksanakan, maka orang tidak akan bisa menghargai orang lain.
Itulah kenapa, hiri dan ottapa dapat dijadikan pertimbangan saat
hendak melakukan perbuatan. Pemahaman mengenai hiri dan ottapa
juga dapat di dukung oleh pelaksanaan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis
adalah lima peraturan bagi umat awam.
Isi
dari lima sila tersebut adalah 1) menghindari pembunuhan makhluk hidup, 2)
menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan, 3) menghindari perbuatan
asusila, 4) menghindari ucapan yang tidak benar, dan 5) menghindari meminum minuman
yang memabukkan. Perlu dipahami bahwa pancasila ini adalah dasar dari nilai
moral seseorang. Orang yang tidak melaksanakan pancasila dapat diibaratkan
tidak mengenakan pakaian, artinya seseorang tersebut adalah orang yang tidak memiliki
rasa malu terhadap perilaku buruk.
Kesimpulan
Perasaan bersalah umum
dialami oleh semua orang dan dapat dijadikan pelajaran untuk menjadi lebih
baik. Meskipun begitu, apabila seseorang berlebihan dalam merasa bersalah,
perasaan bersalah itu akan merusak. Untuk itu, perlu dilakukan cara untuk dapat
mengurangi perasaan bersalah menjadi motivasi untuk menjadi lebih baik. Cara
tersebut, yaitu memberikan apresiasi terhadap usaha yang sudah dilakukan diri
sendiri, melihat masalah dari sudut pandang orang lain, melihat emosi rasa bersalah
lebih dalam, dan mengurangi berpikir negatif. Selanjutnya, dalam Agama Buddha,
rasa bersalah termasuk dalam golongan dosa atau kebencian. Untuk itu, diperlukan
pengembangan cinta kasih kepada diri sendiri agar mau memaafkan. Selain itu,
diperlukan perbaikan sikap dengan selalu mempraktikkan Dhamma dengan mengembangkan
hiri dan otappa, serta melaksankan Pancasila Buddhis sebagai dasar moralitas umat
Buddha.
BIBLIOGRAFI
Afifah, U., & Zarefar, A. (2021). Pengaruh
Retaliasi, Emosi Negatif, dan Komitmen Organisasi Terhadap Kecenderungan
Melakukan Whistleblowing. Jurnal Akuntansi Dan Ekonomika, 11(1),
63�71.
Aini, D. F. N. (2018). Self esteem pada anak usia sekolah
dasar untuk pencegahan kasus bullying. Jurnal Pemikiran Dan Pengembangan
Sekolah Dasar (Jp2sd), 6(1), 36�46.
Ananda, N. Y., & Mastuti, E. (2013). Pengaruh
perfeksionisme terhadap prokrastinasi akademik pada siswa program akselerasi. Jurnal
Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, 2(3), 226�231.
Asnawati, D. (2022). Konseling Kelompok Realitas Untuk
Menurunkan Gejala Depresi Nonklinis Pada Siswa Kelas 9 SMP Negeri 1 Lumajang. Dakwatuna:
Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Islam, 8(1), 85�95.
Azmi, N. A., Fathani, A. T., Sadayi, D. P., Fitriani, I.,
& Adiyaksa, M. R. (2021). Social media network analysis (SNA): Identifikasi
komunikasi dan penyebaran informasi melalui media sosial twitter. Jurnal
Media Informatika Budidarma, 5(4), 1422�1430.
Dirgayunita, A. (2016). Depresi: Ciri, penyebab dan
penangannya. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 1(1),
1�14.
Endraswari, P. M. (2021). Pemodelan Kausal Beban Diri,
Dukungan Sosial, Kebutuhan Spiritual Dengan CRF Menggunakan S3C-Latent.
Mulyadi, S., Rahardjo, W., Asmarany, A. I., & Pranandari,
K. (2016). Psikologi sosial. Jakarta: Gunadarma.
Nancye, P. M., & Maulidah, L. (2017). Pengaruh Terapi
Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap Kemampuan Bersosialisasi Pasien Isolasi
Sosial Diagnosa Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Jurnal
Keperawatan, 6(1), 18�27.
Oktamarin, L., Kurniati, F., Sholekhah, M., Nurjanah, S.,
Oktaria, S. W., & Apriyani, T. (2022). Gangguan kecemasan (axiety disorder)
pada anak usia dini. Jurnal Multidisipliner Bharasumba, 1(01
April), 116�122.
Ramadhanti, G. A., Jannatania, J., Adiyanto, D. I., &
Vashty, S. Q. (2022). Pengalaman Komunikasi Pekerja Startup Pada Praktik Hustle
Culture. LINIMASA: Jurnal Ilmu Komunikasi, 5(2), 192�204.
Ratna, M., Begum, S., Husna, A., Dey, S. R., & Hossain,
M. S. (2015). Correlation and path coefficients analyses in basmati rice. Bangladesh
Journal of Agricultural Research, 40(1), 153�161.
Sukatin, S., Chofifah, N., Turiyana, T., Paradise, M. R.,
Azkia, M., & Ummah, S. N. (2020). Analisis Perkembangan Emosi Anak Usia
Dini. Golden Age: Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, 5(2),
77�90.
Sulistyorini, W., & Sabarisman, M. (2017). Depresi: Suatu
tinjauan psikologis. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha
Kesejahteraan Sosial, 3(2).
Surjoseto, R., & Sofyanty, D. (2022). Pengaruh Kecemasan
dan Depresi Terhadap Kualitas Hidup Pasien Kanker Serviks di Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangkunkusomo. Jurnal Riset Rumpun Ilmu Kesehatan (JURRIKES), 1(1),
1�8.
Trianingsih, R. (2019). Pengaruh Keluarga Broken Home
Terhadap Perkembangan Moral dan Psikososial Siswa Kelas V SDN 1 Sumberbaru
Banyuwangi. Jurnal Pena Karakter, 2(1), 9�16.
Trifiana, A. (2021). Olahraga Triathlon Bukan Hanya untuk
Atlet, Ini Strategi Berlatihnya. Retrieved, 6, 2022.
Copyright holder: Amita
Wardhani (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |