Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 9, September
2023
PENERAPAN
PASAL 156A KUHP SEBAGAI DELIK PENODAAN AGAMA
Marihot Bernard, P.L. Tobing
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
IBLAM
E-mail: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang makna yang tepat terkait unsur di muka umum dalam
Pasal 156A KUHP. Pilihan tersebut dilatarbelakangi adanya kekaburan hukum terkait unsur-unsur
di dalam Pasal 156A KUHP.
Adapun jenis penelitian penulis adalah jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis dan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa unsur-unsur di dalam Pasal 156A KUHP memiliki kekaburan makna karena penjelasan tafsirannya yang tidak memadai dan banyaknya kesalahan dalam praktek penggunaan pasal tersebut. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa pengaturan delik agama dimuat dalam beberapa pasal lainnya di dalam KUHP. Terkait hal ini, penulis
merekomendasikan agar dilakukan
pengaturan yang lebih rinci dan juga dengan tafsiran yang jelas sehingga prosedur yang dilaksanakan sampai pada putusan yang menjamin terlaksananya kepastian hukum dan meberikan rasa keadilan yang seadil-adilnya. Lahirnya Penpres No. 1/PNPS/1965 tidak bisa dilepaskan
dari peranan KH Saifudin Zuhri yang menjabat sebagai Menteri Agama sejak 21
Maret 1962 hingga 11 Oktober 1967.� KH Saifudin Zuhri memandang Penpres No. 1/PNPS/1965
diperlukan setelah agitasi politik yang dilakukan oleh PKI yang dianggap melakukan agitasi ateisme dalam rangka
merongrong kredibilitas
agama dan golongan agama, semangat
kemenangan golongan komunis dari China dan Vietnam, peristiwa Bangkuning, peristiwa Propaganda Daging
Tikus, juga peristiwa-peristiwa lain yang akhirnya mengilhami beliau untuk mendorong
Soekarno sebagai Pemimpin
Besar Revolusi yang memiliki
kewenangan absolut melahirkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Kata kunci: Delik Agama; Unsur di Muka Umum; Pasal 156A KUHP.
Abstract
This study aims to find out about the exact meaning related
to elements in public in Article 156A of the Criminal Code. This choice was
motivated by the vagueness of the law related to the elements in Article 156A
of the Criminal Code. The author's type of research is a type of normative
juridical research with a statutory approach, a historical approach and a
conceptual approach. The results of this study found that the elements in
Article 156A of the Criminal Code have a blurring of meaning due to inadequate
explanations of interpretation and many errors in the practice of using the
article. In addition, this study also found that the regulation of religious
offenses is contained in several other articles in the Criminal Code. In this
regard, the author recommends that more detailed arrangements be made and also
with clear interpretations so that the procedures carried out arrive at a
decision that guarantees the implementation of legal certainty and provides a
sense of justice that is as fair as possible. The birth of Presidential Decree
No. 1 / PNPS / 1965 cannot be separated from the role of KH Saifudin
Zuhri who served as Minister of Religious Affairs from March 21, 1962 to
October 11, 1967.� KH Saifudin
Zuhri considered Presidential Decree No. 1 / PNPS / 1965 necessary after
political agitation carried out by the PKI which was considered to be agitating
for atheism in order to undermine the credibility of religion and religious
groups, the spirit of victory of communists from China and Vietnam, the Bangkuning incident, the Rat Meat Propaganda event, as well
as other events that finally inspired him to encourage Sukarno as the Great
Leader of the Revolution who had absolute authority to give birth Presidential
Decree Number 1 of 1965 concerning the Prevention of Abuse and/or Blasphemy.
Keywords: Religious
Delicts; Elements in Public; Article 156A of the Criminal Code.
Pendahuluan
Indonesia adalah
negara dengan masyarakat
yang memiliki latar belakang identitas yang beragam. Salah satunya adalah agama. Setidaknya ada enam agama yang memiliki jumlah pengikut besar di Indonesia yakni, Islam, Kristen Protestan,
Kristen Katholik, Buddha, Hindu dan Konghuchu (Watra,
2020). Selain itu,
ada juga aliran kepercayaan dengan jumlah yang relatif kecil. Kenyataan atas keberagaman agama tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Menurut Yinger
(1957), terdapat
beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yakni; pertama, agama sebagai unsur teoritisnya
adalah sistem kepercayaan.
Kedua, agama sebagai
unsur praktisnya berupa sistem kaidah
yang mengikat pengikutnya. Ketiga, agama sebagai aspek sosiologisnya, bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi social (Hanik,
2019). Artinya,
agama memegang peranan besar dalam aktivitas
manusia karena memiliki dimensi privat dan publik. Dimensi privat yang dimaksud adalah bagaimana individu dengan dirinya sendiri terkait dengan keyakinannya. Dimensi publik yang dimaksud berarti bagaimana individu memiliki sikap dan cara pandang terhadap
dunia di luar dirinya, baik itu masyarakat
umum ataupun masyarakat komunitas tertentu.
Sebagai�negara hukum,
Indonesia memberikan pengakuan
atas hak beragama dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi �Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali�. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 pun menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan. Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 juga
mengakui bahwa hak untuk beragama
merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Namun, banyaknya
dasar hukum sebagai pengakuan tersebut bukan berarti bahwa kebebasan
yang diberikan bebas sebebas-bebasnya. Ini berarti pelaksanaan hak asasi juga ada pembatasan. Pembatasan pada hak asasi tersebut,
termasuk diantaranya hak-hak yang disebutkan di atas, harus mengacu
pada Pasal 28J ayat (1) UUD
1945, bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Hal tersebut dipertegas lagi pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib
tunduk pada pembatasan-pembatasan
yang diatur dalam undang-undang.
Dinamika�praktik beragama di Indonesia menghadapi banyak tantangan seperti kasus penodaan
agama. Menurut Wardah (2017), sejak�tahun 1965 hingga 2017 terdapat 97 kasus penodaan agama. Jumlah tersebut belum termasuk kasus-kasus yang terjadi pada rentang tahun 2017 sampai tahun 2022. Artinya, jumlah kasus yang terjadi, sesungguhnya jauh lebih besar dari
yang tercatat. Dalam hukum pidana Indonesia, delik penodaan agama diatur secara umum pada Pasal 156a Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Pasal
156a KUHP bersumber dari Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 Tentang
Pencegahan dan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama.
Pasal�156A KUHP tersebut menegaskan bahwa �dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: a) yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia. b) Dengan maksud
agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha
Esa.�
Lebih�lanjut dalam bagian penjelasan
Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1965 huruf
a menyatakan bahwa: �Tindak pidana yang dimaksudkan disini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat memusuhi
atau menghina. Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan suatu usaha untuk
menghindari adanya
kata-kata atau susunan
kata-kata yang bersifat permusuhan
atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut Pasal ini.�
Dasar dari
hukum pidana adalah asas legalitas
yang diatur pada Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi �suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.� Konsekuensi
logis daripada asas legalitas ini pada akhirnya melahirkan asas nullum crimen nulla
poena sine lege certa yang artinya rumusan ketentuan pidana harus jelas.
Sementara, UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak dijelaskan dengan rinci bagaimana kriteria dari penodaan
agama tersebut sehingga
norma yang sebenarnya terkandung
tidak mudah untuk ditafsirkan. Kenyataannya, unsur seperti �susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan� tidak diberikan batasan-batasan yang jelas terhadap penafsirannya sehingga penafsiran terhadap unsur tersebut seringkali kabur.
Lebih�jauh, tidak ditemukan penjelasan unsur �di muka umum� sekalipun
apabila kita merujuk kepada UU No.1/PNPS/1965.
Hal ini ketidakjelasan bagaimana unsur �di muka umum� harus
ditafsirkan. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
pengturan delik penodaan agama menurut Pasal 156A KUHP dan bagaimana praktek penerapan Pasal 156A KUHP sebagai delik penodaan agama.
Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah
penelitian yang menjadikan hukum sebagai objek
penelitiannya. Hukum bukan hanya dalam arti sebagai kaidah atau norma saja (law in book), tetapi meliputi hukum yang berkaitan dengan perilaku kehidupan masyarakat (law in
action) (Waluyo, 2002). Secara garis besar, penelitian hukum dibedakan menjadi dua jenis, yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum normatif, yakni berupa penelitian
terhadap sistematika hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.
Pendekatan yang akan dipakai
dalam penulisan ini adalah pendekatan
yang menelaah aturan-aturan
yang bersangkutan dengan isu hukum (statute approach), pendekatan yang beranjak dari doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum (conceptual approach)
dan pendekatan yang menelaah
latar belakang dan perkembangan isu yang diteliti (historical approach). Tujuan penelitian
ini adalah menggambarkan bagaimana pengaturan delik penodaan agama menurut Pasal 156A KUHP di Indonesia dan bagaimana
praktek penerapannya.
Hasil dan Pembahasan
Delik agama atau
lebih dikenal sebagai delik penodaan
agama tidak memiliki pengertian yang terang di dalam aturan perundang-undangan
Indonesia. Dalam KUHP warisan Belanda atau Wetboek van Straffrecht (WvS) tidak ada bab
atau bagian khusus yang mengatur mengenai delik atau tindak pidana
agama. Sekalipun, ada beberapa delik yang berpotensi diinterpretasikan sebagai delik agama. Peristilahan delik agama sendiri sejatinya memiliki beberapa kemungkinan untuk diinterpretasikan. Pertama, delik agama sebagai sebuah delik menurut
sebuah agama.
Kedua, delik
agama sebagai delik terhadap sebuah agama. Ketiga, delik agama sebagai delik yang berhubungan dengan agama. Delik menurut sebuah
agama berarti agama sebagai
otoritas yang memberikan kuasa bahwa sebuah
perbuatan dikenakan pidana oleh karena pertimbangan tertentu berdasarkan ajaran keagamaan tersebut (Martha
& SH, 2018). Delik
terhadap sebuah agama berarti delik yang diberikan pidana oleh karena adanya perbuatan
tertentu terhadap sebuah agama sebagai komunitas atau kelompok.
Sebagai contoh,
tidak pidana terhadap petugas agama yang sedang menjalankan tugasnya. Delik yang berhubungan dengan agama berarti delik yang dikenakan pidana oleh karena perbuatan tertentu dianggap menyerang dalam konteks menggunakan ajaran keagamaan tertentu untuk kepentingan tertentu yang merugikan ajaran keagamaan tertentu dan mengganggu ketertiban umum (Christianto,
2021). Sebagai
contoh, tindak pidana penodaan terhadap isi ajaran
agama.
Rumusan delik atau tindak pidana
agama dalam KUHP peninggalan
Belanda yang saat ini masih berlaku diatur
dalam Buku II Bab V tentang kejatan Terhadap Ketertiban Umum pada Pasal 156A KUHP, yang dimasukkan dalam KUHP setelah terbitnya UU No.1/PNPS/1965 tentang
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Kebutuhan terhadap kriminalisasi delik ini secara
formil bisa ditelusuri melalui bagian konsideran UU
No.1/PNPS/1965 tersebut. UU No. 1/PNPS/1965 adalah produk hukum
berupa Penetapan Presiden (Penpres) yang dijadikan Undang-Undang, yakni Penetapan Presiden (Penpres) No.
1/PNPS/1965.
Latar belakang
kelahiran Penpres tersebut berdasarkan bagian penjelasan adalah: Pertama, sebagai respon terhadap muncul dan berkembangnya berbagai aliran dan organisasi kebatinan/kepercayaan dalam masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Kedua, bahwa kemunculan
aliran dan organisasi kebatinan itu dianggap
telah menimbulkan pelanggaran hukum, memecah persatuan nasional, menyalahgunakan dan atau mempergunakan agama dan menodai agama (Ticoalu,
2015). Terakhir,
disebutkan juga bahwa perkembangan aliran dan organisasi kebatinan dianggap telah membahayakan agama-agama yang ada
(Ilona,
2013).
Lahirnya Penpres
No. 1/PNPS/1965 tidak bisa dilepaskan dari peranan KH Saifudin Zuhri yang menjabat sebagai Menteri Agama sejak 21 Maret 1962 hingga 11
Oktober 1967 (Muhaimin,
1998). KH Saifudin
Zuhri memandang Penpres No.
1/PNPS/1965 diperlukan setelah
agitasi politik yang dilakukan oleh PKI yang dianggap melakukan agitasi ateisme dalam rangka
merongrong kredibilitas
agama dan golongan agama, semangat
kemenangan golongan komunis dari China dan Vietnam, peristiwa Bangkuning, peristiwa Propaganda Daging
Tikus, juga peristiwa-peristiwa lain yang akhirnya mengilhami beliau untuk mendorong
Soekarno sebagai Pemimpin
Besar Revolusi yang memiliki
kewenangan absolut melahirkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Pada KUHP yang berlaku saat ini,
tidak dapat ditemukan penjelasan terhadap Pasal 156A KUHP. Namun, penafsiran terhadap Pasal 156A KUHP tidak dapat dilakukan
secara liar. Apabila mengacu pada sejarah lahirnya pasal tersebut, maka interpretasinya bisa dilakukan dengan merujuk pada UU No. 1/PNPS/1965. Namun,
dalam UU No. 1/PNPS/1965 juga tidak
ditemukan penjelasan secara komprehensif terkait unsur-unsur dari delik yang diatur.
Unsur yang dimaksud
adalah �mengeluarkan perasaan�, �melakukan perbuatan�, �permusuhan�, �penyalahgunaan� dan �penodaan�. Apabila dilakukan penafsiran secara literal, maka siapa saja
yang mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan di muka umum terlebih
apabila ide yang disampaikan
berbeda dan atau bertolak belakang dengan perspektif berpikir mayoritas masyarakat, berpotensi dikenai tuduhan atas tindak yang dikualifisir sebagai unsur-unsur tersebut.
Secara materiil,
bisa dikatakan bahwa Pasal 156A KUHP hanya sekadar memberikan
pemecahan masalah secara parsial. Hal ini karena perbuatan
pidana yang dimaksudkan pasal ini hanya
dimaksudkan agar orang lain tidak
menganut agama yang bersendikan
Ketuhanan yang Maha Esa dan karenanya,
belum mencakup pernyataan perasaan yang ditujukan terhadap nabi, kitab suci ataupun pemuka-pemuka agama dan lembaga-lembaga agama (Adji, 1981).
Kedua, penafsiran
Pasal 156A dengan adanya unsur �di muka umum�. Apabila
merujuk pada Undang-Undang
No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, maka unsur tersebut dapat diartikan �dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang.�, sesuai dengan Pasal
1 ayat (2). Namun, pada prakteknya, harus diakui bahwa agama memiliki dua dimensi, yakni ruang privat
(forum internum) dan ruang
public (forum externum).
Dalam konteks
hak asasi manusia, adalah sah apabila seseorang
meyakini sesuatu secara privat dan selanjutnya melakukan komunikasi terkait eksistensi spriritual individunya kepada publik serta membela
keyakinannya di depan publik (Marzuki,
2013);(Eko
Riyadi, 2019). Mahkamah
Konstitusi mengakui keberadaan forum internum dan berpendapat bahwa keyakinan tidak dapat diadili, namun kebebasan atas penafsiran perlu dibatasi. Pendapat tersebut disampaikan melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009.
Ketiga, pada tataran
praktik terjadi kebingungan dan banyak kesalahan dalam hal pemakaian pasal
yang akan dikenakan terhadap sebuah perbuatan. Hal tersebut bisa disimpulkan sebagai lemahnya efektivitas dari penyusunan sistem hukum pidana yang ada terkait dengan
delik agama. Akibat dari hal tersebut
adalah terjadinya ketidakpastian atas proses penegakan hukum.
Ketidakpastian atas
proses penegakan hukum yang
dimaksud adalah terlihat ketika dalam satu kasus
pelaku diberikan peringatan terlebih dahulu, sementara dalam kasus lain proses hukum terhadap pelaku langsung dilakukan, pemakaian pasal yang serampangan dan absennya negara dalam hal menentukan siapa yang berwenang menetapkan sebuah ajaran, mazhab, kepercayaan sebagai sesuatu yang sesat. Dalam kasus Lia Eden sebagaimana dimuat dalam Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 667/Pid.B/2006/PN.PST, majelis hakim menyatakan yang bersangkutan terbukti melakukan penodaan agama dan melanggar Pasal 156 huruf A KUHP karena telah melakukan
penyebaran paham agama yang
dianggap menyimpang (Susetyo
et al., 2020).
Sementara, tindakan
yang dilakukannya seharusnya
dijerat Pasal 1 UU No.
1/PNPS/1965 dan bukan Pasal
156 huruf A KUHP karena Lia
Eden tidak bermaksud menjadikan orang lain tidak beragama, melainkan untuk mengikuti ajaran kepercayaannya sebagaimana ia merasa mendapatkan wahyu dari malaikat.
Lebih jauh lagi, penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran Pasal 1 UU No.
1/PNPS/1965 tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan peringatan atau pembubaran sebagaimana diatur dalam pasal 2 undang-undang
yang sama yang berbunyi: 1)
Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi
perintah dan peringatan keras untuk menghentikan
perbuatannya itu di dalam suatu keputusan
bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri. 2) Apabila pelanggaran
tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut
sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama,
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Berikutnya, pada kasus
atas nama terdakwa inisial OS yang diputus bersalah melalui Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya No.
480/Pid.B/2010/PN.Tsm
jo. Putusan Pengadilan
Tinggi Bandung No. 75/PID/2011/PT.BDG jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 1151 K/Pid/2011 dan berkekuatan hukum tetap, tidak
dapat dilakukan lagi upaya hukum
bagi terdakwa. Dalam perkara ini, tidak
pernah ada instansi atau lembaga
yang mengeluarkan atau memberikan penilaian sesat atau tidaknya
ajaran dari terdakwa OS, selain MUI Tasikmalaya melalui Fatwa MUI Tasikmalaya No. 181/A-01/MUI-Kota-Tsm/
2010 tertanggal 19 Juli 2010.
Hal serupa
juga banyak ditemukan seperti atas nama
inisial terdakwa CMAM yang diputus bersalah melalui Putusan Pengadilan Negeri Kalabahi No.
87/Pid.B/2005/PN.KLB dan atas
nama inisial terdakwa AGWS yang diputus bersalah lewat Putusan Pengadilan Negeri Klaten No. 03/Pid.B/2012/PN.KLT. Tentu saja menjadi
tidak adil disaat terhadap delik pada Pasal 1 UU No.
1/PNPS/1965 diberikan prosedur
teguran sesuai dengan Pasal 2 UU No. 1/PNPS/1965
sementara pada Pasal 4 UU
No. 1/PNPS/1965 tidak diberikan
teguran terlebih dahulu sekalipun maksud dari kedua
delik tersebut adalah sama bentuk
kejahatan terhadap ketertiban umum.
Indonesia bukanlah
satu-satunya negara yang memiliki
pengaturan terhadap delik agama (Amriyanto,
2017). Pengaturan
terhadap delik yang serupa bisa dijumpai
di Singapura, Malaysia, Thailand, Inggris, Kanada,
Latvia, Jerman, Prancis dan Belanda. Dalam KUHP
Belanda, delik agama diatur
secara tegas dalam Titel V yang mengatur tentang �Misdrijven Tegen De openbare Orde� (Kejahatan atau Tindak Pidana
Terhadap Ketertiban Umum). Pasal yang mengatur delik agama adalah artikel 137C, 137D, 137E, 137F, 145, 146, 429 quarter dan
449.
Pengaturannya pun beragam
agar sebuah perbuatan dikualifisir sebagai kejahatan atau pelanggaran. Artinya, pidana administratif sebagaimana dengan apa yang coba dipraktekkan
melalui Pasal 2 dan 3 UU No.
1/PNPS/1965 adalah sesuatu
yang lazim. Hanya saja, diperlukan formulasi yang adil terhadap perumusan
kualifikasi sebuah perbuatan untuk menjadi sebuah delik. Dalam KUHP Inggris, pengaturan terhadap delik tersebut ada pada section 111, 112, 113, 114 dan 115.
Delik agama diatur
secara tegas dalam KUHP dalam Part VII mengenai �Offences Relating to Religion� yang terbagi menjadi lima bentuk sebagai berikut; 1) ��������� Insulting
any religion (penghinaan terhadap
agama); 2) Disturbing religious assembly (mengganggu perkumpulan agama/mengganggu pelaksanaan kegiatan agama); 3) Writing
or uttering words�, etc, with intent to wound
religious feeling (ujaran lisan
atau tulisan untuk melukai perasaan keagamaan); 4) Hindering burial�, etc
(menghambat proses penguburan
dan tindakan lainnya); 5) Trespassing
on burial place (memasuki daerah
penguburan tanpa izin). Dalam KUHP Indonesia, sebenarnya
bisa ditemukan juga aturan tindak pidana
terkait dengan delik agama. Aturan tersebut adalah Pasal 156, 156A, 157, 175, 176, 177, 178, 179, 179, 180,
503, 530 ayat (1), 545, 546 dan 547.
Berdasarkan aturan-aturan
tersebut, dapat diklasifikasikan pengaturan delik agama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1) Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap golongan rakyat
Indonesia berdasarkan agama; 2) Di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap
agama; 3) Di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan agar supaya orang lain tidak menganut agama apapun yang ada di Indonesia; 4) Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap
golongan-golongan rakyat Indonesia, termasuk karena agama; 5) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
merintangi pertemuan atau upacara keagamaan
yang bersifat umum dan yang
diizinkan atau menggangu upacara penguburan jenazah; 6) Mengganggu pertemuan atau upacara keagamaan
yang bersifat umum dan diizinkan atau mengganggu upacara penguburan jenazah yang menimbulkan kekacauan atau suara gaduh;
7) Menertawakan petugas
agama ketika sedang menjalankan tugas yang diizinkan; 8) Menghina benda-benda untuk keperluad ibadat di tempat atau pada waktu ibadat dilakukan;
9) Merintangi atau menghalangi jalan masuk atau menghalangi
pengangkutan jenazah ke kuburan yang diizinkan; 10)���� Menodai kuburan atau dengan sengaja
dan melawan hukum menghancurkan atau merusak tanda peringatan
di tempat kuburan; 11) Menggali atau mengambil
jenazah atua memindahkan atau mengangkut jenazah yang sudah digali atau diambil;
12) Membuat gaduh di dekat bangunan untuk menjalankan ibadat yang diperbolehkan; 13) Petugas agama yang melakukan upacara perkawinan ganda; 14) Menyatakan peruntungan, mengadakan peramalan atau penafsiran Impian; 15) Menjual jimat-jimat atau benda yang memiliki kekuatan ghaib; 16) Mengajarkan ilmu kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan jika melakukan perbuatan pidana tidak membahayakan dirinya; 17) Memakai jimat atau benda-benda
sakti pada saat memberikan kesaksian di pengadilan di bawah sumpah.
Sebagai catatan,
perlu diingat bahwa pengaturan delik agama terkenal dengan nama �Haatzai
Artikelen� bersumber dari British Penal Code. Ketentuan
ini memandang delik agama sebagai segala bentuk pernyataan
yang disampaikan di muka umum, berkaitan dengan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan pemerintahan dan golongan penduduk.
Comissie voor
Privat en Strafrecht pernah memberikan saran kepada Menteri Kehakiman Belanda untuk memasukkan ke dalam W.v.S
pasal-pasal pidana �in de geest van de Indische Haatzaai-artikelen�. Suatu saran
yang tidak diterima oleh
Menteri Kehakiman karena hal tersebut dianggap
�Tast daarnevens vergaand
de meterieele vrijheid van meningsuiting aan �� (menyinggung serta menghilangkan kebebasan material dari perbuatan mengeluarkan pendapat �).
Menteri Kehakiman
tidak berkehendak mengintrodusir peraturan-peraturan
pidana tadi di Belanda sebelumnya oleh karena perdebatan apakah hal tersebut adalah
sebuah �aantasting� dari kemerdekaan menyampaikan pendapat? Menurutnya, �vijandschap, haat of minachting laten bovendien een heel ruime interpretative toe� (perkataan
permusuhan, kebencian atau merendahkan itu dapat ditafsikan
secara sangat luas) (Samosir & Lamintang, 1983).�
Kesimpulan
Pengaturan delik agama di Indonesia masih menjadi bahan
perdebatan di tengah praktek penegakan hukum di masyarakat karena kondisi obyektif masyarakat yang pluraliastik. Perdebatan ini tidak lepas
dari latar belakang pasal 156A yang merupakan pasal tambahan pada pasal 156 KUHP, tetapi juga makna dari delik itu
sendiri baik mengenai perbuatannya maupun unsur �di muka umum� belum
ada keseragaman penafsiran yang dapat dijadikan kaedah hukum yang menjadi patokan yang baku.
Ada yang berpendapat bahwa delik agama harus dihapuskan dan ada juga yang berpendapat sebaliknya, bahwa delik agama di Indonesia tidak perlu dihapuskan karena sudah sesuai
dengan konstitusi. Penting untuk melihat
bahwa demografi masyarakat Indonesia yang beragam
membuat kebutuhan akan delik agama menjadi sesuatu yang realistis, namun diperlukan pengaturan yang lebih rinci dan juga dengan tafsiran yang jelas sehingga prosedur yang dilaksanakan sampai pada putusan yang menjamin terlaksananya kepastian hukum dan rasa keadilan.
BIBLIOGRAPHY
Adji, O. S. (1981). Herziening ganti rugi, suap,
perkembangan delik. (No Title).
Amriyanto,
A. (2017). Menakar Nilai Agama dan Moral dalam Hukum Pidana Indonesia. Khairun
Law Journal, 1(1), 62�72.
Christianto,
H. (2021). Delik Agama: Konsep, Batasan dan Studi Kasus. Media Nusa
Creative (MNC Publishing).
Eko
Riyadi, S. H. (2019). Hukum Hak Asasi Manusia: perspektif internasional,
regional dan nasional. Rajawali Pers.
Hanik,
U. (2019). Interaksi Sosial Masyarakat Plural Agama. Sufiks.
Ilona,
C. (2013). Aliran Kebatinan di Pulau Jawa dan Pendekatan Iman Kristen. Missio
Ecclesiae, 2(1), 26�38.
Martha,
A. E., & SH, M. H. (2018). POLITIK HUKUM PIDANA DELIK AGAMA (TINJAUAN
TERHADAP PASAL 156A KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) TERKAIT DELIK AGAMA
DALAM KONTEKS PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA). Universitas Islam Indonesia.
Marzuki,
S. (2013). Perspektif Mahkamah Konstitusi tentang hak asasi manusia. Jurnal
Yudisial, 6(3), 189�206.
Muhaimin,
A. G. (1998). KH Saifuddin Zuhri:�Eksistensi agama dalam nation building. Menteri-Menteri
Agama RI. Biografi Sosial-Politik, Jakarta, Badan Litbang Agama Departemen
Agama, 201�241.
Samosir,
C. D., & Lamintang, P. A. F. (1983). Hukum Pidana Indonesia. Bandung:
Sinar Baru.
Susetyo,
H., Prihatini, F., Hilimi, N., Mahabah, I., Apriyanti, I., & Rahmadhani, S.
(2020). Keberlakuan Hukum Penodaan Agama di Indonesia Antara Tertib Hukum dan
Tantangan Hak Asasi Manusia. Perspektif Hukum, 72�100.
Ticoalu,
S. (2015). Kajian Hukum Pidana dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan
Agama Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia. Lex et Societatis, 3(1).
Waluyo,
B. (2002). Penelitian Hukum dalam Praktek, sinar grafika. Jakarta.
Wardah,
F. (2017). Setara Institute: 97 Kasus Penistaan Agama Terjadi di Indonesia. VOA
Indonesia.
Watra,
I. W. (2020). Agama-Agama Dalam Pancasila di Indonesia (Perspektif Filsafat
Agama). Unhi Press.
Yinger,
J. M. (1957). Religion, society and the individual; an introduction to the
sociology of religion.
Copyright holder: Marihot Bernard, P.L. Tobing (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |