Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7 No. 10 Oktober 2022

 

IMPLEMENTASI PARADIPLOMASI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DALAM SATUAN TUGAS IKLIM DAN HUTAN GUBERNUR

 

Verdinand Robertua, Angel Damayanti, Riskey Oktavian, Lubendik Sigalingging, Fuji Yemima Theresa Silalahi�

Universitas Kristen Indonesia, Indonesia

E-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 sudah disahkan sehingga Pemerintah Indonesia wajib menyerahkan laporan implementasi Perjanjian Paris kepada UNFCCC setiap tahun. Serupa dengan Perjanjian Paris, Pemerintah Indonesia juga sudah meratifikasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017. Kajian paradiplomasi lingkungan Indonesia masih sangat terbatas. Empat tema besar yang dibahas dalam penelitian ini yaitu sejarah paradiplomasi, implementasi paradiplomasi di Indonesia, studi kasus paradiplomasi lingkungan dan dinamika organisasi internasional hybrid. Melalui studi kasus keterlibatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur di Satgas GCF, penelitian ini akan melibat dinamika keterkaitan antara empat tema besar di atas. Penelitian ini akan mengambil data primer dari diskusi terbatas dengan para pemangku kebijakan, akademisi dan aktivis lingkungan. Data sekunder akan diperoleh melalui surat kabar, media elektronik, jurnal dan buku serta publikasi resmi lainnya. Terdapat dua luaran yang menjadi kebaharuan dalam studi lingkungan global. Pertama, desentralisasi di Indonesia menjadi kesempatan besar bagi pemerintah subnasional untuk mengembangkan paradiplomasi lingkungan seperti yang ditunjukkan dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan mengesahkan sembilan peraturan daerah, delapan peraturan gubernur, satu surat keputusan gubernur dan satu surat edaran gubernur yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Perjanjian Paris dan Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2017 tentang Sustainable Development Goals. Kedua, penelitian ini menemukan bahwa Satgas GCF dioptimalkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sebagai media pembelajaran dan pertukaran informasi khususnya dalam isu pemindahan ibukota negara dan hibah Bank Dunia.

 

Kata kunci: Paradiplomasi Lingkungan; Kalimantan Timur; Perjanjian Paris; SDGs; Satgas GCF.

 

Abstract

Law Number 16 of 2016 has been passed so that the Government of Indonesia is required to submit a report on the implementation of the Paris Agreement to the UNFCCC every year. Similar to the Paris Agreement, the Government of Indonesia has also ratified the Sustainable Development Goals through Presidential Regulation No. 59 of 2017. Studies of Indonesia's environmental paradiplomacy are still very limited. Four major themes discussed in this study are the history of paradiplomacy, the implementation of paradiplomacy in Indonesia, case studies of environmental paradiplomacy and the dynamics of hybrid international organizations. Through a case study of the involvement of the East Kalimantan Provincial Government in the GCF Task Force, this research will involve the dynamics of linkages between the four major themes above. This research will draw primary data from limited discussions with policymakers, academics and environmental activists. Secondary data will be obtained through newspapers, electronic media, journals and books as well as other official publications. There are two outcomes that are new in the study of the global environment. First, decentralization in Indonesia is a great opportunity for subnational governments to develop environmental diplomacy as shown by the East Kalimantan Provincial Government by passing nine regional regulations, eight governor regulations, one governor's decree and one governor's circular which are derivative regulations from Law Number 16 of 2016 concerning the Paris Agreement and Presidential Regulation Number 59 of 2017 concerning Sustainable Development Goals. Second, this study found that the GCF Task Force was optimized by the East Kalimantan Provincial Government as a medium for learning and information exchange, especially in the issue of relocating the national capital and World Bank grants.

 

Keywords: Environmental Paradiplomacy; East Kalimantan; Paris Agreement; SDGs; GCF Task Force.

 

Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 sudah disahkan sehingga Pemerintah Indonesia wajib menyerahkan laporan implementasi Perjanjian Paris kepada UNFCCC setiap tahun. Serupa dengan Perjanjian Paris, Pemerintah Indonesia juga sudah meratifikasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017. Ratifikasi kedua perjanjian internasional ini oleh Indonesia memperlihatkan kebijakan luar negeri Indonesia yang turut aktif dalam penyelesaian masalah-masalah global.

Ratifikasi Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tentu membutuhkan strategi komprehensif yang didukung oleh sumber daya manusia dan keuangan yang memadai. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Indonesia membutuhkan dana sebesar Rp. 67.000 Triliun untuk mengimplementasikan TPB di Indonesia dan terdapat selisih dana yang masih belum tercukupi oleh Pemerintah Indonesia sebesar Rp 14.000 Triliun (Bisnis.com, 2022).

Untuk implementasi Perjanjian Paris, Indonesia membutuhkan Rp. 3.461 Triliun sampai tahun 2030 atau sekitar 343 Triliun setiap tahun (Liputan6.com, 2022). Kebutuhan dana untuk Perjanjian Paris dan TPB dapat terjawab melalui kerjasama pendanaan bersama donor-donor internasional. Skema pendanaan TPB dan Perjanjian Paris yang ditawarkan kepada investor pun beragam mulai sukuk hijau, perdagangan karbon, utang berbungan sangat rendah hingga hibah internasional bagi Indonesia. Satuan Tugas Iklim dan Hutan Gubernur/Governors� Climate and Forest Taskforce/Satgas GCF ini menjadi salah satu instrumen bagi Pemerintah Indonesia dalam pendanaan mitigasi dampak perubahan iklim. Dengan keberadaan 34 provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota, potensi manfaat dari paradiplomasi lingkungan Indonesia dapat dioptimalkan.

Menurut Setzer (2013), paradiplomasi lingkungan berfokus kepada peran pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam perundingan internasional terkait isu-isu lingkungan hidup. Selain potensi manfaat bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, peran pusat kajian seperti Center for Security and Foreign Affairs (CESFAS) Prodi Hubungan Internasional UKI dan Pusat Kajian Otonomi Daerah Prodi Ipol UKI dapat lebih signifikan. Penelitian ini berfokus kepada paradiplomasi lingkungan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam Satuan Tugas Iklim dan Hutan Gubernur/Governors� Climate and Forest Taskforce/Satgas GCF. Kajian paradiplomasi lingkungan Indonesia masih sangat terbatas.

Kalimantan Timur memiliki luas wilayah sekitar 12,7 juta Ha dengan luas kawasan hutan sebesar 54% atau sekitar 6,5 juta Ha.� Laju deforestasi pada periode tahun 2006-2016 meliputi beberapa tutupan lahan yaitu pada tutupan lahan tambak seluas 11.046 Ha, pada kawasan pembukaan tanpa izin seluas 39.746 Ha, untuk tutupan lahan pertanian seluas 72.302 Ha, pada lahan pembakaran liar seluas 76.789 Ha sedangkan untuk kawasan tambang seluas 112.340 Ha, pada tutupan lahan hutan tanaman seluas 156.000 Ha dan pada tutupan lahan perkebunan sawit kawasan yang terdeforestasi seluas 676.188 Ha.

Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat tinggi, berdasarkan perkiraan emisi gas rumah kaca (GRK) bersih pada tahun 2012 � 2015 emisi gas rumah kaca dari sektor energi sekitar 45% dan sektor perubahan tutupan lahan sebesar 44%.�(Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KESDM, 2019).

Gambar 1 Kontribusi emisi GRK Kalimantan Timur.

Sumber: (Badan Litbang Pertanian - Kementerian Pertanian Republik Indonesia, 2014)

 

Emisi GRK dari perubahan tutupan lahan terjadi ketika cadangan karbon baik di atas tanah maupun di dalam tanah akan membusuk (terdekomposisi) atau dibakar (Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Working Group I., 2007). Cadangan karbon di atas permukaan tanah adalah cadangan karbon pada tanaman terutama pohon-pohon di hutan. Deforestasi dan degradasi hutan alam (hutan sekunder dan primer) yang ada di Kalimantan Timur dari tahun 2000�2015 berkontribusi sebesar 44% terhadap emisi gas rumah. Pada tanaman diatas permukaan, cadangan karbon juga berada dalam tanah. Cadangan karbon di dalam tanah terbesar berada pada tanah gambut. Cadangan karbon di tanah gambut yang terganggu oleh pembukaan atau pengeringan lahan juga menghasilkan emisi karbon dioksida.

Perubahan iklim di Kalimantan Timur yang diakibatkan oleh deforestasi dan degradasi hutan dipengaruhi oleh kondisi tata kelola dan kepemilikan lahan. DDPI (Dewan Daerah Perubahan Iklim) Provinsi Kalimantan Timur mengutarakan bahwa terjadinya perubahan iklim di Kalimantan Timur sebagian besar disebabkan karena penurunan luasan hutan yang cukup drastis.

Ada tiga persoalan besar terkait perubahan iklim yang dikemukakan oleh DDPI, yaitu� pertumbuhan ekonomi yang dari tahun 1970an � 2009 terus menurun, bencana alam ekologis yang semakin meningkat eskalasinya dalam skala dan frekuensi dan Kalimantan Timur menempati posisi ketiga di Indonesia dalam menghasilkan Gas Rumah Kaca. Perubahan iklim global yang terjadi di dunia dapat berpengaruh terhadap pergeseran musim yang mengakibatkan perubahan awal tanam.� Iklim yang tidak stabil berpengaruh terhadap curah hujan yang terjadi di Indonesia. Sebagian besar pulau Kalimantan akan mengalami musim penghujan yang lebih banyak dan apabila hal ini jika tidak diantisipasi secara tepat dapat berpengaruh terhadap kondisi pertanian.

Musim hujan dengan frekuensi dan curah hujan tinggi dapat mengakibatkan banjir di beberapa daerah di Kalimantan, hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap hasil panen, bahkan ada sebagian daerah yang mengalami gagal panen akibat banjir. Dampak perubahan iklim bisa secara langsung maupun tidak langsung melalui serangan OPT (Organisme Penganggu Tanaman), fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia.

 

Gambar 2. Peta Kalimantan Timur

 

Melihat dampak deforestasi dan perubahan iklim terhadap Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah mengimplementasikan berbagai langkah mitigasi dampak perubahan iklim seperti penyusunan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2019 tentang Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, bergabung aktif dalam Satuan Tugas Iklim dan Gubernur (Satgas GCF), sampai ke kerjasama dengan Bank Dunia dalam pendanaan kegiatan mitigasi perubahan iklim. Peluang pendanaan mitigasi dampak perubahan iklim sangat besar khususnya melalui REDD+.

Melalui REDD+, negara-negara maju wajib memberikan bantuan finansial dan teknologi dalam perlindungan hutan yang mengandung keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan potensi penyerapan karbon dunia. Dalam konteks REDD+, Norwegia telah berkomitmen memberikan bantuan 1 Miliar USD kepada Indonesia. Selain Norwegia, Australia dan Uni Eropa pun berkomitmen mencairkan bantuan keuangan dan teknologi kepada Indonesia dalam konteks REDD+.

Satgas GCF dibentuk atas dasar keprihatinan pemimpin lokal dan provinsi terhadap lambatnya kemajuan implementasi Perjanjian Paris dan dukungan yang lemah dari negara terhadap masyarakat adat. Satgas GCF dibentuk melalui penandatanganan Deklarasi Rio Branco pada tanggal 11 Agustus 2014 di Rio Branco, Brasil. Satgas GCF dapat dikategorikan sebagai organisasi internasional karena beranggotakan negara bagian/provinsi beberapa negara (Manalu, 2016).

Seperti yang diuraikan dalam tabel 2, Satgas GCF memiliki visi untuk memberdayakan pemimpin pemerintahan provinsi dalam program yurisdiksional yang berkaitan dengan pertumbuhan rendah karbon. Untuk merealisasikan visi tersebut, satgas GCF memiliki misi yaitu meningkatkan kualitas kepemimpinan gubernur dalam level internasional, nasional dan lokal, meningkatkan kualitas aparatur sipil negara dalam implementasi program mitigasi perubahan iklim, meningkatkan peluang pendanaan dan investasi yang pro-lingkungan, dan memastikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat.

Indonesia sebagai sebuah negara dengan wilayah hutan yang sangat luas sangat berkepentingan terhadap satgas GCF ini. Terdapat enam gubernur dari Republik Indonesia yang bergabung dalam satgas GCF yaitu Aceh, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Papua Barat, dan Papua. Peran dan pengaruh dari Satgas GCF menjadi sangat penting untuk diteliti melihat keunikan dari program satgas GCF yang menekankan kepada REDD+ dan yurisdiksi berkelanjutan serta jejaring kerja antara satgas GCF dengan donor internasional.

Melalui Satgas GCF, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur berharap implementasi mitigasi dampak perubahan iklim dapat mengalami percepatan karena peluang pendanaan dan transfer teknologi dari negara-negara maju. Selain itu, keterlibatan Pemprov Kalimantan Timur dalam Satgas GCF dapat berdampak positif kepada pemberdayaan dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia di Pemprov Kalimantan Timur khususnya dalam bermitra dengan organisasi internasional dan negara-negara sahabat.

Paradiplomasi Lingkungan Indonesia merupakan sebuah bidang kajian penelitian yang masih baru sehingga studi kasus keterlibatan Pemprov Kalimantan Timur di Satgas GCF menjadi penting untuk diteliti. Melalui penelitian ini, kendala-kendala yang dihadapi Pemprov Kalimantan Timur dalam keterlibatannya di Satgas GCF dan dinamika hubungan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat dibahas secara komprehensif.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif Gr�nmo,�(2020). Dalam analisis data peneliti menganalisis secara induktif maupun kualitatif untuk memperkuat hasil analisis yang lebih mendalam. Peneliti menggunakan teknik-teknik tersebut untuk dijadikan sebagai instrumen kunci untuk menunjang keberlangsungan penelitian. Peneliti fokus pada kondisi ilmiah yang merupakan objek dalam bereksperimen.

Dalam hal ini peneliti menfokuskan penelitiannya dalam menganalisa kebijakan-kebijakan terkait restorasi, penanganan serta penanggulangan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Peneliti juga menggunakan jenis kualitatif tipe deskriptif analitik .Neuman�(2014).

Sumber data yang digunakan oleh peneliti adalah sumber data primer dan data sekunder. Data sekunder berasal dari buku dan majalah atau sumber ilmiah, arsip berupa dokumen pribadi atau juga dokumen resmi. Peneliti akan menggunakan sumber data dari bahan bacaan seperti jurnal ilmiah, buku, serta informasi dari media massa di internet. Bahan bacaan yang digunakan oleh peneliti adalah bacaan yang bertemakan dan berhubungan dengan politik dan paradiplomasi lingkungan Indonesia dalam studi kasus keterlibatan pemerintah Provinsi di Indonesia.

Untuk metode studi kasus dalam kualitatif, penelitian ini memperoleh data dengan menggunakan teknik wawancara secara mendalam dengan informan kunci. Informan kunci pertama dalam adalah staff pemerintahan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yaitu Ir. E.A. Rafiddin Rizal, S.T., M.Si, IPM yang menjabat Kepala Dinas Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Rizal telah berkarir sebagai aparatur sipil negara sejak 24 tahun yang lalu. Pendidikan sarjana diperoleh dari Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, dan dilanjutkan dengan menyelesaikan pendidikan magister di Departemen Ilmu Lingkungan di Universitas Mulawarman. Sebelum menjabat sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, Rizal bertugas di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.

Informan kunci kedua yang diwawancarai berasal dari Satgas GCF yaitu Syahrina D. Anggraina. Syahrina adalah Country Coordinator Satgas GCF untuk Indonesia dan sudah bertugas di Satgas GCF sejak awal tahun 2022. Selain menjabat sebagai Country Coordinator, Syahrina juga menjabat sebagai Director untuk Carbon and Environmental Research Indonesia. Beberapa proyek yang dikerjakan Syahrina antara lain Preparation for VCS-REDD+ Project at Badas Peat Dome, Brunei Darussalam dan Renewable Energy for Electrification Programme 2.

Dalam wawancara mendalam dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, tim peneliti mengajukan tiga pertanyaan yang sifatnya terbuka (open-ended) yaitu 1) Bagaimana koordinasi antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan Satgas GCF dalam implementasi Perjanjian Paris (UU Nomor 16 tahun 2016) dan Perpres SDGs (Perpres no 59 tahun 2017) 2) Apa yang menjadi tantangan dan peluang dalam kerjasama antara Pemerintah Provinsi Kalimantar Timur dengan Satgas GCF? 3) Usulan dan rekomendasi apa yang dapat diberikan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam meningkatkan manfaat dan nilai tambah dari kerjasama dengan Satgas GCF?

Dalam wawancara mendalam dengan Country Coordinator Satgas GCF, tim peneliti mengajukan tiga pertanyaan yang sifatnya terbuka (open-ended) yaitu: 1) Bagaimana koordinasi antara Satgas GCF dengan Pemerintah Pusat (seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Pemerintah Daerah dalam implementasi Perjanjian Paris dan SDGs? 2)Apa yang menjadi tantangan dan peluang dalam kerjasama antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan Satgas GCF? 3) Usulan dan rekomendasi apa yang dapat diberikan oleh Satgas GCF dalam meningkatkan manfaat dan nilai tambah dari kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur?

 

 

Hasil dan Pembahasan

Dengan latar belakang dan kajian pustaka yang telah disusun dalam bab-bab sebelumnya, tim peneliti melaksanakan wawancara mendalam dengan narasumber kunci yang terlibat langsung dalam implementasi paradiplomasi lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam mitigasi isu-isu perubahan iklim. Bab ini terbagi dalam dua sub-bab yaitu sub-bab pertama berjudul�Implementasi Paradiplomasi Lingkungan sebagai Dampak Desentralisasi di Indonesia� dan sub-bab kedua berjudul �Satgas GCF sebagai media pembelajaran dan pertukaran informasi�.

Di dalam kedua sub-bab ini dipaparkan mengenai data-data penting yang diperoleh Tim peneliti, analisis data, relevansi dengan teori dan kajian pustaka hingga kebaharuan yang diperoleh penelitian ini. Setelah mempelajari analisis data dan kebaharuan penelitian ini, Tim peneliti mengambil kesimpulan dan saran bagi peneitian berikutnya.

A.  Implementasi Paradiplomasi sebagai Dampak Desentralisasi di Indonesia

Paradiplomasi Kaltim terkait erat dengan desentralisasi yang diimplementasikan di Indonesia dimana muncul peluang dan kesempatan bagi gubernur dan walikota/bupati untuk menggagas kerjasama dengan kabupaten/kota/provinsi lain begitu besar, bahkan kerjasama yang sifatnya lintas batas. Gubernur Kaltim Awang Faroek (masa bakti 2008-2018) dan Isran Noor (masa bakti 2019-sekarang) menggunakan peluang dan kesempatan yang muncul dalam sistem desentralisasi untuk mengembangkan gagasan-gagasan terkait strategi penanganan perubahan iklim melalui implementasi Perjanjian Paris dan SDGs di tingkat pemerintah provinsi/kabupaten/kota.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sudah menghasilkan regulasi yang dihasilkan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur terkait perubahan iklim ini. Peneliti menemukan 9 (Sembilan) peraturan daerah, 8 (satu) peraturan gubernur dan 1 (satu) surat keputusan gubernur serta 1 (satu) surat edaran gubernur yang terkait dengan perubahan iklim seperti yang terlihat di tabel 1. Kalau melihat jumlah peraturan daerah yang dimiliki Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terkait perubahan iklim maka terlihat lebih jelas komitmen yang dimiliki gubernur juga dimiliki oleh anggota parlemen provinsi.

Ketertarikan masyarakat Kaltim terkait isu perubahan iklim tidak terlepas dari profil provinsi yang terdampak akibat eksploitasi alam yang berlebihan. Kalimantan Timur memiliki tambang alam yang bernilai ekonomis tinggi seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Selain itu, Kaltim juga memiliki wilayah hutan lindung yang begitu luas. Pengelolaan sumber daya alam di Kaltim terkesan koruptif sehingga berdampak buruk bagi masyarakat seperti polusi udara yang menjadi bencana parah bagi Kalimantan di tahun 1998/9 dan tahun 2015/6. Rencana pembenahan pengelolaan sumber daya alam menjadi rencana yang dinanti-nantikan oleh masyarakat yang tercermin dalam penyusunan peraturan daerah.

Di dalam Peraturan daerah Provinsi Kalimantan Timur tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim misalnya, tertulis bahwa �Provinsi Kalimantan Timur sangat rentan terhadap perubahan iklim, sehingga perlu kebijakan dan strategi dalam pengelolaan dampak perubahan iklim melalui aksi adaptasi dan mitigasi�. Kondisi ini sesuai dengan bencana kebakaran hutan dan bencana banjir serta tanah longsor yang menjadi ancaman nyata bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Terkait perubahan iklim, Pemerintah Provinsi telah menyusun peraturan daerah sebagai strategi mitigasi perubahan iklim yaitu:

 

Tabel 1

Daftar Peraturan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur

Terkait Perubahan Iklim

Tahun

Jenis Aturan

Tentang

2013

Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 1/2013

Perlindungan lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan

 

Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 2/2013

Penanggulangan Bencana Daerah

Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 8/2013

Rencana Penyelenggaraan Reklamasi pasca tambang

Surat Edaran Gubernur No. 180/1375-HK/2013

Moratorium izin pertambangan, perkebunan dan kehutanan

2014

Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 1/2014

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 7/2014

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun

2013-2018

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 39/2014

Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Kalimantan Timur

2015

Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 1/2015

Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 15/2015

Pedoman Penerbitan Hak Pengelolaan Hutan Desa

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 17/2015

Penataan Pemberian Izin dan Non Perizinan serta Penyempurnaan Tata Kelola Perizinan di Sektor Pertambangan, Kehutanan, dan Perkebunan Kelapa Sawit� di Provinsi Kalimantan Timur

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 38/2015

Petunjuk Pelaksanaan Reklamasi dan Revegetasi Lahan serta Penutupan Lubang Tambang Batu Bara

SK Gubernur Kalimantan Timur No. 660-2/K/569/2015

Pembentukan tim pengukuran, pelaporan dan verifikasi aksi mitigasi perubahan iklim

2016

Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 1/2016

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur tahun 2016-2036

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 49/2016

Pengaturan Pemanfatan Ruang pada Kawasan Peruntukan Pertambangan

2017

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 35/2017

Izin Pemanfaatan Pertambangan

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 9/2017

Pembentukan Dewan Daerah Perubahan Iklim

2018

Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 1/2018

Penataan Pemberian Ijin dan Non Perijinan di Bidang Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Timur

Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 7/2018

Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan

2019

Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 7/2019

Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

 

Sumber: Olahan peneliti

 

Kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai peraturan daerah ini adalah Perjanjian Paris dan SDGs telah terinstitusionalisasikan ke level nasional dalam bentuk Undang-Undang Perjanjian Paris dan Perpres no 59 tahun 2017 tentang SDGs serta terinstitusionalisasikan ke level daerah dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Surat Edaran/Keputusan Gubernur. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menjadi salah satu provinsi yang paling aktif di dalam menginstitusionalisasikan Perjanjian Paris dan SDGs ke dalam peraturan daerah dan peraturan gubernur. Paradiplomasi lingkungan menjadi lebih efektif ketika peraturan daerah dan peraturan gubernur yang diundangkan merupakan turunan dari perjanjian internasional dan undang-undang.

Dalam wawancara dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemprov Kalimantan Timur, kinerja implementasi Paradiplomasi terkait isu perubahan iklim terlihat dari Deklarasi Kaltim Green yang dilanjutkan dengan penerbitan Peraturan Gubernur Kalimantan Timur nomor 22/2011. Pemprov Kalimantan Timur juga mempublikasikan Master Plan Perubahan Iklim di Kalimantan Timur pada tahun 2016 dan Strategi dan Rencana Aksi dan Pencapaian REDD+, Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK dengan Pergub Kaltim No 39/2014.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemprov Kalimantan Timur lebih detail menjelaskan paradiplomasi Kaltim dengan mengatakan: Bukti keseriusan provinsi Kaltim dalam urusan perubahan iklim dengan menerbitkan Perda Kaltim No. 7/2019 tentang Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim dengan tujuan adalah menjamin terwujudnya transformasi ekonomi Kalimantan Timur menuju ekonomi hijau melalui penyusunan rencana pembangunan daerah dan tata ruang dan mewujudkan pembangunan rendah emisi dan meningkatkan kemampuan daerah dan sektor untuk beradaptasi (Resiliesi) terhadap dampak perubahan iklim.

Upaya pemprov dalam implementasi Paris Agreement dan NDC ini juga bisa kita lihat pada beberapa peraturan gubernur, perda, dan SK Gubernur mendukung. Di antaranya misalnya tadi Perda Kaltim No 7 tahun 2018 tentang Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan, Perda Kaltim No 7 tahun 2019 tentang Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim, Pergub Kaltim No. 12 tahun 2021 tentang Kriteria Area dengan Nilai Konservasi Tinggi dan seterusnya. Termasuk juga SK Gubernur Kaltim No. K.672.2020 tentang penetapan peta indikatif ekosistem esensial Provinsi Kaltim. Ini di dalam hal untuk mendukung Kaltim Hijau (Rizal, 2022).

Perda Kaltim No.7/2019 tidak hanya menjadi retorika tetapi diimplementasikan di dalam operasionalisasi pemerintahan. Dua temuan yang menarik terkait implementasi Perda Kaltim No.7/2019 adalah Peraturan Gubernur No. 27/2022 tentang pembentukan Dewan Daerah Perubahan Iklim. DDPI dibentuk oleh Gubernur Kalimantan Timur sebagai tulang punggung dalam kolaborasi banyak pihak di dalam percepatan implementasi Perjanjian Paris dan SDGs di Kalimantan Timur. Anggota DDPI ditunjuk langsung oleh Gubernur dan anggotanya berasal dari akademisi, aparatur sipil negara dan masyarakat sipil. Saat ini Prof. Dr. Daddy Ruhiyat menjadi ketua DDPI yang merupakan dosen dari Universitas Mulawarman.

Temuan kedua yang menarik juga adalah pembangunan sistem monitoring dan verifikasi. Untuk dukungan sistem monitoring REDD+ Pemerintah Provinsi sudah membentuk sistem monitoring dan verifikasi Provinsi Kaltim yang teritegrasi dengan Sistem Registry Nasional dan SISREDD+ yaitu melalui akses ke website http://mrv.kaltimprov.go.id. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur juga sudah mengintegrasikan sistem monitoring dan verifikasi REDD+ di dalam Pergub Kaltim Nomor 39 tahun 2014 RAD GRK Kaltim 2010-2030.

Implementasi paradiplomasi lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur merupakan manfaat yang dirasakan dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Di dalam kajian pustaka, terdapat pendapat yang pesimis dan optimis terhadap implementasi otonomi daerah. Otonomi daerah identik dengan raja-raja kecil karena merebaknya kasus korupsi yang melibatkan gubernur/walikota/bupati. Pembiayaan kampanye politik yang begitu besar dan praktek politik uang menjadi faktor utama peningkatan kasus korupsi di berbagai wilayah.

B.  Satgas GCF sebagai Media Pembelajaran dan Pertukaran Informasi

1.    IKN

Kalimantan Timur dihadapkan kepada persoalan baru yaitu pemindahan ibukota dari Jakarta ke IKN Nusantara yang wilayahnya akan diletakkan di wilayah administratif Provinsi Kalimantan Timur. Persoalan ini menjadi sulit ketika pembangunan ibukota baru beresiko menggagalkan rencana pengurangan emisi karbon Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WALHI, pembangunan IKN berpotensi justru memperparah krisis air di Kalimantan Timur dan mempercepat kerusakan area konservasi mangrove di Teluk Balikpapan (WALHI, 2022).

Presiden Joko Widodo telah menetapkan sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kertanegara di wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Timur sebagai wilayah administrasi untuk ibu kota baru. Luas ibu kota baru ini direncanakan 256.000 hektar. Rencana Pemerintah untuk memindahkan ibukota tentu menuai kontroversi. WALHI dan Greenpeace mengkritisi rencana tersebut karena berpotensi memperparah krisis air dan meningkatkan emisi karbon akibat penggunaan batu bara untuk memenuhi kebutuhan listrik ibu kota baru.

Kalimantan memiliki ekosistem yang unik karena memiliki luas lahan gambut yang sangat potensial menyerap karbon. Lahan gambut memiliki karakteristik yang unik karena kemampuannya menyerap karbon dua kali lipat lebih besar dari lahan organik. Lahan gambut juga memiliki potensi menghasilkan karbon yang sangat besar apabila dihadapkan dalam kondisi kering. Oleh karena itu, lahan gambut harus berada dalam kondisi basah sehingga mampu menjalankan fungsinya menyerap karbon dan air. Kebakaran hutan yang luar biasa di tahun 1998 dan 2015 merupakan dampak dari kerusakan lahan gambut yang diduga akibat konversi lahan gambut menjadi perkebunan.

Di dalam menghadapi situasi alam Kalimantan Timur dan kepentingan pembangunan IKN, Satgas GCF menjadi media pembelajaran dan pertukaran informasi karena pengalaman negara anggota Satgas GCF Brazil yang juga pernah memindahkan ibukota dari Rio de Janeiro ke Brasilia pada tahun 1960. Berdasarkan pemaparan Walhi, pemindahan ibukota dari Rio de Janeiro ke Brasilia justru menimbulkan berbagai masalah baru seperti kesenjangan yang melebar antara penduduk yang kaya dan miskin dan penumpukan utang luar negeri.

Berbekal pengalaman Brazil tersebut, Satgas GCF memberikan rekomendasi kepada Pemprov Kalimantan Timur agar terus mendorong Otorita IKN mengadopsi pembangunan berkelanjutan di dalam pembangunan IKN seperti yang dilakukan Pemprov Kalimantan Timur melalui visi Kaltim Green.

Seperti yang diungkapkan dalam kutipan berikut: Itu beberapa pertanyaan yang dari kami GCF TF sempat utarakan tapi tentunya dalam hal ini kami mendukung apa yang dilakukan oleh pemerintah Kaltim kita tidak bisa mengelak dari pembangunan bahkan isu perubahan iklim pada akhirnya harus mengakui ada beberapa hal ya for the sake for development memang kita bisa apa ya terlalu ideal gitu kan harapannya bahwa Pemerintah Kaltim bisa menyeimbangkan kedua kepentingan ini bahwa memang IKN akan ada di situ, pembangunan pembukaan hutan mungkin akan terjadi tapi bagaimana kemudian kita bisa offsetting dari loss yang mungkin akan timbul dan juga bagaimana Pemerintah Kaltim tetap bisa meneruskan visi Kaltim Green-nya ke depan bisa juga terus apa istilahnya melanjutkan apa yang sudah dilakukan saat ini misalnya dengan program FCPF dengan mempertahankan level emisinya supaya tidak semakin meningkat dengan adanya IKN misalnya gitu upaya-upaya itu mudah-mudahan bisa dilakukan oleh pemerintah Kaltim untuk tadi menyeimbangkan yang mungkin kita bilang dengan environmental damage. Agak terlalu keras gitu ya tapi mungkin sedikit lost gitu karena adanya kegiatan pembangunan baru di wilayah Kaltim (Anggraini, 2022).

Selain potensi masalah lingkungan hidup, pemindahan ibukota ke IKN juga berpotensi memunculkan konflik administrasi kekuasaan. Otorita IKN telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2022 tentang Otorita Ibu Kota Negara. Berbeda dengan pemerintahan provinsi yang gubernur/walikota/bupatinya dipilih melalui pemilihan umum, Otorita IKN bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN dipilih langsung oleh Presiden. Sebagian wilayah Kaltim akan diserahkan ke Otorita IKN dan pengelolaanya langsung dibawah Presiden.

Terkait IKN, GCF menawarkan rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam pembagian wewenang administrasi antara Otorita IKN dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Meskipun nantinya Otorita IKN sepenuhnya di bawah Presiden, GCF mendorong Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk merekomendasikan kepada Otorita IKN untuk mengadopsi pembangunan berkelanjutan seperti yang sudah dilaksanakan Gubernur Awang Faroek dan Isran Noor.

Dalam wawancara dengan GCF, rekomendasi yang disampaikan bagi Kaltim adalah: �memang kalau boleh blak-blakan gitu ya ketika ada kabar bahwa Kaltim akan menjadi lokasi IKN mix feeling mungkin ya kalau boleh dibilang. Yang pertama selamat bagi Kaltim. Yang kedua kita tentunya kan mempertanyakan bagaimana nantinya keaktifan dari Kaltim di GCF TF sendiri begitu kan karena bisa jadi kebijakan-kebjakan yang diterapkan di Kaltim akan ada bagian yang dalam tanda kutip diintervensi oleh pemerintah pusat gitu sementara semangatnya GCF TF adalah pemerintah subnasional. Kita belum bisa menjawab itu semua saat ini tetapi yang menjadi concern kamu juga salah satunya mungkin yang tadi pak Abraham juga sudah sebutkan bagaimana pengelolaan lingkungan selanjutnya ketika otoritas untuk pengelolaan itu tidak sepenuhnya ada di Kaltim.

Anggaplah misalnya memang Kaltim punya visi tadi ya ada Kaltim Green yang selama ini sudah berjalan. Apakah itu masih akan terus dilakukan ketika ada pengaruh dari pemerintah pusat.� (Anggraini, 2022). Satgas GCF menawarkan kesempatan bagi pemerintah provinsi Kalimantan Timur dalam adaptasi dengan ibukota baru IKN. Di dalam menghadapi berbagai persoalan di provinsi, aparatur sipil negara memiliki berbagai instrument yang dapat dipakai di dalam mencari solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut. Kerjasama dengan organisasi internasional dan negara mitra masih belum dioptimalkan sebagai instrumen penyediaan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah provinsi. Dalam berbagai pertemuan tahunan GCF, masing-masing gubernur dapat berdiskusi terkait masalah yang dihadapi pemerintahannya dan mendapatkan saran masukan yang telah diimplementasikan wilayah provinsi anggota GCF.

Paradiplomasi masih dilihat sebagai sarana bagi pemerintah provinsi di dalam mendapatkan keuntungan ekonomi atau asistensi ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Salah satu tujuan diplomasi lingkungan, menurut Shouqiu dan Voigts (1993), adalah mendapatkan keuntungan ekonomi dari kerjasama yang digagas dalam bidang isu lingkungan hidup. Melalui studi kasus GCF, tujuan paradiplomasi adalah tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi tetapi juga forum tukar-menukar informasi dan tempat yang dapat digunakan bagi para pemimpin pemerintah subnasional untuk belajar mengenai kebijakan dan sistem politik yang sudah digunakan oleh pemerintah subnasional anggota GCF.

2.    Forest Carbon Facility Partnership (FCPF)

Pada tanggal 8 November 2022, Bank Dunia mengumumkan bahwa Kalimantan Timur memperoleh pendanaan awal sebesar 320 Miliar Rupiah untuk Emissions Reduction Payment Agreement yang tindak lanjut dari program Forest Carbon Facility Partnership (FCPF) dengan total anggaran bagi Indonesia 1,6 Triliun Rupiah. Bank Dunia akan memberikan hibah kepada Indonesia untuk setiap pengurangan emisi yang berasal dari pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan. FCPF merupakan program Bank Dunia yang bertujuan untuk membantu negara di dalam implementasi Reducing Emissions from Forest Degradation and Deforestation (REDD+).

Terdapat 47 negara partisipan dalam FCPF ini dan sudah ada 15 negara dari semua negara partisipan yang menerima hibah FCPF termasuk Indonesia. Pendanaan FCPF ini berasal dari negara-negara maju seperti Finlandia, Denmark, Kanada dan juga perusahaan multinasional seperti BP. FCPF terdiri atas dua program besar yaitu Carbon Fund dan Readiness Fund. Carbon Fund adalah hibah yang diberikan kepada setiap pengurangan emisi yang sudah diverifikasi Bank Dunia dan Readiness Fund merupakan hibah yang diberikan dalam membantu negara di dalam persiapan implementasi REDD+.

Satgas GCF merupakan salah satu mitra Bank Dunia di dalam implementasi FCPF sehingga lebih banyak asistensi yang diberikan Satgas GCF kepada pemerintah subnasional di dalam memenuhi standard dan kriteria FCPF. Di dalam wawancara dengan Country Coordinator untuk Indonesia, Syahrina D. Anggraini menyampaikan bahwa pemerintah provinsi Kalimantan Timur sangat aktif melakukan pembelajaran implementasi REDD+ di dalam berbagai pertemuan tahunan Satgas GCF.

Delegasi Kalimantan Timur adalah delegasi yang paling aktif dari ketujuh pemerintah provinsi yang menjadi anggota Satgas GCF di Indonesia. Berikut kutipan wawancaranya: �Dan Kaltim sendiri memang memiliki sudah selain dari reputasi dan memang kenyataannya sudah memiliki enabling condition untuk pengelolaan isu perubahan iklim termasuk juga REDD+ ini mungkin yang paling baik di antara 7 anggota GCF TF saat ini dan beberapa hal yang jadi tantangan kami terutama GCF TF untuk melanjutkan kerjasama dengan pemerintah provinsi itu kurangnya dukungan dari pimpinan provinsi daerah.

Jadi misalnya kalau gubernurnya tidak terlalu punya visi untuk lingkungan untuk isu perubahan iklim kegiatan-kegiatan kami mungkin juga kurang didukung atau kadang delegasi tidak diberikan izin untuk menghadiri annual meeting di luar negeri. Tapi tidak demikian halnya dengan Kaltim. Kaltim selalu hadir dalam setiap annual meeting selalu diupayakan hadir dalam setiap pertemuan-pertemuan regional dan selalu menjadi anggota yang aktif untuk sharing informasi untuk memberikan masukan termasuk ketika kami menyusun juga kegiatan breakdown dari Manaus Action Plan untuk Indonesia. Kaltim termasuk yang memberikan masukan konkrit bagaimana Manaus Action Plan untuk Indonesia itu diformulasikan.� (Anggraini, 2022).

Implementasi paradiplomasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur di dalam Satgas GCF ternyata berdampak terhadap status dan reputasi Kalimantan Timur di dalam tata kelola lingkungan lokal, nasional, dan internasional. Pengerahan sumber daya finansial dan sumber daya manusia Kalimantan Timur dalam Satgas GCF menghasilkan insentif finansial berupa hibah FCPF dari Bank Dunia. Menurut Bank Dunia, Kalimantan Timur menjadi provinsi yang pertama menerima hibah FCPF di Indonesia dan di wilayah Asia Pasifik. Pemberian hibah Bank Dunia ini sangat menarik karena tidak hanya berkaitan dengan insentif dalam kerangka kerja REDD+ tetapi juga berdampak terhadap persepsi pemerintah pusat, organisasi internasional dan pemerintah provinsi di Indonesia terhadap Kalimantan Timur.

Satgas GCF merencanakan berbagai pertemuan dengan enam provinsi anggota Satgas GCF yang berasal dari Indonesia untuk mendengar pengalaman dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengenai proses memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Keberhasilan Kalimantan Timur di dalam memperoleh hibah Bank Dunia akan memotivasi pemerintah provinsi lainnya di Indonesia untuk berpartisipasi dalam FCPF.

Berikut kutipan wawancara dengan Satgas GCF:�Jadi Kaltim sudah diminta untuk menjadi salah satu pembicara di acara Yukatan nanti berbagi pengalaman bagaimana FCPF carbon fund di Kaltim dikembangkan dan bagaimana sampai pada akhirnya bisa mendapatkan Advance Payment dari World Bank yang ke depan diharapkan dari Kaltim mudah-mudahan bisa lebih menginspirasi lagi memang sudah ada konkritnya ya jadi mungkin Pak Rizal masih ingat bahwa Kalbar selalu menyatakan upaya-upaya Kalbar saat ini untuk bisa mendapatkan akses berbagai pendanaan internasional itu juga terinspirasi dari Kaltim itu salah satu contoh nyata dari Bagaimana pengaruh Kaltim di kegiatan-kegiatan GCF TF bisa menjadi semangat mungkin bisa dibilang semangat bagi anggota-anggota GCF TF lainnya.

Sehingga nantinya kalau pendanaan dari World Bank ini sudah masuk sudah ada benefit sharing plan yang dilaksanakan sudah ada evaluasi lebih lanjut dari kinerja FCPF harapan kami memang dari GCF TF bisa menjadi fasilitator bagi diseminasi pengalaman Kaltim ini. Mudah-mudahan tidak hanya bagi anggota kami lainnya tapi juga bagi provinsi-provinsi yang berhutan di Indonesia yang saat ini belum jadi anggota GCF TF� (Anggraini, 2022).

Keberhasilan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur di dalam menerima hibah FCPF tentu membawa tanggung jawab lebih besar bagi Gubernur Kalimantan Timur dan jajarannya. Pemanfaatan hibah FCPF harus sesuai dengan asas akuntabilitas, transparansi dan inklusif. Dana hibah akan diawasi secara ketat oleh lembaga penegak hukum sehingga Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu mengimplementasikan sistem pengelolaan dana hibah yang terbuka dan terpadu. Selain itu, perlu dipertimbangkan mengenai keberlanjutan dana hibah FCPF mengingat pelaksanaan FCPF di sebuah wilayah memiliki batas waktu yaitu lima tahun. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu melakukan diversifikasi pendanaan REDD+ melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga donor internasional dan nasional dengan asistensi Satgas GCF.

 

Kesimpulan

Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur dan Country Coordinator Satgas GCF Indonesia, kami memiliki beberapa kesimpulan:

Paradiplomasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dilaksanakan menggunakan kerangka kerja hukum yang sah yaitu tata kelola desentralisasi yang memberikan wewenang dan hak bagi pemerintah provinsi untuk bergabung dalam organisasi internasional atau menjalin kerjasama dengan pemerintah provinsi negara sahabat sejauh sama-sama menguntungkan pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut.

Satgas GCF menjadi media pembelajaran dan pertukaran informasi bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur khususnya dalam rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke IKN dan hibah FCPF oleh Bank Dunia. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menerima manfaat dalam setiap pertemuan rutin dalam konteks Satgas GCF dimana Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menerima informasi dari pemerintah subnasional yang telah terlibat dalam rencana pemindahan ibukota dan hibah Bank Dunia dan sekaligus menyebarkan informasi keberhasilan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam memperoleh hibah FCPF.

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Akib, M. (2013). Politik Hukum Lingkungan: Dinamika dan Refleksinya dalam Produk Hukum Otonomi Daerah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

 

Anggraini, S. (2022, December 16). Governors' Climate and Forest Taskforce. (R. Oktavian, Interviewer)

 

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Indonesia's Patronage Democracy. Ithaca: Cornell University Press.

 

Badan Litbang Pertanian - Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2014, September 4). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Kalimantan Timur.

 

BBC. (2015, Oktober 17). Ada Korupsi di Balik Kabut Asap.

 

Bisnis.com. (2022, September 2). Kepala Bappenas Ungkap Kebutuhan Dana SDGs Capai Rp67 Kuadriliun.

 

Desdiani, N. A., Afifi, F. A., Cesarina, A., Sabrina, S., Husna, M., Violeta, R. M., . . . Halimatussadiah, A. (2021, Desember). Climate and Environmental Financing at Regional Level: Amplifying and Seizing the Opportunities .

 

Djausal, G. P., & Sanjaya, F. J. (2019). Paradiplomasi Keanekaragaman Hayati Provinsi Lampung dalam Kerangka Masyarakat ASEAN 2025. Lampung: Universitas Lampung.

 

Fishbein, G., & Lee, D. (2015). Early Lessons from Jurisdictional REDD+ and Low Emissions Development Programs. Arlington.

 

Gregorio, M. D., Massarella, K., Schroeder, H., Brockhaus, M., & Pham, T. T. (2020). Building authority and legitimacy in transnational climate change governance: Evidence from the Governors� Climate and Forests Task Force. Global Environmental Change, 1-9.

 

Gr�nmo, S. (2020). Social Research Method: Qualitative, Quantitative and Mixed Approaches. London: Sage.

 

Hidayat, H. (2005). Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

 

Independent Evaluation Group. (2012, March 1). Global Program Review: Forest Carbon Facility Partnership.

 

Kirana, G. (2014, December 1). Decentralization Dilemma in Indonesia: Does Decentralization Breed Corruption?

 

Koehn, P. (2008). Underneath Kyoto: Emerging Subnational Government Initiatives and Incipient Issue-Bundling Opportunities in China and the United States. Global Environmental Politics, 53-77.

 

Lecours, A. (2002). Paradiplomacy: reflections on foreign policy and international relations of regions . International Negotiations, 91-114.

 

Liputan6.com. (2022, September 2). Jalankan Paris Agreement, Indonesia Butuh Rp 343,32 Triliun per Tahun.

 

LPEM FEB UI. (2021). Climate and Financing at the Regional Level: Amplifying and Seizing the Opportunities. LPEM-FEB UI Working Paper, 1-17.

 

Manalu, E. I. (2016). Konsep Sustainable Development Principle dalam Deklarasi Rio Branco (Kolaborasi Sub-Nasional Governors Climate and Forest Task Force) dan Status Hukum Negara Bagian dan Provinsi Penandatangan Deklarasi. Medan: Universitas Sumatera Utara.

 

McBeath, J., & Wang, B. (2008). China's Environmental Diplomacy. American Journal of Chinese Studies, 1-16.

 

Mukti, T. A. (2020). Politik Paradiplomasi dan Isu Kedaulatan di Indonesia. Yogyakarta: The Phinisi Press.

 

Mukti, T. A., Fathun, L. M., Muhammad, A., Sinambela, S. I., & Riyanto, S. (2021). Paradiplomacy policies and regional autonomy in Indonesia and Korea. Jurnal Hubungan Internasional, 139-152.

 

Neuman, L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Essex: Pearson.

 

Pontianak Post. (2016, 2 25). Revisi Perda Karhutla. Retrieved 9 12, 2018

 

Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KESDM. (2019). Inventarisasi Emisi GRK Sektor Energi. Jakarta: Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

 

Rizal, R. (2022, December 15). Peran Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur Dalam Gcf Task Force: Dalam Mendukung Perjanjian Paris Agreement dan NDC. (R. Oktavian, Interviewer)

 

Robertua, V. (2016). Multi-stakeholder Initiative for Sustainable Development: An English School Perspective . Jurnal Sospol, 154-170.

 

Robertua, V., & Sigalingging, L. (2019). Indonesia Environmental Diplomacy Reformed: Case Studies of Greening ASEAN Way and Peat Restoration Agency. Andalas Journal of International Studies, 1-15.

 

Robertua, V., Oktavian, R., & Sigalingging, L. (2022). Implementasi Diplomasi Lingkungan Indonesia dalam Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, 11154-11183.

 

Setzer, J. (2013). Environmental paradiplomacy: the engagement of the Brazilian state of S�o Paulo in international environmental relations. London: London School of Economics and Political Science.

 

Shouqiu, C., & Voigts, M. (1993). The Development of China's Environmental Diplomacy. Pacific Rim & Law Journal, 19-42.

 

Surwandono, & Maksum, A. (2020). The Architecture of Paradiplomacy Regime in Indonesia: A Content Analysis. Global: Jurnal Politik Internasional, 77-99.

 

Tavares, R. (2016). Paradiplomacy: Cities and States as Global Players. New York: Oxford University Press.

 

VoA Indonesia. (2006, Desember 4). Indonesia Minta Singapura Tidak �Kekanak-Kanakan� Soal Kabut Asap. Retrieved Desember 13, 2016

 

WALHI. (2022). Ibukota Baru Buat SIapa? Jakarta: WALHI.

 

Copyright holder:

Verdinand Robertua, Angel Damayanti, Riskey Oktavian, Lubendik Sigalingging, Fuji Yemima Theresa Silalahi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: