Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022
LITERATURE REVIEW: PERKEMBANGAN
PENYAKIT MORBUS HANSEN PADA MANUSIA KUNO DAN MANUSIA MODERN
Intan
Sari Nuraini, Ashfyatus Sa�idah
Forensic Sciences, Postgraduate
School, Universitas Airlangga, Indonesia
Email: [email protected],
ashfyatus.saidah[email protected]
�
Abstrak
Morbus Hansen atau kusta merupakan
penyakit lama yang penyebarannya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium lepraei. Morbus Hansen menyerang kulit, saraf tepi
dan sistem pernafasan. Penyakit ini menimbulkan berbagai masalah diantaranya
dari medis, sosial, ekonomi budaya dan mental. Penyakit ini memiliki hubungan
yang erat dengan peradaban manusia penyakit ini ditulis dalam kitab- kitab kuno
misalnya kitab Sushrat Samhita dan
Kashilya's Arthashastra pada abad ke-6 SM dan bukti arkeologis di Afrika dan
Asia pada masa prasejarah juga memberikan indikasi bahwa penyakit ini sudah ada
sejak lama. Pada masa sekarang Morbus Hansen masih eksis di Indonesia dengan
menduduki posisi nomor 3 dengan 16.825 kasus dengan angka kecacatan 6,82 orang
per satu juta penduduk. Morbus Hansen merupakan penyakit yang tidak diwariskan
atau diturunkan. Namun�
informasi terbaru menyebutkan adanya tujuh versi mutasi gen yang
muncul pada orang-orang penderita kusta. Lima gen diantaranya terlibat dalam
pengaturan sistem kekebalan tubuh yang dapat meningkatkan kerentanan terkena
kusta dan studi tersebut membuktikan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh faktor
genetik.
Kata Kunci: Morbus Hansen, Penyebaran dan Dampak,
Kitab Kuno dan Bukti Arkeologis.
Abstract
Morbus
Hansen or leprosy is an old disease caused by the bacterium Mycobacterium
leprae. Morbus Hansen attacks the skin, peripheral nerves and the respiratory
system. This disease causes various problems including medical, social,
economic, cultural and mental. This disease has a close relationship with human
civilization. This disease is written in ancient books such as the Sushrat
Samhita and Kashilya's Arthashastra in the 6th century BC and archaeological
evidence in Africa and Asia in prehistoric times also indicates that this
disease has existed for a long time. In the present time, Indonesia is the
third country with most Morbus Hansen cases. There are 16,825 cases with a
disability rate of 6.82 people per one million population. Morbus Hansen is a
disease that is not inherited. However, the latest information states that
there are seven versions of the gene mutation that appear in people with
leprosy. Five of these genes are involved in regulating the immune system which
can increase susceptibility to leprosy and the study proves that it is
influenced by genetic factors.se susceptibility to leprosy and the study proves
that it is influenced by genetic factors.
Keywords:
Morbus Hansen, Dissemination and Impact, Ancient Scriptures and Archaeological
Evidence.
Pendahuluan
Morbus Hansen merupakan penyakit
lama yang penyebarannya sama dengan peradaban manusia.
Morbus Hansen atau disebut kusta atau lepra ini adalah suatu penyakit granuloma
kronik progresif jangka lama yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang saraf tepi, kulit,
saluran pernapasan bagian atas, tulang,� mata, otot dan alat reproduksi kecuali
sistem saraf pusat. Penyakit ini dapat disembuhkan, namun harus dilakukan
dengan cepat dan tepat sehingga tidak menyebabkan kecacatan pada saraf motorik,
otonom atau sensorik. Dalam pemulihan penyakit ini membutuhkan waktu yang lama
dan dapat mengakibatkan kecacatan dan masalah psikososial akibat adanya stigma
yang buruk pada penyakit ini (Kafiluddin, 2010).
����������� Penularan penyakit Morbus Hansen
dapat melalui kontak kulit yang lama dengan penderita, inhalasi atau dengan
hirupan udara karena bakteri Mycobacterium
leprae dapat bertahan hidup beberapa hari di udara dalam bentuk droplet yang dihembuskan dari saluran
pernafasan. Beberapa faktor yang mempengaruhi M. leprae antara lain lama kontak, keeratan, status gizi, status
imun, dan lingkungan. Penyakit ini merupakan penyakit yang tidak mudah menular
dan penderita yang terinfeksi biasanya akan sembuh
dengan sendirinya dengan kekebalan tubuh masing- masing. Penyakit ini
membutuhkan waktu inkubasi yang cukup lama yaitu 3 tahun hingga 5 tahun dari
tertular hingga menimbulkan adanya gejala. Gejala utama penyakit ini adalah
timbulnya bercak putih pada permukaan kulit berbentuk benjolan yang tidak
hilang dalam beberapa waktu serta adanya kebas dan pelemahan pada bagian otot (Rosita,
et al 2015)
����������� Morbus
Hansen banyak disebutkan dan ditulis dalam kitab-kitab kuno karena penyakit ini
merupakan penyakit lama dan erat hubungannya dengan peradaban manusia. Penyakit
ini ditulis dalam kitab Sushrat Samhita di
zaman India Kuno (1300 SM), sejarah kuno Mesir, Tiongkok dan Mesopotamia selain
itu juga ditulis dalam kitab-kitab keagamaan yang menceritakan tentang
penderita yang diasingkan atau mengasingkan diri. Tempat tersebut disebut
dengan Leprosaria yang menjadi tempat pengasingan penderita kusta atau lepra.
Selain itu tercantum adanya penyakit yang disebut khust dengan deskripsi sesuai dengan kusta serta tulisan pada daun
Papyrus di Mesir, sesuai dengan penyakit kusta yang ada saat ini. Lepra atau
kusta sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno dalam Kitab Perjanjian Baru,
penyakit ini jarang menyebabkan kematian namun dapat menyebabkan kecacatan,
sehingga muncul anggapan penyakit ini kutukan dari Tuhan yang sulit
disembuhkan, dalam kitab Perjanjian Lama pada Levecticus XIII � XIV dikatakan bahwa penyakit ini� sesuatu yang najis dan merupakan kutukan dari
Tuhan, sehingga tindak lanjutnya sudah jelas yaitu dengan membuang para
penderita ini dan tidak diperbolehkan berkumpul dengan masyarakat (Umar, 2009)
Karena keberadaannya yang sudah
lama, maka Morbus Hansen dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang
berkaitan dengan paleoantropologi, paleontologi, arkeologi, dan lain-lain.� Hal tersebut perlu dikaji dari perspektif
antropologi medis yang akan menjelaskan mengenai
kehidupan manusia kuno atau ancient
populations. Kehidupan pada masa kuno dipengaruhi dengan wabah penyakit
yang terjadi di masa tersebut, di mana adanya mutasi genetik dari penyakit
tersebut akan mempengaruhi infeksi dan gejala yang
ditimbulkan dibandingkan dengan penyakit di masa manusia modern. Oleh karena
itu, tulisan ini disusun untuk mengetahui bukti adanya penyakit Morbus Hansen
di populasi manusia kuno dari kerangka yang ditemukan dan mutasi penyakit
Morbus Hansen di masa sekarang. Dengan diketahuinya hal- hal tersebut maka diharapkan
akan memberikan pengetahuan baru tentang suatu evolusi
dan mutasi genetik penyakit.
�
Hasil dan Pembahasan
A. Lepra atau Kusta
Lepra atau yang lebih umum disebut
dengan kusta adalah penyakit granulomatosa kronik atau menahun tetapi masih
dapat diobati yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae yang merupakan bakteri obligat
yang kemudian WHO mengelompokkannya berdasarkan jumlah lesinya ke dalam 2
golongan yaitu paucibacillary (PB),
dan multibacillary (MB).� Bakteri ini sudah menginfeksi manusia selama
lebih dari 4000 tahun. Penyakit yang pertama adalah infeksi mikobakterium
kronis (Mycobacterium leprae) yang memunculkan berbagai
respons imun seluler yang luar biasa pada manusia. Yang kedua adalah neuropati
perifer di mana terjadi kondisi adanya kerusakan pada saraf perifer karena
infeksi dan kejadian imunologis yang menyertainya, tetapi perjalanan dan
sekuelnya sering melampaui bertahun-tahun di luar penyembuhan infeksi dan
mungkin memiliki konsekuensi fisik, sosial, dan psikologis yang sangat
melemahkan. Kedua aspek harus dipertimbangkan oleh dokter, peneliti, dan
pembuat kebijakan yang berurusan dengan orang yang terkena penyakit ini. Hingga
sekarang, mekanisme transmisi yang pasti dari bakteri Mycobacterium leprae
masih belum diketahui dan belum ada vaksin yang sangat efektif yang bisa
dikembangkan, dan upaya laboratorium yang luas belum menghasilkan alat praktis
untuk mendiagnosis secara dini penyakit yang tidak tampak secara klinis
(Scollard, dkk., 2006).
Penyakit kusta masuk ke Indonesia
diperkirakan dari kedatangan pedagang Cina pada tahun 1657, pada tahun 2019 WHO
melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-3 dengan negara pengidap kusta
terbanyak di dunia. Salah satu faktor risiko yang dominan adalah genetik, namun
pada urutan DNA pada suatu populasi hanya 1% yang disebut dengan polimorfisme
yang menyebabkan perubahan fungsi pada daerah yang mengalami perubahan.
(Reibel, 2015).
Mycobacterium leprae mempunyai struktur batang lurus dengan panjang sekitar 1
hingga 8 μm diameter 0,3 μm, bersifat gram positif, tahan terhadap
asam, dan dapat hidup di dalam sel yang banyak mengandung lemak dan lapisan lilin
(Putra, 2012).� Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang dapat hidup di dalam
sel atau obligat intraseluler dan memiliki struktur yang unik karena
komposisinya terdiri dari dua lipid yaitu phthioceroldimycoserosate
dan phenolic glycolipid, dinding
selnya terdiri dari dua lapisan, membrannya melekat di bagian bawah sel, pada
sitoplasmanya terdiri dari granula, materi genetik DNA dan ribosom. Metabolisme
M. leprae menggunakan
�sumber-sumber
karbon melalui jalur klasik dari glikolisis, hexosa monophosphat shunt dan siklus tricarboxylic acid (James, 2011). Morbus Hansen merupakan penyakit
yang tidak diwariskan atau diturunkan. Namun ditemukan informasi terbaru adanya
tujuh versi mutasi gen yang muncul pada orang-orang penderita kusta. Lima
diantara gen tersebut terlibat dalam pengaturan sistem kekebalan tubuh yang
dapat meningkatkan kerentanan terkena kusta. Dengan adanya pernyataan tersebut
maka orang yang tinggal bersama namun tidak menularkan, studi tersebut
membuktikan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh factor genetic. (Zhang Furen , 2009).
Meskipun konsepsi populer tentang
kusta difokuskan terutama pada gambar-gambar dari zaman Alkitab atau Abad
Pertengahan, seperempat juta orang di seluruh dunia masih menderita penyakit
ini pada 2007 terutama di daerah pedesaan Bangladesh, Brasil, Cina, Republik
Demokratik Kongo, Cote D 'Ivoire, Ethiopia, India, Indonesia, Mozambik,
Myanmar, Nepal, Nigeria, Filipina, dan Sudan. Pemahaman tentang asal dan rute
penularan penyakit ini sangat berguna agar dapat membuka wawasan baru tentang
evolusi penyakit infeksi menular dan upaya pemberantasannya. Salah satu
masalahnya adalah, penyakit ini sulit untuk di kultur
in vitro dan banyak tentang kusta masih kurang dipahami, termasuk asal, rute
penularan awal, dan waktu untuk penyebaran penyakit di dunia lama (old world). Referensi tekstual paling
awal untuk kusta ditemukan dalam teks-teks proto-historis, termasuk papirus
Ebers Mesir tertanggal 1550 SM. Dari temuan tersebut, diketahui bahwa ada
referensi untuk penyakit lepra dalam Sanskerta dari Atharva Veda yang disusun
sebelum milenium pertama sebelum masehi. dan
perjanjian lama dan baru dari Alkitab. Namun, bukti ini kontroversial dan
referensi paling awal yang diterima secara luas untuk penyakit ini berasal dari
banyak sumber kemudian: teks-teks Asia Selatan Sushruta Samhita dan Kashilya's
Arthashastra tertanggal pada abad ke-6 SM, kisah abad ke-4 dari penulis Yunani
Nanzianos, yang ke-3 teks Cina abad Shuihudi Qin Jia, dan kisah Romawi abad
pertama M tentang Celsus dan Pliny the Elder (Robbins, dkk., 2009).
Sejarawan penyakit berpendapat bahwa
kusta berasal dari anak benua India dan menyebar ke Eropa setelah abad keempat
SM, tetapi penyakit itu tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius
di Eropa sampai Abad Pertengahan. Meskipun urbanisasi secara tradisional
dianggap sebagai penyebab utama penyebaran penyakit di Dunia Lama, penelitian
genomik telah menunjukkan model Late
Pleistocene untuk asal dan penularan keluar dari Afrika. Menurut Robbins,
dkk. (2009), bukti arkeologis untuk penyakit ini di Afrika dan Asia pada masa
prasejarah juga memberikan indikasi bahwa penyakit ini memiliki akar kuno.
Bukti kerangka kusta telah didokumentasikan pada abad ke-2 SM. pada periode
Romawi Mesir, milenium pertama SM di Uzbekistan, Nubia pada abad ke-5 SM, dan
Thailand sekitar 300 SM. Kasus-kasus yang terdokumentasi paling awal ada di
Asia Barat (Israel) yang diketahui berasal dari abad pertama Masehi. Sebelumnya
tidak ada bukti kerangka untuk penyakit di Asia Selatan. Di Inggris sendiri,
sebanyak kurang lebih 15% rangka dari populasi di situs arkeologis
diindikasikan memiliki gejala infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Dinyatakan oleh Roberts (2002) , prevalensi kusta yang tinggi di masa lampau mungkin
dipengaruhi oleh pola pemukiman yang terlalu berdekatan, sehingga penularan
lebih mudah terjadi.
Penyakit lepra atau kusta memang
berasal dari bakteri yang menginfeksi sistem saraf, namun bukan berarti jejak
penyakit infeksi ini tidak dapat dilacak dari kondisi rangka serta gigi yang
tersisa. Menurut Manchester (1984), perubahan rangka yang disebabkan oleh
penyakit lepra pada temuan tengkorak tampak di sekitar rongga mulut dan hidung.
Bukti adanya penyakit ini juga dapat terlihat dari perubahan rangka ekstremitas
atau anggota gerak, seperti pada tulang-tulang panjang. Fitur kranium yang
telah mengalami perubahan akibat infeksi bakteri Mycobacterium leprae, pada umumnya disebut sebagai facies leprosa. Facies leprosy
muncul dengan ciri-ciri yang meliputi erosi progresif dari tonjol alveolar
rahang atas dengan melonggarnya socket
yang berdampak pada hilangnya gigi-gigi insisivus, baik medial maupun lateral
pada rahang atas. Erosi tonjol nasal (nasal
spine) anterior, sehingga tonjol
nasal banyak tergerus dan berdampak pada hilangnya nasal spine. Tepi aperture
yang berbentuk piriformis juga menjadi terkikis di bagian bawahnya. Baik
permukaan hidung maupun mulut dari proses palatum pada rahang atas menunjukkan
perubahan yang mengarah pada terjadinya inflamasi, yang pada akhirnya berujung
pada terjadinya perforasi (lubang) palatum. Erosi yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae memang lebih dulu
menyerang bagian tepi, mengingat bakteri ini lebih suka tumbuh dan berkembang di
jaringan atau bagian ekstremitas yang lebih dingin (National Research Council,
2000).
Pada awalnya diagnosis kusta tahap
awal sulit untuk dilakukan melalui kriteria klinis hal ini disebabkan karena
memiliki sensitivitas pewarnaan yang rendah. Pada pemeriksaan serologi dengan
menggunakan antigen M. leprae spesifik tidak mendeteksi kasus- kasus klinis
karena sebagian besar penderita pada tahapan infeksi paucibacillary (PB) tidak memberikan respons antibodi membuat
sulitnya deteksi kusta pada stadium awal (Yan, 2014).
Selain dideteksi dengan cara konvensional, kasus kusta juga dapat dideteksi
menggunakan ilmu biologi molekuler telah dipergunakan untuk mendeteksi basil M. leprae, di antaranya adalah dengan
menggunakan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR). Potongan gen yang dapat diamplifikasi dan spesifik terhadap
basil M. leprae bisa bermacam-macam,
seperti daerah 18kDa, 36 kDa, 65 kDa yang merupakan protein penyusun dinding
sel basil M.leprae (Katoch and
Sharma, 2000[AS7]). Deteksi M. leprae secara
spesifik dan sensitif pada berbagai macam sampel (biopsi lesi, apusan mukosa
hidung (nasal swab), hapusan sayatan
lesi kulit (slit skin smear) dan
darah. PCR mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang hampir sempurna untuk
mendeteksi M. Leprae yakni dapat
mendeteksi 1- 100 kuman. (Aksono, 2010).
Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2005 penyakit ini dapat diatasi dengan pengobatan pada multidrug therapy yaitu rifampin, namun
pada beberapa penderita ada yang kurang peka terhadap rifampin hal ini
dikarenakan adanya stain M. lepra yang
sudah resisten. Di situs Balathal, India, Robbins (2009) menemukan bahwa
perubahan facies leprosa juga
berpengaruh pada elemen-elemen mandibula. Hilangnya gigi pada periode
antemortem mempengaruhi sebagian besar gigi rahang atas, dengan hanya molar
pertama kiri dan premolar keempat yang tersisa. Ada dua abses periapikal yang
besar di kedua sisi molar, tetapi tidak ada bukti lain dari paparan pada ruang
pulpa. Sedikit jejak alveoli tetap ada pada gigi kaninus kanan, premolar ketiga,
molar ketiga dan ketiga, dan molar kedua kanan hadir sebagai gigi yang
terisolasi. Akar molar menunjukkan penebalan apeks yang mengindikasikan
hiperkinesis. Kehilangan gigi antemortem dan resorpsi alveolar juga
mempengaruhi mandibula tetapi delapan gigi mandibula tetap in situ � gigi seri
sentral dan lateral kanan dan kiri, gigi taring, gigi premolar ketiga kanan,
dan gigi molar ketiga kanan. Resorpsi alveolar dan erupsi pasif pada mandibula
anterior telah mengekspos rata-rata 7 mm permukaan akar pada gigi seri dan
kaninus. Resorpsi di mandibula posterior kiri telah melenyapkan alveoli dan
hanya segmen tipis dari korpus mandibula yang tersisa.
Perubahan yang disebabkan lepra pada
elemen-elemen post kranial lebih kompleks lagi. Menurut Manchester (1984),
terjadinya perubahan pada fitur post kranial bukan disebabkan oleh basil kusta
secara spesifik, tetapi mungkin merupakan hasil dari infeksi bakteri sekunder
yang dihasilkan dari ulserasi ekstremitas anesteri kusta. Perubahan ekstremitas
anggota gerak bawah adalah periostitis pada tibia dan fibula yang khas,
biasanya bilateral, dan dimulai pada ujung distal. Ada perubahan inflamasi pada
kaki distal yang dimulai pada metatarsal, dan mungkin ada perubahan inflamasi
pada tulang tarsal. Metatarsal ini mengembangkan atrofi konsentris atau
penyusutan dan menjadi berbentuk pensil, diikuti dengan hilangnya rongga
meduler. Falangnya mengalami deformasi atau lepas. Di tangan, perubahan
peradangan dimulai pada falang, sebelum kemudian infeksi menjalar ke metakarpal.
Perubahan ini terjadi akibat trauma pada jari-jari anestetik, dan kadang-kadang
dikaitkan dengan deformitas tangan cakar dari kelumpuhan kusta. Ada manifestasi
skeletal, gigi, dan radiologis yang kurang umum dari kusta.
Tidak jauh berbeda dengan situs di
India, temuan tengkorak di situs arkeologis di Inggris, Scarborough, juga
menunjukkan ciri serupa akibat adanya infeksi bakteri lepra. Di bagian nasal,
margin pada aperture piriformis tampak tajam. Dari ujung sutura nasomaksila ke
jahitan intermaxillary, tidak begitu nampak jelas dan batas atau sutura
tersebut terlihat menebal. Meskipun ada beberapa variasi biologis di wilayah
ini, terutama dalam kelompok-kelompok negroid, rasanya
tidak memungkinkan untuk berpikir bahwa ini adalah bentuk variasi spesimen
Eropa yang tidak terikat pada penyakit infeksi. Lokasi geografis dan latar
belakang sejarah membuat diagnosis kusta lebih mungkin dan masuk akal. Selain
itu, tulang yang menonjol ke arah anterior pada hidung (nasal spine) mengalami penyusutan yang cukup signifikan, bahkan
untuk anak seusia ini (estimasi usia kurang lebih 15
tahun). Sehubungan dengan munculnya atrofi pada tulang ini, sangat mungkin akan ada kemungkinan terbentuknya lubang-lubang atau pitting pada derajat tertentu. Terdapat
pula gejala osteoporosis minor yang nampak pada aperture piriformis hidung
hingga tulang alveolar yang menjadi socket
gigi molar ketiga. Osteoporosis memang salah satu gejala menyebarnya
infeksi bakteri lepra, mengingat osteoklas terstimulasi lebih aktif
dibandingkan osteoblas pada penderita yang terinfeksi bakteri penyebab lepra
(Brothwell, 1958).
�
Kesimpulan
Morbus hansen
yang disebut kusta atau lepra disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit infeksi
ini merupakan penyakit lama yang usianya sama dengan
peradaban manusia. Morbus hansen sendiri berasal dari
bahasa Yunani kuno dalam Kitab Perjanjian Baru. Penyakit ini jarang menyebabkan
kematian, namun dapat menyebabkan kecacatan. Kusta ditemukan dalam teks-teks
proto-historis, termasuk papirus Ebers Mesir tertanggal 1550 SM. Sejarawan
penyakit menyebutkan kusta berasal dari anak benua India dan menyebar ke Eropa
setelah abad keempat SM namun penyakit itu tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang serius di Eropa sampai Abad Pertengahan. Terjadinya perubahan
rangka yang disebabkan oleh penyakit lepra pada temuan tengkorak tampak di
sekitar rongga mulut dan hidung. Bukti adanya penyakit ini juga dapat terlihat
dari perubahan rangka ekstremitas atau anggota gerak, seperti pada tulang-tulang
panjang. Morbus Hansen merupakan penyakit yang tidak diwariskan atau
diturunkan. Namun ditemukan adanya tujuh versi mutasi gen yang muncul pada
orang-orang penderita kusta. Lima diantara gen tersebut terlibat dalam
pengaturan sistem kekebalan tubuh, Faktor gen kini bisa memberikan penjelasan mengapa ada orang yang lebih
rentan terkena kusta sedangkan yang lain tidak. Dengan diketahuinya
penyakit Morbus hansen ini diharapkan dapat memberikan
informasi terhadap ilmu pengetahuan terkait dengan perubahan sifat dan mutasi
dari penyakit kusta yang nantinya membantu dalam pencegahan yang terjadi.
�
BIBLIOGRAFI
Aksono Bimo. Pengendalian dan peningkatan kualitas hidup
penderita lepra berbasis teknologi molekuler di unit uji tropical disease
diagnostic centre universitas airlangga. Inotek, Volume 14, Nomor 1, Februari
2010
Bratschi MW, Steinmann P, Wickeden A, Gillis PT. Current knowledge on Mycobacterium leprae transmission: a systematic review. Lepr Rev.
2015; 86: 142- 55.
Brothwell. D.R. Evidence Of Leprosy in British Archaeological material. Med Hist. 1958 Oct; 2(4): 287�291. doi: 10.1017/s0025727300023991
James W, Buerger T, Elston D, Hansen �s disease. In Andrew Disease of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed.: Sauders Elseviers; 2011.p. 334-44
Juanda, Adhi. 2006. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Kafiluddin, Moh. Erfan. 2010.
Memberantas Penyakit Kusta/Lepra. [serial online]. http://kesehatan.kompasiana.com/2010/02/02/memberantaspenyakit-kustalepra/.
Katoch.V.M. Sharma. V.D. Recent
advances in the microbiology of leprosy. Indian J Lepr. 2000 Jul-Sep; 72(3):363-79.
Manchester, K. (1984). Tuberculosis
and leprosy in antiquity: an interpretation decline of leprosy relates to
increase of TB. Medical Hist 28. Vol
28, pp. 162-173.
Menaldi S, Bramono K. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. In: 7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2016. p. 87102.
National Research Council (2001)
Educating Children with Autism. National Academy Press. Division of Behavioral
and Social Sciences and Education. Washington DC.
Putra, S. E. 2012. Pengaruh
Penggunaan Panduan Perawatan Mata, Tangan, dan Kaki Terhadap Kualitas Hidup
Penderita Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Ajung Kabupaten Jember. Jember:
Universitas Jember.
Rosita C, Adriaty D, Wahyuni R,
Agusni I, Izumi S. Deteksi viabilitas Mycobacterium
leprae pada biopsi kulit dan darah tepi. Majalah Dermatologi dan
Venereologi Indonesia. 2011; 118-23.
Reibel F, Cambau E, Aubry A. Update
on the epidemiology, diagnosis, and treatment of leprosy. Med Mal Infect
[Internet]. 2015. 45(9):383-93.
Robbins, G., Tripathy, V. M., Misra,
V. N., Mohanty, R. K., Shinde, V. S., Gray, K. M., & Schug, M. D. (2009).
Ancient skeletal evidence for leprosy in India (2000 BC). PloS one, 4(5),
e5669.
Scolland. D. M & Adams, L.B.
(2006). The Continuing Challenges of Leprosy. Clin. Mikrobiol. Rev; 19;
338-351.
Umar Mustofa. Mesopotamia dan Mesir
Kuno Awal Peradapan Dunia. Universitas Islam Negri Alaudin Ujungpandang.
El-Harakah, Vol. 11, No. 3, 2009.
World Health Organization. 2005.
�Global Leprosy Situatin 2005�. Weekly
Epidemiolical Record. No.34: 289-296.
Yan Wen, Yan Xing, Lian Chao Yuan,
Rong De Yang, Fu Yue Tan, Ying Zhang and Huan-Ying Li. Application of RLEP
Real-Time PCR for Detection of M. leprae DNA in Paraffin-Embedded Skin Biopsy
Specimens for Diagnosis of Paucibacillary Leprosy. Am. J. Trop. Med. Hyg.,
90(3), 2014: 524�529.
Zhang Fu-Ren, 2009, Genomewide
Association Study of Leprosy, The New England Journal of Medicine, vol. 361, no
27, pp. 2609-18.�
Copyright holder: Intan Sari
Nuraini, Ashfyatus Sa�idah (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |