Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

PENERAPAN REHABILITASI TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF TEORI REHABILITASI

 

Marsono, Iman Santoso, Kemala Atmojo

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Mahkamah Agung dengan dasar ketentuan Pasal 103 UU Narkotika mengambil langkah untuk membangun paradigma penghentian kriminalisasi bagi pecandu narkoba dengan mengeluarkan Surat Ederan Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahguna, dan Pecandu Narkoba ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Penulis memberikan contoh kasus tentang korban penyalahgunaan narkotika yang kasusnya telah diputus oleh PN Klaten dengan putusannya Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln. Metode penelitian yang digunaka adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengutamakan data kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Penelitian ini meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa penerapan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika, dilakukan oleh Tim asesmen terpadu dengan tujuan menyelamatkan korban penyalahgunaan narkotika, apabila seseorang sebagai pecandu. atau korban yang tertangkap dapat menentukan apakah dimasukkan dalam penjara atau direhabilitasi. Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika adalah �orang sakit� yang wajib menjalani pengobatan dengan menempatkan meraka kedalam lembaga rehabilitasi Sosial. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar pelaku narkotika merupakan korban penyalahguna narkotika. Pemahaman reorientasi penanganan pecandu dan korban penyalahguna Narkotika, yang merumuskan bahwa pengguna Narkotika yang sedang dalam proses hukum dan terbukti sebagai pengguna murni tidak lagi digiring ke dalam jeruji besi, akan tetapi direhabilitasi, sehingga baik dari Kepolisian dan Kejaksaan masih menerapkan proses hukum dan pemid naan bagi setiap penyalah guna yang tertangkap tangan mengonsumsi Narkotika.

 

Kata kunci: Hukum; Rehabilitasi; Penyalahgunaan Narkotika.

 

 

Abstract

The Supreme Court based on the provisions of Article 103 of the Narcotics Law took steps to build a paradigm to stop criminalization for drug addicts by issuing a Supreme Court Decree (SEMA) Number 4 of 2010 concerning the Determination of Abusers, and Drug Addicts into Medical Rehabilitation and Social Rehabilitation Institutions. The author provides an example of a case of a victim of drug abuse whose case has been decided by PN Klaten with its decision Number 8 / Pid.Sus / 2019 / PN.Kln. The research method used is the normative juridical method, which is research that prioritizes literature data, namely research on secondary data. The secondary data can be primary, secondary or tertiary legal material. This research includes research on positive legal provisions in force in Indonesia relating to the application of rehabilitation to victims of drug abuse. Based on the results of the study, the author concluded that the application of rehabilitation for victims of drug abuse was carried out by an integrated assessment team with the aim of saving victims of drug abuse, if someone is an addict. Or the victim caught can determine whether to be put in prison or rehabilitated. Addicts and victims of drug abuse are "sick people" who are obliged to undergo treatment by placing them in social rehabilitation institutions. This is based on the consideration that most drug offenders are victims of drug abuse. Understanding the reorientation of handling addicts and victims of drug abuse, which formulates that drug users who are in the legal process and proven to be pure users are no longer led to bars, but rehabilitated, so that both the Police and the Prosecutor's Office still apply legal processes and naan ids for every abuser caught consuming narcotics.

 

Keywords: Law; Rehabilitation; Narcotics abuse.

 

Pendahuluan

Narkotika jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan kerugian bagi perorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang dapat melemahkan ketahanan nasional (Yatim, 1986).

Narkotika adalah zat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman sintetis atau semisintetis yang dapat menyebabkan dampak tertentu bagi penggunanya. Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah sekedar narcotics, namun secara farmacologie (farmasi) sama artinya dengan drug yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu mempengaruhi kesadaran, memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia dan pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa : penenang, perangsang (bukan rangsangan seks) menimbulkan halusinasi (pemakai tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat) (Fadhli, 2018).

Permasalahan penyalahgunaan narkotika di masyarakat Indonesia semakin tidak terkendali, dengan berbagai jenis narkoba yang beredar diberbagai kawasan dikota-kota besar hingga pelosok-pelosok desa, sehingga semakin meluasnya pengedar, pemakai, dan pencandu narkoba. Penyalahgunaan narkoba yang menjalar melibatkan korban mencakup dari berbagai kalangan anak-anak, remaja, generasi muda, publik figur, hingga aparatur negara (Santi et al., 2019).

Pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), terhadap pengguna narkotika dapat dibedakan menjadi Penyalahguna, Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Penyalahguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Namun jika orang tersebut merupakan pecandu narkotika, ia merupakan orang yang menggunakan dan menyalahgunakan narkotika secara ketergantungan baik secara fisik maupun psikisnya. Dimana penyalahguna dan pecandu narkotika memiliki unsur kesengajaan dalam perbuatannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan kualifikasi orang yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.

Pengertian Korban Penyalahgunaan Narkotika sendiri merujuk terhadap penjelasan Pasal 54 UU Narkotika bahwa �korban penyalahgunaan narkotika adalah orang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika�. Dengan demikian korban penyalahgunaan narkotika ini tidak memiliki unsur kesengajaan dalam mempergunakan narkotika. Dimana orang yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika ini menggunakan narkotika karena suatu keadaan tertentu membuatnya menggunakan narkotika yang tidak didasarkan niat dan keinginannya, sehingga ia disebut sebagai korban.

Seorang korban penyalahgunaan narkotika harus terbukti tidak mempunyai unsur kesengajaan mempergunakan narkotika secara melawan hukum dikarenakan adanya keadaan (seperti dipaksa atau diancam) yang membuat ia mau tidak mau menggunakan narkotika atau karena ketidaktahuan yang bersangkutan kalau yang digunakannya adalah narkotika (seperti ditipu, dibujuk, atau diperdaya) (Dwiyanti et al., 2019).

Untuk mengatasi permasalahan narkotika tidak cukup hanya dengan memberikan sanksi pidana saja, namun dibutuhkan juga tindakan lainnya agar tidak hanya berupa hukuman saja tetapi juga dapat memperbaiki dan memulihkan keadaan pelaku atau korban agar tidak terjerumus kembali kepada narkotika (Busnarma, 2019). Salah satu bentuk tindakan lainnya tersebut adalah dengan melakukan upaya rehabilitasi. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (Sutarmo, 2006).

Mahkamah Agung dengan dasar ketentuan Pasal 103 UU Narkotika mengambil langkah untuk membangun paradigma penghentian kriminalisasi bagi pecandu narkoba dengan mengeluarkan Surat Ederan Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahguna, dan Pecandu Narkoba ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (Laoly, 2019). Dalam hal ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkoba sebagai pelaku tindak pidana serta sebagai korban dari perbuatannya, sehingga upaya untuk menindak lanjuti penyalahgunaan narkoba dengan melakukan upaya pemulihan secara rehabilitasi, baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.

Dalam UU Narkotika pada pasal 1 menjelaskan dua macam rehabilitasi. Pertama, rehabilitasi medis adalah suatu proses pengobatan secara terpadu dengan membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkoba. Sedangkan kedua, rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu fisik, mental serta sosial agar mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.�

Untuk itu lembaga pemerintah maupun swasta dapat meningkatkan peran edukasi kepada masyarakat luas akan pentingnya rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan narkoba. United Nations Office on Drugs and Crime menjelaskan bahwa rehabilitasi mempunyai empat tujuan. Pertama, sebagai tindakan lanjut tahap detoksifikasi untuk mempertahankan kemajuan fisiologis dan psikologis. Kedua, mempertajam dan meneruskan berhentinya perilaku adiktif. Ketiga, mendidik serta mendorong individu pengguna agar dapat memodifikasi perilaku gaya hidup yang lebih konstruktif agar tidak terpengaruh terhadap godaan narkoba.

Keempat, mendidik serta mendukung perilaku agar tewujudnya kesehatan pribadi, keberfungsian sosial, serta menekan resiko penyakit yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan publik (Diputra, 2012). Dalam proses rehabilitasi, banyak sikap maupun perlakuan dari orang sekitar yang sangat berpengaruh terhadap pemulihan korban penyalahgunaan narkotika, pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan korban penyalahgunaan narkotika untuk sembuh dari ketergantungan narkoba adalah ingin diterima dan didukung usahanya.

Pemberian dukungan sosial dari orang yang berarti diseputar kehidupan korban penyalahgunaan narkoba sangat berpengeruh dalam meningkatkan harga diri seseorang, dengan harga diri yang tinggi dapat mempercepat proses penyembuhan korban penyalahgunaan narkotika (Eki, 2023). Dalam penelitian ini penulis memberikan contoh kasus tentang pengalahgunaan narkotika yang pelakunya oleh pertimbangan hakim sebagai pecandu penyalahgunaan Narkotika, sehingga timbul kewajiban bagi Majelis Hakim untuk memerintahkan agar terhadap diri terdakwa dilakukan Rehabilitasi yang kasusnya telah diputus oleh Pengadilan Negeri Klaten dengan putusannya Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln.

Dalam kasus ini terdakwanya adalah Handy Sugiyanto als. Babahe (32 tahun) yang oleh Penuntut Umum didakwa bersalah telah melakukan tindak pidana memiliki, menyimpan dan menguasai serta menyalah gunakan Narkotika bagi dirinya sendiri Sebagaimana diatur pasal 112 ayat (1) UURI No 35 Tahun 2009 dan pasal 127 ayat (1) huruf a UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sehingga dituntut pidana terhadap terdakwa selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp800.000.000,- (delapan ratus juta) subside 6 (enam ) bulan penjara.

Berdasarkan bukti-bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten mengadili: 1) Menyatakan Terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �Menyalahgunakan Narkotika Gol. I Bagi Diri Sendiri �; 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum menjalani rehabilitasi atas diri terdakwa, di rumah sakit Ghrasia Pakem Kabupaten Sleman DIY selama 6 (enam) bulan; 3) Menetapkan masa menjalani rehabilitasi sebagai masa menjalani pidana.

Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas maka penulis menetapkan judul penelitian ini adalah: Penerapan Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Dalam Perspektif Teori Rehabilitasi (Studi Putusan Pn Klaten Nomor Nomor: 8/Pid.Sus/2019/Pn.Kln).

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan penelitian ini yaitu; 1) Bagaimana pertimbangan penerapan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika? 2) Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln?

 

Metode Penelitian

Peter Mahmud Marzuki (2013), menyatakan bahwa �Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin- doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian15. Tipe Penelitian yang dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan metode Penelitian yuridis normatif.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum primer,sekunder maupun tersier (Hanitijo, 2000). Penelitian ini meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan penerapan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Pertimbangan Penerapan Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika

1.      Pelaksanaan tim asesmen terhadap korban penyalahguna narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan

Rehabilitasi dinilai sebagai solusi jitu dan ideal dalam upaya menekan angka prevalensi penyalah guna Narkotika. Untuk menyamakan presepsi bahwa pengguna Narkotika lebih baik direhabilitasi daripada dipenjara. Pada prakteknya, banyak pihak masih mempertanyakan bagaimana mekanisme yang ideal tentang implementasi asesmen terpadu sesuai dengan Peraturan Bersama itu sendiri.

Hal inilah yang menjadi hambatan dalam pemahaman reorientasi penanganan pecandu dan korban penyalah guna Narkotika, yang merumuskan bahwa pengguna Narkoba yang sedang dalam proses hukum dan terbukti sebagai pengguna murni tidak lagi digiring ke dalam jeruji besi, akan tetapi direhabilitasi, sehingga baik dari Kepolisian dan Kejaksaan masih menerapkan proses hukum dan pemid naan bagi setiap penyalah guna yang tertangkap tangan mengonsumsi Narkotika (Rizky, 2017).

Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika adalah �orang sakit� yang wajib menjalani pengobatan dengan menempatkan meraka kedalam lembaga rehabilitasi Sosial. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar pelaku narkotika merupakan korban penyalah guna narkotika, yang dapat dikatakan sebagai orang sakit. Menempatkan pecandu atau penyalahguna narkotika kedalam lembaga rehabilitasi merupakan sesuai dengn tujuan Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika yaitu Pasal 4 huruf d yang menyebutkan untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (Santi et al., 2020).

Mekanisme Pelaksanaan Asesmen Terpadu diatur sebagai berikut: 1) Tim Asesmen Terpadu melakukan asesmen berdasarkan tertulis dari penyidik. Penyidik mengajukan permohonan paling lama 1x24 jam setelah penangkapan, dengan tembusan kepada Kepala BNN setempat sesuai dengan tempat kejadian perkara. 2) Tim Asesmen Terpadu (TAT) melakukan asesmen maksimal 2x 24 jam, selanjutnya hasil asesmen dari tim dokter dan tim hukum disimpulkan paling lama hari ketiga. 3) Hasil Asesmen dari masing-masing tim asesmen dibahas pada pertemuan pembahasan kasus (case conference) pada hari keempat untuk ditetapkan sebagai rekomendasi Tim Asesmen Terpadu. Rekomendasi Tim Asesmen Terpadu berisi keterangan mengenai peran tersangka dan/atau terdakwa dalam tindak pidana, tingkat ketergantungan penyalahguna narkotika, rekomendasi kelanjutan proses hukumnya dan tempat serta lama waktu rehabilitasi. Rekomendasi Tim Assesmen Terpadu ditanda tangani oleh ketua tim asesmen terpadu.

Rekomendasi Tim Asesmen terpadu dilampirkan dalam berkas perkara tersangka harus asli bukan dalam bentuk foto copy. Rekomendasi inilah yang seharusnya dijadikan dasar bagi Hakim untuk menetapkan seorang terdakwa sebagai penyalahguna atau korban Narkotika, atau sebagai pelaku tindak pidana Narkotika. Pada bagian kedua UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika bunyi pasal 54 menyatakan bahwa: �Pecandu Narkotika dan Pecandu penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.�

Implementasi dalam Pasal 54, yakni mewajibkan rehabilitasi yang diperuntukan terhadap pecandu dan pecandu dari penyalahgunaan narkotika yang ketergantungan dengan narkotika terutama golongan I, sehingga ada upaya oleh BNN bagi para pecandu guna mendapatkan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dengan tujuan dapat memulihkan serta mengembalikan pecandu agar bisa berada dala lingkungan masyarakat secara normal dan terbebas dari ketergantunga bahaya narkotika. Dalam proses rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ini dibagi atas dua terapi yakni secara medis dan terapi secara sosial.

Rehabilitasi sosial adalah proses pengembalian kebiasaan pecandu narkotika dalam kehidupan masyarakat agar pecandu tidak lagi menyentuh bahwa terjerat dalam lingkup bahaya narkotika yang ada dikehidupan bermasyarakat, rehabilitasi sosial bertujuan� mengintegrasikan kembali penyalahguna dan/atau pecandu narkotika ke dalam masyarakat dengan cara memulihkan proses berpikir, berperilaku dan beremosi sebagai komponen kepribadiannya agar mampu berinteraksi dilingkungan sosialnya (dalam lingkungan rehabilitasi).

BNN melaksanakan rehabilitasi sosial sesuai dengan Keputusan Menteri yang ada serta adanya kesinambungan dalam kementerian sosial membantu rehabilitasi di bidang sosial. Rehabilitasi berkelanjutan adalah tahapan bina lanjut (after care) yang merupakan serangkaian kegiatan positif dan produktif bagi penyalahguna/pecandu narkotika pasca menjalani tahap pemulihan (rehabilitasi medis dan sosial).

Tahapan bina lanjut merupakan bagian yang integral dalam rangkaian rehabilitasi ketergantungan narkotika dan tidak dapat dianggap sebagai bentuk terapi yang berdiri sendiri, hal ini berkaitan dengan pemahaman umum bahwa setelah pecandu menjalani program rehabilitasi di tempat rehabilitasi, mereka masih memerlukan pendampingan agar proses reintegrasi ke masyarakat dapat berlangsung sesuai dengan tujuan untuk dapat hidup normatif, mandiri dan produktif (Hidayatun & Widowaty, 2020).�

Upaya lain sebagai langkah strategis Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) mengadakan proses Penjangkauan kepada para pecandu Narkotika. Penjangkauan ini dilakukan dengan cara �jemput bola� yaitu dengan mendatangi rumah-rumah pecandu agar mau direhabilitasi, lalu dengan memanfaatkan pecandu yang ada untuk mengajak temannya yang sesama pecandu agar mau direhabilitasi. Upaya ini dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan untuk meyakinkan pecandu agar mau di rehabilitasi.

Pihak BNN setelah menerima wajib lapor tenaga tim kesehatan dan tenaga psikologis melakukan assesmen terhadap pecandu sehingga proses penerimaan wajib lapor itu didasari oleh diri sendiri atau voluntary (sukarela), bagi pecandu yang sudah cukup umur dan juga bisa dilaporkan oleh keluarga pecandu yang sudah cukup umur kepada Institusi Penerima Wajib Lapor, untuk pecandu narkotika yang belum cukup umur dalam melaksanakan wajib lapor dilakukan atau dilaporkan oleh orang tua/wali pecandu Narkotika. Alat yang digunakan setidaknya dapat mendeteksi 4 (empat) jenis Narkotika, yaitu opiat, ganja, metamfetamin dan methylenedioxy methamphetamine (MDMA).

Proses pemberian rekomendasi ini mengacu pada penentuan tempat rehabilitasi yang sudah ditunjuk oleh menteri baik menteri kesehatan bagi tempat rehabilitasi medis sesuai Kemenkes No. 1305 Tahun 2011 dan menteri sosial bagi tempat rehabilitasi sosial dalam pemulihan dibidang sosial yang diperuntukan bagi pecandu narkotika, dalam proses ini BNN mengirimkan surat rujukan ke pusat rehabilitasi sebagai surat rekomendasi untuk memasukan atau mengirimkan pecandu narkotika ke pusat rehabilitasi.

Assesmen ulang dimaksudkan untuk memastikan pecandu narkotika apakah memang mengunakan narkotika atau tidak mengkonsumsi narkotika, apabila pecandu narkotika terbukti mengkonsumsi narkotika maka pecandu narkotika langsung mendapatkan pelayanan rehabilitasi medis selama 6 bulan untuk melepas racun didalam darah. Sedangkan hasil assesmen ulang pecandu tidak terbukti kedapatan mengkonsumsi narkotika, maka dinyatakan bukan pecandu dan di kembalikan kepada keluarga untuk mendapatkan pembinaan dari orang tua atau wali dalam pergaulan yang berdampak akan bahaya narkotika.

 

2. Hambatan dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan

Penentuan status sebagai pengguna atau korban peredaran atau penyalahgunaan narkoba rawan disalahgunakan. Kategori sebagai produsen, bandar, pengedar, penadah dan pengguna narkoba amat sulit ditentukan. Antara kategori yang satu dengan lainnya beda-beda alias berpotensi dimainkan. Apapun kategorinya bila seseorang secara �sukarela� melaporkan diri kepada Badan Narkotika Nasional atau polisi atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk, otomatis dia akan bersetatus �pengguna� dan akan segera menjalani proses rehabilitasi di tempat yang dikelola pemerintah atau rehabilitasi yang direkomendasikan oleh Badan Narkotika Nasional.

Apabila yang melaporkan adalah pengguna yang sekaligus juga pengedar, maka dia bisa bebas dari jeratan hukum dan negara akan rugi membiayai rehabilitasi pengguna dan pengedar. Bila yang ada di dalam adalah orang berkategori ganda seperti itu, maka lembaga rehabilitasi akan mengelola orang yang salah.

1) Tidak ada kriteria baku lamanya rehabilitasi. Penentuan berapa lama pecandu akan direhabilitasi tidak ada kriteria baku. Kriteria sembuh juga bermacam-macam, sehingga ada pecandu yang direhabilitasi 3 bulan, 6 bulan, atau 9 bulan. Apakah seseorang boleh pulang untuk lanjut ke pasca rehabilitasi sangat tergantuk pada pengelola. Bila pengelola rehabilitasi tidak jujur, maka bisa saja mereka �menahan� residen selama mungkin demi terus mendapat dana dari APBN. Residen rawan menjadi objek bisnis berkedok rehabilitasi.

2) Penentuan berapa lama pecanduakan direhabilitasi tidak ada kriteria baku. Kriteria sembuh juga bermacam-macam, sehingga ada pecandu yang direhabilitasi 3 bulan, 6 bulan, atau 9 bulan. Apakah seseorang boleh pulang untuk lanjut ke pasca rehabilitasi sangat tergantuk pada pengelola. Bila pengelola rehabilitasi tidak jujur, maka bisa saja mereka �menahan� residen selama mungkin demi terus mendapat dana dari Angaran Pendapatan Belanja Negara. Pengguna menjadi rawan sebagai objek bisnis berkedok rehabilitasi (Diputra, 2012).

3) Tidak ada kriteria baku rawat jalan atau rawat inap.� Jika seseorang harus terpaksa menjalani rehabilitasi, maka otomatis yang bersangkutan lebih memilih rehabilitasi rawat jalan dan menghindari rehabilitasi rawat inap. Dengan demikian pasti tidak ada yang mau rehabilitasi rawat inap. Penentuan seseorang rawat jalan saja atau rawat inap yang kemudian secepatnya akan dilanjutkan dengan rawat jalan sangat ditentukan orang yang melakukan assessment awal.�

Deputi Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Diah Setia Utami mengungkapkan, meskipun para pencandu narkoba sudah direhab, dia bisa balik lagi menggunakannya. Hal itu ia katakan dalam acara Indonesia-U.S. Drug Demand Reduction Workshop. Dirinya pun menyebut bahwa para pengguna atau pencandu narkoba yang sudah direhabilitasi dan balik lagi untuk menggunakan masih sekitar 70 persen. "Ada pasti, karena memang tinggi sekitar 70 persen,"

Mekanisme pembiayaan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara untuk pecandu narkoba oleh tempat rehabilitasi dan pasca rehabilitasi sangat sederhana, sehingga rentan terjadi kolusi dan korupsi. Cukup kunjungan oleh petugas kemudian diberikan rekomendasi, dan selanjutnya berbekal rekomendasi itulah tempat rehabilitasi bisa mengklaim uang pengganti rehabilitasi bagi para pecandu.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada dasarnya sepakat bahwa PP 99 harus direvisi secepat mungkin, pandangan ini didasarkan atas konteks harm reduction (pengurangan dampak buruk) bagi pengguna dan pecandu narkotika. ICJR menilai bahwa PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Pemberian Remisi tidak melihat secara lebih fokus realita dan masalah empiris peradilan pidana yang berhubungan dengan kasus narkotika. Atas permasalahan overkapasitas dan masalah narkotika, ICJR memiliki beberapa catatan, diantaranya;

a. Masalah Overkapasitas Dan Penyalahguna Narkotika

Salah satu masalah utama dalam overkapasitas adalah karena tingginya supply tahanan dan narapidana ke dalam lapas. Berdasarkan Penelitian ICJR pada 2016, Populasi penghuni penjara meledak dua kali lipat dari 71.500 menjadi 144.000 pada tahun 2016 hingga 2021, padahal kapasitas penjara hanya bertambah kurang dari 2%.

 

b. Kebijakan tidak tepat sasaran

ICJR justru mempertanyakan semangat ini, jika memang berencana mengurangi overkapasitas, maka mengapa di arahkan atau menyentuh kebijakan pemidanaan kepada kejahatan korupsi? berdasarkan data SDP bahwa jumlah warga binaan terbesar dalam Lapas salah satunya adalah narapidana yang menyandang status korban penyalahguna napza/narkotika.

 

c. Korban Narkotika Anak tiri Negara

Dengan kondisi hukum narkotika yang sangat buruk ini, Pemerintah justru mengarahkan perubahan kebijakan ke arah salah sasaran. Seharusnya, pelonggaran remisi diarahkan kepada korban narkotika yaitu pengguna dan pecandu, yang sebetulnya tidak layak masuk dalam penjara. Apalagi SEJA (Surat Edaran Jaksa Agung), (Surat Edaran Mahkamah Agung) SEMA terkait pengguna dan pecandu harus masuk rehabilitasi, mengalami kegagalan dalam praktik, karena kebijakan aparat penegak hukum kita ternyata lebih bersemangat memasukkan mereka (pengguna/pecandu) ke penjara. Dibutuhkan ikatan profesi konselor pecandu narkoba sehingga ada lembaga yang bertanggungjawab untuk menjaga etika profesi, membuat standar kompensasi, mengawasi perilaku konselor narkoba.

Berdasarkan hal tersebut kemudian penulis melihat adanya kendala yang masih butuh perhatian serius dari semua pihak yang terlibat dalam upaya pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika. Secara teoritis terdapat beberapa hal yang menjadi faktor penyebab dan membutuhkan penjabaran belum terimplementasinya dengan baik pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika yaitu: a) Subtansi Hukum. b) Struktur Hukum. c) Kultur Hukum. d) Sarana dan Prasarana.

 

B.     Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika Sebagaimana Dalam Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln

1.      Pertimbangan Hakim dalam Pemidanaannya Memberikan Rehabilitasi Terhadap Terdakwa

Telah banyak pecandu Narkotika yang tertangkap lagi oleh aparat kepolisian setelah menjalani masa hukuman dipenjara. Salah satu alasannya adalah tidak dapat lepas dari ketergantungan terhadap Narkotika dan terpaksa kembali menyalahgunakan Narkotika. Sehingga pemidanaan dengan pidana penjara tidaklah efektif untuk menjerakan pecandu Narkotika. Oleh karena itu Rehabilitasi dianggap sebagai pemidanaan yang lebih tepat untuk menanggulangi penyalahgunaan Narkotika� (Hanafi, 2013). Dalam mempertimbangkan tindakan bagi pelaku penyalahgunaan Narkotika harus ada surat keterangan dari dokter dan atau keterangan dari seorang ahli untuk membuktikan bahwa pelaku penyalahgunaan Narkotika tersebut adalah pecandu.

Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal apa yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dan Pasal 184 ayat (1) telah menyebutkan bahwa salah satu alat bukti yang sah ialah keterangan ahli, maka sebagai alat bukti yang sah keterangan ahli dapat diberikan pada tahap penyidikan, penuntutan hingga tahap pemeriksaan dipengadilan. Dokter sebagai keterangan ahli dapat menyatakan keterangan dalam pemeriksaan dipengadilan dan\dapat dimintai sebagai saksi dan atau untuk petunjuk bagi hakim untuk mempertimbangkan putusan dalam sebuah perkara.

Dokter sebagai keterangan ahli dimintai hadir dipengadilan, oleh karena dua versi pertama sebagai saksi a de charge. Saksi ini dihadirkan kepersidangan oleh jaksa penuntut umum dimana keterangannya dapat menguntungkan maupun memberatkan terdakwa. Versi kedua dokter sebagai keterangan ahli bertidak sebagai saksi a de charge. Saksi ini dihadirkan kepersidangan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 65 KUHP.�

Keterangan yang diberikannya meringankan terdakwa atau dapat dijadikan dasar pembelaandari terdakwa atau penasehat hukumnya. Sehingga pada tahap pemeriksaan dipengadilan, baik jaksa maupun penasehat hukum tersangka dapat menghadirkan saksi atau ahli dengan ijin hakim. Pasal 186 Kuhap menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan, hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 187 huruf C KUHAP yang menyebutkan bahwa keterangan ahli yang diberikan dalam bentuk laporan termasuk kategori bukti surat.

Keterangan ahli tersebut adalah sebuah petunjuk bagi hakim jika dianggap bahwa keterangan yang diberikan seorang ahli relevan dan dapat menjernihkan duduk persoalan yang timbul disidang peradilan maka hakim dapat mengambil keterangan itu dalam pertimbangannya. Klasifikasi keterangan ahli hanya keterangan ahli atau hanya keterangan biasa saja tidak menjadi persoalan, karena keterangan itu sendiri sudah merupakan petunjuk dan petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHP walaupun bukan alat bukti yang utama namun hakim akan menimbangkan petunjuk tersebut dalam persidangan.

Keterangan ahli tersebut dapat diberikan dalam bentuk tulisan yaitu assesment yang menyatakan bahwa terdakwa merupakan korban pelaku penyalahgunaan Narkotika dan dapat juga disampaikan didalam persidangan saat pemeriksaan saksi-saksi untuk memberikan keterangan kepada hakim bahwa terdakwa memang membutuhkan rehabilitasi. Putusan tindakan rehabilitasi dapat diberikan apabila ada keterangan dari dokter ahli yang memeriksa atau menangani terdakwa dan dengan keterangan dari dokter ahli tersebut hakim dapat mendapatkan petunjuk yang nantinya akan menjadi salah satu dasar diputuskannya tindakan rehabilitasi bagi terdakwa dan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa ini tidak harus berupa penjatuhan hukuman pidana atau tahanan semata.

Akan tetapi juga lebih memperhatikan masalah penyembuhan rasa kecanduan dari diri terdakwa. Jika semata-mata ingin menghukum terdakwa dengan pidana penjara bukan tidak mungkin jika terdakwa setelah keluar dari penjara akan melakukan perbuatan penyalahgunaan Narkotika lagi (Diputra, 2012).

 

2.      Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln

a.      Pertimbangan Hakim

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan sebagaimana dalam pertimbangan tersebut diatas, telah ternyata bahwa Terdakwa telah memiliki dan menguasai sabu seberat 0,4gram yang ditimbang beserta pembungkusnya. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, yaitu keterangan dari saksi Dinar Setyawan dan saksi Widi Prayitno, serta keterangan Terdakwa, ternyata Terdakwa memiliki sabu tersebut adalah untuk dipergunakan sendiri, bukan untuk dijual, hal ini terbukti dari hal tes urine Terdakwa, jika beberapa saat sebelum ditangkap Terdakwa telah menghisap/mengkonsumsi sabu dan sabu yang dimilikinya adalah seberat 0,4gram ditimbang beserta pembungkusnya.

Menimbang, bahwa ternyata sejak tanggal 12 Juni 2018 s/d Terdakwa ditangkap Terdakwa masih dalam proses Rehabilitasi Sosial pada Rehabilitasi Kunci Yogjakarta karena Terdakwa mengalami ketergantungan obat Narkotika dan memerlukan perawatan /rehabilitasi lebih lanjut, namun terdakwa tidak mondok melainkan rawat jalan setiap minggu datang ke panti sekali, dan Terdakwa juga tidak bersedia dirujuk ke RS Panti Rapih dan lebih memilih dokter sendiri yaitu dr. Musinggih, Sp.Kj.

Menimbang, bahwa jenis narkotika yang ditemukan pada diri Terdakwa hanya sabu seberat 0.4gram ditimbang beserta pembungkusnya, yang dibeli Terdakwa dari Resi Dewo dengan maksud untuk dipergunakan sendiri, bukan untuk diperdagangkan atau diperjual-belikan. Menimbang, bahwa Terdakwa yang bermaksud untuk menggunakan atau memakai narkotika tersebut, tentu saja menguasai atau memiliki narkotika tersebut semata-mata untuk digunakan.

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, maka unsure ketiga ini tidak terbukti. Menimbang, bahwa dari seluruh uraian-uraian sebagaimana tersebut di atas, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi salah satu unsur dari pasal 112 ayat (1) UU.No. 35 tahun 2009, oleh karena itu terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe harus dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Pertama, oleh karena itu Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan pertama tersebut.

Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan disusun secara Komulatif dan dakwaan pertama tidak terbukti, maka selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan Kedua yaitu melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No.35 Th.2009, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1) Setiap Penyalahguna; 2) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri. Menimbang, bahwa pidana yang akan dijatuhkan tersebut bukan semata-mata sebagai pembalasan atas kesalahan terdakwa, namun diharapkan dengan pemidanaan tersebut dapat menjadi pelajaran bagi terdakwa maupun orang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari.

Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana terlebih dahulu Majelis Hakim memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan pada diri terdakwa.

Hal yang memberatkan: a) Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang sedang gencargencarnya memerangi/memberantas penyalahgunaan Narkoba.

Hal yang meringankan: a) Terdakwa sopan dipersidangan, mengakui perbuatannya, dan merasa bersalah. b) Terdakwa pada saat ditangkap masih dalam proses perawatan/rehabilitasi social di Rehabilitasi Kunci Yogyakarta, dan perawatan dr. Musinggih, Sp.Kj karena Terdakwa mengalami ketergantungan obat keras/Narkotika.

 

b.      Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Penuntut Umum tanggal 27 Pebruari 2019 yang pokoknya berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, karena itu menuntut supaya Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut;

1) Menyatakan terdakwa Handy Sugiyanto als Babahe secara sah dan menyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana memiliki, menyimpan dan menguasai serta menyalah gunakan Narkotika bagi dirinya sendiri Sebagaimana diatur pasal 112 ayat (1) UURI No 35 Tahun 2009 dan pasal 127 ayat (1) huruf a UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp800.000.000, - (delapan ratus juta) subside 6 (enam) bulan penjara;

3) Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) plastic klip kecil yang didalamnya berisi serbuk warna putih yang di duga narkotika golongan I bukan tanaman jenis sabu berat 0,4 gram ditimbang beserta bungkusnya, 1 buah pipet kaca yang didalamnya berisi serbuk putih yang diduga narkotika golongan I bukan tanman, 1 buah hand phone nokia X2 warna hitam beserta sim cardnya, 1 buah alat bong penghisap terbuat dari botol kaca YOU C1000, 1 buah korek api gas warna hijau, dirampas untuk dimusnahkan, 1 Suzuki Smash warna biru Nopol AD-2991-GC dikembalikan kepada pemiliknya melalui terdakwa.

 

c.       Putusan Hakim

1) Menyatakan Terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalamdakwaan Pertama. 2) Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Pertama tersebut. 3) Menyatakan Terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �Menyalahgunakan Narkotika Gol. I Bagi Diri Sendiri. 4) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum menjalani rehabilitasi atas diri terdakwa, di rumah sakit Ghrasia Pakem Kabupaten Sleman DIY selama 6 (enam) bulan. 5) Menetapkan masa menjalani rehabilitasi sebagai masa menjalani pidana.

 

Kesimpulan

Pelaksanaan penerapan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika, dilakukan oleh Tim asesmen terpadu dengan tujuan menyelamatkan korban penyalahgunaan narkotika, apabila seseorang sebagai pecandu. atau korban yang tertangkap dapat menentukan apakah dimasukkan dalam penjara atau direhabilitasi. Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika adalah �orang sakit� yang wajib menjalani pengobatan dengan menempatkan meraka kedalam lembaga rehabilitasi Sosial.

Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar pelaku narkotika merupakan korban penyalahguna narkotika. Pemahaman reorientasi penanganan pecandu dan korban penyalahguna Narkotika, yang merumuskan bahwa pengguna Narkotika yang sedang dalam proses hukum dan terbukti sebagai pengguna murni tidak lagi digiring ke dalam jeruji besi, akan tetapi direhabilitasi, sehingga baik dari Kepolisian dan Kejaksaan masih menerapkan proses hukum dan pemid naan bagi setiap penyalah guna yang tertangkap tangan mengonsumsi Narkotika.

Pertimbangan hakim dalam memutus rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika karena narkotika dan terpaksa kembali menyalahgunakan Narkotika. Sehingga pemidanaan dengan pidana penjara tidaklah efektif untuk menjerakan pecandu Narkotika. Oleh karena itu Rehabilitasi dianggap sebagai pemidanaan yang lebih tepat untuk menanggulangi penyalahgunaan Narkotika�. Ketentuan Hakim dalam menjatuhkan putusan tindakan Rehabilitasi bagi terdakwa Penyalahgunaan Narkotika terdapat dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Sedangkan pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln, karena terdakwa hanyalah sebagi pemakai dan kepemilikan sabu tersebut adalah untuk dipergunakan sendiri, serta saat ini Terdakwa masih dalam proses perawatan dr. Musinggih, Sp.KJ hal ini terbukti dari surat dan salinan Resep obat yang diberikan oleh dokter dan menjalani Rehabilitasi Sosial di Rehabilitasi Kunci Yogyakarta.�

 

BIBLIOGRAPHY

Busnarma, T. (2019). Penerapan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika Di Pengadilan Negeri Padang. Soumatera Law Review, 2(1), 172�192.

 

Diputra, I. B. P. S. (2012). Kebijakan Rehabilitasi terhadap Penyalah Guna Narkotika pada Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jurnal Magister Hukum Udayana, 2(1), 44098.

 

Dwiyanti, K. B. R., Yuliartini, N. P. R., SH, M., Mangku, D. G. S., & SH, L. M. (2019). Sanksi Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Putusan Penyalahgunaan Narkotika Golongan I Oleh Anggota Tni Atas Nama Pratu Ari Risky Utama). Jurnal Komunitas Yustisia, 2(1), 31�43.

 

Eki, S. (2023). Upaya Meningkatkan Kepercayaan Diri dan Interaksi Sosial melalui Terapi Vokasional pada Korban Penyalahgunaan Narkotika di Yayasab An-Nur Haji Supono. UIN PROF. KH SAIFUDDIN ZUHRI.

 

Fadhli, A. (2018). NAPZA Ancaman, Bahaya, Regulasi dan Solusi Penanggulangannya. Yogyakarta: Gava Media.

 

Hanafi, J. (2013). Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Tindak Pidana Pecandu Narkotika (Studi Putusan Nomor: 402/Pid. Sus/2011/Pn. Yk.). UIN SUNAN KALIJAGA.

 

Hanitijo, R. (2000). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

 

Hidayatun, S., & Widowaty, Y. (2020). Konsep Rehabilitasi Bagi Pengguna Narkotika yang Berkeadilan. Jurnal Penegakan Hukum Dan Keadilan, 1(2).

 

Laoly, Y. H. (2019). Jerat mematikan: perspektif kesejahteraan ekonomi dalam penyalahgunaan narkoba. (No Title).

 

Marzuki, P. M. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.

 

Rizky, F. (2017). Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pecandu, Penyalahguna Dan Korban Narkotika. Riau Law Journal, 1(1), 103�123.

 

Santi, G. A. N., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Kabupaten Buleleng. Jurnal Komunitas Yustisia, 2(3), 216�226.

 

Santi, G. A. N., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Kabupaten Buleleng. Jurnal Komunitas Yustisia, 2(3), 216�226.

 

Sutarmo, S. V. (2006). Jangan Coba�coba Menjadi Pengguna Narkoba. Jakarta: UI Press.

 

Yatim, D. I. (1986). Kepribadian, keluarga, dan narkotika: tinjauan sosial-psikologis. Arcan.

 

Copyright holder:

Marsono, Iman Santoso, Kemala Atmojo (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: