Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 8, Agustus 2023

 

PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE DI TINJAU DARI HUKUM PIDANA YANG BERLAKU DI INDONESIA

 

Pieter Leonardo, Hery Firmansyah

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Restorative justice pada dasarnya merupakan sebuah konsep untuk merestorasi dampak yang ditimbulkan dari suatu kejahatan. Konsep ini muncul karena ketidakmampuan konsep sebelumnya untuk mengakomodir kepentingan korban. Salah satu penerapan restorative justice yang baru terjadi akhir-akhir ini yakni kasus penyerangan polisi yang dilakukan oleh mahasiswi berinisial HFR. Adapun rumusan masalah yang diangkat ialah bagaimanakah pelaksanaan restorative justice menurut hukum pidana di Indonesia dan apakah sudah tepat penerapan restorative justice pada kasus: penyerangan petugas ketika sedang menjalankan tugas. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan dan dianalisa dengan logika deduktif. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa konsep restorative justice di Indonesia sudah diterapkan dalam segala lini penegakkan hukum yakni mulai dari sistem peradilan pidana anak, lingkup peradilan umum, kejaksaan, kepolisian, peraturan daerah hingga pemasyarakatan. Meskipun ketentuan yang ditetapkan oleh tiap-tiap institusi masih belum adanya patokan yang seirama. Selain itu, penerapan restorative justice pada kasus penyerangan ini sejatinya memenuhi syarat dan layak untuk dilaksanakan restorative justice, namun disisi lain, restorative justice yang dilaksanakan hanya sebagai upayadamaitanpa adanya bentuk pertanggungjawaban yang nyata dari pelaku untuk merestorasi kerugian dan kerusakan yang dialami korban.

 

Kata Kunci: Keadilan Restoratif; Hukum Pidana; Restorasi.

 

Abstract

Restorative justice is basically a concept to restore the impact of a crime. This concept emerged due to the inability of the previous concept to accommodate the interests of the victim. One application of restorative justice that has recently occurred is the case of the police attack carried out by a female student with the initials HFR. The formulation of the problem raised is how to implement restorative justice according to criminal law in Indonesia and whether it is appropriate to apply restorative justice in the case of: assault by an officer while on duty. This research uses normative research with the nature of descriptive analytical research using secondary data collected by the technique of literature study and analyzed by deductive logic. The results of the research show that the concept of restorative justice in Indonesia has been applied in all lines of law enforcement, starting from the juvenile justice system, the scope of general justice, the prosecutor's office, the police, regional regulations to the penitentiary. Even though the provisions stipulated by each institution are still not in accordance with the standards. In addition, the application of restorative justice in this assault case actually fulfills the requirements and eligibility to carry out restorative justice, but on the other hand, restorative justice is carried out only as a "peaceful" effort without any real form of accountability from the perpetrator to restore the loss and damage suffered by the victim.

 

Keywords: Restorative Justice; Criminal Law; Restoration.

 

Pendahuluan

Konsep restorative justice pertama kali diterapkan pada tahun 1974 di Ontario, Kanada yang melaksanakan rekonsiliasi antar pihak yakni korban dan pelaku yang akhirnya pelaksanaan restorative justice ini berkembang dan diterapkan di Amerika Serikat serta Selandia Baru (Irsyad Dahri, 2020). Namun, sebenarnya konsep restorative justice merupakan sebuah konsep kuno yang telah dilaksanakan ratusan tahun lalu yakni sejak zaman Yunani, Romawi Kuno dan Arab Kuno Hindustan, serta dilakukan pula oleh penganut Budha, Tao serta Konfusius yang mana menyaratkan bahwa seseorang yang bersalah akan diampuni jika ia menebus kesalahannya (Satria, 2018).

Konsep ini diterima dan berkembang pesat di berbagai negara dikarenakan seringkali sistem peradilan pidana lebih condong mementingkan hak-hak dari pelaku, sedangkan kedudukan korban sebagai pihak yang menderita dampak buruk paling besar tidak diperhatikan kepentingan restorasinya, dan disisi lain kehadiran konsep ini mampu mengakomodir ketidakmampuan sistem peradilan pidana sebelumnya dalam memenuhi kepentingan-kepentingan dari korban (Panjaitan, 2021).

Kehadiran restorative justice di Indonesia, juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manifestasi konsep hukum progresif yang diusulkan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa melaksanakan hukum tidak terbatas pada tinta hitam diatas kertas putih aturan formal yang berlaku, namun didalamnya terkandung makna, semangat dan tujuan yang lebih mendalam yang harus diimbangi dengan kemampuan spiritual yang baik tidak hanya kemampuan intelegensi saja, sehingga melaksanakan hukum harus dipenuhi dengan dedikasi, empati serta sikap berani untuk menempuh jalan-jalan lain (Sahputra, 2022).

Istilah restorative justice di Indonesia hadir puluhan tahun yang lalu, munculnya pertama kali ditemukan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang diundangkan tahun 2002, hadir dalam rangka jalur alternatif penyelesaian dalam pidana anak (Irsyad Dahri, 2020). Namun, pada dewasa ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum dinyatakan bahwa penerapan konsep restorative justice telah meluas sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan dari bentuk penyelesaian perkara yang digunakan dalam menegakkan hukum. Konsep ini telah diterapkan dalam segala lingkup sistem peradilan pidana, baik dalam lingkup Mahkamah Agung, maupun dalam lingkup Kejaksaan, Kepolisian bahkan Lembaga Pemasyarakatan.

Saat ini restorative justice terus berusaha didawamkan dalam beberapa tahun terakhir, meskipun memang harus diakui bahwa pelaksanaan dari restorative justice masih belum mencapai keoptimalannya, baik dari segi perbedaan syarat penerapan antara lembaga aparat hukum hingga menimbulkan disparitas dan ketidakpastian hukum (PTSP Kejaksaan, 2022: ptsp.kejaksaan.go.id), hingga penafsiran dan penerapan restorative justice yang masih belum sesuai dengan makna sesungguhnya.

Salah satu kasus belakangan ini yang diselesaikan melalui restorative justice yakni kasus penganiayaan yang diterima oleh anggota Samapta Polres Metro Jaktim, Ipda Rano M pada saat ia sedang mengatur lalu lintas di daerah Terminal Bus Kampung Melayu dan ia menegur mahasiswi (HFR) yang melakukan lawan arus saat mengendarai motor. Namun, teguran tersebut membuat mahasiswi merasa tidak terima dan akhirnya ia menganiaya polisi tersebut dengan cara menggigit dan mencakarnya bahkan hampir merebut senjata api polisi tersebut. Kasus penganiayaan tersebut berakhir dengan damai dengan penyelesaian restorative justice (KumparanNews, 2022: Kumparan.com).

Banyak sekali pihak yang menganggap bahwa restorative justice sama dengan jalur damai, namun sejatinya makna dari restorative justice jauh lebih dari itu. Mark Umbreit menyatakan bahwasanya konsep restorative justice mengacu pada sebuah kerangka konsep kerja yang menganggap kejahatan bukanlah hanya sebuah perbuatan melanggar hukumyang harus dipertanggungjawabkan terhadap negara, namun lebih jauh dari itu kejahatan dianggap sebagai bentuk kerugian yang dirasakan olehmasyarakat maupun suatu komunitas sosial tertentu, oleh karenaitu, titiktumpu utama pada restorative justice tidakpada penjatuhan hukuman namun bagaimana memulihkan emosional dan kerugian material akibat kejahatan tersebut, sehingga dibutuhkan peran aktif dari korban, pelaku dan komunitas sosial masyarakat (Irsyad Dahri, 2020).

Hal yang senada juga dikemukakan oleh Braithwaite bahwasanya, dalam konsep restorative justice, merupakan sebuah prosedur yang melibatkan semua stake holder untuk memberikan penilaian masing-masing tentang dampak yang dirasakan dan membentuk kesepakatan pertanggungjawaban yang harus dilakukan untuk memulihkan dampak yang ditimbulkan (Dahri & Yunus, 2022). Adapun unsur-unsur mendasar dari restorative justice ialah (Dahri & Yunus, 2022): 1) Dalam pandangan restorative justice, tindak kejahatan merupakan sebuah permasalahan antar perorangan yang mengakibatkan luka/dampak bagi korban, komunitas sosial bahkan bagi pelaku kejahatan. 2) Tujuannya ialah untuk tercapainya perdamaian di masyarakat melalui pelaksanaan rekonsiliasi yang dilaksanakan antar stake holder serta melakukan restorasi dampak/luka yang ditimbulkan dari konflik. 3) Harus diberikan fasilitas untuk melibatkan partisipasi secara aktif dari pihak korban, pelaku maupun komunitas sosial guna tercapainya jalan keluar atas permasalahan yang terjadi.

Penjabaran mengenai konsep restorative justice diatas, digambarkan oleh Tony F. Marshal melalui segitiga restorative justice dibawah ini:

Gambar 1 Segitiga Restorative Justice

Sumber: Dahri dan Yunus, Pengantar Restorative Justice, Jakarta: Guepedia, 2022: 14-15.

 

Victim (V)����������������� Offender (O)

Community (C)���������� Justice (J)

Meskipun sebagian besar pelaksanaan restorative justice dilakukan melalui jalur musyawarah, tetapi sebenarnya banyak hal-hal lain yang termasuk dalam restorative justice meskipun tanpa dilakukan dialog musyawarah seperti layanan yang harus diberikan kepada korban sesuai perintah pengadilan, pembayaran yang wajib dipenuhi oleh pelaku kejahatan terhadap korban, termasuk pula proses mediasi (Dahri & Yunus, 2022).

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini ialah: 1) Bagaimana pelaksanaan restorative justice menurut hukum pidana di Indonesia? 2) Apakah sudah tepat penerapan restorative justice pada kasus: penyerangan petugas ketika sedang menjalankan tugas? Adapun tujuan diadakannya penelitian ini yakni: 1) Untuk mengetahui pelaksanaan restorative justice menurut hukum pidana di Indonesia. 2) Untuk mengetahui penerapan restorative justice pada kasus: penyerangan petugas ketika sedang menjalankan tugas

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian normatif yakni memberikan penilaian terhadap hukum dari kacamata hukum itu sendiri atau istilah singkatnya hukum sebagai das sollen/law in books Qamar (2017), hal ini mengandung makna bahwa dalam penelitian normatif tidak memberikan penilaian dari segi penerapannya (Purwati, 2020). Sifat penelitian ini yakni deskriptif analitis yaitu meneliti gejala sosial yang terjadi dengan menyajikan fakta yang sesuai dengan kepentingan penelitian (Fajar & Achmad, 2010).

Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian normatif yakni data sekunder yakni data yang didapatkan dari hasil menelusuri bahan-bahan Pustaka Achmad (2015), yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Data-data sekunder tersebut dikumpulkan dengan teknik studi kepustakaan.

Adapun pendekatan yang digunakan ialah statute approach yakni pendekatan dengan mengkaji segala hukum positif yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat serta case approach yakni meneliti kasus yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat (Marzuki, 2013). Sedangkan teknik analisa yang digunakan ialah kualitatif data-data yang didapatkan dianalisa secara kualitatif tanpa rumus statistik Marzuki, (2013) dengan logika deduktif yakni menganalisa dari hal yang bersifat general menuju ke hal-hal yang bersifat spesifik.

 

Hasil dan Pembahasan

Pelaksanaan Restorative Justice Menurut Hukum Pidana di Indonesia

Proses menegakkan hukum di Indonesia, Bagir Manan menayatakan pendapatnya bahwa proses dalam rangka menegakkan hukum di Indonesia saat ini telah mengalami kegagalan untuk tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan tersirat dalam peraturan perundang-undangan. Sebelumnya, proses menegakkan hukum di Indonesia masih berkutat pada tujuan retributive yakni pembalasan (Arief & Ambarsari, 2018). Hal ini berbeda dengan restorative justice yang hadir dengan tujuan utama sebagai reparative/restorative yakni upaya pemulihan.

Fokus utama dari restorative justice ialah pada pemenuhan kepentingan korban, pelaku bahkan juga masyarakat sekitar, sehingga penyelesaian pidana tidak hanya untuk melaksanakan ketentuan prosedural formal hukum positif dalam hal pemidanaan (Arief & Ambarsari, 2018). Pada dasarnya, restorative justice merupakan bentuk usaha untuk mengesampingkan hukuman dan lebih mengutamakan pemberian tanggung jawab kepada pelaku untuk melakukan pemulihan dampak dari hal yang dilakukannya, dengan adanya keterlibat secara aktif dari stake holder, baik pelaku, korban, keluarga maupun masyarakat.

Pelaksanaan restorative justice sangat erat kaitannya dengan ucapan permohonan maaf, pemberian restitusi, mengakui kesalahan dan upaya-upaya lainnya yang ditujukan untuk memulihkan korban termasuk pula di dalamnya makna proses integrasi kembali pelaku dalam komunitas sosial, baik dengan adanya penjatuhan hukuman ataupun tidak. Hasil paling idealis yang diharapkan dari konsep ini ialah mampu merestorasi, mendamaikan, dan reintegrasi pelaku maupun korban kedalam komunitas sosial (Wulandari, 2021).

Konsep restorative justice bermuara pada tumbuhnya dialog antar pihak demi mencapai kepuasan terbesar bagi korban dan pola pertanggungjawaban (accountability) pelaku. Dalam perspektif hukum progresif, restorative justice merupakan bagian dari implementasi bahwahukum untuk manusia dan bukan sebaliknya�, yakni bahwa hukum bukanlah institusi yang kaku dan tidak dapat diubah, namun hukum ialah institusi yang didalamnya terdapat moral dan nurani dan ditujukan dalam hal pengabdian bagi kepentingan umat manusia.

Sehingga pelaksanaan hukum bukanlah pelaksanaan mutlak hitam diatas putih namun perlu adanya keberanian untuk menciptakan terobosan, karena akhirnya hukum bukanlah halaman kertas yang berisi tulisan namun hukum adalah keadilan yang selalu menjadi dunia utopia bagi masyarakat. Meskipun memang dalam hal ini, Bagir manan menyatakan bahwa restorative justice merupakan bagian dari pemidanaan namun, perlu digaris bawahi bahwa pemidanaan tidak selalu berkutat pada aturan pemidanaan formal dan materil (Arief & Ambarsari, 2018).

Salah satu karakteristik yang utama dari restorative justice sebagaimana yang dikemukakan oleh Setyo Utomo ialah bahwa kejahatan dipandang sebagai bagian dari gejala sosial hasil dari tindakan-tindakan sosial dan tidak hanya sebagai bentuk pelanggaran dari ketentuan pidana. Hal ini menjadikan kejahatan dianggap sebagai sebuah tindakan sosial yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain dan terganggunya hubungan sosial yang ada sehing pertemuan ga masalah yang timbul adalah masalah di wilayah sosial bukan hanya masalah negara. Sehingga pertanggungjawabannya tidak hanya pada negara namun juga pihak yang dirugikan (Arief & Ambarsari, 2018).

Terdapat 3 (tiga) pilar utama dalam melaksanakan keadilan restoratif yakni Garbett (2017) Pertama dilaksanakannya pertemuan pihak-pihak yang dirugikan. Kedua, diarahkan untuk memulihkan tiap-tiap pihak dengan permintaan maaf, pemberian ganti rugi / restitusi dan hal-hal lain yang disepakati dengan tujuan pemulihan korban bahkan dapat juga penjatuhan penjara sebagai kesepakatan kedua belah pihak sebagai bentuk upaya penebusan kesalahan. Ketiga, yakni proses reintegrasi yakni korban pulih baik dari segi mental maupun fisik, sedangkan reintegrasi bagi pelaku ialah pulihnya hubungan sosial antara dirinya dan komunitas.

Restorative justice tidak selamanya harus berakhir dengan perdamaian. Bahkan, makna sebenarnya dari konsep restorative justice tidak ditujukan untuk menjadikan sanksi pidana hilang. Perihal ini, dapat dilihat pada Article 26 UNCAC yang pada intinya, dalam pidana korupsi, kehadiran dari restorative justice tidak mengakibatkan hilangnya sanksi pidana, namun sebagai upaya untuk merestorasi kerugian yang dialami negara.

Hal ini diperkuat denagn pendapat dari Lawrence Kershen QC yang mana bahwasanya restoratif justice bukanlah upaya subsitusi dari peradilan retributif, sehingga tujuan utama bukanlah mencapai perdamaian, namun restoratif justice murni bertumpu untuk mengembalikan keadaan korban seperti semula melalui upaya pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pelaku, yang didalamnya juga termasuk upaya restorasi bagi pelaku dan masyarakat, meskipun tidak dapat dipungkiri perdamaian antara korban dan pelaku dapat tercipta seiring berjalannya proses komunikasi yang terjadi selama pelaksanaan restoratif justice.

Pelaksanaan Restorative Justice secara garis besar dapat diruaikan sebagai berikut:

1. Dalam kacamata sistem peradilan pidana anak

Restorative justice dalam sistem peradilan anak diatur dalam UU 11/2012 SPPA yang mendefinisikan sebagai cara menyelesaikan tindak pidana yang tidak ditujukan semata-mata untuk membalas kejahatan pelaku, namun cara yang ditempuh ialah dengan keterlibatan aktif dari pelanggar, korban dan pihak-pihak lain yang turut berdampak guna mendapat solusi yang fokus utamanya ialah pada restorasi korban guna memulihkan korban seperti sedia kala melalui diversi.

Adapun pelaksanaan diversi ini ditujukan agar perdamaian dapat dicapai antar pihak, menyelesaikan tindak pidana anak di luar pengadilan konvensional yang mana hal ini untuk mengurangi beban maupun dampak psikis anak yang berhadapan dengan hukum, mampu menghindari anak agar kemerdekaannya tidak terampas sehingga anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi dan memperbaiki dirinya, meningkatkan partisipasi aktif komunitas sosial dalam menyelesaikan kasus anak yang berhadapan dengan hukum serta menumbuhkan sikap bertanggungjawab pada diri anak.

Pelaksanaan diversi ini merupakan amanat dari United Nations Standar Minimum Rules for the Administion of Juvenile Justice yang ditujukan untuk meminimalisir dan menghindari kondisi mental dan psikis pelaku anak yang rusak akibat menjalani proses pidana (Hermawan, 2021).

Diversi adalah cara menyelesaiakan kasus pidana anak dengan cara mengalihkan dari penyelesaian formal di dalam pengadilan menjadi diselesaikan secara damai yang didalamnya terlibat korban, pelaku, keluarga korban, masyarakat, pembimbing kemasyarakatan anak, polisi, jaksa ataupun hakim (Titahelu, 2020). Pelaksanaan diversi ini dapat dilakukan jika pidana yang diancam di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan tindakan residivis. Pengaturan mengenai diversi ini juga diatur dalam Perma 4/2014 khususnya Pasal 3 yang menyatakan bahwa diversi wajib diupayakan oleh hakim anak baik bagi tindak pidana yang diancam dibawah 7 tahun penjara maupun diatasnya (Agus, 2021: 97).

 

2. Dalam ruang lingkup peradilan umum

Dalam lingkup peradilan umum, restorative justice telah diatur dalam SK Dirjen Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Pemberlakuan restorative justice secara luas dalam lingkup peradilan umum ditujukan untuk mengakomodir kepentingan korban untuk dilakukan pemulihan serta sebagai bentuk reformasi dari sistem peradilan pidana di Indonesia yang sampai saat ini masih terus menjadikan penjara sebagai satu-satunya penyelesaian dalam perkara pidana.

Pelaksaan konsep restorative justice di lingkungan peradilan umum ditujukan untuk mempermudah peradilan umum untuk menerapkan restorative justice, meningkatkan implementasi restorative justice, serta memenuhi asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dengan tetap mengutamakan keadilan. Adapun syarat untuk dapat diterapkannya restorative justice ialah bahwa konsep ini hanya dapat diguankan pada tindak pidana ringan yakni Pasal 364, 373, 379, 384, 407 atau dengan total kerugian tidak melebihi Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah), tindak pidana perempuan yang berhadapan dengan hukum, tindak pidana anak dan kasus narkotika yang berkaitan dengan kecanduan dan penyalahgunaan narkotika.

 

3. Dalam ruang lingkup kejaksaan

Dalam lingkup kejaksaan restorative justice diatur dalam Perjagung 15/2020 yang berasaskan pidana sebagai tindakan ultimatum, memajukan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, keadilan yang seimbang, proporsional serta kebutuhan masyarakat umum. Melalui restorative justice, jaksa dapat melakukan penghentian penuntutan dengan alasan karena telah berhasil menyelesaikan perkara diluar peradilan pidana formal. Restorative justice ini dapat diterapkan untuk tindakan pidana tertentu dan telah dilakukan restorasi atas kerugian yang dialami oleh korban.

 

4. Dalam ruang lingkup kepolisian

Dalam ruang lingkup kepolisian diatur dalam Peraturan Polri 8/2021 yang ditujukan untuk terciptanya prosedur menyelesaikan perkara pidana dengan berbasis nilai-nilai keadilan restoratif yang titik tumpunya pada restorasi kepentingan-kepentingan pelaku dan korban, yang mana pada awalnya hanya bertujuan sebagai pemidanaan. Restorative justice ini dilakukan secara bersama antara pelaku, korban, keluarga serta masyarakat sebagai komunitas sosial untuk menemukan solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan secara adil melalui jalur damai dengan tetap mementingkan restorasi kepentingan. Pelaksanaan restorative justice ini dilakukan dengan syarat yakni terdapat persyaratan umum yang terdiri dari persyaratan materiil dan persyaratan formil, serta persyaratan khusus.

 

5. Dalam ruang lingkup aturan adat

Salah satu aturan adat yang diakui di Indonesia dan terdapat pembahasan mengenai konsep menyelesaikan perkara diluar pengadilan yakni terdapat dalam Perda Aceh 9/2008. Dalam perda ini, dinyatakan bahwa terdapat beberapa tindakan pidana yang penyelesaiannya dapat dilakukan di luar pengadilan yakni berbasis cara-cara adat oleh aparatur desa. Terdapat 18 (delapan belas) perkara yang penyelesaiannya didahulukan melalui cara adat oleh aparatur desa.

 

6. Dalam ruang lingkup pemasyarakatan

Banyak sekali anggapan bahwa setelah seseorang dimasukkan kedalam penjara, maka upaya keadilan restoratif tidak pernah bisa dilaksanakan lagi. Hal ini dikarenakan stigma restorative justice masih berpaku pada tindakan damai untuk Banyak sekali anggapan bahwa setelah seseorang dimasukkan kedalam penjara, maka upaya keadilan restoratif tidak pernah bisa dilaksanakan lagi. Hal ini dikarenakan stigma restorative justice masih berpaku pada tindakan damai untuk mengalihkan seseorang untuk menghindari pemidanaan dalam bentuk penjara.

Namun, sejatinya upaya restorative justice dalam lembaga pemasyarakatan telah dilaksanakan melalui program Remisi, Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Mengunjungi Keluarga. Namun, memang harus diakui bahwa pelaksanaan restorative justice di Indonesia dalam lingkup pemasyarakatan masih hanya terbatas pada program tersebut, padahal jika kita bandingkan dengan pelaksanaan di luar negeri, restorative justice dalam pemasyarakatan telah dilakukan dengan berbagai pendekatan tidak hanya melalui opsi pasca bebas, yakni (Gunawan dan Firmansyah, 2022: -2876-2879) seperti pendekatan �victim awareness and responsibility acceptance courses, Victim awareness and responsibility acceptance courses, Restorative Improsement dan Restorative approaches to conflicts and offences within prison.�

 

 

 

Penerapan Restorative Justice Pada Kasus: Penyerangan Petugas Ketika Sedang Menjalankan Tugas

Kasus ini bermula saat pelapor yakni Rano Mardani selaku polisi yang saat itu sedang melaksanakan tugasnya yakni sedang melakukan pengaturan lalu lintas, lalu mahasiswi berinisial HFR yang sedang bergerak dari Jatinegara ke arah Tebet melajukan motornya secara melawan aus lalu lintas. Atas tindakan HFR, pelapor menegur korban untuk segera balik arah.

Namun, atas teguran tersebut, HFR tidak terima dan menabrak pelapor dengan motor yang dikendarainya (CNN Indonesia, 2022: cnnindonesia.com). Tak hanya itu, bahkan berdasarkan data yang didapatkan oleh penulis berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP / 1437 / VI / 2022 / SPKT / RES.JAKTIM / PMJ disebutkan pula bahwa, HFR melakukan pemukulan berkali-kali di bagian kepala pelapor, menggigit tangan pelapor hingga berusaha untuk merampas senjata milik pelapor. Kasus ini terjadi di Jalan Jatinegara Barat (bawah flyover kampung melayu jakarta timur) pada tanggal 30 Juni 2022 pukul 07.30 WIB.

Gambar 2 Laporan Polsi

Sumber: Dokumentasi Penulis

 

Atas tindakannya tersebut, HFR dilaporkan oleh Rano Mardani selaku korban dan pelapor, dan HFR dikenakan dugaan Tindak Pidana Melawan Kepada Seorang Pegawai Negeri Yang Sedang Melakukan Pekerjaan Yang Sah Serta Perbuatan Yang Menyebabkan Luka-Luka sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 212 KUHP dan atau Pasal 213 KUHP.

Perkara tersebut berakhir dengan dibuatnya Surat Pernyataan Kesepakatan Damai yang dibuat pada 04 Juli 2022 yang pada intinya mereka bersepakat bahwa HFR meminta maaf kepada korban Rano Mardani atas tindakannya dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi kepada korban Rano Mardani maupun kepada siapapun, dan apabila HFR mengulanginya ia bersedia untuk dijatuhkan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kesepakatan damai tersebut, kedua belah pihak juga bersepkatan untuk tidak melakukan penuntutan baik secara perdata maupun pidana. Rincian isi Surat Pernyataan Kesepakatan Damai:

Gambar 3 Surat Pernyataan Kesepakatan Damai

Sumber: Dokumentasi Penulis

 

Atas disepakatinya Surat Pernyataan Kesepakatan Damai tersebut, pada bulan Juli 2022, Rano Mardani selaku pelapor membuat permohonan pencabutan laporan polisi. Akhirnya, kasus tersebut berakhir dengan damai dengan mengupayakan restorative justice.

Gambar 4 Surat Permohanan Pencabutan Laporan

Sumber: Dokumentasi Penulis

 

Penggunaan restorative justice dalam kasus ini dapat ditelaah dari 2 (dua) sisi yakni dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dari segi teori restorative justice terkait makna dan tujuan mendasar dari restorative justice. Dari perspektif peraturan perundang-undangan, kasus ini dapat ditelaah dari Peraturan Kepolisian 8/2021 �(PK 8/21)�. Berdasarkan PK 8/2021, maka penerapan restorative justice dapat dilaksanakan jika telah memenuhi beberapa syarat, yakni syarat umum dan syarat khusus.

Syarat khusus adalah syarat tambahan yang bagi beberapa tindak pidana yang ditentukan yakni narkoba, lalu lintas serta ITE. Sedangkan untuk syarat umum, dibagi menjadi syarat materil dan syarat formil. Syarat materil terdapat pada Pasal 5 PK 8/2021 yang mensyaratkan: 1) Tidak ditolak oleh masyarakat dan tidak memunculkan keresahan di masyarakat. 2) Tidak memunculkan konflik social. 3) Tidak memiliki potensi dalam hal perpecahan bangsa dan negara. 4) Bukan hal-hal yang berkaitan dengan sikap radikal maupun separatis. 5) Bukan residivis. 6) Tidak termasuk tindak pidana yang membahayakan kemanan negara, korupsi, nyawa seseorang maupun terorisme�.

Sedangkan untuk syarat formil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PK 8/2021 yang mensyaratkan: 1) Adanya kesepakatan damai dari para pihak, kecuali tindak pidana narkotika. 2) Adanya bentuk pertanggungjawaban dari pelaku untuk memenuhi hak korban, kecuali tindak pidana narkotika�.

Berdasarkan persyaratan yang termaktub dalam pasal-pasal tersebut, maka sejatinya kasus penyerangan ini dapat dikatakan memenuhi syarat untuk dilaksanakannya restorative justice. Namun, terdapat satu poin yang menjadi perhatian penulis yakni dalam Surat Pernyataan Kesepakatan Perdamaian yang dibuat hanya tertera bahwa pelaku meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Sedangkan jika kita lihat dalam Pasal 6 ayat (1) PK 8/2021 dinyatakan salah satu syarat formilnya ialah adanya bentuk pertanggungjawaban dari pelaku untuk memenuhi kepentingan korban.

Terkait frasapemenuhan hak korban� dijelaskan lebih rinci pada Pasal 6 ayat (3) PK 8/2021 yang menyatakan bahwapemenuhan hak korban� berupa pengembalian harta benda, penggantian kerugian, penggantian biaya yang muncul dari kejahatan yang dilakukan, dan/atau melakukan penggantian kerusakan yang timbul dari kejahatan yang dilakukan. Hal ini tentu menjadi pertanyaan sekaligus menjadi poin utama, terkait dimanakah letak pemenuhan hak korban dalam Surat Pernyataan Kesepakatan Perdamaian yang dibuat.

Apakah permintaan maaf dapat dianggap cukup sebagai bentuk pemenuhan hak korban, sedangkan disisi lain, pelaku telah melakukan penggigitan dan pemukulan kepala korban beberapa kali. Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (3) jelas menyebutkan bahwapemenuhan hak korban� ialah mengganti kerugian yang timbul dari kejahatan, sehingga apakah permintaan maaf dan janji tidak mengulangi lagi dapat dikatakan sebagai bentuk penggantian kerugian yang timbul dari kejahatan? Sehingga dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa dalam pelaksaan restorative justice pada kasus ini, masih tidak memberikan ruang yang cukup bagi pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya dan pengakomodiran hak korban masih minim.

Selain itu, jika kita berbicara apakah sudah tepat pelaksanaan restorative justice dalam kasus ini akan menjadi sebuah hal yang membingungkan, karena jika kita lihat persyaratan pelaksanaan restorative justice pada tiap-tiap institusi yakni dari kepolisian, kejaksaan hingga mahkamah agung masih belum menemukan satu helaan nafas yang sama dalam menentukan aturan main dalam penerapan restorative justice. Jika kita lihat dalam PK 8/2021 sebagai produk hukum dari institusi kepolisian, maka kasus ini dapat dikatakan memenuhi untuk dilaksanakannya restorative justice.

Namun, hal ini akan berbeda jika kita melihatnya berdasarkan persyaratan pelaksanaan restorative justice yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung melalui SK Dirjen Badan Peradilan Umum yang menyatakan bahwa konsep ini hanya dapat diguankan pada tindak pidana ringan yakni Pasal 364, 373, 379, 384, 407 atau dengan total kerugian tidak melebihi Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah), tindak pidana perempuan yang berhadapan dengan hukum, tindak pidana anak dan kasus narkotika yang berkaitan dengan kecanduan dan penyalahgunaan narkotika. Jika kita lihat kasus ini yang dikenakan Pasal 212 dan/atau 213 KUHP tidak termasuk pada pasal-pasal tindak pidana ringan yang disebutkan dalam SK Dirjen Badan Peradilan Umum tersebut.

Meskipun memang dalam SK Dirjen Badan Peradilan Umum tersebut dituliskan dalam Bab II bagian C yang mengatur mengenai Keadilan Restoratif pada Perkara Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum, apabila perempuan sebagai pelaku, maka hamil diwajibkan untuk mempertimbangkan fakta hukum dengan pendekatan restorative justice.

Sedangkan jika kita lihat dalam kacamata peraturan Kejagung 15/2020 dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa suatu perkara dapat dilakukan pengentian penuntutuan berdasarkan restorative justice jika memenuhi syarat: 1) Pelaku baru melakukan tindak pidana yang pertama kalinya. 2) hanya untuk kejahatan yang diancam denda atau diancam penjara maksimal 5 (lima) tahun. 3) kerugian yang ditimbulkan maksimal Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).�.

Selain syarat tersebut, dalam Pasal 5 ayat (6) Kejagung 15/2020 juga dinyatakan bahwa menghentikan tuntutan berdasarkan restorative justice dapat dilakukan jika telah adanya upaya tanggung jawab pelaku untuk merestorasi korban (mengembalikan harta benda, penggantian kerugian, penggantian biaya-biaya yang muncul dari kejahatan, dan/atau telah merestorasi kerusakan yang dialami korban), telah sepakat untuk berdamai dan adanya respon positif dari masyarakat.

Namun, dalam Pasal 5 ayat (8) Kejagung 15/2020 juga mengecualikan beberapa tindak pidana untuk dilakukan restoratif justice yakni: 1) Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan; 2) tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal; 3) Tindak pidana narkotika; 4) tindak pidana lingkungan hidup; dan 5) tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.�.

Dalam kacamata produk hukum Kejagung 15/2020 maka, kasus penyerangan ini dapat dikatakan memenuhi syarat untuk dilaksanakannya restorative justice. Namun, dari perbandingan ketiga produk hukum diatas terlihat bahwasanya, setiap produk hukum yang dikeluarkan tiap-tiap institusi terdapat celah tumpang tindih dan ketidakharmonisan dalam persyaratan yang ditetapkan.

Namun, dari setiap produk hukum tersebut, terdapat 1 (satu) hal yang memiliki kesamaan bahwa pelaksanaan restorative justice haruslah mampu merestorasi korban dalam bentuk berupa mengembalikan harta benda, penggantian kerugian, penggantian biaya-biaya yang muncul dari kejahatan, dan/atau telah merestorasi kerusakan yang dialami korban. Namun, hal yang sangat disayangkan dalam penerapan restorative justice pada kasus penyerangan ini, sebagaimana yang tercantum dalam Surat Pernyataan Kesepakatan Damai pelaku meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya lagi.

Padahal disisi lain, pelaku telah menggigit dan memukul kepala korban beberapa kali. Sehingga dalam pandangan penulis, maka pelaksanaan restorative justice di Indonesia masih bertumpu pada keinginan tercapainyapernyataan perdamaianpadahal sebagaimana yang penulis sebutkan sebelumnya, bahwa restorative justice bukanlah upaya untuk menghindari pidana penjara ataupun upaya untuk mengganti peradilan retributif sehingga dapat dijadikan sebagai pilihan yang bersifatlembek�, namun core dari restoratif justice ialah pada tujuannya untuk merestorasi korban.

Bahkan dalam konteks restoratif justice, sejatinya penjatuhan pidana penjara dapat dijadikan kesepakatan kedua belah pihak untuk menebus kesalahan. Sehingga dalam hal ini, penulis menyayangkan restorative justice yang diterapkan masih belum mampu memunculkan bentuk pertanggungjawaban nyata dari pelaku untuk mengganti kerugian/merestorasi korban. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa perdamaian mungkin tercipta seiring berjalannya pelaksaan restorative justice.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwasanya restorative justice merupakan sebuah upaya untuk mempertemukan semua pihak yang terlibat untuk bersama-sama mencari solusi untuk merestorasi dan memulihkan semua pihak yang terkena dampak kejahatan. Pelaksanaan restorative justice tidak selamanya menghilangkan pidana dan bertujuan untukperdamaiannamun core nya ialah merestorasi korban. Meskipun memang, perdamaian dapat tercapai seiring berjalannya proses restorative justice.

Sehingga dalam hal ini, terkait pelaksanaan restorative justice pada kasus penyerangan polisi, dalam kacamata peraturan perundang-undangan maka kasus ini layak dan memenuhi syarat untuk dilaksanakan restorative justice, meskipun memang antar produk hukum tiap-tiap institusi memiliki persyaratan yang berbeda-beda dan belum memiliki pijakan yang sama dalam memberikan syarat. Namun, dari semua produk hukum terkait pelaksanaan restorative justice yakni baik dari segi produk hukum kepolisian, kejaksaan maupun mahkamah agung, kasus ini memenuhi syarat untuk dilaksankaannya restorative justice. Namun, satu hal yang disayangkan ialah bahwa pelaksanaan restorative justice yang dilakukan masih belum mampu memunculkan upaya pertanggungjawaban yang nyata dari pelaku untuk merestorasi kerugian dan kerusakan yang dialami korban.

 

BIBLIOGRAPHY

Achmad, Y., & Mukti Fajar, N. D. (2015). Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

 

Arief, H., & Ambarsari, N. (2018). Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Al-Adl: Jurnal Hukum, 10(2), 173�190.

 

Dahri, I., & Yunus, A. S. (2022). Pengantar Restorative Justice. Makassar: Guepedia.

 

Fajar, M., & Achmad, Y. (2010). Dua Lisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. cet. Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

 

Garbett, C. (2017). The International Criminal Court and restorative justice: victims, participation and the processes of justice. Restorative Justice, 5(2), 198�220.

 

Hermawan, H. (2021). DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (PERSPEKTIF ISLAM). Institut agama islam Negeri (IAIN Palopo).

 

Irsyad Dahri, S. H. (2020). Pengantar Restorative Justice. GUEPEDIA.

 

Marzuki, P. M. (2013). Penelitian hukum.

 

Panjaitan, J. S. B. (2021). Analisi Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Riset di Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak di Sumatera Utara). Universitas Medan Area.

 

Purwati, A. (2020). Metode penelitian hukum teori & praktek. Jakad Media Publishing.

 

Qamar, N., Syarif, M., Busthami, D. S., Hidjaz, M. K., Aswari, A., Djanggih, H., & Rezah, F. S. (2017). Metode Penelitian Hukum (Legal Research Methods). CV. Social Politic Genius (SIGn).

 

Sahputra, M. (2022). RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI WUJUD HUKUM PROGRESIF DALAM PERATURAN PERUDANG-UNDANGAN DI INDONESIA. Jurnal Transformasi Administrasi, 12(01), 87�96.

 

Satria, H. (2018). Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana. Jurnal Media Hukum, 25(1), 111�123.

 

Titahelu, J. A. S. (2020). Penerapan Diversi terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana di Bidang Lalu Lintas. Jurnal Masohi, 1(1), 26�35.

 

Wulandari, C. (2021). Dinamika Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Jurnal Jurisprudence, 10(2), 233�249.

 

Copyright holder:

Pieter Leonardo, Hery Firmansyah (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: