Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 8, Agustus 2023

 

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH TERHADAP BATALNYA AKTA JUAL BELI AKIBAT TIDAK ADANYA DASAR KEPEMILIKAN YANG SAH ATAS OBJEK PERJANJIAN

 

Hikari Kepartono, Mohamad Fajri Mekka Putra

Magister kenotarian

Email: [email protected]

 

Abstrak

Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Salah satu perbuatan hukum mengenai hak atas tanah adalah transaksi jual beli tanah yang dapat dibuktikan secara sah melalui Akta Jual Beli. Adapun agar dianggap sebagai sebagai salah satu bentuk perjanjian, suatu jual beli tanah wajib memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif sahnya suatu perjanjian. Dalam hal suatu jual beli atas tanah tersebut tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, maka dapat mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Lebih lanjut, apabila dalam jual beli tersebut tidak terdapat dasar kepemilikan yang sah atas tanah yang menjadi objek perjanjian, maka Akta Jual Beli tersebut akan batal demi hukum. Adapun pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan dalam pembuatan Akta Jual Beli atas tanah terkait dapat dimintakan pertanggungjawaban secara administratif, perdata, maupun pidana yang sesuai dan sebanding dengan kesalahan dan/atau kelalaian yang Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut lakukan.

 

Kata kunci: Pejabat Pembuat Akta Tanah; Akta Jual Beli; Jual Beli Tanah.

 

Abstract

Land Deed Making Officer is a general official who is authorized to make authentic deeds regarding certain legal acts regarding land rights or property rights to flats. One of the legal acts regarding land rights is a land sale and purchase transaction that can be legally proven through a Sale and Purchase Deed. In order to be considered as a form of agreement, a sale and purchase of land must meet the subjective and objective conditions of the validity of an agreement. In the event that a sale and purchase of the land does not meet the conditions for the validity of an agreement, it may result in the agreement being cancelable or null and void. Furthermore, if in the sale and purchase there is no legal basis of ownership of the land that is the object of the agreement, then the Sale and Purchase Deed will be null and void. The Land Deed Making Officer concerned in making the Sale and Purchase Deed on the related land can be held administratively, civilly, or criminally responsible in accordance and comparable to the errors and/or negligence committed by the Land Deed Making Officer.

 

Keywords: Land Deed Making Officer; Deed of Sale and Purchase; Selling.

 

Pendahuluan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (�PPAT�) merupakan seorang pejabat umum yang bertugas untuk menjalankan fungsi publik negara, khususnya dalam bidang perdata (Darusman, 2016). Secara spesifik, PPAT didefinisikan sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dilihat bahwa PPAT di sini memegang peran yang sangat penting dalam proses pembuatan akta autentik, yang mana sampai saat ini perannya belum dapat digantikan oleh pihak manapun. Dengan berkembangnya teknologi informasi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi-teknologi tersebut mulai merambah bahkan menggantikan peran-peran profesi yang ada dalam masyarakat. Dalam perkembangan tersebut, profesi seorang PPAT di sini masih belum dapat tergantikan, dikatakan demikian karena dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, dibutuhkan suatu rasa dan sikap tanggung jawab, moral, dan etika dalam menjalani profesi PPAT ini.

Melanjutkan terkait wewenang PPAT sebagai pejabat umum di atas, dapat dilihat bahwa salah satu wewenang yang dimiliki oleh seorang PPAT adalah wewenang untuk membuat suatu akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu terkait hak atas tanah (Rismayanthi, 2016). Akta autentik ini sendiri didefinisikan sebagai suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang olah/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk maksud itu, ditempat di mana akta dibuat.

Salah satu akta autentik terkait hak atas tanah ini adalah Akta Jual Beli. Akta jual beli yang dibuat dan ditandatangani dihadapan PPAT ini merupakan suatu bukti bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dan disertai dengan pembayaran harga, serta membuktikan bahwa penerima hak atau pembeli sudah menjadi pemegang hak yang baru dengan memiliki bukti dari kepemilikan hak atas tanah tersebut (Iftitah, 2014).

Dalam proses pembuatan Akta Jual Beli ini, tentu saja ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, mulai dari sebelum pembuatan Akta Jual Beli, prosedur pembuatan di PPAT, sampai dengan prosedur pasca pembuatan Akta tersebut (Gaol, 2021). Apabila terdapat salah satu atau beberapa syarat dalam pembuatan Akta jual Beli ini tidak terpenuhi, tentulah ada akibat hukum yang akan mempengaruhi Akta Jual Beli tersebut (Sujana et al., 2013).

itu, sebagai pihak yang membuat Akta Jual Beli terkait apakah pihak PPAT di sini juga wajib bertanggung jawab apabila hal tersebut terjadi? Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, Penulis akan mengangkat 2 (dua) rumusan masalah, yaitu: 1) Bagaimanakah pengaturan terkait syarat sahnya perjanjian jual beli tanah berdasarkan hukum positif di Indonesia? 2) Bagaimana tanggung jawab PPAT terhadap Akta Jual Beli yang batal demi hukum akibat tidak adanya dasar kepemilikan yang sah atas objek perjanjian?

 

Metode Penelitian

Di dalam penelitian ini, akan digunakan bentuk penelitian hukum doktrinal, yaitu suatu penelitian yang bersumber dari undang-undang atau peraturan hukum yang berlaku serta doktrin-doktrin yang berkaitan dengan penelitian ini. Lebih lanjut, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data sekunder tersebut terdiri dari peraturan-peraturan terkait tanggung jawab profesi PPAT dan juga terkait jual beli tanah. Selain itu, akan digunakan juga literatur, buku, jurnal, dan kamus hukum, dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang akan dilakukan terhadap bahan-bahan hukum terkait dan hasil dari analisis dengan metode penelitian ini akan menghasilkan suatu penelitian yang berbentuk deskriptif analitis.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Perjanjian Jual Beli Tanah

Jual beli tanah merupakan suatu pemindahan hak milik atas suatu bidang tanah dari pihak penjual kepada pihak pembeli secara terang dan tunai (Hayati, 2016). Terang di sini berarti jual beli tersebut dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang, yang dalam hal ini merupakan PPAT. Sedangkan tunai yang dimaksud di sini adalah penyerahan hak dan pembayaran atas harga tanah tersebut wajib untuk dilakukan pada saat yang bersamaan. Lebih lanjut, dalam peristiwa jual beli tanah ini, terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi. Syarat materiil disini menentukan akan sah atau tidaknya jual beli tanah. Setelah syarat materiil tersebut dipenuhi, barulah kemudian proses jual beli tersebut dilakukan sesuai dengan syarat formil yang ada. Berikut adalah syarat materiil dan formil yang harus dipenuhi dalam jual beli tanah (Effendi, 1994):

1.      Syarat Materiil

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain:

a.      Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.

Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, baik itu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai. Terkait hal ini, di dalam Pasal 21 UUPA diatur bahwa yang dapat mempunyai hak milik atas suatu tanah hanya warga negara Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah.

 

b.      Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan.

Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut pemilik (Adrian Sutedi, 2023). Apabila pemilik hanya satu orang maka ia berhak untuk menjual sendiri tanahnya. Akan tetapi, jika pemilik tanah adalah dua orang, maka yang berhak menjual tanah adalah kedua orang tersebut secara bersama-sama Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai penjual.

 

c.       Tanah hak yang akan diperjualbelikan dan tidak dalam sengketa.

Mengenai tanah-tanah apa saja yang dapat diperjualbelikan telah ditentukan dalam UUPA, yaitu: a) Hak Milik (Pasal 20), b) Hak Guna Usaha (Pasal 28), c) Hak Guna Bangunan (Pasal 35), d) Hak Pakai (Pasal 41).

 

2.      Syarat Formil

Setelah syarat materiil terpenuhi maka syarat formil dalam kegiatan jual beli tanah adalah pembutan akta jual beli atas suatu tanah dibuat oleh PPAT dan ditandatangani para pihak dihadapan PPAT.

Berbicara tentang jual beli, yang pada dasarnya juga merupakan salah satu bentuk dari perjanjian, tentunya berkaitan erat juga dengan syarat sahnya suatu perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat empat syarat sahnya perjanjian (Kumalasari & Ningsih, 2018). Pertama, adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, yang artinya dalam pembuatan suatu perjanjian, harus ada persetujuan atau kesepakatan diantara para pihak yang membuat perjanjian.

Kesepakatan sendiri berarti adanya suatu penyesuaian kehendak secara bebas antara para pihak mengenai ketentuan-ketentuan pokok yang dikehendaki dalam perjanjian tersebut (Hartana, 2016). Bebas di sini berarti para pihak mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut dan menyatakan kehendaknya dengan tanpa kekhilafan, paksaan, maupun penipuan. Apabila dalam kesepakatan tersebut terdapat unsur kekhilafan, paksaan, maupun penipuan, berdasarkan ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka persetujuan tersebut dianggap tidak berkekuatan hukum.

Syarat yang kedua adalah kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan. Berkaitan dengan syarat ini, di dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur bahwa setiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali ia dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan tersebut. Terkait siapa pihak yang dinyatakan tidak cakap tersebut, Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan adalah anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

Syarat yang ketiga adalah adanya suatu pokok persoalan tertentu, yang dimaksud suatu pokok persoalan atau hal tertentu adalah apa yang menjadi perjanjian atau diperjanjikan oleh kedua belah pihak. Pada pokoknya, syarat ini bermakna bahwa barang yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut haruslah ditentukan jenisnya, dan hanya barang yang dapat diperdagangkan sajalah yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian (Indonesia & Soebekti, 1992).

Syarat yang keempat adalah adanya suatu sebab yang halal, syarat ini memiliki arti bahwa isi perjanjian dan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak yang terlibat tidaklah boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Adapun berdasarkan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila sebab tersebut dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Keempat syarat sebagaimana disebut sebelumnya, dapat dikelompokkan menjadi syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Lebih lanjut, perlu diketahui bahwa apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Perjanjian dapat dibatalkan atau voidable ini berarti salah satu pihak dapat meminta pembatalan. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Jadi dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut tidak serta merta batal demi hukum, melainkan harus dimintakan pembatalannya ke pengadilan. Di sisi lain, apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka akibatnya perjanjian tersebut akan batal demi hukum (Pratiwi et al., 2021). Perjanjian batal demi hukum atau null and void ini artinya adalah perjanjian batal, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Terkait syarat sahnya perjanjian tersebut apabila dikaitkan dalam perjanjian jual beli tanah, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif sebagaimana disebutkan di atas. Apabila di dalam perjanjian jual beli tersebut tidak terdapat suatu dasar kepemilikan yang sah atas suatu objek jual beli, yaitu tanah, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi salah satu syarat objektif perjanjian yaitu tidak adanya sebab yang halal (Sakti & Budhisulistyawati, 2020).

Dikatakan demikian karena dengan tidak adanya dasar kepemilikan yang sah, maka baik isi perjanjian maupun tujuan yang hendak dicapai oleh salah satu atau kedua belah pihak tersebut bertentangan dengan undang-undang. Berdasarkan undang-undang yang berlaku, hanya pihak yang sah dan berhak atas tanah lah yang berhak untuk melakukan perjanjian jual beli atas tanah terkait. Sebagaimana disebutkan di atas, maka dengan tidak adanya dasar kepemilikan yang sah dalam suatu perjanjian jual beli tanah, maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum.

 

B.     Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap Akta Jual Beli yang Batal Demi Hukum

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (�PP Nomor 24 Tahun 2016�), PPAT didefinisikan sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.Lebih lanjut, berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 2016 tersebut, terdapat juga PPAT Sementara dan PPAT Khusus. PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum terdapat PPAT (Dantes & Hadi, 2021).

Sedangkan PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. PPAT ini memiliki tugas pokok untuk melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang nantinya akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Diatur pula bahwa perbuatan hukum sebagaimana dimaksud sebelumnya, meliputi jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.Dalam melakukan tugas pokoknya, PPAT di sini memiliki wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum yang telah disebutkan sebelumnya mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya.

Sedangkan PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.Lebih lanjut, di dalam Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997, diatur pula bahwa peralihan hak atas tanah dan milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan apabila dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan beberapa ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa PPAT di sini memiliki kewenangan untuk membuat suatu akta mengenai peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang mana disebut sebagai Akta Jual Beli. Akta Jual Beli ini sendiri merupakan suatu bukti yang sah atas transaksi jual beli tanah atau bangunan yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli. Dikatakan demikian karena di dalam Akta Jual Beli ini terkandung kesepakatan antar pihak penjual dan pembeli terkait harga transaksi dan ketentuan-ketentuan terkait harga dan pembayaran yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Selain itu, di dalam Akta Jual Beli ini juga tercantum hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam peristiwa jual beli terkait yang dikemudian hari dapat dijadikan sebagai bukti yang sah apabila terdapat pelanggaran hak dan/atau kewajiban oleh salah satu dan/atau kedua belah pihak terkait. Lebih lanjut, dalam proses pembuatan Akta Jual Beli, terdapat beberapa ketentuan terkait dan syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh para pihak penjual dan pembeli yang apabila salah satunya tidak terpenuhi, dapat mengakibatkan Akta Jual Beli tersebut batal demi hukum atau dapat dibatalkan (Fajaruddin, 2017).

Lebih lanjut, apabila dalam suatu perjanjian jual beli tanah yang telah dibuatkan Akta Jual Beli nya oleh PPAT terbukti bahwa pihak penjual dalam perjanjian tersebut tidak memiliki dasar kepemilikan yang sah atas objek tanah terkait, maka berdasarkan penjelasan terkait syarat sahnya suatu perjanjian yang sudah dijelaskan di atas, perjanjian tersebut tidaklah memenuhi salah satu syarat objektif perjanjian. Adapun syarat objektif yang tidak terpenuhi adalah syarat adanyasuatu sebab yang halal�. Akibat dari tidak terpenuhinya syarat objektif tersebut, maka perjanjian jual beli tersebut yang dalam hal ini berbentuk Akta Jual Beli tersebut menjadi batal demi hukum.

Terkait hal ini, berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, seorang PPAT memiliki fungsi dan tanggung jawab sebagai pelaksana pendaftaran tanah. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 3 huruf (e) dan Pasal 4 huruf r angka 1 Kode Etik PPAT, seorang PPAT wajib bertanggung jawab, jujur, tidak memihak, dan juga dilarang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan tugas pokok PPAT.Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat umum, PPAT wajib menjalankan tugasnya tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kode Etik dan juga peraturan perundang-undangan terkait.

Pada saat melaksanakan tugas jabatannya tersebut, dalam hal seorang PPAT terbukti telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka terhadap PPAT tersebut dapat dikenakan sanksi berupa sanksi administratif. Lebih lanjut dalam hal seorang PPAT terbukti melakukan pelanggaran yang memenuhi delik perdata dan/atau pidana, maka terhadap PPAT tersebut dapat juga dikenakan sanksi perdata dan/atau sanksi pidana.

Adapun dalam menjalankan tugasnya tersebut, seorang PPAT memiliki dua tanggung jawab, yaitu tanggung jawab etik, yang merupakan tanggung jawab terkait dengan etika profesi PPAT, sedangkan tanggung jawab yang kedua adalah tanggung jawab hukum yang dapat berupa tanggung jawab administrasi, tanggung jawab perdata, dan tanggung jawab pidana. Berikut penjelasan dari masing-masing tanggung jawab tersebut (Solahudin Pugung, 2021):

1.      Tanggung Jawab Administrasif

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan (2) Kode Etik IPPAT, sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap anggota perkumpulan IPPAT yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dapat berupa: a) teguran; b) peringatan; c) schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT; d) onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan IPPAT; dan e) pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan IPPAT.

Lebih lanjut diatur bahwa penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana dimaksud di atas, disesuaikan dengan frekuensi dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota perkumpulan IPPAT terkait.Selain itu, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, diatur pula di dalam Pasal 10 ayat (2) bahwa seorang PPAT dapat diberhentikan dengan tidak terhormat dari jabatannya apabila melakukan suatu pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajibannya sebagai PPAT.

 

2.      Tanggung Jawab Perdata

Tanggung jawab perdata seorang PPAT ini berkaitan dengan ada atau tidaknya suatu kesengajaan, kealpaan, dan/atau kelalaiannya dalam pembuatan akta jual beli. Apabila dalam pembuatan akta tersebut terbukti adanya suatu cacat yuridis baik yang menyangkut syarat formil maupun syarat materiil yang menimbulkan kerugian bagi para pihak terkait, maka terhadap PPAT tersebut dapat pula dimintai tanggung jawab perdata dalam bentuk ganti kerugian oleh pihak yang dirugikan.

 

3.      Tanggung Jawab Pidana

Terkait tanggung jawab pidana, berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP dan seorang PPAT dapat saja diminta bertanggung jawab secara pidana apabila PPAT yang bersangkutan terbukti dengan sengaja melakukan atau memasukan keterangan palsu ke dalam akta autentik yang dibuatnya. Kesengajaan di sini merupakan suatu unsur yang penting, dikatakan demikian karena sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan di dalamnya (Wirjono Prodjodikoro, 2000).

Dalam kasus suatu Akta Jual Beli menjadi batal demi hukum karena tidak adanya suatu sebab yang halal, maka pihak PPAT di sini tentunya tidak dapat terlepas dari tanggung jawab terkait hal tersebut. Dalam hal ini, PPAT dapat dikenakan sanksi administratif yang sesuai dan sebanding dengan kesalahan yang ia perbuat dalam pembuatan Akta Jual Beli tersebut karena pihaknya di sini telah melanggar ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 3 huruf f dan g Kode Etik PPAT, yang mengatur bahwa seorang PPAT seharusnya bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur, tidak berpihak, dan memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya.

Tidak hanya itu, apabila akibat kesengajaan, kealpaan, dan/atau kelalaian PPAT dalam kasus batalnya Akta Jual Beli tersebut mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak, maka terhadap PPAT di sini dapat dimintai pertanggung jawaban perdata dalam bentuk ganti kerugian. Terakhir, apabila pihak PPAT di sini telah mengetahui fakta hukum atas tidak terdapatnya dasar kepemilikan yang sah atas tanah terkait namun PPAT tetap melaksanakan pembuatan Akta Jual Beli dengan memasukkan keterangan palsu di dalamnya secara sengaja, maka terhadap PPAT tersebut dapat pula dimintai pertanggungjawaban secara pidana.

 

Kesimpulan

Dalam suatu perjanjian jual beli tanah terdapat syarat materiil dan syarat formil yang wajib dipenuhi agar proses jual beli tersebut dianggap sah menurut hukum. Selain itu, sebagai salah satu bentuk dari perjanjian, jual beli tanah ini juga wajib memenuhi syarat subjektif dan objektif suatu perjanjian. Apabila pihak penjual dalam suatu perjanjian jual beli tanah tidak memiliki dasar kepemilikan yang sah atas tanah terkait, maka hal tersebut disini melanggar salah syarat objektif perjanjian, yaitu tidak adanya �suatu sebab yang halal�. Adapun akibat hukum atas hal tersebut adalah perjanjian jual beli tanah tersebut menjadi batal demi hukum.

PPAT adalah pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat suatu akta mengenai peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang mana disebut sebagai Akta Jual Beli. Apabila dalam menjalankan kewajibannya tersebut, baik secara sengaja maupun tidak sengaja seorang PPAT melakukan kelalaian dan/atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pihak terkait, maka terhadap PPAT tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban dalam bentuk administratif, perdata, maupun pidana yang sesuai dan sebanding dengan kesalahan dan/atau kelalaian yang PPAT tersebut lakukan,.

 

BIBLIOGRAFI

Adrian Sutedi, S. (2023). Sertifikat hak atas tanah. Sinar Grafika.

 

Dantes, K. F., & Hadi, I. G. A. (2021). Kekuatan Hukum Akta Jual Beli yang Dibuat Oleh Camat dalam Kedudukannya Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) Ditinjau dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(3), 905�916.

 

Darusman, Y. M. (2016). Kedudukan notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik dan sebagai pejabat pembuat akta tanah. ADIL: Jurnal Hukum, 7(1), 36�56.

 

Effendi, P. (1994). Praktek Jual Beli Tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

 

Fajaruddin, F. (2017). Pembatalan Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah Akibat Adanya Unsur Khilaf. De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, 2(2), 285�306.

 

Gaol, S. L. (2021). Keabsahan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Sebagai Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Tanah dalam Rangka Peralihan Hak Atas Tanah dan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden). Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 11(1).

 

Hartana, H. (2016). Hukum Perjanjian (Dalam Perspektif Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 2(2).

 

Hayati, N. (2016). Peralihan Hak Dalam Jual Beli Hak Atas Tanah (suatu tinjauan terhadap perjanjian jual beli dalam konsep hukum barat dan hukum adat dalam kerangka hukum tanah nasional). Lex Jurnalica, 13(3), 147934.

 

Iftitah, A. (2014). Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat) Dalam Membuat Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya. Lex Privatum, 2(3).

 

Indonesia, & Soebekti, R. (1992). Kitab undang undang hukum perdata: burgerlijk wetboek. Pradnya Paramita.

 

Kumalasari, D., & Ningsih, D. W. (2018). Syarat Sahnya Perjanjian Tentang Cakap Bertindak Dalam Hukum Menurut Pasal 1320 Ayat (2) KUH Perdata.

 

Pratiwi, N. M. A., Budiartha, I. N. P., & Styawati, N. K. A. (2021). Akibat Hukum Perjanjian Pinjam-Meminjam Uang yang Dinyatakan Batal Demi Hukum. Jurnal Konstruksi Hukum, 2(2), 367�372.

 

Rismayanthi, I. A. W. (2016). Tanggung jawab pejabat pembuat akta tanah (ppat) terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah yang menjadi objek sengketa. Acta Comitas, 1(1), 77�93.

 

Sakti, S. T. I., & Budhisulistyawati, A. (2020). Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Letter C Di Bawah Tangan. Jurnal Privat Law, 8(1), 144�150.

 

Solahudin Pugung, S. H. (2021). Perihal Tanah dan Hukum Jual Belinya Serta Tanggung Jawab PPAT Terhadap Akta Yang Mengandung Cacat Perspektif Negara Hukum. Deepublish.

 

Sujana, H., Handono, M., & Adonara, F. F. (2013). Kajian Hukum Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual-Beli Benda Bergerak.

 

Wirjono Prodjodikoro, R. (2000). Asas-asas Hukum Perjanjian. Mandar Maju, Bandung,(Selanjutnya Disingkat R. WirjonoProdjodikoro I).

 

Copyright holder:

Hikari Kepartono, Mohamad Fajri Mekka Putra (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: