Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober
2022
HUBUNGAN HARGA DIRI (SELF-ESTEEM) DAN REGULASI DIRI (SELF-REGULATION) DENGAN PRESENTASI DIRI
(SELF-PRESENTATION) PADA REMAJA AKHIR
DALAM MENGUNGGAH FOTO DAN VIDEO DI MEDIA SOSIAL
Made
Ayu Krisna Putri, IGAA Noviekayatie, Dyan Evita Santi
Universitas Tujuh Belas Agustus 1945, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected],
Abstrak
Melalui media sosial, siapapun dapat
mempresentasikan dirinya sebagai sosok seperti apapun, tidak terkecuali para
remaja akhir yang juga merupakan pengguna media sosial terbesar. Sangat
disayangkan apabila seseorang mempresentasikan dirinya dengan cara yang tidak
baik, yang dapat merugikan orang lain atau dapat menjadi contoh yang tidak baik
yang bisa diikuti oleh anak-anak yang belum memahami mengenai berbagi� informasi di media sosial. Tujuan penelitian
ini adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara harga diri dan regulasi
diri dengan presentasi diri pada remaja akhir dalam mengunggah foto dan video
di media sosial. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan jenis
penelitian ini adalah penelitian regresi berganda. Penelitian ini terdiri dari
dua variabel bebas yaitu harga diri dan regulasi diri. Subjek pada penelitian
ini berjumlah 82 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara harga diri dan regulasi diri dengan presentasi diri pada remaja
akhir dalam mengunggah foto dan video di media sosial. Dari analisis diperoleh
hasil nilai F = 2.064 (Fhitung sebesar 2.064 < Ftabel
3.111) dengan taraf signifikansinya p
= 0.134 (p>0.001). Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa
Sumbangan Efektif (SE) variabel harga
diri terhadap variabel presentasi diri adalah sebesar 4,5%, begitu juga dengan Sumbangan
Efektif (SE) variabel
regulasi diri terhadap
variabel presentasi diri
adalah sebesar 4,5%. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel harga diri dan regulasi
diri memiliki hubungan yang sama dengan variabel
presentasi diri, dan tidak ada variabel yang lebih dominan.
Kata Kunci: Harga Diri, Regulasi Diri, Presentasi Diri,
Media Sosial
Abstract
Through social media, anyone can
present themselves as any kind of figure, including late teenagers who are also
the largest social media users. It is unfortunate if someone presents
themselves in a bad way, which can harm others or can be a bad example that can
be followed by children who do not understand about sharing information on
social media. The aim of this study was to see if there was a relationship
between self-esteem and self-regulation with self-presentation in late adolescents
in uploading photos and videos on social media. This research uses quantitative
methods and this type of research is multiple regression research. This study
consisted of two independent variables, namely self-esteem and self-regulation.
The subjects in this study amounted to 82 people. The results showed that there
was no relationship between self-esteem and self-regulation with
self-presentation in late adolescents in uploading photos and videos on social
media. From the analysis, the results of the value F = 2.064 (Fcalculate 2.064
< Ftable 3.111) with the level of significance p = 0.134 (p > 0.001).
Based on the calculation results, it can be seen that the Effective
Contribution (SE) of the self-esteem variable to the self-presentation variable
is 4.5%, as well as the Effective Contribution (SE) of the self-regulation
variable to the self-presentation variable is 4.5%. Based on this, it can be
concluded that the variables of self-esteem and self-regulation have the same
relationship as the variables of self-presentation, and there is no more
dominant variable.
Keyword:
Self-Esteem,
Self-Regulation, Self-Presentation, Social Media
Pendahuluan
Perkembangan teknologi di zaman
globalisasi dapat dikatakan sangat pesat, bukan hanya teknologi yang berkaitan
dengan pengobatan dan pengajaran, namun teknologi yang juga berkaitan dengan
hubungan sosial. Internet merupakan salah satu bentuk perkembangan teknologi
yang ada dan banyak digunakan oleh masyarakat. Internet memiliki fungsi sebagai
penghubung antara berbagai macam orang untuk berkomunikasi satu sama lain walaupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, yaitu
dengan cara menghubungkan atau mengkoneksikan komputer/laptop/smartphone dengan jaringan internet yang
tersedia (Alyusi, 2016). Masyarakat menggunakan layanan internet tersebut untuk
memenuhi kebutuhan akan informasi terkait hal � hal
yang ada di dalam kehidupan pribadi maupun pekerjaannya. Media sosial adalah
suatu bentuk wadah atau platform sebagai
sarana untuk mendapatkan informasi � informasi yang diperlukan. Bentuk � bentuk
media sosial yang ada kini seperti Instagram,
Facebook, Twitter, Youtube, Tik Tok dan
lain � lain.
Beberapa hal yang bisa terjadi di media
sosial, seperti orang � orang yang mengunggah swafoto/selfie, budaya sharing
dan lain � lain (Mulawarman dan Nurfitri, 2017). Sharing adalah suatu kegiatan yang paling banyak dilakukan di media
sosial. Dapat dikatakan dari seluruh hal yang dilakukan di media sosial, sharing merupakan hal yang sangat
signifikan dan mendasar yang dilakukan pengguna media sosial (Teo dan Lee,
2016). Menurut berita yang bersumber dari JawaPos.com (Birra, 2019), APJII
(Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mengatakan bahwa di Indonesia
para pengguna internet pada umumnya mengakses media sosial, konten video dan chatting.
Dalam penggunaan internet, remaja
merupakan pengguna internet terbesar di Indonesia. Sebanyak 91% remaja dalam
rentang usia 15 � 19 merupakan pengguna internet. Selain
itu, untuk usia 20 � 24 tahun sebanyak 88,5%. Bagi
para anak muda, media sosial menjadi tempat yang nyaman dan kuat untuk dapat
mempresentasikan diri. Menurut beberapa peneliti (Yang dkk, 2017) menjelaskan
bagaimana para anak muda membentuk gambaran dirinya masing � masing di dalam
media sosial. Herring dan Kapidzic (dalam Skogen dkk, 2021) kegiatan presentasi
diri di media sosial yaitu termasuk kegiatan seperti berbagi (sharing) konten yang dibuat sendiri oleh
pengguna media sosial, menggunggah pendapat � pendapat mengenai sesuatu
bahasan, dan mempromosikan konten online yang
diminati oleh orang � orang, misalnya tentang musik, film atau berita. Dalam
seluruh kegiatan tersebut, dikatakan oleh Herring dan Kapidzic (dalam Skogen
dkk, 2021) remaja lebih terlibat dalam kegiatan ini dibandingkan kelompok usia lainnya.
Menurut Goffman (dalam Huang, 2014)
seorang individu perlu untuk mempresentasikan diri sebagai sosok diri yang
dapat diterima oleh orang lain. Individu yang berperan sebagai pelaku (performer) memiliki dasar sebuah
motivasi dan bagaimana dirinya berstrategi dalam mengelola kesan yang
ditampilkan kepada orang lain. Goffman juga mengatakan bahwa individu
menggunakan topeng, memainkan suatu peran, dan menampilkan dirinya sesuai
dengan cara ia memandang dirinya sendiri atau cara ia
ingin dilihat oleh orang lainnya. Bolino dkk (2008) berpendapat bahwa individu
mengelola kesan dirinya saat ingin menunjukkan yang baik tentang dirinya kepada
orang lain. Dalam presentasi diri yang positif, individu akan
membuat kesan yang baik pada orang lain, dengan menekankan sifat positif dan
meminimalkan sifat negatif individu tersebut (Human dkk, 2012). Menurut
Rosenfeld (dalam Human dkk, 2012) presentasi diri yang positif dikatakan
mungkin terlihat pada perilaku individu yang terlihat ceria dan menarik. Maka
dari itu, Leary (dalam Huang, 2014) berpendapat bahwa konsep manajemen kesan
didasarkan pada asumsi bahwa individu mempunyai kebutuhan yang melekat untuk
dapat diikut sertakan dan diterima, yang mana membuat dirinya bertindak sesuati
kebutuhan tersebut. Menurut dari analisis Papacharissi (dalam Ahmed, 2014)
situs pribadi di internet sesuai dengan konsep diri yang utarakan oleh Goffman
di tahun 1959 yaitu orang � orang dapat mengontrol presentasi dirinya secara online kepada orang lain yang bertujuan
agar suatu kesan tertentu dapat tersampaikan.
Menurut Skogen dkk (2021), banyak peneliti
menyoroti mengenai presentasi diri karena dianggap sebagai suatu aktivitas
penting yang terjadi media sosial. Baumeister (1987) berpendapat bahwa
presentasi diri sebagai praktik individu yang terkait dengan bagaimana
seseorang menampilkan diri kepada orang lain, yang disambung pendapat oleh
Skogen dkk (2021) bahwa presentasi diri pada umumnya dianggap dimotivasi oleh
keinginan untuk membuat kesan yang diinginkan secara sosial pada orang lain,
sambil tetap berpegangan terhadap hal yang diyakini dan idealismenya. Pada
penelitian Huang (2014) yang berjudul Self-Presentaion
Tactics in Social Media yang pertanyaan penelitiannya mengenai self-presentation tactics adolescents use in
social media didapatkan hasil yaitu pada taktik pertama (ingratiation) yang mencerminkan para
remaja memberikan perhatian kepada teman � temannya, memuji pengalaman �
pengalaman yang dimiliki oleh teman, dan memberikan pujian kepada teman �
temannya di media sosial untuk memperlihatkan keramahan dan kepeduliannya.��
Menurut Baumeister (1982) terdapat dua
alasan utama mengapa seseorang melakukan presentasi diri, yaitu untuk
mendapatkan imbalan (rewards) yang
dalam hal ini adalah apabila penonton mengontrol atau membagikan suatu imbalan
yang potensial, yang mana imbalan tersebut diperoleh seseorang dengan membuat
penonton berpikir hal baik/positif mengenai seseorang tersebut. Kemudian,
alasan yang kedua adalah sebagai sarana pengganti, atau penyangga untuk
pemenuhan diri. Cohen dkk (dalam Baumeister, 1982) mengatakan bahwa dapat
dipastikan bahwa orang termotivasi untuk menjadi diri idealnya sendiri.
Presentasi diri yang dirancang untuk mendapatkan penghargaan dengan mempengaruhi
penonton yang terutama ditentukan oleh hal � hal yang disukai oleh para
penonton, maka dapat dikatakan bahwa presentasi diri dibuat dengan bertujuan
untuk menyenangkan penonton.
Upaya untuk menyenangkan penonton tertentu
adalah konotasi yang terdengar akrab dengan �presentasi diri�. Istilah dari
kata impression management (managemen
kesan) dan ingratation sangat sesuai
untuk menjabarkan bentuk presentasi diri ini. Motivasi dari presentasi diri
dalam bentuk seperti ini mungkin tersembunyi, seperti hal � hal yang diinginkan
dari penonton, misalnya ada kemungkinan untuk disukai oleh para penonton, atau
untuk mendapatkan penghargaan sehingga menaikan harga diri, yang mana hal � hal
ini mungkin dapat memberikan keuntungan di kemudian hari (Baumeister, 1982).
Jones dan Pittman (dalam Baumeister dan Hutton, 1987) disebutkan sebagai tokoh
� tokoh yang menyempurnakan konsep terkait audiences-pleasing
(menyenangkan penonton). Di dalam teorinya dikatakan presentasi diri dapat
ditujukan untuk para penonton, akan tetapi tidak untuk
membuat kesan yang baik. Alih � alih seseorang ingin membuat penonton dari
kontennya merasa senang, orang tersebut mungkin saja bisa mempresentasikan
dirinya sebagai sosok yang berbahaya atau melakukan suatu bahaya (strategy of intimidation). Selain
mempresentasikan diri sebagai seseorang yang berbahaya atau melakukan sesuatu
berbahaya, mungkin juga orang tersebut mempresentasikan dirinya secara moral
berbudi luhur (strategy of
exemplilfication), atau sebagai sosok yang tidak berdaya dan membutuhkan
pertolongan (strategy of supplication)
(Baumeister dan Hutton, 1987).� Dalam
mengunggah foto atau video di media sosial, harga diri terlibat di dalamnya. Foto atau video yang diunggah di
Instagram maupun media sosial lainnya bisa dikatakan sebagai
sesuatu yang dibanggakan oleh si pengunggah. Menurut Leary dan Kowalski
(dalam Yang dan Brown, 2016) apabila dilihat dari teori presentasi diri
dan interaksionalisme simbolik, umpan balik dari penonton yang diperoleh seseorang
dapat mengurangi atau meningkatkan
harga dirinya (self-esteem). Goffman
berpendapat (dalam Yang dan Brown,
2016) bahwa diantara berbagai macam fitur dari suatu umpan balik, dukungan merupakan hal yang sangat penting
karena dukungan bisa dikatakan sebagai
suatu respon standar dari interaksi sosial yang terjadi. Adapun hubungan antara persentasi diri dan harga diri,
seperti yang dijelaskan oleh Ma�eikienė dkk (2010), individu dengan harga diri
yang tinggi berusaha menciptakan dan mengkonsolidasikan
citra ego positif, tetapi individu dengan harga diri rendah, meskipun
berjuang untuk citra yang diinginkan cenderung untuk bertindak secara tidak langsung dan berhati � hati.
Ketika koneksi kembali (feedback) yang tercipta adalah negatif, individu dengan karakter defensif
dan memiliki harga diri yang tidak
stabil akan mencoba untuk menampilkan diri lebih
positif dibandingkan dengan
individu yang memiliki harga
diri yang stabil.
Selain sisi positif dari harga diri,
terdapat juga sisi negatif dari harga diri, seperti pendapat yang diutarakan
oleh Baumeister dkk (dalam Khalek, 2016) yaitu orang yang dengan harga diri
tinggi lebih cenderung menjadi sombong, arogan, atau terkadang narsis.
Seseorang dalam hal ini berharap menerima evaluasi yang positif dari orang
lain, apabila seseorang tersebut diberikan evaluasi negatif, egonya akan merasa terancam dan hal itu bisa membuat dirinya
menggunakan sumber daya pribadi untuk mengatasi evaluasi negatif. Neff (2011)
berpendapat bahwa mengejar harga diri yang tinggi bisa menjadi masalah, terkadang
bisa kontraproduktif, dan mungkin melibatkan mengangung-agungkan diri sambil
merendahkan orang lain. Baumeister dkk (1989), mengatakan bahwa skor tinggi
pada harga diri dapat dipahami sebagai bentuk presentasi diri sebagai individu
yang ambisius, agresif, dan mengangungkan/ membesar-besarkan diri (self-aggrandizing style). Individu
dengan karakteristik tersebut akan mengklaim sifat
yang diiinginkannya, bahkan sampai membual. Dapat dikatakan bahwa individu
tersebut akan mengambil resiko dalam mepresentasikan
dirinya, yakni untuk dirinya akan dapat berhasil dalam mencapai kesuksesan dan
mendapatkan dan mendapatkan persetujuan dari pihak lain. Sedangkan individu
dengan skor harga diri rendah dapat dipahami sebagai sikap hati-hati,
bijaksana, dan ketika mempresentasikan diri cenderung dengan gaya
yang protektif. Dapat dikatakan orang yang memiliki harga diri rendah, memiliki
keinginan diakui sebagai individu yang memiliki sifat-sifat yang diinginkan
seperti yang dimiliki oleh individu pada umumnya (desired trait), namun dalam hal ini individu tersebut akan berhati-hati dan lambat untuk mengklaim/ mengakui bahwa
dirinya memiliki sifat tersebut. Individu dengan harga diri rendah akan menghindari resiko presentasi diri untuk meminimalkan
kemungkinan menjadi malu atau dipermalukan (Baumeister dkk, 1989).
Baumeister dan Vohs (2005) berpendapat
bahwa mempersentasikan diri secara efektif merupakan salah satu kemampuan yang
penting dalam kehidupan sosial manusia. Menurut beberapa ahli (Baumeister;
Jones & Wortman; Leary; Leary & Kowalski; Schlenker; Schlenker &
Leary; dalam Baumeister dan Vosh, 2005) mengelola suatu kesan (impression) telah diakui sebagai penting
dari daya tarik romantis, kesuksesan dalam pekerjaan dan berorganisasi,
keberhasilan dalam menunjukkan suatu identitas yang dimiliki, memiliki banyak
teman dan lain � lain. Regulasi diri (self-regulation)
pada dasarnya adalah kemampuan untuk mengubah respon diri, sedangkan presentasi
diri terdiri dari perilaku yang dirancang untuk membuat kesan yang diinginkan
pada orang lain. Maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan diri lebih dibutuhkan
untuk beberapa tindakan presentasi diri daripada yang lain, karena saat seorang
individu ingin mempresentasikan dirinya, ia akan
merencanakan dan mengubah perilakunya sehingga dapat mempresentasikan diri
sesuai keinginannya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa presentasi diri
tergantung pada pengelolaan diri yang efektif (Baumeister dan Vohs, 2005).
Vohs dkk (2005) menambahkan bahwa beberapa
presentasi diri bergantung pada sumber regulasi diri, yang mana ketika sumber
daya dari regulasi diri habis/ tidak ada, maka presentasi diri menjadi kurang
efektif. Vohs dkk (2005) menggunakan desain dua-tugas (two-task design) untuk menginvestigasi hubungan antara sumber daya
regulasi diri dan presentasi diri. Dalam penelitian tersebut, para peserta
secara acak ditugaskan untuk mempresentasikan dirinya dalam kondisi yang
biasanya dihadapi (familiar) atau
dalam kondisi di luar kebiasannya. Setelah sesi presentasi diri, para peserta
diminta untuk mengerjakan beberapa masalah yang berkali lipat sebagai tugas
regulasi diri. Hasilnya, peserta yang mempersentasikan diri dengan menggunakan
bentuk presentasi diri yang tidak biasa dan sangat mengusahakan menampilkan
presentasi diri dengan sekuat tenaga, lebih cepat menyerah dibandingkan peserta
yang menampilkan diri dengan akrab, dengan cara
standar atau kebiasaan atau perserta yang tidak terlalu banyak mempresentasikan
dirinya. Dengan kata lain, regulasi diri juga memiliki peran di dalam
presentasi diri berupa mengunggah foto atau video di media sosial untuk
memberikan kesan kepada follower/netizen yang
melihat unggahan tersebut, karena dengan regulasi diri pengguna media sosial
merencanakan dan mengubah perilakunya sehingga dapat mempersentasikan diri
kepada publik. Dengan demikian, dari penjelasan yang telah dijabarkan peneliti
ingin meniliti mengenai hubungan harga diri dan regulasi diri dengan presentasi
diri para remaja akhir dalam mengunggah foto dan video di media sosial.
Metode Penelitian
A. Partisipan
Pada
penelitian ini melibatkan 82 orang, dengan rentang usia
17-24 tahun yang aktif menggunakan media sosial. Dari 82 orang subjek
penelitian, terdiri dari 20 orang berjenis kelamin laki-laki dan 62 orang
berjenis kelamin perempuan. Adapun beberapa jenis media sosial yang digunakan
adalah Instagram, Facebook, Twitter dan
Tik Tok, namun media sosial yang
terbanyak yang digunakan oleh subjek penelitian adalah Instagram.
B. Pengukuran
Pengukuran
masing-masing variabel menggunakan skala psikologi dan terdapat tiga skala yang
digunakan yaitu skala presentasi, skala harga diri dan skala regulasi diri. Pada penelitian ini akan menggunakan pengukuran skala Likert, yang
mulai dari 1 (selalu) sampai 5 (tidak pernah).
Peneliti menggunakan empat aspek dari presentasi diri sebagai dasar
pembuatan skala alat ukur presentasi diri online yang diambil dari teori Yang
dan Brown (2017) yaitu breadth
(jumlah informasi yang disajikan),
depth (tingkat keintiman informasi yang disajikan; contohnya seperti
pikiran pribadi, emosi, kelemahan dan lain - lain), positivity (seberapa positif atau negatif gambaran yang
disajikan), dan authenticity (menunjukkan tingkat representasi asli diri/ keaslian
diri). Dari teori
� teori tersebut peneliti membuat skala alat ukur untuk presentasi diri online yang peneliti turunkan menjadi 40
pernyataan. Berdasarkan hasil uji diskriminasi aitem skala presentasi diri yang
terdiri dari 40 aitem, pada putaran ketiga atau terakhir analisis menunjukkan index corrected item total correlation yang
bergerak dari 0,261 � 0,669, dengan total 24 aitem gugur atau tereliminasi
karena memiliki index corrected item
total correlation < 0,25, sehingga aitem yang valid adalah sebanyak 16
aitem. Hasil uji reliabilitas skala presentasi diri setelah dilakukan tiga kali
putaran analisis diperoleh koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,885
dengan total aitem valid sebanyak 16 aitem.
Peneliti menggunakan tiga aspek harga diri seperti yang dijelaskan oleh Coopersmith (dalam Suhron, 2017) yaitu perasaan berharga, perasaan mampu dan perasaan diterima.
Dari teori � teori tersebut peneliti membuat skala alat ukur untuk harga diri yang peneliti turunkan menjadi 30
pernyataan. Hasil uji diskriminasi aitem skala harga diri yang terdiri dari 30
aitem, pada putaran kedua atau terakhir analisis menunjukkan index corrected item total correlation yang
bergerak dari 0,291 s/d 0,628, dengan total 2 aitem gugur atau tereliminasi
karena memiliki index corrected item
total correlation < 0,25, sehingga aitem yang valid adalah sebanyak 28
aitem. Hasil uji reliabilitas skala harga diri setelah dilakukan dua kali
putaran analisis diperoleh koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,888
dengan total aitem valid sebanyak 28 aitem.
Peneliti menggunakan tiga aspek regulasi diri, seperti yang telah dijelaskan oleh Zimmerman (dalam Ghufron dan
Risnawita, 2017) yaitu: Metakognisi dalam regulasi diri yaitu
individu membuat sebuah rencana, menyusun/mengatur, menilai dirinya, serta
memberikan instruksi kepada dirinya sendiri sebagai kebutuhan sepanjang proses
perilaku yang terjadi, contohnya pada saat individu tersebut belajar. Motivasi
adalah dalam bentuk motivasi dari dalam individu (intrinsik), mampu membuat
keputusan tanpa diganggu gugat (otonomi), dan keyakinan yang tinggi pada diri
terhadap kemampuan dalam mengerjakan sesuatu hal. Perilaku adalah usaha
individu dalam mengatur dirinya, menyortir, dan memanfaatkan maupun membuat
lingkungan yang dapat menunjang aktivitas individu tersebut. Semua ini
dilakukan untuk membuat memaksimalkan pencapaian atas kegiatan yang dilakukan. Dari teori � teori tersebut peneliti membuat skala alat ukur untuk anonymity yang peneliti turunkan menjadi
30 pernyataan. Hasil uji diskriminasi aitem skala regulasi diri yang terdiri
dari 30 aitem, pada putaran kedua atau terakhir analisis menunjukkan index corrected item total correlation yang
bergerak dari 0,271 s/d 0,665, dengan total 1 aitem gugur atau tereliminasi
karena memiliki index corrected item
total correlation < 0,25, sehingga aitem yang valid adalah sebanyak 29
aitem. Hasil uji reliabilitas skala regulasi diri setelah dilakukan dua kali
putaran analisis diperoleh koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,917
dengan total aitem valid sebanyak 29 aitem.
Hasil
Penelitian
Diterimanya hipotesis pertama yang
berbunyi terdapat hubungan antara harga diri dengan presentasi diri pada remaja
akhir dalam mengunggah foto dan video di media sosial menunjukkan bahwa
variabel harga diri dapat dipergunakan untuk memprediksi presentasi diri.
Begitu juga dengan diterimanya hipotesis kedua yang berbunyi terdapat hubungan
antara regulasi diri dengan presentasi diri pada remaja akhir dalam menggunggah
foto dan video di media sosial, yang juga menunjukkan bahwa variabel harga diri
dapat dipergunakan untuk memprediksi presentasi diri. Akan tetapi ditolaknya
hipotesis ketiga yang berbunyi terdapat hubungan antara harga diri dan regulasi
diri dengan presentasi diri pada remaja akhir dalam menggunggah foto dan video
di media sosial, menunjukkan bahwa ketika variabel harga diri dan regulasi diri
bersama-sama tidak dapat digunakan untuk memprediksi presentasi diri.
Dengan ditolaknya hipotesis ketiga yang
berbunyi terdapat hubungan antara harga dan regulasi diri dengan presentasi
diri pada remaja akhir dalam menggunggah foto dan video di media sosial,
berarti variabel harga diri dan regulasi diri tidak dipergunakan secara
bersama-sama untuk memprediksi presentasi diri. Hal ini dapat dijelaskan dengan
penjelasan mengenai regulasi diri dan harga diri. Baumeister dan Vohs (dalam
Hoyle, 2010) mengatakan bahwa regulasi diri melibatkan suatu kondisi menahan
impuls untuk terlibat dalam perilaku yang sudah diketahui akibatnya jika
dilakukan, meskipun terdapat iming-iming adanya kepuasan jangka pendek yang akan diperoleh karenanya (contohnya, merokok, makan
berlebihan, atau melanggar hukum), serta mengejar tujuan yang memiliki manfaat
di masa depan. Mencapai tujuan jangka panjang membutuhkan kualitas ketekunan
dan usaha yang tampaknya kontradiktif dalam menghadapi kemunduran, dan
kemampuan untuk mengenali kondisi dimana ketika suatu tindakan tidak membuahkan
hasil dan menggantikannya dengan strategi yang lain guna mencapai hasil yang
diinginkan (Crocker, dalam Hoyle, 2010). Menurut Baumeister dkk (1988)
berpendapat bahwa kapasitas dari regulas diri seperti otot, dimana bisa
�diperkuat� dengan latihan, namun juga bisa �kelelahan� karena melakukan usaha
terus menerus. Ketika individu menggunakan regulasi diri dalam hal seperti
mengontrol makanan (lebih memakan makanan sehat seperti sayuran dibandingkan
coklat), hal ini menyebabkan berkurangnya regulasi diri pada tugas-tugas
lainnya yang tidak terkait. Brook (dalam Hoyle, 2010) berpendapat bahwa
regulasi diri menjadi lebih menipis ketika harga diri dipertaruhkan.���
Menurut Crocker dkk (dalam Hoyle, 2010)
individu sering mengalami kesulitan melepas diri dari tujuan yang memiliki
keterkaitan dengan harga dirinya, kondisi dimana individu mencoba bertahan
tanpa hasil pada tugas-tugas yang tidak dapat diselesaikan. Senada dengan
pendapat tersebut, Tesser (dalam Hoyle, 2010) berpendapat bahwa individu
mendevaluasi tugas yang tidak dikuasai, dimana hal ini memungkinkan individu
tersebut melepaskan diri dari tujuannya ketika menerima umpan balik negatif
atau informasi perbandingan sosial. Ketika harga diri sedang dipertaruhkan,
regulasi diri cenderung memprioritaskan, mempertahankan, dan melindungi harga
diri daripada mencapai tujuan lain (Crocker dkk, dalam Hoyle, 2010). Strategi
seperti ini seperti melepaskan diri atau menghindari dari tugas, melakukan self-handicaping untuk dapat melindungi
harga diri dari kegagalan atau kemunduran, namun pada akhirnya merusak kemajuan
menuju tujuan penting (Crocker dkk, dalam Hoyle, 2010).� Dengan kata lain, mungkin ketika seseorang
ingin sedang mempertahankan harga dirinya, orang tersebut benar-benar melepas
regulasi dirinya untuk menjaga harga dirinya, sehingga dapat dikatakan bahwa
harga diri dan regulasi diri tidak dapat berjalan bersamaan.
Guna mendukung teori yang telah
dijabarkan, peneliti mencoba untuk melihat dari data statistik dengan
menggunakan SPSS untuk melihat seberapa besar harga diri dan regulasi diri pada
subjek penelitian. Dapat dilihat dari tabel dibawah:
�
Tabel 1
Descriptive
Statistic
Variabel |
Nilai minimal |
Nilai maksimal |
Mean |
Jumlah subjek
(rata-rata ke atas) |
Harga
Diri (X1) |
44 |
128 |
99,95 |
47 |
Regulasi
Diri |
43 |
128 |
98,23 |
42 |
Sumber: Output
Statistic Program SPSS Seri 25 IMB for Windows
Dari data tersebut ditemukan 57,3% (47
orang dari 82 total subjek), memiliki harga diri yang berada pada tingkatan
rata-rata ke atas; dan 51,2% (42 orang dari 82 total subjek), memiliki regulasi
diri yang berada pada tingkatan rata-rata ke atas. Dapat dikatakan bahwa
rata-rata subjek penelitian memiliki harga diri dan regulasi diri pada
tingkatan yang sama yaitu di rata-rata ke atas. Dapat
disimpulkan bahwa ketika individu memiliki kondisi dimana harga dirinya dan
regulasi diri secara bersamaan berada pada tingkat rata-rata ke atas, maka
tidak terdapat hubungan antara harga diri dan regulasi diri dengan presentasi
diri, karena sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa ketika harga diri sedang
dipertaruhkan, regulasi diri cenderung memprioritaskan, mempertahankan, dan
melindungi harga diri daripada mencapai tujuan lain (Crocker dkk, dalam Hoyle,
2010).
Kesimpulan
Hasil penelitian yang pertama menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara harga diri dan presentasi diri pada remaja akhir
dalam mengunggah foto dan video di media sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi harga diri maka semakin tinggi presentasi diri yang dilakukan.
Hasil penelitian yang kedua menyatakan bahwa terdapat hubungan antara regulasi
diri dan presentasi diri pada remaja akhir dalam mengunggah foto dan video di
media sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi regulasi diri maka
semakin individu semakin tinggi presentasi diri dilakukan. Hasil penelitian
ketiga menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara harga diri dan regulasi
diri dengan presentasi diri pada remaja akhir dalam mengunggah foto dan video
di media sosial, yan mana ini bermakna bahwa harga diri dan regulasi diri tidak
bisa bersama-sama mempengaruhi presentasi diri yang dilakukan. Dengan kata
lain, harga diri ataupun regulasi diri hanya memberi pengaruhi kepada
presentasi diri ketika hanya salah satunya dipasangkan dengan presentasi diri.
Sumbangan efektif pada kedua variabel
bebas yaitu harga diri dan regulasi diri menjelaskan atau mempengaruhi variabel
presentasi diri pada remaja akhir dalam mengunggah foto dan video di media
sosial. Berdasarkan perhitungan sumbangan efektif, kedua variabel (harga diri
dan regulasi diri) memiliki hubungan yang sama atau
tidak ada yang lebih dominan dengan variabel presentasi diri.
BIBLIOGRAFI
Ahmed, A.A.A.M. (2014). Self-Presentation
Strategies among Users of Social Networking Sites. International Journal of Interactive Communication Systems and
Technologies, 4(2), 64-78.
Alyusi,
S. D. (2016). Media Sosial: Interaksi,
Identitas, dan Modal Sosial. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP (Divisi Kencana).
Baumeister,
R. F. (1982). A Self-Presentation View of Social Phenomena. Psychological Bulletin, 9(1), 3 � 26.
Baumeister,
R. F., & Hutton, D. G. (1987). Self-presentation theory: Self-construction
and audience pleasing.
Baumeister,
R. F., Tice, D. M., & Hutton, D. G. (1989). Self-Presentational Motivations
and Personality Differences in Self-Esteem. Journal
of Personality, 53(3), 547 � 579.
Baumeister,
R. F., & Vohs, K. D. (2005). Self-Regulating and Self-Presentation:
Regulatory Resource Depletion Impairs Impression Management and Effortful
Self-Presentation Depletes Regulatory Resources. Journal of Personality and Social Psychology, 88(4), 632 � 657.
Birra, F.A.
2019. 171 Juta Penduduk Indonesia Terhubung Internet.
Bolino,
M. C., Kacmar, M. K., Turnley, W. H., & Gilstrap, B. J. (2008). A
multi-level review of impression management motives and behaviors. Journal of Management, 34(6), 1080-1190.
Ghufron,
M. N., & Risnawita, R. S. (2017). Teori
� Teori Psikologi. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Holey,
R. H. (2010). Handbook of Personality and
Self-Regulation (The Costly Pursuit of Self-Esteem). Blackwell Publishing
Ltd. DOI: 10.1002/9781444318111.ch18
Huang,
HY. (2014). Self-Presentation Tactis in Social Media. International Conference
on Social Science.
Human,
L. J., Biesanz, J. C., Parisotto, K. L., & Dunn, E. W. (2012). Your Best
Self Helps Reveal Your True Self: Positive Self-Presentation Leads to More
Accurate Personality Impressions. Social
Psychological and Personality Science, 3 (1), 23-30.
Khalek,
A. M. A. (2016). Introduction to The Psychology of
Self-Esteem. New York: Nova Science Publisher, Inc. ISBN: 978-1-53610-294-9.
Ma�eikienė, A., Peleckienė, V., &
Peleckis, K. (2010). The Main Factors Determining The
Choice of Self-Presentation Strategies in Negotiations and Business Meetings. Business: Theory and Practice, 11(4),
353 � 361. DOI: 10.3846/btp.2010.38
Mulawarman., & Nurfitri, A. D. (2017).
Perilaku Pengguna Media Sosial beserta Implikasinya Ditinjau dari Perspektif
Psikologi Sosial Terapan. Buletin Psikologi,
25 (1), 36-44.��
Neff,
K. D. (2011). Self-compasion, Self-esteem, and Well-being. Social and Personality Psychology Compass, 5, 1-12.
Skogen,
J. C., Hjetland, G. J., �e, T., Hella, R. T., & Knudsen, A.
K. (2021). Through the Looking Glass of Social Media. Focus on
Self-Presentation and Association with Mental Health and Quality of Life. A
Cross-Sectional Survey-Based Study.
International Journal of Environmental Research and Public Health.�
Suhron,
M. Asuhan Keperawatan Jiwa Konsep Self Esteem. Jakarta: Mitra Wacana Media
Vohs,
K. D., Baumeister, R. F., & Ciarocco, N. J. (2005). Self-regulation and
Self-presentation: Regulatory Resource Depletion Impairs Impression Management
and Effortful Self-presentation Depletes Regulatory Resources. Journal of Personality and Social
Psychology, 88(4), 632 � 657.
Yang,
C., & Brown, B. B. (2016). Online Self-Presentation on Facebook and Self
Development During the College Transition. J Youth Adolescence, 45, 402-416. DOI:
10.1007/s10964-015-0385-y.�
Yang, C.,
Holden, S. M., & Carterm M. D. K. (2017). Emerging adults� social media
self-presentation and identity development at college transition: Mindfulness
as a moderator. Journal of Applied
Developmental Psychology, 52, 212 - 221.��
Copyright holder: Made Ayu Krisna Putri, IGAA Noviekayatie, Dyan Evita Santi (2022) |
First publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |