Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 8, Agustus
2023
KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN HAK ASUH ANAK YANG DIBUAT OLEH NOTARIS
Mutiara Febriana, Kadek Cahya Susila Wibawa
Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana peranan Notaris dalam membuat perjanjian hak asuh anak, serta untuk mengetahui kedudukan hukum perjanjian hak asuh anak yang dbuat oleh Notaris. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu meneliti asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum, dan sistematika hukum dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder. Hasil penelitian menunjukan bahwa Notaris selaku seorang pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat suatu Akta. Perjanjian hak pengasuhan anak yang telah disepakati kedua belah pihak (suami dan istri) yang disahkan oleh Notaris merupakan sebuah Akta Notaris yang mempunyai kekuatan hukum dan merupakan akta otentik. Dalam hal suami dan istri melakukan perceraian di hadapan sidang pengadilan, Akta Notaris tersebut sangat berperan terutama bagi Hakim yaitu mempercepat Hakim dalam memimpin proses persidangan dan mempermudah dalam mengambil keputusan. Kedudukan anak akibat perceraian antara lain adalah: baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak tersebut, maka hakim berwenang memberikan keputusan, bapak harus bertanggung jawab atas semua biaya pendidikan yang diperlukan anak tersebut, akan tetapi bila di dalam keyataannya bapak tersebut tidak dapat mencukupi atau memenuhi kewajiban tersebut, maka hakim dapat memutuskan bahwa ibu ikut memikulnya dan Pengadilan dapat memerintahkan agar kepentingan sianak tetap terjamin setelah orang tuanya bercerai, karena hal tersebut diletakkan di bawah tanggung jawab orang tuanya, dimana mereka tetap diwajibkan untuk memelihara serta mendidik anak tersebut sampai anak tersebut dewasa.
Kata kunci: Peran Notaris; Kedudukan Notaris
Abstract
The
study aims to find out how the role of Notaries in making child custody
agreements, as well as to find out the legal position of child custody
agreements made by Notaries. This research method uses a normative juridical
approach, namely examining legal principles, legal rules, and legal systematics
by examining library materials to obtain secondary data. The results showed
that Notary as a general official who has the authority to make a Deed. The
agreement on child custody rights that has been agreed upon by both parties
(husband and wife) ratified by a Notary Public is a Notary Deed that has legal
force and is an authentic deed. In the event that a husband and wife divorce
before a court session, the Notary Deed plays a very important role, especially
for the Judge, namely speeding up the Judge in presiding over the trial process
and making it easier to make decisions. The position of the child due to
divorce includes: either the father or mother is still obliged to maintain and
educate his children solely based on the interests of the child, then the judge
has the authority to make a decision, the father must be responsible for all
the education costs needed by the child, but if in his keyata, the father
cannot meet or fulfill the obligation, then the judge can decide that the
mother bears it and the Court can Ordered that the interests of the child
remain guaranteed after the parents divorce, because it is placed under the
responsibility of the parents, where they are still obliged to maintain and educate
the child until the child is an adult.
Keywords: Notary Role; Notary Position.
Pendahuluan
Perkawinan ialah keterikatan
lahir-batin seseorang pria dan seseorang wanita, yang mana dianggap sakral dan diakui oleh Hukum, hal ini karena
perkawinan dilaksanakan secara hukum dan secara agama (Makalew, 2013). Maka biasanya perkawinan prosesinya dilangsungkan secara agama dilanjutkan kemudian pencatatan secara hukum. Namun meskipun
begitu, ketika terdapat permasalahan internal rumah tangga dianggap
tak memungkinkan lagi diselesaikan dan perkawinan tersebut takkan dapat dipertahankan
lagi, maka dapat menyebabkan perkawinan tersebut berujung pada perceraian atau lepasnya ikatan
perkawinan.
Kemudian dampak dari
lepasnya keterikatan perkawinan berupa perceraian sebagaimana ditentukan pada UU Perkawinan,
pada prinsipnya yakni menyatakan dan mengatur bahwa suami atau
istri berkewajiban bahkan diharuskan dalam pemeliharaan serta mendidik buah hatinya untuk
kepentingan buah hatinya itu sendiri
(Tektona, 2012).
Putusan pengadilan memang
sebagai salah satu dasar untuk salah satu pihak mendapatkan
atau menerima hak asuh atas
anaknya, akan tetapi terkadang masih terdapat konflik untuk memperebutkan
hak mengasuh anak tersebut sebelum
atau bahkan setelah adanya putusan hakim (Pandy & Astariyani,
2020). Selain terkait konflik
yang timbul terkait perebutan hak asuh
anak, terdapat pula pengingkaran atas apa yang telah diputuskan oleh hakim saat memutuskan hak asuh.
Namun saat ini terdapat beberapa solusi agar meminimalisir munculnya konflik perebutan hak asuh anak atau ingkar atas kewajiban orang tua yang telah berpisah tersebut, yakni dengan membuat perjanjian hak asuh anak yang khususnya membuat perjanjian tersebut dihadapan dan disahkan oleh notaris (Fanani, 2017). Penelitian ini akan membahas kedudukan Kedudukan hukum perjanjian hak asuh anak yang dibuat oleh notaris.
Metode Penelitian
Metode penelitian pada artikel yaitu yuridis
normatif di mana dalam pendekatan ini sebagai sebuah pendekatan yang berdasarkan aturan-aturan secara hukum yang diberlakukan (Soemitro, 1982). Sementara pada pendekatan normatif sebagai suatu pendekatan
yang dilaksanakan melalui penelitian terhadap materi-materi kepustakaan ataupun disebut sebagai data sekunder berkaitan dengan asas-asas hukum serta beragam kasus
dandapat disebut sebagai penelitian hukumkepustakaan (Soekanto, 2006).
Deskriptif analitis yang digunakan dalam artikel ini sebagai
suatu spesifikasi penelitian. Deskriptif analitis adalah melakukan pendeskripsian yang didasari oleh fakta-fakta secara aktual dan mengacu pada obyek yang diteliti (Arief, 1992). Metode studi pustaka digunakan dalam mengumpulkan data-data dalam artikel ini.
Studi kepustakaan terdiri atas materi hukum
primer adalah suatu materi hukum yang bersifat terikat, materi hukum sekunder
merupakan suatu bahan yang memberi deskripsi tentang materi hukum primer dan bahannya tersebut menjadi suatu petunjuk
yang menjelaskan bahan-bahan
dari hukum primer (Soerjono, 1986).
Penggunaan metode untuk
menganalisis data di artikel
ini dalam penganalisisan dan mengolah
data-data yaitu dengan memanfatkan analisis kualitatif. Pengambilan kesimpulan dalam penelitian ini yang di gunakan adalah dengan metode deduktif
sebagai pegangan yang
paling utama.
Hasil dan Pembahasan
A.
Peran
Notaris Dalam Membuat Perjanjian Hak Asuh Anak
Peran Notaris dalam membuat perjanjian
hak asuh anak sangat berguna dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, baik formil maupun
materiil (Puspitasari,
2010). Yang dimana pada saat terjadinya perceraian pasti akan menimbulkan beberapa masalah baru salah satunya adalah hak asuh
anak. Meskipun terjadi perceraian dijelaskan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 huruf a baik Ibu maupun Ayah tetap berkewajiban memelihara, mendidiknya berdasarkan kepentingan anak, serta tetap
bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan
dan pendidikan anak.
Undang- Undang Perlindungan Anak, dan banyak putusan hakim sudah menegaskan hal yang harus didahulukan dalam perceraian adalah kepentingan terbaik anak. Di dalam peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa anak dibawah
usia 17tahun dapat memilih akan ikut
ayah atau ibunya. Namun di bawah 17tahun aturan mengatakan bahwa hak asuh
anak akan jatuh ke ibunya
tanpa adanya suatu pernyataan/perjanjian. Tetapi apabila membuat surat perjanjian yang di tanda tangan oleh suami istri di hadapan notaris.
Pada dasarnya semua surat perjanjian
yang di buat di notaris merupakan alat bukti uang sempurna bagi pihak yang mengadakan perjanjian (Sugiharti
& Dewi, 2022). Hakim harus mengaggap sebagai bukti yang sempurna yang tidak memerlukan bukti tambahan sepanjang ternyata tidak terbukti sebaliknya.
Peran Notaris dalam pembuatan perjanjian hak asuh anak ini
membingkai kesepakatan kedua belah pihak
(Anton, 2019). Isi dari akta perjanjian tersebut merupakan kehendak atau keinginan
para pihak yang menghadap kepada Notaris, bukan kehendak dari Notaris. Bahwa
pencantuman nama Notaris pada akta Notaris, tidak berarti pihak didalamnya
atau turut serta atau menyuruh
atau membantu melakukan suatu tindakan hukum tertentu yang dilakukan para pihak atau penghadap,
tapi hal tersebut merupakan aspek forlmal akta
Notaris sesuai UUJN. Dan Notaris tidak terkait
dengan isi akta dan juga tidak mempunyai kepentingan hukum dengan isi
akta yang bersangkutan.
B.
Kedudukan
Hukum Perjanjian Hak Asuh Anak Yang Dibuat Oleh Notaris
Perjanjian sebagaimana disampaikan sebelumnya merupakan perbuatan dua pihak yang saling memiliki keterikatan diri secara sengaja
dan sadar. Secara sadar itu sendiri
diperkuat pada Pasal 1315 KUHPerdata yang singkat kata, menegaskan bahwa tiada serorangpun dapat melakukan ikatan diri atas
nama dirinya ataupun memohon ditetapkan suatu perjanjian kecuali atas diri sendirinya.
Apabila terdapatnya paksaan maka perjanjian
akan batal didasarkan atas ketentuan dalam Pasal 1323 KUHPerdata.
Adapun syarat-syarat
yang perlu dipahami terlebih dahulu sebelum mengetahui kedudukan hukum atas suatu perjanjian
khususnya dalam penelitian ini terkait perjanjian hak asuh anak,
yakni yang mana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, bagi keabsahan suatu perjanjian-perjanjian diwajibkan beberapa ketentuan, yakni: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2)��������� Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu; 4) Suatu sebab yang halal.
Makna dari pasal yang disampaikan merupakan penjelasan terait prasyarat yang wajib untuk terpenuhi
agar dapat terwujudnya perjanjian, baik terkait pihak yang membuat perjanjian ataupun hal yang diperjanjikan. Wajib untuk adanya kesepakatan antara para pihak berupa keseuaian keinginan pihak yang melakukan perjanjian atas isi perjanjian.
Kecakapan merupakan suatu syarat bahwa
pihak yang melakukan perjanjian yang mana perjanjian merupakan perbuatan hukum telah mencapai
umur 21 atau telah menikah (untuk yang kurang dari 21 tahun), kemudian terkait perceraian apabila belim mencapai 21 tahun tetap dianggap
cakap karena telah melakukan perkawinan dan perceraian sebelum 21 tahun.
Terkait hal tertentu yakni wajib untuk adanya
objek yang diperjanjikan secara jelas dan mampu dipahami. Kemudian syarat terakhir mengenai sebab yang halal, tentu terkait perjanjian atas objek tersebut
tidak menentang undang- undang serta norma-norma yang telah ada, baik
kesusilaan atau ketertiban umum. Terkait dengan penelitian ini, pemahaman terkait Perceraian yang mana dinyatakan ekplisit oleh UU Perkawinan pada prinsipnya merupakan satu bentuk lepasnya
ikatan perkawinan tersebut, serta untuk dapat terlaksananya
perceraian terdapat segenap alibi yang diwajibkan dalam undang-undang tersebut. Perceraian tak hanya berdampak
pada putusnya ikatan perkawinan, akan tetapi juga dapaknya dirasakan oleh anak dalam perkawinan tersebut (Ariani, 2019).
Pada prinsipnya
yang mana diwajiban dalam Pasal 41 UU Perkawinan, ayah dan/atau ibu tetap
harus dan bertanggung jawab atas anak
secara keseluruhan sebagaimana pula diputusnkan dalam Pengadilan, pasal tersebut menunjukan bahwa orang tua memiliki kewajiban
dalam memberikan perlindungan serta menjamin bahwa terpenuhinya kebutuhan buah hatinya. Dari hasil wawancara Kompasiana.Com dengan Staf Pelayanan
Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Untuk Keadilan
Jakarta, yakni pada prinsipnya
ketika terjadi perceraian dalam UU Perkawinan (baik dalam kompilasi hukum islam ataupun
hukum sipil), terkait hak asuh
anak dibawah umur 12 tahun diserahkan
kepada ibunya, kecuali jikala terjadi situasi sang Ibu berperilaku tidak baik dan lain-lainnya.
Terkait hak yang dikecualikan ini berpegangan pada fakta yang cukup banyak terjadi,
yang mana hak mengasuh anak tidak secara
langsung jatuh dan diberikan pada sang ibu (untuk anak dibawah
umur pun dapat terjadi), dikarenakan beberapa keadaan menunjukkan putusan pengadilan oleh Yang Mulia Hakim melimpahkan
hak asuh kepada pihak bapak,
berbagai dasar pertimbangannya yakni sang ibu tidak mampu
secara fisik dan mental, kemudian juga dapat secara kemampuan yang kurang intelek dan teliti (hingga tahap membahayakan anak) serta pula faktor kedekatan emosional anak lebih condong dengan
bapaknya. Kedudukan istri juga dapat sama dengan suami
apabila istri lebih dominan dan mengprioritaskan pekerjaan dibandingkan anaknya, maka secara Hakim akan mempertimbangkan memberikan hak asuh kepada bapak
demi kebahagiaan sang buah hati (Pandy &
Astariyani, 2020).
Terkadang hal seperti ini dapat
menimbulkan konflik bila tidak disampaikan
secara kekeluargaan dan didengarkan keinginan
masing-masing pihak. Sebagaimana
dinyatakan sebelumnya bahwa salah satu solusi bagi pasangan
yang berpisah agar tidak melahirkan pertentangan terkait hak asuh
anak ialah dengan membuat perjanjian hak asuh anak.
Didasarkan pada Pasal ketentuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata Terkait Perjanjian hak asuh anak
akibat terjadinya perceraian ini merupakan perjanjian yang Notaris buat oleh dan/atau dihadapannya, demi bisa mengetahui kedudukan yuridis atas perjanjian tersebut perlu dilihat dari sudut
pandang prinsip akan adanya perjanjian
ialah adanya keinginan dan kesepakatan para pihak dalam hal
ini orang tua yang berpisah secara hukum (Oelangan,
2016).
Kemudian mengingat pula tujuan utama akan
adanya perjanjian tersebut tentu untuk melindungi hak anak, sebagaimana
hasil penelitian dari Fanani, A.Z, (2017) pada prinsipnya memaparkan bahwa kewajiban dari pasangan suami istri yang berpisah tersebut tetap ada dan tidak terputus
bagi anaknya. Perumusan perjanjian hak asuh tidak
semata-mata dari keinginan para pihak akan tetapi melihat
dan mendengar keadaan serta masukkan keluarga yang dapat berperan sebagai saksi (Prasada &
Sapuan, 2017). Kemampuan secara materi tidak
hanya menjadi tolak ukur, secara
menyeluruh perlu diperhatikan dan dipertimbangkan untuk disepakati bersama.
Selain itu dari sudut lain perlu diperhatikan bahwa perjanjian tersebut dilahirkan oleh dan/atau dihapadan Notaris layaknya pejabat umum yang melahirkan akta autentik menjadikan perjanjian hak asuh yang Notaris buat oleh dan/atau dihadapannya tersebut memiliki kekuatan mengikat secara hukum kepada keseluruhan
pihak yang menjalani perjanjian dalam pembahasan ini ialah pasangan yang berpisah, karena dengan diadakannya perjanjian tersebut akan memperjelas hubungan hukum dengan memperlancar jalan kepastian dan perlindungan bagi para pihak atas hal
yang diperjanjikan dan memiliki
kekuatan selama tidak adanya pembuktian
terbalik, khususnya apabila perjanjian dibuat sebelum adanya keputusan hakim terkait kuasa mengasuh
anak pasca terjadinya perceraian.
Perjanjian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan oleh Hakim, karena pada prinsipnya sebagaimana dinyatakan dalam hasil penelitian
Erisa Ardika Prasada, pertimbangan
hakim merupakan titik penting dalam terlaksananya
esensi dari putusan hakim yang adil serta memiliki kepastian hukum, serta adanya kemanfaatan
bagi pihak terkait. Maka, disinilah kedudukan hukum dari perjanjian hak asuh anak
akibat perceraian yang Notaris buat serta
lahirkan oleh dan/atau dihadapannya.
Menurut praktis Penulis dapat menjadi
pertimbangan bagi Hakim untuk memutuskan dan menetapkah kuasa mengasuh anak serta
dapat menjadi alat pembuktian yang mengikat keseluruh pihak dapat patuh
terhadap isi dari perjanjian yang telah disepakatkan,sehingga
tujuan dibuatnya perjanjian tersebut akan terlaksana yakni demi kebaikan buah hatinya serta
meminimalisir lahirnya konflik baru terkait
hak asuh anak. Pada prinsipnya ketika terjadi kerenggangan hubungan perkawinan hingga dilakukan gugatan perceraian ke pengadilan,
pasangan yang merupakan orangtua atas anak
tersebut membuat perjanjian dihadapan Notaris dan disahkan oleh Notaris menjadi otentik dan akan berdampak pada mempercepat dan mempermudah proses perceraian dan
memutuskan hak asuh atas anak
tersebut.
Kesimpulan
Perceraian tak hanya berdampak
pada putusnya ikatan perkawinan, akan tetaoi juga berdampak pada putusnya
ikatan perkawinan, akan tetapi juga dampaknga dirasakan oleh ank dalam
perkawinan tersebut. Salah satu solusi bagi pasangan yang berpisah agar tidak melahirkan
pertentngan terjait hak asuh anak ialah dengan membuat perjanjian hak asuh
anak.
Didasarkan pada pasal
ketentuan dalam pasal 1313 KUHPERDATA terkait perjanjian hak asuh anak
merupakan perjanjian yang notaris buat oleh dan atau dihadapannya, demi bisa
mengetahui kedudukan yuridis atas perjanjian tersebut perlu dilihat dari sudut
pandang prinsip akan adanya oerjanjian iala adanya keinginan dan kesepakatan
para pihak dalam hak ini orang tua yang berpisah secara hukum. Kemudian tujuan
utama akan adanya perjanjian ialah untuk melindungi hak anak.
Adapun peran Notaris dalam pembuatan perjanjian hak asuh anak ini membingkai kesepakatan kedua belah pihak. Isi dari akta perjanjian tersebut merupakan kehendak atau keinginan para pihak yang menghadap kepada Notaris, bukan kehendak dari Notaris (Ariyawati, 2008). Kedudukan hukum dari perjanjian hak asuh anak akibat perceraian yang Notaris buat serta lahirkan oleh dan/atau dihadapannya Tektona (2012), menurut praktis Penulis dapat menjadi pertimbangan bagi Hakim untuk memutuskan dan menetapkah kuasa mengasuh anak serta dapat menjadi alat pembuktian yang mengikat keseluruh pihak dapat patuh terhadap isi dari perjanjian yang telah disepakatkan,sehingga tujuan dibuatnya perjanjian tersebut akan terlaksana yakni demi kebaikan buah hatinya serta meminimalisir lahirnya konflik baru terkait hak asuh anak. Pada prinsipnya ketika terjadi kerenggangan hubungan perkawinan hingga dilakukan gugatan perceraian ke pengadilan, pasangan yang merupakan orangtua atas anak tersebut membuat perjanjian dihadapan Notaris dan disahkan oleh Notaris menjadi otentik dan akan berdampak pada mempercepat dan mempermudah proses perceraian dan memutuskan hak asuh atas anak tersebut.
BIBLIOGRAFI
Anton, A. (2019). TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI (Studi di Kantor Notaris-PPAT
Riadh Indrawan, SH, MH, M. Kn.). UIN Raden Intan Lampung.
Ariani,
A. I. (2019). Dampak perceraian orang tua dalam kehidupan sosial anak. Phinisi
Integration Review, 2(2), 257�270.
Arief,
F. (1992). Pengantar Metode Kualitatif Surabaya Usaha Nasional. Fisher, and
Strauss A: Thir Succes, Symbolice Chicago Tradition: ThomPark and the Inc.
Ariyawati,
S. (2008). Peranan notaris terhadap perjanjian hak pengasuhan anak sebagai
akibat perceraian. Universitas Gadjah Mada.
Fanani,
A. Z. (2017). Sengketa Hak Asuh Anak Dalam Hukum Keluarga Perspektif Keadilan
Jender. Muslim Heritage, 2(1), 153�176.
Makalew,
J. (2013). Akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia. Lex
Privatum, 1(2).
Oelangan,
M. D. (2016). Hak Asuh Anak Akibat Perceraian (Studi Perkara Nomor 0679/Pdt.
G/2014/PA TnK). Pranata Hukum, 11(1), 160375.
Pandy,
N. P. N. P., & Astariyani, N. L. G. (2020). Kewenangan Notaris Dalam
Perjanjian Hak Asuh Atas Anak Akibat Perceraian. Udayana University.
Prasada,
E. A., & Sapuan, A. (2017). Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Hak Asuh
Anak Akibat Perceraian Di Pengadilan Agama Kayuagung. Jurnal Hukum Uniski,
6(1), 34�46.
Puspitasari,
A. (2010). Peranan Notaris di dalam Penyelesaian Permasalahan Hak Waris Anak
Luar Kawin Diakui Menurut KUHPerdata. UNIVERSITAS DIPONEGORO.
Soekanto,
S. (2006). Pengantar penelitian hukum. (No Title).
Soemitro,
R. H. (1982). Metodologi Penelitian Website: http://www. ejournal-s1. undip.
ac. id/index. php/dlr. Hukum Dan Jurimetri,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988).
Soerjono,
S. (1986). Pengantar penelitian hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.
Sugiharti,
K., & Dewi, Y. K. (2022). Surat Pernyataan Kepemilikan Manfaat:
Perlindungan Terhadap Notaris Dalam Mengenali Pemilik Manfaat? Jurnal
Pembangunan Hukum Indonesia, 4(2), 150�169.
Tektona,
R. I. (2012). Kepastian hukum terhadap perlindungan hak anak korban perceraian.
Muw�z�h, 4(1).
Copyright holder: Mutiara Febriana,
Kadek Cahya Susila Wibawa (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |