Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022

 

LITERATURE REVIEW: PERKEMBANGAN PENYAKIT MORBUS HANSEN PADA MANUSIA KUNO DAN MANUSIA MODERN

 

Intan Sari Nuraini, Ashfyatus Sa�idah

Forensic Sciences, Postgraduate School, Universitas Airlangga, Indonesia

Email: [email protected], ashfyatus.saidah[email protected]

�

Abstrak

Morbus Hansen atau kusta merupakan penyakit lama yang penyebarannya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium lepraei. Morbus Hansen menyerang kulit, saraf tepi dan sistem pernafasan. Penyakit ini menimbulkan berbagai masalah diantaranya dari medis, sosial, ekonomi budaya dan mental. Penyakit ini memiliki hubungan yang erat dengan peradaban manusia penyakit ini ditulis dalam kitab- kitab kuno misalnya kitab Sushrat Samhita dan Kashilya's Arthashastra pada abad ke-6 SM dan bukti arkeologis di Afrika dan Asia pada masa prasejarah juga memberikan indikasi bahwa penyakit ini sudah ada sejak lama. Pada masa sekarang Morbus Hansen masih eksis di Indonesia dengan menduduki posisi nomor 3 dengan 16.825 kasus dengan angka kecacatan 6,82 orang per satu juta penduduk. Morbus Hansen merupakan penyakit yang tidak diwariskan atau diturunkan. Namun� informasi terbaru menyebutkan adanya tujuh versi mutasi gen yang muncul pada orang-orang penderita kusta. Lima gen diantaranya terlibat dalam pengaturan sistem kekebalan tubuh yang dapat meningkatkan kerentanan terkena kusta dan studi tersebut membuktikan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik.

 

Kata Kunci: Morbus Hansen, Penyebaran dan Dampak, Kitab Kuno dan Bukti Arkeologis.

 

Abstract

Morbus Hansen or leprosy is an old disease caused by the bacterium Mycobacterium leprae. Morbus Hansen attacks the skin, peripheral nerves and the respiratory system. This disease causes various problems including medical, social, economic, cultural and mental. This disease has a close relationship with human civilization. This disease is written in ancient books such as the Sushrat Samhita and Kashilya's Arthashastra in the 6th century BC and archaeological evidence in Africa and Asia in prehistoric times also indicates that this disease has existed for a long time. In the present time, Indonesia is the third country with most Morbus Hansen cases. There are 16,825 cases with a disability rate of 6.82 people per one million population. Morbus Hansen is a disease that is not inherited. However, the latest information states that there are seven versions of the gene mutation that appear in people with leprosy. Five of these genes are involved in regulating the immune system which can increase susceptibility to leprosy and the study proves that it is influenced by genetic factors.se susceptibility to leprosy and the study proves that it is influenced by genetic factors.

 

Keywords: Morbus Hansen, Dissemination and Impact, Ancient Scriptures and Archaeological Evidence.

 

Pendahuluan

Morbus Hansen merupakan penyakit lama yang penyebarannya sama dengan peradaban manusia. Morbus Hansen atau disebut kusta atau lepra ini adalah suatu penyakit granuloma kronik progresif jangka lama yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang saraf tepi, kulit, saluran pernapasan bagian atas, tulang,� mata, otot dan alat reproduksi kecuali sistem saraf pusat. Penyakit ini dapat disembuhkan, namun harus dilakukan dengan cepat dan tepat sehingga tidak menyebabkan kecacatan pada saraf motorik, otonom atau sensorik. Dalam pemulihan penyakit ini membutuhkan waktu yang lama dan dapat mengakibatkan kecacatan dan masalah psikososial akibat adanya stigma yang buruk pada penyakit ini (Kafiluddin, 2010).

����������� Penularan penyakit Morbus Hansen dapat melalui kontak kulit yang lama dengan penderita, inhalasi atau dengan hirupan udara karena bakteri Mycobacterium leprae dapat bertahan hidup beberapa hari di udara dalam bentuk droplet yang dihembuskan dari saluran pernafasan. Beberapa faktor yang mempengaruhi M. leprae antara lain lama kontak, keeratan, status gizi, status imun, dan lingkungan. Penyakit ini merupakan penyakit yang tidak mudah menular dan penderita yang terinfeksi biasanya akan sembuh dengan sendirinya dengan kekebalan tubuh masing- masing. Penyakit ini membutuhkan waktu inkubasi yang cukup lama yaitu 3 tahun hingga 5 tahun dari tertular hingga menimbulkan adanya gejala. Gejala utama penyakit ini adalah timbulnya bercak putih pada permukaan kulit berbentuk benjolan yang tidak hilang dalam beberapa waktu serta adanya kebas dan pelemahan pada bagian otot (Rosita, et al 2015)

����������� Morbus Hansen banyak disebutkan dan ditulis dalam kitab-kitab kuno karena penyakit ini merupakan penyakit lama dan erat hubungannya dengan peradaban manusia. Penyakit ini ditulis dalam kitab Sushrat Samhita di zaman India Kuno (1300 SM), sejarah kuno Mesir, Tiongkok dan Mesopotamia selain itu juga ditulis dalam kitab-kitab keagamaan yang menceritakan tentang penderita yang diasingkan atau mengasingkan diri. Tempat tersebut disebut dengan Leprosaria yang menjadi tempat pengasingan penderita kusta atau lepra. Selain itu tercantum adanya penyakit yang disebut khust dengan deskripsi sesuai dengan kusta serta tulisan pada daun Papyrus di Mesir, sesuai dengan penyakit kusta yang ada saat ini. Lepra atau kusta sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno dalam Kitab Perjanjian Baru, penyakit ini jarang menyebabkan kematian namun dapat menyebabkan kecacatan, sehingga muncul anggapan penyakit ini kutukan dari Tuhan yang sulit disembuhkan, dalam kitab Perjanjian Lama pada Levecticus XIII � XIV dikatakan bahwa penyakit ini� sesuatu yang najis dan merupakan kutukan dari Tuhan, sehingga tindak lanjutnya sudah jelas yaitu dengan membuang para penderita ini dan tidak diperbolehkan berkumpul dengan masyarakat (Umar, 2009)

Karena keberadaannya yang sudah lama, maka Morbus Hansen dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan paleoantropologi, paleontologi, arkeologi, dan lain-lain.� Hal tersebut perlu dikaji dari perspektif antropologi medis yang akan menjelaskan mengenai kehidupan manusia kuno atau ancient populations. Kehidupan pada masa kuno dipengaruhi dengan wabah penyakit yang terjadi di masa tersebut, di mana adanya mutasi genetik dari penyakit tersebut akan mempengaruhi infeksi dan gejala yang ditimbulkan dibandingkan dengan penyakit di masa manusia modern. Oleh karena itu, tulisan ini disusun untuk mengetahui bukti adanya penyakit Morbus Hansen di populasi manusia kuno dari kerangka yang ditemukan dan mutasi penyakit Morbus Hansen di masa sekarang. Dengan diketahuinya hal- hal tersebut maka diharapkan akan memberikan pengetahuan baru tentang suatu evolusi dan mutasi genetik penyakit.

�

Hasil dan Pembahasan

A. Lepra atau Kusta

Lepra atau yang lebih umum disebut dengan kusta adalah penyakit granulomatosa kronik atau menahun tetapi masih dapat diobati yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang merupakan bakteri obligat yang kemudian WHO mengelompokkannya berdasarkan jumlah lesinya ke dalam 2 golongan yaitu paucibacillary (PB), dan multibacillary (MB).� Bakteri ini sudah menginfeksi manusia selama lebih dari 4000 tahun. Penyakit yang pertama adalah infeksi mikobakterium kronis (Mycobacterium leprae) yang memunculkan berbagai respons imun seluler yang luar biasa pada manusia. Yang kedua adalah neuropati perifer di mana terjadi kondisi adanya kerusakan pada saraf perifer karena infeksi dan kejadian imunologis yang menyertainya, tetapi perjalanan dan sekuelnya sering melampaui bertahun-tahun di luar penyembuhan infeksi dan mungkin memiliki konsekuensi fisik, sosial, dan psikologis yang sangat melemahkan. Kedua aspek harus dipertimbangkan oleh dokter, peneliti, dan pembuat kebijakan yang berurusan dengan orang yang terkena penyakit ini. Hingga sekarang, mekanisme transmisi yang pasti dari bakteri Mycobacterium leprae masih belum diketahui dan belum ada vaksin yang sangat efektif yang bisa dikembangkan, dan upaya laboratorium yang luas belum menghasilkan alat praktis untuk mendiagnosis secara dini penyakit yang tidak tampak secara klinis (Scollard, dkk., 2006).

Penyakit kusta masuk ke Indonesia diperkirakan dari kedatangan pedagang Cina pada tahun 1657, pada tahun 2019 WHO melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-3 dengan negara pengidap kusta terbanyak di dunia. Salah satu faktor risiko yang dominan adalah genetik, namun pada urutan DNA pada suatu populasi hanya 1% yang disebut dengan polimorfisme yang menyebabkan perubahan fungsi pada daerah yang mengalami perubahan. (Reibel, 2015).

Mycobacterium leprae mempunyai struktur batang lurus dengan panjang sekitar 1 hingga 8 μm diameter 0,3 μm, bersifat gram positif, tahan terhadap asam, dan dapat hidup di dalam sel yang banyak mengandung lemak dan lapisan lilin (Putra, 2012).� Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang dapat hidup di dalam sel atau obligat intraseluler dan memiliki struktur yang unik karena komposisinya terdiri dari dua lipid yaitu phthioceroldimycoserosate dan phenolic glycolipid, dinding selnya terdiri dari dua lapisan, membrannya melekat di bagian bawah sel, pada sitoplasmanya terdiri dari granula, materi genetik DNA dan ribosom. Metabolisme M. leprae menggunakan �sumber-sumber karbon melalui jalur klasik dari glikolisis, hexosa monophosphat shunt dan siklus tricarboxylic acid (James, 2011). Morbus Hansen merupakan penyakit yang tidak diwariskan atau diturunkan. Namun ditemukan informasi terbaru adanya tujuh versi mutasi gen yang muncul pada orang-orang penderita kusta. Lima diantara gen tersebut terlibat dalam pengaturan sistem kekebalan tubuh yang dapat meningkatkan kerentanan terkena kusta. Dengan adanya pernyataan tersebut maka orang yang tinggal bersama namun tidak menularkan, studi tersebut membuktikan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh factor genetic. (Zhang Furen , 2009).

Meskipun konsepsi populer tentang kusta difokuskan terutama pada gambar-gambar dari zaman Alkitab atau Abad Pertengahan, seperempat juta orang di seluruh dunia masih menderita penyakit ini pada 2007 terutama di daerah pedesaan Bangladesh, Brasil, Cina, Republik Demokratik Kongo, Cote D 'Ivoire, Ethiopia, India, Indonesia, Mozambik, Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, dan Sudan. Pemahaman tentang asal dan rute penularan penyakit ini sangat berguna agar dapat membuka wawasan baru tentang evolusi penyakit infeksi menular dan upaya pemberantasannya. Salah satu masalahnya adalah, penyakit ini sulit untuk di kultur in vitro dan banyak tentang kusta masih kurang dipahami, termasuk asal, rute penularan awal, dan waktu untuk penyebaran penyakit di dunia lama (old world). Referensi tekstual paling awal untuk kusta ditemukan dalam teks-teks proto-historis, termasuk papirus Ebers Mesir tertanggal 1550 SM. Dari temuan tersebut, diketahui bahwa ada referensi untuk penyakit lepra dalam Sanskerta dari Atharva Veda yang disusun sebelum milenium pertama sebelum masehi. dan perjanjian lama dan baru dari Alkitab. Namun, bukti ini kontroversial dan referensi paling awal yang diterima secara luas untuk penyakit ini berasal dari banyak sumber kemudian: teks-teks Asia Selatan Sushruta Samhita dan Kashilya's Arthashastra tertanggal pada abad ke-6 SM, kisah abad ke-4 dari penulis Yunani Nanzianos, yang ke-3 teks Cina abad Shuihudi Qin Jia, dan kisah Romawi abad pertama M tentang Celsus dan Pliny the Elder (Robbins, dkk., 2009).

Sejarawan penyakit berpendapat bahwa kusta berasal dari anak benua India dan menyebar ke Eropa setelah abad keempat SM, tetapi penyakit itu tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Eropa sampai Abad Pertengahan. Meskipun urbanisasi secara tradisional dianggap sebagai penyebab utama penyebaran penyakit di Dunia Lama, penelitian genomik telah menunjukkan model Late Pleistocene untuk asal dan penularan keluar dari Afrika. Menurut Robbins, dkk. (2009), bukti arkeologis untuk penyakit ini di Afrika dan Asia pada masa prasejarah juga memberikan indikasi bahwa penyakit ini memiliki akar kuno. Bukti kerangka kusta telah didokumentasikan pada abad ke-2 SM. pada periode Romawi Mesir, milenium pertama SM di Uzbekistan, Nubia pada abad ke-5 SM, dan Thailand sekitar 300 SM. Kasus-kasus yang terdokumentasi paling awal ada di Asia Barat (Israel) yang diketahui berasal dari abad pertama Masehi. Sebelumnya tidak ada bukti kerangka untuk penyakit di Asia Selatan. Di Inggris sendiri, sebanyak kurang lebih 15% rangka dari populasi di situs arkeologis diindikasikan memiliki gejala infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Dinyatakan oleh Roberts (2002) , prevalensi kusta yang tinggi di masa lampau mungkin dipengaruhi oleh pola pemukiman yang terlalu berdekatan, sehingga penularan lebih mudah terjadi.

Penyakit lepra atau kusta memang berasal dari bakteri yang menginfeksi sistem saraf, namun bukan berarti jejak penyakit infeksi ini tidak dapat dilacak dari kondisi rangka serta gigi yang tersisa. Menurut Manchester (1984), perubahan rangka yang disebabkan oleh penyakit lepra pada temuan tengkorak tampak di sekitar rongga mulut dan hidung. Bukti adanya penyakit ini juga dapat terlihat dari perubahan rangka ekstremitas atau anggota gerak, seperti pada tulang-tulang panjang. Fitur kranium yang telah mengalami perubahan akibat infeksi bakteri Mycobacterium leprae, pada umumnya disebut sebagai facies leprosa. Facies leprosy muncul dengan ciri-ciri yang meliputi erosi progresif dari tonjol alveolar rahang atas dengan melonggarnya socket yang berdampak pada hilangnya gigi-gigi insisivus, baik medial maupun lateral pada rahang atas. Erosi tonjol nasal (nasal spine) anterior, sehingga tonjol nasal banyak tergerus dan berdampak pada hilangnya nasal spine. Tepi aperture yang berbentuk piriformis juga menjadi terkikis di bagian bawahnya. Baik permukaan hidung maupun mulut dari proses palatum pada rahang atas menunjukkan perubahan yang mengarah pada terjadinya inflamasi, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya perforasi (lubang) palatum. Erosi yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae memang lebih dulu menyerang bagian tepi, mengingat bakteri ini lebih suka tumbuh dan berkembang di jaringan atau bagian ekstremitas yang lebih dingin (National Research Council, 2000).

Pada awalnya diagnosis kusta tahap awal sulit untuk dilakukan melalui kriteria klinis hal ini disebabkan karena memiliki sensitivitas pewarnaan yang rendah. Pada pemeriksaan serologi dengan menggunakan antigen M. leprae spesifik tidak mendeteksi kasus- kasus klinis karena sebagian besar penderita pada tahapan infeksi paucibacillary (PB) tidak memberikan respons antibodi membuat sulitnya deteksi kusta pada stadium awal (Yan, 2014).

Selain dideteksi dengan cara konvensional, kasus kusta juga dapat dideteksi menggunakan ilmu biologi molekuler telah dipergunakan untuk mendeteksi basil M. leprae, di antaranya adalah dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Potongan gen yang dapat diamplifikasi dan spesifik terhadap basil M. leprae bisa bermacam-macam, seperti daerah 18kDa, 36 kDa, 65 kDa yang merupakan protein penyusun dinding sel basil M.leprae (Katoch and Sharma, 2000[AS7]). Deteksi M. leprae secara spesifik dan sensitif pada berbagai macam sampel (biopsi lesi, apusan mukosa hidung (nasal swab), hapusan sayatan lesi kulit (slit skin smear) dan darah. PCR mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang hampir sempurna untuk mendeteksi M. Leprae yakni dapat mendeteksi 1- 100 kuman. (Aksono, 2010).

Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2005 penyakit ini dapat diatasi dengan pengobatan pada multidrug therapy yaitu rifampin, namun pada beberapa penderita ada yang kurang peka terhadap rifampin hal ini dikarenakan adanya stain M. lepra yang sudah resisten. Di situs Balathal, India, Robbins (2009) menemukan bahwa perubahan facies leprosa juga berpengaruh pada elemen-elemen mandibula. Hilangnya gigi pada periode antemortem mempengaruhi sebagian besar gigi rahang atas, dengan hanya molar pertama kiri dan premolar keempat yang tersisa. Ada dua abses periapikal yang besar di kedua sisi molar, tetapi tidak ada bukti lain dari paparan pada ruang pulpa. Sedikit jejak alveoli tetap ada pada gigi kaninus kanan, premolar ketiga, molar ketiga dan ketiga, dan molar kedua kanan hadir sebagai gigi yang terisolasi. Akar molar menunjukkan penebalan apeks yang mengindikasikan hiperkinesis. Kehilangan gigi antemortem dan resorpsi alveolar juga mempengaruhi mandibula tetapi delapan gigi mandibula tetap in situ � gigi seri sentral dan lateral kanan dan kiri, gigi taring, gigi premolar ketiga kanan, dan gigi molar ketiga kanan. Resorpsi alveolar dan erupsi pasif pada mandibula anterior telah mengekspos rata-rata 7 mm permukaan akar pada gigi seri dan kaninus. Resorpsi di mandibula posterior kiri telah melenyapkan alveoli dan hanya segmen tipis dari korpus mandibula yang tersisa.

Perubahan yang disebabkan lepra pada elemen-elemen post kranial lebih kompleks lagi. Menurut Manchester (1984), terjadinya perubahan pada fitur post kranial bukan disebabkan oleh basil kusta secara spesifik, tetapi mungkin merupakan hasil dari infeksi bakteri sekunder yang dihasilkan dari ulserasi ekstremitas anesteri kusta. Perubahan ekstremitas anggota gerak bawah adalah periostitis pada tibia dan fibula yang khas, biasanya bilateral, dan dimulai pada ujung distal. Ada perubahan inflamasi pada kaki distal yang dimulai pada metatarsal, dan mungkin ada perubahan inflamasi pada tulang tarsal. Metatarsal ini mengembangkan atrofi konsentris atau penyusutan dan menjadi berbentuk pensil, diikuti dengan hilangnya rongga meduler. Falangnya mengalami deformasi atau lepas. Di tangan, perubahan peradangan dimulai pada falang, sebelum kemudian infeksi menjalar ke metakarpal. Perubahan ini terjadi akibat trauma pada jari-jari anestetik, dan kadang-kadang dikaitkan dengan deformitas tangan cakar dari kelumpuhan kusta. Ada manifestasi skeletal, gigi, dan radiologis yang kurang umum dari kusta.

Tidak jauh berbeda dengan situs di India, temuan tengkorak di situs arkeologis di Inggris, Scarborough, juga menunjukkan ciri serupa akibat adanya infeksi bakteri lepra. Di bagian nasal, margin pada aperture piriformis tampak tajam. Dari ujung sutura nasomaksila ke jahitan intermaxillary, tidak begitu nampak jelas dan batas atau sutura tersebut terlihat menebal. Meskipun ada beberapa variasi biologis di wilayah ini, terutama dalam kelompok-kelompok negroid, rasanya tidak memungkinkan untuk berpikir bahwa ini adalah bentuk variasi spesimen Eropa yang tidak terikat pada penyakit infeksi. Lokasi geografis dan latar belakang sejarah membuat diagnosis kusta lebih mungkin dan masuk akal. Selain itu, tulang yang menonjol ke arah anterior pada hidung (nasal spine) mengalami penyusutan yang cukup signifikan, bahkan untuk anak seusia ini (estimasi usia kurang lebih 15 tahun). Sehubungan dengan munculnya atrofi pada tulang ini, sangat mungkin akan ada kemungkinan terbentuknya lubang-lubang atau pitting pada derajat tertentu. Terdapat pula gejala osteoporosis minor yang nampak pada aperture piriformis hidung hingga tulang alveolar yang menjadi socket gigi molar ketiga. Osteoporosis memang salah satu gejala menyebarnya infeksi bakteri lepra, mengingat osteoklas terstimulasi lebih aktif dibandingkan osteoblas pada penderita yang terinfeksi bakteri penyebab lepra (Brothwell, 1958).

�

Kesimpulan

Morbus hansen yang disebut kusta atau lepra disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit infeksi ini merupakan penyakit lama yang usianya sama dengan peradaban manusia. Morbus hansen sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno dalam Kitab Perjanjian Baru. Penyakit ini jarang menyebabkan kematian, namun dapat menyebabkan kecacatan. Kusta ditemukan dalam teks-teks proto-historis, termasuk papirus Ebers Mesir tertanggal 1550 SM. Sejarawan penyakit menyebutkan kusta berasal dari anak benua India dan menyebar ke Eropa setelah abad keempat SM namun penyakit itu tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Eropa sampai Abad Pertengahan. Terjadinya perubahan rangka yang disebabkan oleh penyakit lepra pada temuan tengkorak tampak di sekitar rongga mulut dan hidung. Bukti adanya penyakit ini juga dapat terlihat dari perubahan rangka ekstremitas atau anggota gerak, seperti pada tulang-tulang panjang. Morbus Hansen merupakan penyakit yang tidak diwariskan atau diturunkan. Namun ditemukan adanya tujuh versi mutasi gen yang muncul pada orang-orang penderita kusta. Lima diantara gen tersebut terlibat dalam pengaturan sistem kekebalan tubuh, Faktor gen kini bisa memberikan penjelasan mengapa ada orang yang lebih rentan terkena kusta sedangkan yang lain tidak. Dengan diketahuinya penyakit Morbus hansen ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap ilmu pengetahuan terkait dengan perubahan sifat dan mutasi dari penyakit kusta yang nantinya membantu dalam pencegahan yang terjadi.

�

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aksono Bimo. Pengendalian dan peningkatan kualitas hidup penderita lepra berbasis teknologi molekuler di unit uji tropical disease diagnostic centre universitas airlangga. Inotek, Volume 14, Nomor 1, Februari 2010

 

Bratschi MW, Steinmann P, Wickeden A, Gillis PT. Current knowledge on Mycobacterium leprae transmission: a systematic review. Lepr Rev. 2015; 86: 142- 55.

 

Brothwell. D.R. Evidence Of Leprosy in British Archaeological material. Med Hist. 1958 Oct; 2(4): 287�291. doi: 10.1017/s0025727300023991

 

James W, Buerger T, Elston D, Hansen �s disease. In Andrew Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10th ed.: Sauders Elseviers; 2011.p. 334-44

 

Juanda, Adhi. 2006. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

 

Kafiluddin, Moh. Erfan. 2010. Memberantas Penyakit Kusta/Lepra. [serial online]. http://kesehatan.kompasiana.com/2010/02/02/memberantaspenyakit-kustalepra/.

 

Katoch.V.M. Sharma. V.D. Recent advances in the microbiology of leprosy. Indian J Lepr. 2000 Jul-Sep; 72(3):363-79.

 

Manchester, K. (1984). Tuberculosis and leprosy in antiquity: an interpretation decline of leprosy relates to increase of TB. Medical Hist 28. Vol 28, pp. 162-173.

 

Menaldi S, Bramono K. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. In: 7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. p. 87􏰬102.

 

National Research Council (2001) Educating Children with Autism. National Academy Press. Division of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington DC.

Putra, S. E. 2012. Pengaruh Penggunaan Panduan Perawatan Mata, Tangan, dan Kaki Terhadap Kualitas Hidup Penderita Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Ajung Kabupaten Jember. Jember: Universitas Jember.

 

Rosita C, Adriaty D, Wahyuni R, Agusni I, Izumi S. Deteksi viabilitas Mycobacterium leprae pada biopsi kulit dan darah tepi. Majalah Dermatologi dan Venereologi Indonesia. 2011; 118-23.

 

Reibel F, Cambau E, Aubry A. Update on the epidemiology, diagnosis, and treatment of leprosy. Med Mal Infect [Internet]. 2015. 45(9):383-93.

 

Robbins, G., Tripathy, V. M., Misra, V. N., Mohanty, R. K., Shinde, V. S., Gray, K. M., & Schug, M. D. (2009). Ancient skeletal evidence for leprosy in India (2000 BC). PloS one, 4(5), e5669.

 

Scolland. D. M & Adams, L.B. (2006). The Continuing Challenges of Leprosy. Clin. Mikrobiol. Rev; 19; 338-351.

 

Umar Mustofa. Mesopotamia dan Mesir Kuno Awal Peradapan Dunia. Universitas Islam Negri Alaudin Ujungpandang. El-Harakah, Vol. 11, No. 3, 2009.

 

World Health Organization. 2005. �Global Leprosy Situatin 2005�. Weekly Epidemiolical Record. No.34: 289-296.

 

Yan Wen, Yan Xing, Lian Chao Yuan, Rong De Yang, Fu Yue Tan, Ying Zhang and Huan-Ying Li. Application of RLEP Real-Time PCR for Detection of M. leprae DNA in Paraffin-Embedded Skin Biopsy Specimens for Diagnosis of Paucibacillary Leprosy. Am. J. Trop. Med. Hyg., 90(3), 2014: 524�529.

 

Zhang Fu-Ren, 2009, Genomewide Association Study of Leprosy, The New England Journal of Medicine, vol. 361, no 27, pp. 2609-18.�

 

Copyright holder:

Intan Sari Nuraini, Ashfyatus Sa�idah (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: