Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober
2022
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KETENTUAN PENJATUHAN PIDANA MINIMAL KHUSUS ANCAMAN PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Shandy Waisa Prasetya, Rahaditya
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara,
Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Maraknya tindak pidana Narkotika di Indonesia sudah seharusnya
menjadi perhatian banyak pihak, termasuk aparat pemerintah dan penegak hukum.
Salah satunya, melalui penerapan minimal ancaman pidana pada tindak pidana
Narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Pada prinsipnya, dalam suatu putusan wajib memenuhi 3 (tiga) asas
diantaranya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Namun, pertentangan
terjadi apakah kebebasan dan independensi Hakim dapat memenuhi 3 (tiga) aspek
yang harus termuat dalam putusan perkara Narkotika? Dalam membuat pertimbangan
dan menjatuhkan putusan, Hakim tidak hanya harus mengikuti peraturan
perundang-undangan untuk mencapai kepastian hukum, namun juga harus
memperhatikan nilai keadilan komunal termasuk pelaku penyalahguna Narkotika.
Sehingga, hal ini mengundang ketertarikan Penulis untuk mengkaji lebih dalam
mengenai bagaimana tinjauan yuridis terhadap ketentuan minimal ancaman khusus
pada tindak pidana Narkotika berdasarkan UU Narkotika. Dalam penelitian ini,
Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan studi
kepustakaan dan pendekatan undang-undang. Berdasarkan hasil analisa, UU
Narkotika sudah sebagai alat control social sudah mengakomodir dengan baik
penerapan minimal ancaman pidana dengan tujuan untuk memberikan efek jera
sesuai dengan golongan narkotika yang disalahgunakan. Namun, nyatanya dalam UU
Narkotika sendiri masih memiliki celah hukum yang dapat menimbulkan
ketidakadilan bagi terdakwa yang hanya sebagai pemakai dalam jumlah relatif
kecil dan tertangkap tangan saat di hari pertama memakai narkotika. Oleh karena
itu, seluruh aparat penegak hukum sudah seharusnya menjatuhkan dakwaan dan/atau
putusan secara adil dengan memperhatikan peraturan yang relevan lainnya sehingga
tidak menyamaratakan fakta hukum dengan minimal ancaman pidana yang telah
diatur dalam UU Narkotika.
Kata kunci: Tindak Pidana Khusus, Narkotika, Minimal Ancaman Pidana.
Abstract
The rise of
narcotics crimes in Indonesia should be of concern to many parties, including
government officials and law enforcers. One of them, through the application of
minimum criminal threats to Narcotics crimes regulated in the Narcotics Law. In
principle, in a decision it is obligatory to fulfill 3 (three) principles
including certainty, fairness, and legal expediency. However, a conflict occurs
whether the freedom and independence of the judge can fulfill the 3 (three)
aspects that must be included in the decision on the Narcotics case? In making
considerations and making decisions, judges must not only follow statutory
regulations to achieve legal certainty, but also must pay attention to the
value of communal justice, including perpetrators of narcotics abuse. Thus,
this invites the author's interest to study more deeply about how the juridical
review of the minimum provisions for specific threats to narcotics crimes is
based on the Narcotics Law. In this study, the author used a normative
juridical research method using a literature study and statutory approach.
Based on the results of the analysis, the Narcotics Law as a means of social
control has accommodated well the implementation of minimum criminal threats
with the aim of providing a deterrent effect according to the class of
narcotics that are abused. However, in fact the Narcotics Law itself still has
legal loopholes which can cause injustice to defendants who are only users in a
relatively small number and are caught red-handed on the first day of using
narcotics. Therefore, all law enforcement officials should make indictments
and/or decisions fairly by taking into account other relevant regulations so
that they do not generalize legal facts with a minimum of criminal threats as
stipulated in the Narcotics Law.
Keywords: �Special Crimes, Nacrotics, Minimal Penalty
Pendahuluan
Dalam kehidupan bermasyarakat, Narkotika sudah menjadi hal
yang lumrah diperbincangkan walaupun baik dalam ajaran agama maupun peraturan
perundang-undangan (Ramadhani, 2020). Narkotika sejatinya dilarang untuk dikonsumsi dan/atau
diedarkan kecuali untuk alasan yang diperbolehkan dalam peraturan
perundang-undangan, salah satunya untuk keperluan medis (Lutfiyani et al., 2023). Narkotika sendiri adalah zat atau obat yang berasal dari
tumbuhan dan/atau bukan tumbuhan yang dibuat secara sintetik maupun non
sintetik, yang dapat menyebabkan timbulnya ketergantungan, perubahan kesadaran,
dan mengurangi hingga menghilangkan rasa nyeri (Masoara, 2017).
Sementara, jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak dapat
menimbulkan banyak penyakit dan menghancurkan syaraf yang mengakibatkan
pemakainya hilang akal dan tidak berpikir jernih (Stats et al., 2014). Selain itu, maraknya penggunaan Narkotika melalui
kegiatan pengedaran di Indonesia, telah nyata dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana narkotika yang tentu membutuhkan banyak perhatian dari berbagai pihak,
termasuk pemerintah, penegak hukum, dan rakyat Indonesia (Ariyanti, 2017).
Tindak pidana narkotika di Indonesia telah sampai pada
tahap yang memprihatinkan, mengingat sejak tahun 2015, Indonesia sudah
dikategorikan darurat narkotika (Suyatna et al., 2018). Selain itu, Indonesia juga menduduki urutan ketiga
sebagai negara dengan perdagangan narkotika terbanyak setelah Kolombia dan
Meksiko (Djelantik et al., 2015). Ironisnya, pemakai tersebut sebagian besar adalah
generasi muda dengan usia produktif yang seharusnya saat ini sedang berkarya
untuk membangun negeri menjadi lebih baik (Halim, 2022). Sehingga, sejatinya tindak pidana narkotika memang
merupakan kejahatan luar biasa yang memerlukan upaya pemberantasan yang luar
biasa. (Artwitadibrata &
Khisni, 2020).
Sebagai pondasi hukum pencegahan dan pemberantasan
Narkotika di Indonesia, sejatinya kegiatan konsumsi dan/atau pengedaran yang
tidak terkendali sudah dikategorikan sebagai tindak pidana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut
sebagai �UU Narkotika�). Tujuan dibentuknya UU Narkotika adalah sebagai berikut:
(1) menjamin ketersediaan zat Narkotika untuk kepentingan Kesehatan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) melindungi, mencegah, dan
menyelamatkan bangsa Indonesia dari tindak pidana penyalahgunaan dan/atau
pengedaran narkotika; dan (3) menjamin pengaturan dan sosialisasi upaya
rehabilitasi dan penyembuhan bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika.
Lebih lanjut sejatinya, Pasal 7 UU Narkotika menyatakan
bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal tersebut dengan
tegas menyebutkan bahwa narkotika hanya boleh digunakan untuk kepentingan
dokter dan/atau ahli medis yang memiliki medis dan harus digunakan dalam dosis
yang benar sesuai dengan ilmu kedokteran (Kibtyah, 2017).
Namun, pada realitanya, penyalahgunaan terjadi ketika
penggunaan zat narkotika tidak sesuai dan/atau diluar kepentingan medis, bahkan
melebihi / overdose dari dosis yang sudah dianjurkan dan dapat diterima
tubuh (Rosagita & Astuti,
2023). Faktor timbulnya kejahatan dan/atau tindak pidana narkoba dapat
terdiri dari fakor eksternal dan factor internal (Aprianti et al., 2020). Faktor eksternal, dapat berasal dari diluar dari diri
pelaku, seperti pengaruh lingkungan, pergaulan, dan/atau desakan dari pihak
tertentu. Sementara factor internal, berasal dari kesadaran dan kemauan dari
diri pelaku yang membutuhkan rasa ketenangan karena putus asa atau kondisi
genting ketika menghadapi suatu masalah dalam hidup (Al Rosyid et al., 2019). Faktor di atas tentu merupakan kondisi yang tidak bisa
diprediksi dan bisa saja terjadi dalam kehidupan setiap orang. Sehingga, salah
satu cara represif untuk memberantas tingkat kejahatan
dan/atau tindak pidana narkotika adalah melalui hukuman pidana.
Sebagai negara hukum, semua tindakan Warga Negara Indonesia
tentu tidak lepas dari segala peraturan perundang-undangan yang bersumber pada
Pancasila dan Undang-Undang. Negara Hukum menyatakan bahwa semua Warga Negara
Indonesia tanpa terkecuali wajib untuk mengikuti, menghormati, dan mematuhi
hukum, karena hukum bertujuan untuk menciptakan keamanan, kesejahteraan (welfare),
dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Kamlasi & Kusdarini,
2022).
Dalam praktiknya, untuk merealisasikan asas-asas tersebut,
maka dibentuklah suatu sistem peradilan yang mencerminkan kemerdekaan dan
kebebasan peradilan di Indonesia dengan dasar hukum yang diatur dalam Pasal 24
ayat (1) UUD NRI 1945, yang dengan jelas menyatakan bahwa Hakim sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia harus memiliki kekuasaan yang
independen dan mandiri. Dengan kata lain, bahwa selama memutus perkara Hakim
hanya harus tunduk pada isi dari Konstitusi dan Undang-Undang, serta tidak
mengikuti perintah dari badan pemerintah atau rakyat manapun. Sifat kebebasan
pada Hakim dalam mempertimbangkan dan memutus suatu perkara yang dilimpahkan
padanya merupakan mahkota dan perwujudan integritas yang harus dijaga, agar
tidak ada pihak yang dapat mengintervensi dan/atau menghalangi putusan Hakim.
Dalam menjatuhkan suatu putusan, Hakim harus memiliki banyak pertimbangan,
mulai dari jenis tindak kejahatan yang dilakukan dan kepentingan antara korban
dan/atau keluarga pelaku dengan mendasari hal tersebut pada nilai keadilan yang
berkembang di masyarakat serta peraturan perundang-undangan.
Pada perkembangannya, terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan yang mengakomodir penerapan peradilan pidana minimal khusus,
salah satunya UU Narkotika. Namun, timbul pertentangan bahwasanya apakah
kebebasan Hakim dapat mengecualikan ketentuan minimal pidana khusus yang telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan (Mutiaramadani & Kristi,
2014). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Hakim dalam menimbang dan
memutus sebuah perkara, juga tidak hanya menilai dari kepastian hukum, namun
juga keadilan komunal termasuk pelaku itu sendiri (Liwe, 2014). Sebaliknya, dibentuknya kebijakan pemerintah dalam
peraturan perundang-undangan Narkotika juga patut untuk dilaksanakan sebagai
wujud dari tujuan pemidanaan agar memberikan efek jera bagi pelaku lainnya (Zulfitri et al., 2020). Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang sudah
Penulis paparkan, maka Penulis bermaksud untuk mengkaji lebih dalam mengenai
bagaimana tinjauan yuridis terhadap penerapan penjatuhan minimal pidana khusus
pada tindak pidana narkotika berdasarkan UU Narkotika.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan bersifat deskriptif analisis guna menggambarkan fakta hukum dan regulasi terkait isu yang akan dibahas, yaitu UU Narkotika dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur mengenai penerapan minimal pidana pada tindak pidana khusus narkotika. Sehingga, penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach) dan metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif, Penulis menggunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan sumber bahan hukum yang digunakan, terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yaitu UU Narkotika, dan bahan hukum sekunder berupa buku, artikel maupun jurnal publikasi dalam bidang hukum dan narkotika.
Hasil dan Pembahasan
A. Perkembangan Penerapan Ancaman Minimum
Pidana dalam Instrumen Hukum Tindak Pidana Narkotika
Sebagai
salah satu cara penanggulangan maraknya tindak pidana
peredaran narkotika di Indonesia, membuat Pemerintah sejak dahulu menetapkan
berbagai instrument hukum bagi tindak pidana narkotika. Peraturan perundang-undangan
yang pertama adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang
diratifikasi oleh Indonesia dari hasil konvensi tunggal tentang narkotika di
New York tahun 1961. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 menggantikan Verdoovende
Middelen Ordonnatie (Stbl 1927 Nomor 278 joncto. Nomor 536) sebagai
peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial Belanda karena dianggap sudah
tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi kala itu. Peraturan
perundang-undangan selanjutnya adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 yang mana menjadi dasar
pengaturan mengenai penerapan minimum pidana khusus yang diatur dalam Pasal 78
sampai Pasal 83 dan Pasal 87. Pengaturan minimum pidana khusus diberikan dalam
kondisi tertentu, misalnya tindak pidana narkotika diawali dengan permufakatan
jahat dan dilakukan oleh korporasi atau terorganisir (Clinton
& Carter, 2015).
Namun,
dengan berbagai aturan yang sudah dikeluarkan Pemerintah saat itu belum mampu
mengurangi tindak pidana narkotika yang cenderung mengalami peningkatan serta
memakan korban terlebih bagi generasi muda. Oleh karena itu, pada tahun 2002,
melalui Sidang Umum MPR RI, MPR mengusulkan kepada DPR dan Presiden untuk
melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika, dan melahirkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.(Sukarmi,
et.al, 2019). Melalui Undang-Undang ini, penekanan terhadap pemberatan hukuman
pidana menjadi lebih tegas terutama terhadap tindakan penyalahgunaan dan
peredaran secara gelap atas narkotika dan prekusor narkotika, diantaranya dalam
bentuk penerapan pidana umum, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana
penjara seumur hidup, pidana mati dan pemberian rehabilitasi (tindakan
pemulihan untuk mengambil kembali kehormatan dan memulihkan nama baik seseorang
yang sudah terjerat dengan tindak pidana narkotika). Seluruh jenis pidana
tersebut diberikan dengan menyesuaikan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah
terhadap penyalahgunaan dan/atau peredaran narkotika yang mana diatur dalam
Pasal 111 hingga 148 UU Narkotika. Terhadap penerapan minimum pidana ini
sejatinya kita dapat mengacu pendapat oleh Barda Nawawi yang mengemukakan
bahwa:
�Pidana
minimum khusus adalah suatu pengecualian, yaitu dimana delik-delik tertentu
yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat dan
delik-delik yang dikualifikasir oleh akibatnya sebagai ukuran kuantitatif yang
dapat dijadikan patokan bahwa delik-delik yang diancam dengan pidana penjara
diatas 7 (tujuh) tahun yang dapat diberi ancaman minimum khusus, karena
delik-delik itu yang dapat digolongkan sangat berat (A. S.
Arief, 2002).�
Jika
mengacu pada pendapat diatas, maka sejatinya penerapan pidana minimum khusus
adalah suatu pengecualian, dimana tindak pidana yang dipandang sangat merugikan
dan membahayakan pelaku, serta meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara
karena dampak narkotika yang sangat merugikan baik dari segi Kesehatan maupun
psikologis sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara hukuman pidana. Secara
rinci, terdapat 3 (tiga) jenis sanksi pidana yang diatur dalam UU Narkotika,
diantaranya (Effensi, 2014):
1.
Sanksi
pidana bagi pelaku tindak pidana narkotika;
2.
Sanksi
pidana bagi pelaku tindak pidana precursor narkotika; dan
3.
Sanksi
pidana yang diberikan kepada pimpinan atau pengurus, yang merupakan residivis,
melakukan tindakan menghalang-halangi, pencucian uang, dan lain-lain.
Lebih
lanjut, jika mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 103
menyatakan bahwa bahwasanya Undang-Undang diluar KUHP dapat mengatur tentang
hal-hal yang bersifat khusus (special rules), sehingga dapat diartikan
bahwasanya tidak ada standarisasi terhadap ancaman minimum khusus karena itu
bersifat variasi dan justru bergantung pada jenis tindak pidana yang dilakukan (Prayurisman,
2011). Ketiadaan standarisasi yang jelas
tersebut pada praktiknya sering mengundang pandangan berbagai pihak terutama
masyarakat yang sering merasakan bahwa penjatuhan pidana oleh hakim terkesan
tidak adil bagi pelaku maupun bagi korban dan/atau masyarakat luas (Puspita,
2019).
Jika
dilakukan perbandingan antara KUHP dengan UU Narkotika, KUHP hanya mengatur
mengenai sistem pidana minimum dan maksimum secara umum, yang mana UU Narkotika
menetapkan beberapa pasal khusus ancaman pidana maksimum seperti yang diatur
dalam KUHP yaitu 15 (lima belas) tahun dan paling tinggi 20 (dua puluh) tahun
dalam hal apabila pelaku melakukan pengulangan atau perbarengan dalam tindak
pidana narkotika. Sementara untuk ketentuan pidana minimum umum dalam KUHP hanya
1 (satu) hari. Jika dilihat dari tindak pidana narkotika yang merupakan
kejahatan transnasional dan meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka
hukuman minimum tindak pidana narkotika tidak dapat mengacu pada KUHP (Nasution,
2022).
Penerapan pidana umum di Indonesia sejatinya bertujuan untuk memberikan asumsi
bahwa atas dasar Undang-Undang tersebut, dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan
menurunkan angka tindak pidana narkotika di Indonesia, sementara pengaturan
pidana maksiimum diterapkan untuk mencegah tindakan sewenang-wenangan hakim
dalam menjatuhkan pidana agar tidak melebihi batas yang sudah ditentukan dalam
Undang-Undang, karena untuk memberikan perlindungan hukum bagi terdakwa.
Pengaturan penerapan minimum pidana ini menurut Muladi, sejatinya menjadi salah
satu pengaruh dari kecenderungan internasional yang mana diterapkan dengan
tujuan untuk mengurangi disparitas pidana (disparity of sentencing) dan
menyatakan tingkat beratnya kejahatan tersebut �(Muladi
& Surendro, 2014). Dengan
kata lain, penerapan pidana minimum justru menjadi salah satu solusi dari
keresahan dan/atau rasa kurang puas oleh masyarakat terhadap pidana penjara
yang dalam prakteknya sering tidak ada perbedaan antara tindak pidana ringan
dengan tindak pidana yang tergolong berat (M. Arief, 2015). Penerapan hukum yang dilakukan oleh Hakim dalam pengadilan dalam
praktiknya harus mengindahkan nilai-nilai keadilan yang dapat diterima secara
ikhlas oleh seluruh pihak termasuk korban, masyarakat, dan pelaku (B. Waluyo,
2017).
Pengaturan mengenai tindak pidana narkotika sejatinya diatur dalam
Pasal sebagai berikut:
Tabel 1
Pasal Tindak Pidana Narkotika
No. |
Pasal |
Kategori |
Sanksi |
Denda |
1. |
Pasal 111 |
Tindakan menanam, memelihara, menyimpan persediaan, dan
menguasai (dalam bentuk tanaman dan/atau bukan tanaman) |
1) 4 � 12 tahun 2) 5 � 20 tahun |
Rp. 800.000.000 � Rp. 8.000.000.000 |
2. |
Pasal 112 |
Tindakan menanam, memelihara, menyimpan persediaan, dan
menguasai (dalam bentuk tanaman dan/atau bukan tanaman) |
1) 5 � 15 tahun 2) 5 � 20 tahun |
Rp. 800.000.000 � Rp. 8.000.000.000 |
3. |
Pasal 113 |
Tindakan mengekspor, memproduksi, mengimpor, dan
menyalurkan narkotika golongan I |
1) 4 � 12 tahun 2) 5 � 20
tahun |
Rp. 1.000.000.000 � Rp. 10.000.000.000 |
4. |
Pasal 114 |
Tindakan menawarkan untuk dijualkan, menjual dan/atau
membeli sendiri, menjadi perantara dalam kegiatan jual beli, menukar atau
menyerahkan narkotika golongan I |
1) 4 � 12 tahun 2) 5 � 20 tahun |
Rp. 1.000.000.000 � Rp. 10.000.000.000 |
5. |
Pasal 115 |
Tindakan mengirim, mengangkut, membawa, atau mentransito
narkotika golongan I |
1) 4 � 12 tahun 2) 5 � 20 tahun |
Rp. 800.000.000 � Rp. 8.000.000.000 |
6. |
Pasal 116 |
Tindakan tanpa hak atau melawan hukum mnenggunakan
narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan kepada orang lain
untuk menggunakan narkotika golongan I |
1) 5 � 15 tahun 2) 5 � 20 tahun |
Rp. 1.000.000.000 � Rp. 10.000.000.000 |
7. |
Pasal 117 |
Tindakan melawan hukum memiliki, menyimpan, menyediakan
atau menguasai narkotika golongan II |
1) 3 � 10 tahun 2) 5 � 15 tahun |
Rp. 600.000.000 � 6.000.000.000 |
8. |
Pasal 118 |
Tindakan tanpa haka tau melawan hukum mengekspor,
memproduksi, mengimpor, atau menyalurkan narkotika golongan II |
1) 4 � 12 tahun 2) 5 � 20 tahun |
Rp. 800.000.000 � Rp. 8.000.000.000 |
6. |
Pasal 119 |
Tindakan menawarkan untuk dijualkan, menjual dan/atau
membeli sendiri, menjadi perantara dalam kegiatan jual beli, menukar atau
menyerahkan narkotika golongan II |
1) 4 � 12 tahun 2) 5 � 20 tahun |
Rp. 800.000.000 � Rp. 8.000.000.000 |
7. |
Pasal 120 |
Tindakan mengirim, mengangkut, membawa, atau mentransito
narkotika golongan II |
1) 3 � 10 tahun 2) 5 � 15 tahun |
Rp. 600.000.000 � 6.000.000.000 |
8. |
Pasal 121 |
Tindakan tanpa hak atau melawan hukum mnenggunakan
narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan kepada orang lain
untuk menggunakan narkotika golongan II |
1) 4 � 12 tahun 2) 5 � 20 tahun |
Rp. 800.000.000 � Rp. 8.000.000.000 |
9. |
Pasal 122 |
Tindakan melawan hukum memiliki, menyimpan, menyediakan
atau menguasai narkotika golongan III |
1) 2 � 7 tahun 2) 3 � 10 tahun |
Rp. 400.000.000 � 3.000.000.000 |
10. |
Pasal 123 |
Tindakan tanpa hak�
atau melawan hukum mengekspor, memproduksi, mengimpor, atau
menyalurkan narkotika golongan III |
1) 3 � 10 tahun 2) 5 � 15 tahun |
Rp. 600.000.000 � 5.000.000.000 |
11. |
Pasal 124 |
Tindakan menawarkan untuk dijualkan, menjual dan/atau
membeli sendiri, menjadi perantara dalam kegiatan jual beli, menukar atau
menyerahkan narkotika golongan III |
1) 3 � 10 tahun 2) 3 � 15 tahun |
Rp. 600.000.000 � 5.000.000.000 |
12. |
Pasal 125 |
Tindakan mengirim, mengangkut, membawa, atau mentransito
narkotika golongan III |
1) 3 � 7 tahun 2) 3 � 10 tahun |
Rp. 400.000.000 � 3.000.000.000 |
13. |
Pasal 126 |
Tindakan tanpa hak atau melawan hukum mnenggunakan
narkotika golongan III terhadap orang lain atau memberikan kepada orang lain
untuk menggunakan narkotika golongan III |
1) 3 � 10 tahun 2) 5 � 20 tahun |
Rp. 600.000.000 � 5.000.000.000 |
24. |
Pasal 127 ayat (1) |
Tindakan penyalahguna narkotika golongan I, golongan II,
dan golongan III bagi diri sendiri |
1) 1 � 4 tahun 2) Rehabilitasi medis dan Rehabilitasi sosial |
|
25. |
Pasal 128 |
Tindakan pecandu narkotika yang sengaja tidak melaporkan |
|
|
Terhadap pengaturan diatas, maka terkesan memaksa Hakim untuk
mengikuti ketentuan minimum pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang.
Namun, kemudian yang menjadi perhatian adalah kini dalam praktiknya banyak
Hakim dalam pengadilan tindak pidana narkotika justru memutus dibawah ancaman
pidana minimum yang sudah ditentukan dalam UU Narkotika.
Jika mengacu pada fakta di lapangan, nyatanya yang menjadi
pertentangan adalah seringkali Jaksa Penuntut Umum/ Oditur Militer mendakwa
Terdakwa dengan Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika, yaitu dengan tanpa hak
melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman (Pasal 111) atau bukan
tanaman (112). Praktek pengadilan yang menggambarkan kondisi seperti ini pun
ditemui dalam beberapa putusan tingkat kasasi yang akhirnya mencoba kembali
menggali fakta dan rasa keadilan bagi terdakwa. Salah satunya, adalah putusan
Mahkamah Agung Nomor 2089K/Pid.Sus/2011 yang ternyata terbukti bahwa Terdakwa
merupakan penyalahguna sebagaimana seharusnya didakwa dengan Pasal 127, namun
JPU mendakwa Terdakwa dengan pasal 112 sebagai dakwaan tunggal. Terkait hal
ini, Mahkamah Agung pun membebaskan Terdakwa dan membatalkan putusan pengadilan
negeri dan menguatkan putusan pengadilan tinggi yang menjatuhkan hukuman
berdasarkan pasal penyalahguna sesuai pasal 127 yang tidak didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung ini, timbul dissenting
opinion atau pendapat yang berbeda, dimana salah satu Hakim menyatakan
bahwa apakah sebelum pada saat Terdakwa menghisap shabu-shabu, dapat dikatakan
telah menguasai zat narkotika tersebut? Tidaklah mungkin Terdakwa dapat
menghisap shabu-shabu tersebut tanpa menguasainya terlebih dahulu walaupun
sebentar. Sehingga, arti menguasai ini harus diartikan secara spesifik termasuk
keadaan pada saat ia menghisap zat narkotika. Akhirnya, Hakim berpendapat bahwa
Terdakwa tetap didakwakan dengan pasal 127 atas penyalahgunaan, namun dengan
penjatuhan pidana dibawah minimum ancaman pidana.
Praktek penyusunan dakwaan oleh JPU yang semakin marak terjadi
menjadi salah satu pembahasan dalam Rapat Pleno Kamar Bidang Pidana yang
diselenggarakan pada tanggal 9 Juni hingga 11 Desember 2015 yang akhirnya
menyepakati beberapa poin terkait pengecualian penerapan ancaman minimum pidana
narkotika yang dituangkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015
tentang Pemberlakuan Hasil Pleno Rapat Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.�
Pada intinya, SEMA tersebut menjadi pedoman penjatuhan pidana bagi
terdakwa yang hanya didakwa oleh JPU menggunakan Pasal 112, namun fakta di
persidangan justru membuktikan bahwa terdakwa menguasai atau memiliki narkotika
golongan I yang dipergunakan sendiri dalam jumlah yang sedikit. Ukuran relatif
sedikit diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 yang
menyatakan terdakwa saat tertangkap tangan menyatakan diri sebagai pemakai
dalam 1 (satu) hari dengan ganja seberat 5 (lima) gram atau metamphetamin
(shabu) dengan berat 1 (satu) gram. Akibatnya, Jaksa Penuntut Umum menjatuhkan
dakwaan pasal 111 atau pasal 112 dan mengakibatkan terdakwa terancam dengan
minimal pidana 4 (empat) tahun penjara ditambah dengan sejumlah denda, yang
mana jika tidak dibayar, maka hukuman penjara akan bertambah menjadi minimal 6
(enam) tahun. Adanya formulasi �memiliki, menyimpan, dan menguasai� dalam pasal
111 dan 112, tentu sangat memungkinkan setiap pelaku tindak pidana narkotika
secara otomatis terjerat dengan pasal tersebut, terlebih apabila Jaksa Penuntut
Umum hanya mendakwa kedua pasal tersebut. Padahal, jika mengacu lebih jauh
dalam Pasal 127, dalam penjatuhan pidana sudah seharusnya memahami bagaimana
dan kriteria seseorang dikatakan sebagai penyalahguna atau pemakai, dan hal ini
yang tentu sering diabaikan oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga lebih praktis
bagi Jaksa Penuntut Umum untuk langsung mendakwa tunggal Pasal 111 atau 112
yang mana sudah pasti terancam pidana minimum 4 (empat) tahun dan tentu
menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku dan keluarga.
B. Aspek Keadilan terhadap Penerapan
Penjatuhan Pidana dibawah Minimal Ancaman Pidana Narkotika
Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam suatu putusan setidaknya harus
memenuhi unsur kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi banyak pihak. Namun, jika menurut Hans Kelsen, nyatanya nilai keadilan
merupakan pendapat subjektif masing-masing karena pada dasarnya kita dituntut
untuk menentukan kebutuhan manakah yang dapat dipenuhi karena faktor kebutuhan
setiap orang adalah berbeda dan ditentukan oleh factor emosional (Siregar, 2017). Lebih lanjut, dalam menjatuhkan putusan sejatinya kebebasan
hakim harus tetap dikawal dan mahkota bagi hakim yang harus dihormati oleh
semua pihak. Namun, taraf kebebasan ini tidak menjauhkan Hakim dari keharusan
untuk mempertimbangkan banyak hal dalam penjatuhan putusan, diantaranya perkara
yang sedang diadili, tingkat kesalahan dan perbuatan oleh pelaku, hingga sampai
pada rasa keadilan dan kepentingan pihak korban,
keluarga, serta masyarakat luas. Pertimbangan tersebut didapat ketika Hakim
mengolah dan memproses data yang didapat selama persidangan, mulai dari bukti
surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah yang terungkap dan/atau terucap
di persidangan. Oleh karena itu, sudah seharusnya putusan yang dijatuhi oleh
Hakim didasari oleh objektifitas, bertanggungjawab, berkebijaksanaan,
berkeadilan, dan professional (R. Waluyo, 2014). Namun, seperti yang diketahui bahwasanya dalam hukum pidana,
juga berlaku asas pembuktian �beyond
reasonable doubt, �yang mana Hakim tidak
hanya berdasarkan pada alat bukti yang sah, namun juga harus diperkuat dengan
keyakinan hakim bahwa putusan yang dijatuhkan haruslah sesuai dengan nalar dan
hati nurani hakim. Dengan kata lain, apabila suatu putusan yang dijatuhkan adil
bagi dirinya, maka hal tersebut boleh saja dilakukan (Siregar, 2017). Hal ini sejalan dengan teori pembuktian yang dikemukakan oleh
Andi Hamzah, diantaranya:
1.
Teori
pembuktian berdasarkan Undang-Undang positif (positive wettelijk
bewijstheorie);
2.
Teori
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja;
3.
Teori
pembuktian berasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis; dan
4.
Teori
pembuktian berdasarkan Undang-Undang negatif (negatief wettellijk bewijs
theotrie).
Selain itu, hal ini juga disampaikan oleh Satjipto Rahardjo bahwa
bukanlah suatu yang haram bagi hakim untuk menyimpangi undang-undang jika
keadilan dapat diperoleh dengan menyimpangi daripada ketentuan Undang-Undang (Ariyanti, 2019). Sementara, jika kita mengikuti ketentuan Undang-Undang,
ketidakadilan menjadi ada. Sehingga, dengan kata lain adalah diskresi hakim
untuk menentukan berat ringannya penjatuhan pidana bagi seseorang. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya Hakim sejatinya dapat memutus tindak
pidana narkotika apabila pelaku terbukti merupakan pengguna (pasal 127).
Namun, pasal tersebut tidak didakwakan oleh Jaksa Penutut Umum.
Hal ini nyatanya membuktikan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan dibawah
minimum khusus harus memiliki kemampuan untuk menguraikan fakta hukum dan
mengekstrak nilai dari UU Narkotika, sehingga Hakim tidak hanya ditugaskan
untuk menjadi corong Undang-Undang demi mencapai kepastian hukum, namun juga
memenuhi aspek keadilan yang mana rasa keadilan ini mungkin saja tidak muncul
sendirinya, melainkan harus diciptakan melalui penemuan hukum dan/atau
penafsiran hakim terhadap suatu norma perundang-undangan. John Rawls dengan
implisit menyatakan bahwasanya ketika Hakim diperhadapkan dengan pertentangan
antara asas kepastian dan keadilan, maka Hakim harus mampu melakukan pergeseran
dengan menyeimbangkan keduanya. Hal tersebut dapat terlihat dalam pertimbangan
putusan Hakim yang harus dimuat secara jelas, rinci, dan memiliki dasar hukum
yang kuat.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa Penulis, maka Penulis dapat
menyimpulkan bahwasanya dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana
narkotika, Hakim harus memilih antara kepastian hukum atau keadilan hukum itu
sendiri. Jika mengacu pada kepastian hukum Pasal 111 dan Pasal 112,
memformulasikan bahwa setiap orang yang memiliki, menyimpan, dan menguasai
sudah pasti dikategorikan sebagai penyalahguna, termasuk juga pemakai, apabila
ditemukan narkotika di dirinya. Namun, lebih lanjut jika mengacu pada SEMA
Nomor 4 Tahun 2010, apabila seseorang tertangkap tangan kedapatan memakai dalam
relatif kecil dalam 1 (satu) hari, maka seseorang tersebut dianggap sebagai
korban dari penyalahgunaan itu sendiri dan dapat hanya memperoleh proses
penyembuhan melalui rehabilitasi secara social maupun psikologis tanpa harus
menggunakan minimal ancaman pidana yang diatur pada Pasal 111 dan Pasal 112.
Namun, para prakteknya pun, Jaksa Penuntut Umum/Oditur Militer sering kali
membuat dakwaan tunggal berdasarkan Pasal 111 atau 112, padahal fakta
persidangan bisa saja tidak seperti itu. Hal ini tentu menimbulkan
ketidakadilan bagi terdakwa, dimana yang seharusnya dirinya hanya sebagai
pemakai, namun harus didakwa dengan minimal ancaman pidana sesuai Pasal 111 atau
112 UU Narkotika. Sehingga, sejatinya Hakim bisa saja menjatuhkan putusan
dibawah minimal ancaman pidana karena jika melihat pada asas penjatuhan
putusan, ketika asas keadilan dan kepastian hukum dihadapkan, maka keadilan
sejatinya harus lebih diutamakan bagi masyarakat dan terdakwa itu sendiri. Hal
ini pun telah diperkuat dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2015, bahwasanya sepanjang
yang dibuktikan di persidangan tidaklah sesuai dengan dakwaan JPU/Oditur
Militer (Pasal 111 dan 112), melainkan yang terungkap di pengadilan adalah
Pasal 127, dimana terdakwa hanya menggunakan narkotika dalam jumlah relatif
kecil, maka Hakim dapat memutus menyimpang daripada Surat Dakwaan dan ketentuan
pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan cukup.
Untuk mengatasi kebimbangan Hakim dalam menjatuhkan
putusan, maka saran penelitian dapat melakukan revisi terhadap UU Narkotika
agar dapat memasukan klausul bahwa bagi pemakai dalam jumlah relatif kecil, dan
baru mengkonsumsi dalam 1 (satu) hari tidak dapat dikenakan minimal ancaman
pidana khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 111 dan 112 UU Narkotika. Selain
itu, perlu dilakukan sosialisasi terhadap JPU/Oditur Militer untuk lebih dapat
menyusun Surat Dakwaan dengan baik dan memperhatikan kesesuaian antara pasal
yang didakdwa dengan fakta hukum yang dilakukan oleh terdakwa. Lebih lanjut,
Hakim juga dapat menjatuhkan dibawah minimal ancaman pidana selama memenuhi
kondisi Pasal 127, sepanjang mampu memberikan pertimbangan yang cukup dan
berbeda (dissenting opinion) serta adil bagi pandangan terdakwa dan
moralitas masyarakat.
BIBLIOGRAFI
Al Rosyid, A., Karismawan, Y., Gumilar, H. R.,
Chabibun, A., & Setiawan, S. A. (2019). Kajian Kriminologi atas Kasus Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi di Wilayah Sukoharjo, Jawa
Tengah, Indonesi). Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, 5(2),
187�208.
Aprianti, D., Suhartini, E., & Yumarni, A. (2020).
Pencegahan Dan Penanggulangan Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Tingkat Sekolah
Menengah Atas Di Kota Bogor Dihubungkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika. Jurnal Sosial Humaniora, 11(2).
Arief, A. S. (2002). Konsep al-Mal dalam Perspektif
Hukum Islam (Studi terhadap Ijtihad Fuqaha�). Al-Mawarid: Jurnal Hukum Islam,
9.
Arief, M. (2015). Tindak Pidana Korupsi Penghambat
Laju Ekonomi. Jurnal Jendela Hukum, 2(2), 23�27.
Ariyanti, V. (2017). Kedudukan Korban Penyalahgunaan
Narkotika dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam. Al-Manahij:
Jurnal Kajian Hukum Islam, 11(2), 247�262.
Ariyanti, V. (2019). Kebebasan Hakim dan Kepastian
Hukum Dalam Menangani Perkara Pidana di Indonesia. Mahkamah: Jurnal Kajian
Hukum Islam, 4(2), 162�174.
Artwitadibrata, D., & Khisni, A. (2020). The
Concept of Criminal Law for Personnel of Narcotics Abuse. Jurnal Daulat
Hukum, 3(4), 411�418.
Clinton, A., & Carter, T. (2015). Chronic wound
biofilms: pathogenesis and potential therapies. Laboratory Medicine, 46(4),
277�284.
Djelantik, S., Indraswari, R., Triwibowo, A., &
Apresian, S. R. (2015). Komunikasi internasional dalam era informasi dan
perubahan sosial di Indonesia. Research Report-Humanities and Social Science,
2.
Halim, A. (2022). Signifikansi dan Implementasi
Berpikir Kritis dalam Proyeksi Dunia Pendidikan Abad 21 Pada Tingkat Sekolah
Dasar. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, 3(03), 404�418.
Kamlasi, A. Y., & Kusdarini, E. (2022). Pendidikan
Kewarganegaraan Berbasis Multikultural Dalam Penguatan Sikap Toleransi Siswa
SMA. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 7(3),
738�747.
Kibtyah, M. (2017). Pendekatan bimbingan dan konseling
bagi korban pengguna narkoba. Jurnal Ilmu Dakwah, 35(1), 52�77.
Liwe, G. B. (2014). Analisis Pengaruh Current Ratio
(CR), Collateralizable Assets (COL), Return on Equity (ROE), dan Growth
Terhadap Dividend Payout Ratio (DPR)(Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur
Yang Terdaftar di BEI Periode 2005-2011). JURNAL RISET AKUNTANSI DAN
AUDITING" GOODWILL", 5(2).
Lutfiyani, D., Hamzani, A. I., & Rizkianto, K.
(2023). Kontroversi Ganja untuk Medis: Perbandingan Indonesia dan Thailand.
Penerbit NEM.
Masoara, S. Y. (2017). Tinjauan Yuridis Terhadap
Penyalahgunaan Komix Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Lex Crimen, 6(9).
Muladi, N., & Surendro, K. (2014). The readiness
self-assessment model for green IT implementation in organizations. 2014
International Conference of Advanced Informatics: Concept, Theory and
Application (ICAICTA), 146�151.
Mutiaramadani, A., & Kristi, R. (2014). Dasar
Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Penjara terhadap Anak
Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Teori Pemidanaan (Studi di
Pengadilan Negeri Mojokerto). Brawijaya University.
Nasution, C. (2022). Langkah Preventif Penanggulangan
Tindak Pidana Narkotika Dalam Perspektif Hukum Pidana. ARBITRASE: Journal of
Economics and Accounting, 3(1), 1�5.
Prayurisman, A. (2011). Penerapan Sanksi Pidana di
Bawah Ancaman Minimum Khusus Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Thesis
online Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang Tahun2011.
Puspita, L. (2019). Pengembangan modul berbasis
keterampilan proses sains sebagai bahan ajar dalam pembelajaran biologi. Jurnal
Inovasi Pendidikan IPA, 5(1), 79�88.
Ramadhani, R. (2020). Pendidikan Akidah Akhlak Sebagai
Solusi Pencegahan LGBT. Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan Dan Keagamaan, 15(01),
47�68.
Rosagita, A. A., & Astuti, P. (2023). Analisis
Putusan Hakim Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika (Studi Kasus Pengadilan
Negeri Mataram Nomor 26/Pid. Sus. Anak/2022/PN. Mtr). NOVUM: JURNAL HUKUM,
90�105.
Siregar, M. Y. (2017). Sanksi Pidana Terhadap
Perkawinan Poligami Tanpa Adanya Persetujuan Istri. Jurnal Ilmiah Advokasi,
5(1), 52�73.
Stats, V. J. K. P., Fadli, R. P., & Zola, N.
(2014). Fadilla Yusri Universitas Negeri Padang, Indonesia.
Suyatna, U., Pascasarjana, P., & Pasundan, U.
(2018). Narcotics policy evaluation at 34 provinces in indonesia. J.
Ilmu-Ilmu Sos. Dan Hum., 20, 168�176.
Waluyo, B. (2017). Optimalisasi pemberantasan korupsi
di indonesia. Jurnal Yuridis, 1(2), 162�169.
Waluyo, R. (2014). Model Hubungan Antara Culture
Knowledge Management dan Performance di Perusahaan Konstruksi. Disertasi
Program Doktor (S-3) Teknik Sipil.
Zulfitri, O., Danil, E., & Sabri, F. (2020).
Judges� Considerations in Sentencing a Prison Under Special Minimum Criminal
Threats in the Solok District Court (Case Study of Decision Number 40/Pid.
Sus/2014/Pn. Slk). International Journal of Multicultural and Multireligious
Understanding, 7(6), 390�402.
������
Copyright holder: Shandy Waisa
Prasetya, Rahaditya (2023) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |