Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

CARA MENGATASI PERASAAN BERSALAH YANG BERLEBIHAN DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI DAN AGAMA BUDDHA

 

Amita Wardhani

Pendidikan Keagamaan Buddha, STAB Kertarajasa, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Kesalahan adalah hal yang wajar dilakukan oleh setiap orang. Baik itu kesalahan kecil, menengah, atau berat, kesalahan adalah hal yang mudah ditemukan di kehidupan sehari-hari. Akibat kesalahan tersebut, umumnya ada sebagian orang akan merasa sangat bersalah dan muncul penyesalan. Perasaan bersalah itu wajar, tetapi ada beberapa orang yang memiliki perasaan bersalah yang berlebihan, bahkan dengan kesalahan kecil sekalipun. Untuk itu, artikel ini membahas mengenai bagaimana cara mengatasi perasaan bersalah yang berlebihan dari persepsi Psikologi dan Agama Buddha dengan menggunakan metode penelitian kajian kepustakaan. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi perasaan bersalah yang berlebihan menurut psikologi adalah 1) memberikan apresiasi kepada diri sendiri, 2) melihat masalah dari sudut pandang orang lain, 3) melihat emosi rasa bersalah dengan lebih dalam, dan 4) mengurangi berpikir negatif. Selanjutnya, dalam Agama Buddha, cara untuk mengatasi perasaan bersalah adalah dengan memancarkan cinta kasih kepada diri sendiri agar mau memaafkan kesalahan yang sudah diperbuat dan melakukan perbaikan sikap dengan mempraktikkan Dhamma.

 

Kata Kunci: Perasaan Bersalah, Psikologi, Agama Buddha.

 

Abstract

How to Overcome an Intemperate Feeling Guilty from Psychological Perspective and Buddhism] Mistakes are normal for everyone. Either it is slight, moderate, or serious mistakes are easy to find in daily life. As a result of doing mistakes, usually someone will feel guilty. Feeling of guilt is natural, but there are some people who have interperate guilty even for minor faults. Fir this reason, this article contains ways of how to overcome interperate feeling guilt from the perception of Psychology and Buddhism by using literature review methods. In pyschology, intemperate guilty can be overcome by: 1) giving appreciation to yourself, 2) seeing the problem form the other perspective, 3) seeing deeply the emotion, and 4) reducing negative thinking. Furthermore, in Buddhism, the way to overcome intemperate feeling guilty is to cultivate loving kindess oneself in order to able to forgive himself and to improve one�s attitude by practicing Dhamma.

 

Keywords: Feeling guilt, Psychology, Buddhism.

 

Pendahuluan

Perasaan bersalah yang berlebihan adalah masalah yang dialami oleh banyak orang di seluruh dunia (Asnawati, 2022). Terlalu banyak rasa bersalah dapat menyebabkan gangguan psikologis, stres, kecemasan, dan bahkan depresi (Sulistyorini & Sabarisman, 2017). Perasaan bersalah yang berkepanjangan dan tidak diatasi dengan baik dapat mengganggu kualitas hidup seseorang dan hubungan interpersonalnya (Surjoseto & Sofyanty, 2022).

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan (Trianingsih, 2019). Kesalahan yang dilakukan ini dapat membuat perasaan bersalah dan membuat tidak nyaman (Ananda & Mastuti, 2013). Perasaan bersalah sendiri berasal dari kepedulian terhadap orang lain, sehingga rasa bersalah termasuk dalam bagian self-perceived (Endraswari, 2021). Rasa bersalah ini memiliki ciri-ciri adanya kecenderungan untuk mengevaluasi perilaku diri yang negatif dan kecenderungan agar memperbaiki tindakan (Aini, 2018). Perasaan bersalah ini adalah perbaikan emosi yang muncul karena perilaku yang dilakukan dan hasil yang muncul tidak sesuai dengan apa yang diinginkan individu (Afifah & Zarefar, 2021).

Banyak orang mengalami perasaan bersalah yang berlebihan tanpa alasan yang jelas atau proporsional terhadap kesalahan yang telah dilakukan (Sukatin et al., 2020). Perasaan bersalah yang berkepanjangan dapat mengganggu fungsi sehari-hari dan mengurangi rasa percaya diri seseorang (Dirgayunita, 2016). Perasaan bersalah yang tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan gangguan mental dan emosional yang lebih serius (Nancye & Maulidah, 2017).

Perasaan bersalah itu membuat individu menutup diri dari fakta yang ada, membuat individu menipu dirinya sendiri, dan munculnya sifat agresif untuk menyelamatkan diri dari serangan dirinya sendiri (Mulyadi et al., 2016). Perasaan bersalah itu juga umumnya disertai dengan rasa khawatir, malu, bahkan cemas (Oktamarin et al., 2022). Sebenarnya perasaan bersalah cukup umum terjadi pada kebanyakan orang. Namun, apabila perasaan bersalah itu berlebihan dan tidak segera diatasi, perasaan itu bisa menjadi boomerang dan berakibat buruk (Ramadhanti et al., 2022).

Penelitian ini memiliki urgensi yang tinggi karena perasaan bersalah yang berlebihan merupakan masalah yang sangat mempengaruhi kesejahteraan psikologis masyarakat secara global. Dengan memahami penyebab dan cara mengatasi perasaan bersalah, kita dapat membantu individu untuk mengembangkan mekanisme koping yang lebih efektif dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Penelitian ini akan memberikan kontribusi baru dalam bidang psikologi dan agama Buddha dengan mengeksplorasi dan memadukan perspektif kedua disiplin ilmu tersebut dalam mengatasi perasaan bersalah yang berlebihan. Kajian lintas disiplin ini akan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang fenomena perasaan bersalah dan memberikan pandangan yang lebih luas tentang cara-cara mengatasinya.

��� Beberapa penelitian yang relevan yang telah dilakukan sebelumnya dapat mencakup: (1) Studi psikologi tentang mekanisme koping dan pengelolaan emosi yang efektif. (2) Penelitian tentang peran agama dalam membantu individu mengatasi perasaan bersalah. (3) Studi tentang ajaran-ajaran Buddha tentang pemaafan dan penyelesaian karma sebagai landasan untuk memahami perasaan bersalah dari perspektif agama Buddha.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi perasaan bersalah, cara itu bisa mencoba mengikuti cara-cara yang dianjurkan oleh Ilmu Psikologi atau Ajaran Buddha. Jurnal ini dibuat untuk mengetahui cara mengatasi rasa bersalah dari perspektif Psikologi dan Agama Buddha.

 

Metode Penelitian

Jurnal ini menggunakan metode penelitian kajian kepustakaan (Library Research). Menurut Mirzaqon (3-4), studi kepustakaan adalah suatu studi yang dilakukan dalam pengumpulan informasi dan data bantuan yang berupa material yang berupa dokumen, buku, majalah, situs online yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan. Metode penelitian kepustakaan ini digunakan untuk menyusun informasi mengenai cara mengatasi rasa bersalah yang berlebihan dengan Langkah-langkah, yaitu: 1) pemilihan topik; 2) eksplorasi informasi; 3) menentukan fokus penelitian; 4) pengumpulan sumber data; 5) persiapan penyajian data; dan 6) penyusunan laporan. Teknik pengumpulan data dalam jurnal ini adalah studi literatur. Data yang ditemukan lalu dikompilasi, dianalisis, lalu disimpulan bagaimana cara untuk mengatasi perasaan bersalah yang berlebihan dalam perspektif Psikologi dan Agama Buddha.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Perasaan Bersalah dari Perspektif Psikologi.

Rasa bersalah adalah perbaikan emosi yang merupakan hasil dari introspeksi diri dari peristiwa negatif yang tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. Rasa bersalah ini membuat individu menutup diri dari fakta dan menipu diri, serta menimbulkan perilaku agresif yang berlebihan. Ia berusaha menolak dari akibat yang muncul dan mencoba memberikan akibat perbuatannya kepada orang lain. Rasa bersalah ini dipengaruhi oleh kecemasan, trauma masa kecil, budaya, agama, dan tekanan social (Trifiana, 2021). Seperti yang sudah disebutkan tadi, salah satu penyebab rasa bersalah adalah agama. Oleh karena itu, orang yang memiliki pendidikan agama yang kuat akan cepat merasa bersalah karena takut bahwa mereka mungkin telah melanggar larangan Tuhan (Ratna et al., 2015).

Ratna (2015) menjelaskan bahwa rasa bersalah dalam psikologi dibagi menjadi dua, yaitu rasa bersalah objektif dan rasa bersalah subjektif. Berikut adalah penjelasan terperincinya:

1.    Rasa Bersalah Objektif

Rasa bersalah objektif adalah rasa bersalah karena adanya pelanggaran hukum. Meskipun adanya pelanggaran hukum, individu tersebut belum tentu merasa bersalah. Rasa bersalah objektif ini dibagi menjadi empat, yaitu: 1) legal-guilt, yaitu rasa bersalah yang menjadi masalah karena melanggar hukum yang berlaku di masyarakat; 2) sosial-guilt, yaitu rasa bersalah karena pelanggaran hukum yang tidak tertulis dan pelanggaran tata krama; 3) personal-guilt, yaitu rasa bersalah karena pelanggaran terhadap kesadaran akan kebenaran yang ada pada diri seseorang; dan 4) theological-guilt, yaitu rasa bersalah karena pelanggaran terhadap hukum-hukum.

2.    Rasa Bersalah Subjektif

Rasa bersalah subjektif adalah rasa bersalah yang timbul perasaannya sendiri. Orang yang memiliki rasa bersalah subjektif bisa saja merasa ketakutan, putus asa, gelisah, dan menyalahkan diri sendiri secara terus-menerus. Perilaku yang dia lakukan bisa saja tidak melanggar kebenaran atau aturan masyarakat, tetapi ia tetap merasa bersalah. Rasa bersalah ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu a fear of punishment (perasaan takut akan hukuman), a loss in self-esteem (perasaan kehilangan harga diri), dan a feeling of loneliness, rejection, or isolation (perasaan kesepian, penolakan, atau pengasingan). Meskipun rasa bersalah subjektif tidak selamanya buruk karena dorongan untuk memperbaiki tingkah laku, tetapi perasaan bersalah yang sangat kuat bisa merusak. Seperti yang sudah disebutkan bahwa perasaan bersalah yang berlebihan dapat merusak.

Berikut adalah cara untuk mengatasi perasaan bersalah Azmi (2021): 1. Memberikan apresiasi terhadap usaha yang dilakukan salah satu cara untuk menghilangkan rasa bersalah adalah menyadari dan mengapresiasi usaha diri sendiri. Jika penyebab dari rasa bersalah yang terus menerus dan kuat sudah ditemukan, usaha selanjutnya adalah menghargai diri sendiri. Evaluasi usaha yang sudah dilakukan. Apabila usaha yang dilakukan adalah usaha yang terbaik, tidak perlu lagi merasa bersalah. Karena selain faktor dari diri sendiri, faktor dari luar juga bisa membuat hasil dari usaha tidak sesuai dengan harapan. Untuk itu, terima faktor-faktor tersebut dan ungkapkan rasa terima kasih karena telah berusaha sekuat tenaga. 2. Melihat permasalahan dari perspektif orang lain. Pada saat merasa bersalah yang berlarut-larut, coba untuk mengesampingkan perasaan tersebut dan mencoba melihat dari sudut pandang orang lain. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan introspeksi diri dan bagaimana diri sendiri menanggapi masalah tersebut apabila kesalahannya dilakukan orang lain. Ada kemungkinan bahwa jika orang lain yang melakukan kesalahan, diri sendiri individu tidak akan bereaksi terlalu besar, sehingga rasa bersalah itu hanya bentuk dari perilaku yang terlalu keras kepada diri sendiri. Jika memang perasaan bersalah itu hanya bentuk sikap yang terlalu keras, perasaan tersebut dapat diatasi dengan mencoba memberikan rasa belas kasihan yang sama seperti memberikan kepada orang lain. 3. Melihat emosi rasa bersalah dengan lebih dalam Apabila perasaan bersalah tidak kunjung hilang, ada kemungkinan perasaan bersalah itu adalah bentuk emosi lain yang lebih besar. Emosi itu bisa berupa kemarahan, perasaan terintimidasi, atau perasaan tertekan. Sebagai contoh, memiliki hubungan yang dekat dengan seorang narsistik. Orang yang narsisitik memiliki kencenderungan untuk menyalahkan orang lain terus menerus, padahal kenyataannya bisa jadi bukan kesalahan orang tersebut. Karena terus menerus disalahkan, adanya emosi kecemasan terhadap orang yang menyalahkan dan merasa tertekan. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menghilangkan rasa bersalah karena emosi lain ini adalah dengan melihat lebih dalam mengenai emosi apa yang ada di baliknya. 4. Mengurangi berpikir negatif. Untuk dapat mengurangi perasaan bersalah, berusahalah untuk menerima kesalahan yang dilakukan dan berjanji akan melakukan hal yang lebih baik lagi. Anggap bahwa kesalahan adalah pelajaran terbaik untuk menjadi lebih baik dan berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

B.  Perasaan Bersalah dari Perspektif Agama Buddha.

Perspektif Agama Buddha mengacu pada penjelasan khususnya yang terdapat dalam Abhidhamma Pitaka, perasaan bersalah adalah salah satu karakteristik dari dosa. Dosa atau kebencian adalah keadaan batin yang tidak nyaman. Dosa bisa berwujud kemarahan, penolakan, rasa takut, menyesal, atau merasa bersalah. Sekecil apapun ketidaknyamanan, maka kebencian sedang muncul di batin orang tersebut (Dhamma Home). Selanjutnya, jika membahas perasaan bersalah dari perspektif Agama Buddha, kesalahan itu sendiri pastinya perlu dibahas juga. Di dalam agama Buddha, tidak masalah untuk melakukan kesalahan dan tidak masalah apabila menjadi individu yang tidak sempurna. Maksudnya adalah seorang individu lebih baik mengakui dan menyadari bahwa dirinya pernah melakukan kesalahan, dibanding menganggap dirinya hebat dan tidak pernah melakukan kesalahan. Selanjutnya, setelah melakukan kesalahan yang tidak disengaja, berikan cinta kasih agar dapat memaafkan diri sendiri (Brahm).

Ada beberapa hal yang menghalangi seseorang untuk mengakui kesalahan: 1) Kondisi kepribadian yang membuatnya merasa sangat penting dan harus dikagumi. 2) Tiga sifat buruk yang ada dalam pikiran individu. Tiga sifat ini merupakan tiga akar kejahatan, yaitu dosa (kebencian) termanifestasi pada sikap penolakan terhadap fenomena kesalahan yang terjadi, lobha (keserakahan) termanifestasi pada sikap untuk terus-menerus selalu mendapatkan pujian, dan moha (kebodohan batin) termanifestasi pada perasaan ketakutan dan kekhawatiran terhadap kesalahan dan akibat yang didapatkan setelah mengakui kesalahan. Untuk itu, cara untuk mengatasi rasa bersalah yang berlebihan dalam Ajaran Agama Buddha pertama adalah yang dapat dikaitkan dengan cinta kasih atau metta. Metta adalah cinta kasih yang universal. Metta ini berada di Metta Sutta, Khuddaka Nikaya.

Dalam Metta Sutta, dijelaskan bahwa jangan mengharapkan orang lain untuk celaka karena kemarahan atau niat jahat. Orang yang diharapkan celaka ini bukan manusia saja, tetapi semua makhluk, bahkan diri sendiri juga dipancarkan cinta kasih. Pengembangan cinta kasih ini dilakukan tanpa ada kondisi-kondisi imbalan tertentu dan penuh ketulusan. Itulah kenapa, cinta kasih sangat penting untuk diarahkan terutama kepada orang yang telah melakukan kesalahan. Dengan pemancaran cinta kasih tersebut, siapapun yang melakukan kesalahan akan dimaafkan dan menjadi lebih tenang.

Dalam Metta Sutta juga dijelaskan bahwa orang yang ingin mencapai Nibbana salah satunya adalah tidak kurang ajar, hati-hati, tidak tamak, dan tidak melakukan apa pun yang akan dicela oleh para bijaksanawan. Itu artinya, meskipun memancarkan cinta kasih kepada diri sendiri yang melakukan kesalahan, perlu diingat bahwa harus ada pelajaran yang ia ambil agar mau berusaha lebih baik lagi. Hal ini dapat disesuaikan dengan inti ajaran Buddha yaitu �Not finding fault, not hurting, restraint by regulations, knowing the right measure of food, living in a remote dwelling, devotion to meditation�this is the teaching of the Buddhas� atau �Tidak mencari-cari kesalahan, tidak menyakiti makhluk lain, dikendalikan oleh peraturan, mengetahui batasan dalam mengkonsumsi makanan, hidup dalam tempat tinggal yang terpencil, berlatih meditasi�ini adalah ajaran paraBuddha (Dhammapada: 183). Kedua, untuk menghindari melakukan kesalahan yang sama secara berulang dapat mempraktikkan inti ajaran Buddha tersebut. Selain itu, untuk dapat mencegah diri sendiri dari melakukan kesalahan yang melanggar hukum, dapat menjadikan hiri dan ottapa sebagai pegangan hidup. Hiri adalah rasa malu untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral. Ottapa adalah takut untuk melakukan perbuatan yang tidak bermoral karena takut akan akibat yang akan terjadi. Hiri dan Ottapa adalah Dhamma pelindung dunia. Hiri timbul karena rasa hormat kepada diri sendiri, sedangkan ottapa timbul karena rasa hormat kepada orang lain. Dalam Anguttara Nikaya II:9 dijelaskan bahwa apabila dua Dhamma pelindung dunia ini tidak dilaksanakan, maka orang tidak akan bisa menghargai orang lain. Itulah kenapa, hiri dan ottapa dapat dijadikan pertimbangan saat hendak melakukan perbuatan. Pemahaman mengenai hiri dan ottapa juga dapat di dukung oleh pelaksanaan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis adalah lima peraturan bagi umat awam.

Isi dari lima sila tersebut adalah 1) menghindari pembunuhan makhluk hidup, 2) menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan, 3) menghindari perbuatan asusila, 4) menghindari ucapan yang tidak benar, dan 5) menghindari meminum minuman yang memabukkan. Perlu dipahami bahwa pancasila ini adalah dasar dari nilai moral seseorang. Orang yang tidak melaksanakan pancasila dapat diibaratkan tidak mengenakan pakaian, artinya seseorang tersebut adalah orang yang tidak memiliki rasa malu terhadap perilaku buruk.

 

Kesimpulan

Perasaan bersalah umum dialami oleh semua orang dan dapat dijadikan pelajaran untuk menjadi lebih baik. Meskipun begitu, apabila seseorang berlebihan dalam merasa bersalah, perasaan bersalah itu akan merusak. Untuk itu, perlu dilakukan cara untuk dapat mengurangi perasaan bersalah menjadi motivasi untuk menjadi lebih baik. Cara tersebut, yaitu memberikan apresiasi terhadap usaha yang sudah dilakukan diri sendiri, melihat masalah dari sudut pandang orang lain, melihat emosi rasa bersalah lebih dalam, dan mengurangi berpikir negatif. Selanjutnya, dalam Agama Buddha, rasa bersalah termasuk dalam golongan dosa atau kebencian. Untuk itu, diperlukan pengembangan cinta kasih kepada diri sendiri agar mau memaafkan. Selain itu, diperlukan perbaikan sikap dengan selalu mempraktikkan Dhamma dengan mengembangkan hiri dan otappa, serta melaksankan Pancasila Buddhis sebagai dasar moralitas umat Buddha.

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Afifah, U., & Zarefar, A. (2021). Pengaruh Retaliasi, Emosi Negatif, dan Komitmen Organisasi Terhadap Kecenderungan Melakukan Whistleblowing. Jurnal Akuntansi Dan Ekonomika, 11(1), 63�71.

 

Aini, D. F. N. (2018). Self esteem pada anak usia sekolah dasar untuk pencegahan kasus bullying. Jurnal Pemikiran Dan Pengembangan Sekolah Dasar (Jp2sd), 6(1), 36�46.

 

Ananda, N. Y., & Mastuti, E. (2013). Pengaruh perfeksionisme terhadap prokrastinasi akademik pada siswa program akselerasi. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan Perkembangan, 2(3), 226�231.

 

Asnawati, D. (2022). Konseling Kelompok Realitas Untuk Menurunkan Gejala Depresi Nonklinis Pada Siswa Kelas 9 SMP Negeri 1 Lumajang. Dakwatuna: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Islam, 8(1), 85�95.

 

Azmi, N. A., Fathani, A. T., Sadayi, D. P., Fitriani, I., & Adiyaksa, M. R. (2021). Social media network analysis (SNA): Identifikasi komunikasi dan penyebaran informasi melalui media sosial twitter. Jurnal Media Informatika Budidarma, 5(4), 1422�1430.

 

Dirgayunita, A. (2016). Depresi: Ciri, penyebab dan penangannya. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 1�14.

 

Endraswari, P. M. (2021). Pemodelan Kausal Beban Diri, Dukungan Sosial, Kebutuhan Spiritual Dengan CRF Menggunakan S3C-Latent.

 

Mulyadi, S., Rahardjo, W., Asmarany, A. I., & Pranandari, K. (2016). Psikologi sosial. Jakarta: Gunadarma.

 

Nancye, P. M., & Maulidah, L. (2017). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap Kemampuan Bersosialisasi Pasien Isolasi Sosial Diagnosa Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya. Jurnal Keperawatan, 6(1), 18�27.

 

Oktamarin, L., Kurniati, F., Sholekhah, M., Nurjanah, S., Oktaria, S. W., & Apriyani, T. (2022). Gangguan kecemasan (axiety disorder) pada anak usia dini. Jurnal Multidisipliner Bharasumba, 1(01 April), 116�122.

 

Ramadhanti, G. A., Jannatania, J., Adiyanto, D. I., & Vashty, S. Q. (2022). Pengalaman Komunikasi Pekerja Startup Pada Praktik Hustle Culture. LINIMASA: Jurnal Ilmu Komunikasi, 5(2), 192�204.

 

Ratna, M., Begum, S., Husna, A., Dey, S. R., & Hossain, M. S. (2015). Correlation and path coefficients analyses in basmati rice. Bangladesh Journal of Agricultural Research, 40(1), 153�161.

 

Sukatin, S., Chofifah, N., Turiyana, T., Paradise, M. R., Azkia, M., & Ummah, S. N. (2020). Analisis Perkembangan Emosi Anak Usia Dini. Golden Age: Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, 5(2), 77�90.

 

Sulistyorini, W., & Sabarisman, M. (2017). Depresi: Suatu tinjauan psikologis. Sosio Informa: Kajian Permasalahan Sosial Dan Usaha Kesejahteraan Sosial, 3(2).

 

Surjoseto, R., & Sofyanty, D. (2022). Pengaruh Kecemasan dan Depresi Terhadap Kualitas Hidup Pasien Kanker Serviks di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangkunkusomo. Jurnal Riset Rumpun Ilmu Kesehatan (JURRIKES), 1(1), 1�8.

 

Trianingsih, R. (2019). Pengaruh Keluarga Broken Home Terhadap Perkembangan Moral dan Psikososial Siswa Kelas V SDN 1 Sumberbaru Banyuwangi. Jurnal Pena Karakter, 2(1), 9�16.

 

Trifiana, A. (2021). Olahraga Triathlon Bukan Hanya untuk Atlet, Ini Strategi Berlatihnya. Retrieved, 6, 2022.

 

Copyright holder:

Amita Wardhani (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: