Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 8, Agustus 2023

 

PENINGKATAN FUNGSI NOTARIS DALAM ERA DIGITAL MELALUI CYBER NOTARY

 

Ashilah Chalista Putri Yasya, Mohamad Fajri Mekka Putra

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berdampak pada lalu lintas hukum, tidak terkecuali dalam pekerjaan seorang notaris. Dewasa ini tengah berkembang sebuah konsep digitalisasi dalam praktik kerja notaris, yang dikenal dengan istilah cyber notary. Namun demikian, perkembangan tersebut belum dibarengi dengan regulasi yang memadai serta menimbulkan permasalahan hukum apakah bidang kerja notaris tersebut dapat dijalankan dengan konsep cyber notary. Dalam penelitian ini penulis ingin menelaah dan menganalisis mengenai bagaimana pengaturan cyber notary di Indonesia, serta bagaimana keabsahan suatu akta yang dibuat dengan cyber notary, merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep cyber notary di Indonesia dimungkinkan hanya berkaitan dengan penyimpanan protokol ataupun terkait pendaftaran dan permintaan surat-surat terhadap pejabat yang berwenang. Pembuatan akta notaris masih sulit dilakukan secara elektronik karena undang-undang belum mengakomodir hal tersebut. Selain itu, pembuatan akta notaris secara elektronik juga akan menyebabkan sulit tercapainya kepastian hukum.

 

Kata Kunci: Cyber Notary; Notaris; Akta Autentik; Undang-Undang Jabatan Notaris.

 

Abstract

The rapid development of information and communication technology has an impact on legal traffic, not least in the work of a notary. Currently, a concept of digitization is developing in notary work practices, known as cyber notary. However, this development has not been accompanied by adequate regulations and raises legal questions whether the notary's field of work can be carried out with the concept of cyber notary. In this study, the author wants to examine and analyze how cyber notary arrangements in Indonesia, as well as how the validity of a deed made with cyber notary, refers to the current laws and regulations. The author uses normative juridical research methods with analytical descriptive research types. The results showed that the concept of cyber notary in Indonesia may only be related to protocol storage or related to registration and request of letters to authorized officials. Making a notarial deed is still difficult to do electronically because the law has not accommodated this. In addition, making notarial deeds electronically will also make it difficult to achieve legal certainty.

 

Keywords: Cyber Notary; Notary; Authentic Deed; Notary Office Act.

 

Pendahuluan

Notaris merupakan pejabat umum yang memiliki wewenang untuk membuat akta autentik, serta kewenangan lainnya yang diatur dalam perundang-undangan (Abdullah, 2017). Pejabat umum dalam hal ini berarti bahwa seorang Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi kewenangan untuk melayani publik sesuai dengan bidang kerjanya (Notodisoerjo, 1993).

Berdasarkan sistem hukum Civil Law sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ord. Stbl. 1860 Nomor 3 tentang Jabatan Notaris, dapat diketahui bahwa notaris merupakan pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta autentik tentang semua tindakan, dan keputusan yang diharuskan oleh undang-undang untuk dikehendaki oleh yang berkepentingan bahwa hal itu dinyatakan dalam surat autentik, menjamin tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse, salinan-salinan beserta kutipannya, semua itu apabila pembuatan akta demikian dikhususkan untuk itu atau dikhususkan kepada pejabat-pejabat atau orang lain. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, disimpulkan bahwa tugas utama seorang notaris adalah berkaitan erat dengan pembuatan akta autentik. Akta yang diterbitkan oleh seorang notaris memiliki kekuatan hukum yang penuh di hadapan hukum. Oleh karena itu, peran notaris menjadi sangat vital bagi hubungan bermasyarakat khususnya dalam ruang lingkup keperdataan.

Dalam menjalankan jabatannya, seorang notaris memiliki kewajiban-kewajiban yang sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut dengan �UUJN�), di antaranya: a) Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b) Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol notaris; c) Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta; d) Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta; e) Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f) Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; g) Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h) Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i) Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulannya; j) Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf I atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k) Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l) Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambing negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m) Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; serta. n) Menerima magang calon notaris.

Berdasarkan bunyi pasal 16 tersebut, apabila diperhatikan pada huruf m terdapat kewajiban bagi seorang notaris untuk membacakan akta di hadapan para pihak dan segera setelah dibacakan, notaris yang bersangkutan, saksi, dan para pihak dengan segera menandatangani akta tersebut. Pembacaan serta penandatanganan akta dilakukan langsung secara real time di hadapan para pihak, tanpa adanya perantara, di mana dalam hal ini para pihak harus berhadapan secara langsung dengan notaris.

Dalam praktiknya, penghadap datang langsung ke kantor notaris sesuai dengan tempat kedudukannya untuk dilakukan pembacaan dan penandatanganan akta tersebut. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 18 dan 19 UUJN, bahwa notaris mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah jabatannya. Notaris dilarang untuk menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya secara teratur.

Dewasa ini kehidupan bermasyarakat semakin menuju ke arah digitalisasi. Teknologi informasi dan komunikasi semakin memengaruhi kegiatan-kegiatan masyarakat, tidak terlepas dari lalu lintas hukum sendiri. Penggunaan teknologi menyebabkan batas-batas ruang dan waktu semakin memudar, di mana hal tersebut membawa banyak dampak bagi masyarakat, baik dampak positif maupun negative (Sudy, 2015). Terlebih saat masa Pandemi Covid-19 lalu, keterbatasan untuk dapat bertatap muka secara langsung menyebabkan teknologi menjadi sangat dibutuhkan dalam kegiatan bermasyarakat.

Cukup dengan menggunakan teknologi seperti smartphone dan media internet, masyarakat tidak perlu untuk bertemu secara langsung. Dalam ruang lingkup notariat, konsep digitalisasi tersebut dikenal dengan istilah cyber notary. Walaupun belum ada definisi yang pasti mengenai cyber notary, Brian Prastyo mengungkapkan bahwa cyber notary dapat dimaknai sebagai notaris yang menjalankan tugas atau kewenangan jabatannya dengan berbasis teknologi informasi (Widiasih, 2020).

Cyber notary memanfaatkan keunggulan serta perkembangan teknologi bagi para notaris dalam menjalankan jabatannya, seperti mendigitalisasi dokumen, penandatanganan kontrak atau perjanjian secara elektronik, mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham secara telekonferen, dan hal lainnya yang serupa dengan itu (Amalia & Handoko, 2019).

Menjadi sebuah permasalahan ketika ternyata konsep digitalisasi tersebut belum dibarengi dengan peraturan yang memadai, sehingga seringkali dianggap menyalahi aturan yang ada. Hal ini menjadi sebuah dilema bagi para notaris dalam menjalankan tugasnya. Mau ataupun tidak, para notaris harus dituntut untuk dapat mengimbangi digitalisasi tersebut.

Oleh sebab itu perlu diteliti secara lebih lanjut bahwa apakah konsep digitalisasi dalam jabatan notaris merupakan peluang atau malah menjadi hambatan bagi para notaris dalam menjalankan tugasnya. Berangkat dari hal tersebut, Penulis mengangkat 2 (dua) rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu: 1 Bagaimana pelaksanaan dan aturan cyber notary di Indonesia? 2) Bagaimana keabsahan akta Notaris yang dibuat berdasarkan cyber notary?

 

Metode Penelitian

Bentuk penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah bentuk penelitian yuridis normatif, yakni bentuk metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder (Muchtar, 2015). Penelitian yuridis normatif bertujuan untuk mengidentifikasi asas atau prinsip yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan menekankan pada penggunaan norma-norma atau peraturan, di mana serangkaian istrumen hukum tersebut dapat didukung dengan bahan hukum lainnya (Mamudji et al., 2005). Sumber hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan juga sekunder.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Pengaturan Cyber Notary di Indonesia

Pada dasarnya, pemanfaatan cyber notary UUJN akan memberikan kemudahan transaksi bagi para pihak yang berjauhan sehingga jarak tidak menjadi penghalang bagi mereka dalam melaksanakan suatu perjanjian (Nola, 2016). Sebagai pedoman utama bagi notaris dalam menjalankan jabatannya pada dasarnya telah memberikan amanat bagi notaris untuk dapat menjalankan jabatannya berbasis digital.

Hal tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3) yang menyebutkan: �Yang dimaksud dengan �kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan�, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang�. Undang-undang a quo nyatanya memberikan kewennagan bagi notaris untuk mensertifikasi tansaksi yang dilakukan secara elektronik.

Namun demikian, kewenangan tersebut belum diakomodir secara lebih rinci. UUJN hanya menyebutkan mengenai cyber notary, namun tidak mendefinisikan secara normatif. Kemudian, pasal 1 angka 7 UUJN pun memberikan pengertian bahwa akta yang dibuat oleh notaris harus dibuat oleh dan di hadapan notaris. Pasal 16 ayat (1) huruf m juga mengatur mengenai kewajiban pembacaan akta di depan dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga.

Dengan demikian kemungkinan pembuatan akta notaris secara elektronik sangatlah kecil. Terlebih sangat sulit untuk dilakukan penyesuaian mengenai isi akta yang tidak dapat diubah atau ditambah sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 48 ayat (1) UUJN dan mengenai pencoretan atau renvoi yang diatur dalam Pasal 50 UUJN. Apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (�UUPT�), Pasal 77 mengatur bagi para pemegang saham untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham melalui konferensi telepon, video konferens, atau media elektronik.

Pelaksanaan RUPS secara elektronik ini diperbolehkan, dengan aturan bahwa penandatanganan harus tetap dilakukan secara langsung, tidak dapat melalui media elektronik. Tidak dipenuhinya aturan tersebut menentukan keabsahan akta risalah rapat yang dibuat oleh notaris. Dengan demikian, pembuatan akta notaris dalam pelaksanaan RUPS sangatlah sulit, mengingat keberadaan peserta RUPS dengan notaris mungkin tidak sama dengan wilayah jabatan notaris. Hal demikian sangat memungkinkan untuk menyalahi aturan perundang-undangan mengenai jabatan notaris sendiri.

Pelaksanaan cyber notary di Indonesia mengalami beberapa kendala, terutama mengenai keharusan bagi penghadap untuk menandatangani akta secara langsung di hadapan notaris (Listiyani, 2022). Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 16 huruf m UUJN. Ditegaskan pula dalam penjelasannya bahwa notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta di hadapan para penghadap dan saksi-saksi. Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi, akan mengakibatkan akta yang dibuat oleh notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.�

Hal ini tentunya akan mengakibatkan kerugian bagi para pihak, dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan sengketa di kemudian hari dan dapat menyebabkan tuntutan perdata bagi notaris yang membuat akta tersebut. Aturan mengenai tanda tangan elektronik telah diadopsi oleh Negara Belanda melalui peraturan richtlijnen elektronische handtekeningen atau petunjuk tanda tangan elektronik (Herlien, 2007).

Berdasarkan peraturan a quo, tanda tangan elektronik diakui sama dnegan tanda tangan konvensional dengan cara menitipkan tanda tangan kepada lembaga independen yang disebut Trusted Third Party. Lembaga tersebut memiliki tugas untuk menyimpan tanda tangan digital, menjamin kebenaran penukaran data dan menyimpan data elektronik lainnya dengan menggunakan metode cryptografie. Herlien Budiono berpendapat bahwa notaris dapat dikategorikan sebagai Trusted Thrid Party yang ideal.

Menurut Herlien Boediono, terdapat peluang-peluang yang memungkinkan bagi notaris untuk memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi dalam menjalankan jabatannya, antara lain: a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan atau yang dikenal dengan istilah �legalisasi� sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN; b) Mengirimkan laporan secara online oleh notaris atau kuasanya secara tertulis atas salinan yang disahkan dari daftar akta dan daftar lain; c) Mengirimkan secara online daftar akta yang berkaitan dengan wasiat atau daftar nihil kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan d) Menanyakan secara online mengenai ada atau tidaknya suatu wasiat yang dibuat oleh pewaris sebelum pembuatan Surat Keterangan Waris oleh notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

 

 

B.     Keabsahan Akta Notaris yang Dibuat Berdasarkan Cyber Notary

Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (�KUHPerdata�) mengatur mengenai syarat agar sebuah akta dikatakan autentik, antara lain: a) Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; b) Keharusan pembuatan akta oleh atau di hadapan pejabat umum; dan c) Pejabat yang membuat akta harus memiliki kewenangan di tempat akta tersebut dibuat. �Pejabat umum� yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah notaris.

Hal ini sesuai dengan pengertian notaris menurut UUJN, bahwa notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik (Borman, 2019). Akta notaris merupakan akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh undang-undang.� Mengenai bentuk dari akta notaris diatur secara rinci dalam Pasal 38 UUJN, bahwa setiap akta terdiri dari: a) Awal akta atau kepala akta yang memuat: judul akta; nomor akta; jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun pembuatan akta; serta nama lengkap dan tempat kedudukan notaris; b) Badan akta yang memuat: nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap atau pihak yang mewakilinya; keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang dituangkan oleh notaris ke dalam akta; c) Akhir atau penutup akta, yang memuat: uraian tentang pembacaan akta; uraian tentang penandatanganan akta; serta identitas lengkap para saksi akta.

Pasal 1869 KUHPerdata mengatur bahwa suatu akta notaris dapat menjadi akta di bawah tangan apabila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan seperti tidak berwenangnya atau tidak cakapnya pejabat umum yang membuat akta tersebut, atau karena cacat dalam bentuknya suatu akta. Cacatnya suatu akta dalam hal ini dapat dikategorikan karena pelanggaran terhadap ketentuan diharuskannya pembacaan dan penandatanganan akta notaris secara langsung di hadapan para pihak, yang apabila ketentuan tersebut tidak dipenuhi maka aspek formal suatu akta telah dilanggar (Setiadewi & Wijaya, 2020).

Kewajiban formil ini lahir dari pelaksanaan asas tabellionis officium fideliter exercebo, yakni kewajiban notaris untuk datang, melihat, dan mendengar setiap pembuatan akta yang dibuatnya, dan akta tersebut ditandatangani oleh notaris sendiri dan para penghadap secara langsung di tempat akta notaris tersebut dibuat (Rumengan, 2021). Kewajiban formil tersebut berkaitan dengan kewajiban seorang notaris untuk dapat memastikan bahwa pihak yang mengadakan perjanjian adalah benar pihak yang nama dan identitasnya tertuang di dalam akta yang dibuatnya (Permata, 2023).

Notaris memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pihak yang berada di hadapannya tidak membuat akta atas dasar paksaan, tipuan, maupun kekhilafan. Dalam menjalankan fungsi membuat akta autentik, notaris memiliki dasar filosofis dan sosiologis untuk dapat mendeteksi kemungkinan itikad buruk serta akibat-akibat yang tidak diinginkan untuk terjadi di kemudian hari dalam rangka melindungi kepentingan para pihak dan pihak ketiga yang beritikad baik.

Mengacu pada UUJN, secara rinci keabsahan dari suatu akta notaris harus memenuhi syarat berikut: a) Pasal 15 ayat (1) UUJN mengharuskan akta dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini notaris; b) Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN mengharuskan akta untuk dibacakan dan ditandatangani secara langsung oleh para pihak, saksi, dan notaris; c) Pasal 39 UUJN mengharuskan para pihak yang menghadap kepada notaris harus dikenal atau diperkenalkan kepada notaris; dan d) Pasal 40 UUJN mengharuskan pembacaan dan penandatanganan akta untuk dihadiri oleh minimal 2 (dua) orang saksi.

Secara de facto, penerapan cyber notary untuk membuat akta notaris tidaklah mengurangi keauntetikan akta asalkan dapat memenuhi ketentuan perjumpaan face-to-face atau hadirnya secara langsung para pihak termasuk para saksi akta di hadapan notaris, serta tanda tangan yang dibubuhkan dalam akta harus memenuhi ketentuan tanda tangan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan (Pangesti et al., 2020). Akta autentik yang dibuat oleh seorang notaris tidak dapat dipersamakan dengan suatu akta elektronik.

Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (�UU ITE�) menyebutkan bahwa akta elektronik tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Disebutkan bahwa ketentuan mengenai dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah tidak berlaku untuk surat beserta dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Dengan demikian, suatu akta autentik yang dibuat secara elektronik, misalnya saja dengan penandatanganan yang dilakukan secara tidak langsung, atau pembacaan akta melalui telekonferens telah menyalahi apa yang telah diatur oleh undang-undang, dalam hal ini UUJN, dan hal tersebut akan mengakibatkan suatu akta menjadi akta di bawah tangan.

Menurut Subekti, suatu akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang sama dnegan suatu akta autentik apabila pihak yang menandatangani perjanjian itu tidak menyangkal tanda tangannya, berarti bahwa tidak ada pihak yang menyangkal akan kebenaran yang tertulis dalam perjanjian itu (Subekti, 1978). Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan tidak sempurna seperti akta autentik. Sempurna dalam hal ini berarti bahwa akta tersebut dengan sendirinya dapat membuktikan dirinya sebagai akta autentik, dapat membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan pejabat umum yang membuatnya, dan akta itu berlaku benar di antara para pihak (Rismadewi & Utari, 2015). Akta autentik dapat berdiri sendiri karena tidak membutuhkan alat bukti lainnya di hadapan hakim.

 

Kesimpulan

Peluang diberlakukannya cyber notary di Indonesia dimungkinkan, tetapi hanya berkaitan dengan penyimpanan protokol notaris atau minuta akta, serta terkait pendaftaran atau permintaan surat-surat berkaitan dengan akta pada pejabat yang berwenang, dalam hal ini pemerintah. Mengenai pembuatan akta notaris sendiri masih sulit untuk dilakukan secara elektronik, mengingat undang-undang jabatan notaris sebagai pedoman pelaksanaan jabatan notaris sendiri belum mengakomodir mengenai hal tersebut. Konsep tradisional yang diemban oleh UUJN dalam pembuatan akta notaris memang masih diperlukan demi tercapainya kepastian hukum.

BIBLIOGRAFI

Abdullah, N. (2017). Kedudukan Dan Kewenangan Notaris Dalam Membuat Akta Otentik. Jurnal Akta, 4(4), 655�664.

 

Amalia, A., & Handoko, W. (2019). Peluang Penerapan Cyber Notary Di Indonesia. Notarius, 15(2), 616�625.

 

Borman, M. S. (2019). Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Perspektf Undang-Undang Jabatan Notaris. Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Perspektf Undang-Undang Jabatan Notaris, 3(1).

 

Herlien, B. (2007). Kumpulan tulisan hukum perdata di bidang kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

 

Listiyani, N. (2022). Analisis Yuridis Pelaksanaan Cyber Notary di Indonesia di Kaitkan Dengan Kewajiban Para Pihak Untuk Menandatangani Akta Secara Elektronik. Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia).

 

Mamudji, S., Rahardjo, H., Supriyanto, A., Erni, D., & Simatupang, D. P. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

Muchtar, H. (2015). Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan Hak Asasi Manusia. Humanus: Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Humaniora, 14(1), 80�91.

 

Nola, L. F. (2016). Peluang Penerapan Cyber Notary Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 2(1), 75�101.

 

Notodisoerjo, R. S. (1993). Hukum Notariat di Indonesia. jakarta: PT. Raja Grafindo.

 

Pangesti, S., Darmawan, G. I., & Limantara, C. P. (2020). Konsep Pengaturan Cyber Notary di Indonesia. Rechtsidee Notarial Journal, 7.

 

Permata, R. D. (2023). Tanggung Jawab Notaris dalam Akta Perjanjian Jual Beli Lunas Tanah dan Bangunan yang Dibuat di Hadapan Notaris (Studi Putusan Nomor 179/Pdt/2018/PT. BTN). Multiverse: Open Multidisciplinary Journal, 2(1), 39�48.

 

Rismadewi, A., & Utari, A. A. S. (2015). Kekuatan Hukum Dari Sebuah Akta Di Bawah Tangan. Jurnal Kertha Semaya, 3(3).

 

Rumengan, P. V. (2021). Analisis Akta Notaris Dalam Era Cyber Notary Ditinjau Dari Asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo. Indonesian Notary, 3(3), 16.

 

Setiadewi, K., & Wijaya, I. M. H. (2020). Legalitas Akta Notaris Berbasis Cyber Notary Sebagai Akta Otentik. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 6(1), 126�134.

 

Subekti, S. H. (1978). Pokok pokok hukum perdata. (No Title).

 

Sudy, F. E. (2015). Dampak Penggunaan Teknologi Pertanian terhadap Sistem Sosila Budaya Masyarakat Tani Desa Mareda Kalada Kecamatan Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya Propinsi Nusa Tenggara Timur. Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas ï¿½.

 

Widiasih, N. K. A. E. (2020). A Kewenangan Notaris dalam Mensertifikasi Transaksi yang Dilakukan Secara Elektronik (Cyber Notary). Udayana University.

 

Copyright holder:

Ashilah Chalista Putri Yasya, Mohamad Fajri Mekka Putra (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: