Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 8, Agustus 2023

 

PENGARUH WORKPLACE DAN MANAJEMEN STRES TERHADAP BURNOUT PADA PERAWAT DI MASA PANDEMI COVID 19

 

Mepy Nurana, Tasya Aspiranti, Sri Suwarsi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Bandung

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Di masa pandemi Covid-19, perawat memiliki risiko burnout yang tinggi, karena tingginya stres kerja, beban kerja, risiko infeksi Covid-19, melalui kontak erat dengan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor-faktor workplace serta manajemen stres terhadap burnout pada perawat UPT Puskesmas Tarogong di masa pandemi Covid -19. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif verifikatif, dengan metode pengambilan sampel sensus atau whole sampling, yaitu seluruh perawat di UPT Puskesmas Tarogong. Data primer dikumpulkan melalui wawancara serta survei menggunakan kuesioner Maslach Burnout Inventory, kuesioner Quick Burnout Assessment, dan kuesioner manajemen stres. Pada kuesioner workplace untuk aspek workload, control, reward, dan fairness berada pada tingkat cukup, sedangkan nilai community dan values berada pada tingkat tinggi artinya masih dibutuhkan peningkatan dalam pengaturan beban kerja, pengambilan keputusan, komunikasi, serta sistem imbalan yang lebih transparan kepada perawat di UPT Puskesmas Tarogong. Perawat cenderung menggunakan metode manajemen stres individual terutama menggunakan teknik relaksasi pribadi serta berdiskusi dengan pasangan atau keluarga untuk mengelola tingkat stres kerja. Burnout berada pada tingkat cukup yang ditandai tingkat depersonalisasi dan penurunan kinerja ringan. Workplace dan manajemen stres mempengaruhi burnout perawat UPT Puskesmas Tarogong, dan pengaruh workplace terhadap burnout lebih besar dibandingkan pengaruh manajemen stress sehingga dibutuhkan peningkatan dalam pengaturan beban kerja, pengambilan keputusan, dan komunikasi yang efektif terhadap perawat, juga dibutuhkan intervensi workplace dan manajemen stres di Puskesmas untuk mengurangi tingkat burnout, sehingga�� manajemen�� perlu menerapkan program manajemen stres, baik secara organisasional seperti diadakannya rekreasi�� untuk perawat, dan�� perlu membagi pembagian beban kerja yang adil serta berdiskusi secara aktif dengan perawat.

 

Kata Kunci: Covid-19; Burnout; Workplace; Manajemen Stres.

 

Abstract

During the Covid-19 pandemic, nurses have a high risk of burnout, due to high work stress, workload, risk of COVID-19 infection, through close contact with patients. This study aims to analyze the effect of workplace factors and stress management on burnout in UPT Tarogong Health Center nurses during the Covid-19 pandemic. This research is a verifiative descriptive research, with a census sampling method or whole sampling, namely all nurses at UPT Puskesmas Tarogong. Primary data were collected through interviews and surveys using the Maslach Burnout Inventory questionnaire, Quick Burnout Assessment questionnaire, and stress management questionnaire. The workplace questionnaire for aspects of workload, control, reward, and fairness is at a sufficient level, while community values and values are at a high level, meaning that improvements are still needed in workload management, decision making, communication, and a more transparent reward system for nurses at UPT Puskesmas Tarogong. Nurses tend to use individual stress management methods, primarily using personal relaxation techniques as well as discussions with spouses or families to manage work stress levels. Burnout is at a considerable level that is characterized by a degree of depersonalization and a mild decrease in performance. Workplace and stress management affect the burnout of nurses UPT Puskesmas Tarogong, and the effect of workplace on burnout is greater than the influence of stress management so that improvements are needed in workload management, decision making, and effective communication with nurses, also workplace intervention and stress management are needed in Puskesmas to reduce the level of burnout, so management needs to implement a stress management program,� both organizationally such as holding recreation for nurses, and it is necessary to divide the distribution of workload fairly and actively discuss with nurses.

 

Keywords: �COVID-19; Burnout; Workplace; Stress Management.

 

Pendahuluan

Coronavirus disease 2019 atau Covid-19 merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh patogen Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-Cov-2). Covid-19 merupakan suatu penyakit baru yang belum pernah diidentifikasi pada manusia sebelum tahun 2019. Covid-19 merupakan penyakit dengan manifestasi utama pada sistem respirasi, yang memiliki infektivitas tinggi, serta dapat menimbulkan gejala yang mengancam nyawa.

Covid-19 dilaporkan pertama kali pada tanggal 31 Desember 2019 oleh World Health Organization China Country Office sebagai kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di kota Wuhan. Pada tanggal 30 Januari 2020, WHO menetapkan kejadian tersebut sebagai kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia, kemudian pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi (Hu, Guo, Zhou, & Shi, 2021).

Covid-19 telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat global sejak awal tahun 2020 hingga saat ini. Per akhir Juni 2021, secara global, telah terjadi lebih dari 180 juta kasus terkonfirmasi Covid-19, yang telah menimbulkan hampir 4 juta kematian. Di Indonesia, telah ditemukan lebih dari 2 juta kasus terkonfirmasi Covid-19 dan lebih dari 58.000 kasus kematian akibat Covid-19 (Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, 2021).

Covid-19 telah menimbulkan beban yang signifikan terhadap sistem kesehatan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data terakhir yang didapat dari Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 tanggal 26 April 2022, dilaporkan terdapat 1.105.134 Kasus terkonfirmasi Covid-19, 2.294 kasus dalam perawatan, 1.087.088 selesai isolasi, dan 15.752 kasus meninggal dunia di Jawa Barat. Di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Garut juga mengalami beban Covid-19 yang signifikan selama tahun 2020-2022.

Satuan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Garut mencatat secara keseluruhan selama mewabahnya Covid-19 di Kabupaten Garut tercatat kasus keseluruhan mencapai 86.043 orang, 30.859 kasus terkonfirmasi positif Covid-19, 15.030 pasien suspek, 40.150 pasien kontak erat, dan 4 kasus probable. Kasus Covid-19 masih terus bertambah di Kabupaten Garut, tercatat setiap harinya masih ada yang dilaporkan kasus baru terkonfirmasi positif Covid-19. UPT Puskesmas Tarogong merupakan salah satu dari tiga Puskesmas yang berada di wilayah kerja Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut. Wilayah kerja UPT Puskesmas Tarogong membawahi lima desa, yaitu Desa Cimanganten, Tarogong, Jati, Tanjungkemuning, dan Pasawahan, yang mencakup 56 RW dan 192 RT dengan total sebanyak 56 Posyandu.

Jalur transportasi ke Puskesmas dan antar desa dapat dilalui dengan kendaraan roda dua dan empat. UPT Puskesmas Tarogong merupakan salah satu fasilitas kesehatan yang mengalami dampak signifikan dari pandemi Covid-19. UPT Puskesmas Tarogong merupakan Puskesmas dengan tempat perawatan (DTP), yang sejak bulan September 2020 telah menangani kasus Covid-19 di wilayah kerjanya. Tabel 1 menunjukkan angka kejadian Covid-19 di wilayah kerja UPT Puskesmas Tarogong sejak Januari 2021.

 

Tabel 1 Data kasus COVID-19 di wilayah kerja UPT Puskesmas Tarogong, Kabupaten Garut, Januari � April 2021

Kelurahan

Bulan

Januari 2021

Februari 2021

Maret 2021

April 2021

Cimanganten

11

5

25

3

Jati

10

1

5

1

Pasawahan

8

6

2

1

Tanjungkamuning

15

5

10

6

Total

44

17

42

11

Sumber: Data UPT Puskesmas Tarogong, 2021

 

Tenaga kesehatan merupakan lini pertama pelayanan kesehatan di masa pandemi Covid-19. Baik tenaga medis maupun paramedis mengalami peningkatan beban kerja yang signifikan selama masa pandemi Covid-19, mulai dari beban jumlah pasien, kebutuhan penggunaan alat pelindung diri yang membebani aktivitas tenaga medis, serta adanya pembatasan-pembatasan tertentu di tempat kerja untuk mencegah penularan Covid-19 (de Oliveira Souza, 2020);(Pich�-Renaud et al., 2021). Selain itu, tenaga kesehatan juga memiliki risiko tinggi mengalami transmisi Covid-19 melalui kontak erat dengan pasien. Meskipun demikian, risiko kesehatan yang timbul pada tenaga kesehatan tidak hanya mencakup permasalahan kesehatan fisik, namun juga permasalahan kesehatan mental (Cabarkapa, Nadjidai, Murgier, & Ng, 2020).

Berdasarkan Profil Puskesmas Tarogong Tahun 2020, perawat di Puskesmas Tarogong memiliki berbagai tugas rutin, antara lain menyiapkan ruangan rawat inap, menyiapkan alat kesehatan, menyiapkan bahan habis pakai (BHP), menerima pasien baru, melakukan anamnesis awal terhadap pasien, melakukan pemeriksaan fisik sederhana, melaporkan dan mengkonsultasikan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sekaligus mendampingi dokter, memberikan tindakan keperawatan sesuai standar prosedur operasional, dan melaksanakan advis dokter.

Selama masa pandemi Covid-19, tugas perawat bertambah untuk membantu dokter melakukan skrining awal kesehatan pasien, kemudian mendampingi dokter melakukan uji swab sampai dengan pasien terkonfirmasi, lalu melakukan penelusuran epidemiologi pada kasus kontak erat, dan mempersiapkan proses rujukan sesuai alur pasien Covid-19. Apabila terdapat pasien yang terkonfirmasi Covid-19 yang membutuhkan perawatan namun rumah sakit rujukan belum dapat menerima karena penuh, maka pasien dirawat inap sementara di Puskesmas.

Lebih jauh, hingga bulan Juni 2021, telah terdapat sejumlah tenaga kesehatan di Puskesmas Tarogong yang terpapar Covid-19 akibat kontak erat dengan pasien. Pada bulan November 2020, terdapat 8 orang nakes yang terkonfirmasi menderita Covid-19, diikuti oleh 3 orang pada bulan Januari 2021, 32 orang pada bulan Maret 2021, dan 11 orang pada bulan Mei 2021. Kondisi tersebut, disertai dengan keterbatasan alat pelindung diri dan fasilitas di UPT Puskesmas Tarogong, berkontribusi terhadap terjadinya burnout pada tenaga kesehatan di Puskesmas Tarogong, khususnya pada tenaga perawat.

Burnout merupakan suatu sindrom psikologis yang ditimbulkan oleh paparan stresor kronis selama menjalankan pekerjaan yang menimbulkan perubahan persepsi serta respons seseorang terhadap orang lain, kepedulian terhadap orang lain, dehumanisasi sebagai mekanisme pertahanan mental, dan proses atribusi. Secara klasik, burnout ditandai oleh tiga dimensi utama, yaitu kelelahan, depersonalisasi, serta kurangnya efektivitas kerja. Berdasarkan wawancara pendahuluan yang dilaksanakan terhadap perawat di UPT Puskesmas Tarogong, sebagian besar perawat telah mengalami burnout akibat stres yang berkepanjangan, yang ditunjukkan oleh nilai tinggi pada ketiga dimensi burnout. Hasil wawancara menggunakan Maslach Burnout Inventory pada perawat UPT Puskesmas Tarogong dijabarkan dalam Tabel 2.

 

Tabel 2 Hasil wawancara burnout pada perawat UPT Puskesmas Tarogong.

Dimensi

Ringan

Sedang

Berat

Jumlah

Kelelahan emosional

10 (30,3%)

15 (45,5%)

8 (24,2%)

33 (100%)

Depersonalisasi

6 (18,2%)

17 (51,5%)

10 (30,3%)

33 (100%)

Penurunan pencapaian

15 (45,4%)

14 (42,4%)

4 (12,1%)

33 (100%)

Sumber: Data diolah, 2022

 

Tampak berdasarkan hasil wawancara tersebut bahwa sebagian besar perawat menunjukkan tingkat kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian kerja sedang hingga berat. Sejumlah perawat juga melaporkan gejala-gejala terkait stres kerja dan burnout, antara lain kelelahan fisik, kelelahan emosional, mudah marah, sikap sinis melihat orang lain, dan merasa kurang diapresiasi selama melaksanakan pekerjaan (Anggraeni, Irawan, Iklima, & Liliandari, 2021);(Barello, Palamenghi, & Graffigna, 2020). Perawat UPT Puskesmas Tarogong yang diwawancara menyatakan bahwa burnout ditimbulkan oleh beberapa faktor, termasuk stres kerja yang tinggi, jam kerja dan kelelahan fisik, dan kondisi di tempat kerja yang tidak nyaman.

Stres kerja merupakan fenomena yang dapat terjadi pada seluruh jenis pekerjaan. Stres kerja ditimbulkan oleh adanya ketidakcocokan antara tuntutan-tuntutan atau kewajiban di tempat kerja dibandingkan sumber daya yang dimiliki pegawai untuk memenuhi tuntutan tersebut (Kim & Wang, 2018). Stres kerja dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi pegawai.

Dalam kondisi stres kerja ringan, pegawai akan merasa lebih termotivasi untuk menyelesaikan pekerjaannya, dan dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas pekerjaan pegawai (Bhui, Dinos, Galant-Miecznikowska, de Jongh, & Stansfeld, 2016). Di sisi lain, stres sedang hingga berat, khususnya apabila terjadi secara berkepanjangan, dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi pegawai, baik dari aspek kesehatan fisik, kesehatan mental, maupun dalam aspek profesional (Prasad et al., 2021).

Untuk membantu mengurangi beban dan pengaruh stres kerja, terdapat berbagai pendekatan manajemen stres yang dapat dilakukan (Chen, Peng, Xu, & O�Brien, 2018). Piperopoulos (2016) dan Ghannam (2020) mendefinisikan manajemen stres sebagai strategi yang bertujuan untuk mengubah gaya hidup serta tindakan dan perilaku yang dapat mengendalikan stres serta menurunkan tingkat kecemasan. Terdapat sejumlah strategi manajemen stres, antara lain perubahan kebiasaan di tempat kerja, penggunaan alkohol dan obat-obatan, intervensi psikoterapeutik, meditasi, relaksasi, pelatihan autogenik, pelatihan biofeedback, dan kebugaran holistik (Piperopoulos, 2016).

Berdasarkan hasil wawancara, perawat di UPT Puskesmas Tarogong telah menerapkan sejumlah pendekatan manajemen stres, khususnya mencari dukungan dari rekan sejawat dan keluarga, melaksanakan kegiatan keagamaan seperti salat dan berdoa, mengobrol dan beristirahat bersama di tempat kerja, mengkonsumsi makanan, serta aktivitas lain seperti merokok.

Selain faktor stres, faktor lain yang berkontribusi terhadap timbulnya burnout pada perawat di UPT Puskesmas Tarogong adalah faktor workplace. Workplace secara umum didefinisikan sebagai lokasi, situasi, dan kondisi pegawai bekerja. Secara khusus, workplace mencakup faktor fisik di tempat kerja (suhu, peralatan, kebisingan, dll.), karakteristik pekerjaan (beban dan kompleksitas pekerjan), faktor organisasi (budaya dan riwayat tempat kerja), serta faktor-faktor ekstra organisasional (kondisi pasar, industri, kehidupan pegawai di luar pekerjaan). Faktor-faktor tersebut menentukan interaksi antara pegawai dengan pegawai lainnya, pegawai dengan atasan, serta interaksi pegawai dengan orang-orang lain dalam pekerjaannya (Soleimani & Mohammadi Hoseini, 2021).

Perawat di UPT Puskesmas Tarogong yang diwawancara menyampaikan sejumlah faktor workplace yang menimbulkan ketidaknyamanan serta mempengaruhi terjadinya burnout pada perawat. Beberapa faktor yang disampaikan adalah kurangnya apresiasi dari pasien dan rekan kerja, beban kerja yang terlalu tinggi, kesulitan mengatur kehidupan pekerjaan dan luar pekerjaan, kondisi fisik tempat kerja yang kurang nyaman, serta perasaan tidak aman dan khawatir akibat situasi pandemi Covid-19 yang berisiko menimbulkan penularan di tempat kerja (Bogar, 2020).

Dengan mempertimbangkan kondisi di UPT Puskesmas Tarogong serta pandemi Covid-19 yang masih berlanjut hingga saat ini, serta kondisi tenaga kesehatan perawat di UPT Puskesmas Tarogong, Kabupaten Garut yang merasakan stres kerja berat dan burnout, peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian yang berjudul �Pengaruh Workplace dan Manajemen Stres terhadap Burnout pada Perawat di Masa Pandemi Covid-19 (Studi Kasus di UPT Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut)�.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana gambaran workplace perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19? 2) Bagaimana gambaran manajemen stres perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19? 3) Bagaimana gambaran burnout perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19? 4) Bagaimana pengaruh workplace dan manajemen stres terhadap burnout pada perawat secara parsial maupun simultan di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19?

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis: 1) Gambaran kondisi workplace perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19; 2) Gambaran manajemen stres perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19; 3) Gambaran burnout perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19; 4) Pengaruh workplace dan manajemen stres terhadap burnout secara parsial maupun simultan pada perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi manajemen Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut mengenai kondisi workplace, manajemen stres, dan burnout pada tenaga perawat di masa pandemi Covid-19.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian terdiri atas desain penelitian yang digunakan, populasi dan sampel penelitian, tabel operasionalisasi variabel, teknik pengumpulan data yang digunakan, instrumen penelitian atau kuesioner, serta rancangan analisis statistik yang akan digunakan untuk menganalisis hasil penelitian. Objek penelitian merupakan tempat pelaksanaan penelitian yang akan menjadi titik fokus penelitian. Objek penelitian ini adalah UPT Puskesmas Tarogong, yang mengandung subjek penelitian serta variabel-variabel penelitian.

Penelitian ini merupakan suatu penelitian survei deskriptif verifikatif. Penelitian deskriptif verifikatif bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih, atau metode yang digunakan untuk menguji kebenaran dari suatu hipotesis. Survei merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam jumlah besar dari sekumpulan responden melalui penggunaan kuesioner yang diisi sendiri oleh responden. Penelitian ini menggunakan rancangan waktu cross-sectional, yang berarti pengambilan data variabel dependen dan independen dilakukan secara bersamaan. Penelitian ini akan menganalisis pengaruh workplace dan manajemen stres terhadap burnout pada perawat di masa pandemi Covid 19.

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di Puskesmas Tarogong. Seluruh populasi akan dijadikan sebagai responden penelitian, oleh karenanya penelitian ini merupakan penelitian sensus. Sumber data dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subjek atau responden penelitian, yang dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara, dan dokumentasi, yang dijabarkan sebagai berikut:

1.�� Kuesioner adalah teknik pengumpulan data melalui formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan terstandar yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan oleh peneliti. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, yang mencakup identitas,

2.�� Wawancara merupakan pendekatan pengumpulan data melalui tanya-jawab verbal secara tatap muka antara pewawancara dengan responden, yang memungkinkan identifikasi faktor-faktor di luar pertanyaan tertutup dalam kuesioner.

3.�� Dokumentasi mencakup pengamatan yang dilakukan oleh penulis di lokasi penelitian mengenai situasi di tempat kerja.

Data primer dalam penelitian ini mencakup data identitas responden, antara lain usia, jenis kelamin, lama bekerja di Puskesmas Tarogong, penghasilan per bulan, pendidikan terakhir, dan jabatan; serta data mengenai workplace, manajemen stres, dan burnout. Data sekunder mencakup informasi yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh pemerintah, UPT Puskesmas Tarogong, serta data dari literatur. Kuesioner dalam penelitian ini dirancang untuk mengidentifikasi faktor-faktor workplace serta pendekatan manajemen stres yang dapat memengaruhi burnout pada perawat di UPT Puskesmas Tarogong.

Kuesioner disebarkan secara langsung kepada perawat di Puskesmas Tarogong oleh peneliti dan diisi oleh masing-masing perawat. Wawancara singkat mengenai kondisi workplace, metode stres kerja, serta kondisi burnout yang dialami perawat dilakukan kepada masing-masing responden serta dengan tim manajemen UPT Puskesmas Tarogong. Terakhir, dokumentasi dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor workplace serta mengamati kondisi perawat di UPT Puskesmas Tarogong secara subjektif.

Instrumen penelitian ini merupakan kuesioner yang terdiri atas empat bagian utama. Kuesioner disebarkan secara langsung kepada perawat di UPT Puskesmas Tarogong, dan diisi sendiri oleh responden. Bagian pertama kuesioner berisi informasi serta informed consent bagi responden penelitian, serta kolom isian mengenai identitas responden yang mencakup usia, jenis kelamin, lama bekerja di Puskesmas Tarogong, penghasilan per bulan, pendidikan, dan jabatan.

Bagian kedua kuesioner berisi pertanyaan mengenai kondisi workplace di UPT Puskesmas Tarogong, yang diterjemahkan dari Quick Burnout Assessment yang dipublikasikan oleh Maslach dan Leiter (2005). Kuesioner QBA mengukur enam dimensi, yaitu workload, control, reward, community, fairness, dan values. Kuesioner workplace terdiri atas 12 pernyataan.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Karakteristik Responden

Demografi responden dijabarkan dalam tabel distribusi frekuensi berdasarkan usia, jenis kelamin, lama bekerja, jabatan, dan pendidikan. Usia dan lama bekerja dibagi menajdi tiga kelompok berdasarkan data minimal dan maksimal untuk penggolongan responden yang lebih jelas.

1.      Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

����� Rentang usia responden yang diperoleh dari kuesioner adalah 23 tahun untuk responden termuda hingga 57 tahun untuk usia tertua. Berdasarkan rentang tersebut, kelompok usia responden dibagi menjadi tiga rentang, yaitu 23-34 tahun, 35-46 tahun, dan 47-57 tahun. Karakteristik responden berdasarkan usia dijabarkan dalam Tabel 4.3.

Tabel 3 Karakteristik responden berdasarkan usia

Kelompok Usia

N

(%)

23-34 tahun

11

33,3%

35-46 tahun

18

54,5%

47-57 tahun

4

12,1%

Total

33

100,0%

 

Berdasarkan kelompok usia, tampak bahwa sebagian besar responden (54,5%) berusia 35-46 tahun. Kelompok usia dengan jumlah kedua terbanyak adalah 23-34 tahun (33,3%), dan hanya 12,1% perawat di UPT Puskesmas Tarogong yang berusia di antara 47-57 tahun.

 

2.      Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, tampak bahwa sebagian besar perawat di UPT Puskesmas Tarogong berjenis kelamin perempuan (69,7%). Selebihnya sebanyak 30,3% responden berjenis kelamin laki-laki. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dijabarkan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

N

(%)

Laki-laki

10

30,3%

Perempuan

23

69,7%

Total

33

100,0%

3.      Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Bekerja

Rentang lama bekerja responden di UPT Puskesmas Tarogong adalah 1 tahun hingga 26 tahun. Berdasarkan rentang tersebut, lama bekerja responden dibagi menjadi tiga rentang, yaitu 1-9 tahun, 10-18 tahun, dan 19-26 tahun. Karakteristik responden berdasarkan lama bekerja di UPT Puskesmas Tarogong dijabarkan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Karakteristik responden berdasarkan lama bekerja di UPT Puskesmas Tarogong

Lama Bekerja

N

(%)

1-9 tahun

22

66,6%

10-18 tahun

8

24,2%

19-26 tahun

3

9,1%

Total

33

100,0%

4.      Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan responden, seluruh responden merupakan lulusan pendidikan tinggi, sesuai dengan standar keprofesian perawatan yang mengharuskan pendidikan keperawatan setara D3 atau S1.

 

Tabel 6 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir.

Pendidikan Terakhir

N

(%)

Tidak sekolah

0

0,0%

SD

0

0,0%

SMP

�������������� 0

0,0%

SMA

0

0,0%

Pendidikan Tinggi

33

100,0%

Total

33

100,0%

 

B.     Kuesioner Workplace

Seperti dibahas dalam tinjauan oleh Leiter dan Maslach (2005), faktor-faktor workplace dibagi atas enam dimensi, yaitu workload, control, reward, community, fairness, dan values. Berdasarkan sumber tersebut, burnout dapat ditimbulkan oleh ketidakcocokan antara individu dengan satu atau lebih dimensi workplace tersebut. Dalam kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini, dimensi workload dinilai dengan 2 indikator; dimensi control dengan 1 indikator, dimensi reward dengan 2 indikator, dimensi community dengan 2 indikator, dimensi fairness dengan 2 indikator, dan dimensi values dengan 2 indikator. Data bagi masing-masing dimensi workplace dijabarkan lebih lengkap sebagai berikut.

1.      Dimensi Workload

Dimensi workload mengacu pada tingkat beban atau tuntutan pekerjaan yang diberikan kepada pegawai, di mana beban kerja yang terlalu tinggi akan menimbulkan tekanan bagi pegawai serta kekurangan waktu untuk melakukan pemulihan diri. Dimensi workload dinilai berdasarkan dua indikator, yaitu jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan dalam satu hari serta kejadian tidak disangka dalam satu hari. Hasil dimensi workload dijabarkan dalam Tabel 7.

 

Tabel 7 Distribusi dimensi workload

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

A01

Jumlah pekerjaan yang harus saya selesaikan dalam satu hari tidak berlebihan

14

3

13

3

71

53.79%

Cukup

A02

Tidak banyak kejadian yang tidak disangka dalam pelaksanaan pekerjaan saya sehari-hari

15

7

11

0

62

46.97%

Cukup

Workload

133

50.38%

Cukup

Sumber: Data diolah, 2022

 

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

2.      Dimensi Control

Dimensi control menunjukkan kendali yang dimiliki oleh pegawai dalam mengakses sumber daya yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaannya. Dalam hal ini, dimensi control dinilai berdasarkan tingkat partisipasi perawat dalam pengambilan keputusan yang dapat memengaruhi pekerjaannya. Gambaran distribusi dimensi control dijabarkan dalam Tabel 8.

 

Tabel 8 Distribusi dimensi control.

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

A03

Saya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi pekerjaan saya

1

16

16

0

81

61.36%

Cukup

Control

81

61.36%

Cukup

Sumber: Data diolah, 2022

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

 

3.      Dimensi Reward

Dimensi reward mengacu pada imbalan yang diperoleh pegawai dibandingkan jumlah dan beban kerja yang dilakukan. Imbalan yang diterima dapat berupa imbalan finansial, sosial, maupun intrinsik. Dimensi reward dinilai berdasarkan indikator adanya pengakuan dari atasan di tempat kerja serta kesempatan menerima bonus atau kenaikan pangkat. Gambaran dimensi reward dijabarkan dalam Tabel 9.

 

Tabel 9 Distribusi dimensi reward.

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

A04

Atasan saya memberikan pengakuan yang cukup atas pencapaian kinerja saya

12

9

12

0

66

50.00%

Cukup

A05

Saya memiliki kesempatan untuk menerima bonus atau menerima kenaikan pangkat dalam pekerjaan

12

5

13

3

73

55.30%

Cukup

Reward

139

52.65%

Cukup

Sumber: Data diolah, 2022

 

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

 

4.      Dimensi Community

Dimensi community merupakan adanya hubungan positif dengan rekan kerja atau atasan di tempat kerja. Community yang baik di lingkungan kerja akan menimbulkan perasaan diterima serta meningkatkan dukungan sosial yang diterima pegawai. Distribusi dimensi community dijabarkan dalam Tabel 10.

Tabel 10 Distribusi dimensi community.

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

A06

Saya merasa memiliki rekan kerja yang suportif di pekerjaan

0

4

27

2

97

73.48%

Tinggi

A07

Saya merasa memiliki hubungan pertemanan yang dekat di tempat kerja

0

6

21

6

99

75.00%

Tinggi

Community

196

74.24%

Tinggi

Sumber: Data diolah, 2022

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

 

5.      Dimensi Fairness

Dimensi fairness mengacu terhadap persepsi keadilan atau ketidakadilan beban kerja atau imbalan yang diterima antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Dimensi fairness dinilai berdasarkan pertimbangan manajemen yang adil bagi seluruh pegawai serta adanya prosedur yang jelas dan terbuka untuk memperoleh imbalan atau kenaikan pangkat. Hasil dimensi fairness dijabarkan dalam Tabel 11.

 

Tabel 11 Distribusi dimensi fairness

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

A08

Manajemen tempat saya bekerja memberikan pertimbangan yang adil bagi seluruh pegawai

14

6

13

0

65

49.24%

Cukup

A09

Di tempat saya bekerja, terdapat prosedur yang jelas dan terbuka untuk memperoleh imbalan atau kenaikan pangkat

11

10

11

1

68

51.52%

Cukup

Fairness

133

50.38%

Cukup

Sumber: Data diolah, 2022

 

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

 

6.      Dimensi Values

Dimensi values mengukur persepsi pegawai terhadap kecocokan nilai-nilai pekerjaan atau organisasi dengan nilai-nilai dan aspirasi pribadi pegawai. Dimensi values dinilai menggunakan dua indikator, yaitu persepsi mengenai potensi pekerjaan untuk berkontribusi kepada masyarakat dan kepercayaan pegawai terhadap misi organisasi memiliki makna yang baik. Hasil dimensi values dijabarkan dalam Tabel 12.

�

Tabel 12 Distribusi dimensi values

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

A10

Pekerjaan saya memiliki potensi yang baik untuk berkontribusi kepada masyarakat

0

3

18

12

108

81.82%

Sangat Tinggi

A11

Saya percaya bahwa misi organisasi tempat saya bekerja memiliki makna yang baik

0

2

24

7

104

78.79%

Tinggi

Values

212

80.30%

Tinggi

Sumber: Data diolah, 2022

 

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

 

C.    Kuesioner Manajemen Stres

Segmen manajemen stres dalam kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini menggali teknik-teknik manajemen stres yang diterapkan secara individual oleh perawat, maupun organisasional oleh UPT Puskesmas Tarogong dalam upaya mengurangi tingkat stres kerja yang dialami perawat. Manajemen stres dapat bertujuan untuk menghindarkan faktor kausal stres kerja, mengurangi berat dan durasi stres kerja, serta memberikan rehabilitasi serta memaksimalkan kinerja pada pegawai yang telah mengalami stres kerja kronis (Bhui et al., 2016). Sesuai dengan penelitian oleh Wickramasinghe (2010), manajemen stres dinilai berdasarkan empat dimensi, yaitu manajemen stres individual (5 indikator), kebijakan tempat kerja (4 indikator), dukungan tempat kerja (2 indikator), dan aktivitas destruktif (4 indikator).

1.      Dimensi Manajemen Stres Individual

Manajemen individual merupakan teknik atau pendekatan yang dilakukan oleh masing-masing pegawai untuk mengurangi tingkat stres kerja yang dirasakan sehari-hari. Terdapat empat indikator dalam dimensi manajemen individual, yaitu penggunaan teknik relaksasi pribadi, berbicara dengan pasangan atau keluarga, berolahraga, kebutuhan konseling atau perawatan medis, serta program spiritual atau relaksasi untuk menghadapi stres kerja. Hasil dimensi manajemen individual dijabarkan dalam Tabel 13.

 

Tabel 13 Distribusi dimensi manajemen stres individual

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

B01

Saya menggunakan teknik relaksasi pribadi (seperti mendengarkan musik) agar lebih santai saat bekerja

2

3

21

7

99

75.00%

Tinggi

B02

Saya berbicara dengan pasangan atau keluarga saya mengenai permasalahan di tempat kerja

1

4

22

6

99

75.00%

Tinggi

B03

Saya berolahraga secara rutin untuk mengurangi ketegangan

5

14

13

1

76

57.58%

Cukup

B04

Saya membutuhkan konseling atau perawatan medis untuk menghadapi stres saya di tempat kerja

15

9

9

0

60

45.45%

Cukup

B05

Saya mengikuti program spiritual atau relaksasi untuk menghadapi stres saya di tempat kerja

7

5

19

2

82

62.12%

Cukup

Manajemen Stres Individual

196

74.24%

Tinggi

Sumber: Data diolah, 2022

 

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

 

2.      Manajemen Kebijakan

Dimensi kebijakan tempat kerja mengacu pada kebijakan organisasional yang dapat mencegah dan mengurangi tingkat stres kerja beberapa pegawai secara bersamaan, antara lain yang diukur melalui empat indikator, yaitu fasilitas rekreasi, pelatihan manajemen stres, program kesehatan dan kebugaran, serta program spiritual atau meditasi. Hasil dimensi kebijakan tempat kerja dijabarkan dalam tabel 14.

 

Tabel 14 Distribusi dimensi kebijakan tempat kerja

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

B06

Tempat kerja menyediakan fasilitas rekreasi yang dapat saya gunakan

2

3

21

7

54

40,91%

Kurang

B07

Tempat kerja menyediakan pelatihan manajemen stres bagi pegawai

1

4

22

6

48

36,36%

Kurang

B08

Tempat kerja menyediakan program kesehatan dan kebugaran bagi pegawai

5

14

13

1

60

45,45%

Cukup

B09

Tempat kerja menyediakan program spiritual atau meditasi bagi pegawai

15

9

9

0

55

41,67%

Kurang

Kebijakan

217

41.10%

Kurang

Sumber: Data diolah, 2022

 

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

 

3.      Manajemen Dukungan Tempat Kerja

Dimensi dukungan tempat kerja menunjukkan dukungan dari rekan dan atasan pegawai di tempat kerja untuk membantu mengurangi tingkat stres pegawai. Dimensi tersebut diukur melalui dua indikator, yaitu kemampuan meminta saran dari atasan serta bantuan rekan sejawat dalam mengurangi ketegangan di tempat kerja. Hasil dimensi dukungan tempat kerja dijabarkan dalam Tabel 15.

 

Tabel 15 Distribusi dimensi dukungan tempat kerja

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

B10

Saya dapat meminta saran dari atasan untuk menyusun beban kerja harian saya

15

7

11

0

62

46.97%

Cukup

B11

Rekan sejawat saya selalu membantu saya untuk mengurangi ketegangan di tempat kerja

2

6

23

2

91

68.94%

Tinggi

Dukungan Tempat Kerja

153

57.95%

Cukup

Sumber: Data diolah, 2022

 

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

 

4.      Manajemen Destruktif

Aktivitas destruktif merupakan kegiatan yang merusak atau berdampak negatif bagi diri sendiri dan lingkungan yang digunakan sebagai pengalihan atau cara mengurangi stres kerja. Terdapat empat indikator dalam dimensi aktivitas destruktif, yaitu menjauhi orang lain, merokok, merusak barang, dan bersosialisasi di tempat hiburan.

Tabel 16 Distribusi dimensi aktivitas destruktif.

No

Indikator

Respons

Skor Total

%

Tingkat

1

2

3

4

B12

Saya seringkali menjauhi orang lain karena ingin sendirian

13

13

5

2

62

46.97%

Cukup

B13

Item dieliminasi

B14

Item dieliminasi

B15

Saya sering bersosialisasi dengan teman-teman saya di tempat hiburan di luar pekerjaan

13

5

13

2

70

53.03%

Cukup

Aktivitas Destruktif

132

50,00%

Cukup

Sumber: Data diolah, 2022

Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai berikut:

Workplace perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19 secara umum berada paada tingkat yang cukup.Pada� aspek workload, control, reward, dan fairness berada pada tingkat cukup, sedangkan nilai community dan values berada pada tingkat tinggi. Hal ini berarti masih dibutuhkan peningkatan dalam pengaturan beban kerja, pengambilan keputusan, komunikasi, serta sistem imbalan yang lebih transparan kepada� perawat di UPT Puskesmas Tarogong.

Manajemen stres perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19 dinilai berdasarkan empat dimensi, yaitu manajemen stres individual, kebijakan tempat kerja, dukungan tempat kerja, dan aktivitas destruktif. Perawat UPT Puskesmas Tarogong cenderung menggunakan metode manajemen stres individual untuk menghadapi stres kerja, yang disebabkan oleh belum adanya intervensi manajemen stres organisasional bagi perawat UPT Puskesmas Tarogong.

Burnout perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19 berada pada tingkat cukup yang ditandai tingkat depersonalisasi dan penurunan kinerja ringan, dan dihubungkan dengan tingkat gejala depresif, kualitas hubungan dengan atasan yang kurang baik, dukungan sosial yang lebih rendah, serta ekspresi emosional yang lebih rendah. Persepsi burnout tersebut menunjukkan bahwa dibutuhkan intervensi workplace dan manajemen stres di UPT Puskesmas Tarogong untuk mengurangi tingkat burnout.

Workplace dan manajemen stress terhadap burnout pada perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19 memiliki pengaruh negatif. Workplace memiliki pengaruh negatif terhadap burnout pada perawat UPT Puskesmas Tarogong, di mana kualitas workplace yang lebih baik akan menimbulkan nilai burnout yang lebih rendah. Hal ini berarti dibutuhkan peningkatan dalam aspek workplace perawat UPT Puskesmas Tarogong, khususnya dalam hal pembagian beban kerja, kendali pekerjaan, imbalan, serta keadilan. Manajemen stres memiliki pengaruh negatif terhadap burnout perawat UPT Puskesmas Tarogong, di mana manajemen stres yang lebih baik akan menimbulkan nilai burnout yang lebih rendah. Hal ini berarti dibutuhkan intervensi manajemen stres yang lebih efektif, khususnya dalam aspek intervensi organisasional. Workplace dan manajemen stres mempengaruhi burnout perawat UPT Puskesmas Tarogong, dan pengaruh workplace terhadap burnout lebih besar dibandingkan pengaruh manajemen stres. Hal ini berarti intervensi terhadap kondisi workplace perlu didahulukan dibandingkan intervensi manajemen stress.

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Anggraeni, Dhestirati Endang, Irawan, Erna, Iklima, Nurul, & Liliandari, Agita. (2021). Hubungan Beban Kerja Dengan Burnout Pada Perawat Ruang Isolasi Khusus (RIK) RSUD Kota Bandung Di Masa Pandemik COVID-19. Jurnal Keperawatan BSI, 9(2), 253�262.

 

Barello, Serena, Palamenghi, Lorenzo, & Grafigna, Guendalina. (2020). Burnout and somatic symptoms among frontline healthcare professionals at the peak of the Italian COVID-19 pandemic. Psychiatry Research, 290, 113129.

 

Bhui, Kamaldeep, Dinos, Sokratis, Galant-Miecznikowska, Magdalena, de Jongh, Bertine, & Stansfeld, Stephen. (2016). Perceptions of work stress causes and effective interventions in employees working in public, private and non-governmental organisations: a qualitative study. BJPsych Bulletin, 40(6), 318�325.

 

Bogar, Wilson. (2020). Pengaruh Lingkungan Kerja dan Karakteristik Pekerjaan terhadap Burnout, Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan Intention to Leave (Studi pada Pegawai Perum Pegadaian di Sulawesi Utara). Jurnal Aplikasi Manajemen, 9(4), 1465�1475.

 

Cabarkapa, Sonja, Nadjidai, Sarah E., Murgier, Jerome, & Ng, Chee H. (2020). The psychological impact of COVID-19 and other viral epidemics on frontline healthcare workers and ways to address it: A rapid systematic review. Brain, Behavior, & Immunity-Health, 8, 100144.

 

Chen, Yiwei, Peng, Yisheng, Xu, Huanzhen, & O�Brien, William H. (2018). Age differences in stress and coping: Problem-focused strategies mediate the relationship between age and positive affect. The International Journal of Aging and Human Development, 86(4), 347�363.

 

de Oliveira Souza, Diego. (2020). Health of nursing professionals: workload during the COVID-19 pandemic. Revista Brasileira de Medicina Do Trabalho, 18(4), 464.

 

Ghannam, Jess, Afana, Abdelhamid, Ho, Evelyn Y., Al-Khal, Abdullatif, & Bylund, Carma L. (2020). The impact of a stress management intervention on medical residents� stress and burnout. International Journal of Stress Management, 27(1), 65.

 

Hu, Ben, Guo, Hua, Zhou, Peng, & Shi, Zheng Li. (2021). Characteristics of SARS-CoV-2 and COVID-19. Nature Reviews Microbiology, 19(3), 141�154.

 

Kim, Sunhee, & Wang, Jaesun. (2018). The role of job demands�resources (JDR) between service workers� emotional labor and burnout: New directions for labor policy at local government. International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(12), 2894.

 

Maslach, Christina, & Leiter, Michael P. (2005). Reversing burnout. Standford Social Innovation Review, 34(4), 43�49.

 

Pich�-Renaud, Pierre Philippe, Groves, Helen E., Kitano, Taito, Arnold, Callum, Thomas, Angela, Streitenberger, Laurie, Alexander, Laura, & Morris, Shaun K. (2021). Healthcare worker perception of a global outbreak of novel coronavirus (COVID-19) and personal protective equipment: Survey of a pediatric tertiary-care hospital. Infection Control & Hospital Epidemiology, 42(3), 261�267.

 

Piperopoulos, Georgios P. (2016). Control Your Stress & Manage Your Time! London: Bookboon.

 

Prasad, Kriti, McLoughlin, Colleen, Stillman, Martin, Poplau, Sara, Goelz, Elizabeth, Taylor, Sam, Nankivil, Nancy, Brown, Roger, Linzer, Mark, & Cappelucci, Kyra. (2021). Prevalence and correlates of stress and burnout among US healthcare workers during the COVID-19 pandemic: a national cross-sectional survey study. EClinicalMedicine, 35.

 

Soleimani, Elham Sadat, & Mohammadi Hoseini, Seyed Ahmad. (2021). Testing the Structural Model of Job Characteristics, Organizational Climate and Extra-Organizational Factors on the Transfer of Education with the Role Mediation of Strategies Transfer. Journal of Managing Education in Organizations, 10(1), 125�148.

 

Wickramasinghe, Vathsala. (2010). Work‐related dimensions and job stress: the moderating effect of coping strategies. Stress and Health, 26(5), 417�429.

 

Copyright holder:

Mepy Nurana, Tasya Aspiranti, Sri Suwarsi (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: