Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
8, Agustus 2023
PENGARUH
WORKPLACE DAN MANAJEMEN STRES TERHADAP BURNOUT PADA PERAWAT DI MASA PANDEMI
COVID 19
Mepy Nurana, Tasya Aspiranti,
Sri Suwarsi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Bandung
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Di masa pandemi Covid-19,
perawat memiliki risiko burnout yang tinggi, karena tingginya stres kerja, beban
kerja, risiko infeksi Covid-19, melalui kontak erat dengan
pasien. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh faktor-faktor workplace serta manajemen stres terhadap burnout pada perawat UPT
Puskesmas Tarogong di masa pandemi Covid -19. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif verifikatif, dengan metode pengambilan
sampel sensus atau whole sampling, yaitu seluruh perawat di UPT Puskesmas Tarogong. Data primer dikumpulkan melalui wawancara serta survei menggunakan kuesioner Maslach Burnout Inventory, kuesioner
Quick Burnout Assessment, dan kuesioner manajemen stres. Pada kuesioner workplace untuk aspek workload, control, reward, dan fairness berada pada tingkat cukup, sedangkan nilai community dan values berada
pada tingkat tinggi artinya masih dibutuhkan
peningkatan dalam pengaturan beban kerja, pengambilan keputusan, komunikasi, serta sistem imbalan
yang lebih transparan kepada perawat di UPT Puskesmas Tarogong. Perawat cenderung menggunakan metode manajemen stres individual terutama menggunakan teknik relaksasi pribadi serta berdiskusi
dengan pasangan atau keluarga untuk
mengelola tingkat stres kerja. Burnout berada pada tingkat cukup yang ditandai tingkat depersonalisasi dan penurunan kinerja ringan. Workplace dan manajemen stres mempengaruhi burnout perawat UPT Puskesmas Tarogong, dan pengaruh workplace terhadap burnout lebih besar dibandingkan pengaruh manajemen stress sehingga dibutuhkan peningkatan dalam pengaturan beban kerja, pengambilan keputusan, dan komunikasi yang efektif terhadap perawat, juga dibutuhkan intervensi workplace dan manajemen
stres di Puskesmas untuk mengurangi tingkat burnout, sehingga�� manajemen�� perlu menerapkan program manajemen stres, baik secara
organisasional seperti diadakannya rekreasi�� untuk perawat, dan�� perlu membagi pembagian
beban kerja yang adil serta berdiskusi
secara aktif dengan perawat.
Kata
Kunci: Covid-19;
Burnout; Workplace; Manajemen Stres.
Abstract
During the Covid-19 pandemic, nurses have a high risk of burnout, due to high work
stress, workload, risk of COVID-19 infection, through close contact with
patients. This study aims to analyze the effect of workplace factors and stress
management on burnout in UPT Tarogong Health Center
nurses during the Covid-19 pandemic. This research is a verifiative
descriptive research, with a census sampling method or whole sampling, namely
all nurses at UPT Puskesmas Tarogong.
Primary data were collected through interviews and surveys using the Maslach
Burnout Inventory questionnaire, Quick Burnout Assessment questionnaire, and
stress management questionnaire. The workplace questionnaire for aspects of
workload, control, reward, and fairness is at a sufficient level, while
community values and values are at a high level, meaning that improvements are
still needed in workload management, decision making, communication, and a more
transparent reward system for nurses at UPT Puskesmas
Tarogong. Nurses tend to use individual stress
management methods, primarily using personal relaxation techniques as well as
discussions with spouses or families to manage work stress levels. Burnout is
at a considerable level that is characterized by a degree of depersonalization
and a mild decrease in performance. Workplace and stress management affect the
burnout of nurses UPT Puskesmas Tarogong,
and the effect of workplace on burnout is greater than the influence of stress
management so that improvements are needed in workload management, decision
making, and effective communication with nurses, also workplace intervention
and stress management are needed in Puskesmas to
reduce the level of burnout, so management needs to implement a stress
management program,� both
organizationally such as holding recreation for nurses, and it is necessary to divide
the distribution of workload fairly and actively discuss with nurses.
Keywords:
�COVID-19; Burnout;
Workplace; Stress Management.
Pendahuluan
Coronavirus disease 2019 atau
Covid-19 merupakan penyakit
infeksius yang disebabkan
oleh patogen Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus 2 (SARS-Cov-2). Covid-19 merupakan suatu penyakit baru yang belum pernah diidentifikasi pada manusia sebelum tahun 2019. Covid-19 merupakan penyakit dengan manifestasi utama pada sistem respirasi, yang memiliki infektivitas tinggi, serta dapat
menimbulkan gejala yang mengancam nyawa.
Covid-19 dilaporkan pertama kali pada tanggal 31 Desember 2019 oleh World Health Organization China Country
Office sebagai kasus
pneumonia yang tidak diketahui
etiologinya di kota Wuhan.
Pada tanggal 30 Januari 2020, WHO menetapkan
kejadian tersebut sebagai kedaruratan Kesehatan
Masyarakat yang meresahkan dunia, kemudian
pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan
Covid-19 sebagai pandemi (Hu,
Guo, Zhou, & Shi, 2021).
Covid-19 telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat global sejak awal tahun
2020 hingga saat ini. Per akhir Juni 2021, secara global, telah terjadi lebih dari
180 juta kasus terkonfirmasi Covid-19, yang telah
menimbulkan hampir 4 juta kematian. Di Indonesia, telah ditemukan lebih dari 2 juta
kasus terkonfirmasi Covid-19
dan lebih dari 58.000 kasus kematian akibat Covid-19 (Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan
Ekonomi Nasional, 2021).
Covid-19 telah menimbulkan beban yang signifikan terhadap sistem kesehatan di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Jawa
Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di
Indonesia. Berdasarkan data terakhir
yang didapat dari Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 tanggal 26
April 2022, dilaporkan terdapat
1.105.134 Kasus terkonfirmasi Covid-19, 2.294 kasus dalam perawatan, 1.087.088 selesai isolasi, dan 15.752 kasus meninggal dunia di Jawa
Barat. Di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten
Garut juga mengalami beban Covid-19 yang signifikan
selama tahun 2020-2022.
Satuan Gugus
Tugas Penanganan Covid-19 Garut mencatat secara
keseluruhan selama mewabahnya Covid-19 di Kabupaten Garut tercatat
kasus keseluruhan mencapai 86.043 orang, 30.859 kasus
terkonfirmasi positif Covid-19, 15.030 pasien
suspek, 40.150 pasien kontak erat, dan 4 kasus probable. Kasus Covid-19 masih terus bertambah di Kabupaten Garut, tercatat setiap harinya masih ada
yang dilaporkan kasus baru terkonfirmasi positif Covid-19. UPT Puskesmas Tarogong merupakan salah satu dari tiga
Puskesmas yang berada di
wilayah kerja Kecamatan Tarogong, Kabupaten Garut.
Wilayah kerja UPT Puskesmas
Tarogong membawahi lima desa, yaitu Desa Cimanganten, Tarogong, Jati, Tanjungkemuning, dan Pasawahan,
yang mencakup 56 RW dan 192 RT dengan
total sebanyak 56 Posyandu.
Jalur transportasi
ke Puskesmas dan antar desa dapat
dilalui dengan kendaraan roda dua dan empat. UPT Puskesmas Tarogong merupakan salah satu fasilitas kesehatan yang mengalami dampak signifikan dari pandemi Covid-19. UPT Puskesmas Tarogong merupakan Puskesmas dengan tempat perawatan
(DTP), yang sejak bulan
September 2020 telah menangani
kasus Covid-19 di wilayah kerjanya.
Tabel 1 menunjukkan angka kejadian Covid-19 di wilayah kerja
UPT Puskesmas Tarogong sejak Januari 2021.
Tabel 1 Data kasus
COVID-19 di wilayah kerja UPT Puskesmas
Tarogong, Kabupaten Garut,
Januari � April 2021
Kelurahan |
Bulan |
|||
Januari 2021 |
Februari 2021 |
Maret 2021 |
April 2021 |
|
Cimanganten |
11 |
5 |
25 |
3 |
Jati |
10 |
1 |
5 |
1 |
Pasawahan |
8 |
6 |
2 |
1 |
Tanjungkamuning |
15 |
5 |
10 |
6 |
Total |
44 |
17 |
42 |
11 |
Sumber: Data UPT Puskesmas Tarogong, 2021
Tenaga kesehatan merupakan lini pertama pelayanan
kesehatan di masa pandemi Covid-19.
Baik tenaga medis maupun paramedis mengalami peningkatan beban kerja yang signifikan selama masa pandemi Covid-19, mulai dari beban jumlah
pasien, kebutuhan penggunaan alat pelindung diri yang membebani aktivitas tenaga medis, serta
adanya pembatasan-pembatasan
tertentu di tempat kerja untuk mencegah
penularan Covid-19 (de Oliveira Souza, 2020);(Pich�-Renaud et al., 2021).
Selain itu, tenaga kesehatan juga memiliki risiko tinggi mengalami
transmisi Covid-19 melalui kontak erat dengan
pasien. Meskipun demikian, risiko kesehatan yang timbul pada tenaga kesehatan tidak hanya mencakup
permasalahan kesehatan fisik, namun juga permasalahan kesehatan mental (Cabarkapa, Nadjidai, Murgier, & Ng, 2020).
Berdasarkan Profil Puskesmas Tarogong Tahun 2020, perawat di Puskesmas Tarogong memiliki berbagai tugas rutin, antara lain menyiapkan ruangan rawat inap, menyiapkan
alat kesehatan, menyiapkan bahan habis pakai (BHP), menerima pasien baru, melakukan anamnesis awal terhadap pasien,
melakukan pemeriksaan fisik sederhana, melaporkan dan mengkonsultasikan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sekaligus mendampingi dokter, memberikan tindakan keperawatan sesuai standar prosedur operasional, dan melaksanakan advis dokter.
Selama masa pandemi Covid-19, tugas perawat bertambah untuk membantu dokter melakukan skrining awal kesehatan
pasien, kemudian mendampingi dokter melakukan uji swab sampai dengan pasien terkonfirmasi,
lalu melakukan penelusuran epidemiologi pada kasus kontak erat,
dan mempersiapkan proses rujukan
sesuai alur pasien Covid-19. Apabila terdapat pasien yang terkonfirmasi Covid-19 yang membutuhkan
perawatan namun rumah sakit rujukan
belum dapat menerima karena penuh, maka pasien
dirawat inap sementara di Puskesmas.
Lebih jauh, hingga bulan
Juni 2021, telah terdapat sejumlah tenaga kesehatan di Puskesmas Tarogong yang terpapar Covid-19 akibat kontak erat
dengan pasien. Pada bulan November 2020, terdapat 8
orang nakes yang terkonfirmasi
menderita Covid-19, diikuti
oleh 3 orang pada bulan Januari 2021, 32 orang pada bulan Maret 2021, dan 11 orang pada bulan
Mei 2021. Kondisi tersebut,
disertai dengan keterbatasan alat pelindung diri dan fasilitas di UPT Puskesmas Tarogong, berkontribusi terhadap terjadinya burnout pada tenaga kesehatan di Puskesmas Tarogong, khususnya pada tenaga perawat.
Burnout merupakan suatu sindrom psikologis yang ditimbulkan oleh paparan stresor kronis selama menjalankan pekerjaan yang menimbulkan perubahan persepsi serta respons seseorang
terhadap orang lain, kepedulian
terhadap orang lain, dehumanisasi
sebagai mekanisme pertahanan mental, dan proses atribusi.
Secara klasik, burnout ditandai oleh tiga dimensi utama, yaitu kelelahan, depersonalisasi, serta kurangnya efektivitas kerja. Berdasarkan wawancara pendahuluan yang dilaksanakan terhadap perawat di UPT Puskesmas Tarogong, sebagian besar perawat telah
mengalami burnout akibat stres yang berkepanjangan, yang ditunjukkan oleh nilai tinggi pada ketiga dimensi burnout. Hasil wawancara menggunakan Maslach Burnout Inventory pada perawat UPT Puskesmas Tarogong dijabarkan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Hasil wawancara
burnout pada perawat UPT Puskesmas
Tarogong.
Dimensi |
Ringan |
Sedang |
Berat |
Jumlah |
Kelelahan emosional |
10 (30,3%) |
15 (45,5%) |
8 (24,2%) |
33 (100%) |
Depersonalisasi |
6 (18,2%) |
17 (51,5%) |
10 (30,3%) |
33 (100%) |
Penurunan pencapaian |
15 (45,4%) |
14 (42,4%) |
4 (12,1%) |
33 (100%) |
Sumber: Data diolah, 2022
Tampak berdasarkan hasil
wawancara tersebut bahwa sebagian besar perawat menunjukkan
tingkat kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian kerja sedang hingga
berat. Sejumlah perawat juga melaporkan gejala-gejala terkait stres kerja dan burnout, antara lain kelelahan fisik, kelelahan emosional, mudah marah, sikap sinis
melihat orang lain, dan merasa
kurang diapresiasi selama melaksanakan pekerjaan (Anggraeni, Irawan, Iklima,
& Liliandari, 2021);(Barello, Palamenghi, &
Graffigna, 2020). Perawat UPT Puskesmas
Tarogong yang diwawancara menyatakan bahwa burnout ditimbulkan oleh beberapa faktor, termasuk stres kerja yang tinggi, jam kerja dan kelelahan fisik, dan kondisi di tempat kerja yang tidak nyaman.
Stres kerja merupakan
fenomena yang dapat terjadi pada seluruh jenis pekerjaan. Stres kerja ditimbulkan
oleh adanya ketidakcocokan antara tuntutan-tuntutan atau kewajiban di tempat kerja dibandingkan
sumber daya yang dimiliki pegawai untuk memenuhi tuntutan tersebut (Kim & Wang, 2018). Stres kerja
dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi pegawai.
Dalam kondisi stres
kerja ringan, pegawai akan merasa
lebih termotivasi untuk menyelesaikan pekerjaannya, dan dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas pekerjaan pegawai (Bhui, Dinos,
Galant-Miecznikowska, de Jongh, & Stansfeld, 2016). Di sisi lain, stres sedang hingga
berat, khususnya apabila terjadi secara berkepanjangan, dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi pegawai, baik
dari aspek kesehatan fisik, kesehatan mental, maupun dalam aspek profesional
(Prasad et al., 2021).
Untuk membantu mengurangi
beban dan pengaruh stres kerja, terdapat
berbagai pendekatan manajemen stres yang dapat dilakukan (Chen, Peng, Xu, &
O�Brien, 2018). Piperopoulos (2016) dan Ghannam (2020) mendefinisikan manajemen stres sebagai strategi yang bertujuan untuk mengubah gaya hidup serta
tindakan dan perilaku yang dapat mengendalikan stres serta menurunkan
tingkat kecemasan. Terdapat sejumlah strategi manajemen stres, antara lain perubahan kebiasaan di tempat kerja, penggunaan alkohol dan obat-obatan, intervensi psikoterapeutik, meditasi, relaksasi, pelatihan autogenik, pelatihan biofeedback, dan kebugaran
holistik (Piperopoulos, 2016).
Berdasarkan hasil wawancara,
perawat di UPT Puskesmas Tarogong telah menerapkan sejumlah pendekatan manajemen stres, khususnya mencari dukungan dari rekan sejawat
dan keluarga, melaksanakan kegiatan keagamaan seperti salat dan berdoa, mengobrol dan beristirahat bersama di tempat kerja, mengkonsumsi makanan, serta aktivitas lain seperti merokok.
Selain faktor stres,
faktor lain yang berkontribusi
terhadap timbulnya burnout
pada perawat di UPT Puskesmas
Tarogong adalah faktor workplace. Workplace secara
umum didefinisikan sebagai lokasi, situasi, dan kondisi pegawai bekerja. Secara khusus, workplace mencakup faktor fisik di tempat kerja (suhu, peralatan,
kebisingan, dll.), karakteristik pekerjaan (beban dan kompleksitas pekerjan), faktor organisasi (budaya dan riwayat tempat kerja), serta faktor-faktor
ekstra organisasional (kondisi pasar, industri, kehidupan pegawai di luar pekerjaan). Faktor-faktor tersebut menentukan interaksi antara pegawai dengan pegawai lainnya, pegawai dengan atasan, serta interaksi pegawai dengan orang-orang lain dalam pekerjaannya (Soleimani & Mohammadi
Hoseini, 2021).
Perawat di UPT Puskesmas Tarogong yang diwawancara menyampaikan sejumlah faktor workplace yang menimbulkan
ketidaknyamanan serta mempengaruhi terjadinya burnout
pada perawat. Beberapa faktor yang disampaikan adalah kurangnya apresiasi dari pasien dan rekan kerja, beban kerja
yang terlalu tinggi, kesulitan mengatur kehidupan pekerjaan dan luar pekerjaan, kondisi fisik tempat
kerja yang kurang nyaman, serta perasaan
tidak aman dan khawatir akibat situasi pandemi Covid-19
yang berisiko menimbulkan penularan di tempat kerja (Bogar, 2020).
Dengan mempertimbangkan kondisi di UPT Puskesmas Tarogong serta pandemi Covid-19 yang masih berlanjut hingga saat ini, serta
kondisi tenaga kesehatan perawat di UPT Puskesmas Tarogong, Kabupaten Garut yang merasakan stres kerja berat
dan burnout, peneliti tertarik
untuk melaksanakan penelitian yang berjudul �Pengaruh Workplace dan Manajemen Stres terhadap Burnout pada Perawat di Masa Pandemi Covid-19
(Studi Kasus di UPT Puskesmas Tarogong
Kabupaten Garut)�.
Berdasarkan latar belakang
diatas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana gambaran workplace perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19? 2) Bagaimana gambaran manajemen stres perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19? 3) Bagaimana gambaran burnout perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19? 4) Bagaimana pengaruh workplace dan manajemen stres terhadap burnout pada perawat secara parsial maupun simultan di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19?
Berdasarkan identifikasi masalah
yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis: 1) Gambaran kondisi workplace perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19; 2)
Gambaran manajemen stres perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19; 3) Gambaran burnout perawat
di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19; 4)
Pengaruh workplace dan manajemen
stres terhadap burnout secara parsial maupun simultan pada perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19.
Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi masukan bagi manajemen
Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut mengenai kondisi workplace, manajemen stres, dan burnout pada tenaga perawat di masa pandemi Covid-19.
Metode Penelitian
Metode penelitian terdiri atas desain
penelitian yang digunakan, populasi dan sampel penelitian, tabel operasionalisasi variabel, teknik pengumpulan data yang digunakan, instrumen penelitian atau kuesioner, serta rancangan analisis statistik yang akan digunakan untuk menganalisis hasil penelitian. Objek penelitian merupakan tempat pelaksanaan penelitian yang akan menjadi titik fokus
penelitian. Objek penelitian ini adalah UPT Puskesmas Tarogong, yang mengandung subjek penelitian serta variabel-variabel penelitian.
Penelitian ini merupakan
suatu penelitian survei deskriptif verifikatif. Penelitian deskriptif verifikatif bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih, atau
metode yang digunakan untuk menguji kebenaran
dari suatu hipotesis. Survei merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam jumlah besar dari
sekumpulan responden melalui penggunaan kuesioner yang diisi sendiri oleh responden. Penelitian ini menggunakan rancangan waktu cross-sectional, yang berarti
pengambilan data variabel dependen dan independen dilakukan secara bersamaan. Penelitian ini akan menganalisis
pengaruh workplace dan manajemen
stres terhadap burnout pada
perawat di masa pandemi
Covid 19.
Populasi merupakan keseluruhan
sumber data yang diperlukan
dalam suatu penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
perawat di Puskesmas Tarogong. Seluruh populasi akan dijadikan
sebagai responden penelitian, oleh karenanya penelitian ini merupakan penelitian sensus. Sumber data dalam penelitian ini mencakup data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan
data yang diperoleh secara langsung dari subjek
atau responden penelitian, yang dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara, dan dokumentasi, yang dijabarkan sebagai berikut:
1.�� Kuesioner adalah teknik pengumpulan data melalui formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan terstandar yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan oleh peneliti. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data penelitian,
yang mencakup identitas,
2.�� Wawancara merupakan pendekatan pengumpulan data melalui tanya-jawab verbal secara tatap muka
antara pewawancara dengan responden, yang memungkinkan identifikasi faktor-faktor di luar pertanyaan tertutup dalam kuesioner.
3.�� Dokumentasi mencakup pengamatan yang dilakukan oleh penulis di lokasi penelitian mengenai situasi di tempat kerja.
Data primer dalam penelitian ini mencakup data identitas responden, antara lain usia, jenis kelamin,
lama bekerja di Puskesmas Tarogong, penghasilan per bulan, pendidikan terakhir, dan jabatan; serta data mengenai workplace, manajemen stres, dan burnout. Data
sekunder mencakup informasi yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang dipublikasikan oleh pemerintah,
UPT Puskesmas Tarogong, serta data dari literatur. Kuesioner dalam penelitian ini dirancang untuk
mengidentifikasi faktor-faktor
workplace serta pendekatan manajemen stres yang dapat memengaruhi burnout pada perawat di UPT Puskesmas Tarogong.
Kuesioner disebarkan secara
langsung kepada perawat di Puskesmas Tarogong oleh peneliti dan diisi oleh masing-masing perawat.
Wawancara singkat mengenai kondisi workplace, metode stres kerja,
serta kondisi burnout yang dialami perawat dilakukan kepada masing-masing responden serta dengan tim manajemen
UPT Puskesmas Tarogong. Terakhir, dokumentasi dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
workplace serta mengamati kondisi perawat di UPT Puskesmas Tarogong secara subjektif.
Instrumen penelitian ini
merupakan kuesioner yang terdiri atas empat
bagian utama. Kuesioner disebarkan secara langsung kepada perawat di UPT Puskesmas Tarogong, dan diisi sendiri oleh responden. Bagian pertama kuesioner berisi informasi serta informed consent bagi responden penelitian, serta kolom isian mengenai
identitas responden yang mencakup usia, jenis kelamin, lama bekerja di Puskesmas Tarogong, penghasilan per bulan, pendidikan, dan jabatan.
Bagian kedua kuesioner
berisi pertanyaan mengenai kondisi workplace di UPT
Puskesmas Tarogong, yang diterjemahkan dari Quick Burnout
Assessment yang dipublikasikan oleh Maslach dan
Leiter (2005). Kuesioner QBA mengukur
enam dimensi, yaitu workload, control, reward, community, fairness, dan
values. Kuesioner workplace terdiri
atas 12 pernyataan.
Hasil dan Pembahasan
A. Karakteristik Responden
Demografi responden dijabarkan
dalam tabel distribusi frekuensi berdasarkan usia, jenis kelamin, lama bekerja, jabatan, dan pendidikan. Usia dan lama bekerja dibagi menajdi tiga kelompok
berdasarkan data minimal dan maksimal
untuk penggolongan responden yang lebih jelas.
1.
Karakteristik
Responden Berdasarkan Usia
����� Rentang usia responden
yang diperoleh dari kuesioner adalah 23 tahun untuk responden
termuda hingga 57 tahun untuk usia
tertua. Berdasarkan rentang tersebut, kelompok usia responden
dibagi menjadi tiga rentang, yaitu
23-34 tahun,
35-46 tahun, dan 47-57 tahun.
Karakteristik responden berdasarkan usia dijabarkan dalam Tabel 4.3.
Tabel
3 Karakteristik responden berdasarkan usia
Kelompok Usia |
N |
(%) |
23-34 tahun |
11 |
33,3% |
35-46 tahun |
18 |
54,5% |
47-57 tahun |
4 |
12,1% |
Total |
33 |
100,0% |
Berdasarkan kelompok
usia, tampak bahwa sebagian besar responden (54,5%) berusia 35-46 tahun. Kelompok usia dengan
jumlah kedua terbanyak adalah 23-34 tahun (33,3%), dan hanya 12,1% perawat di UPT Puskesmas Tarogong yang berusia di antara 47-57 tahun.
2. Karakteristik
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, tampak bahwa sebagian besar perawat di UPT Puskesmas Tarogong berjenis kelamin perempuan (69,7%). Selebihnya sebanyak 30,3% responden berjenis kelamin laki-laki. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dijabarkan
dalam Tabel 4.
Tabel
4 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin |
N |
(%) |
Laki-laki |
10 |
30,3% |
Perempuan |
23 |
69,7% |
Total |
33 |
100,0% |
Rentang lama bekerja responden di UPT Puskesmas Tarogong adalah 1 tahun hingga 26 tahun. Berdasarkan rentang tersebut, lama bekerja responden dibagi menjadi tiga rentang, yaitu 1-9 tahun, 10-18 tahun, dan 19-26 tahun. Karakteristik responden berdasarkan lama bekerja di UPT Puskesmas Tarogong dijabarkan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Karakteristik responden berdasarkan lama bekerja di UPT Puskesmas Tarogong
Lama Bekerja |
N |
(%) |
1-9 tahun |
22 |
66,6% |
10-18 tahun |
8 |
24,2% |
19-26 tahun |
3 |
9,1% |
Total |
33 |
100,0% |
Berdasarkan tingkat pendidikan responden, seluruh responden merupakan lulusan pendidikan tinggi, sesuai dengan standar keprofesian perawatan yang mengharuskan pendidikan keperawatan setara D3 atau S1.
Tabel 6 Karakteristik
responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir.
Pendidikan Terakhir |
N |
(%) |
Tidak sekolah |
0 |
0,0% |
SD |
0 |
0,0% |
SMP |
�������������� 0 |
0,0% |
SMA |
0 |
0,0% |
Pendidikan
Tinggi |
33 |
100,0% |
Total |
33 |
100,0% |
B. Kuesioner
Workplace
Seperti dibahas
dalam tinjauan oleh Leiter
dan Maslach (2005), faktor-faktor
workplace dibagi atas enam dimensi, yaitu
workload, control, reward, community, fairness, dan values. Berdasarkan
sumber tersebut, burnout dapat ditimbulkan oleh ketidakcocokan antara individu dengan satu atau lebih
dimensi workplace tersebut.
Dalam kuesioner yang digunakan
dalam penelitian ini, dimensi workload dinilai dengan 2 indikator; dimensi control dengan 1 indikator, dimensi reward dengan 2 indikator, dimensi community dengan 2 indikator, dimensi fairness dengan 2 indikator, dan dimensi values dengan 2 indikator. Data bagi masing-masing dimensi
workplace dijabarkan lebih lengkap sebagai berikut.
1. Dimensi
Workload
Dimensi workload mengacu
pada tingkat beban atau tuntutan pekerjaan
yang diberikan kepada pegawai, di mana beban kerja yang terlalu tinggi akan menimbulkan
tekanan bagi pegawai serta kekurangan
waktu untuk melakukan pemulihan diri. Dimensi workload dinilai berdasarkan dua indikator, yaitu jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan dalam satu hari
serta kejadian tidak disangka dalam satu hari.
Hasil dimensi workload dijabarkan
dalam Tabel 7.
Tabel
7 Distribusi dimensi
workload
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
A01 |
Jumlah pekerjaan yang harus saya
selesaikan dalam satu hari tidak berlebihan |
14 |
3 |
13 |
3 |
71 |
53.79% |
Cukup |
A02 |
Tidak banyak kejadian yang tidak
disangka dalam pelaksanaan pekerjaan saya sehari-hari |
15 |
7 |
11 |
0 |
62 |
46.97% |
Cukup |
Workload |
133 |
50.38% |
Cukup |
Sumber: Data diolah, 2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
Dimensi control menunjukkan kendali yang dimiliki oleh pegawai dalam mengakses sumber daya yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaannya. Dalam hal ini, dimensi control dinilai berdasarkan tingkat partisipasi perawat dalam pengambilan keputusan yang dapat memengaruhi pekerjaannya. Gambaran distribusi dimensi control dijabarkan dalam Tabel 8.
Tabel 8 Distribusi dimensi control.
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
A03 |
Saya berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan yang mempengaruhi pekerjaan saya |
1 |
16 |
16 |
0 |
81 |
61.36% |
Cukup |
Control |
81 |
61.36% |
Cukup |
Sumber: Data diolah, 2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
Dimensi reward mengacu pada imbalan yang diperoleh pegawai dibandingkan jumlah dan beban kerja yang dilakukan. Imbalan yang diterima dapat berupa imbalan finansial, sosial, maupun intrinsik. Dimensi reward dinilai berdasarkan indikator adanya pengakuan dari atasan di tempat kerja serta kesempatan menerima bonus atau kenaikan pangkat. Gambaran dimensi reward dijabarkan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Distribusi dimensi reward.
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
A04 |
Atasan saya memberikan pengakuan
yang cukup atas pencapaian kinerja saya |
12 |
9 |
12 |
0 |
66 |
50.00% |
Cukup |
A05 |
Saya memiliki kesempatan untuk
menerima bonus atau menerima kenaikan pangkat dalam pekerjaan |
12 |
5 |
13 |
3 |
73 |
55.30% |
Cukup |
Reward |
139 |
52.65% |
Cukup |
Sumber: Data diolah, 2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
Dimensi community merupakan adanya hubungan positif dengan rekan kerja atau atasan di tempat kerja. Community yang baik di lingkungan kerja akan menimbulkan perasaan diterima serta meningkatkan dukungan sosial yang diterima pegawai. Distribusi dimensi community dijabarkan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Distribusi dimensi community.
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
A06 |
Saya merasa memiliki rekan kerja
yang suportif di pekerjaan |
0 |
4 |
27 |
2 |
97 |
73.48% |
Tinggi |
A07 |
Saya merasa memiliki hubungan
pertemanan yang dekat di tempat kerja |
0 |
6 |
21 |
6 |
99 |
75.00% |
Tinggi |
Community |
196 |
74.24% |
Tinggi |
Sumber: Data diolah, 2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
Dimensi fairness mengacu terhadap persepsi keadilan atau ketidakadilan beban kerja atau imbalan yang diterima antara satu pegawai dengan pegawai lainnya. Dimensi fairness dinilai berdasarkan pertimbangan manajemen yang adil bagi seluruh pegawai serta adanya prosedur yang jelas dan terbuka untuk memperoleh imbalan atau kenaikan pangkat. Hasil dimensi fairness dijabarkan dalam Tabel 11.
Tabel 11 Distribusi dimensi fairness
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
A08 |
Manajemen tempat saya bekerja
memberikan pertimbangan yang adil bagi seluruh pegawai |
14 |
6 |
13 |
0 |
65 |
49.24% |
Cukup |
A09 |
Di tempat saya bekerja, terdapat
prosedur yang jelas dan terbuka untuk memperoleh imbalan atau kenaikan
pangkat |
11 |
10 |
11 |
1 |
68 |
51.52% |
Cukup |
Fairness |
133 |
50.38% |
Cukup |
Sumber: Data diolah, 2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
6. Dimensi
Values
Dimensi values mengukur persepsi pegawai terhadap kecocokan nilai-nilai pekerjaan atau organisasi dengan nilai-nilai dan aspirasi pribadi pegawai. Dimensi values dinilai menggunakan dua indikator, yaitu persepsi mengenai potensi pekerjaan untuk berkontribusi kepada masyarakat dan kepercayaan pegawai terhadap misi organisasi memiliki makna yang baik. Hasil dimensi values dijabarkan dalam Tabel 12.
�
Tabel 12 Distribusi dimensi values
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
A10 |
Pekerjaan saya memiliki potensi
yang baik untuk berkontribusi kepada masyarakat |
0 |
3 |
18 |
12 |
108 |
81.82% |
Sangat Tinggi |
A11 |
Saya percaya bahwa misi organisasi
tempat saya bekerja memiliki makna yang baik |
0 |
2 |
24 |
7 |
104 |
78.79% |
Tinggi |
Values |
212 |
80.30% |
Tinggi |
Sumber: Data diolah, 2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
C. Kuesioner
Manajemen Stres
Segmen manajemen stres dalam kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini menggali teknik-teknik manajemen stres yang diterapkan secara individual oleh perawat, maupun organisasional oleh UPT Puskesmas Tarogong dalam upaya mengurangi tingkat stres kerja yang dialami perawat. Manajemen stres dapat bertujuan untuk menghindarkan faktor kausal stres kerja, mengurangi berat dan durasi stres kerja, serta memberikan rehabilitasi serta memaksimalkan kinerja pada pegawai yang telah mengalami stres kerja kronis (Bhui et al., 2016). Sesuai dengan penelitian oleh Wickramasinghe (2010), manajemen stres dinilai berdasarkan empat dimensi, yaitu manajemen stres individual (5 indikator), kebijakan tempat kerja (4 indikator), dukungan tempat kerja (2 indikator), dan aktivitas destruktif (4 indikator).
1. Dimensi
Manajemen Stres Individual
Manajemen individual merupakan
teknik atau pendekatan yang dilakukan oleh
masing-masing pegawai untuk
mengurangi tingkat stres kerja yang dirasakan sehari-hari. Terdapat empat indikator dalam dimensi manajemen individual, yaitu penggunaan teknik relaksasi pribadi, berbicara dengan pasangan atau keluarga, berolahraga, kebutuhan konseling atau perawatan medis, serta program spiritual atau relaksasi untuk menghadapi stres kerja. Hasil dimensi manajemen individual dijabarkan dalam Tabel 13.
Tabel 13 Distribusi dimensi manajemen stres individual
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
B01 |
Saya menggunakan teknik relaksasi
pribadi (seperti mendengarkan musik) agar lebih santai saat bekerja |
2 |
3 |
21 |
7 |
99 |
75.00% |
Tinggi |
B02 |
Saya berbicara dengan pasangan atau
keluarga saya mengenai permasalahan di tempat kerja |
1 |
4 |
22 |
6 |
99 |
75.00% |
Tinggi |
B03 |
Saya berolahraga secara rutin untuk
mengurangi ketegangan |
5 |
14 |
13 |
1 |
76 |
57.58% |
Cukup |
B04 |
Saya membutuhkan konseling atau
perawatan medis untuk menghadapi stres saya di tempat kerja |
15 |
9 |
9 |
0 |
60 |
45.45% |
Cukup |
B05 |
Saya mengikuti program spiritual
atau relaksasi untuk menghadapi stres saya di tempat kerja |
7 |
5 |
19 |
2 |
82 |
62.12% |
Cukup |
Manajemen Stres Individual |
196 |
74.24% |
Tinggi |
Sumber: Data diolah, 2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
2.
Manajemen Kebijakan
Dimensi kebijakan tempat kerja mengacu pada kebijakan organisasional yang dapat mencegah dan mengurangi tingkat stres kerja beberapa pegawai secara bersamaan, antara lain yang diukur melalui empat indikator, yaitu fasilitas rekreasi, pelatihan manajemen stres, program kesehatan dan kebugaran, serta program spiritual atau meditasi. Hasil dimensi kebijakan tempat kerja dijabarkan dalam tabel 14.
Tabel 14 Distribusi dimensi kebijakan tempat kerja
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
B06 |
Tempat kerja menyediakan fasilitas
rekreasi yang dapat saya gunakan |
2 |
3 |
21 |
7 |
54 |
40,91% |
Kurang |
B07 |
Tempat kerja menyediakan pelatihan
manajemen stres bagi pegawai |
1 |
4 |
22 |
6 |
48 |
36,36% |
Kurang |
B08 |
Tempat kerja menyediakan program
kesehatan dan kebugaran bagi pegawai |
5 |
14 |
13 |
1 |
60 |
45,45% |
Cukup |
B09 |
Tempat kerja menyediakan program
spiritual atau meditasi bagi pegawai |
15 |
9 |
9 |
0 |
55 |
41,67% |
Kurang |
Kebijakan |
217 |
41.10% |
Kurang |
Sumber: Data diolah,
2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
Dimensi dukungan tempat kerja menunjukkan dukungan dari rekan dan atasan pegawai di tempat kerja untuk membantu mengurangi tingkat stres pegawai. Dimensi tersebut diukur melalui dua indikator, yaitu kemampuan meminta saran dari atasan serta bantuan rekan sejawat dalam mengurangi ketegangan di tempat kerja. Hasil dimensi dukungan tempat kerja dijabarkan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Distribusi dimensi dukungan tempat kerja
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
B10 |
Saya dapat meminta saran dari
atasan untuk menyusun beban kerja harian saya |
15 |
7 |
11 |
0 |
62 |
46.97% |
Cukup |
B11 |
Rekan sejawat saya selalu membantu
saya untuk mengurangi ketegangan di tempat kerja |
2 |
6 |
23 |
2 |
91 |
68.94% |
Tinggi |
Dukungan Tempat Kerja |
153 |
57.95% |
Cukup |
Sumber: Data diolah, 2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
Aktivitas destruktif merupakan kegiatan yang merusak atau berdampak negatif bagi diri sendiri dan lingkungan yang digunakan sebagai pengalihan atau cara mengurangi stres kerja. Terdapat empat indikator dalam dimensi aktivitas destruktif, yaitu menjauhi orang lain, merokok, merusak barang, dan bersosialisasi di tempat hiburan.
Tabel 16 Distribusi dimensi aktivitas destruktif.
No |
Indikator |
Respons |
Skor Total |
% |
Tingkat |
|||
1 |
2 |
3 |
4 |
|||||
B12 |
Saya seringkali menjauhi orang lain
karena ingin sendirian |
13 |
13 |
5 |
2 |
62 |
46.97% |
Cukup |
B13 |
Item dieliminasi |
|||||||
B14 |
Item dieliminasi |
|||||||
B15 |
Saya sering bersosialisasi dengan
teman-teman saya di tempat hiburan di luar pekerjaan |
13 |
5 |
13 |
2 |
70 |
53.03% |
Cukup |
Aktivitas Destruktif |
132 |
50,00% |
Cukup |
Sumber: Data diolah, 2022
Hasil pengolahan data tanggapan responden mengenai dimensi penurunan capaian kerja dapat divisualisasikan pada daerah kontinum.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan
penelitian sebagai berikut:
Workplace
perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19 secara umum berada paada
tingkat yang cukup.Pada� aspek workload,
control, reward, dan fairness berada pada tingkat cukup, sedangkan nilai community dan
values berada pada tingkat tinggi. Hal ini berarti masih dibutuhkan
peningkatan dalam pengaturan beban kerja, pengambilan keputusan, komunikasi, serta sistem imbalan
yang lebih transparan kepada� perawat di
UPT Puskesmas Tarogong.
Manajemen stres perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19
dinilai berdasarkan empat dimensi, yaitu manajemen stres individual, kebijakan tempat kerja, dukungan
tempat kerja, dan aktivitas destruktif. Perawat UPT Puskesmas Tarogong cenderung menggunakan metode manajemen stres individual untuk menghadapi stres kerja, yang disebabkan oleh belum adanya intervensi manajemen stres organisasional bagi perawat UPT Puskesmas Tarogong.
Burnout
perawat di Puskesmas Tarogong Kabupaten Garut di masa pandemi Covid-19 berada pada tingkat cukup yang ditandai tingkat depersonalisasi dan penurunan kinerja ringan, dan dihubungkan dengan tingkat gejala depresif, kualitas hubungan dengan atasan yang kurang baik, dukungan sosial yang lebih rendah, serta ekspresi
emosional yang lebih rendah. Persepsi burnout tersebut menunjukkan bahwa dibutuhkan intervensi workplace dan manajemen
stres di UPT Puskesmas Tarogong untuk mengurangi tingkat burnout.
Workplace
dan manajemen stress terhadap
burnout pada perawat di Puskesmas
Tarogong Kabupaten Garut di
masa pandemi Covid-19 memiliki
pengaruh negatif. Workplace
memiliki pengaruh negatif terhadap burnout pada perawat UPT Puskesmas Tarogong, di mana kualitas
workplace yang lebih baik akan menimbulkan nilai burnout yang lebih rendah. Hal ini berarti dibutuhkan peningkatan dalam aspek workplace perawat UPT Puskesmas Tarogong, khususnya dalam hal pembagian beban
kerja, kendali pekerjaan, imbalan, serta keadilan. Manajemen stres memiliki pengaruh negatif terhadap burnout perawat UPT Puskesmas Tarogong, di mana manajemen stres yang lebih baik akan menimbulkan
nilai burnout yang lebih rendah. Hal ini berarti dibutuhkan intervensi manajemen stres yang lebih efektif, khususnya dalam aspek intervensi
organisasional. Workplace dan manajemen
stres mempengaruhi burnout perawat UPT Puskesmas Tarogong, dan pengaruh workplace terhadap burnout lebih besar dibandingkan pengaruh manajemen stres. Hal ini berarti intervensi terhadap kondisi workplace perlu didahulukan dibandingkan intervensi manajemen stress.
Anggraeni, Dhestirati Endang, Irawan, Erna, Iklima,
Nurul, & Liliandari, Agita. (2021). Hubungan Beban Kerja Dengan Burnout
Pada Perawat Ruang Isolasi Khusus (RIK) RSUD Kota Bandung Di Masa Pandemik
COVID-19. Jurnal Keperawatan BSI, 9(2), 253�262.
Barello,
Serena, Palamenghi, Lorenzo, & Grafigna, Guendalina. (2020). Burnout and
somatic symptoms among frontline healthcare professionals at the peak of the
Italian COVID-19 pandemic. Psychiatry Research, 290, 113129.
Bhui,
Kamaldeep, Dinos, Sokratis, Galant-Miecznikowska, Magdalena, de Jongh, Bertine,
& Stansfeld, Stephen. (2016). Perceptions of work stress causes and
effective interventions in employees working in public, private and
non-governmental organisations: a qualitative study. BJPsych Bulletin, 40(6),
318�325.
Bogar,
Wilson. (2020). Pengaruh Lingkungan Kerja dan Karakteristik Pekerjaan terhadap
Burnout, Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan Intention to Leave (Studi pada
Pegawai Perum Pegadaian di Sulawesi Utara). Jurnal Aplikasi Manajemen, 9(4),
1465�1475.
Cabarkapa,
Sonja, Nadjidai, Sarah E., Murgier, Jerome, & Ng, Chee H. (2020). The
psychological impact of COVID-19 and other viral epidemics on frontline
healthcare workers and ways to address it: A rapid systematic review. Brain,
Behavior, & Immunity-Health, 8, 100144.
Chen,
Yiwei, Peng, Yisheng, Xu, Huanzhen, & O�Brien, William H. (2018). Age
differences in stress and coping: Problem-focused strategies mediate the
relationship between age and positive affect. The International Journal of
Aging and Human Development, 86(4), 347�363.
de
Oliveira Souza, Diego. (2020). Health of nursing professionals: workload during
the COVID-19 pandemic. Revista Brasileira de Medicina Do Trabalho, 18(4),
464.
Ghannam,
Jess, Afana, Abdelhamid, Ho, Evelyn Y., Al-Khal, Abdullatif, & Bylund,
Carma L. (2020). The impact of a stress management intervention on medical
residents� stress and burnout. International Journal of Stress Management,
27(1), 65.
Hu,
Ben, Guo, Hua, Zhou, Peng, & Shi, Zheng Li. (2021). Characteristics of
SARS-CoV-2 and COVID-19. Nature Reviews Microbiology, 19(3),
141�154.
Kim,
Sunhee, & Wang, Jaesun. (2018). The role of job demands�resources (JDR)
between service workers� emotional labor and burnout: New directions for labor
policy at local government. International Journal of Environmental Research
and Public Health, 15(12), 2894.
Maslach,
Christina, & Leiter, Michael P. (2005). Reversing burnout. Standford
Social Innovation Review, 34(4), 43�49.
Pich�-Renaud,
Pierre Philippe, Groves, Helen E., Kitano, Taito, Arnold, Callum, Thomas,
Angela, Streitenberger, Laurie, Alexander, Laura, & Morris, Shaun K.
(2021). Healthcare worker perception of a global outbreak of novel coronavirus
(COVID-19) and personal protective equipment: Survey of a pediatric
tertiary-care hospital. Infection Control & Hospital Epidemiology, 42(3),
261�267.
Piperopoulos,
Georgios P. (2016). Control Your Stress & Manage Your Time! London:
Bookboon.
Prasad,
Kriti, McLoughlin, Colleen, Stillman, Martin, Poplau, Sara, Goelz, Elizabeth,
Taylor, Sam, Nankivil, Nancy, Brown, Roger, Linzer, Mark, & Cappelucci,
Kyra. (2021). Prevalence and correlates of stress and burnout among US
healthcare workers during the COVID-19 pandemic: a national cross-sectional
survey study. EClinicalMedicine, 35.
Soleimani,
Elham Sadat, & Mohammadi Hoseini, Seyed Ahmad. (2021). Testing the
Structural Model of Job Characteristics, Organizational Climate and
Extra-Organizational Factors on the Transfer of Education with the Role
Mediation of Strategies Transfer. Journal of Managing Education in
Organizations, 10(1), 125�148.
Wickramasinghe,
Vathsala. (2010). Work‐related dimensions and job stress: the moderating
effect of coping strategies. Stress and Health, 26(5), 417�429.
Copyright holder: Mepy Nurana, Tasya Aspiranti, Sri Suwarsi (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |