Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 8, Agustus
2023
KAJIAN KEMAMPUAN BANGUNAN HIKMAT MENJAGA KEAMANAN
INSFRASTRUKTUR KERETA API DARI BAHAYA BANJIR
Sentot Purboseno1, Yudhi
Hartanto2, Didit Puji Riyanto3,
Hana Siti Kusumadewi4
1Teknik Pertanian
FTP Instiper Yogyakarta,
2Teknik Infrastruktur,
Kereta Api Indonesia, Bandung,
3Politeknik Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, Semarang,
4Persero PT. Virama Karya
Cabang Semarang
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam upaya meningkatkan aksesibilitas antara daerah dan pemerataan ekonomi, pemerintah banyak membangun infrastruktur pendukung transportasi seperti jalan tol, pelabuhan maupun rel kereta api. Pembangunan jalur transportasi berbasis jalan maupun rel kereta api akan berdampak pada lingkungan, khususnya jalur transportasi yang memotong Daerah Aliran Sungai. Terpotongnya DAS oleh infrastruktur sarana transportasi tersebut, menyebabkan perubahan pola aliran air hujan yang jatuh di daerah tangkapan air sehingga terjadi banjir. Pada jalur transportasi berbasis rel kereta api, untuk mengalirkan debit banjir dibangun Bangunan Hikmat (BH).� Bangunan Hikmat merupakan sebuah bangunan yang memotong jalur kereta api serupa dengan jembatan atau gorong-gorong, sehingga air dapat mengalir di bawah jalur kereta api. Sebagai bangunan pengendali banjir, bangunan hikmat harus dapat mengalirkan debit banjir yang terjadi baik yang terjadi dari hulu maupun dari halir sebuah DAS. Debit banjir yang harus dilayani oleh bangunan hikmat terdiri dari tiga sumber, pertama dari debit air saluran drainase jalur kereta api dan kedua aliran air dari Daerah Tangkapan Air (DTA) / Catchment Area, serta ketiga aliran air karena meluapnya debit air dari sungai terdekat di hilir Daerah Tangkapan Air. Hasil perhitungan debit banjir Sub das Lematang Hilir dengan kala ulang 25 tahunan sebesar 131,94 m3/dt, sedangkan bangunan hikmat terpasang hanya mampu mengalirkan 78,74 m3/dt. Untuk itu perlu dibangunan bangunan hikmat baru berupa box culvert dengan dimensi 1,5 x 1,5 m sebanyak 10unit dengan kapasitas pengaliran total 77,10 m3/dt. Analisis tersebut hanya mempertimbangkan kemampuan Sungai Lematang menerima debit banjir dari hulu dalam kondisi normal.
Kata Kunci: Rel Kereta Api; Bangunan Hikmat; Daerah Tangkapan Air dan Debit Banjir.
Abstract
In
an effort to improve accessibility between regions and economic equality, the
government has built many transportation supporting infrastructure such as toll
roads, ports and railways. The construction of road and rail-based
transportation lines will have an impact on the environment, especially
transportation routes that cut through watersheds. The cutting of the watershed
by the infrastructure of transportation facilities causes changes in the flow
pattern of rainwater falling in the catchment area resulting in flooding. On
the railway-based transportation line, to drain flood discharge, the Hikmat
Building (BH) was built.� The Wisdom
Building is a building that cuts a railway track similar to a bridge or
culvert, so that water can flow under the railway track. As a flood control
building, wisdom building must be able to drain flood discharge that occurs
both from upstream and from the halir of a watershed. The flood discharge that
must be served by the wisdom building consists of three sources, first from the
water discharge of the railway line drainage channel and second from the
Catchment Area (DTA) / Catchment Area, and third the flow of water due to
overflowing water discharge from the nearest river downstream of the Catchment
Area. The calculation of the flood discharge of the Lematang Hilir Sub
watershed with a 25-year anniversary of 131.94 m3 / s, while the installed
wisdom building is only able to drain 78.74 m3 / s. For this reason, it is
necessary to build a new wisdom building in the form of a box culvert with
dimensions of 1.5 x 1.5 m as many as 10 units with a total drainage capacity of
77.10 m3 / s. The analysis only considered the ability of the Lematang River to
receive flood discharge from upstream under normal conditions.
Keywords: Railways, Wisdom Buildings, Catchment Areas and Flood Discharge.
Pendahuluan
Dalam rangka mempercepat konektivitas dan aksesibilitas antara satu daerah ke
daerah lainnya dan pemerataan pertumbuhan ekonomi disegala bidang, pemerintah membangun berbagai sarana transportasi (Nisaa & Humaira, 2015);(Lovina, 2022). Sarana transportasi yang dibangun terdiri dari berbagai moda,
moda transportasi air dengan pembangunan tol Laut seperti pelabuhan, moda transportasi udara membangun bandara serta moda transportasi
darat seperi jalan tol dan rel
kereta api (Putra, 2018);(Karim et al., 2023);(Fatimah, 2019).
Jalur kereta api merupakan bangunan
memanjang yang memisahkan atau memotong bentang
lahan yang menjadi dua bagian, bentang lahan yang terpotong oleh bangunan tersebut antara lain adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) (Katahati, 2017). Terpisahnya DAS menjadi dua bagian tersebut, mempengaruhi pola aliran yang terjadi. Saat terjadi hujan di daerah tangkapan air (Catchment Area) air akan
terkonsentrasi ke saluran-saluran alami dan akan mengalir ke
bagian hilir, apabila jalur kereta
api berada di hilir catchment area maka air akan terbendung di jalur kereta api
tersebut (Agustianto, 2014).
Pada saat debit air
yang datang tertahan dan elevasi muka air melampaui elevasi jalur kereta api,
maka kerusakan jalur kereta api
karena tergerus aliran banjir sangat mungkin terjadi (Harianto, 2022). Mengingat jalur
kereta api yang dibangun tidak di desain sebagai tanggul banjir, maka debit yang datang perlu segera dialirkan
kebagian hilir jalur. Bangunan yang dipersiapkan untuk mengalirkan debit banjir tersebut semacam cross drainage
di sebut sebagai Bangunan Hikmat, di setiap jalur kereta api
biasanya terdapat beberapa Bangunan Hikmat untuk antisipasi banjir (Silalahi & Harahap,
2021).�
Perubahan tata guna lahan
di daerah tangkapan air menimbulkan semakin tingginya debit banjir yang terjadi Halim (2014), untuk itu
dalam penelitian ini diajukan kajian
kemampuan bangunan hikmat yang terbangun terhadap debit rencana. Lokasi penelitian yang di ambil adalah pada jalur kereta api Muara Gula Baru, Ujan Mas, Muara Enim, Suamatera Selatan. Jalur tersebut
terletak pada DAS Lematang sehingga memotong daerah tangkapan air DAS tersebut di bagian Hilir.
Posisi jalur kereta
api Muara Gula di daerah tangkapan air DAS Lematang menyebabkan aliran air dari hulu akan
terbendung oleh jalur tersebut, pada saat air yang tertahan tidak dapat mengalir ke hilir menuju
sungai terdekat, muka air akan terus
naik sehingga melimpas jalur kereta api
(Verrina et al., 2013). Kondisi tersebut
jelas tidak diinginkan, sebab dengan limpasnya air di atas jalur kereta
api jelas akan menghambat pergerakan kereta api karena rel
penuh dengan air.
Selain itu terbendungnya sejumlah air oleh jalur kereta api,
akan menyebabkan jalur mengalami tekanan air yang semakin lama semakin tinggi sehingga pada gilirannya jalur kereta api
runtuh. Untuk mengatasi hal tersebut
air yang terbendung harus dapat di alirkan ke jaringan drainase
atau sungai terdekat.
Permasalahan banjir yang di hadapi jalur kereta
api Muara Gula, tidak hanya dari kiriman
air dari hulu DAS Lematang, akan tetapi meluapnya Sungai Lematang juga perlu di antisipasi. Banjir yang terjadi pada tanggal 9 Maret 2023
mampu merendam ratusan rumah dan menghanyutkan empat rumah di sepanjang aliran Sungai Lematang
(Sripoko.com, 2023). Kejadian tersebut
mengindikasikan bahwa banjir Sungai Lematang juga harus di waspadai, mengingat jarak jalur kereta api
ke Sungai Lematang hanya berkisar 250 m.
Pada kondisi banjir sungai tersebut,
selain bangunan hikmat untuk mengalirkan
banjir dari sungai lematang juga diperlukan kolam retensi. Kolam retensi banjir diperlukan saat sistem drainase
alamiah tidak mampu mengalirkan air ke sungai, maka
air dapat dialirkan ke kolam retensi
untuk diparkir sementara. Saat elevasi muka air Sungai Lematang turun dan perbedaan elevasi dari kolam
retensi ke sungai mencukupi, maka air dapat dialirkan.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan
di Jalur Kereta Api Muara Gula, Ujan
Mas, Masuk dalam Divisi III, Sumatera Selatan, jalur kereta api
tersebut memotong DAS Lematang di bagian hilir. Sungai Lematang merupakan salah satu dari Sungai Besar di Sumatera Selatan, yang dikenal sebagai salah satu Batanghari Sembilan atau sembilan sungai besar yang mengalir di Sumatera
Selatan. Hulu Sungai Lematang berada
di kaki Gunung Patah yang masuk
dalam rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Sumber
Sungai Lematang terletak di
area Hutan Adat Mude Ayek Tebat Benawa, Kota Pagar Alam, di hutan
tersebut ada tiga mata air yaitu
Ayek Puding, Ayek Ringkeh, dan Ayek Basemah.
Komponen yang akan menjadi
pokok kajian dalam penelitian ini, meliputi Bangunan
Hikmat Jalur Kereta Api BH 878, Daerah Tangkapan Air Sub DAS Lematang Hilir, data curah hujan stasiun Pinang Balarik. Peta Jalur Kereta Api
Muara Gula di peroleh dari
PT KAI Drive III Sumatera Selatan, Pata DAS Lematang diambil dari Peta RBI Bakosurtanal, Sedangkan data hujan diperoleh dari Balai Besar
Wilayah Sungai Sumatera VIII.
Menentukan arah aliran
dari suatu DTA (Daerah Tangkapan Air) dilakukan dengan bantuan peta DEM (Digital Elevation Model) (Cahyadi & Sutanhaji,
2013). Dengan bantuan peta tersebut dapat
ditentukan luasan DTA yang berpengaruh pada suatu BH (Verinna et.al, 2013). Data hujan
yang digunakan dalam analisis ini merupakan
data hujan observasi stasiun Pinang Balarik selama 13 Tahun dari Tahun 2004 s.d. 2016 yang dikelola oleh
Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera VIII. Data yang diperoleh
akan dianalisis kelayakannya untuk memastikan bahwa data dapat digunakan sebagai dasar analisis
menentukan karakteristik hujan suatu DAS, seperti curah hujan,
intensitas, frekuensi dan periode ulang hujan.
Persamaan empirik yang digunakan
dalam penelitian ini, untuk menentukan
intensitas hujan digunakan rumus Mononobe, seperti yang terlihat pada persamaan 2.1.
Dimana:
�� I�� = Intensitas hujan (mm/jam)
�� t�� = lamanya curah hujan (jam)
�� R24= Curah hujan maksimum harian (mm)
Waktu konsentrasi adalah waktu yang dibutuhkan air hujan untuk mengalir mulai saat jatuh
sampai ke titik jenuh membentuk
aliran. Untuk menentukan waktu konsentrasi Kirpich (1940) dalam Suripin 2004, digunakan persamaan 2.2. berikut:
dimana:
Tc = waktu konsentrasi
L�� = panjang saluran
S�� = kemiringan saluran
Salah satu model hujan aliran yang sering dipergunakan untuk memperkirakan debit banjir adalah Model Rasional (Agustianto,
2014). Bentuk
model empirik sederhana tersebut adalah:
Qp = Kr C i A����
........................................................................................(2.3)
dimana:
�� Qp = debit puncak (m3/dt)
�� C�� = koefisien aliran (tanpa dimensi)
�� I��� = intensitas hujan (mm/jam)
�� A�� = luas daerah tangkapan hujan (km2)
�� Kr = nilai konfersi (dalam hal ini
0,00278)
Metode empirik ini disarankan digunakan untuk daerah tangkapan air (DTA) yang luasnya kurang dari 300 ha (Verrina
et al., 2013).
Untuk menentukan
kapasitas pengaliran suatu bangunan air digunakan persamaan Manning seperti yang terlihat pada persamaan berikut (Wildan
et al., 2019):
���������������������������������� ..............................................................................(2.6)
dimana:
V = kecepatan aliran (m/jam)
R = jari-jari hidrolis
S = kemiringan saluran
A = penampang basah saluran
n = koefisien kekasaran saluran
Hasil dan Pembahasan
A. Daerah Tangkapan Air
Daerah tangkapan air BH 878 terdiri
dari dua wilayah, yaitu daerah tangkapan air untuk desain saluran
drainase yang dilayani BH
878 dan debit banjir SubDas
Lematang Hilir. Bangunan hikmat 878 melayani sistem drainase dari STA 15 sampai dengan STA 17, dengan luas 9.437 m2, sedangkan daerah tangkapan air SubDas Lematang Hilir yang dilayani BH 878 seluas 9.490.000
m2 atau 949 Ha. seperti
yang terlihat pada gambar 1.
Luas tangkapan air jalur
kereta api selain diperhitungkan untuk menentukan debit banjir tahunan yang terjadi, juga digunakan untuk menentukan dimensi saluran drainase di sepanjang jalur rel kereta
api (Siregar,
2016). Sehingga jumlah air yang masuk ke BH 878 berasal dari banjir SubDAS
Lematang hilir juga banjir daerah tangkapan
air jalur kereta api.
Gambar 1 Daerah Tangkapan
Air BH 878
B. Hujan Rencana
Analisis data hujan stasiun hujan Balarik
Pinang untuk menentukan karakteristik hujan SubDas Lematang Hilir dan DTA jalur kereta api, seperti
curah hujan, intensitas, frekuensi dan periode ulang hujan
hujan maksimum dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Kala Ulang
Hujan Rencana
No. |
Kala Ulang |
Hujan Rencana (mm) |
1 |
2 |
139.59 |
2 |
5 |
308.38 |
3 |
10 |
437.58 |
4 |
25 |
623.81 |
5 |
50 |
780.74 |
6 |
100 |
954.34 |
C. Debit Banjir
Rencana
Perencanaan suatu bangunan
pengendalian banjir harus didasarkan pada debit banjir maksimum yang mungkin terjadi, sehingga apabila debit yang terjadi melampui debit rencana maka bangunan
akan gagal mengatasi debit banjir tersebut (Himawan
& Sudrajat, 2011). Mengacu
Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 19/Prt/M/2011, tentang Persyaratan Teknis Jalan
Dan Kriteria Perencanaan
Teknis Jalan.
Untuk bangunan air yang melintang di bawah permukaan jalan, periode ulang rencana
debit banjir adalah 25 tahun. Hasil perhitungan debit untuk kala ulang 25 tahun dari daerah
tangkapan air hujan SubDAS Lematang hilir dan DTA jalan kereta api dapat
dicermati pada tabel 2 dan tabel 3.
Tabel 2 Hasil perhitungan
debit banjir SubDAS Lematang Hilir Kala Ulang 25 Tahun
Tabel 3 Hasil perhitungan
debit banjir Jalur Kereta
Api Kala Ulang 25 Tahun
Dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa untuk kala ulang 25 tahun, dengan menggunakan
persamaan Model Rasional
debit banjir dari SubDas Lematang Hilir sebesar 131,99 m3/detik, sedang dari
daerah tangkapan hujan (DTA) Jalur kereta api 3,12 m3/detik yang terdiri dari debit sisi kanan jalur
1,79 m3/detik dan dari sisi kiri jalur
1,34 m3/detik. Sehingga
total debit banjir yang harus
dapat mengalir di BH 878 adalah sebesar 134,11 m3/detik.
D. Kemampuan
Bangunan Hikmat
Kemampuan bangunan
hikmat yang di tinjau adalah BH 878, bangunan berupa gorong-gorong memanjang yang melintang di bawah perkukaan jalur kereta apa
sepanjang 30,55 m dengan
diameter 1,6 m, hasil analisis
dengan persamaan Manning kemampuan pengaliran bangunan hikmat tersebut adalah 11,27 m3/detik seperti yang terlihat pada tabel 4.
Tabel 4 Perhitungan Kapasitas Pengaliran Bangunan Hikmat 878
Melihat kemampuan
bangunan hikmat mengalirkan debit hanya 11,27 m�/detik, sedangkan debit banjir dengan kala ulang 25 tahun yang harus dikendalikan adalah sebesar 134,11 m3/detik jelas tidak
mampu. Alternatif penanganannya adalah dengan menambah bangunan hikmat baru yang berdekatan dengan BH 878, akan tetapi apabila di dekat BH 878 masih ada bangunan hikmat
yang masih memiliki kemampuan lebih bangunan tersebut dapat dipergunakan dengan mengarahkan aliran banjir ke
bangunan tersebut. Bangunan hikmat terdekat dengan BH 878 adalah bangunan hikmat BH 879, BH 880 dan BH 881, total kapasitas
yang masih tersedia adalah 78,74 m3/dt, seperti yang terlihat pada tabel 5.
Tabel 5 Kapasitas
Bangunan Hikmat di dekat
Sub Das Lematang Hilir
Debit banjir rencana yang harus ditangani adalah 131,94 m3/dt, sedangkan kapasitas bangunan hikmat terdekat yang masih tersisa adalah 78,74 m3/dt sehingga masih dibutuhkan bangunan hikmat dengan kemampuan
di 53,25 m3/dt. Untuk menangani
sisa debit yang harus tertangani tersebut, direncanakan dibangun bangunan hikmat berupa box culvert (BC) dengan dimensi 1,5 m x 1,5 m. Kemampuan pengaliran bangunan tersebut direncanakan 7,71 m3/dt,
total BC yang harus dibangun
adalah 10unit dengan total kapasitas 77,10 m3/dt.
Dengan terbangunnya
10unit bangunan hikmat berupa Box Culvert tersebut maka total kapasitas untuk pengendalian debit puncak atau banjir
Sub DAS Lematang Hilir dengan kala ulang banjir 25 tahunan adalah sebesar 155,84 m3/dt. Analisis ini hanya
memperhitungkan bahwa pengaliran ke hilir
atau ke Sungai Lematang dapat berjalan secara normal, artinya elevasi muka air Sungai Lematang masih mampu menerima
luapan air dari hulu.
Kesimpulan
Hasil perhitungan debit banjir
Sub Das Lematang Hilir dengan kala ulang 25 tahunan sebesar 131,94 m3/dt,
sedangkan bangunan hikmat terpasang hanya mampu mengalirkan 78,74m3/dt. Untuk
itu perlu dibangunan bangunan hikmat baru berupa box culvert dengan dimensi 1,5
x 1,5 m sebanyak 10 unit dengan kapasitas pengaliran total 77,10 m3/dt.
Analisis tersebut hanya mempertimbangkan kemampuan Sungai Lematang menerima debit banjir dari hulu dalam kondisi normal. Apabila elevasi muka air Sungai Lematang mengalami peningkatan diperlukan analisis lain untuk mempertimbangkan debit air dari hulu di parkir di kolam retensi, sebelum dialirkan ke Sungai Lematang.
BIBLIOGRAFI
Agustianto, D. A. (2014). Model hubungan hujan dan
runoff (studi lapangan). Jurnal Teknik Sipil Dan Lingkungan, 2(2),
215�224.
Cahyadi,
D., & Sutanhaji, A. T. (2013). Operator Morpho-Hidrologi pada DEM (Digital
Elevation Model) dan Peta Digital untuk Pemetaan Awal Potensi PLTA dan PLTMH
(Studi Kasus DAS Mamberamo). Jurnal Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 1(1),
1�6.
Fatimah,
S. (2019). Pengantar transportasi. Myria Publisher.
Halim,
F. (2014). Pengaruh hubungan tata guna lahan dengan debit banjir pada Daerah
Aliran Sungai Malalayang. Jurnal Ilmiah Media Engineering, 4(1).
Harianto,
D. W. I. Y. (2022). Analisis Muka Air Banjir Sungai Segeri Pada Persilangan
Jalur Ka Lintas Makassar-Parepare. UNIVERSITAS BOSOWA.
Himawan,
H., & Sudrajat, H. (2011). SIMULASI PERENCANAAN SISTEM POLDER DI DESA
JOBOKUTO UNTUK PENANGANAN BANJIR DI KOTA JEPARA. Universitas Islam Sultan
Agung Semarang.
Karim,
H. A., Lis Lesmini, S. H., Sunarta, D. A., SH, M. E., Suparman, A., SI, S.,
Kom, M., Yunus, A. I., Khasanah, S. P., & Kom, M. (2023). Manajemen
transportasi. Cendikia Mulia Mandiri.
Katahati,
L. (2017). Perancangan Stasiun Besar Kereta Api Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Lovina,
R. (2022). Kajian Konektifitas Antar Pulau Di Wilayah Kepulauan Riau. Jurnal
Potensi, 2(2).
Nisaa,
A., & Humaira, S. (2015). Penyelenggaraan Sistem Transportasi Air Terpadu
untuk Mengakselerasi dan Memantapkan Konektivitas Nasional. Warta Penelitian
Perhubungan, 27(1), 39�54.
Putra,
T. P. (2018). Kajian Pembangunan Pelabuhan Bagusa di Kabupaten Mamberamo Raya
Provinsi Papua. Warta Penelitian Perhubungan, 29(2), 253�266.
Silalahi,
B., & Harahap, M. E. (2021). Penyebab Potensi Banjir di Daerah Aliran
Sungai Deli Kota Medan. Penerbit Adab.
Siregar,
E. A. (2016). Analisa Kapasitas Drainase terhadap Banjir di Perumnas Mandala
Medan.
Verrina,
G. P., Anugerah, D. D., & Haki, H. (2013). Analisa runoff pada Sub DAS
Lematang hulu. Sriwijaya University.
Wildan,
M., Afifah, V. G., & Yatmadi, D. (2019). Perhitungan Dimensi Saluran
Drainase Perumahan Hillside Colony Bogor. Prosiding Seminar Nasional Teknik
Sipil, 1(1), 672�677.
Copyright holder: Sentot Purboseno, Yudhi
Hartanto, Didit Puji Riyanto, Hana Siti Kusumadewi (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |