Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 8, Agustus 2023

 

EKSEKUSI JAMINAN GADAI EMAS PADA BANK SYARIAH INDONESIA

 

Agus Setyawan, Sugeng Djatmiko

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

E-mail: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut al rahn. Rahn mempunyai banyak definisi, salah satunya dalam bahasa Arab rahn memiliki pengertian tetap dan berkelanjutan. Adapun definisi rahn dalam istilah syariah, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, �Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya.� Sistem transaksi utang piutang dengan gadai diperbolehkan dalam Islam karena ada dalil-dalil dari Al Qur�an, Sunnah, dan ijtihad yang menjadi landasan. Jadi Sobat tidak perlu ragu lagi dalam bertransaksi gadai syariah. Ayat Al Qur�an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah Q.S. Al Baqarah ayat 282 dan 283. Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar, hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi layanan keuangan berbasis syariah. Dimana layanan syariah ini memenuhi unsur-unsur syariat Islam antara lain Rukun Rahn. yang dihadapi oleh masyarakat. Salah satu Bank yang mempunyai produk jasa berupa gadai adalah Bank Syariah Indonesia yang selanjutnya disebut BSI. Di mana BSI menjalankan produk jasa gadai sesuai dengan syariat dan Hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Gadai ini adalah bank meminjamkan uang kepada nasabah/debitur dengan barang jaminan, dalam jangka waktu tertentu dan besaran biaya tertentu, dan debitur mempunyai kewajiban membayar pinjaman sesuai dengan besaran jumlah harga dan waktu jatuh tempo yang telah ditentukan pihak Bank dan disepakati oleh debitur. Barang yang dapat menjadi objek jaminan pada BSI antara lain Emas Perhiasan dan Logam Mulia.

 

Kata kunci: Gadai Syariah; Utang Piutang; Jaminan.

 

Abstract

Pawn transactions in Islamic jurisprudence are called al rahn. Rahn has many definitions, one of which in Arabic rahn has a permanent and continuous meaning. As for the definition of rahn in sharia terms, the scholars explained with the phrase, "Making property as collateral for debt to be repaid with the guarantee when unable to pay it off." The system of debt and credit transactions with pawns is allowed in Islam because there are arguments from the Qur'an, Sunnah, and ijtihad on which to base. So you don't need to hesitate anymore in sharia pawn transactions. The verse of the Qur'an that can be used as the legal basis for a pawn agreement is Q.S. Al Baqarah verses 282 and 283. Indonesia is one of the countries with the largest Muslim population, this makes Indonesia a potential market for sharia-based financial services. Where this sharia service meets the elements of Islamic law, including Rukun Rahn. faced by society. One of the banks that has service products in the form of pawns is the Indonesian Islamic Bank, hereinafter referred to as BSI. Where BSI runs a pawn service product in accordance with sharia and Islamic law that applies in Indonesia. This pawn is a bank lending money to customers/debtors with collateral, within a certain time and a certain amount of interest, and the debtor has an obligation to pay the loan in accordance with the amount of the price and maturity period that has been determined by the Bank and agreed upon by the debtor. Goods that can be guaranteed objects at BSI include Gold, Precious Metals, House Certificates or Land Certificates, etc.

 

Keywords: Sharia Pawns; Debts; Guarantees.

 

Pendahuluan

Pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bank disebutkan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Jahja, 2012).

Nasabah adalah pelanggan (customer) yaitu individu atau perusahaan yang mendapatkan manfaat atau produk dan jasa dari sebuah perusahaan perbankan, meliputi kegiatan pembelian, penyewaan serta layanan jasa. Nasabah menurut Pasal 1 ayat (17) UU No. 10 tahun 1998 adalah �Pihak yang menggunakan jasa bank.� Nasabah mempunyai peran penting dalam industri perbankan, dimana dana yang disimpan nasabah di bank merupakan dana yang terpenting dalam operasional bank untuk menjalankan usahanya. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa nasabah adalah seseorang atau badan usaha (korporasi) yang mempunyai rekening simpanan dan pinjaman dan melakukan transaksi simpanan dan pinjaman tersebut padasebuah bank.

Hutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian. Sedangkan piutang mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain). Yang artinya adanya suatu kewajiban untuk melaksanakan janji untuk membayar.

Maka hutang piutang dalam perbankan dapat dikaji pada hukum perdata khususnya hukum perikatan, yakni aturan yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya, dengan menitik beratkan pada kepentingan perorangan atau pribadi (Nofianti, 2019). Hutang piutang dianggap sah secara hukum apabila dibuat suatu perjanjian. Syarat sahnya suatu perjanjiaan Yakni perjanjian yang berdasarkan hukum yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerd, meliputi antara lain: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya yaitu bahwa semua pihak menyetujui materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau dibawah tekanan. 2) Cakap untuk membuat perjanjian yaitu kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu. 3) Mengenai suatu hal tertentu yaitu Perjanjian yang dilakukan menyangkut obyek hal yang jelas. 4) Suatu sebab yang halal Adalah bahwa perjanjian dilakukan dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.

Seiring perkembangannya di Indonesia juga mengenal dengan Bank Syariah, yaitu bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip-Prinsip Syariah. Implementasi prinsip syariah inilah yang menjadi pembeda utama dengan bank konvensional. Pada intinya prinsip syariah tersebut mengacu kepada syariah Islam yang berpedoman utama kepada Al Quran dan Hadist. Adapun beberapa perbedaan bank syariah ini dengan bank konvensional, antara lain dimana Bank Syariah ini tidak mengenal bunga, dikarenakan bagi hasil, margin keuntungan, dan fee. Untuk bank konvensional memakai praktik bunga, besaran bunga di bank konvensional pun tetap dibandingkan bank syariah bagi hasil bisa berubah-ubah tergantung pada kinerja usaha.

Kegiatan perbankan ini masyarakat akan mengaitkan dengan pusattransaksi keuangan. Asal mulanya kegiatan perbankan dimulai dan jasa penukaran uang, (money changer) baik mata uang domestic maupun mata uang asing. Dalam perkembangan selanjutnya kegiatan operasional perbankan bertambah lagi menjadi tempat penitipan uang atau disebut dengan kegiatan simpanan (Harahap, 1986).

Kemudian kegiatan perbankan berkembang dengan kegiatan peminjaman uang (personal loan) yaitu dengan cara uang yang semula disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali ke masyarakat yang membutuhkannya, dengan besaran bunga tertentu. Akibat dari kebutuhan masyarakat akan jasa keuangan semakin meningkat, maka peranan dunia perbankan semakin dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat baik yang berada di Negara maju maupun di Negara berkembang.

Sehingga Bank adalah sebagai lembaga intermediasi yaitu lembaga keuangan yang menghimpun Dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkannya kembali berupa pinjaman kredit (loan), pembiayaan (leasing) kemudian menawarkan jasa-jasa lainnya (Soemitra, 2017). Salah satu Bank yang mempunyai produk jasa berupa gadai adalah Bank Syariah Indonesia yang selanjutnya disebut BSI (Rantemangiling, 2022). Di mana BSI menjalankan produk jasa gadai sesuai dengan syariat dan Hukum Islam yang berlaku di Indonesia.

Gadai ini adalah bank meminjamkan uang kepada nasabah/debitur dengan barang jaminan, dalam waktu tertentu dan besaran bunga tertentu, dan debitur mempunyai kewajiban membayar pinjaman sesuai dengan besaran jumlah harga dan waktu jatuh tempo yang telah ditentukan pihak Bank dan disepakati oleh debitur (Sari, 2013). Barang yang dapat menjadi objek jaminan gadai pada BSI antara lain Emas Perhiasan dan Logam Mulia.

Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut al rahn (Royani et al., 2023). Rahn mempunyai banyak definisi, salah satunya dalam bahasa Arab rahn memiliki pengertian tetap dan berkelanjutan. Adapun definisi rahn dalam istilah syariah, dijelaskan para ulama dengan ungkapan, �Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya.� Sistem transaksi utang piutang dengan gadai diperbolehkan dalam Islam karena ada dalil-dalil dari Al Qur�an, Sunnah, dan ijtihad yang menjadi landasan.

Jadi Sobat tidak perlu ragu lagi dalam bertransaksi gadai syariah. Ayat Al Qur�an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah Q.S. Al Baqarah ayat 282 dan 283. Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar, hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi layanan keuangan berbasis syariah (Sulistiyaningsih & Shultan, 2021). Dimana layanan syariah ini memenuhi unsur-unsur syariat Islam antara lain Rukun Rahn. Dalam pelaksanaannya, mayoritas ulama memandang terdapat empat rukun rahn, yaitu: 1) Barang yang digadaikan (marhun). 2) Utang (marhun bihi). 3) Ijab qabul (shighat). 4) Dua pihak yang bertransaksi yaitu, pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin).

Sehingga gadai syariah ini menjadi alternative gadai bagi sejumlah nasabah. Terdapat beberapa perbedaan dengan pegadaian konvensional, perbedaan tersebut antara lain

Qardh al-hasan, akad ini digunakan rahin untuk tujuan konsumtif, oleh karena itu rahin akan dikenakan biaya perawatan dan penjagaan barang gadai (marhun) oleh pegadaian (murtahin) (Ab al-Fath, 2007). Ketentuannya: a) Barang gadai hanya dapat dimanfaatkan dengan jalan menjual, seperti emas, barang elektronik, dan lain sebagainya. b) Karena bersifat sosial, maka tidak ada pembagian hasil. Pegadaian hanya diperkenankan untuk mengenakan biaya administrasi kepada rahin.

Mudharabah, akad yang diberikan bagi rahin yang ingin memperbesar modal usahanya atau untuk pembiayaan lain yang bersifat produktif. Ketentuannya: a) Marhun dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak seperti: emas, elektronik, kendaraan bermotor, tanah, rumah, dan lain-lain. b) Keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan biaya pengelolaan marhun.

Ba�i Muqayyadah, akad ini diberikan kepada rahin untuk keperluan yang bersifat produktif. Seperti pembelian alat kantor atau modal kerja. Dalam hal ini murtahin juga dapat menggunakan akad jual beli untuk barang atau modal kerja yang diinginkan oleh rahin. Marhun adalah barang yang dimanfaatkan oleh rahin ataupun murtahin.

Ijarah, akad yang objeknya adalah pertukaran manfaat untuk masa tertentu. Bentuknya adalah murtahin menyewakan tempat penyimpanan barang. Penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan tempat penyimpanan barang (deposit box) kepada nasabah (Dewi, 2021). Pada akad ini, nasabah menitipkan barang jaminannya di pegadaian selama masa pinjaman. Atas penitipan tersebut, pegadaian membebankan ujrah (biaya sewa/ fee) dari nasabah sesuai tarif yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak dalam akad ijarah.

Rahn dapat memberikan manfaat bila dijalankan sesuai aturan. Rahn bisa menyelamatkan dari krisis dan menghilangkan kegundahan di hati pemberi gadai, serta bisa berusaha dan berdagang dengan dana tersebut. Sedangkan pihak penerima gadai (murtahin) akan merasa tenang dan aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan secara syar�i, bila dilandasi dengan niat baik maka mendapatkan pahala dari Allah. Sedangkan bagi masyarakat, adalah dapat memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan bantuan, kecintaan, dan kasih sayang di antara manusia, karena ini termasuk tolong menolong di dalam kebaikan dan takwa. Di samping itu, dapat menjadi solusi dalam kondisi krisis yang dihadapi oleh masyarakat.

Secara umum jaminan terdiri dari dua jenis yaitu jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan umum merupakan jaminan yang diperuntukkan untuk kepentingan bagi semua kreditur dan berkaitan dengan semua harta benda yang dimiliki oleh debitur (Suci, 2016). Dengan demikian benda yang dijadikan jaminan tidak hanya diperuntukkan bagi kreditur dengan jenis tertentu dan hasil penjualan dari benda jaminan dibagi di antara para kreditur secara berimbang sesuai dengan besaran utang piutangnya setiap pihak (Nomor & Padang, 2019).

Berdasarkan konsep ini manakala ada lebih dari satu kreditur dan hasil penjualan dari benda jaminan tidak mencukupi untuk menutupi hutang maka mana yang harus didahulukan pelunasan hutangnya tidak lagi diperhatikan. Kendati antar peminjam memiliki kedudukan yang seimbang setiap kreditur akan mendapatkan bagian sesuai dengan jumlah piutangnya.

Eksekusi barang jaminan adalah di mana pihak BSI selaku pemberi pinjaman memiliki kewenangan untuk menjual barang berharga dari debitur yang melalaikan kewajiban membayar hutang. Pada dasarnya, proses pelelangan di Bank Umum berlaku juga di Bank Syariah, dimana beberapa jenis lelang yang berlaku di Bank, yaitu sebagai berikut: 1) Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. 2) Lelang Non Eksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan dijual secara lelang. 3) Lelang Non Eksekusi Sukarela adalah lelang atas barang milik swasta, perseorangan atau badan hukum/ badan usaha yang dilelang secara sukarela.

Barang jaminan itu baru boleh dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak, utang tidak dapat dilunasi oleh pihak yang berutang. Oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi utangnya; Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dari uraian di atas maka BSI mempunyai dasar hukum berupa Undang-undang yang termuat dalam Pasal 1150 KUH Perdata.

Dalam hal dalam hutang piutang terdapat lebih dari satu kreditur, masalah yang ada adalah manakala hasil penjualan objek jaminan tidak mencukupi maka penting untuk menentukan kreditur mana yang harus didahulukan pelunasan hutangnya ketika melakukan wanprestasi. Dari pemaparan di atas maka jaminan umum pada Pasal 1131 KUHPer ada kemungkinan menimbulkan dua persoalan pertama benda yang menjadi objek jaminan telah cukup memberikan jaminan kepada kreditur jika harta benda dari debitur minimal sama atau melebihi dari jumlah hutangnya. Dengan demikian hasil bersih dari penjualan objek jaminan debitur memenuhi dari semua hutangnya, dengan demikian semua kreditur dapat menerima pelunasan hutang karena secara prinsip semua harta jaminan debitur dapat digunakan untuk melunasi hutangnya.

Adapun kemungkinan yang kedua adalah, objek jaminan yang dimiliki oleh debitur tidak mencukupi karena nilai kekayaan debitur kurang dari jumlah hutangnya. Dengan demikian penjualan dari objek jaminan tidak cukup untuk menutup hutang setelah objek jaminan dijual kepada pihak ketiga (Frieda, 2002). Atau lebih dari satu kreditur telah melakukan eksekusi, sementara namun hasil penjualan tidak mencukupi untuk membayar semua hutang debitur. Jika hasil penjualan dari objek jaminan hanya cukup untuk menutupi hutang atas satu kreditur maka eksekusi jaminan dapat dilakukan secara bertahap.

Sebagaimana telah disebutkan diatas jaminan umum memiliki kelemahan, sehingga untuk mengatasinya undang-undang memungkinkan diberlakukannya jaminan khusus. Hal ini terdapat pada Pasal 1132 KUHPer dalam kalimat �. kecuali di antara para kreditur ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan�. Maka dari itu dalam pasal 1132 KUHPer memiliki sifat yang melengkapi.

Hal ini dikarenakan para pihak yang terlibat dalam hutang piutang diberikan kesempatan untuk membuat perjanjian yang menyimpang. Sehingga pada konsep ini terdapat kreditur yang memiliki kedudukan yang harus didahulukan dalam pelunasan hutang dibandingkan dengan kreditur lainnya.

Semantara itu pada Pasal 1133 KUHPer memberikan pernyataan yang lebih tegas dimana �Hak untuk didahulukan antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai, dan dari hipotik�. Dengan demikian alasan untuk didahulukan dapat terjadi karena adanya perundang-undangan yang berlaku, dapat juga terjadi karena diperjanjikan antara debitur dan kreditur.

Dalam kegiatan penjualan jasa berupa gadai tersebut ada beberapa kendala yang sering terjadi, antara lain adalah nasabah/debitur yang melalaika kewajibannya untuk membayar pinjaman sesuai waktu jatuh tempo yang sudah disepakati di awal Perjanjian. Bentuk Perjanjian tersebut antara lain berupa surat tertulis yang ditandatangani oleh debitur itu sendiri, surat tertulis yang ditandatangani di atas materai. Debitur itu menghilang tanpa memberikan informasi kepada pihak bank, sehingga bank akan kesulitan dalam melakukan penagihan pinjaman gadai tersebut.

Kejadian tersebut tentu saja akan merugikan pihak BSI selaku pemberi pinjaman karena akan mempengaruhi perputaran keuangan dan kegiatan perbankan dalam perusahaan, meskipun debitur mempunyai barang berharga yang menjadi jaminan namun untuk menjadikan barang tersebut menjadi uang untuk menutup pinjamannya tentu saja harus melalui proses yang akan memakan waktu, bahkan bisa berpotensi timbulnya sengketa antara debitur dan Bank apabila pihak Bank mengeksekusi barang jaminan gadai dari debitur yang melalaikan kewajibannya.

Potensi permasalahan yang sering muncul adalah debitur menggugat pihak BSI karena debitur merasa barang jaminan tersebut bukan sepenuhnya dan otomatis menjadi hak BSI, karena ada kemungkinan barang jaminan tersebut nilainya lebih tinggi dibanding dengan jumlah pinjaman yang diambil debitur.

Bagaimana upaya BSI dalam menghadapi debitur yang melalaikan kewajiban pembayaran tersebut, agar mendapatkan kinerja yang efisien dan efektif dalam menjalani kewenangannya sebagai Bank sesuai dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Perbankan yang berlaku.

Saat ini dalam kegiatan perdagangan jasa tersebut BSI mempunyai beberapa poin Perjanjian antara Bank dengan debitur yang tentu saja harus disepakati dan dipahami debitur sebelum akad itu terjadi. Dan agar pihak BSI selaku pemberi pinjaman dan Debitur selaku peminjam juga mempunyai perlindungan hukum yang sama. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, menarik untuk diteliti terkait �Eksekusi Jaminan Gadai Emas Pada Bank Syariah Indonesia.�.

Rumusan penelitian ini yaitu (a) bagaimana upaya dan langkah hukum yang tepat yang dilakukan BSI untuk menghadapi debitur/nasabah yang tidak memenuhi kewajiban membayar pinjaman yang sudah jatuh tempo? (b) Bagaimana bentuk Perjanjian/perikatan dalam gadai syariah pada BSI agar bisa menjalani perdagangan jasa tersebut dengan efektif dan efisien?

 

Metode Penelitian

Metode pendekatan yang dilakukan oleh Penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Dan yuridis empiris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan upaya dan langkah hukum yang tepat yang dilakukan BSI untuk menghadapi debitur/nasabah yang tidak memenuhi kewajiban membayar pinjaman yang sudah jatuh tempo di masa yang akan datang. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Soekanto, 2007).

Pendekatan yuridis adalah pendekatan yang memakai kaidah-kaidah serta perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, sedangkan pendekatan normatif adalah penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai data utama, yaitu bahwa tidak perlu mencari data langsung ke lapangan.

Adapun spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, dan untuk menarik suatu kesimpulan dan hasil penelitian, maka data yang telah dikumpulkan oleh Penulis dalam penelitian ini kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif, dengan mengacu pada data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, baik terhadap peraturan perundangan maupun terhadap teori ataupun pendapat para pakar yang berkaitan dengan upaya dan langkah hukum yang tepat yang dilakukan BSI untuk menghadapi debitur/nasabah yang tidak memenuhi kewajiban membayar pinjaman yang sudah jatuh tempo, yaitu dengan menyusun secara sistematis yang bertujuan untuk dianalisis tanpa menggunakan angka-angka.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Upaya dan langkah hukum yang tepat yang dilakukan BSI untuk menghadapi debitur/nasabah yang tidak memenuhi kewajiban membayar pinjaman yang sudah jatuh tempo

Dikaji dari Pasal 1155 KUHPerdata tentang gadai dan hutang pitang yang isinya: Bila oleh puhak pihak yang berjanji tidakdisepakati lain, jika pemberi gadai atau debitur tidak memenuhi kewajibannya, setelah lampaunya jangka waktu yang telah di tentukan, atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak untuk menjual barang gadainya dihadapan umum menurut kebiasaan kebiasaan setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar jumlah utang itu dengan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu.�

Dari peraturan Bank dan perjanjian yang ditanda tangani oleh nasabah. Dengan nasabah menanda tangani perjanjian tersebut maka nasabah dianggap setuju dengan peraturan dari pihak BSI sehingga lahir perikatan antara Bsi dengan nasabah (Nasution & Sutisna, 2015). Termasuk eksekusi barang jaminan apabila nasabah tidak menjalankan kewajibannya yaitu dalam perjanjian BSI pasal 5, yang� berbunyi Apabila Nasabah tidak dapat melunasi Hutangnya berdasarkan Akad ini dan/atau Nasabah lalal menambah agunan apabila nilal Barang Gadai dinilai sudah tidak mencukupi oleh Bank pada saat jatuh tempo atau Nasabah tidak melaksanakan pembayaran seketika dan sekaligus karena suatu hal dan/atau Pemblayaan digolongkan macet berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka Nasabah dengan ini memberi kuasa kepada Bank yaitu kuasa yang tidak dapat ditarik kembali dan tidak akan berakhir karena sebab apapun termasuk sebab yang ditentukan.

Dalam pasal 1813, 1814, 1816 KUHPerdata untuk melakukan eksekusi/penjualan Barang Gadai secara lelang ("Penjualan") dengan harga atau syarat-syarat yang dianggap balk oleh Bank setelah melampaul 3 (hari) harl sejak tanggal penandatanganan Akad Ini atau sebagaimana diatur oleh kebijakan Bank Indonesia/Otoritas Jasa Keuangan ("Regulator) yang berlaku, Uang hasil eksekusi/penjualan agunan/barang tersebut digunakan Bank untuk membayar/melunasi Hutang Nasabah kepada Bank setelah dikurangi biaya Penjualan dan biaya-biaya lainnya.

Jika hasil eksekusi Penjualan tidak cukup untuk membayar seluruh Hutang Nasabah kepada Bank, maka Nasabah tetap bertanggung jawab membayar sisa Hutang sampal dengan lunas dan sebaliknya apabila terdapat kelebihan hasil Penjualan maka Nasabah berhak menerima kelebihan setelah dipotong kewajiban yang terhutang.

 

B.     Bentuk Perjanjian/perikatan dalam gadai syariah pada BSI agar bisa menjalani perdagangan jasa tersebut dengan efektif dan efisien

Bank berdasarkan permohonan Nasabah dengan ini setuju untuk memberikan fasilitas pembiayaan berdasarkan Akad kepada Nasabah ("Pembiayaan") dengan plafond Pembiayaan sebagaimana dicantumkan dalam Surat Bukti Gadai Emas ("SBGE") yang telah ditandatangani Nasabah yang merupakan satu kesatuan dengan Akad ini dan Nasabah menerima pemberian fasilitas pembiayaan berdasarkan Akad ini tersebut dengan agunan berupa gadai (Rahn) emas. Pemberian pembiayaan tersebut tunduk kepada syarat dan ketentuan sebagai berikut (Djuwaini & Muamalah, 2008):

1. Pembiayaan Gadal dengan Agunan Emas:

a) Berdasarkan Akad Qardh, Bank memberikan pembiayaan kepada NASABAH dengan nilai pinjaman sebagaimana disebutkan dalam SBGE ('selanjutnya disebut "Hutang/Kewajiban").

 

b) Jangka Waktu Pembiayaan, Nasabah wajib melunasi kembali jumlah seluruh hutangnya yang timbul berdasarkan Pembiayaan kepada Bank pada tanggal jatuh tempo sebagaimana disebutkan dalam SBGE dengan cara membayar sekaligus dan lunas pada saat Pembiayaan jatuh tempo.

 

2. Agunan

a. Guna menjamin pelunasan Hutang Nasabah sebagaimana disebutkan dalam pasal Akad ini dan Akad ijarah, maka Nasabah dengan ini menggadaikan agunan berupa emas sebagaimana dirinci pada lembar SBGE (selanjutnya disebut "Barang Gadai") secara sukarela berikut segala sesuatu yang melekat yang merupakan satu kesatuan dengan Barang Gadal.

 

b) Nasabah memberikan hak kepada Bank untuk melakukan pemeriksaan terhadap Barang Gadai dan melakukan penilaian ulang kadar emas barang gadal apabila diperlukan sesuai dengan ketentuan Bank yang berlaku.

 

c) Nasabah dengan ini menyatakan dan menjamin bahwa apa yang dijaminkan kepada Bank adalah benar hak dan milik pribadi NASABAH dan/atau kepemilikan sebagaimana pasal 1977 KUHPerdata dan diperoleh secara sah dan tidak melawan hukum dan bukan berasal dari kejahatan, tidak dalam sengketa, bebas dari sitaan, tidak sedang digadaikan/dibebani/dijaminkan atau diagunkan dengan ikatan apapun kepada pihak manapun,

 

d) Nasabah dengan ini menyatakan dan menjamin bahwa apa yang digadaikan kepada Bank adalah benar emas asil dengan spesifikasi sebagaimana dirinci dalam lembaran SBGE. Apabila di kemudian hari ternyata apa yang digadaikan kepada Bank tidak asli/palsu/tidak sesuai dengan SBGE atau bukan milik pribadi Nasabah, maka Nasabah wajib menanggung segala risiko dan mengganti seluruh kerugian yang timbul karenanya, dan bersedia diproses sesual dengan ketentuan hukum yang berlaku (Ab al-Fath, 2007).

 

e) Apabila Nasabah tidak dapat melunasi Hutangnya berdasarkan Akad ini dan/atau Nasabah lalal menambah agunan apabila nilal Barang Gadai dinilai sudah tidak mencukupi oleh Bank pada saat jatuh tempo atau Nasabah tidak melaksanakan pembayaran seketika dan sekaligus karena suatu hal dan/atau Pemblayaan digolongkan macet berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka Nasabah dengan ini memberi kuasa kepada Bank yaitu kuasa yang tidak dapat ditarik kembali dan tidak akan berakhir karena sebab apapun termasuk sebab yang ditentukan dalam pasal 1813, 1814, 1816 KUHPerdata untuk melakukan eksekusi/penjualan Barang Gadal secara lelang ("Penjualan") dengan harga atau syarat-syarat yang dianggap balk oleh Bank setelah melampaui 3 (hari) hari sejak tanggal penandatanganan Akad Ini atau sebagaimana diatur oleh kebijakan Bank Indonesia/Otoritas Jasa Keuangan ("Regulator) yang berlaku, Uang hasil eksekusi/penjualan agunan/barang tersebut digunakan Bank untuk membayar/melunasi Hutang Nasabah kepada Bank setelah dikurangi biaya Penjualan dan biaya-biaya lainnya.

Jika hasil eksekusi Penjualan tidak cukup untuk membayar seluruh Hutang Nasabah kepada Bank, maka Nasabah tetap bertanggung jawab membayar sisa Hutang sampal dengan lunas dan sebaliknya apabila terdapat kelebihan hasil Penjualan maka Nasabah berhak menerima kelebihan setelah dipotong kewajiban yang terhutang.

 

f) Setiap jumlah yang diperoleh Bank dari hasil Penjualan berdasarkan Akad ini, akan dipergunakan untuk membayar. a. Seluruh ongkos, biaya dan pengeluaran yang timbul akibat pelaksanaan Akad ini, dan

 

g) Seluruh jumlah Hutang Nasabah yang jatuh tempo dan atau harus dibayar berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Akad ini.

 

h) Dalam melaksanakan setiap hak untuk melakukan Penjualan berdasarkan Akad ini, Bank berhak menentukan jumlah yang terhutang dan wajib dibayar oleh Nasabah berdasarkan pembukuan dan catatan Bank yang merupakan bukti tertulls yang sah dan mengikat Nasabah, demikian dengan tidak mengesampingkan hak Nasabah untuk kemudian membuktikan jumlah yang terhutang.

 

i) Kuasa sebagaimana dimaksud dalam butir 5 Akad ini dan kuasa lain yang diberikan sehubungan dengan Akad ini bersifat tidak dapat ditarik kembali dan merupakan satu kesatuan serta bagian yang tidak terpisahkan dari Akad Inl, tanpa kuasa mana Akad ini tidak akan dibuat dan karenanya kuasa-kuasa tersebut tidak akan berakhir karena sebab-sebab yang termaktub dalam pasal 1813, pasal 1814 dan pasal 1816 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Djuwaini & Muamalah, 2008).

 

j) Dalam hal Nasabah belum membayar sekaligus pada saat Pembiayaan jatuh tempo, maka Nasabah dapat melakukan perpanjangan jangka waktu dengan cara; a) Nasabah dapat mengajukan permohonan perpanjangan secara tertulis kepada Bank: atau b)����������� Bank akan melakukan perpanjangan secara otomatis, mengikuti ketentuan yang berlaku pada Bank.

 

k) Dengan adanya pilihan perpanjangan otomatis dalam formulir permohonan gadai emas (dengan cara mencontreng pilihan perpanjangan otomatis maks pilihan tersebut merupakan permohonan sah Nasabah kepada Bank atas perpanjangan Jangka Waktu Pembiayaan gadal emas yang diatur dalam akad int yang tidak dapat dibatalkan oleh Nasabah sampai dengan Pembiayaan lunas, dengan tetap memperhatikan ketentuan lain yang diatur dalam Akad ini

 

m) Apabila terjadi selisih nilai yang disebabkan nilai Barang Gadal tidak dapat menutupi nilai Hutang pada saat perpanjangan, maka Nasabah wajib untuk membayar selisih nilai tersebut atau menambah agunan, sehingga nilal agunan dapat menutupi nilal Pembiayaan yang diberikan oleh Bank

 

n) Dalam hal terjadi penurunan Harga Dasar Emas (HDE), dengan ini NASABAH bersedia untuk menutup selisih antara HDE saat perpanjangan dan apabila selisih tersebut tidak dilunasi oleh Nasabah, maka Nasabah dianggap telah wanprestasi dan Pembiayaan jatuh tempo seketika serta Bank berhak melakukan Penjualan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

o) Dalam hal pembayaran dilakukan melalui rekening Nasabah pada Bank, maka dengan ini Nasabah memberi kuasa kepada Bank untuk tiap-tiap waktu mendebet sejumlah uang yang terhutang oleh Nasabah kepada Bank dari rekening Nasabah baik sebagian atau keseluruhannya. Kuasa ini tidak dapat ditarik kembali dan/atau berakhir karena sebab-sebab yang termaktub dalam pasal 1813, pasal 1814 dan pasal 1816 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

 

p) Pengambilan Barang Gadai dilakukan oleh Nasabah atau kuasa Nasabah bersamaan dengan pelunasan Pembiayaan. Apabila Nasabah tidak mengambil Barang Gadai bersamaan pelunasan Pembiayaan, maka Nasabah dikenakan biaya penyimpanan sesuai tarif pro rata harian save deposit box yang berlaku di Bank.

 

q) Nasabah mengakui telah menerima dari Petugas Bank produk ini, dan menerima semua ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku mengenai hutang piutang dan penyerahan agunan secara Gadal sebagaimana yang tertera dalam Akad Ini.

r) Dengan ini Nasabah membebaskan dan melindungi Bank dan pegawainya dari segala tuntutan dan/atau gugatan dari pihak ketiga dan/atau ahli waris sehubungan dengan Barang Gadal yang tersebut pada SBGE ini.

 

s) Akad ini merupakan satu kesatuan dengan SBGE dan Aplikasi Permohonan Pembiayaan Gadal Emas.

 

t) Segala sengketa yang timbul dari dan atau terkait dengan Akad ini akan diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat dalam waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari kalender. Dalam hal tidak tercapai kata mufakat maka Para Pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Agama dan memilih domisili hukum yang tetap dan tidak berubah di Kantor Panitera Pengadilan Agama yang wewenangnya meliputi wilayah tempat kantor Bank dimana Akad ini di tandatangani.

 

Kesimpulan

Bahwa Gadai menurut KUHPer diatur dalam Pasal 1150, yang berbunyi: Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya. Hutang piutang dianggap sah secara hukum apabila dibuat suatu perjanjian. Karena itu, perjanjian gadai harus memenuhi syarat sahnya perjanjian pada Pasal 1320 KUH Perdata, yang bunyinya: sahnya sebuah persetujuan, perlu dipenuhi empat syarat yaitu; kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang.

Barang jaminan itu baru boleh dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak, utang tidak dapat������ dilunasi oleh pihak yang berutang. Oleh sebab itu, hak pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi utangnya; Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis.

Bahwa Syarat menggadaikan suatu barang haruslah ada yang namanya ijab dan qobul dan harta yang digadaikan adalah benda yang sah dijual, juga orang yang menggadaikan dan yang menerima gadaian itu haruslah aqil baligh, tidak boleh merugikan orang yang menggadai, tidak merugikan orang yang menerima gadai. Sesuai dengan ketentuan pasal 1233 KUHPer, disebutkan bahwa perjanjian timbul karena persetujuan dan dari perundang-undangan.

Maka apa yang dilakukan oleh pihak BSI dalam mengadapi perkara nasabah yang tidak menjalankan kewajibannya dalam membayar hutang sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang undangan serta peraturan perusahaan yang awalnya sudah ditanda tangani oleh nasabah sehingga dalam penanda tanganan tersebut telah muncul perikatan (Pacta Sunt Servanda). Ketika nasabah sudah menandatangani maka dianggap para pihak sudah saling setuju.

 

BIBLIOGRAPHY

Ab al-Fath, A. (2007). Kitab al-Muamalat fi asy-Syariah al-Islamiyah wa al Qawanin al-Misriyah, dalam Syamsul Anwar. Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat.

 

Dewi, A. (2021). PENGARUH FLUKTUASI HARGA EMAS PADA PRODUK GADAI EMAS SYARIAH DAN PRODUK SAFE DEPOSIT BOX TERHADAP PROFITABILITAS BANK SYARIAH MANDIRI TAHUN 2018�2020. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG.

 

Djuwaini, D., & Muamalah, P. F. (2008). Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

 

Frieda, H. H. (2002). Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid 2. Jakarta: Ind-Hill Co.

 

Harahap, M. Y. (1986). Segi-segi Hukum Perjanjian, alumni. Bandung.

 

Jahja, A. S. (2012). Analisis Perbandingan kinerja keuangan perbankan Syariah dengan perbankan Konvensional. Epistem�: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 7(2), 337�360.

 

Nasution, M. H., & Sutisna, S. (2015). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Minat Nasabah Terhadap Internet Banking. Nisbah: Jurnal Perbankan Syariah, 1(1), 62�73.

 

Nofianti, A. (2019). Ganti rugi dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditinjau dari hukum Islam. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

 

Nomor, J. P., & Padang, W. S. (2019). Kedudukan Negara Sebagai Kreditur Preferen dalam Piutang Pajak dalam Kasus Kepailitan.

 

Rantemangiling, Y. (2022). Analisis Yuridis Mengenai Merger Bank Syariah Mandiri, Bri Syariah, Dan Bni Syariah Menjadi Bank Syariah Indonesia (Bsi). Lex Crimen, 11(5).

 

Royani, R., Hidayat, A. D., Hilmi, I., Ridwan, A. H., & Hakim, A. A. (2023). Model Transaksi Al-Rahn Perspektif Nash dan Al-Qanun. Ad-Deenar: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, 7(01), 99�114.

 

Sari, P. P. (2013). Perbandingan Kredit Pemilikan Rumah Pada Bank Konvensional dengan Pembiayaan Kepemilikan Rumah Pada Bank Syariah. Jurnal Akuntansi Unesa, 1(2).

 

Soekanto, S. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

 

Soemitra, A. (2017). Bank & lembaga keuangan syariah. Prenada Media.

 

Suci, I. D. A. (2016). Hukum Kepailitan� Kedudukan dan Hak Kreditor Separatis atas Benda Jaminan Debitur Pailit. LaksBang PRESSindo Yogyakarta.

 

Sulistiyaningsih, N., & Shultan, S. T. A. (2021). Potensi bank syariah indonesia (bsi) dalam upaya peningkatan perekonomian nasional. Al-Qanun: Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum Islam, 24(1), 33�58.

 

Copyright holder:

Agus Setyawan, Sugeng Djatmiko (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: