Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10 Oktober 2022
PENCEGAHAN INTOLERANSI KEHIDUPAN BERAGAMA
DI KALANGAN UMAT ISLAM MELALUI PRAKTIK PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
Mintarti, Nalfaridas Baharuddin
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan tentang praktik pendidikan di sekolah Muhammadiyah, dalam menumbuhkan sikap toleran sebagai bentuk pencegahan terhadap timbulnya konflik internal di kalangan umat Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Lokasi penelitian adalah di Purwokerto, Jawa Tengah, dengan mengambil kasus di SMA Muhammadiyah 1. Informan penelitian ada 22 orang yang terdiri atas siswa, guru, manajemen sekolah, orang tua, alumni, dan pengurus yayasan. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan model analisis interaktif yang prosesnya meliputi reduksi data, sajian data, dan verifikasi/kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan, di tengah ekspektasi masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap sekolah berbasis agama Islam sebagai �bengkel� yang dapat memperbaiki moral anak didik, SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto menjalankan proses pendidikannya dengan menerapkan kurikulum yang memberi porsi dan durasi waktu lebih banyak untuk mata pelajaran agama. Melalui kurikulum dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari antar-siswa yang berbeda afiliasi kelompok aliran pemikirannya, praktik pendidikan agama yang dijalankannya berkontribusi dalam menumbuhkan nilai-nilai dan sikap toleran. Tumbuhnya sikap toleran sekaligus merupakan upaya pencegahan intoleransi dalam kehidupan beragama di kalangan umat Islam.
Kata Kunci: Praktik Pendidikan; Intoleransi; Kehidupan Beragama; Muhammadiyah.
Abstract
This study aims to
discuss the practice of education in Muhammadiyah schools, in fostering a
tolerant attitude as a form of prevention against the emergence of internal
conflicts among Muslims. This research uses qualitative methods with a case
study approach. The location of the study was in Purwokerto,
Central Java, by taking a case at SMA Muhammadiyah 1. There were 22 research
informants consisting of students, teachers, school management, parents,
alumni, and foundation administrators. Data collection was conducted through
in-depth interviews, observation, and documentation. Data is analyzed with an
interactive analysis model whose process includes data reduction, data
presentation, and verification/conclusion. The results showed that in the midst
of high expectations of Indonesian society for Islamic faith-based schools as
"workshops" that can improve the morale of students, SMA Muhammadiyah
1 Purwokerto runs its educational process by
implementing a curriculum that provides more portions and duration of time for
religious subjects. Through the curriculum and interactions in daily life
between students with different school of thought affiliations, the practice of
religious education contributes to fostering tolerant values and attitudes. The
growth of tolerance is also an effort to prevent intolerance in religious life
among Muslims.
Keywords: Educational Practice; Intolerance; Religious
Life; Muhammadiyah.
Pendahuluan
Sejak peristiwa teror 11 September 2001
di Amerika Serikat yang menyentak
dunia, ketakutan terhadap
Islam menjadi fenomena yang
dengan mudah ditemukan di berbagai belahan dunia, khususnya dunia
Barat. Fenomena yang biasa dikenal dengan istilah islamophobia ini adalah bentuk ketakutan
berupa kecemasan yang dialami seseorang maupun kelompok sosial terhadap Islam dan
orang-orang Muslim yang bersumber dari
pandangan yang tertutup tentang Islam serta disertai prasangka bahwa Islam sebagai agama yang
�inferior� tidak pantas untuk berpengaruh terhadap nilai-nilai yang telah ada di masyarakat.
Secara historis, islamophobia dapat ditelusur melalui sejarah panjang hubungan antara dunia Islam dan
Barat yang sempat menorehkan
luka pedih Perang Salib berabad-abad yang lalu (Husaini, 2005). Fenomena ini
kemudian menguat sejalan dengan berkembangnya tesis tentang clashes of civilizations dari
F. Fukuyama dan S. Huntington yang membenturkan antara Barat dengan Islam (Alshammari, 2013).
Dampak dari sikap takut
berlebihan ini sangat beragam. Diskriminasi adalah dampak yang paling dirasakan oleh kaum muslimin. Sejumlah kejadian di beberapa negara di Eropa mununjukkan hal tersebut.� Sebagai contoh, pernyataan yang menjadi headline sebuah media
online menyebutkan: 'People grab our veils, call us
terrorists and want us dead' (http://www.telegraph.co.uk. 6 Mei 2014). Contoh tersebut menunjukkan adanya diskriminasi. Data lain menyatakan
bahwa Perancis (66%) adalah negara dengan tingkat diskriminasi paling tinggi, disusul Belgia (60%), Swedia (58%),
Denmark (54%), Belanda (51%), dan Inggris (50%).
Di
Perancis, imigran perempuan muslim maghribi mengalami posisi paling sulit karena adanya diskriminasi
yang bertubi-tubi, khususnya
dalam hal pencarian pekerjaan (Ismoyo, 2016). Ketakutan dan kecurigaan berlebihan terhadap Islam dan kaum muslim itu diperkuat
oleh pemberitaan media yang seringkali
bersikap berat sebelah dan memojokkan umat Islam, sehingga seolah-olah setiap kejadian yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme dilakukan oleh orang
Islam.
Di
tengah kemajuan teknologi informasi, daya jangkau pemberitaan
media menjadi semakin luas. Akibatnya, sikap media yang semacam itu bukan hanya
menghinggapi masyarakat
Barat yang mayoritas Kristen melainkan
juga di negeri-negeri berpenduduk mayoritas
muslim seperti Indonesia. Sejak peristiwa bom Bali tahun 2002 yang menelan ratusan korban jiwa, setiap kali terjadi peristiwa terorisme di Indonesia orang akan
berasumsi bahwa pelakunya pasti kelompok �Islam radikal�. Gencarnya upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh negara, sedikit banyak juga merupakan imbas dari islamophobia tersebut.
Pengejaran dan penangkapan terhadap yang dicurigai sebagai �teroris� selalu tertuju pada kelompok-kelompok
Islam. Meskipun sejumlah ilmuwan menulis bahwa �ancaman Islam� itu adalah mitos
dan secara terminologis �terorisme Islam� sendiri merupakan istilah yang ambigu karena sifatnya
yang kontradiktif serta ilusif bahkan merupakan
fatamorgana Arnakim (2010); Atmaja (2016); Rosdiawan (2014), hal itu
tidak banyak merubah realitas akan rasa takut masyarakat yang berlebihan terhadap Islam. Hal tersebut diperparah oleh tindakan sebagian orang yang memanfaatkan suasana psikologis masyarakat itu melalui penggunaan agama dalam politik identitas
(Bagir & Kewargaan,
2011).
Situasi tersebut tidak secara otomatis membuat hubungan antarpemeluk agama menjadi renggang. Namun suasana psikologis itu rawan terhadap
perpecahan yang dengan sedikit provokasi akan mudah meledak.
Padahal sebagaimana diketahui Indonesia merupakan
negara yang plural dan multikultur. Jumlah etnik dan subetnik yang ada di Indonesia ada sebesar 1072 dengan 11 etnik memiliki warga di atas satu persen
(Wirutomo, 2012). Di negeri ini hidup dan berkembang pula enam agama resmi yaitu Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Jika ditambah dengan agama-agama adat yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara, maka makin lengkaplah heterogenitas yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Keanekaragaman budaya dan agama itu dapat menjadi faktor
integratif, namun juga dapat menimbulkan gesekan-gesekan yang dapat berujung pada konflik antar-kelompok, golongan, atau agama. Penggunaan agama dalam politik identitas
dapat menjadi faktor yang makin memperburuk keadaan. Sebuah hasil penelitian
menunjukkan, selama periode 2003−2007 telah terjadi sebanyak 333 insiden konflik terkait isu keagamaan
di 10 provinsi. Dalam periode
yang sama, insiden kekerasan yang terkait isu keagamaan itu
telah berdampak pada korban
manusia sebanyak 233 orang
(7 orang tewas, 178 orang luka,
dan 48 orang mengungsi), serta
kerusakan properti dengan jumlah sedikitnya
104 bangunan (79 rumah, 11 rumah ibadah, dan 14 bangunan lainnya).
Dari
76 insiden kekerasan yang terjadi, 41 insiden (53,9 %) terkait dengan isu moral dan 21 insiden (27,6 %)
lainnya terkait dengan isu sektarian
atau konflik internal umat beragama (Ali & Hidayatulloh,
2016). Suasana ini masih terus berlanjut
pascapemilihan umum tahun 2014 yang memenangkan Joko
Widodo sebagai presiden. Sikap curiga dan �ketakutan� terhadap Islam dan kaum muslim dapat
dirasakan melalui berbagai wacana yang muncul dan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat
yang mengindikasikan adanya
islamophobia itu
(https://nasional.tempo.co/read/1062929/, 21 Februari
2018; http://nasional.republika.co.id/, 19 Februari
2018;�� https://nasional.tempo.co/read/1062369/,
20 Februari 2018; https://www.dream.co.id. 30 Maret
2017).
Di
kalangan umat Islam sendiri, hal tersebut
berdampak tidak menguntungkan khususnya dalam hal hubungan
antarkelompok atau organisasi yang ada dalam masyarakat. Islam yang dianut oleh 207.176.162 orang (87,18%) dari
total penduduk Indonesia memiliki
banyak wajah. Jika dipetakan, di Indonesia terdapat
12 ragam pemikiran Islam.
Ragam pemikiran tersebut terwakili dalam organisasi-organisasi Islam yang jumlahnya
mencapai ratusan ribu (Wirutomo, 2012);(Nata, 2001). Adanya sikap takut berlebihan terhadap Islam dapat menimbulkan sikap saling curiga di antara kelompok-kelompok dengan berbagai ragam pemikiran tersebut.
Suasana itu mencapai puncaknya
saat pilkada DKI Jakarta tahun 2016 yang sangat terasa nuansa politik identitasnya. Agama, dalam hal ini Islam seolah
menjadi identitas yang membedakan antara �kami� dan �mereka�. Saling tuding dan sindir bahwa satu
kelompok beraliran radikal dan dekat dengan �teroris�, atau kelompok lain sebagai sinkretis, syirik, dan terlalu akomodatif, merupakan hal yang kerap mengemuka. Ini dapat dilihat dengan mudah melalui komentar
netizen di media sosial.
Meskipun dalam kenyataannya sebagian besar mereka sama-sama beragama Islam, masyarakat seolah terbelah menjadi dua; mereka yang
�pro-Islam� dan yang �anti-Islam�. Di dunia nyata, hal tersebut antara
lain muncul dalam beberapa peristiwa seperti pembakaran masjid
Muhammadiyah di Biuren, Aceh dan pembubaran
kegiatan pengajian di Karimunjawa, Jepara oleh sekelompok massa NU
(https://nasional.tempo.co/read/1025943, 18 Oktober 2017;
http://www.ngelmu.id/, [9/3/2018]).
Situasi tersebut makin kompleks mengingat bahwa perbedaan pemikiran antarkelompok Islam di
Indonesia sebenarnya telah berlangsung bertahun-tahun dan kerap menimbulkan benturan. Sebagai contoh, perbedaan dalam hal-hal kecil
yang bersifat ritual telah menjadi faktor yang biasa memicu pertengkaran
khususnya di daerah pedesaan. Oleh karena itu tidak mengherankan
jika data yang tersaji di atas menunjukkan adanya konflik sektarian di internal umat beragama yang jumlahnya mencapai 21 insiden (27, 6%).
Selain
konflik yang merupakan ekses dari pilkada
DKI Jakarta yang sarat dengan
nuansa politik identitas, sejumlah kejadian di berbagai daerah menunjukkan terjadinya pertentangan internal
di tubuh umat Islam. Beberapa yang dapat disebut adalah konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura
(http://m.okezone.com, 31 Desember 2011), dan konflik antara NU, Ahmadiyah, dan FPI yang berturut-turut
terjadi di Pandeglang,
Banten, Temanggung, Jawa Tengah, serta
Pasuruan, Jawa Timur, semuanya
di tahun 2011 (http://m.antaranews.com, 5 Maret
2011).
Padahal dalam setiap agama terdapat beberapa dimensi, yang semuanya berpotensi menimbulkan konflik. Glock dan Stark menyebutkan
bahwa setiap agama paling tidak terdiri atas
lima dimensi, yaitu ritual,
mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial (Azizy & Sosial, 2000). Semakin banyak
wajah dalam suatu agama maka akan semakin besar
pula potensi timbulnya perbedaan pendapat yang dapat memicu konflik
sosial.
Sikap intoleran terhadap kelompok-kelompok yang berbeda khususnya di kalangan umat Islam itu merupakan problem yang harus dicarikan solusinya. Sikap ini merupakan
ancaman serius yang membahayakan NKRI (Muhaemin & Sanusi,
2019). Akan tetapi untuk mencari solusi bukan perkara mudah
mengingat ada kelompok atau aliran
pemikiran yang sangat kuat klaimnya terhadap kebenaran yang mereka yakini. Klaim kebenaran
(truth claim) merupakan komponen
penting dalam agama, namun sekaligus merupakan sumber perbedaan dari interpretasi keagamaan itu sendiri (Charles, 2008).
Studi
tentang intoleransi kehidupan umat beragama menunjukkan fokus yang beragam. Arliman (2018) mengambil fokus kearifan lokal sebagai salah satu upaya menangkal
intoleransi. Sementara
Effendi (2020) menunjukkan tentang
proses pendidikan di pondok
pesantren dalam merespon wacana intoleransi dan terorisme. Pada sisi lain, Haryani (2019) menggambarkan tentang penyebab intoleransi yang disebutnya karena faktor pemahaman agama yang rigid
dan statis.
Berbeda dengan studi-studi tersebut, artikel ini akan mendiskusikan
tentang upaya pemcegahan intoleransi melalui proses pendidikan yang berlangsung di sekolah berbasis agama Islam. Menurut perspektif struktural fungsional, lembaga pendidikan antara lain berfungsi melakukan sosialisasi agar tercipta tertib sosial. Sosialisasi nilai-nilai yang diinginkan oleh masyarakat yang dilakukan di sekolah akan membuat generasi
muda mengetahui tentang perannya dalam masyarakat (Zainuddin, 2008);(Durkheim, 1973).
Baik
buruk suatu masyarakat juga ditentukan oleh nilai-nilai yang diajarkan di sekolah. Jika sekolah mengajarkan nilai-nilai toleransi, kebersamaan, dan persatuan maka akan lahir generasi
yang menghargai keanekaragaman
dan mencintai persatuan.
Pada gilirannya hal ini akan mendorong
terciptanya integrasi sosial yang merupakan prasyarat bagi lahirnya tertib sosial. Sebaliknya, jika praktik pendidikan
di sekolah justru mendorong timbulnya sikap eksklusif dan sektarian maka masyarakat akan semakin tersekat-sekat ke dalam kotak-kotak
pemikiran yang sulit berbaur satu sama
lain.
Sekolah berbasis agama Islam yang dikelola
Muhammadiyah merupakan salah satu
sekolah yang tersebar luas di seluruh pelosok Indonesia. Sejak didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912, Muhammadiyah telah berkomitmen untuk memajukan pendidikan. Tujuan pendidikannya adalah terwujudnya manusia muslim, berakhlak, cakap, percaya pada diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara (Iskandar & Zubaidah,
2014). Permasalahannya adalah
apakah sekolah tersebut telah mengajarkan nilai-nilai toleransi dalam proses pendidikannya, sejalan dengan visi organisasi
yang membawahinya yang mengusung
jargon kemajuan dan kemoderenan?
Bagaimana praktik pendidikan di sekolah
Muhammadiyah, dalam menumbuhkan
sikap toleran sebagai bentuk pencegahan terhadap konflik internal umat Islam? �������������
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Lokasi penelitian adalah di Purwokerto, Jawa Tengah dengan mengambil kasus di SMA
Muhammadiyah 1. Sekolah ini
merupakan salah satu dari lima sekolah swasta berbasis agama yang ada di Purwokerto. Pemilihan SMA Muhammadiyah 1 sebagai
lokasi penelitian dilakukan secara purposif dengan pertimbangan: (1) Merupakan sekolah berbasis Islam yang
paling mapan dibandingkan dengan sekolah lain sejenis yang ada di Purwokerto. Kemapanannya antara lain dilihat dari usianya yang telah lebih dari
60 tahun, sehingga kultur sekolah telah relatif
terbentuk. (2) Seluruh komponen sekolah yang dibutuhkan untuk penelitian ini cukup tersedia. (3) Eksistensinya sebagai sekolah berbasis agama Islam masih cukup diperhitungkan
oleh masyarakat.
Informan yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 22 orang yang terdiri atas seluruh komponen
sekolah yaitu siswa, guru, manajemen sekolah, orang tua, alumni, dan pengurus yayasan. Para informan ditentukan secara purposif dengan kriteria: (1) Memiliki pengetahuan tentang masalah yang berkaitan dengan penelitian ini, (2) Memiliki kemungkinan mempraktikkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan merujuk pada pedoman wawancara yang telah disusun. Wawancara berlangsung di sejumlah tempat sesuai dengan kesepakatan
yang dibuat oleh peneliti dengan para informan. Sementara itu, observasi dilakukan dengan cara masuk
ke beberapa ruang kelas khususnya
pada mata pelajaran yang berkaitan dengan agama. Pengamatan terutama ditujukan kepada isi materi pelajaran
dan cara guru menyampaikannya,
interaksi antara guru dengan siswa, dan interaksi antar-siswa itu sendiri. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan dokumentasi baik berupa foto, video, maupun dokumen tertulis sebagai data pendukung.�
Data
dianalisis dengan model analisis interaktif yakni sebuah proses analisis data yang terdiri atas aktivitas-aktivitas pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan verifikasi/kesimpulan. Semua kegiatan tersebut bersifat simultan dan timbal balik. Setiap kegiatan
bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri dan sekali jadi, melainkan dapat berulang sesuai kebutuhan. Analisis berhenti dilakukan apabila peneliti menganggap bahwa data telah bersifat jenuh atau berpola sama
(Miles & Huberman, 1994).
Hasil dan Pembahasan
Menumbuhkan Keterbukaan dan Toleransi Kehidupan Beragama di Kalangan Umat Islam
SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto, Jawa Tengah berdiri
pada tanggal 1 Agustus 1956. Sekolah
ini termasuk generasi pertama SMA-SMA yang didirikan di Indonesia. Hal ini merujuk pada pernyataan Baswedan (2015) yang menyebutkan bahwa pada periode 1950an pemerintah melakukan usaha serius untuk
mendirikan sekolah menengah atas (SMA) di semua kabupaten di Indonesia. SMA
ini merupakan salah satu dari lima sekolah swasta berbasis agama yang ada di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Selain sekolah
berbasis Islam, di Purwokerto
juga terdapat sekolah berbasis agama Nasrani (Kristen dan Katolik).
Sekolah yang berbasis
Islam, selain yang dikelola
Muhammadiyah ada juga yang dikelola
oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Al-Irsyad
Al-Islamiyah.
Hingga awal tahun ajaran 2015/2016 di SMA tersebut tercatat 323 siswa dengan rincian
167 laki-laki dan 156 perempuan.
Dalam kurun waktu lima tahun, jumlah siswa
tersebut secara umum mengalami penurunan sebagai imbas dari kebijakan
pemerintah yang lebih mengutamakan sekolah kejuruan. Banyak lulusan SMP lebih terserap ke sekolah kejuruan.
Statusnya sebagai sekolah swasta juga membuat yang masuk ke sekolah ini
bukan merupakan siswa berkualifikasi terbaik. Sebagian besar lulusan SMP yang terbaik lebih memilih sekolah-sekolah
negeri yang sebagian di antaranya
dianggap masyarakat sebagai �sekolah favorit�.
Namun demikian,
label sebagai sekolah Islam
masih menjadi daya tarik bagi
para orang tua yang menginginkan
anak-anaknya mendapat pendidikan agama yang lebih baik. Ciri yang khas dari sekolah jenis
ini adalah jumlah jam pelajaran agamanya yang lebih banyak jika dibandingkan
dengan di sekolah-sekolah
negeri dan sekolah swasta umum lainnya. Di sekolah ini, mata
pelajaran agama dirinci ke dalam sub-mata
pelajaran yang terdiri atas Ibadah, Tarikh, Al Quran dan Hadits,
Akhlak, dan Kemuhammadiyahan.
Dengan demikian, pembahasan materinya relatif lebih dalam.
Sejumlah informan
yang diwawancarai baik dari kalangan siswa
maupun orang tua menyatakan bahwa salah satu alasan bersekolah
di SMA itu adalah karena lebih banyaknya
jam pelajaran agama. Mereka
berasumsi bahwa belajar agama akan membantu mengarahkan anak berperilaku lebih baik. Hal inilah yang membuat sekolah ini tidak
pernah kekurangan peserta didik. Informan lain dari kalangan orang tua murid bahkan mengatakan bahwa di antara SMA-SMA swasta di Purwokerto, yang paling
tinggi kualitasnya adalah SMA Muhammadiyah 1 (Wawancara
dengan S, orang tua siswa).
Secara sosial
ekonomi latar belakang para siswa berbeda-beda. Dari segi pekerjaan orang tua, sebagian besar mereka bekerja di sektor swasta. Di luar itu, ada
juga yang berprofesi sebagai
PNS. Di sekolah ini terdapat siswa yang orang tuanya berprofesi sebagai dokter, namun ada pula anak janda tidak
mampu yang seringkali kesulitan membayar uang sekolah. Bagi sekolah
Muhammadiyah, realitas ini menjadi sebuah keniscayaan mengingat sejarah berdirinya Muhammadiyah
yang dari awal memproklamirkan diri sebagai gerakan dakwah yang ingin memberantas kebodohan masyarakat melalui pendidikan.
Seorang informan
mengatakan bahwa sekolah Muhammadiyah didirikan bukan dengan tujuan
bisnis, melainkan sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan pendidikan agama. Berikut ini penuturannya: �Muhammadiyah itu kan berangkat
dari masyarakat. Sekolah itu didirikan
oleh orang-orang ����������� yang ingin ada pendidikan
agama. Bukan sebagai sebuah ajang bisnis
untuk mendapatkan income.
Itu tidak sama sekali�. (Wawancara dengan SD, Pengurus Yayasan).
Sebagai sekolah
swasta yang membiayai operasional pendidikaannya sendiri, sekolah ini kadang mengalami
kesulitan keuangan sebagai akibat dari masih kurangnya
kesadaran sebagian orang tua siswa membayar
biaya sekolah. Namun demikian, hal tersebut tidak
membuatnya mundur. Usia yang mencapai lebih dari 60 tahun
membuktikan eksistensinya. Dengan segala kekurangan
dan kendala yang dihadapi, sekolah ini masih
menjadi sekolah yang cukup diminati masyarakat setempat.
Sementara dari sisi asal daerah,
data menunjukkan bahwa para
siswa sebagian besar berasal dari
dalam kota Purwokerto dan kecamatan-kecamatan
di sekitarnya. Sisanya berasal dari kabupaten
dan provinsi lain. Asal SMP
mereka pun bervariasi. Namun demikian sebagian besar berasal dari sekolah
negeri, sedangkan di urutan
kedua adalah yang berasal dari SMP Muhammadiyah dan
sisanya dari SMP-SMP swasta lainnya. Berikut ini adalah
tabel yang menunjukkan asal daerah dan asal sekolah siswa:
Tabel 1 Asal Daerah Siswa
No. |
Asal Daerah |
Tahun Ajaran |
|||||
2013/2014 |
2014/2015 |
2015/2016 |
|||||
Jml |
% |
Jml |
% |
Jml |
% |
||
1. |
Dalam kota |
- |
- |
58 |
55,77 |
49 |
41,88 |
2. |
Kecamatan lain |
- |
- |
41 |
39,42 |
62 |
52,99 |
3. |
Kabupaten lain |
- |
- |
5 |
4,81 |
4 |
3,42 |
4. |
Luar provinsi |
- |
- |
0 |
0 |
2 |
1,71 |
|
Jumlah |
- |
- |
104 |
100 |
117 |
100 |
Sumber: Laporan Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2013/2014,
2014/2015,
2015/2016, data diolah.
Tabel 2 Asal Sekolah Siswa
No. |
Asal Sekolah |
Tahun Ajaran |
|||||
2013/2014 |
2014/2015 |
2015/2016 |
|||||
Jml |
% |
Jml |
% |
Jml |
% |
||
1. |
SMP/MTs negeri |
57 |
46,34 |
46 |
44,23 |
64 |
54,70 |
2. |
SMP/MTs Muh. |
32 |
26,02 |
31 |
29,81 |
34 |
29,06 |
3. |
SMP/MTs swasta lainnya |
�� 34 |
27,64 |
27 |
25,96 |
19 |
16,24 |
|
Jumlah |
123 |
100 |
104 |
100 |
117 |
100 |
Sumber: Laporan Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Ajaran 2013/2014,
2014/2015,
2015/2016, data diolah.
Berdasarkan data di atas,
SMA Muhammadiyah 1 merupakan sekolah
yang terbuka. Setiap siswa apapun latar
belakang sosial ekonominya, dapat menjadi siswa di sekolah itu. Jika dilihat dari asal
sekolahnya yang sebagian besar (lebih dari
70%) bukan berasal dari SMP Muhammadiyah, makin mempertegas keterbukaan sekolah ini dalam
menerima murid. Realitas ini juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia bahkan
di tempat yang mayoritas penduduknya nonmuslim sekalipun.
Ini antara lain dapat dilihat di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua. SMA
Muhammadiyah 1 Ende misalnya, pada tahun 2007 jumlah siswa non-muslimnya mencapai dua per tiga dari total siswa. Demikian pula dengan yang terjadi di Serui, Kabupaten Yapen Waropen, Papua yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan. Mayoritas siswa SMP Muhammadiyah
di kota itu juga menganut agama Kristen Protestan (Mu�thi,
Mulkhan, Marihandono, & Tjahjopurnomo, 2015).
Fakta tersebut menjadi menarik di tengah realitas masyarakat Indonesia yang sangat heterogen
dan plural. Meskipun untuk kasus SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto
semua siswanya beragama Islam, bukan berarti keragaman itu tidak dapat
ditangkap. Sebagaimana diketahui, di kalangan umat Islam terdapat banyak wajah dan sangat bervariasi pemahaman keagamaannya. Sebuah pemetaan tentang Islam di
Indonesia menunjukkan adanya
12 ragam pemikiran. Jika ditarik dalam dua kutub maka di satu
sisi ada Islam fundamentalis yang digambarkan sebagai mereka yang memiliki sikap dan pandangan yang radikal, militan, berpikiran sempit, bersemangat secara berlebihan, atau ingin mencapai
tujuan dengan cara-cara kekerasan.
Di sisi lain ada pula yang disebut dengan Islam inklusif-pluralis yakni pandangan yang menganggap agama-agama lain yang ada
di dunia ini sebagai mengandung kebenaran dan dapat memberikan manfaat serta keselamatan
bagi penganutnya (Wirutomo,
2012). Selain Muhammadiyah sendiri, beberapa organisasi Islam yang sudah dikenal termasuk oleh masyarakat Purwokerto adalah Nahdlatul Ulama (NU), Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Persatuan Islam (Persis), dan Lembaga Dakwah
Islamiyah Indonesia (LDII).
Dalam kehidupan sosial, hal yang mudah diamati dari
ragam pemikiran Islam yang tercermin dalam organisasi-organisasi ini adalah praktik beribadah serta tradisi-tradisi yang menyertainya.
Perbedaan dalam bacaan salat, perbedaan pemahaman tentang peringatan hari-hari besar Islam, penentuan awal bulan Ramadhan dan hari raya Idul
Fitri adalah beberapa contoh praktis dari ragam
pemikiran Islam itu. Perbedaan-perbedaan ini seringkali menjadi debat tak berkesudahan
di antara para pengikut aliran pemikiran tersebut.
Perasaan yang menganggap
pemikirannya sendiri yang benar tidak jarang
menimbulkan riak-riak konflik. Hal ini karena munculnya identifikasi diri antara �kita� di sini dengan �mereka�
di sana. Jika hal ini ditambah dengan konteks islamophobia yang berdampak
terhadap situasi sosial politik yang ada di Indonesia, realitas perbedaan tersebut menjadi semakin kompleks dan tajam.
Realitas yang terjadi
di dalam masyarakat itu juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Sebagai bagian dari warga masyarakat,
siswa menyerap nilai-nilai dan budaya yang berkembang di dalam masyarakatnya. Mereka melihat, merasakan, dan mengalami sendiri segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Perasaan berafiliasi ke dalam suatu organisasi
Islam dengan ragam pemikirannya itu pun menjadi tak terhindarkan.
Meskipun di Indonesia terdapat
ratusan ribu organisasi Islam, organisasi dengan jumlah massa
terbesar adalah NU.
Organisasi Islam yang dikenal
inklusif dan sangat adaptif
terhadap tradisi serta budaya lokal
ini diikuti oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia. Pemikirannya
yang tidak menentang budaya dan tradisi yang sudah ada menjadikannya
lebih mudah diterima oleh masyarakat hingga ke daerah
pedesaan. Arus besar pemikiran organisasi ini biasanya berhadapan dengan organisasi-organisasi lain
yang mengusung ide-ide puritanisme
yang bersikap kritis terhadap tradisi dan budaya lokal seperti
halnya Muhammadiyah. Bahkan
masyarakat seringkali menggeneralisir bahwa perbedaan antarorganisasi dan pemikiran keislaman yang ada di Indonesia hanya ada antara NU dengan
Muhammadiyah.
SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto
sebagai sekolah dengan siswa yang beragam latar belakang
sosial ekonominya pun mengalami situasi yang tidak jauh berbeda
dengan yang berkembang di masyarakat. Hal paling mudah yang
dapat diamati adalah dalam hal
bacaan salat. Dalam sebuah observasi yang dilakukan di salah
satu kelas X dengan mata pelajaran
Fikih Ibadah, guru menyuruh
siswa untuk maju satu per satu
menghafalkan doa salat seperti yang biasa dipakai di lingkungan
Muhammadiyah.
Namun beberapa
siswa yang belum mendapat giliran untuk maju ke
depan justru sibuk menghafalkan doa yang biasa mereka baca dalam
ibadah mereka sehari-hari
di rumah, yang umum dilafalkan oleh muslim dari kalangan NU. Mereka melakukan itu setelah merasa
sulit menghafalkan doa shalat yang diajarkan oleh guru, yang bagi mereka terasa kurang
familiar (Observasi. 18 November 2015). Situasi ini terkonfirmasi
melalui sebuah observasi di kelas X yang lain.
Pada saat ditanya siapa yang berasal dari atau berafiliasi
ke NU, sebagian besar siswa di kelas itu menjawab
dengan mengangkat tangannya. Jumlahnya melebihi mereka yang mengaku dari Muhammadiyah (Observasi, 3 Januari 2016).
Realitas bahwa siswa tidak hanya
berasal dari kalangan Muhammadiyah, bahkan justru banyak yang berasal dari lingkungan
NU yang dalam kehidupan masyarakat sering berada dalam posisi
berhadap-hadapan dengan
Muhammadiyah, membuka peluang
bagi diajarkannya nilai-nilai toleransi. Melalui perbedaan-perbedaan yang langsung dialami oleh para siswa, guru lebih mudah memberi pemahaman
tentang beravariasinya ragam pemikiran umat Islam. Hal ini juga ditunjang oleh kurikulum melalui materi mata pelajaran agama yang beragam. Mata pelajaran agama
yang mendukung di antaranya
adalah Fikih Ibadah dan Kemuhammadiyahan.
Dalam mata pelajaran Fikih Ibadah misalnya, terdapat materi dengan judul
�Perbedaan Faham dalam
Islam� sedangkan mata pelajaran Kemuhammadiyahan yang bertujuan memberi pengetahuan dan pemahaman kepada siswa tentang
seluk beluk Muhammadiyah,
di dalamnya antara lain menjelaskan tentang posisi Muhammadiyah di antara organisasi-organisasi lain yang ada
di Indonesia. Pemberian tema-tema
pelajaran seperti itu dapat membuka
wawasan siswa tentang realitas keberagaman masyarakat Islam
Indonesia. Meskipun dari pihak sekolah berharap
para siswanya dapat menjadi kader-kader Muhammadiyah,
harapan itu bersifat longgar.
Artinya, tidak
ada paksaan bagi siswa untuk
menjadi anggota dari organisasi yang menaungi sekolahnya. Pernyataan informan berikut ini menunjukkan
hal tersebut: �Yang penting kita sudah
menyampaikan, ini lho Muhammadiyah. Minimal mereka tahu sehingga diharapkan
dalam masyarakat mereka menjadi lebih dewasa dan toleran. Walaupun tidak aktif di Muhammadiyah, mereka menyukai dan tidak mempermasalahkan
Muhammadiyah.� Tapi banyak
juga yang mungkin mereka keturunan NU kemudian masuk Ikatan Pelajar
Muhammadiyah, akhirnya jadi
Muhammadiyah�. (Wawancara dengan
MY, Guru Agama).
Selain melalui mata pelajaran yang diberikan di dalam kelas dan keterlibatan dengan organisasi pelajar Muhammadiyah, interaksi sosial sehari-hari yang terjadi di sekolah dengan sesama siswa
yang berbeda-beda latar belakang organisasi dan aliran pemikirannya juga merupakan ajang tersemaikannya nilai-nilai toleransi. Pengalaman alumnus berikut ini menunjukkan
hal tersebut: �Dulu teman saya
kebanyakan orang-orang NU. Ada yang moderat dan kemudian menjadi Muhammadiyah yang mantap,
tapi ada juga yang sampai sekarang tetap saja jadi
orang NU. Tapi saya akrab saja, tidak masalah.
Begitu juga dia. Kita ibadahnya
seperti Muhammadiyah dan dia
pun tidak benci kepada almamaternya� (Wawancara dengan BS, Alumnus tahun 1976).
Fakta-fakta di lapangan ini tentu
tidak dapat digeneralisasi yang dapat berlaku untuk semua
situasi. Namun demikian setidaknya hal itu menunjukkan
bahwa proses pendidikan di sekolah Muhammadiyah ikut mendorong tumbuhnya sikap dan nilai-nilai toleransi di antara kelompok-kelompok dan aliran pemikiran yang berbeda.
Pendidikan Muhammadiyah di Tengah Ekspektasi
Masyarakat terhadap Sekolah
Islam
Sejak didirikan
Muhammadiyah telah menempatkan
pendidikan sebagai kegiatan utamanya. Bahkan sebelum resmi berdiri, Ahmad Dahlan pada
1911 telah mendirikan sekolah agama yang khas yang diberi nama Sekolah
Muhammadiyah. Di sekolah ini,
di samping belajar agama,
murid juga belajar huruf Latin,
berhitung, ilmu bumi, ilmu tubuh
manusia, sejarah, dan
lain-lain. Perhatiannya yang besar
terhadap bidang pendidikan dilatarbelakangi oleh kondisi umat Islam ketika itu yang terbelakang karena kebodohan.
Menurutnya, masyarakat
Islam belum menjalankan sistem pengajaran dan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kemajuan jaman. Oleh karena itu, sekolah,
madrasah, dan pesantren adalah
instrumen dan media promosi
kebaikan hidup, penyempurnaan budi dan akal yang terus disempurnakan sesuai jaman dan perkembangan ilmu. Langkah pembaruan yang ditempuhnya adalah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam pendidikan
di lembaga pendidikan
Islam, dan mengajarkan agama di sekolah-sekolah
Muhamadiyah.
Dalam perkembangan selanjutnya pun pendidikan tetap menjadi hal
penting yang diutamakan
oleh Muhammadiyah. Dengan rumusan
tujuan umum organisasi �menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya�,
Muhammadiyah menempatkan pendidikan
sebagai salah satu hal khusus yang menjadi salah satu tujuan awal didirikannya
organisasi keagamaan ini.� �Memperbarui sistem pendidikan Islam secara modern sesuai dengan kehendak
dan kemajuan jaman�, itulah kalimat yang menjadi salah satu tujuan awal berdirinya
Muhammadiyah.
Budaya organisasi
yang kemudian melekat di dalamnya yakni tradisi amal saleh,
pengabdian, keikhlasan, kesahajaan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai gerakan Islam, membuat makin kokohnya semangat warga Muhammadiyah untuk berjuang di bidang pendidikan (Mu�ti
& Haq, 2009);(Mu�thi et al., 2015). Tradisi
yang berkembang di dalam
Muhammadiyah membuat gerak organisasi keagamaan ini mandiri dan tidak tergantung kepada bantuan pihak lain terutama pemerintah.
Dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah
Muhammadiyah dapat hidup
dan berkembang dengan cara membiayai diri sendiri melalui
dana yang bersumber dari anggota, simpatisan, serta masyarakat umum secara swadaya.
Kemandirian itu secara historis dapat dilacak melalui
data yang terhimpun pada tahun
1930-an. Data tersebut menyebutkan
bahwa sampai memasuki tahun 1932, jumlah sekolah-sekolah
Muhammadiyah mencapai 688, mulai
dari sekolah guru hingga Taman Kanak-Kanak
Dari total sekolah
Muhammadiyah itu, yang mendapat
subsidi pemerintah hanya sekitar 9,4% (65 sekolah) dan selebihnya 90,6%
(623 sekolah) dikelola secara mandiri (Suara
Muhammadiyah No.22/Tahun ke-
97, 16-30 November 2012). Meski kemandirian
itu seringkali berdampak terhadap rendahnya kesejahteraan guru, tradisi untuk beramal
saleh dan mengabdi dengan ikhlas membuat
sekolah-sekolah ini dapat tetap bertahan.
Dalam perkembangannya, terbukti bahwa tajdid pendidikan ala
Muhammadiyah ini kemudian menjadi kiblat pendidikan Islam moderen di
Indonesia (Ali, 2010). Kini di Indonesia telah berdiri sebanyak 12.689 SMA, terdiri atas 6.355 SMA negeri dan
6.334 SMA swasta yang tersebar
di 34 provinsi, di samping sekolah-sekolah dari jenjang pendidikan dasar dan menengah pertama (Kemendikbud, 2015). Capaian ini tentu
tidak lepas dari peran Muhammadiyah sebagai organisasi yang sangat lekat dengan pendidikan.�
Dalam masyarakat yang mempercayai ajaran agama sebagai penuntun dalam berperilaku, sekolah berbasis agama dipersepsikan sebagai wadah yang dapat membentuk dan memperbaiki moral anak. Bahkan tidak
jarang sekolah semacam ini dianggap
sebagai �bengkel� bagi anak-anak yang mengalami �kerusakan moral�. Sebagai bagian dari organisasi Muhammadiyah, SMA
ini tidak dapat lepas dari
tujuan dan budaya yang melekat dalam organisasi
Islam terbesar kedua di
Indonesia ini.
Untuk itu maka sekolah ini
merumuskan visi dan misinya sebagai berikut: �Terwujudnya Generasi Muslim yang Kuat dalam
Iman dan Takwa (IMTAK), Maju dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), dan Konsisten dalam Bersyukur, Semangat Berprestasi, dan Berkarakter Islami�. Visi tersebut
dijabarkan dalam misi sebagai berikut:
(1) Memberi penguatan iman dan takwa serta penanaman karakter Islami dalam rangka menyiapkan calon kader persyarikatan,
umat, dan kader bangsa masa depan yang menguasai Iptek dan bahasa internasional. (2) Meningkatkan kepedulian terhadap misi dakwah
persyarikatan dengan mendorong, memberdayakan warga sekolah untuk
ikut berperan aktif dalam kegiatan
persyarikatan baik secara personal maupun lembaga. (3) Mengupayakan kehidupan warga sekolah yang Islami, dinamis, demokratis, mandiri, kompetitif.
Di tengah ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap posisinya sebagai �bengkel� yang dapat memperbaiki moral anak, sekolah Muhammadiyah ini menjalankan proses pendidikannya dengan menerapkan kurikulum yang memadukan mata pelajaran umum dengan mata
pelajaran agama. Sebagai sekolah yang berada di bawah pembinaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, SMA ini
berkewajiban mengikuti kurikulum nasional dan segala aturan yang dibuat oleh pemerintah.
Namun demikian,
sekolah juga diperbolehkan menerapkan kurikulum dan aturan khusus yang hanya berlaku di lingkungan Muhammadiyah sebagai organisasi yang menaunginya. Kurikulum yang berasal dari pemerintah itu berupa mata
pelajaran-mata pelajaran umum seperti sains,
ilmu pengetahuan sosial, bahasa, dan matematika sedangkan kurikulum khusus adalah serangkaian mata pelajaran agama yang hanya berlaku di lingkungan sekolah-sekolah
Muhammadiyah.
Kurikulum nasional
juga mewajibkan mata pelajaran agama. Namun untuk sekolah negeri dan sekolah umum lain yang tidak berbasis agama, mata pelajaran itu diberikan hanya
2 jam pelajaran per minggu dengan durasi 45 menit untuk satu
jam pelajaran atau 90 menit dalam satu
pekan. Keterbatasan jumlah
jam pelajaran itu membuat pembahasan masing-masing topik yang diajarkan hanya diberikan secara singkat dan tidak rinci.
Keterbatasan jumlah
jam pelajaran tersebut oleh
sebagian orang tua dianggap kurang dapat membekali siswa menghadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks dan penuh dengan dekadensi
moral sebagai efek dari perubahan sosial yang cepat. Situasi ini membuat
masyarakat kehilangan nilai-nilai dan norma yang semula diyakini dapat menuntun generasi muda ke
arah perilaku yang baik.
Berbagai perilaku
negatif yang dilakukan oleh
remaja seperti pornografi, aborsi ilegal, prostitusi online, seks bebas, dan bentuk-bentuk kenakalan remaja yang lain Anisah (2016);�
Hertanti (2013); Susanti dan Handoyo;
(2015) Setyawati
dan Suwarti, membuat orang tua
khawatir akan daya tahan anak-anak
mereka terhadap situasi sosial yang negatif tersebut. Dalam konteks ini, agama dipandang sebagai benteng yang dapat melindungi anak-anak muda itu dari
godaan untuk berperilaku buruk. Untuk itulah maka
sekolah yang menawarkan kurikulum pendidikan agama yang lebih banyak, masih
tetap diminati dan menjadi alternatif pendidikan bagi anak-anak.
Praktik Pendidikan Islam; Mempersatukan
Umat, Mengikis Islamophobia
Seperti yang dapat
ditangkap melalui pemaparan di atas, SMA
Muhammadiyah 1 Purwokerto merupakan
sekolah yang terbuka, baik dari sisi
latar belakang ekonomi, sosial, maupun afiliasi organisasi keagamaan dari para siswanya. Dari sisi ini, dapat
dikatakan bahwa sekolah ini relatif
plural sehingga hampir seperti miniatur Indonesia. Oleh karena itu, praktik
pendidikannya harus diarahkan kepada tumbuhnya sikap toleransi agar tercipta kehidupan sekolah yang harmonis.
Hal ini penting sebagai proses pembelajaran bagi siswa ketika hidup
di tengah masyarakat. Melalui apa yang disebut dengan hubungan yang bersifat
cross-cutting affiliation antar-golongan atau kelompok yang berbeda, sekolah dapat berkontribusi menumbuhkan integrasi fungsional. Sikap toleran merupakan modal bagi tumbuhnya integrasi sosial fungsional itu. Inilah yang secara sosiologis merupakan salah satu fungsi dari
sekolah. Dalam masyarakat
Indonesia yang multikultur dan plural integrasi sosial merupakan sesuatu yang harus terus dijaga
dan diperjuangkan.
Untuk itu sikap toleran di antara berbagai kelompok atau golongan
adalah suatu keniscayaan. Dalam hal ini, sekolah Muhammadiyah dapat menjadi �rumah bersama� bagi semua kelompok,
golongan, dan aliran pemikiran yang ada di kalangan umat Islam (Jati,
2014). Jika dalam
konteks demokrasi negara dianggap sebagai satu-satunya institusi yang dapat menyulap intoleransi menjadi toleransi melalui peraturan yang dibuatnya Zaini (2010), maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan juga dapat berkontribusi di dalam proses menumbuhkan nilai-nilai dan sikap toleran ini
sekaligus mencegah tumbuhnya intoleransi.
Namun demikian,
berdasarkan observasi di lapangan tampak bahwa, dari tiga
model pengajaran dalam praktik pendidikan Islam yakni �in the wall�, �at the wall�, dan �beyond the wall�
model, yang paling dominan digunakan
adalah �in the wall� model. Dalam model ini siswa hanya
belajar agama mereka sendiri tanpa mengaitkannya
dengan agama lain. Sedangkan
dua yang lainnya, selain belajar agamanya sendiri juga mengaitkannya dengan agama lain dan membantu siswa untuk bekerjasama
dengan orang-orang dari
agama lain itu untuk menciptakan kedamaian, keadilan, dan harmoni (Nuryatno,
2011).
Jika diterapkan dalam pola relasi
antar-kelompok aliran pemikiran yang ada dalam Islam, maka model pembelajaran yang bersifat �in
the wall� ini hanya mengajarkan materi dari sudut pandang
kelompok yang mengajarkan itu. Dalam konteks yang terjadi di SMA Muhammadiyah 1 maka
itu berarti guru hanya mengajarkan materi yang dianut oleh
Muhammadiyah. Memang benar bahwa di dalam materi ajar yang disampaikan oleh
guru terdapat topik tentang �Perbedaan Faham dalam Islam�, tetapi model pembelajarannya kurang memberi kesempatan kepada murid untuk mendiskusikannya. Akibatnya, topik tersebut hanya berhenti sebagai pengetahuan yang kurang dipahami siswa secara lebih
dalam.
Padahal jika merujuk kepada praktik pendidikan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan lebih
dari satu abad yang lalu, model pendidikan di sekolah
Muhammadiyah seharusnya tidak
bersifat indoktrinatif melainkan terbuka dan dialogis. Sejarah mencatat bahwa K.H. Ahmad Dahlan sendiri
juga berdiskusi secara terbuka tentang Islam dan Kristen
(Mu�ti
& Haq, 2009). Di samping
itu, beliau juga melakukan pembaharuan metode pendidikan Islam. Kutipan berikut ini menunjukkan secara lebih jelas
pembaharuan yang dilakukannya:
Dalam mengajarkan agama,
Ahmad Dahlan membuka wawasan
dengan metode tanya jawab dan kebebasan mengajukan pertanyaan. Pembaharuan dua arah ini sangat berbeda dengan pendidikan tradisional yang hanya satu arah.
Murid dipandang sebagai subyek belajar yang leluasa mengajukan pertanyaan dan berdialog dengan gurunya. Pembaharuan metode pendididikan yang lainnya adalah pendekatan integratif dan multidisiplin dalam menjelaskan ajaran agama. Ahmad Dahlan berusaha
menjelaskan dengan ilmu-ilmu modern sehingga dapat memberikan perspektif ������� luas bagi murid-muridnya. Agama bukanlah doktrin yang harus diterima secara dogmatik.
Beragama secara
dogmatik adalah proses pembodohan dan pangkal konservatisme yang anti modernitas.
Ahmad Dahlan mengkritik keras
taklid buta. Selain karena bertentangan dengan �� ajaran Islam, taklid akan membuat Islam hidup dalam keterbelakangan.
Pengajaran model �di dalam tembok� yang diterapkan seperti di sekolah Muhammadiyah tersebut memiliki kelemahan, terlebih dalam masyarakat Indonesia yang
plural dan multikultur. Hal ini
membuat pemahaman antarkelompok aliran pemikiran atau organisasi menjadi sulit untuk dibangun.
Namun untuk merubahnya juga bukan perkara mudah mengingat
bahwa hampir di semua lembaga pendidikan
Islam di Indonesia praktik dan metode
pembelajaran yang diterapkan
cenderung ke arah model ini. Diperlukan upaya dan kemauan dari berbagai
pihak, khususnya penyelenggara pendidikan maupun pemerintah untuk memperbaikinya. Meskipun sulit, hal itu tidak
berarti mustahil untuk dilakukan. Khusus untuk kasus
di SMA Muhammadiyah 1 masih ada
celah untuk mengajarkan dan memahamkan kepada siswa tentang
realitas plural yang ada di
kalangan umat Islam. Optimalisasi pembelajaran agama khususnya pada topik tentang �Perbedaan Faham dalam Islam� masih dapat dilakukan.
Di samping itu seperti yang telah dilakukan oleh pendiri Muhammadiyah, pendekatan integratif dan multidisiplin dalam menjelaskan ajaran agama juga sangat mungkin untuk dilakukan. Dalam hal ini, keterlibatan
guru-guru lain yang tidak mengajar
mata pelajaran agama menjadi penting. Mata pelajaran seperti Sosiologi, Sejarah, dan Pendidikan Kewarganegaraan,
dapat menjadi media untuk membantu menjelaskan topik-topik yang berkaitan dengan toleransi yang telah diajarkan oleh guru agama.
Melalui cara ini siswa diajak
untuk belajar dan memahami banyaknya aliran pemikiran dalam Islam serta realitas masyarakat muslim Indonesia yang heterogen.
Oleh karena itu, bersikap toleran terhadap kelompok atau aliran yang tidak sepaham dengan
yang mereka yakini merupakan suatu keharusan. Rekomendasi yang sama juga ditujukan kepada sekolah-sekolah Islam di luar Muhammadiyah. Lembaga pendidikan
tersebut perlu untuk membuka diri
terhadap kelompok lain dan memperbaiki metode pembelajaran agamanya. Jika hal ini dilakukan
maka akan berdampak pada terciptanya kerukunan di internal umat Islam.
Saling memahami dan toleran terhadap keberadaan kelompok lain di tubuh umat Islam sendiri, akan membawa
persatuan umat Islam yang
sangat diperlukan di tengah
terpaan isu islamophobia
yang melanda berbagai belahan dunia. Sikap terbuka ini sekaligus
akan membuat lembaga pendidikan Islam dapat maju dan berkembang.
Ini sejalan dengan pemikiran K.H. Ahmad
Dahlan, bahwa agar dapat bersaing dengan perkembangan jaman, lembaga pendidikan Islam harus menempuh langkah-langkah sebagai berikut: (1) Mempelajari dan memahami Al-Quran, (2) Penggunaan
akal dan hati, (3) Terbuka terhadap perubahan. Perbedaan agama, etnis, dan budaya tidak menjadi
penghalang untuk mempelajari gagasan baru yang bermanfaat (Mu�thi, dkk., 2015). Pada gilirannya, keterbukaan dan toleransi yang dipraktikkan di kalangan umat Islam ini dapat menjadi
modal bagi tumbuhnya sikap serupa terhadap
kelompok atau agama lain.
Kesimpulan
Di
tengah ekspektasi masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap posisi sekolah berbasis agama Islam sebagai �bengkel� yang dapat memperbaiki moral anak didik, SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto menjalankan proses pendidikannya dengan menerapkan kurikulum yang memberi porsi dan durasi waktu lebih
banyak untuk mata pelajaran agama. Melalui kurikulum dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari antarsiswa yang berbeda afiliasi kelompok aliran pemikirannya, praktik pendidikan agama yang dijalankannya berpotensi untuk berkontribusi dalam menumbuhkan nilai-nilai dan sikap toleran di kalangan umat Islam.
BIBLIOGRAFI
Ali, Ahmad Haidlor, & Hidayatulloh, M. Taufik.
(2016). Relasi Antar Umat Beragama di Berbagai Daerah. Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian �.
Alshammari,
Dalal. (2013). Islamophobia. International Journal of Humanities and Social
Science, 3(15), 177�180.
Anisah,
Nur. (2016). Efek tayangan pornografi di internet pada perilaku remaja di desa
suka maju kecamatan tenggarong seberang. Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas
Mulawarman, 4(1), 115�124.
Arnakim,
Lili Yulyadi. (2010). ISLAMOPHOBIA: MYTH OF ISLAMIC THREAT IN INDONESIA,
2001-2004. SEJARAH: Journal of the Department of History, 18(18).
Atmaja,
Dwi Surya. (2016). The So-Called �Islamic Terrorism�: A Tale of the Ambiguous
Terminology. Al-Albab, 5(1), 105�122.
Azizy,
Ahmad Qodri A. Islam, & Sosial, Permasalahan. (2000). Mencari Jalan Keluar.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bagir,
Zainal Abidin, & Kewargaan, Pluralisme. (2011). Arah Baru Politik Keragaman
di Indonesia. Bandung-Yogyakarta: Mizan Dan CRCS.
Charles,
Kimball. (2008). When religion becomes evil: Five warning signs. Harper
Collins, SFO: San Francisco, CA, USA.
Durkheim,
Emile. (1973). 1. Bibliography" Comprehensive Bibliography of Emile
Durkheim (1858-1917)," in: Harry Alpert, Emile Durkheim and his Sociology.
New York, Columbia University Press, and London, PS King & Son, Ltd., 1939,
pp. 217-224. Classical Approaches to the Study of Religion: Aims, Methods
and Theories of Research, 2, 49.
Effendi,
Muhamad Ridwan. (2020). Mitigasi Intoleransi dan Radikalisme Beragama di Pondok
Pesantren Melalui Pendekatan Pembelajaran Inklusif. Paedagogie: Jurnal
Pendidikan Dan Studi ISlam, 1(01), 54�77.
Hertanti,
Andrie. (2013). ABORSI (Studi Deskriptif Tentang Proses Pengambilan
Keputusan Aborsi Ilegal yang Dilakukan oleh Remaja Putri di Kota Surabaya).
UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Husaini,
Adian. (2005). Wajah peradaban Barat: dari hegemoni Kristen ke dominasi
sekular-liberal. Gema Insani.
Iskandar,
Engku, & Zubaidah, Siti. (2014). Sejarah Pendidikan Islam. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Ismoyo,
Petsy Jessy. (2016). Islamofobia di Prancis: diskriminasi perempuan muslim
maghribi. Cakrawala Jurnal Penelitian Sosial, 5(2).
Jati,
Wasisto Raharjo. (2014). Toleransi Beragama Dalam Pendidikan
Multikulturalismesiswa Sma Katolik Sang Timur Yogyakarta. Jurnal Cakrawala
Pendidikan, 33(1).
Miles,
Matthew B., & Huberman, A. Michael. (1994). Qualitative data analysis:
An expanded sourcebook. sage.
Mu�thi,
Abdul, Mulkhan, Abdul Munir, Marihandono, Djoko, & Tjahjopurnomo, R.
(2015). KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Museum Kebangkitan Nasional.
Mu�ti,
Abdul, & Haq, Fajar Riza Ul. (2009). Kristen Muhammadiyah: konvergensi
Muslim dan Kristen dalam pendidikan. Al-Wasat Publishing House.
Muhaemin,
Enjang, & Sanusi, Irfan. (2019). Intoleransi Keagamaan dalam Framing Surat
Kabar Kompas. Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi, 3(1), 17�34.
Nata,
Abuddin. (2001). Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Nuryatno,
M. Agus. (2011). Islamic education in a pluralistic society. Al-Jami�ah:
Journal of Islamic Studies, 49(2), 411�431.
Rosdiawan,
Ridwan. (2014). The narrative characteristics of Islamic terrorism
discourses.
Susanti,
Iis. (2015). Perilaku Menyimpang Dikalangan Remaja Pada Masyarakat Karangmojo
Plandaan Jombang. Paradigma, 3(2).
Wirutomo,
Paulus. (2012). Sistem Sosial Indonesia.
Zaini,
Zaini. (2010). PENGUATAN PENDIDIKAN TOLERANSI SEJAK USIA DINI (Menanamkan
Nilai-nilai Toleransi Dalam Pluralisme Beragama Pada Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) Di Kabupaten Tulungagung Tahun 2010). TOLERANSI: Media Ilmiah
Komunikasi Umat Beragama, 2(1), 16�30.
Zainuddin,
Maliki. (2008). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Copyright holder: Mintarti, Nalfaridas Baharuddin (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |