Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7 No. 10 Oktober 2022
IMPLEMENTASI
PARADIPLOMASI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR DALAM SATUAN
TUGAS IKLIM DAN HUTAN GUBERNUR
Verdinand
Robertua, Angel Damayanti, Riskey Oktavian, Lubendik Sigalingging, Fuji Yemima
Theresa Silalahi�
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
E-mail: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016
sudah disahkan sehingga Pemerintah Indonesia wajib menyerahkan laporan
implementasi Perjanjian Paris kepada UNFCCC setiap tahun. Serupa dengan
Perjanjian Paris, Pemerintah Indonesia juga sudah meratifikasi Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan melalui Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017. Kajian
paradiplomasi lingkungan Indonesia masih sangat terbatas. Empat tema besar yang
dibahas dalam penelitian ini yaitu sejarah paradiplomasi, implementasi
paradiplomasi di Indonesia, studi kasus paradiplomasi lingkungan dan dinamika
organisasi internasional hybrid. Melalui studi kasus keterlibatan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur di Satgas GCF, penelitian ini akan
melibat dinamika keterkaitan antara empat tema besar di atas. Penelitian ini akan mengambil data primer dari diskusi terbatas dengan para
pemangku kebijakan, akademisi dan aktivis lingkungan. Data sekunder akan diperoleh melalui surat kabar, media elektronik, jurnal
dan buku serta publikasi resmi lainnya. Terdapat dua luaran yang menjadi
kebaharuan dalam studi lingkungan global. Pertama, desentralisasi di Indonesia
menjadi kesempatan besar bagi pemerintah subnasional untuk mengembangkan
paradiplomasi lingkungan seperti yang ditunjukkan dengan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur dengan mengesahkan sembilan peraturan daerah, delapan
peraturan gubernur, satu surat keputusan gubernur dan satu surat edaran
gubernur yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 16 tahun
2016 tentang Perjanjian Paris dan Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2017
tentang Sustainable Development Goals. Kedua, penelitian ini menemukan bahwa
Satgas GCF dioptimalkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sebagai media
pembelajaran dan pertukaran informasi khususnya dalam isu pemindahan ibukota
negara dan hibah Bank Dunia.
Kata
kunci: Paradiplomasi
Lingkungan; Kalimantan Timur; Perjanjian Paris; SDGs; Satgas GCF.
Abstract
Law Number 16 of
2016 has been passed so that the Government of Indonesia is required to submit
a report on the implementation of the Paris Agreement to the UNFCCC every year.
Similar to the Paris Agreement, the Government of Indonesia has also ratified
the Sustainable Development Goals through Presidential Regulation No. 59 of
2017. Studies of Indonesia's environmental paradiplomacy are still very
limited. Four major themes discussed in this study are the history of
paradiplomacy, the implementation of paradiplomacy in Indonesia, case studies
of environmental paradiplomacy and the dynamics of hybrid international
organizations. Through a case study of the involvement of the East Kalimantan
Provincial Government in the GCF Task Force, this research will involve the
dynamics of linkages between the four major themes above. This research will
draw primary data from limited discussions with policymakers, academics and
environmental activists. Secondary data will be obtained through newspapers,
electronic media, journals and books as well as other official publications.
There are two outcomes that are new in the study of the global environment.
First, decentralization in Indonesia is a great opportunity for subnational
governments to develop environmental diplomacy as shown by the East Kalimantan
Provincial Government by passing nine regional regulations, eight governor regulations,
one governor's decree and one governor's circular which are derivative
regulations from Law Number 16 of 2016 concerning the Paris Agreement and
Presidential Regulation Number 59 of 2017 concerning Sustainable Development
Goals. Second, this study found that the GCF Task Force was optimized by the
East Kalimantan Provincial Government as a medium for learning and information
exchange, especially in the issue of relocating the national capital and World
Bank grants.
Keywords: Environmental Paradiplomacy; East Kalimantan; Paris
Agreement; SDGs; GCF Task Force.
Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 sudah disahkan sehingga
Pemerintah Indonesia wajib menyerahkan laporan implementasi Perjanjian Paris
kepada UNFCCC setiap tahun. Serupa dengan Perjanjian Paris, Pemerintah
Indonesia juga sudah meratifikasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui
Peraturan Presiden No. 59 tahun 2017. Ratifikasi kedua perjanjian internasional
ini oleh Indonesia memperlihatkan kebijakan luar negeri Indonesia yang turut
aktif dalam penyelesaian masalah-masalah global.
Ratifikasi Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan tentu membutuhkan strategi komprehensif yang didukung oleh sumber
daya manusia dan keuangan yang memadai. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala
Bappenas Suharso Monoarfa, Indonesia membutuhkan dana
sebesar Rp. 67.000 Triliun untuk mengimplementasikan TPB di Indonesia dan
terdapat selisih dana yang masih belum tercukupi oleh Pemerintah Indonesia
sebesar Rp 14.000 Triliun
Untuk implementasi Perjanjian Paris, Indonesia
membutuhkan Rp. 3.461 Triliun sampai tahun 2030 atau sekitar 343 Triliun setiap
tahun
Menurut Setzer
Kalimantan Timur memiliki luas wilayah sekitar 12,7 juta Ha dengan luas kawasan hutan sebesar 54% atau
sekitar 6,5 juta Ha.� Laju deforestasi
pada periode tahun 2006-2016 meliputi beberapa tutupan lahan yaitu pada tutupan
lahan tambak seluas 11.046 Ha, pada kawasan pembukaan tanpa izin seluas 39.746
Ha, untuk tutupan lahan pertanian seluas 72.302 Ha, pada lahan pembakaran liar
seluas 76.789 Ha sedangkan untuk kawasan tambang seluas 112.340 Ha, pada
tutupan lahan hutan tanaman seluas 156.000 Ha dan pada tutupan lahan perkebunan
sawit kawasan yang terdeforestasi seluas 676.188 Ha.
Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi di
Indonesia dengan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat tinggi,
berdasarkan perkiraan emisi gas rumah kaca (GRK) bersih pada tahun 2012 � 2015
emisi gas rumah kaca dari sektor energi sekitar 45% dan sektor perubahan
tutupan lahan sebesar 44%.
Gambar 1
Kontribusi emisi GRK Kalimantan Timur.
Sumber:
Emisi GRK dari perubahan tutupan lahan terjadi ketika
cadangan karbon baik di atas tanah maupun di dalam tanah akan
membusuk (terdekomposisi) atau dibakar
Perubahan iklim di Kalimantan Timur yang diakibatkan oleh
deforestasi dan degradasi hutan dipengaruhi oleh kondisi tata kelola dan
kepemilikan lahan. DDPI (Dewan Daerah Perubahan Iklim) Provinsi Kalimantan
Timur mengutarakan bahwa terjadinya perubahan iklim di Kalimantan Timur sebagian
besar disebabkan karena penurunan luasan hutan yang cukup drastis.
Ada tiga persoalan besar terkait perubahan iklim yang
dikemukakan oleh DDPI, yaitu� pertumbuhan
ekonomi yang dari tahun 1970an � 2009 terus menurun, bencana alam ekologis yang
semakin meningkat eskalasinya dalam skala dan frekuensi dan Kalimantan Timur
menempati posisi ketiga di Indonesia dalam menghasilkan Gas Rumah Kaca. Perubahan
iklim global yang terjadi di dunia dapat berpengaruh terhadap pergeseran musim
yang mengakibatkan perubahan awal tanam.�
Iklim yang tidak stabil berpengaruh terhadap curah hujan yang terjadi di
Indonesia. Sebagian besar pulau Kalimantan akan
mengalami musim penghujan yang lebih banyak dan apabila hal ini jika tidak
diantisipasi secara tepat dapat berpengaruh terhadap kondisi pertanian.
Musim hujan dengan frekuensi dan curah hujan tinggi dapat
mengakibatkan banjir di beberapa daerah di Kalimantan, hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap hasil panen, bahkan ada sebagian
daerah yang mengalami gagal panen akibat banjir. Dampak perubahan iklim bisa
secara langsung maupun tidak langsung melalui serangan OPT (Organisme Penganggu
Tanaman), fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat mampu
menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT merupakan beberapa pengaruh
perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia.
Gambar 2. Peta Kalimantan Timur
Melihat dampak deforestasi dan perubahan iklim terhadap
Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah
mengimplementasikan berbagai langkah mitigasi dampak perubahan iklim seperti
penyusunan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2019 tentang Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim, bergabung aktif dalam Satuan Tugas Iklim dan Gubernur (Satgas
GCF), sampai ke kerjasama dengan Bank Dunia dalam pendanaan kegiatan mitigasi
perubahan iklim. Peluang pendanaan mitigasi dampak perubahan iklim sangat besar
khususnya melalui REDD+.
Melalui REDD+, negara-negara maju wajib memberikan
bantuan finansial dan teknologi dalam perlindungan hutan yang mengandung
keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan potensi penyerapan karbon dunia.
Dalam konteks REDD+, Norwegia telah berkomitmen memberikan bantuan 1 Miliar USD
kepada Indonesia. Selain Norwegia, Australia dan Uni Eropa pun berkomitmen
mencairkan bantuan keuangan dan teknologi kepada Indonesia dalam konteks REDD+.
Satgas GCF dibentuk atas dasar keprihatinan pemimpin
lokal dan provinsi terhadap lambatnya kemajuan implementasi Perjanjian Paris
dan dukungan yang lemah dari negara terhadap masyarakat adat. Satgas GCF
dibentuk melalui penandatanganan Deklarasi Rio Branco pada tanggal 11 Agustus
2014 di Rio Branco, Brasil. Satgas GCF dapat dikategorikan sebagai organisasi
internasional karena beranggotakan negara bagian/provinsi beberapa negara
Seperti yang diuraikan dalam tabel 2, Satgas GCF memiliki
visi untuk memberdayakan pemimpin pemerintahan provinsi dalam program
yurisdiksional yang berkaitan dengan pertumbuhan rendah karbon. Untuk
merealisasikan visi tersebut, satgas GCF memiliki misi yaitu meningkatkan
kualitas kepemimpinan gubernur dalam level internasional, nasional dan lokal,
meningkatkan kualitas aparatur sipil negara dalam implementasi program mitigasi
perubahan iklim, meningkatkan peluang pendanaan dan investasi yang
pro-lingkungan, dan memastikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat.
Indonesia sebagai sebuah negara dengan wilayah hutan yang
sangat luas sangat berkepentingan terhadap satgas GCF ini. Terdapat enam
gubernur dari Republik Indonesia yang bergabung dalam satgas GCF yaitu Aceh,
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Papua
Barat, dan Papua. Peran dan pengaruh dari Satgas GCF menjadi sangat penting
untuk diteliti melihat keunikan dari program satgas GCF yang menekankan kepada
REDD+ dan yurisdiksi berkelanjutan serta jejaring kerja antara satgas GCF
dengan donor internasional.
Melalui Satgas GCF, Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur berharap implementasi mitigasi dampak perubahan iklim dapat
mengalami percepatan karena peluang pendanaan dan transfer teknologi dari
negara-negara maju. Selain itu, keterlibatan Pemprov Kalimantan Timur dalam
Satgas GCF dapat berdampak positif kepada pemberdayaan dan pengembangan
kemampuan sumber daya manusia di Pemprov Kalimantan Timur khususnya dalam
bermitra dengan organisasi internasional dan negara-negara sahabat.
Paradiplomasi Lingkungan Indonesia merupakan
sebuah bidang kajian penelitian yang masih baru sehingga studi kasus
keterlibatan Pemprov Kalimantan Timur di Satgas GCF menjadi penting untuk
diteliti. Melalui penelitian ini, kendala-kendala yang dihadapi Pemprov
Kalimantan Timur dalam keterlibatannya di Satgas GCF dan dinamika hubungan
antara pemerintah provinsi dengan pemerintah pusat dibahas secara komprehensif.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
kualitatif Gr�nmo,
Dalam hal ini peneliti menfokuskan penelitiannya dalam
menganalisa kebijakan-kebijakan terkait restorasi, penanganan serta
penanggulangan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Peneliti
juga menggunakan jenis kualitatif tipe deskriptif analitik .Neuman
Sumber data yang digunakan oleh peneliti adalah sumber
data primer dan data sekunder. Data sekunder berasal dari buku dan majalah atau
sumber ilmiah, arsip berupa dokumen pribadi atau juga dokumen resmi. Peneliti akan menggunakan sumber data dari bahan bacaan seperti
jurnal ilmiah, buku, serta informasi dari media massa di internet. Bahan bacaan
yang digunakan oleh peneliti adalah bacaan yang bertemakan dan berhubungan
dengan politik dan paradiplomasi lingkungan Indonesia dalam studi kasus
keterlibatan pemerintah Provinsi di Indonesia.
Untuk metode studi kasus dalam kualitatif, penelitian ini
memperoleh data dengan menggunakan teknik wawancara secara mendalam dengan
informan kunci. Informan kunci pertama dalam adalah staff pemerintahan dari
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yaitu Ir. E.A. Rafiddin Rizal, S.T., M.Si,
IPM yang menjabat Kepala Dinas Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Rizal telah berkarir sebagai aparatur sipil negara sejak 24 tahun yang lalu.
Pendidikan sarjana diperoleh dari Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah
Mada, dan dilanjutkan dengan menyelesaikan pendidikan magister di Departemen
Ilmu Lingkungan di Universitas Mulawarman. Sebelum menjabat sebagai Kepala
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, Rizal bertugas di Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
Informan kunci kedua yang diwawancarai berasal dari
Satgas GCF yaitu Syahrina D. Anggraina. Syahrina adalah Country Coordinator
Satgas GCF untuk Indonesia dan sudah bertugas di Satgas GCF sejak awal tahun
2022. Selain menjabat sebagai Country Coordinator, Syahrina juga menjabat
sebagai Director untuk Carbon and Environmental
Research Indonesia. Beberapa proyek yang dikerjakan Syahrina antara lain Preparation for VCS-REDD+ Project at Badas
Peat Dome, Brunei Darussalam dan Renewable Energy for Electrification Programme
2.
Dalam wawancara mendalam dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur, tim peneliti mengajukan tiga pertanyaan yang
sifatnya terbuka (open-ended) yaitu 1) Bagaimana koordinasi antara Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur dengan Satgas GCF dalam implementasi Perjanjian Paris
(UU Nomor 16 tahun 2016) dan Perpres SDGs (Perpres no 59 tahun 2017) 2) Apa
yang menjadi tantangan dan peluang dalam kerjasama antara Pemerintah Provinsi
Kalimantar Timur dengan Satgas GCF? 3) Usulan dan rekomendasi apa yang dapat diberikan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur dalam meningkatkan manfaat dan nilai tambah dari kerjasama dengan Satgas
GCF?
Dalam wawancara mendalam dengan Country Coordinator Satgas GCF, tim peneliti mengajukan tiga pertanyaan yang sifatnya
terbuka (open-ended) yaitu: 1) Bagaimana koordinasi antara Satgas GCF dengan
Pemerintah Pusat (seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan) dan Pemerintah Daerah dalam implementasi Perjanjian Paris dan
SDGs? 2)Apa yang menjadi tantangan dan peluang dalam
kerjasama antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan Satgas GCF? 3) Usulan
dan rekomendasi apa yang dapat diberikan oleh Satgas
GCF dalam meningkatkan manfaat dan nilai tambah dari kerjasama dengan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur?
Hasil dan Pembahasan
Dengan latar belakang dan kajian pustaka yang telah
disusun dalam bab-bab sebelumnya, tim peneliti
melaksanakan wawancara mendalam dengan narasumber kunci yang terlibat langsung
dalam implementasi paradiplomasi lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur dalam mitigasi isu-isu perubahan iklim. Bab ini terbagi dalam dua sub-bab
yaitu sub-bab pertama berjudul�Implementasi Paradiplomasi Lingkungan sebagai
Dampak Desentralisasi di Indonesia� dan sub-bab kedua berjudul �Satgas GCF
sebagai media pembelajaran dan pertukaran informasi�.
Di dalam kedua sub-bab ini dipaparkan mengenai data-data
penting yang diperoleh Tim peneliti, analisis data, relevansi dengan teori dan
kajian pustaka hingga kebaharuan yang diperoleh penelitian ini. Setelah
mempelajari analisis data dan kebaharuan penelitian ini, Tim peneliti mengambil
kesimpulan dan saran bagi peneitian berikutnya.
A.
Implementasi
Paradiplomasi sebagai Dampak Desentralisasi di Indonesia
Paradiplomasi Kaltim
terkait erat dengan desentralisasi yang diimplementasikan di Indonesia dimana
muncul peluang dan kesempatan bagi gubernur dan walikota/bupati untuk menggagas
kerjasama dengan kabupaten/kota/provinsi lain begitu besar, bahkan kerjasama
yang sifatnya lintas batas. Gubernur Kaltim Awang Faroek (masa bakti 2008-2018)
dan Isran Noor (masa bakti 2019-sekarang) menggunakan peluang dan kesempatan
yang muncul dalam sistem desentralisasi untuk mengembangkan gagasan-gagasan
terkait strategi penanganan perubahan iklim melalui implementasi Perjanjian
Paris dan SDGs di tingkat pemerintah provinsi/kabupaten/kota.
Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur sudah menghasilkan regulasi yang dihasilkan bersama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur terkait perubahan
iklim ini. Peneliti menemukan 9 (Sembilan) peraturan daerah, 8 (satu) peraturan
gubernur dan 1 (satu) surat keputusan gubernur serta 1
(satu) surat edaran gubernur yang terkait dengan perubahan iklim seperti yang
terlihat di tabel 1. Kalau melihat jumlah peraturan daerah yang dimiliki
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terkait perubahan iklim maka terlihat
lebih jelas komitmen yang dimiliki gubernur juga dimiliki oleh anggota parlemen
provinsi.
Ketertarikan masyarakat
Kaltim terkait isu perubahan iklim tidak terlepas dari profil provinsi yang
terdampak akibat eksploitasi alam yang berlebihan. Kalimantan Timur memiliki
tambang alam yang bernilai ekonomis tinggi seperti batu bara,
minyak bumi dan gas alam. Selain itu, Kaltim juga memiliki wilayah hutan
lindung yang begitu luas. Pengelolaan sumber daya alam di Kaltim terkesan
koruptif sehingga berdampak buruk bagi masyarakat seperti polusi udara yang
menjadi bencana parah bagi Kalimantan di tahun 1998/9 dan tahun 2015/6. Rencana
pembenahan pengelolaan sumber daya alam menjadi rencana yang dinanti-nantikan
oleh masyarakat yang tercermin dalam penyusunan peraturan daerah.
Di dalam Peraturan daerah
Provinsi Kalimantan Timur tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
misalnya, tertulis bahwa �Provinsi Kalimantan Timur sangat rentan terhadap
perubahan iklim, sehingga perlu kebijakan dan strategi dalam pengelolaan dampak
perubahan iklim melalui aksi adaptasi dan mitigasi�. Kondisi ini sesuai dengan
bencana kebakaran hutan dan bencana banjir serta tanah longsor yang menjadi
ancaman nyata bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Terkait perubahan
iklim, Pemerintah Provinsi telah menyusun peraturan daerah sebagai strategi
mitigasi perubahan iklim yaitu:
Tabel 1
Daftar Peraturan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur
Terkait Perubahan Iklim
Tahun |
Jenis Aturan |
Tentang |
2013 |
Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 1/2013 |
Perlindungan lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan |
Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 2/2013 |
Penanggulangan Bencana Daerah |
|
Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 8/2013 |
Rencana Penyelenggaraan Reklamasi pasca tambang |
|
Surat Edaran Gubernur No. 180/1375-HK/2013 |
Moratorium izin pertambangan, perkebunan dan kehutanan |
|
2014 |
Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 1/2014 |
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup |
Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 7/2014 |
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2013-2018 |
|
Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 39/2014 |
Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Kalimantan Timur |
|
2015 |
Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 1/2015 |
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur |
Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 15/2015 |
Pedoman Penerbitan Hak Pengelolaan Hutan Desa |
|
Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 17/2015 |
Penataan Pemberian Izin dan Non Perizinan serta Penyempurnaan Tata Kelola Perizinan di Sektor Pertambangan, Kehutanan, dan Perkebunan Kelapa Sawit� di Provinsi Kalimantan Timur |
|
Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 38/2015 |
Petunjuk Pelaksanaan Reklamasi dan Revegetasi Lahan serta Penutupan Lubang Tambang Batu Bara |
|
SK Gubernur Kalimantan Timur No. 660-2/K/569/2015 |
Pembentukan tim pengukuran, pelaporan dan verifikasi aksi mitigasi perubahan iklim |
|
2016 |
Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 1/2016 |
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur tahun 2016-2036 |
Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 49/2016 |
Pengaturan Pemanfatan Ruang pada Kawasan Peruntukan Pertambangan |
|
2017 |
Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 35/2017 |
Izin Pemanfaatan Pertambangan |
Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 9/2017 |
Pembentukan Dewan Daerah Perubahan Iklim |
|
2018 |
Peraturan Gubernur Kalimantan Timur No. 1/2018 |
Penataan Pemberian Ijin dan Non Perijinan di Bidang Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Timur |
Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 7/2018 |
Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan |
|
2019 |
Peraturan Daerah Kalimantan Timur No. 7/2019 |
Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim |
Sumber: Olahan peneliti
Kesimpulan yang dapat
diambil dari berbagai peraturan daerah ini adalah Perjanjian Paris dan SDGs
telah terinstitusionalisasikan ke level nasional dalam bentuk Undang-Undang
Perjanjian Paris dan Perpres no 59 tahun 2017 tentang SDGs serta
terinstitusionalisasikan ke level daerah dalam bentuk Peraturan Daerah,
Peraturan Gubernur dan Surat Edaran/Keputusan Gubernur. Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur menjadi salah satu provinsi yang paling aktif di dalam
menginstitusionalisasikan Perjanjian Paris dan SDGs ke dalam peraturan daerah
dan peraturan gubernur. Paradiplomasi lingkungan menjadi lebih efektif ketika
peraturan daerah dan peraturan gubernur yang diundangkan merupakan turunan dari
perjanjian internasional dan undang-undang.
Dalam wawancara dengan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemprov Kalimantan Timur, kinerja implementasi
Paradiplomasi terkait isu perubahan iklim terlihat dari Deklarasi Kaltim Green
yang dilanjutkan dengan penerbitan Peraturan Gubernur Kalimantan Timur nomor
22/2011. Pemprov Kalimantan Timur juga mempublikasikan Master Plan Perubahan
Iklim di Kalimantan Timur pada tahun 2016 dan Strategi dan Rencana Aksi dan
Pencapaian REDD+, Rencana Aksi Daerah (RAD) GRK dengan Pergub Kaltim No
39/2014.
Kepala Dinas Lingkungan
Hidup Pemprov Kalimantan Timur lebih detail menjelaskan paradiplomasi Kaltim
dengan mengatakan: Bukti keseriusan provinsi Kaltim dalam urusan perubahan
iklim dengan menerbitkan Perda Kaltim No. 7/2019 tentang Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim dengan tujuan adalah menjamin terwujudnya transformasi ekonomi
Kalimantan Timur menuju ekonomi hijau melalui penyusunan rencana pembangunan
daerah dan tata ruang dan mewujudkan pembangunan rendah emisi dan meningkatkan
kemampuan daerah dan sektor untuk beradaptasi (Resiliesi) terhadap dampak
perubahan iklim.
Upaya pemprov dalam
implementasi Paris Agreement dan NDC ini juga bisa kita lihat pada beberapa
peraturan gubernur, perda, dan SK Gubernur mendukung. Di antaranya misalnya
tadi Perda Kaltim No 7 tahun 2018 tentang Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan,
Perda Kaltim No 7 tahun 2019 tentang Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim,
Pergub Kaltim No. 12 tahun 2021 tentang Kriteria Area dengan Nilai Konservasi
Tinggi dan seterusnya. Termasuk juga SK Gubernur Kaltim No. K.672.2020 tentang
penetapan peta indikatif ekosistem esensial Provinsi Kaltim. Ini di dalam hal
untuk mendukung Kaltim Hijau
Perda Kaltim No.7/2019
tidak hanya menjadi retorika tetapi diimplementasikan di dalam operasionalisasi
pemerintahan. Dua temuan yang menarik terkait implementasi Perda Kaltim
No.7/2019 adalah Peraturan Gubernur No. 27/2022 tentang pembentukan Dewan
Daerah Perubahan Iklim. DDPI dibentuk oleh Gubernur Kalimantan Timur sebagai
tulang punggung dalam kolaborasi banyak pihak di dalam percepatan implementasi Perjanjian
Paris dan SDGs di Kalimantan Timur. Anggota DDPI ditunjuk langsung oleh
Gubernur dan anggotanya berasal dari akademisi, aparatur sipil negara dan
masyarakat sipil. Saat ini Prof. Dr. Daddy Ruhiyat menjadi ketua DDPI yang
merupakan dosen dari Universitas Mulawarman.
Temuan kedua yang menarik
juga adalah pembangunan sistem monitoring dan verifikasi. Untuk dukungan sistem
monitoring REDD+ Pemerintah Provinsi sudah membentuk sistem monitoring dan
verifikasi Provinsi Kaltim yang teritegrasi dengan Sistem Registry Nasional dan
SISREDD+ yaitu melalui akses ke website http://mrv.kaltimprov.go.id. Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur juga sudah mengintegrasikan sistem monitoring dan
verifikasi REDD+ di dalam Pergub Kaltim Nomor 39 tahun 2014 RAD GRK Kaltim
2010-2030.
Implementasi paradiplomasi lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur merupakan manfaat yang dirasakan dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Di dalam kajian pustaka, terdapat pendapat yang pesimis dan optimis terhadap implementasi otonomi daerah. Otonomi daerah identik dengan raja-raja kecil karena merebaknya kasus korupsi yang melibatkan gubernur/walikota/bupati. Pembiayaan kampanye politik yang begitu besar dan praktek politik uang menjadi faktor utama peningkatan kasus korupsi di berbagai wilayah.
B.
Satgas
GCF sebagai Media Pembelajaran dan Pertukaran Informasi
1. IKN
Kalimantan Timur
dihadapkan kepada persoalan baru yaitu pemindahan ibukota dari Jakarta ke IKN
Nusantara yang wilayahnya akan diletakkan di wilayah
administratif Provinsi Kalimantan Timur. Persoalan ini menjadi sulit ketika
pembangunan ibukota baru beresiko menggagalkan rencana pengurangan emisi karbon
Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WALHI,
pembangunan IKN berpotensi justru memperparah krisis air di Kalimantan Timur
dan mempercepat kerusakan area konservasi mangrove di Teluk Balikpapan
Presiden Joko Widodo telah
menetapkan sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten
Kutai Kertanegara di wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Timur sebagai
wilayah administrasi untuk ibu kota baru. Luas ibu kota baru ini direncanakan 256.000 hektar. Rencana Pemerintah
untuk memindahkan ibukota tentu menuai kontroversi. WALHI dan Greenpeace
mengkritisi rencana tersebut karena berpotensi memperparah krisis air dan
meningkatkan emisi karbon akibat penggunaan batu bara
untuk memenuhi kebutuhan listrik ibu kota baru.
Kalimantan memiliki
ekosistem yang unik karena memiliki luas lahan gambut yang sangat potensial
menyerap karbon. Lahan gambut memiliki karakteristik yang unik karena
kemampuannya menyerap karbon dua kali lipat lebih besar dari lahan organik.
Lahan gambut juga memiliki potensi menghasilkan karbon yang sangat besar
apabila dihadapkan dalam kondisi kering. Oleh karena itu, lahan gambut harus
berada dalam kondisi basah sehingga mampu menjalankan fungsinya menyerap karbon
dan air. Kebakaran hutan yang luar biasa di tahun 1998 dan 2015 merupakan
dampak dari kerusakan lahan gambut yang diduga akibat konversi lahan gambut
menjadi perkebunan.
Di dalam menghadapi
situasi alam Kalimantan Timur dan kepentingan pembangunan IKN, Satgas GCF
menjadi media pembelajaran dan pertukaran informasi karena pengalaman negara
anggota Satgas GCF Brazil yang juga pernah memindahkan ibukota dari Rio de
Janeiro ke Brasilia pada tahun 1960. Berdasarkan pemaparan Walhi, pemindahan
ibukota dari Rio de Janeiro ke Brasilia justru menimbulkan berbagai masalah
baru seperti kesenjangan yang melebar antara penduduk yang kaya dan miskin dan
penumpukan utang luar negeri.
Berbekal pengalaman Brazil
tersebut, Satgas GCF memberikan rekomendasi kepada Pemprov Kalimantan Timur
agar terus mendorong Otorita IKN mengadopsi pembangunan berkelanjutan di dalam
pembangunan IKN seperti yang dilakukan Pemprov Kalimantan Timur melalui visi
Kaltim Green.
Seperti yang diungkapkan
dalam kutipan berikut: Itu beberapa pertanyaan yang dari kami GCF TF sempat
utarakan tapi tentunya dalam hal ini kami mendukung apa yang dilakukan oleh
pemerintah Kaltim kita tidak bisa mengelak dari pembangunan bahkan isu
perubahan iklim pada akhirnya harus mengakui ada beberapa hal ya for the sake
for development memang kita bisa apa ya terlalu ideal gitu kan harapannya bahwa
Pemerintah Kaltim bisa menyeimbangkan kedua kepentingan ini bahwa memang IKN
akan ada di situ, pembangunan pembukaan hutan mungkin akan terjadi tapi
bagaimana kemudian kita bisa offsetting dari loss yang mungkin akan timbul dan
juga bagaimana Pemerintah Kaltim tetap bisa meneruskan visi Kaltim Green-nya ke
depan bisa juga terus apa istilahnya melanjutkan apa yang sudah dilakukan saat
ini misalnya dengan program FCPF dengan mempertahankan level emisinya supaya
tidak semakin meningkat dengan adanya IKN misalnya gitu upaya-upaya itu
mudah-mudahan bisa dilakukan oleh pemerintah Kaltim untuk tadi menyeimbangkan
yang mungkin kita bilang dengan environmental damage. Agak terlalu keras gitu
ya tapi mungkin sedikit lost gitu karena adanya kegiatan pembangunan baru di
wilayah Kaltim
Selain potensi masalah
lingkungan hidup, pemindahan ibukota ke IKN juga berpotensi memunculkan konflik
administrasi kekuasaan. Otorita IKN telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan Peraturan Presiden Nomor 62
tahun 2022 tentang Otorita Ibu Kota Negara. Berbeda dengan pemerintahan
provinsi yang gubernur/walikota/bupatinya dipilih melalui pemilihan umum,
Otorita IKN bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Kepala dan Wakil
Kepala Otorita IKN dipilih langsung oleh Presiden. Sebagian wilayah Kaltim akan diserahkan ke Otorita IKN dan pengelolaanya langsung
dibawah Presiden.
Terkait IKN, GCF
menawarkan rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
dalam pembagian wewenang administrasi antara Otorita IKN dan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur. Meskipun nantinya Otorita IKN sepenuhnya di bawah
Presiden, GCF mendorong Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk
merekomendasikan kepada Otorita IKN untuk mengadopsi pembangunan berkelanjutan
seperti yang sudah dilaksanakan Gubernur Awang Faroek dan Isran Noor.
Dalam wawancara dengan
GCF, rekomendasi yang disampaikan bagi Kaltim adalah: �memang kalau boleh
blak-blakan gitu ya ketika ada kabar bahwa Kaltim akan
menjadi lokasi IKN mix feeling mungkin ya kalau boleh dibilang. Yang pertama
selamat bagi Kaltim. Yang kedua kita tentunya kan mempertanyakan bagaimana
nantinya keaktifan dari Kaltim di GCF TF sendiri begitu kan karena bisa jadi
kebijakan-kebjakan yang diterapkan di Kaltim akan ada bagian yang dalam tanda
kutip diintervensi oleh pemerintah pusat gitu sementara semangatnya GCF TF
adalah pemerintah subnasional. Kita belum bisa menjawab itu semua saat ini
tetapi yang menjadi concern kamu juga salah satunya mungkin yang tadi pak
Abraham juga sudah sebutkan bagaimana pengelolaan lingkungan selanjutnya ketika
otoritas untuk pengelolaan itu tidak sepenuhnya ada di Kaltim.
Anggaplah misalnya memang
Kaltim punya visi tadi ya ada Kaltim Green yang selama ini sudah berjalan.
Apakah itu masih akan terus dilakukan ketika ada pengaruh dari pemerintah
pusat.�
Paradiplomasi masih
dilihat sebagai sarana bagi pemerintah provinsi di dalam mendapatkan keuntungan
ekonomi atau asistensi ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara maju ke
negara berkembang. Salah satu tujuan diplomasi lingkungan, menurut Shouqiu dan
Voigts
2.
Forest
Carbon Facility Partnership (FCPF)
Pada tanggal 8 November 2022, Bank Dunia mengumumkan bahwa Kalimantan Timur memperoleh pendanaan awal sebesar 320 Miliar Rupiah untuk Emissions Reduction Payment Agreement yang tindak lanjut dari program Forest Carbon Facility Partnership (FCPF) dengan total anggaran bagi Indonesia 1,6 Triliun Rupiah. Bank Dunia akan memberikan hibah kepada Indonesia untuk setiap pengurangan emisi yang berasal dari pengurangan deforestasi dan kerusakan hutan. FCPF merupakan program Bank Dunia yang bertujuan untuk membantu negara di dalam implementasi Reducing Emissions from Forest Degradation and Deforestation (REDD+).
Terdapat 47 negara partisipan dalam FCPF ini dan sudah ada 15 negara dari
semua negara partisipan yang menerima hibah FCPF termasuk Indonesia. Pendanaan
FCPF ini berasal dari negara-negara
maju seperti Finlandia, Denmark, Kanada dan juga perusahaan multinasional
seperti BP. FCPF terdiri atas dua program besar yaitu Carbon Fund dan Readiness
Fund. Carbon Fund adalah hibah yang diberikan kepada setiap pengurangan emisi
yang sudah diverifikasi Bank Dunia dan Readiness Fund merupakan hibah yang
diberikan dalam membantu negara di dalam persiapan implementasi REDD+.
Satgas GCF merupakan salah
satu mitra Bank Dunia di dalam implementasi FCPF sehingga lebih banyak
asistensi yang diberikan Satgas GCF kepada pemerintah subnasional di dalam
memenuhi standard dan kriteria FCPF. Di dalam wawancara dengan Country
Coordinator untuk Indonesia, Syahrina D. Anggraini menyampaikan bahwa
pemerintah provinsi Kalimantan Timur sangat aktif melakukan pembelajaran
implementasi REDD+ di dalam berbagai pertemuan tahunan Satgas GCF.
Delegasi Kalimantan Timur
adalah delegasi yang paling aktif dari ketujuh pemerintah provinsi yang menjadi
anggota Satgas GCF di Indonesia. Berikut kutipan wawancaranya: �Dan Kaltim
sendiri memang memiliki sudah selain dari reputasi dan memang kenyataannya
sudah memiliki enabling condition untuk pengelolaan isu perubahan iklim
termasuk juga REDD+ ini mungkin yang paling baik di antara 7 anggota GCF TF
saat ini dan beberapa hal yang jadi tantangan kami terutama GCF TF untuk
melanjutkan kerjasama dengan pemerintah provinsi itu kurangnya dukungan dari
pimpinan provinsi daerah.
Jadi misalnya kalau
gubernurnya tidak terlalu punya visi untuk lingkungan untuk isu perubahan iklim
kegiatan-kegiatan kami mungkin juga kurang didukung atau kadang delegasi tidak
diberikan izin untuk menghadiri annual meeting di luar negeri. Tapi tidak
demikian halnya dengan Kaltim. Kaltim selalu hadir dalam setiap annual meeting
selalu diupayakan hadir dalam setiap pertemuan-pertemuan regional dan selalu
menjadi anggota yang aktif untuk sharing informasi untuk memberikan masukan
termasuk ketika kami menyusun juga kegiatan breakdown dari Manaus Action Plan
untuk Indonesia. Kaltim termasuk yang memberikan masukan konkrit bagaimana
Manaus Action Plan untuk Indonesia itu diformulasikan.�
Implementasi paradiplomasi
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur di dalam Satgas GCF ternyata berdampak
terhadap status dan reputasi Kalimantan Timur di dalam tata kelola lingkungan
lokal, nasional, dan internasional. Pengerahan sumber daya finansial dan sumber
daya manusia Kalimantan Timur dalam Satgas GCF menghasilkan insentif finansial
berupa hibah FCPF dari Bank Dunia. Menurut Bank Dunia, Kalimantan Timur menjadi
provinsi yang pertama menerima hibah FCPF di Indonesia dan di wilayah Asia
Pasifik. Pemberian hibah Bank Dunia ini sangat menarik karena tidak hanya
berkaitan dengan insentif dalam kerangka kerja REDD+ tetapi juga berdampak
terhadap persepsi pemerintah pusat, organisasi internasional dan pemerintah
provinsi di Indonesia terhadap Kalimantan Timur.
Satgas GCF merencanakan
berbagai pertemuan dengan enam provinsi anggota Satgas GCF yang berasal dari
Indonesia untuk mendengar pengalaman dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
mengenai proses memenuhi standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Keberhasilan
Kalimantan Timur di dalam memperoleh hibah Bank Dunia akan
memotivasi pemerintah provinsi lainnya di Indonesia untuk berpartisipasi dalam
FCPF.
Berikut kutipan wawancara
dengan Satgas GCF:�Jadi Kaltim sudah diminta untuk menjadi salah satu pembicara
di acara Yukatan nanti berbagi pengalaman bagaimana FCPF carbon fund di Kaltim
dikembangkan dan bagaimana sampai pada akhirnya bisa mendapatkan Advance
Payment dari World Bank yang ke depan diharapkan dari Kaltim mudah-mudahan bisa
lebih menginspirasi lagi memang sudah ada konkritnya ya jadi mungkin Pak Rizal
masih ingat bahwa Kalbar selalu menyatakan upaya-upaya Kalbar saat ini untuk
bisa mendapatkan akses berbagai pendanaan internasional itu juga terinspirasi
dari Kaltim itu salah satu contoh nyata dari Bagaimana pengaruh Kaltim di
kegiatan-kegiatan GCF TF bisa menjadi semangat mungkin bisa dibilang semangat
bagi anggota-anggota GCF TF lainnya.
Sehingga nantinya kalau
pendanaan dari World Bank ini sudah masuk sudah ada benefit sharing plan yang
dilaksanakan sudah ada evaluasi lebih lanjut dari kinerja FCPF harapan kami
memang dari GCF TF bisa menjadi fasilitator bagi diseminasi pengalaman Kaltim
ini. Mudah-mudahan tidak hanya bagi anggota kami lainnya tapi juga bagi
provinsi-provinsi yang berhutan di Indonesia yang saat ini belum jadi anggota
GCF TF�
Keberhasilan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur di dalam menerima hibah FCPF tentu membawa tanggung jawab lebih besar bagi Gubernur Kalimantan Timur dan jajarannya. Pemanfaatan hibah FCPF harus sesuai dengan asas akuntabilitas, transparansi dan inklusif. Dana hibah akan diawasi secara ketat oleh lembaga penegak hukum sehingga Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu mengimplementasikan sistem pengelolaan dana hibah yang terbuka dan terpadu. Selain itu, perlu dipertimbangkan mengenai keberlanjutan dana hibah FCPF mengingat pelaksanaan FCPF di sebuah wilayah memiliki batas waktu yaitu lima tahun. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu melakukan diversifikasi pendanaan REDD+ melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga donor internasional dan nasional dengan asistensi Satgas GCF.
Kesimpulan
Berdasarkan
wawancara yang dilakukan kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi
Kalimantan Timur dan Country Coordinator Satgas GCF Indonesia, kami memiliki
beberapa kesimpulan:
Paradiplomasi
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dilaksanakan menggunakan kerangka kerja
hukum yang sah yaitu tata kelola desentralisasi yang memberikan wewenang dan
hak bagi pemerintah provinsi untuk bergabung dalam organisasi internasional
atau menjalin kerjasama dengan pemerintah provinsi negara sahabat sejauh
sama-sama menguntungkan pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut.
Satgas
GCF menjadi media pembelajaran dan pertukaran informasi bagi Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur khususnya dalam rencana pemindahan ibukota dari
Jakarta ke IKN dan hibah FCPF oleh Bank Dunia. Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur menerima manfaat dalam setiap pertemuan rutin dalam konteks Satgas GCF
dimana Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menerima informasi dari pemerintah
subnasional yang telah terlibat dalam rencana pemindahan ibukota dan hibah Bank
Dunia dan sekaligus menyebarkan informasi keberhasilan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur dalam memperoleh hibah FCPF.
BIBLIOGRAFI
Akib, M. (2013). Politik Hukum Lingkungan: Dinamika
dan Refleksinya dalam Produk Hukum Otonomi Daerah. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Anggraini, S. (2022, December 16). Governors' Climate and
Forest Taskforce. (R. Oktavian, Interviewer)
Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Indonesia's
Patronage Democracy. Ithaca: Cornell University Press.
Badan Litbang Pertanian - Kementerian Pertanian Republik
Indonesia. (2014, September 4). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di
Kalimantan Timur.
BBC. (2015, Oktober 17). Ada Korupsi di Balik Kabut Asap.
Bisnis.com. (2022, September 2). Kepala Bappenas Ungkap
Kebutuhan Dana SDGs Capai Rp67 Kuadriliun.
Desdiani, N. A.,
Afifi, F. A., Cesarina, A., Sabrina, S., Husna, M., Violeta, R. M., . . .
Halimatussadiah, A. (2021, Desember). Climate and Environmental Financing at
Regional Level: Amplifying and Seizing the Opportunities .
Djausal, G. P., & Sanjaya, F. J. (2019). Paradiplomasi
Keanekaragaman Hayati Provinsi Lampung dalam Kerangka Masyarakat ASEAN 2025.
Lampung: Universitas Lampung.
Fishbein, G., & Lee, D. (2015). Early Lessons from
Jurisdictional REDD+ and Low Emissions Development Programs. Arlington.
Gregorio, M. D., Massarella, K., Schroeder, H., Brockhaus,
M., & Pham, T. T. (2020). Building authority and legitimacy in
transnational climate change governance: Evidence from the Governors� Climate
and Forests Task Force. Global Environmental Change, 1-9.
Gr�nmo, S. (2020). Social Research Method: Qualitative,
Quantitative and Mixed Approaches. London: Sage.
Hidayat, H. (2005). Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan
Masa Orde Baru dan Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Independent Evaluation Group. (2012, March 1). Global
Program Review: Forest Carbon Facility Partnership.
Kirana, G. (2014, December 1). Decentralization Dilemma in
Indonesia: Does Decentralization Breed Corruption?
Koehn, P. (2008). Underneath Kyoto: Emerging Subnational
Government Initiatives and Incipient Issue-Bundling Opportunities in China and
the United States. Global Environmental Politics, 53-77.
Lecours, A. (2002). Paradiplomacy: reflections on foreign
policy and international relations of regions . International Negotiations,
91-114.
Liputan6.com. (2022, September 2). Jalankan Paris
Agreement, Indonesia Butuh Rp 343,32 Triliun per Tahun.
LPEM FEB UI. (2021). Climate and Financing at the Regional
Level: Amplifying and Seizing the Opportunities. LPEM-FEB UI Working Paper,
1-17.
Manalu, E. I. (2016). Konsep Sustainable Development
Principle dalam Deklarasi Rio Branco (Kolaborasi Sub-Nasional Governors Climate
and Forest Task Force) dan Status Hukum Negara Bagian dan Provinsi
Penandatangan Deklarasi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
McBeath, J., & Wang, B. (2008). China's Environmental
Diplomacy. American Journal of Chinese Studies, 1-16.
Mukti, T. A. (2020). Politik Paradiplomasi dan Isu Kedaulatan
di Indonesia. Yogyakarta: The Phinisi Press.
Mukti, T. A., Fathun, L. M., Muhammad, A., Sinambela, S. I.,
& Riyanto, S. (2021). Paradiplomacy policies and regional autonomy in
Indonesia and Korea. Jurnal Hubungan Internasional, 139-152.
Neuman, L. (2014). Social Research Methods: Qualitative
and Quantitative Approaches. Essex: Pearson.
Pontianak Post. (2016, 2 25). Revisi Perda Karhutla.
Retrieved 9 12, 2018
Pusat Data dan
Teknologi Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KESDM. (2019). Inventarisasi
Emisi GRK Sektor Energi. Jakarta: Pusat Data dan Teknologi Informasi Energi
dan Sumber Daya Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Rizal, R. (2022, December 15). Peran Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur Dalam Gcf Task Force: Dalam Mendukung Perjanjian Paris
Agreement dan NDC. (R. Oktavian, Interviewer)
Robertua, V. (2016). Multi-stakeholder Initiative for
Sustainable Development: An English School Perspective . Jurnal Sospol,
154-170.
Robertua, V., & Sigalingging, L. (2019). Indonesia
Environmental Diplomacy Reformed: Case Studies of Greening ASEAN Way and Peat
Restoration Agency. Andalas Journal of International Studies, 1-15.
Robertua, V., Oktavian, R., & Sigalingging, L. (2022).
Implementasi Diplomasi Lingkungan Indonesia dalam Penanggulangan Kebakaran
Hutan dan Lahan Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 11154-11183.
Setzer, J. (2013). Environmental paradiplomacy: the
engagement of the Brazilian state of S�o Paulo in international environmental
relations. London: London School of Economics and Political Science.
Shouqiu, C., & Voigts, M. (1993). The Development of
China's Environmental Diplomacy. Pacific Rim & Law Journal, 19-42.
Surwandono, & Maksum, A. (2020). The Architecture of
Paradiplomacy Regime in Indonesia: A Content Analysis. Global: Jurnal
Politik Internasional, 77-99.
Tavares, R. (2016). Paradiplomacy: Cities and States as
Global Players. New York: Oxford University Press.
VoA Indonesia. (2006, Desember 4). Indonesia Minta
Singapura Tidak �Kekanak-Kanakan� Soal Kabut Asap. Retrieved Desember 13,
2016
WALHI.
(2022). Ibukota Baru Buat SIapa? Jakarta: WALHI.
Copyright holder: Verdinand
Robertua, Angel Damayanti, Riskey Oktavian, Lubendik Sigalingging, Fuji
Yemima Theresa Silalahi (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |