Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 8, Agustus 2023

 

APAKAH SEKTOR AGRIKULTUR MASIH MERUPAKAN UJUNG TOMBAK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI PROVINSI LAMPUNG?

 

Firda Maharani Anwar

Politeknik Keuangan Negara STAN

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan merupakan sektor yang diandalkan dalam perekonomian di kabupaten/kota provinsi Lampung baik di masa kini maupun di masa mendatang, mengetahui tingkat pertumbuhan dan daya saing sektor terkait serta apa saja strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah Lampung untuk mengembangkan sektor tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ), Dynamic Location Quotient (DLQ), dan shift share. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan merupakan sektor basis 12 kabupaten/kota dan sektor prospektif di 3 kabupaten/kota.Berdasarkan analisis shift share, diperoleh hasil bahwa sebanyak 6 kabupaten/kota masuk ke dalam kuadran III dan 9 lainnya termasuk dalam kuadran IV. Berdasarkan hasil penelitian ini, Pemerintah perlu membuat kebijakan yang komprehensif di bidang agrikultur untuk dapat mengembangkan sektor pertanian sebagai keunggulan komparatif provinsi Lampung.

 

Kata kunci: Hasil Bagi Lokasi Dinamis; Mengapung; Hasil Bagi Lokasi; Pertanian; Pembagian Shift.

 

Abstract

This research aims to determine whether the Agriculture, Forestry, and Fisheries sectors are relied upon in the economy of regencies/cities in Lampung province, both in the present and future, to identify the growth rate and competitiveness of these related sectors, as well as to identify strategies that can be undertaken by the Lampung regional government to develop these sectors. The research method used is descriptive quantitative analysis, utilizing Location Quotient (LQ), Dynamic Location Quotient (DLQ), and shift share analysis. The results of the research indicate that the Agriculture, Forestry, and Fisheries sectors are the basis for 12 regencies/cities and have potential in 3 regencies/cities. Based on the shift share analysis, it is found that 6 regencies/cities fall into quadrant III and 9 others fall into quadrant IV. Based on the findings of this research, the government needs to formulate comprehensive policies in the agricultural sector to further develop the agriculture sector as a comparative advantage in Lampung province.

 

Keywords: Agriculture; Dynamic Location Quotient; Lampung; Location Quotient; Shift Share.

 

Pendahuluan

Pemerintahan didasari dengan adanya kontrak sosial, dimana terjadi kesepakatan implisit antara rakyat dan pemerintah tentang apa yang diberikan masing-masing pihak kepada pihak lainnya (Haboddin, 2015). Pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat di saat masyarakat telah memberikan hak suaranya untuk memilih. Salah satu cara untuk memberikan kesejahteraan adalah dengan memberikan lingkungan yang maju dan berkembang secara ekonomi.

Di Indonesia, pemerintah pusat mendelegasikan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI kepada pemerintah daerah masing-masing provinsi (UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Inilah yang kita kenal dengan konsep otonomi daerah. Dengan ruang lingkup pengawasan yang lebih kecil, diharapkan bahwa pemerintah daerah dapat jauh lebih mengerti dan dapat memaksimalkan potensi yang dimiliki masing-masing daerah.

Indonesia diberkati dengan kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan alam yang berupa flora maupun fauna. Hal ini juga merupakan salah satu alasan mengapa Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris dan merupakan salah satu daya saing yang dapat dijual. Berbagai provinsi di Indonesia juga dikenal dengan provinsi yang mengedepankan pertanian sebagai daya jual utama provinsinya. Lampung merupakan salah satu provinsi yang mengedepankan sektor pertaniannya sebagai penggerak perekonomian.

Melansir dari Kusnandar, sepuluh provinsi terbesar yang merupakan lumbung padi dan mengandalkan perekonomiannya dari sektor pertanian antara lain adalah Jawa Timur, Riau, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan Timur. Lampung memiliki porsi sektor agrikultur terhadap PDB yang dominan dari tahun ke tahun.

Gambar 1 Penerimaan yang Berasal dari Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Tahun 2013-2022

Sumber: (Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2023)

 

Penelitian yang dilakukan oleh Diana & Rafiqah (2022) mengatakan bahwa pertanian merupakan sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan dari provinsi Lampung, dan mayoritas kabupaten/kota di Lampung masih mengandalkan sektor agrikultur untuk menunjang perekonomian daerahnya. Namun tren yang terjadi pada status quo adalah walaupun secara nominal terjadi peningkatan dalam sektor agrikultur, namun secara persentase kenaikan terjadi penurunan secara berturut-turut sejak tahun 2017 hingga 2021.

Hal ini sejalan dengan temuan Sutrisno (2023) yang mengatakan bahwa selama 20 tahun terakhir, produktivitas sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan menunjukkan tren positif, namun porsi kontribusinya terhadap PDB negara menunjukkan tren sebaliknya. Hal ini dapat berarti bahwa dominasi sektor pertanian belum mampu mendorong percepatan pertumbuhan sektor dan subsektor, sehingga produknya tidak memiliki nilai tambah secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sutrisno et al., 2023).

Abi (2019) menegaskan dalam studinya bahwa suatu daerah dapat mengalami pergeseran sektor terlepas dari kekayaan alam yang sebenarnya dimiliki oleh daerah tersebut. Lebih lanjut, Darma & Yuli (2019) mengangkat fenomena Pulau Kalimantan yang mengandalkan sektor agrikultur arena kekayaan alamnya namun ternyata sektor yang memiliki potensi terbesar di masa mendatang justru industri manufaktur dan konstruksi.

Ketika suatu negara mengelola sumber daya melebihi kapasitasnya, hal itu dapat menyebabkan negara tersebut jatuh ke dalam kemiskinan. Mengelola sumber daya di luar potensinya akan membutuhkan biaya yang besar, karena negara tersebut tidak memiliki cukup bahan baku dan tenaga kerja terampil, yang mengakibatkan kesulitan bersaing dengan negara-negara lain di pasar global. Jika sebuah negara tidak melakukan perencanaan dengan baik, maka negara tersebut berisiko mengalami kegagalan.

Suatu wilayah biasanya memiliki keunggulan fisik atau ekonomi dalam produksi barang atau jasa tertentu (Siwu, 2019). Suatu daerah dapat dipaksa untuk menghasilkan beragam barang dan jasa, namun pendekatan ini akan menyebabkan memboroskan sumber daya dan membebani masyarakat secara berlebihan. Sebaliknya, suatu daerah harus berusaha untuk mengenali keunggulan komparatifnya dan berfokus pada produksi barang dan jasa dengan keunggulan komparatif tertinggi, sehingga menghasilkan surplus yang dapat diperdagangkan dengan daerah lain.

Dengan memanfaatkan keunggulan komparatif dan kompetitif mereka secara efektif dan terlibat dalam perdagangan produksi surplus, wilayah ini dapat mencapai efisiensi produksi masyarakat secara keseluruhan. Perekonomian yang maju pada suatu sektor juga akan menyebabkan spillover effect terhadap tersedianya lebih banyak lapangan kerja yang akan mengurangi tingkat pengangguran di daerah terkait (Chand et al., 2017). Santoso dalam Khusaini (2015) mengatakan bahwa daya saing daerah menjadi salah satu isu penting dalam pengembangan daerah, terutama pada pemerintahan yang menggunakan sistem otonomi daerah.

Zeibote (2019) mengatakan bahwa mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif merupakan strategi baru dalam pengembangan ekonomi regional. Ketika suatu daerah sudah memiliki keunggulan kompetitif, hal tersebut dapa membantu penggunaan sumber daya yang lebih efisien dan menguntungkan, yang memastikan efisiensi serta peningkatan indikator ekonomi. Di Indonesia, terjadi masalah dimana potensi yang dimiliki oleh masyarakat tidak dimanfaatkan secara optimal, bahkan sebagian besar potensi tersebut rusak karena kurangnya perhatian dari masyarakat dan pemerintah.

Contoh nyata adalah kerusakan hutan di Indonesia yang tidak pernah ditanam kembali. Banyak lahan yang semestinya produktif diubah menjadi lahan non-pertanian (sekitar 1 juta hektar/tahun). Perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian juga rendah, terbukti dengan pertanian bukan menjadi prioritas utama dalam pembangunan, sehingga sulit mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya, apalagi menjadi penyedia pangan dunia. Pandangan tersebut tentu saja juga mempengaruhi gerak provinsi-provinsi di Indonesia.

Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor basis pada perekonomian, apakah sektor sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dapat berkontribusi pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di masa mendatang, bagaimana tingkat pertumbuhan dan daya saing sektor terkait, serta apa saja strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah Lampung untuk mengembangkan sektor tersebut. Lebih lanjut, penelitian ini juga diharapkan untuk dapat dijadikan referensi bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan yang dapat memaksimalkan potensi masing-masing kabupaten/kota di provinsi Lampung.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif melalui pendekatan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2017), metode deskriptif kuantitatif adalah metode yang mendeskripsikan suatu fenomena atau kejadian secara akurat, faktual, serta sistematis. Data pada penelitian merupakan data sekunder berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Seri 2010 Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2017-2021 Provinsi Lampung beserta 15 kabupaten/kota dibawahnya.

Ke-15 kabupaten/kota tersebut adalah Lampung Barat, Lampung Selatan, Lampung Utara, Lampung Timur, Lampung Tengah, Tanggamus, Way Kanan, Pesawaran, Pringsewu, Mesuji, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, Pesisir Barat, Metro, dan Bandar Lampung. Data PDRB yang digunakan adalah PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) untuk dapat menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap lapangan usaha dari tahun ke tahun. Data tersebut diambil melalui website resmi Badan Pusat Statistik (BPS).

Location Quotient (LQ) merupakan suatu perbandingan antara peran sektor/industri dalam suatu wilayah tertentu dengan peran sektor/industri tersebut secara nasional (Tarigan, 2014). Penilaian LQ ini dilakukan dengan membandingkan sektor/industri yang sama di wilayah tersebut dengan perbandingan nasionalnya pada rentang waktu yang sama. Analisis LQ umumnya ditujukan untuk menentukan sektor unggulan, mengidentifikasi sektor yang potensial untuk diekspor, serta menentukan sektor-sektor yang tidak lagi potensial untuk dilakukan ekspor.

Teknik analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi potensi internal suatu daerah dengan membaginya menjadi dua kelompok, yaitu sektor basis dan non-basis. Analisis LQ dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan merumuskan komposisi dan pergeseran sektor secara regional dengan menggunakan PDRB sebagai indikator pertumbuhan wilayah.

Keunggulan metode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain sebagai berikut: a) LQ adalah alat analisis yang sederhana, mudah digunakan, dan memberikan hasil dengan cepat. b) LQ dapat digunakan sebagai analisis awal untuk mengevaluasi suatu wilayah sebelum dilanjutkan dengan metode analisis lainnya. c) Penerapan metode LQ tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Analisis dapat diselesaikan menggunakan spreadsheet seperti Excel.

Analisis LQ dilakukan dengan memakai rumus sebagai berikut:

Dengan:

= Nilai Location Quotient

= PDRB sektor i pada kabupaten/kota

= Total PDRB sektor i pada kabupaten/kota

= PDRB sektor i nasional

= Total PDRB sektor i nasional

Terdapat tiga jenis interpretasi yang dapat diambil berdasarkan hasil kalkulasi nilai LQ, yaitu: a) LQ>1 mengindikasikan bahwa sektor tersebut adalah sektor basis dan memiliki potensi untuk diekspor. b) LQ<1 mengindikasikan bahwa sektor tersebut adalah sektor non-basis. c) LQ=1 mengindikasikan bahwa sektor tersebut hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik di wilayahnya.

Dynamic Location Quotient (DLQ) adalah sebuah metode yang digunakan untuk memperoleh informasi mengenai perubahan posisi sektor perekonomian di masa depan. Metode ini menunjukkan bahwa sektor yang saat ini dianggap sebagai sektor unggulan tidak selalu akan tetap menjadi sektor unggulan di masa depan (Amora et al., 2022). Nilai DLQ dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Dengan:

DLQ = Peranan suatu sektor pada masa yang akan datang

gin = Rata-rata pertumbuhan sektor x tingkat kabupaten/kota

gn = Rata-rata laju pertumbuhan PDRB kabupaten/kota

Gi = Rata-rata laju pertumbuhan sektor x tingkat provinsi

G = Rata-rata laju pertumbuhan PDRB provinsi

t = Jumlah tahun dilakukannya analisis

Terdapat dua jenis interpretasi yang dapat diambil berdasarkan hasil kalkulasi nilai DLQ, yaitu: a) DLQ>1 mengindikasikan bahwa sektor tersebut masih memiliki potensi untuk tetap menjadi sektor basis di masa depan. b) DLQ<1 mengindikasikan bahwa sektor tersebut tidak lagi berpotensi untuk menjadi sektor basis di masa depan.

Hasil penghitungan LQ dan DLQ dapat diinterpretasikan melalui empat kuadran yang berbeda, yaitu:

 

Tabel 1 Kuadran Hasil Analisis LQ dan DLQ

 

DLQ > 1 (Prospektif)

DLQ < 1 (Tidak Prospektif)

LQ > 1 (Sektor Basis)

Tipe I, Sektor basis, prospektif

Tipe III, Sektor Basis, Tidak Prospektif

LQ < 1 (Sektor Non-Basis)

Tipe II, Sektor Non-basis, prospektif

Tipe IV, sektor non-basis, tidak prospektif

 

Metode Analisis shift-share memperbandingkan perbedaan laju pertumbuhan sektor-sektor di suatu daerah dengan laju pertumbuhan pada level nasional. Memiliki konsep yang sama dengan LQ, shift-share memberikan analisis lebih yang dapat mengetahui kinerja perekonomian daerah, pergeseran struktur, posisi relatif sektor-sektor ekonomi, serta mengidentifikasi sektor unggulan daerah.

Metode ini pertama kali dicetuskan oleh (Perloff et al., 1960). Menurut Putra (2011), analisis shift-share memiliki tiga komponen, yaitu: a) National Share. Perubahan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi nasional secara keseluruhan, seperti perubahan kebijakan ekonomi nasional. b) Proportional Shift. Pertumbuhan wilayah yang dipengaruhi oleh perbedaan di antara sektor-sektor dalam permintaan akhir, ketersediaan bahan baku, kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan, subsidi, dan dukungan harga), serta struktur pasar. c) Differential Shift. Pertumbuhan wilayah juga dipengaruhi oleh pengaruh dari wilayah lain. Kecepatan atau lambatnya pertumbuhan didukung oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, infrastruktur sosial-ekonomi, dan kebijakan ekonomi regional.

Shift-share dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Dengan:

∆Y = Tambahan sumbangan perekonomian semua sektor

Ns = National Share

Ps = Proportional Shift

Ds = Differential Shift

Untuk menilai profil pertumbuhan sektor-sektor ekonomi, dapat dilakukan dengan memanfaatkan bantuan 4 kuadran yang terdapat pada garis pandang. Sumbu horizontal akan menggambarkan persentase perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PPij), sementara sumbu vertikal akan menunjukkan persentase pertumbuhan pangsa wilayah (PPWij). Dengan cara ini, pada sumbu horizontal dapat digunakan PP sebagai sumbu x, sedangkan PPW digunakan sebagai sumbu y.

Sumber: Salakory & Matulessy (2020)

Gambar 3 Kuadran Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Analisis Shift Share

 

Penjelasan masing-masing kuadran pada gambar 3 adalah sebagai berikut:

Kuadran I adalah situasi di mana nilai PP dan PPW keduanya positif. Ini mengindikasikan bahwa sektor-sektor di wilayah tersebut mengalami pertumbuhan yang cepat (ditunjukkan oleh nilai PP) dan memiliki tingkat daya saing yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah lain (ditunjukkan oleh nilai PPW).

Kuadran II adalah situasi di mana PP bernilai positif dan PPW bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut mengalami pertumbuhan yang cepat (ditunjukkan oleh nilai PP yang positif), tetapi tingkat daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut kurang baik dibandingkan dengan wilayah lainnya (ditunjukkan oleh nilai PPW yang negatif).

Kuadran III adalah situasi di mana nilai PP dan PPW keduanya negatif. Ini menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut mengalami pertumbuhan yang lambat dengan tingkat daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain.

Kuadran IV merupakan situasi di mana PP bernilai negatif dan PPW bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut mengalami pertumbuhan yang lambat (ditunjukkan oleh nilai PP yang negatif), tetapi tingkat daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya (ditunjukkan oleh nilai PPW yang positif).

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Peranan Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan terhadap Perekonomian

Dinamika perekonomian di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai macam sektor usaha. Ada sektor-sektor yang merupakan garda terdepan dalam hal menggerakkan perekonomian suatu regional dan ada juga yang bukan. Suatu sektor dapat menjadi sektor unggulan di satu wilayah, tetapi tidak untuk wilayah lain. Hasil pada tabel 3 menunjukkan persebaran status sektor pertanian dalam perekonomian kabupaten/kota di provinsi Lampung.

Diketahui bahwa mayoritas kabupaten/kota di provinsi Lampung memiliki sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebagai sektor basis. Sebanyak 12 dari 15 kabupaten/kota di provinsi Lampung menempatkan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebagai sektor yang dianggap sebagai keunggulan komparatif kabupaten/kota tersebut. Hal ini memiliki arti juga bahwa sektor tersebut telah mampu untuk memenuhi tidak hanya kebutuhannya sendiri, namun juga untuk memenuhi kebutuhan di daerah lainnya (Jumiyanti, 2018).

Provinsi Lampung merupakan provinsi yang kaya akan sumber daya alam seperti kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan, serta hasil pertanian. Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung (2022) mencatat bahwa komoditas utama pertanian di provinsi Lampung adalah kopi robusta, karet, kelapa dalam, tebu, dan tembakau. Kabupaten Lampung Barat telah secara konsisten menjadi penghasil utama komoditas kopi robusta sejak tahun 2015 hingga 2022 dengan jumlah produksi mencapai 50 persen dari total produksi di provinsi Lampung.

Sementara itu, Kabupaten Way Kanan dan Mesuji mengandalkan komoditas karet dalam sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanannya. Kabupaten/Kota lain juga memiliki komoditas unggulannya masing-masing, antara lain Lampung Tengah dengan komoditas tebu, Tanggamus dan Lampung Selatan dengan komoditas kelapa dalam, dan Lampung Timur dengan komoditas Tembakau. Walaupun kabupaten/kota tersebut merupakan wilayah yang dominan dalam memproduksi komoditas tertentu, namun seluruh kabupaten/kota di provinsi Lampung juga memiliki hasil produksi pada komoditas tersebut, hanya saja dalam volume yang berbeda.

Pengembangan sektor pertanian di provinsi lampung juga didukung dengan kondisi tanah yang memadai untuk dijadikan lahan persawahan. Pada tahun 2022, Lembaga penelitian beras dunia, International Rice Research Institute (IRRI), memberikan apresiasi kepada Indonesia sebagai negara yang berhasil mencapai swasembada beras. IRRI menilai bahwa Indonesia telah mencapai swasembada karena mampu memenuhi lebih dari 20 persen kebutuhan beras masyarakat.

Provinsi Lampung memiliki total luas panen padi sebesar 518.256,06 hektar selama tahun 2022 serta merupakan produsen beras ke-enam nasional dengan total produksi padi mencapai 2.688.159,74ton selama tahun 2022. Selain itu, dari sisi subsektor peternakan pun memberikan potensi yang menjanjikan. Berdasarkan Badan Karantina Pertanian Provinsi Lampung (2019), Provinsi Lampung merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang menjadi penyedia ternak terbesar (lumbung ternak) dan berfungsi sebagai daerah penyangga bagi DKI Jakarta dan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan daging atau ternak potong bagi masyarakat.

Selain itu, Provinsi Lampung juga memenuhi kebutuhan ternak bagi beberapa provinsi di pulau Sumatera. Selain itu apabila menilik dari sisi penyerapan tenaga kerja, persentase tenaga kerja informal sektor pertanian provinsi Lampung secara konsisten berada di atas 90 persen sejak tahun 2018 hingga 2022. Tenaga kerja yang berasal dari sektor pertanian memberikan konstribusi terbesar dalam PDRB Provinsi Lampung. Dengan banyaknya penduduk yang menggantungkan mata pencahariannya di sektor ini maka pantaslah apabila mayoritas kabupaten/kota di Lampung menambatkan status basis pada sektor terkait.

Namun di sisi lain, ada 3 kabupaten/kota yang tidak menempatkan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebagai sektor basis, yaitu kabupaten Pringsewu, Kota Metro, dan Kota Bandar Lampung. Hal ini didukung dengan hasil produksi padi per bulan dari ketiga wilayah ini yang cenderung rendah apabila dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Pada bulan tertentu ketiga provinsi ini juga kerap tidak menghasilkan produksi padi.

Mengingat karakteristik ketiga wilayah yang cenderung mendekati karakteristik perkotaan dan tata kotanya lebih dipenuhi dengan perumahan dan gedung perkantoran, maka mereka cenderung lebih mengandalkan sektor-sektor lain sebagai basis perekonomiannya. Penelitian yang dilakukan oleh Novita, (2021) mendapatkan hasil bahwa Kota Metro mengandalkan sektor Pengadaan Listrik dan Gas, Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, serta Transportasi dan Pergudangan sebagai sektor basisnya.

Di sisi lain, Mahroji & Indrawati (2019) mengemukakan dalam penelitiannya bahwa ada 7 sektor yang menjadi sektor basis di Bandar Lampung dan tiga sektor terbesarnya adalah Industri Pengolahan, Pengadaan Listrik dan Gas, dan Konstruksi, sementara kabupaten Pringsewu mengandalkan sektor Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, sektor Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum, serta sektor Informasi dan Komunikasi sebagai sektor basisnya (Amalia et al., 2021).

Walaupun ketiga kabupaten dan/atau kota tersebut tidak mengedepankan pertanian sebagai sektor basis di wilayahnya, namun secara mayoritas provinsi Lampung memiliki sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang solid dan berdampak secara luas ke wilayah lain, bahkan hingga di level nasional. Kumpulan track record ini memberikan justifikasi mengapa selama ini provinsi Lampung bersandar kepada sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebagai penggerak utama ekonominya.

 

B.     Peranan Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan di Masa Mendatang

Analisis Location Quotient (LQ) memberikan informasi tentang bagaimana skala suatu sektor dalam perekonomian dalam satu waktu. Kelemahan dari hasil analisis tersebut adalah bersifat statis dan hanya memberikan gambaran pada satu titik waktu saja, sehingga tidak mampu mengidentifikasi kemungkinan perubahan yang terjadi di masa depan. Untuk mengatasi hal tersebut dapat digunakan metode Dynamic Location Quotient (DLQ) sebagai model analisis yang mampu memperlihatkan laju pertumbuhan suatu sektor di suatu daerah/wilayah dan dibandingkan dengan laju pertumbuhan sektor tersebut pada tingkat nasional.

Hasil pengujian pada tabel 3 menunjukkan bahwa dari 12 kabupaten/kota di mana sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan menjadi sektor basis, hanya tiga kabupaten/kota yang menganggap sektor tersebut sebagai sektor yang prospektif untuk kedepannya. Kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Mesuji, dan Kabupaten Tulang Bawang Barat. Di sisi lain, ada satu wilayah yang menganggap sektor ini prospektif walaupun bukan merupakan sektor basis di wilayahnya yaitu kota Metro.

Sedangkan sisanya, yaitu 11 kabupaten/kota lainnya memiliki DLQ<1, yang artinya sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan tidak dianggap sebagai sektor yang prospektif dan berkelanjutan untuk ke depannya. Nilai DLQ yang melebihi satu juga memiliki arti bahwa potensi perkembangan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan di kabupaten/kota lebih cepat apabila dibandingkan sektor yang sama di level Provinsi.

Dengan nilai DLQ yang kurang dari 1, maka sektor ini tidak dapat diharapkan untuk tetap menjadi sektor basis di masa yang akan mendatang. Hal ini juga ditandai dengan tren penerimaan yang berasal dari sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang cenderung fluktuatif dengan trend pertumbuhan yang menurun. Salah satu penyebab mengapa sektor ini tidak dapat diperkirakan untuk tetap menjadi sektor unggulan utama adalah karena adanya fenomena alih fungsi lahan pangan.

Alih fungsi lahan pertanian telah berlangsung selama periode yang cukup lama, dimulai dengan pemindahan kepemilikan lahan melalui transaksi dengan frekuensi rendah (Widjaya, 2017). Alih fungsi lahan juga dapat terjadi karena meningkatnya permintaan lahan untuk berbagai kegiatan. Penggunaan lahan yang semakin meningkat untuk membangun tempat tinggal, tempat usaha, memenuhi akses umum, dan fasilitas lainnya akan menyebabkan lahan yang tersedia semakin terbatas (Pewista & Harini, 2013).

Apabila lahan yang tersedia untuk dimanfaatkan menjadi area pertanian maupun perkebunan semakin menipis, maka hal tersebut juga akan berpengaruh kepada volume hasil panen yang juga akan berkurang. Sehingga walaupun pada status quo mayoritas kabupaten/kota di provinsi Lampung masih mengandalkan pertanian, namun tren dan pola perilaku manusia yang cenderung memilih untuk mengubah fungsi tanah pangan menyebabkan potensi ketidakberlanjutannya sektor ini di masa yang akan datang.

Di sisi lain, kurangnya petani muda di sektor ini juga dapat menjadi suatu alasan mengapa sektor ini dipandang dapat tidak lagi menjadi sektor basis di masa depan. Walaupun sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar, namun hal ini tidak diimbangi dengan nilai tambah yang signifikan. Hal ini terlihat dari pertumbuhannya yang relatif kecil apabila dibandingkan dengan sektor non pertanian.

Maka dari itu meskipun sektor pertanian masih mendominasi, namun kontribusinya menurun setiap tahunnya. Hal ini berbanding terbalik dengan fenomena yang terjadi pada sektor non pertanian dan sektor industri pengolahan yang justru mengalami penguatan (Himpuni et al., 2014).

 

C.    Tingkat Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

Kuadran I pada analisis shift share merupakan kuadran yang terbaik dimana nilai pertumbuhan proporsional (PP) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) keduanya bernilai positif. Hal ini berarti sektor-sektor pada wilayah tersebut memiliki pertumbuhan yang tergolong cepat serta memiliki daya saing yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lain pada sektor yang bersangkutan.

Namun berdasarkan Tabel 4, tidak ada satu kabupaten/kota pun yang termasuk ke dalam kuadran I. Sebanyak 6 kabupaten/kota masuk ke dalam kuadran III sedangkan 9 kabupaten/kota masuk ke dalam kuadran IV. Bagi kabupaten/kota yang berada di kuadran 3, maka sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan di wilayah tersebut mengalami pertumbuhan yang lambat dan juga memiliki tingkatan daya saing yang kurang baik apabila dibandingkan dengan wilayah lain.

Sedangkan bagi kabupaten/kota yang masuk ke dalam kuadran IV walaupun sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan di wilayah tersebut memiliki pertumbuhan yang lambat, namun ia memiliki daya saing yang lebih baik apabila dibandingkan dengan wilayah lain. Tingkatan daya saing suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai hal yang ada pada daerah tersebut. Misalnya pada kabupaten Tulang Bawang Barat di mana pemerintah daerahnya menerapkan penggunaan bibit unggul, pengaturan pola tanam, serta pengendalian hama atau organisme pengganggu tanaman (Maisaroh, 2017).

Hal ini menyebabkan kualitas panen yang mumpuni baik dari segi kuantitas maupun kualitas sehingga sektor pertanian di wilayah tersebut dapat bersaing dengan baik. Di sisi lain, kabupaten Lampung Selatan juga diberkahi dengan jenis tanah yang merupakan lokasi strategis dalam pengembangan sektor pertanian terutama perkebunan tahunan dan tanaman pangan. hal ini dibuktikan dengan hasil panen tanaman sayuran berupa bawang merah, cabai, petai, dan tanaman sayuran lainnya yang selalu konsisten menempati posisi 5 teratas di provinsi Lampung menurut data yang tertera pada Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung (2018).

Di sisi lain, perubahan pertumbuhan proporsional (PP) juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, permintaan produk akhir, dan kebijakan-kebijakan industri, seperti kebijakan subsidi dan ketentuan perpajakan (Sugeng, 2005). Bagi kabupaten/kota yang tergabung dalam kuadran III hanya dibutuhkan dorongan serta stimulus dari Pemerintah dalam bentuk kebijakan yang dapat memaksimalkan potensi dan mempercepat pertumbuhan sektor terkait karena pada dasarnya komoditas tersebut sudah memiliki daya saing yang baik. Di sisi lain, untuk kabupaten/kota yang tergolong dalam kuadran III, akan diperlukan juga ide-ide baru dari Pemerintah untuk meningkatkan daya saing dari sektor tersebut agar dapat bersaing dengan wilayah lain.

 

D.    Strategi Pengembangan Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan

Berdasarkan pemetaan kondisi sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan serta kendala yang ada di lapangan, maka dapat dirumuskan beberapa strategi pengembangan sektor terkait, antara lain:

1.      Meningkatkan penggunaan teknologi pengolahan hasil pertanian

Perkembangan zaman yang semakin modern menyebabkan banyaknya perubahan di berbagai aktivitas ekonomi, termasuk pada sektor pertanian. Keberhasilan seorang petani dalam mencapai keuntungan dari usaha pertanian padi sawah sangat tergantung pada peralatan yang digunakan. Petani menggunakan tenaga, modal, dan sarana produksinya sebagai faktor utama untuk mencapai hasil produksi yang diharapkan.

Maka dari itu, dalam melakukan aktivitasnya, petani juga harus senantiasa melakukan adaptasi terhadap perkembangan teknologi. Hal ini semata-mata dilakukan agar eksistensi sektor ini dapat tetap terjaga seiring berjalannya waktu. Di samping itu, penggunaan teknologi dalam sektor pertanian juga memiliki pengaruh positif terhadap hasil pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Purwantini & Susilowati (2018) menyatakan bahwa pengembangan alat dan mesin pertanian (alsintan) memainkan peran penting dalam kemajuan sektor pertanian dan berkontribusi pada peningkatan pendapatan petani. Selain itu, alsintan juga membantu mengatasi masalah kelangkaan tenaga kerja, terutama yang sering terjadi ketika memasuki musim panen.

 

2.      Meningkatkan akses permodalan bagi petani

Seringkali tidak berkembangnya sektor pertanian bukan disebabkan karena ketidakmauan petani untuk beradaptasi (contoh: membeli alsintan, memberikan pupuk organik unggul, dsb.), tetapi karena ketidakmampuan petani dalam mengakses hal tersebut. Sektor pertanian sering dikaitkan dengan daerah pedesaan yang mengalami masalah kemiskinan.

Di sisi lain, provinsi Lampung juga merupakan salah satu provinsi yang termiskin di Indonesia. Tingkat kesejahteraan masyarakat di pedesaan yang mayoritas mencari nafkah dari sektor pertanian sebagian besar masih di bawah rata-rata pendapatan nasional (Sari et al., 2014). Banyak petani yang mengalami hambatan finansial untuk mengakses teknologi maupun fasilitas yang dapat menaikkan daya jual hasil pertaniannya.

Umumnya petani hanya melakukan usaha tani dalam skala kecil karena menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing, di saat sebenarnya ada banyak komoditas tanaman pangan yang lebih prospektif. Maka dari itu, hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memberikan modal lebih kepada petani sehingga mereka memiliki kemampuan finansial untuk mengembangkan usahanya.

 

3.      Memberikan insentif agar banyak generasi muda yang berminat untuk menjadi petani

Direktur Pangan dan Pertanian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Noor Avianto mengungkapkan bahwa sekitar 64,2 persen petani di Indonesia merupakan masyarakat berusia 45 tahun ke atas. Sementara itu, petani yang berusia 35-44 tahun berjumlah sekitar 24,2 persen, usia 25-34 tahun mencakup sekitar 10,6 persen, dan yang berusia di bawah 25 tahun hanya sejumlah satu persen. Secara umum Indonesia mengalami darurat petani muda.

Apabila jumlah petani semakin berkurang dan keberlanjutannya menjadi tidak dapat dijamin, maka hasil pertanian pun juga akan menurun selaras dengan fenomena tersebut. Untuk itu, pemerintah perlu membuat suatu kebijakan yang dapat memberikan mereka insentif. Salah satu dari 10 prinsip ekonomi adalah orang akan bereaksi terhadap insentif.

Pemerintah perlu mengemas sektor pertanian yang biasanya identik dengan sektor yang tradisional dan tidak menarik menjadi suatu sektor yang menarik dan menjanjikan dengan membuatnya lebih terlihat modern. Selain itu, pemerintah juga perlu menjaga eksistensi petani muda yang sudah ada di status quo dengan cara memberikan berbagai pelatihan gratis untuk memberdayakan mereka. Lebih jauh lagi, Pemerintah juga dapat memberikan beasiswa kepada generasi muda untuk menempuh pendidikan di bidang pertanian.

Kabupaten Lampung Selatan memiliki suatu program yakni Program Petani Milenial yang diinisiasi Bupati Lampung Selatan yang menggaet anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk terjun menjadi petani milenial dan diberikan berbagai macam pelatihan di Balai Pelatihan Pertanian kabupaten. Terobosan ini dapat diadopsi oleh kabupaten/kota lain di provinsi Lampung untuk dapat meningkatkan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.

 

4.      Melakukan preservasi lahan sawah

Seiring berjalannya waktu, luas lahan sawah di kabupaten/kota provinsi Lampung mengalami penurunan karena sebagian lahan tersebut diubah menjadi lahan pemukiman, area industry, ataupun infrastruktur lainnya. Namun, disayangkan bahwa perubahan fungsi lahan tersebut belum diimbangi dengan upaya pembukaan lahan pertanian baru. Alih fungsi lahan tanaman pangan juga terjadi di kabupaten Pesawaran dengan alasan faktor ekonomi.

Selain itu, pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Pemerintah juga dapat menyebabkan terkikisnya lahan tanaman pangan. Kasus ini dialami oleh kabupaten Lampung Selatan, di mana lahan tanaman pangan mereka terkikis karena adanya pembangunan jalan tol berbasis citra satelit (Marlina et al., 2021). Pemerintah provinsi Lampung dapat memitigasi hal ini dengan memberdayakan lahan-lahan kering ataupun tanah bekas rawa-rawa yang diolah sedemikian rupa sehingga menjadi tanah yang cocok untuk digunakan bercocok tanam tanaman bahan pangan. Selain itu, diperlukan pula pengawasan dari sisi pemerintah untuk memantau masyarakat agar tidak mengalihfungsikan lahan di luar kepentingan pertanian.

 

5.      Mengembangkan agrowisata

Seringkali perpaduan antara dua sektor dapat memberikan dampak yang lebih signifikan. Sektor basis/unggulan dapat menjadi sektor penggerak utama dalam perekonomian suatu daerah (Abi Pratiwa Siregar & Oktaviana, 2019). Maka dari itu, Sektor pertanian yang menjadi sektor basis di mayoritas kabupaten/kota di provinsi Lampung dapat juga merangsang pertumbuhan di sektor lain, seperti pariwisata. Agrowisata merupakan sebuah pilihan alternatif untuk meningkatkan pendapatan dan keberlanjutan hidup, serta mengeksplorasi potensi ekonomi bagi petani kecil dan masyarakat pedesaan (Utama & Junaedi, 2018).

Kabupaten/kota di Lampung memiliki banyak potensi yang dapat dijadikan objek agrowisata. Beberapa yang sudah menerapkan hal tersebut antara lain desa Sungailangka di Kabupaten Pesawaran, agrowisata kampung kopi di desa Rigis Jaya Kabupaten Lampung Barat, serta Balai Benih Induk Hortikultura kabupaten Lampung Timur. Kabupaten/kota lain di provinsi Lampung dapat mengadopsi ide ini untuk kemudian diterapkan di wilayah masing-masing dengan mencari tanaman pangan khas yang kemudian dipadukan dengan edukasi wisata untuk menarik atensi masyarakat.

 

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan merupakan sektor yang diandalkan dalam perekonomian di kabupaten/kota provinsi Lampung baik di masa kini maupun di masa mendatang, mengetahui tingkat pertumbuhan dan daya saing sektor terkait serta apa saja strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah Lampung untuk mengembangkan sektor tersebut. Berdasarkan hasil analisis LQ, sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan termasuk ke dalam sektor basis perekonomian pada seluruh kabupaten/kota di Lampung dengan pengecualian pada kabupaten Pringsewu, kota Metro, dan Kota Bandar Lampung.

Berdasarkan analisis DLQ, terdapat 4 kabupaten/kota di mana sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan merupakan sektor yang prospektif di masa mendatang yakni pada kabupaten Lampung Selatan, Mesuji, Tulang Bawang Barat, dan Metro. Sedangkan untuk kabupaten/kota lainnya di provinsi Lampung, sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan bukan merupakan sektor yang prospektif.

Apabila dikombinasikan dengan hasil analisis Location Quotient (LQ), maka hanya terdapat 3 wilayah di mana sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan merupakan sektor basis dan prospektif, yaitu di kabupaten Lampung Selatan, Mesuji, dan Tulang Bawang Barat.

Berdasarkan analisis shift share, diperoleh hasil bahwa sebanyak 6 kabupaten/kota masuk ke dalam kuadran III yang berarti sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan di wilayah tersebut mengalami pertumbuhan yang lambat dengan tingkat daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Wilayah tersebut adalah Lampung Timur, Lampung Utara, Pesawaran, Tanggamus, Metro, dan Bandar Lampung.

Di sisi lain, terdapat 9 kabupaten/kota yang tergolong ke dalam kuadran IV, yang berarti bahwa walaupun pertumbuhannya lambat namun memiliki daya saing yang lebih baik apabila dibandingkan dengan wilayah lain. Wilayah tersebut adalah Lampung Barat, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Pesisir Barat, Mesuji, Way Kanan, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, dan Pringsewu. Diketahui bahwa tidak ada kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kuadran I dan II.

Berdasarkan analisis kondisi sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan serta tantangan yang dihadapi di lapangan, beberapa strategi dapat dilakukan untuk mengembangkan sektor terkait, antara lain dengan meningkatkan penggunaan teknologi pengolahan hasil pertanian, meningkatkan akses permodalan bagi petani, memberikan insentif agar banyak generasi muda yang berminat untuk menjadi petani, melakukan preservasi lahan sawah, serta mengembangkan agrowisata.

Pengalaman pembangunan ekonomi sebelumnya pada provinsi Lampung menunjukkan bahwa sektor agribisnis telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Peran sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebagai penyedia pangan yang relatif murah merupakan bentuk keunggulan komparatif yang seharusnya dipertahankan dengan menciptakan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong optimalisasi dan pengembangan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan pada kabupaten/kota di provinsi Lampung.

 

BIBLIOGRAFI

Abi Pratiwa Siregar, E. R. T., & Oktaviana, N. (2019). The Transformation of Agriculture, Forestry and Fisheries Sectors in the Indonesian Economy.

 

Amalia, V. V., Kalangi, J. B., & Tolosang, K. D. (2021). Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Potensial Kabupaten Pringsewu Periode 2015-2019. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi, 21(4).

 

Chand, K., Tiwari, R., & Phuyal, M. (2017). Economic growth and unemployment rate: An empirical study of Indian economy. Pragati: Journal of Indian Economy, 4(2), 130�137. https://doi.org/10.17492/pragati.v4i02.11468

 

Diana, T. B., & Rafiqah, I. W. (2022). Analisis Potensi Pertumbuhan Sektor Pertanian Di Provinsi Lampung. Eqien-Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 11(02), 478�488.

 

Haboddin, M. (2015). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Universitas Brawijaya Press.

 

Himpuni, O., Rustiadi, E., & Setiahadi, S. (2014). Perubahan struktural tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian di Provinsi Lampung. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental Management), 4(1), 70.

 

Jumiyanti, K. R. (2018). Analisis location quotient dalam penentuan sektor basis dan non basis di Kabupaten Gorontalo. Gorontalo Development Review, 1(1), 29�43.

 

Khusaini, M. (2015). A shift-share analysis on regional competitiveness-a case of Banyuwangi district, East Java, Indonesia. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 211, 738�744. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.097

 

Mahroji, D., & Indrawati, M. (2019). Analisis sektor unggulan dan spesialisasi regional Kota Bandar Lampung. Jurnal Ekobis: Ekonomi Bisnis & Manajemen, 9(1), 1�8. https://doi.org/10.37932/j.e.v9i1.44

 

Maisaroh, S. (2017). Analisis Peranan Dan Kontribusi Sektor Pertanian Terhadap Pertumbuhan Wilayah Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi Pada Kabupaten Tulang Bawang). UIN Raden Intan Lampung.

 

Marlina, L., Endaryanto, T., & Hijriani, A. (2021). Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Akibat Pembangunan Jalan Tol Berbasis Citra Satelit Di Kabupaten Lampung Selatan. Journal of Food System and Agribusiness, 5(1), 11�18.

 

Novita, N., Sari, R. P., & Anwar, R. (2021). Identifikasi Potensi Sektor Ekonomi Basis Dan Non Basis Kota Metro. Jurnal Agriovet, 3(2), 105�118.

 

Perloff, H. S., ES Jr, D., EE, L., & RF, K. (1960). Regions, resources, and economic growth. Regions, Resources, and Economic Growth.

 

Pewista, I., & Harini, R. (2013). Faktor dan pengaruh alih fungsi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi penduduk di kabupaten bantul. kasus daerah perkotaan, pinggiran dan pedesaan Tahun 2001-2010. Jurnal Bumi Indonesia, 2(2).

 

Purwantini, T. B., & Susilowati, S. H. (2018). Dampak penggunaan alat mesin panen terhadap kelembagaan usaha tani padi. Analisis Kebijakan Pertanian, 16(1), 73�88.

 

Putra, E. D., & Pratiwi, M. C. Y. (2019). Identification of Leading Sector and Cluster Analysis of Regencies in Kalimantan. Economics Development Analysis Journal, 8(2), 224�243. https://doi.org/doi.org/10.15294/edaj.v8i2.27237

 

Putra, M. F. (2011). Studi Kebijakan Publik dan Pemerintahan dalam Perspektif Kuantitatif. Universitas Brawijaya (UB) Press, Cetakan Pertama.

 

Sari, D. K., Haryono, D., & Rosanti, N. (2014). Analisis pendapatan dan tingkat kesejahteraan rumah tangga petani jagung di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis, 2(1), 64�70.

 

Siwu, H. F. D. (2019). Strategi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah. Jurnal Pembangunan Ekonomi Dan Keuangan Daerah, 18(6).

 

Sugeng, B. (2005). Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramita, Jakarta.

 

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif : Untuk Penelitian yang bersifat : Eksploratif, Enterpretif, Interaktif, dan Konstruktif. Alfabeta.

 

Sutrisno, J., Fajarningsih, R. U., Khairiyakh, R., Ulfa, A. N., & Nurhidayati, I. (2023). The impact of climate change on the production of cassava and sweet potato in Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 1180(1), 12038. https://doi.org/10.1088/1755-1315/1180/1/012038

 

Tarigan, R. (2014). Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi (Revisi). Bumi Aksara. Jakarta.

 

Utama, I. G. B. R., & Junaedi, I. W. R. (2018). Program Kemitraan Masyarakat Desa Wisata Blimbingsari, Melaya, Jembrana, Bali. Paradharma (Jurnal Aplikasi IPTEK), 2(2).

 

Widjaya, S. (2017). Alih Fungsi Lahan Pangan Di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. AKULTURASI: Jurnal Ilmiah Agrobisnis Perikanan, 5(10). https://doi.org/10.35800/akulturasi.5.10.2017.17826

 

Zeibote, Z., Volkova, T., & Todorov, K. (2019). The impact of globalization on regional development and competitiveness: cases of selected regions. Insights into Regional Development, 1(1), 33�47.

 

Copyright holder:

Firda Maharani Anwar (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: