Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 8, Agustus 2023

 

KETIDAKSESUAIAN PROMOSI INSTAGRAM RICHEESE FACTORY DITINJAU MELALUI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

 

Anisa Fithrotuningrum

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

E-mail: [email protected]

 

Abstrak

Promosi merupakan cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk berkomunikasi kepada konsumen dengan tujuan menyampaikan informasi mengenai produk yang dijual oleh perusahaan tersebut agar dapat menarik konsumen untuk membeli produknya, hal tersebut dilakukan pula oleh Richeese Factory pada media sosial instagram, dengan membuat akun instagram yang diberi nama @richeese_factory. Namun, tingginya antusias konsumen akan produk yang di promosikan oleh Richeese Factory pada Instagram, nyatanya tidak sejalan dengan fakta yang terjadi ketika konsumen mengunjungi outlet restoran cepat saji tersebut. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis bagaimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UUPK) memberikan perlindungan hukum apabila pelaku usaha melakukan promosi yang tidak sesuai dan/atau tidak benar dan bagaimana bentuk tanggungjawab Richeese Factory terhadap promosi yang tidak sesuai yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan melakukan analisis menggunakan studi kepustakaan berupa Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta sumber lainnya yang relevan. Dalam UUPK telah diatur mengenai larangan melakukan promosi/iklan yang memuat informasi tidak tepat dan tidak benar, serta larangan melakukan promosi seolah-olah produk yang diperdagangkan memiliki potongan harga dan/atau harga khusus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan hukum kepada konsumen serta meminta pelaku usaha untuk melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi promosi yang dilakukan guna melindungi hak konsumen yang dirugikan atas promosi tidak sesuai, dan pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif apabila terbukti dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap UUPK.

 

Kata Kunci: Promosi Instagram; Promosi Tidak Sesuai; Perlindungan Hukum.

 

Abstract

Promotion is a way companies use to communicate with consumers to convey information about the products they sell to attract consumers to buy their products; Richeese Factory also does this on Instagram social media by creating an Instagram account named @ richeese_factory. However, the high enthusiasm of consumers for the products promoted by Richeese Factory on Instagram is, in fact, not in line with the points that occur when consumers visit these fastfood restaurant outlets. This research analyzes how Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection (UUPK) provides legal protection if business actors carry out inappropriate and incorrect promotions and what Richeese Factory's responsibility for wrong promotions is. This study uses a normative method by analyzing a literature study in Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection and other relevant sources. The UUPK has regulated the prohibition of carrying out promotions/advertisements containing inaccurate information and the prohibition of carrying out promotions as if the products being traded have discounted and special prices. So in this research can be concluded that UUPK can provide legal protection to consumers and ask business actors to carry out their obligations in fulfilling promotions carried out to protect the rights of consumers who are harmed by inappropriate promotions, and business actors can be subject to administrative sanctions if proven to have deliberately violated UUPK.

 

Keywords: Instagram Promotion; Inappropriate Promotion; Legal Protection.

 

Pendahuluan

Restoran cepat saji mulai muncul pada zaman romawi kuno seiring dengan perkembangan zaman restoran cepat saji semakin popular dikalangan masyarakat, pada saat ini ada beberapa restoran cepat saji yang berdiri di Indonesia seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), Mcdonald�s, A&W, Hoka-Hoka Bento (yang sekarang sudah berganti nama menjadi Hokben), dan Richeese Factory.

Richeese Factory merupaka yang termasuk ke dalam restoran cepat saji yang banyak disukai oleh para remaja, hal tersebut dikarenakan Richeese memiliki ciri khas yaitu menyajikan ayam goreng dengan saus keju yang khas dan saus pedas yang memiliki level kepedasan. Selain itu, Richeese Factory juga banyak diminati karena sering mengadakan promosi yang menggiurkan, seperti gratis item makanan, potongan harga, harga khusus untuk paket makanan, dan ada pula gratis mainan khusus untuk anak-anak.

Bentuk promosi dari Richeese Factory dapat ditemukan pada iklan yang ada di media sosial seperti twitter, facebook dan instagram, serta ada juga pada papan reklame. Promosi merupakan cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk berkomunikasi kepada konsumen dengan tujuan menyampaikan informasi mengenai produk yang dijual oleh perusahaan tersebut agar dapat menarik konsumen untuk membeli produknya (Kotler, 2016).

Menurut dharmnesta dan irawan tujuan utama dari dilakukannya promosi adalah menginformasikan, memberitahukan, mengpengaruhi konsumen tentang pemasaran, dengan kata lain dibutuhkan persiapan dan sarana promosi yang matang agar tujuan perusahaan mengadakan promosi tersebut sesuai dengan sasaran dan berjalan efisien (Indriasari, 2017).

Richeese Factory dalam usahanya untuk menarik perhatian konsumen melakukan promosi yang disebarkan melalui media sosial, salah satunya instagram. Melalui postingan di Instagram dengan nama akun @richeese_factory, Richeese Factory memberikan promosi berupa memberikan harga khusus terhadap paket menu makanannya seperti yang tertera pada gambar 1.

 

Gambar 1 Promosi Richeese Factory pada Media Sosial Instagram

Sumber: Tangkapan Layar dari akun instagram Richeese Factory dengan username @richeese_factory

 

Promosi di media sosial instagram memiliki pengaruh yang positif dan signifikan untuk menarik pelanggan (Jamalong et al., 2022). Promosi yang dilakukan di instagram selain dapat menimbulkan �Awareness (kesadaran)� terhadap produk yang dijual kepada konsumen juga sangat mempengaruhi terhadap keputusan konsumen untuk membeli produk tersebut.

Hal itulah yang menjadi tujuan utama dilakukannya promosi. Namun, tingginya antusias konsumen akan produk yang di promosikan oleh Richeese Factory pada Instagram, nyatanya tidak sejalan dengan fakta yang terjadi ketika konsumen mengunjungi outlet restoran cepat saji tersebut. Tidak dapat dibenarkan jika pelaku usaha melakukan promosi tanpa adanya kejelasan dengan tujuan hanya ingin menarik perhatian konsumen saja dan tidak ingin memenuhi promosi yang diberitahukan.

Pelaku usaha juga perlu untuk menaati aturan hukum yang berlaku, dimana konsumen juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi mengenai promosi yang diberikan. Oleh karena hal tersebut, penulis tertarik untuk melihat bagaimana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen memberikan perlindungan hukum apabila pelaku usaha dalam hal ini Richeese Factory melakukan promosi yang tidak sesuai dan/atau tidak benar dan bagaimana bentuk tanggungjawab Richeese Factory terhadap promosi yang tidak sesuai yang dilakukan.

 

Metode Penelitian

Dalam melakukan penulisan karya ilmiah/penelitian terdapat 3 jenis metode yang dapat digunakan yaitu: penelitian hukum normatif, penelitian empiris dan gabungan keduanya (Soekanto, 2006). Pada penulisan ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif, yang memiliki arti penelitian yang dilakukan dengan melihat bahan kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen serta sumber-sumber lainnya yang relevan dengan pembahasan pada penelitian ini.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen yang dirugikan atas ketidak sesuaian promosi pada platform instagram yang dilakukan oleh Richeese Factory

Hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen juga hak dan kewajiban pelaku usaha, hak konsumen merupakan kewajiban pelaku usaha sedangkan hak pelaku usaha merupakan kewajiban konsumen (Maharani & Dzikra, 2021). Sebagaimana telah UUPK telah mengatur mengenai hak konsumen pada pasal 4, kewajiban konsumen pada pasal 5, hak pelaku usaha pada pasal 6 dan kewajiban pelaku usaha pada pasal 7. Dari tujuan UUPK ini sendiri sudah disebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk meningkatkan pemberayaan konsumen dalam memilih dan mnentukan produk yang akan dibeli dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Serta bagi pelaku usaha dihimbau untuk jujur dan bertanggung jawab dalam melakukan usahanya.

Pada era ini, untuk mengambangkan usaha dibutuhkan promosi atau periklanan guna menimbulkan awareness bagi para konsumen. Menurut W.J Santon, promosi merupakan usaha yang dilakukan dalam meningkatkan kegiatan usaha bertujuan untuk merencanakan, menentukan harga, serta mendistribusikan barang dan/atau jasa yang akan memenuhi keinginan serta kebutuhan para konsumen, baik yang nyata maupun sekedar berpotensial�.

Adapun cara promosi dapat tarik garis besar menjadi 4, yaitu: 1) Periklanan (advertising): Aktivitas yang menghasilkan iklan untuk produk atau layanan komersial. 2) Personal Selling: Penjualan yang dilakukan dengan melibatkan komunikasi langsung antara penjual dan pelanggan yang dapat dilakukan secara langsung maupun melalui email, telepon atau video. 3) Publisitas (publicity): Metode penjualan yang bertujuan memberikan pesan kepada publik untu menggunakan atau membeli produk serta kmeningkatkan pengeahuan publik atas produk atau layanan yang dijual. 4) Sales Promotion: Metode penjualan yang digunakan untuk memperkenalkan produk baru, menghabiskan produk lama serta menaikkan angka penjualan, metode ini berlangsung sementara dengan tujuan untuk menaikkan minat pembeli terhadap produk/layanan yang dijual.

Sehingga dalam melakuka promosi para pelaku usaha harus memberikaninformasi yang jujur, benar dan jelas mengenai produk atau layaynan yang dijual, mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini yaitu Undang-Undang Perlindungan konsumen (Sharon, 2018). Seiring berkembangnya jaman, kegiatan promosi tidak hanya dilakukan melalui media massa, seperti koran, televisi, radio ataupun baliho. Pada saat ini kegiatan promosi juga dapat dilakukan pada media sosial, seperti: instagram, facebook, twitter, tiktok, dan lain sebagainya.

Richeese Factory pun memanfaatkan kesempatan tersebut untuk turut serta melakukan promosi pada media sosial instagram. Richeese factory menggunakan instagram untuk meng-unggah promosi dengan tujuann agar para pengikut akun instagram dengan nama akun @richeese_factory mengetahui bahwa Richeese Factoryi sedang mengadakan promosi dan konsumen dapat menikmati promosi tersebut. Namun, ternyata pada kenyataannya ketika konsumen mengunjungi outlet Richeese Factory kerap kali mendapatkan kekecawaan karena promo yang diunggah pada instagram tersebut tidak sesuai.

Pada Gambar 2 menunjukkan komentar-komentar yang bermunculan pada akun instagram Richeese Factory di setiap unggahan promosi. Komentar-komentar tersebut berisikan keluhan mengenai ketidak sesuaian promosi, keluhan yang disampaikan menyebutkan bahwa pegawai pada outlet-outlet yang dimiliki oleh Richeese Factory mengatakan promosi tersebut kosong dan/atau habis dan/atau telah selesai, yang pada intinya konsumen tidak dapat membeli produk yang terdapat dalam promosi tersebut, Selain itu, konsumen lain juga menyebutkan ketika sampai di outlet dan ingin membeli produk yang dipromosikan ternyata harga yang dibayarkan tidak sesuai dengan harga yang ada pada promosi, sehinggakonsumen membayar dengan harga normal.

 

Gambar 2 Komentar-komentar pada unggahan promosi di instagram Richeese Factor

Sumber: Tangkapan Layar dari akun instagram Richeese Factory dengan username @richeese_factory

 

Berdasarkan gambar diatas dapat dikatakan bahwa promosi yang dilakukan oleh Richeese Factory tidak sejalan dengan peraturan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 9 ayat (1a), yang menyatakan: �Pelaku Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu

Richeese Factory didapati melanggar peraturan UUPK tersebut dengan unsur menawarkan, mempromosikan dan mengiklankan barang secara tidak benar dengan seolah-olah barang tersebut memiliki potongan harga dan/atau harga khusus. Hal tersebut dipandang perlu adanya perlindungan hukum bagi konsumen terhadap perilaku pelaku usaha yang melakukan promosi yang tidak sesuai.

Perlindungan hukum merupakan upaya yang dilakukan untuk melindungan masyarakat dari tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangannya yang berlaku atau tindakan melawan hukum guna mewujudkan tujuan negara sebagaimana yang dimaksud pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 agar masyarakat dapat menjalani kehidupan dengan mertabatnya sebagai manusia (Setiono, 2004). Adapun jenis perlindungan hukum dibedakan menjadi 2, yaitu (Isnaeni, 2016):

1.      Perlindungan hukum Internal

Moch Isnaeni berpendapat terjadinya perlindungan hukum berawal dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak pada saat mengemas klausul kontrak, yang artinya kedua belah pihak setuju mengenai adanya kepentingan yang dapat ditampung atas dasar kesepakatan, maka kedua belah pihak akan memperoleh perlindungan hukum yang sama, perlindungan hukum internal dapat terwujud apabila kedua belah pihak memiliki kedudukan hukum yang sama sehingga pada perjanjian masing-masing pihak memiliki keleluasaan dalam menyampaikan keinginan sesuai kepentingan masing-masing.

Namun pada umumnya pelaku usaha dalam sebuah perjanjian menetapkan klausula secara sepihak tanpa kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha, dimana secara tidak langsung konsumen dipaksa untuk menyetujui perjanjian yang telah ditentukan oleh pelaku usaha.

 

2.      Perlindungan Hukum Eksternal

Pendapat yang dikemukakan oleh Moch Isnaeni mengenai perlindungan hukum eksternal, dimana perlindungan hukum eksternal ialah regulasi yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengangkat kepentingan pihak yang lemah dengan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang tidah boleh berpihak kepada salah satu pihak baik konsumen maupun pelaku usaha. Menurutnya, UUPK dan UU-ITE dapat menjadi peraturan yang tujuannya dapat melindungi pihak yang berkedudukan lemah dalam hal ini ialah konsumen. Penetapan promosi yang dilakukan Richeese Factory dapat dianggap tidak seimbang kedudukannya antara Rhiceese Factory dengan konsumen, karena pada promosi tersebut (Sharon, 2018).

Selain dari itu, ada unsur lain yang telah terbentur atara promosi yang dilakukan Richeese Factory dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen. Padahal mengenai hak-hak konsumen telah diatur dalam UUPK, dalam konteks ini tindakan yang dilakukan oleh Richeese Factory selain melanggar pasal 6 UUPK juga melanggar pasal 12 yaitupelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu tertentu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakan sesuai waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan�.

Oleh karena hal itu, diperlukannya perlindungan hukum terhadap konsumen Richeese Factory yang telah dirugikan karena mendapati promosi yang tidak sesuai seperti yang diunggah pada instagram Richeese Factory (Rianti, 2017). Bentuk perlindungan hukum dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen mengenai promosi tidak sesuai yang dilakukan oleh Richeese Factory pada akun instagramnya ialah berupa konsumen yang dirugikan dapat melaporkan perilaku pelaku usaha tersebut ke instansi yang telah diatur oleh UUPK pada pasal 46. Dimana instasi tersebut yang akan meninjau mengenai promosi yang dilakukan oleh Richeese Factory. Dan bagi Richeese Factory selaku pelaku usaha berdasarkan pasal 62 UUPK dapat dikenakan hukuman berupa sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak 2 Miliar Rupiah.

 

B.     Bentuk Tanggungjawab Pelaku Usaha Atas Ketidaksesuaian Promosi Yang Dilakukan

Untuk menetapkan siapa yang harus bertanggung jawab atau bagaimana tanggungjawab yang harus dilakukan perlu untuk dianalisis terlebih dahulu permasalahan yang terjadi, sehingga tanggungjawab tersebut dapat dibebankan kepada pihak yang seharusnya (dalam Shidarta, 2000). Sehingga mengenai tanggungjawab ini diberikan batasan-batasan, yang secara umum dibedakan atas prinsip-prinsip, sebagai berikut (Kristiyanti, 2022): 1) Liability based on fault (tanggung jawab yang didasari dengan kesalahan). 2) Presumption of liability (tanggung jawab yang dibebankan kepada terduga pelaku). 3) Presumption of nonliability (tidak adanya tanggung jawab yang dibebankan kepada terduga pelaku). 4) Strict liability (tanggung jawab mutlak). 5) Imitation of liability (pembatasan tanggung jawab).

Dalam UUPK sendiri pelaku usaha sudah diberi tanggung jawab dalam menjalankan usahanya yang tertuang dalam Pasal 7 UUPK, yang menyebutkan bahwa pelaku usaha wajib memiliki itikad baik dalam menjalankan usahanya, memberi kebenaran informasi mengenai kondisi dan memberikan penjelasan mengenai cara penggunaan, cara perbaikan serta cara pemeliharaan, selain itu pelaku usaha juga perlu memperlakukan konsumen secara baik dengan tidak diskriminatif, menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diperjualbelikan dengan berdasar pada ketentuan yang berlaku, memberi kesempatan bagi konsumen untuk menguji dan mencoba barang yang dibeli, memberi jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, memberi ganti rugi/kopensasi/penggantian kerugian yang diakibatkan dari penggunaan dan pemakaian barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, dan memberi kompensasi/ganti rugi/ penggantian kerugian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

Selaras dengan pendapat Erman yang menyebutkan dalam bukunya jika seorang pelaku usaha tidak menaruh perhatian lebih dan tanggung jawab terhadap barang yang di perdagangkannya maka akan mengakibatkan risiko yang fatal bagi kelangsungan dan kredibilitas usahanya (Rajagukguk, 2002). Dilihat dari ketentuan yang berlaku dalam UUPK pelaku usaha dapat dikatakan bersalah jika dalam perkara ganti rugi menganut prinsip praduga bersalah yang mengakibatkan pelaku usaha harus bertanggung jawab memberi ganti rugi secara langsung kepada konsumen (Nugroho, 2008).

Terdapat 3 (tiga) substansi hukum mengenai tanggung jawab produk yang dapat menjadi dasar untuk menuntut ganti kerugian yang diajukan oleh konsumen, yaitu ganti rugi yang dikarenakan kelalaian (Negligence), ganti rugi yang dikarenakan ingkarjanji dan/atau wanprestasi (Breach of Warranty), dang anti rugi karena adanya tanggungjawab mutlak(Strict Product Liability)i. inosentius samsul dalam bukunya menyebutkan bahwa perlindungan konsumen terus mengalami perubahan dari jaman ke jaman, berawal dari hukum yang memiliki karakteristik represif dimana tanggung jawabnya didasarkan atas kesalahan (Fault basedliability), hinggan ke hukum yang memiliki karakteristik responsive atau berpihak kepada kepentingan konsumen dalam bentuk Strict liability (Soedjono, 2014).

Sebagaimana yang terjadi pada Richeese Factory sebagai pelaku usaha yang mengiklankan produknya dalam media sosial instagram, namun ketika konsumen ingin membeli produk yang diiklankan ternyata pegawai dari restoran tersebut mengatakan bahwa promosi tersebut tidak ada dan/atau sudah habis. Promosi/iklan tersebut tidak sesuai dengan yang di unggah pada instagram Richeese Factory dan tidak memberikan informasi yang benar dan jelas terhadap promosi yang diberikan. Hal tersebut tentunya sudah melanggar hak-hak konsumen yang terdapat pada UUPK dimana konsumen harus mendapatkan informasi yang benar, jujur dan jelas. Dasar hukum dari pelanggaran tersebut diatur dalam pasal 20 UUPK yang menyebutkan pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas segala akibat yang muncul dari iklan tersebut.

Rhicheese Factory dalam melakukan promosi di instagram dinilai tidak jujur dengan mengatakan bahwa promosi yang dilakukan sudah tidak berlaku dan/atau habis. Padahal dalam UUPK telah menuliskan bahwa pelaku usaha dilarang untuk menetapkan klausula baku yang pengungkapannya sulit dimengerti atau peletakannya tidak bentuknya tidak dapat dilihat secara jelas.Maka konsumen yang merasa dirugikan dapat melaporkan perilaku pelaku usaha tersebut kepada instansi yang bertanggung jawab untuk mengatasi sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelau usaha, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Tertulis dalam UUPK pasal 60, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat memberikan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap pasal 20, yang mana dalam hal ini tentu Richeese Factory dapat dikenakan sanski administratif berupa ganti rugi paling banyak sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan pembuktian atasperilakupelaku usaha terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab dari pelaku usaha (Usman, 2000). Sehingga Richeese Factory harus bertanggung jawab dan harus menanggung resiko apabila terbukti sengaja melakukan promosi dinstagram yang seolah-olah memiliki potongan harga dan/atau harga khusus hanya untuk menarik konsumen tetapi tidak berniat untuk memberikannya secara benar dan jujur.

 

Kesimpulan

Bentuk perlindungan hukum yang dapat UU 8/1999 tentang Perlindungan konsumen berikan kepada konsumen apabila pelaku usaha dalam hal ini Richeese Factory melakukan promosi yang tidak sesuai dan/atau tidak benar ialah perlindungan hukum eksternal melalui UUPK dengan regulasi yang terdapat pada pasal-pasal di dalamnya yang mengatur mengenai hak konsumen serta kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi promosi yang dilakukan guna melindungi konsumen yang dirugikan atas promosi tidak sesuai yang dilakukan oleh Richeese Factory.

Richeese factory dapat dimintai pertanggung jawaban atas ketidaksesuaian promosi yang dilakukannya melalui instagram apabila terbukti dengan sengaja hanya untuk menarik konsumen dengan memposting promosi instagram seolah-olah produknya memiliki potongan harga dan/atau harga khusus dan sebagaimana tertulis pada UUPK, Richeese Factory dapat dikenakan sanksi administratif paling banyak dua ratus juta rupiah.

 

BIBLIOGRAPHY

dalam Shidarta, A. Z. N. (2000). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo.

 

Indriasari, D. P. (2017). Pengaruh harga, promosi dan produk terhadap keputusan pembelian konsumen pada restoran cepat saji. Jurnal Ekonomi, 19(3), 290�298.

 

Isnaeni, M. (2016). Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan. Surabaya: Revka Petra Media.

 

Jamalong, S. A. S., Yulianti, Y., & Dahlia, M. (2022). Pengaruh Media Promosi Instagram Terhadap Kepuasan Konsumen pada Toko Dessert Box Vanila Sweet. Syntax Idea, 4(9), 1371�1385.

 

Kotler, P. (2016). Keller, 2007, Manajemen Pemasaran, Jilid I, Edisi Kedua belas, Jakarta: PT. Indeks.

 

Kristiyanti, C. T. S. (2022). Hukum perlindungan konsumen. Sinar Grafika.

 

Maharani, A., & Dzikra, A. D. (2021). Fungsi Perlindungan Konsumen Dan Peran Lembaga Perlindungan Konsumen Di Indonesia: Perlindungan, Konsumen Dan Pelaku Usaha (Literature Review). Jurnal Ekonomi Manajemen Sistem Informasi, 2(6), 659�666.

 

Nugroho, S. A. (2008). Proses penyelesaian sengketa konsumen ditinjau dari hukum acara serta kendala implementasinya.

 

Rajagukguk, E. (2002). Hukum perlindungan konsumen.

 

Rianti, N. K. A. N. R. (2017). Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Dalam Hal Terjadinya Hortweighting Ditinjau Dari Undang-Undang RI No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jurnal Magister Hukum Udayana, 6(4), 521�537.

 

Setiono, J. H. (2004). Rule of law (supremasi hukum). Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

 

Sharon, G. (2018). Ganti Rugi Dalam Metode Promosi yang Menyesatkan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Binamulia Hukum, 7(1), 50�70.

 

Soedjono, S. B. (2014). Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Konsumen Di Dunia Maya Tentang Tanggungjawab Produk. RATU ADIL, 3(2).

 

Soekanto, S. (2006). Pengantar penelitian hukum. (No Title).

 

Usman, R. (2000). Hukum Ekonomi dalam dinamika.

 

 

Copyright holder:

Anisa Fithrotuningrum (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: