Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 8, Agustus
2023
PENEGAKAN
PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI POLRI
Dilla Hariyanti, Mugiati
Universitas Borobudur
Emai: [email protected], [email protected]
Abstrak
Terjadinya suatu pelanggaran kode etik profesi Kepolisian
sebagai suatu cerminan perilaku dan sikap anggota Polri
dalam menjalankan fungsi dan tugas pokok sebagai penegak
hukum, tidak profesional, hal ini akan berdampak
pada citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia kurang baik di mata masyarakat. Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia, harus melakukan tindakan penegakan hukum terhadap kasus-kasus terjadinya pelanggaran kode etik profesi
Kepolisian yang dilakukan
oleh anggota Polri melalui Komisi Kode Etik Polri. Penelitian
ini merumuskan masalah tentang apa penyebab terjadinya
pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan oleh anggota Polri? dan bagaimana tindakan penegakan hukum bagi anggota
Polri yang melakukan pelanggaran kode etik profesi Kepolisian?. Penelitian ini menggunakan metode normatif. Hasil penelitian bahwa penyebab terjadinya pelanggaran kode etik profesi
yang dilakukan oleh anggota
polri dikarenakan adanya tindakan diskresi yang tidak sesuai dengan norma
hukum dan etik profesi Kepolisian. Bagi setiap anggota Polri yang melakukan pelanggaran kode etik profesi akan
dikenakan sanksi etika dan sanksi administrasi.
Kata Kunci: Pelanggaran Kode Etik
Profesi Kepolisian.
Abstract
The occurrence of a violation of the police professional code of ethics asa reflection of the behavior and attitudes of Polri members in carrying out their main functions and
duties as law enforcement, unprofessional, this will have an impact on the
image of the Republic of Indonesia National Police Institute in the eyes of the
public. The National Police Institute of the Republic of Indonesia, must take
law enforcement action against cases of violations of the police professional
code of ethics committed by members of the Indonesian National Police through
Police Code of Ethics Commission. This study formulates the problem of a what
are the causes of violations of the professional code of ethics by members of
the Police? and what are the law enforcement actions for members of the Police
who violate the Police's professional code of ethics? This research uses
normative method. The results of the research show that the cause of violations
of the professional code of ethics committed by members of the Indonesian
National Police is due to discretionary actions that are not in accordance with
the legal norms and professional ethics of the Police. Any member of the
National Police who violates the professional code of ethics will be subject to
ethical and administrative sanctions.
Keywords: Violation of the
Police Professional Code of Ethics.
Pendahuluan
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai penegak hukum, untuk menjaga keamanan dan ketertiban serta memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai fungsi dan tugas Polri sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, memberikan pengayoman kepada masyarakat, dapat memberikan contoh berperilaku yang baik dengan sikap menjaga moral dan etika profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tercemin dalam Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman norma berperilaku yang patut dan tidak patut untuk dilakukan.
Etis Polri sebagai penegak hukum menjadi tolok ukur dalam mewujudkan penegakan hukum dapat terlaksana. Secara sosiologis Polri mempunyai kedudukan dan peran penting dalam masyarakat, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan Polri menjadi sorotan masyarakat baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum harus menjunjung kaidah hukum yaitu memberikan keteladanan kepatuhan hukum, sikap yang lugas, beretika dan berperilaku sesuai dengan pedoman etika profesi Kepolisian dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.
Apabila terjadi suatu pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota Polri, maka Atasan yang karena jabatannya diberi wewenang menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang dipimpinnya (Saharuddin, 2017). Atasan harus melakukan penegakan disiplin bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin demi terpemeliharannya tata tertib kehidupan di lingkungan Polri. Begitu juga bila terjadi suatu pelanggaran etik profesi kepolisian atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Terjadinya suatu pelanggaran kode etik profesi Kepolisian sebagai suatu cerminan perilaku dan sikap anggota Polri dalam menjalankan fungsi dan tugas pokok sebagai penegak hukum, tidak profesional, hal ini akan berdampak pada citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia kurang baik di mata masyarakat (Fitriani, 2020). Institusi Kepolisian Republik Indonesia akhir-akhir ini telah menjadi sorotan diberbagai media televisi dengan pemberitaan yang dinilai kurang profesional dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai penegak hukum, seperti �terhadap sebanyak 31 personel Polri diduga melakukan pelanggaran kode etik profesi dalam penanganan perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau brigadir J�. Tindakan perintangan penyidikan (obstruction of justice) sampai dengan dugaan pelanggaran etik terhadap Irjen Teddy Minahasa, setelah terjerat kasus dugaan narkoba.
Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia, harus melakukan tindakan penegakan hukum terhadap kasus-kasus terjadinya pelanggaran kode etik profesi Kepolisian yang dilakukan oleh anggota Polri melalui Komisi Kode Etik Polri sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dalam pelaksanannya mengacu pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai pedoman sikap, perilaku dan perbuatan Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab serta kehidupan sehari-hari.
Guna mewujudkan good governance dan clean government di internal Kepolisian dalam rangka memantapkan nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai cerminan jati diri setiap anggota Polri yang dilandasi oleh jiwa Pancasila, maka perlu adanya tindakan penegakan hukum kode etik profesi bagi Polri yang melakukan pelanggaran kode etik melalui Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga citra institusi baik. Anggota Polri yang melakukan pelanggaran kode etik dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Komisi Kode Etik Kepolisian melakukan penegakan disiplin Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan laporan atau pengaduan masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran disiplin. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk lebih memantapkan profesionalisme Polri dibidang penegakan hukum terutama yang berkaitan dengan integritas moral, sikap perilaku dan etika profesi serta disiplin dan tanggung jawab yang tinggi pada setiap personil Polri.
Kualitas penegakan hukum yang dituntut masyarakat dewasa ini bukan sekedar kualitas formal, tetapi terutama kualitas penegakan hukum secara materiel atau penegak hukum secara substansial (Sinaga, 2019). Moralitas penegakan hukum yang harus dibenahi sehingga tidak terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.
Penegakan hukum merupakan salah satu fungsi dari sistem hukum sebagai sarana social control (Diab, 2014). Hukum itu sendiri sebagai sarana pengintegritas berbagai kepentingan. Menurut Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa: �Penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya dan jika terjadi pelanggaran, maka hal yang harus dilakukan adalah memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali� (Abdulkadir, 2006).
Menurut Satjipto Rahardjo, menyatakan bahwa: �Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur oleh undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika. Oleh karena itu, pertimbangan secara nyata hanya diterapkan selektif dalam masalah penanggulangan kejahatan� (Rahardjo, 2010).
Menurut Hadisapoetro dalam Abintoro Prakoso, bahwa �Diskresi kepolisian yang dilakukan oleh seorang terhadap masalah yang hadapinya secara nyata, berdasarkan keyakinan, kebenaran dan pertimbangan-pertimbangan pribadinya yang terbaik pada saat itu� (Prakoso, 2019).�
Menurut Abintoro Prakoso (2019), wewenang diskresi tidak boleh digunakan secara sembarangan tanpa alasan yang rasional dan logis, akan tetapi selektif dan proposional yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum�.
Pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum, moral dan etika sebagai perwujudan penegakan hukum dan gangguan penegakan hukum itu pun terjadi apabila terjadinya penyimpangan kaidah hukum, moral dan etika (Salle, 2020). Penegakan hukum dalam kenyataannya mengandung suatu pilihan dan kemungkinan, karena dihadapkan pada kenyataan yang kompleks. Menurut pandangan ilmu empirik, kompleksitas tidak dapat diabaikan, bahwa: �Penegakan hukum tidak bersifat logis-universal namun merupakan variabel.
Penegakan hukum sarat dengan dimensi perilaku dengan semua faktor yang menyertainya. Penegakan hukum buan lagi merupakan hasil dedukasi logis, melainkan lebih merupakan hasil dari pilihan-pilihan. Dengan demikian output dari penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang tidak menurut logis�. Oliver Wendell Holmes menyebutkan sebagai �the life of the law has not been logic, it has been experince�.
Menurut Bambang Waluyo pada umumnya masyarakat memandang penegakan hukum secara sempit yaitu: �terkait penegak hukum dalam menegakkan hukum atau undang-undang. Dalam hal ini sikap dan tindakan penegak hukum melaksanakan atau menerapkan hukum tersebut. Apabila telah sesuai dengan undang-undang maka penegakan hukum dianggap berhasil. Pendapat demikian dikatakan sempit, karena keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi bukan saja faktor penegak hukum, dan undang-undang namun juga terpenuhinya sarana dan prasarana penegak hukum serta kesadaran hukum masyarakat� (Waluyo, 2017).
Menurut Satjipto Raharjo (2010), mengidentifikasi ciri-ciri yang sebaiknya ada pada penegakan hukum untuk pembangunan yakni sebagai berikut: a) Mempunyai kesadaran hukum lingkungan, artina tindakan-tindakan dalam penegakan hukum hendaknya mengait kepada proses-proses yang berlangsung dalam masyarakat, seperti ekonomi, politik, dan sebagainya. b) Menyadari kedudukan dan kualifikasinya sebagai suatu badan yang harus ikut menggerakkan perubahan-perubahan. c) Penegakan hukum akan banyak terlibat kepada masalah perbuatan-perbuatan keputusan daripada sekedar menjadi badan yang melaksanakan saja (Rahardjo, 2010).
Apabila ciri-ciri di atas tercermin dalam penegakan hukum, maka dapat dikatakan bahwa penegakan hukum telah memberikan sumbangsih dalam pembangunan nasional yang bertumpuh pada penegakan hukum yang berkeadilan sebagai citra hukum yang harus dijadikan arah dan pedoman dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
Etika sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat, setiap institusi membentuk anggota dengan moral etik yang baik, begitu pula dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang berpedoman pada nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya dan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai tolok ukur dalam mewujudkan penegakan hukum, sebab melalui manusia itulah penegakan hukum dapat dijalankan.
Menurut Sudikno Mertokusumo (2019), �Etik adalah usaha manusia untuk mencari norma baik dan buruk. Etik diartikan juga sebagai �the principles of morality� atau �the field of study or morals or right conduct�. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa etik adalah filsafat tingkah laku atau filsafat mencari pedoman untuk mengetahui bagaimana manusia bertindak yang baik atau etis�.
Menurut Prajudi Atmosudirjo, (1981) menyatakan bahwa: �Moralitas adalah salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh masyarakat, moral dan ethic umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi, perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, kurang ajar, tidak sopan, kata-kata yang tidak pantas dan sebagainya wajib dihindarkan�.
Etik pada hakikatnya merupakan pandangan hidup dan pedoman tentang bagaimana orang itu seyogianya berperilaku. Etik yang berasal dari kesadaran manusia merupakan petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Etik juga merupakan penilaian atau kualifikasi terhadap perbuatan seseorang.
Kesadaran etik bukan hanya berarti sadar akan adanya baik dan buruk, tetapi juga sadar pula bahwa orang harus berbuat baik. Pencerminan karakter yang baik anggota Polri seperti apa yang diamanatkan dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, terkait dengan etika profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menurut teori Lawrence Kohlberg tentang kesadaran etis (moral) itu bertumbuh dengan studi budaya hukum dalam Bachsan Mustaf yaitu: �pertama kesadaran moral dan kedua tentang pembiasaan berperilaku yang diakui oleh masyarakat sebagai perilaku yang baik dan benar� (Mustafa, 2016).
Teori kesadaran moral, moralitas konvensional melukiskan adanya kesadaran moral orang dewasa melakukan pembiasaan perilaku yang baik dan benar yaitu pembiasaan menaati norma-norma hukum yang berlaku sebab norma hukum itu dibentuk sebagai hasil kesepakatan masyarakat di mana orang dewasa itu hidup. Maka untuk tidak dikatakan, orang dewasa yang tidak tahu adat, tidak beradab, atau orang yang tidak tahu diri, ia harus menaati norma-norma hukum yang telah disepakati bersama.
Proses pembinaan menaati norma-norma hukum positif, mustahil dilakukan tanpa kesadaran moral, jadi harus berdasarkan kesadaran moral. Sedangkan kesadaran moral itu menjadi sumber dari segala kesadaran manusia, misalnya kesadaran hukum. Di mana ada kesadaran hukum, di situ ada pembiasaan menaati norma-norma hukum, di situ ada kebiasaan menaati norma-norma hukum dan akhirnya di mana ada kebiasaan menaati norma-norma hukum disitu ada budaya hukum. Demikian juga, sama halnya dalam proses pembiasaan menaati norma-norma hukum untuk pembudayaan hukum sehingga menjadi budaya hukum.
Dalam institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia, ada yang namanya kode etik profesi kepolisian sebagai pedoman bagi Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa: �Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis yang menjadi pedoman sikap, perilaku dan perbuatan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab serta kehidupan sehari-hari.�
Kode etik profesi Polri pedoman sikap dan perilaku anggota Polri ketika menjalankan tugas dan tanggungjawabkan. Guna mewujudkan sifat etik yang baik, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya senantiasa untuk menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap dan perilakunya, sehingga terhindar dari perbuatan tercela dan penyalahgunaan wewenang.
Wujud komitmen moral anggota Polri yang meliputi etika kenegaraan terdapat dalam Pasal 1 angka 9 dan Pasal 4, kelembagaan pada Pasal 1 angka 10 dan Pasal 5, kemasyarakatan pada Pasal 1 angka 11 dan Pasal 6, dan kepribadian pada Pasal 1 angka 12 dan Pasal 7 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dibekali pula dengan etika kepolisian sebagai aspek dalam Kepolisian. Menurut Rabbani (2021) menyebutkan bahwa: �Etika kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat�.�
Polri dalam menjalankan tugas disamping perpedoman pada hukum atau peraturan perundang-undangan juga harus mempunyai moral yang baik sesaui dengan kode etik profesi Kepolisian sebagai pedoman kode etik profesi Kepolisian yang diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan persoalan terjadinya pelanggaran kode etik di internal Kepolisian, maka dalam penelitian ini merumuskan masalah tentang: 1) Apa penyebab terjadinya pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan oleh anggota Polri dan 2) Bagaimana tindakan penegakan hukum bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran kode etik profesi Kepolisian?
Berdasarkan rumusan masalah ini maka dapat mengimplementasikan penegakan pelanggaran kode etik profesi Polri yang berpedoman pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif adalah �Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka� (Soekanto, 1985). Sedangkan yang dimaksud data sekunder adalah data yang sumbernya diperoleh dari kajian kepustakaan dan dilaksanakan dengan menginventaris seluruh peraturan dan data yang ada kaitannya dengan objek penelitian yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier yaitu bahan
yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus dan ensiklopedia.
Hasil dan Pembahasan
A. Penyebab
Terjadinya Pelanggaran Kode Etik Profesi Yang Dilakukan Oleh Anggota Polri
Anggota Polri dalam mengambil tindakan-tindakan diperlukan ukuran kewajibannya dalam batas-batas undang-undang
yang berlaku artinya bahwa anggota Polri
tidak dibenarnya apabila menjalankan tugas dan wewenang didasarkan pada kriteria mau atau tidak
mau, tetapi harus menekankan pada aturan hukum yang ada. Hal ini sejalan
apa yang dikatakan oleh Sadjijono, bahwa: �Wewenang pemerintahan berasal dari peraturan
perundang-undangan, artinya
suatu wewenang yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, asas legalitas menjadi salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam penyelenggaraan pemerintah terutama setiap penyelenggaraan pemerintah harus memiliki legitimasi wewenang yang diberikan oleh perundang-undangan� (Sadjijono & Santoso, 2017).�
Disamping menjalankan
tugas dan wewenang berlandaskan pada peraturan perundang-undangan Polri juga harus mempunyai moral etik yang baik dengan menjunjung tinggi Tribrata dan Catur Prasetya. Moralitas sesuai dengan kode etik
profesi kepolisian, hal ini guna
menghindari terjadinya penyimpangan tindakan diskresi, sebab pada hakekatnya terjadinya pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan oleh anggota Polri, hal ini
disebabkan oleh tindakan diskresi yang tidak sesuai dengan norma
hukum dan etik profesi Kepolisian.
Sebagaimana ditegaskan
dalam teori hukum Satjipto Rahardjo bahwa diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat
diatur oleh undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika. Diskresi yang mengabaikan hukum dan etika disinilah timbulnya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota Polri seperti
pada kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau brigadir J�. Tindakan perintangan
penyidikan (obstruction of justice) sampai dengan dugaan
pelanggaran etik terhadap Irjen Teddy Minahasa, setelah terjerat kasus dugaan narkoba.
Tindakan diskresi yang dilakukan oleh anggota Polri tersebut
disebabkan timbulnya penilaian yang diyakini untuk bertindak bagi setiap anggota
Polri sangat dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi
yang konkrit yang mengharuskan
untuk bertindak, dan penilaian dan keyakinan setiap individu anggota Polri sangatlah
berbeda-beda tergantung
pada pengalaman, pengetahuan,
kecerdasan dan moralitas
masing-masing. Oleh karena itu
bertindak berdasarkan penilaiannya sendiri tersebut dalam rangka menjalankan tugas dan wewenang wajib berpegang pada norma hukum dan moral.
Moralitas ini mempunyai peran penting dalam suatu
tindakan dalam menggunakan wewenang diskresi, sehingga dalam menilai situasi
konkrit diperlukan persyaratan-persyaratan seperti tindakan anggota Polri tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan dan tindakan itu untuk melindungi
hak-hak seseorang, untuk mempertahankan ketertiban, ketentraman dan keamanan umum (Pratama,
2012).
Tindakan diskresi anggota Polri mengabaikan atau tidak patuh
terhadap norma hukum dan tidak menjunjung tinggi Tribrata dan Catur Prasetya serta kode etik profesi
kepolisian, seperti pada kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat sebanyak 31 personel Polri. Para pelaku melakukan tindakan diskresi berdasarkan perintah Atasan yang tidak sesuai dengan aturan
hukum, standar operasional dan melanggar kode etik profesi
kepolisian yang dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi yaitu adanya tekanan
yang tidak dari Atasan yang tidak bisa dibantah atau
adanya struktur komando yang tidak boleh membantah perintah Atasan, padahal Bawahan dapat menolak perintah
Atasan apabila melanggar norma hukum dan kode etik profesi kepolisian,
hal ini ditegaskan
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, bahwa: �Setiap Pejabat Polri yang berkedudukan sebagai Bawahan wajib: menolak perintah Atasan yang bertentangan dengan norma hukum,
norma agama, dan norma kesusilaan�.
Begitu juga dengan
Atasan dilarang memberikan perintah bertentangan dengan norma hukum, norma
agama, dan norma kesusilaan
dan menggunakan kewenangannya
secara tidak bertanggung jawab serta menghalangi atau menghambat proses penegakan hukum terhadap bawahannya yang dilaksanakan oleh fungsi penegakan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (1) Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun
2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
�Tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh anggota
Polri tersebut telah melanggar norma hukum dan pelanggar kode etik profesi kepolisian
yaitu bertindak atas dasar perintah
Atasan yang tidak sesuai dengan aturan
hukum dan etik profesi kepolisian atau Atasan tersebut
memerintahkan tidak sesuai dengan aturan
hukum, maka hal ini bertentangan
dengan etika profesi kepolisian yang termuat dalam etika
pribadi Pasal 8 huruf c angka 1 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, bahwa: �Setiap Pejabat Polri dalam
Etika Keperibadian, wajib menaati dan menghormati norma hukum, norma
agama, norma kesusilaan;
dan nilai-nilai kearifan lokal�.
Berdasarkan ketentuan
Pasal 8 huruf c angkat 1 di atas, setiap pejabat Polri tidak mentaati
dan menghormat norma hukum, agama, kesusilaan yang ada dan menjalankan penegakan hukum tidak sesuai dengan
standar operasional serta larangan bagi Atasan memberikan
perintah bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, menggunakan kewenangannya secara tidak bertanggung jawab dan menghalangi atau menghambat proses penegakan hukum terhadap bawahannya yang dilaksanakan oleh fungsi penegakan hukum, maka anggota Polri
tersebut telah melakukan pelanggaran kode etik profesi
kepolisian.
B. Tindakan
Penegakan Hukum Bagi Anggota Polri Yang Melakukan Pelanggaran Kode Etik Profesi
Kepolisian
Konsep pelanggaran
yang dilakukan pada nilai-nilai
etik tersebut tentu saja bersifat
abstrak dan sulit untuk diterapkan pembuktian, maka dari itu institusi
Kepolisian Negara Republik
Indonesia, untuk menjaga sikap dan perilaku anggotanya Tribrata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh
Pancasila dan memberikan pedoman
dalam berperilaku bersikap dan terjadinya perubahan etika, budaya dan berperilaku dalam masyarakat, maka dari itu
tugas dan wewenang Polri sebagai penegak
hukum, tidak boleh melanggar ketentuan hukum yang diamanatkan dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan apabila anggota
Polri pelanggaran kode etik profesi
kepolisian.
Maka perlu adanya tindakan
penegakan hukum bagi anggota polri
yang melakukan pelanggaran kode etik profesi
kepolisian. Dalam hal penegakan hukum mengacu pada teori hukum Satjipto Rahardjo bahwa: �Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat
diatur oleh undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika� (Rahardjo, 2010).
Pelaksanaan penegakan
hukum bagi pelanggaran kode etik profesi Kepolisian,
demi memberikan kepastian hukum dibentuk Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk melakukan penegakan bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang berlandaskan
pada Peraturan Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Pelaksanaan penegakan
pelanggaran kode etik kepolisian melalui sidang Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Adapun sistem
persidangan kode etik dilaksanakan sama seperti apa
yang termuat dalam tata cara dalam sistem
peradilan yang diatur dalam hukum acara seperti adanya laporan atau pengaduan,
pemeriksaan, berita acara pemeriksaan, penuntutan serta adanya upaya
banding dan Peninjauan Kembali. Bagi setiap anggota Polri yang melakukan pelanggaran kode etik profesi akan
dikenakan sanksi etika dan sanksi administrasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 107 Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun
2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pemberian sanksi etika dijelaskan
dalam Pasal 108, bahwa:
(1) Sanksi etika sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 107 huruf a, meliputi: a) Perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela; b) Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara
lisan dihadapan Sidang KKEP dan secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan; c) Kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi selama 1 (satu) bulan.
(2) Sanksi etika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dikenakan terhadap Pelanggar yang melakukan Pelanggaran dengan kategori ringan.
Penjatuhan sanksi
etik bagi anggota Polri yang pelanggaran kode etik profesi kepolisian
berkewajiban untuk mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi selama 1 bulan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 108 ayat (1) huruf c Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun
2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kewajiban mengikuti pembinaan tersebut dengan tujuan sebagai berikut:
a) Pembinaan rohani
Pembinaan rohani
bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran kode etik profesi yang bertujuan untuk memupuk keimanan dan ketakwaan. Memotivasi anggota Polri supaya
ketakwaan dan keimana kepada Allah SWT bagi umat beragama Islam dan Tuhan
Yang Maha Esa bagi nonmuslim
yang beribadah menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing, hal ini dapat
menumbuhkan keimanan yang kuat, sehingga anggota Polri dapat
mengimplementasikan pada tugas
dan wewenangnya selalu berpegang teguh pada agama, moral
yang baik dan berbudi luhur.����������
b) Pembinaan mental
Pembinaan mental bagi
anggota Polri yang melakukan pelanggaran kode etik profesi,
sangat dibutuhkan guna membentuk sikap mental yang berbudi luhur yang dapat diharapkan peningkatkan sikap seorang pejabat penegak hukum memiliki
moral yang tinggi seperti tunduk pada aturan hukum yang ada dan bertindak sesuai dengan standar operasional prosedur yang ditetapkan dan tidak melanggar kode etik profesi kepolisian
serta menjunjung tinggi nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya.
Peningkatan pembinaan
mental yang berbudi luhur
dan terpuji yang dapat membentuk perilaku dan penampilan sikap bersih dan jujur, tanggap akan rasa keadilan, memikul rasa tanggung jawab, mendudukan dirinya sebagai pengemban pelayanan dan bukan sebagai instrument of power atau alat kekuasaan yang rakus.
c) Pembinaan pengetahuan profesi
Pembinaan pengetahun
profesi, dimana anggota Polri sebagai
penegak hukum, diharapkan dapat memahami dan memaknai apa yang diperoleh dari pembinaan pengetahun profesi dalam membentuk sikap moral dan etika yang baik yang dapat diimplementasikan melalui tugas dan wewenangnya sebagaimana mestinya, bekerja secara profesional dan mempunyai integritas yang tinggi, dan bertindak sesuai dengan norma hukum
dan standar operasinal prosedur, nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya serta kode etik profesi
kepolisian.
�� Sedangkan yang dimaksud dengan pemberian sanski administratif, diatur dalam Pasal 109 bahwa sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 huruf b, meliputi: a) Mutasi Bersifat Demosi paling singkat 1 (satu) tahun; b) Penundaan kenaikan pangkat paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun); c) Penundaan pendidikan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun); d) Penempatan pada Tempat Khusus paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja; dan e) PTDH.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenakan terhadap Terduga Pelanggar yang melakukan Pelanggaran dengan kategori sedang dan kategori berat.
Pemberian sanksi
adminsitrasi kategori berat yaitu dengan
dikenakannya sanksi PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan
Hormat) sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) huruf e. yang dimaksud dengan PTHD, menurut ketentuan Pasal 1 angka 29 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, bahwa: �Pemberhentian
Tidak Dengan Hormat yang selanjutnya
disingkat PTDH adalah pengakhiran masa dinas Kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap Pejabat Polri karena
sebab-sebab tertentu�.
Terhadap Terduga
yang melakukan pelanggaran kode eteik profesi
kepolisian yang diancam sanksi pemberhentian tidak dengan hormat
diberikan kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri
sebagaimana diatur dalam Pasal 111 ayat (1) Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun
2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kebijakan ini semata-mata diatur untuk diberikan
kepada anggota Polri didengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 111 ayat (2) bahwa:
Pertimbangan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi Terduga Pelanggar: a) Memiliki masa dinas paling sedikit 20 (dua puluh) tahun; b) Memiliki prestasi, kinerja yang baik, dan berjasa kepada Polri, bangsa
dan negara sebelum melakukan
Pelanggaran; dan c) Tidak melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun.
Penjatuhan sanksi
etika dan sanksi administrasi bersifat kumulatif atau alternatif sesuai dengan penilaian dan pertimbangan dalam sidang kode etik
profesi kepolisian dan penjatuhan sanksi tidak menghapuskan tuntutan pidana atau perdata. Penjatuhan
sanksi kode etik profesi kepolisian
gugur apabila Terduga Pelanggar kode etik profesi
meninggal dunia.
Pelaksanaan penegakan
hukum bukanlah semata-mata pelaksanaan peraturan perundang-undangan tetapi perlu adanya
kebijakan bagi para pemangku penegak hukum antara hukum
dan etika. Menurut Bambang
Waluyo (2017), bahwa:
�Keberhasilan penegakan hukum dipengaruhi bukan saja faktor
penegak hukum, dan undang-undang namun juga terpenuhinya sarana dan prasarana penegak hukum serta kesadaran
hukum masyarakat�.
Berdasarkan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan
penegakan hukum tersebut maka perlu
adanya tindakan-tindakan sebagai berikut:
a) Penegak
hukum
Penegak hukum
(Pejabat Polri) dalam ini Komisi
Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia menjalankan
tugas dan wewenangnya bukan saja dituntut
profesionalitas dan mempunyai
integritas yang tinggi tetapi harus disiplin
dan etik moral yang baik
yang berpedoman pada nilai-nilai
Tribrata dan Catur Prasetya dan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
b) Undang-Undang
Tindakan penegakan hukum didasari pada undang-undang sebagai landasan hukum bagi para penegak hukum dalam
menentukan sanksi apa yang harus diberikan oleh para pelaku pelanggaran kode etik profesi, seperti
Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Peraturan Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia serta pelaksanaan
peraturan lainnya.
c) Fasilitas
atau sarana dan prasarana
Keberadaan Komisi
Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang dibentuk
di lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagai
fasilitas atau sarana dan prasarana dalam mewujudkan penegakan hukum, perlu adanya fasilitas
pendukung seperti akomodasi, transportasi, dan
lain-lain yang diperlukan demi terselenggaranya
pemeriksaan, penuntutan, persidangan dan eksekusi.
d) Kesadaran
hukum masyarakat
Kesadaran hukum masyarakat disini yaitu tidak saja
untuk para terduga pelanggar kode etik profesi tetapi
bagi para pejabat pemangku penegak hukum di sidang Kode Etik Profesi Kepolisian
dan juga bagi seluruh anggota Polri. Kesadaran hukum para penegak hukum sangat dipenting dalam mewujudkan penegakan hukum antara lain: 1) Adanya kesadaran profesi sebagai penegak hukum yang diembannya oleh seluruh anggota Polri. 2) Dalam melaksanakan penegakan hukum adanya kesadaran dimana penegakan hukum yang sesuai dengan ukuran-ukuran tentang hukum yang ada. 3) Kepatuhan dari anggota Polri
terhadap kaidah-kaidah hukum yang ada selaras dengan kode etik profesi
kepolisian. 4) Bekerja secara profesional dan berintegritas tinggi.
Disamping ke empat (4) faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum, pihal yang sangat menentukan adalah etik yang baik bagi para penegak hukum, sebagaimana ditegaskan dalah teori Sudikno
Mertokusumo (2019), etik adalah filsafat tingkah laku atau
filsafat mencari pedoman untuk mengetahui
bagaimana manusia bertindak yang baik atau etis�. Tindakan penegakan hukum bagi anggota polri
yang melakukan pelanggaran kode etik profesi
kepolisian, sangat dipengaruhi
oleh bagaimana tindakan manusia sebagai pemangku penegak hukum itu sendiri.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian
pada pembahasan, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
Penyebab terjadinya pelanggaran
kode etik profesi yang dilakukan oleh anggota polri dikarenakan
adanya tindakan diskresi yang tidak sesuai dengan norma
hukum dan etik profesi Kepolisian yaitu bertindak atas dasar perintah
Atasan yang tidak sesuai dengan aturan
hukum dan etik profesi kepolisian atau Atasan tersebut
memerintahkan tidak sesuai dengan aturan
hukum.
Bagi setiap anggota Polri yang melakukan pelanggaran kode etik profesi akan
dikenakan sanksi etika dan sanksi administrasi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 107 Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun
2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penjatuhan sanksi etik bagi
anggota Polri yang pelanggaran kode etik profesi kepolisian
berkewajiban untuk mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi selama 1 bulan. Pemberian sanksi adminsitrasi kategori berat yaitu sanksi PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan
Hormat) diberikan kesempatan
untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri..
BIBLIOGRAPHY
Abdulkadir, M. (2006). Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Atmosudirdjo, S. P. (1981). Hukum
administrasi negara. Ghalia Indonesia.
Diab, A. L. (2014). Peranan hukum sebagai social control, social
engineering dan Social welfare. Al-�Adl, 7(2), 53�66.
Fitriani, A. P. (2020). Penegakan Hukum terhadap Penyalahgunaan
Narkotika oleh Anggota Kepolisian Ditinjau dari Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Mertokusumo, S. (2019). Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta: CV. Maha
Karya Pustaka.
Mustafa, B. (2016). Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Prakoso, A. (2019). Diskresi
kewenangan polisi pada tahap penyidikan.
Pratama, D. P. (2012). Tindakan Diskresi Polisi Dalam Melaksanakan
Tugas Penyidikan Di POLDA DIY.
Rabbani, N. (2021). Penegakan Hukum Peraturan Kedinasan Kepolisian Dalam
Menangani Pelanggaran Etika Kepolisian. Widya Yuridika: Jurnal Hukum, 4(1),
65�80.
Rahardjo, S. (2010). Penegakan hukum
progresif. Penerbit Buku Kompas.
Sadjijono, S., & Santoso, B. T. (2017). Hukum Kepolisian Di
Indonesia: Studi Kekuasaan Dan Rekontruksi Fungsi Polri Dalam Fungsi
Pemerintahan. Laksbang Pressindo.
Saharuddin, S. (2017). Strategi Penegakan Hukum Disiplin Anggota Polri
sebagai Perwujudan untuk Mencapai Pemerintahan yang Baik dan Bersih. Al
Hikam, 1(2), 75�91.
Salle, S. (2020). Sistem Hukum dan Penegakan Hukum. CV. Social Politic
Genius (SIGn).
Sinaga, J. (2019). Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Pendekatan Non-Penal. Law Pro Justitia, 2(2).
Soekanto, S. (1985). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet.
Waluyo, B. (2017). Penegakan Hukum Di Indonesia, Cetakan Kedua.
Jakarta: Sinar Grafika.
Copyright holder: Dilla Hariyanti,
Mugiati (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |