Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 9, September
2023
PENERAPAN
REHABILITASI TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF TEORI REHABILITASI
Marsono, Iman Santoso, Kemala Atmojo
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
IBLAM
E-mail: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Mahkamah Agung dengan dasar ketentuan Pasal 103 UU Narkotika mengambil langkah untuk membangun paradigma penghentian kriminalisasi bagi pecandu narkoba dengan mengeluarkan Surat Ederan Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahguna, dan Pecandu Narkoba ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Penulis memberikan contoh kasus tentang
korban penyalahgunaan narkotika
yang kasusnya telah diputus oleh PN Klaten dengan putusannya Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln. Metode penelitian
yang digunaka adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengutamakan data
kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum
primer, sekunder maupun tersier. Penelitian ini meliputi penelitian
mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berkaitan
dengan penerapan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika. Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan bahwa penerapan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika, dilakukan oleh Tim asesmen terpadu dengan tujuan menyelamatkan
korban penyalahgunaan narkotika,
apabila seseorang sebagai pecandu. atau korban yang tertangkap dapat menentukan apakah dimasukkan dalam penjara atau
direhabilitasi. Pecandu dan
korban penyalahgunaan narkotika
adalah �orang sakit� yang wajib menjalani pengobatan dengan menempatkan meraka kedalam lembaga rehabilitasi Sosial. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar pelaku narkotika merupakan korban penyalahguna narkotika. Pemahaman reorientasi penanganan pecandu dan korban penyalahguna Narkotika, yang merumuskan bahwa pengguna Narkotika yang sedang dalam proses hukum dan terbukti sebagai pengguna murni tidak lagi digiring
ke dalam jeruji besi, akan
tetapi direhabilitasi, sehingga baik dari
Kepolisian dan Kejaksaan masih menerapkan proses hukum dan pemid naan bagi setiap penyalah
guna yang tertangkap tangan mengonsumsi Narkotika.
Kata kunci: Hukum;
Rehabilitasi; Penyalahgunaan
Narkotika.
Abstract
The Supreme Court based on the provisions of Article 103 of
the Narcotics Law took steps to build a paradigm to stop criminalization for
drug addicts by issuing a Supreme Court Decree (SEMA) Number 4 of 2010
concerning the Determination of Abusers, and Drug Addicts into Medical
Rehabilitation and Social Rehabilitation Institutions. The author provides an
example of a case of a victim of drug abuse whose case has been decided by PN Klaten with its decision Number 8 / Pid.Sus
/ 2019 / PN.Kln. The
research method used is the normative juridical method, which is research that
prioritizes literature data, namely research on secondary data. The secondary
data can be primary, secondary or tertiary legal material. This research
includes research on positive legal provisions in force in Indonesia relating
to the application of rehabilitation to victims of drug abuse. Based on the
results of the study, the author concluded that the application of
rehabilitation for victims of drug abuse was carried out by an integrated
assessment team with the aim of saving victims of drug abuse, if someone is an
addict. Or the victim caught can determine whether to be put in prison or
rehabilitated. Addicts and victims of drug abuse are "sick people"
who are obliged to undergo treatment by placing them in social rehabilitation
institutions. This is based on the consideration that most drug offenders are
victims of drug abuse. Understanding the reorientation of handling addicts and
victims of drug abuse, which formulates that drug users who are in the legal
process and proven to be pure users are no longer led to bars, but
rehabilitated, so that both the Police and the Prosecutor's Office still apply
legal processes and naan ids for every abuser caught consuming narcotics.
Keywords: Law;
Rehabilitation; Narcotics abuse.
Pendahuluan
Narkotika jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar
pengobatan dapat menimbulkan kerugian bagi perorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan
lebih merugikan jika disertai dengan
penyalahgunaan narkotika
dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi
kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang dapat melemahkan ketahanan nasional (Yatim, 1986).
Narkotika adalah
zat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman sintetis atau semisintetis
yang dapat menyebabkan dampak tertentu bagi penggunanya. Istilah narkotika yang dipergunakan disini bukanlah sekedar narcotics, namun secara farmacologie (farmasi) sama artinya
dengan drug yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek
dan pengaruh-pengaruh tertentu
pada tubuh si pemakai, yaitu mempengaruhi kesadaran, memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia dan pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa : penenang, perangsang (bukan rangsangan seks) menimbulkan halusinasi (pemakai tidak mampu
membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat) (Fadhli, 2018).
Permasalahan penyalahgunaan
narkotika di masyarakat
Indonesia semakin tidak terkendali, dengan berbagai jenis narkoba yang beredar diberbagai kawasan dikota-kota besar hingga pelosok-pelosok desa, sehingga semakin meluasnya pengedar, pemakai, dan pencandu narkoba. Penyalahgunaan narkoba yang menjalar melibatkan korban mencakup dari berbagai
kalangan anak-anak, remaja, generasi muda, publik figur,
hingga aparatur negara (Santi et al., 2019).
Pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), terhadap pengguna narkotika dapat dibedakan menjadi Penyalahguna, Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Penyalahguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan
hukum. Namun jika orang tersebut merupakan pecandu narkotika, ia merupakan
orang yang menggunakan dan menyalahgunakan
narkotika secara ketergantungan baik secara fisik maupun
psikisnya. Dimana penyalahguna
dan pecandu narkotika memiliki unsur kesengajaan dalam perbuatannya. Hal ini tentu saja berbeda
dengan kualifikasi orang
yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika.
Pengertian Korban Penyalahgunaan
Narkotika sendiri merujuk terhadap penjelasan Pasal 54 UU Narkotika bahwa �korban penyalahgunaan narkotika adalah orang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk
menggunakan Narkotika�. Dengan demikian korban penyalahgunaan narkotika ini tidak memiliki
unsur kesengajaan dalam mempergunakan narkotika. Dimana orang yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika
ini menggunakan narkotika karena suatu keadaan tertentu
membuatnya menggunakan narkotika yang tidak didasarkan niat dan keinginannya, sehingga ia disebut sebagai
korban.
Seorang korban penyalahgunaan
narkotika harus terbukti tidak mempunyai unsur kesengajaan mempergunakan narkotika secara melawan hukum dikarenakan
adanya keadaan (seperti dipaksa atau diancam) yang membuat ia mau
tidak mau menggunakan narkotika atau karena ketidaktahuan
yang bersangkutan kalau
yang digunakannya adalah narkotika (seperti ditipu, dibujuk, atau diperdaya) (Dwiyanti et al., 2019).
Untuk mengatasi
permasalahan narkotika tidak cukup hanya
dengan memberikan sanksi pidana saja,
namun dibutuhkan juga tindakan lainnya agar tidak hanya berupa
hukuman saja tetapi juga dapat memperbaiki dan memulihkan keadaan pelaku atau korban agar tidak terjerumus kembali kepada narkotika (Busnarma,
2019). Salah satu
bentuk tindakan lainnya tersebut adalah dengan melakukan
upaya rehabilitasi. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (Sutarmo, 2006).
Mahkamah Agung dengan
dasar ketentuan Pasal 103 UU Narkotika mengambil langkah untuk membangun paradigma penghentian kriminalisasi bagi pecandu narkoba dengan mengeluarkan Surat Ederan Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahguna, dan Pecandu Narkoba ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial (Laoly, 2019). Dalam hal
ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkoba sebagai pelaku tindak pidana
serta sebagai korban dari perbuatannya, sehingga upaya untuk menindak lanjuti penyalahgunaan narkoba dengan melakukan upaya pemulihan secara rehabilitasi, baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.
Dalam UU Narkotika pada pasal 1 menjelaskan dua macam rehabilitasi. Pertama, rehabilitasi medis adalah suatu proses pengobatan secara terpadu dengan membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkoba. Sedangkan kedua, rehabilitasi sosial adalah suatu
proses kegiatan pemulihan secara terpadu fisik, mental serta sosial agar mantan pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan
fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.�
Untuk itu lembaga pemerintah maupun swasta dapat
meningkatkan peran edukasi kepada masyarakat luas akan pentingnya rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan narkoba. United
Nations Office on Drugs and Crime menjelaskan bahwa rehabilitasi mempunyai empat tujuan. Pertama, sebagai tindakan lanjut tahap detoksifikasi
untuk mempertahankan kemajuan fisiologis dan psikologis. Kedua, mempertajam dan meneruskan berhentinya perilaku adiktif. Ketiga, mendidik serta mendorong individu pengguna agar dapat memodifikasi perilaku gaya hidup yang lebih konstruktif agar tidak terpengaruh terhadap godaan narkoba.
Keempat, mendidik
serta mendukung perilaku agar tewujudnya kesehatan pribadi, keberfungsian sosial, serta menekan resiko
penyakit yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan publik (Diputra, 2012). Dalam proses rehabilitasi, banyak sikap maupun perlakuan
dari orang sekitar yang
sangat berpengaruh terhadap
pemulihan korban penyalahgunaan
narkotika, pengaruh yang
sangat besar terhadap keberhasilan korban penyalahgunaan
narkotika untuk sembuh dari ketergantungan
narkoba adalah ingin diterima dan didukung usahanya.
Pemberian dukungan
sosial dari orang yang berarti diseputar kehidupan korban penyalahgunaan narkoba sangat berpengeruh dalam meningkatkan harga diri seseorang,
dengan harga diri yang tinggi dapat mempercepat proses penyembuhan korban penyalahgunaan
narkotika (Eki, 2023). Dalam penelitian
ini penulis memberikan contoh kasus tentang pengalahgunaan
narkotika yang pelakunya
oleh pertimbangan hakim sebagai
pecandu penyalahgunaan Narkotika, sehingga timbul kewajiban bagi Majelis Hakim untuk memerintahkan agar terhadap diri terdakwa
dilakukan Rehabilitasi yang
kasusnya telah diputus oleh Pengadilan Negeri Klaten dengan putusannya
Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln.
Dalam kasus ini terdakwanya
adalah Handy Sugiyanto als. Babahe (32 tahun) yang oleh Penuntut Umum didakwa bersalah telah melakukan tindak pidana memiliki,
menyimpan dan menguasai serta menyalah gunakan Narkotika bagi dirinya sendiri
Sebagaimana diatur pasal 112 ayat (1) UURI No 35 Tahun 2009 dan pasal 127 ayat (1) huruf a UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sehingga dituntut pidana terhadap terdakwa selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi
selama terdakwa berada dalam tahanan
dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp800.000.000,-
(delapan ratus juta)
subside 6 (enam ) bulan penjara.
Berdasarkan bukti-bukti
dan fakta yang terungkap di
persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten mengadili: 1) Menyatakan Terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �Menyalahgunakan Narkotika Gol. I
Bagi Diri Sendiri �; 2) Menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe berupa
perintah untuk dilakukan tindakan hukum menjalani rehabilitasi atas diri terdakwa, di rumah sakit Ghrasia
Pakem Kabupaten Sleman DIY selama 6 (enam) bulan; 3) Menetapkan masa menjalani rehabilitasi sebagai masa menjalani pidana.
Berdasarkan uraian
dan latar belakang di atas maka penulis
menetapkan judul penelitian ini adalah: Penerapan Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Dalam Perspektif Teori Rehabilitasi
(Studi Putusan Pn Klaten Nomor Nomor:
8/Pid.Sus/2019/Pn.Kln).
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan penelitian
ini yaitu; 1) Bagaimana pertimbangan penerapan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika? 2) Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika sebagaimana dalam Putusan Pengadilan
Negeri Klaten Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln?
Metode Penelitian
Peter Mahmud Marzuki (2013), menyatakan
bahwa �Penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin- doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi. Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian15. Tipe Penelitian yang dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah
dengan menggunakan metode Penelitian yuridis normatif.
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data
kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum
primer,sekunder maupun tersier (Hanitijo, 2000). Penelitian
ini meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia
yang berkaitan dengan penerapan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika.
Hasil dan Pembahasan
A.
Pertimbangan Penerapan Rehabilitasi Terhadap Korban Penyalahgunaan
Narkotika
1.
Pelaksanaan tim asesmen terhadap korban penyalahguna narkotika
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dihubungkan dengan
tujuan pemidanaan
Rehabilitasi dinilai
sebagai solusi jitu dan ideal dalam upaya menekan angka
prevalensi penyalah guna Narkotika. Untuk menyamakan presepsi bahwa pengguna Narkotika lebih baik direhabilitasi
daripada dipenjara. Pada prakteknya, banyak pihak masih mempertanyakan
bagaimana mekanisme yang
ideal tentang implementasi asesmen terpadu sesuai dengan Peraturan
Bersama itu sendiri.
Hal inilah yang menjadi hambatan dalam pemahaman reorientasi penanganan pecandu dan korban penyalah guna Narkotika,
yang merumuskan bahwa pengguna Narkoba yang sedang dalam proses hukum dan terbukti sebagai pengguna murni tidak lagi
digiring ke dalam jeruji besi,
akan tetapi direhabilitasi, sehingga baik dari Kepolisian
dan Kejaksaan masih menerapkan proses hukum dan pemid naan bagi setiap penyalah guna yang tertangkap tangan mengonsumsi Narkotika (Rizky, 2017).
Pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika adalah �orang sakit� yang wajib menjalani pengobatan dengan menempatkan meraka kedalam lembaga rehabilitasi Sosial. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar pelaku narkotika
merupakan korban penyalah guna narkotika, yang dapat dikatakan sebagai orang sakit. Menempatkan pecandu atau penyalahguna narkotika kedalam lembaga rehabilitasi merupakan sesuai dengn tujuan Undang-undang
No. 35 tahun 2009 tentang narkotika yaitu Pasal 4 huruf d yang menyebutkan untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika (Santi et al., 2020).
Mekanisme Pelaksanaan
Asesmen Terpadu diatur sebagai berikut: 1) Tim Asesmen Terpadu melakukan asesmen berdasarkan tertulis dari penyidik.
Penyidik mengajukan permohonan paling lama 1x24 jam setelah
penangkapan, dengan tembusan kepada Kepala BNN setempat sesuai dengan tempat
kejadian perkara. 2) Tim Asesmen Terpadu (TAT) melakukan asesmen maksimal 2x 24 jam, selanjutnya hasil asesmen dari
tim dokter dan tim hukum disimpulkan
paling lama hari ketiga. 3)
Hasil Asesmen dari
masing-masing tim asesmen dibahas pada pertemuan pembahasan kasus (case
conference) pada hari keempat
untuk ditetapkan sebagai rekomendasi Tim Asesmen Terpadu. Rekomendasi Tim Asesmen Terpadu berisi keterangan mengenai peran tersangka dan/atau terdakwa dalam
tindak pidana, tingkat ketergantungan penyalahguna narkotika, rekomendasi kelanjutan proses hukumnya dan tempat serta lama waktu rehabilitasi. Rekomendasi Tim Assesmen Terpadu ditanda tangani oleh ketua tim asesmen
terpadu.
Rekomendasi Tim Asesmen
terpadu dilampirkan dalam berkas perkara
tersangka harus asli bukan dalam
bentuk foto copy. Rekomendasi inilah yang seharusnya dijadikan dasar bagi Hakim untuk menetapkan seorang terdakwa sebagai penyalahguna atau korban Narkotika, atau sebagai pelaku
tindak pidana Narkotika. Pada bagian kedua UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika bunyi pasal 54 menyatakan bahwa: �Pecandu Narkotika dan Pecandu penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.�
Implementasi dalam Pasal 54, yakni mewajibkan rehabilitasi yang diperuntukan terhadap pecandu dan pecandu dari penyalahgunaan narkotika yang ketergantungan dengan narkotika terutama golongan I, sehingga ada upaya
oleh BNN bagi para pecandu guna mendapatkan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dengan tujuan dapat
memulihkan serta mengembalikan pecandu agar bisa berada dala
lingkungan masyarakat secara normal dan terbebas dari ketergantunga bahaya narkotika. Dalam proses rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ini dibagi atas
dua terapi yakni secara medis dan terapi secara sosial.
Rehabilitasi sosial
adalah proses pengembalian kebiasaan pecandu narkotika dalam kehidupan masyarakat agar pecandu tidak lagi
menyentuh bahwa terjerat dalam lingkup bahaya narkotika yang ada dikehidupan bermasyarakat, rehabilitasi sosial bertujuan� mengintegrasikan kembali penyalahguna dan/atau pecandu narkotika ke dalam masyarakat
dengan cara memulihkan proses berpikir, berperilaku dan beremosi sebagai komponen kepribadiannya agar mampu berinteraksi dilingkungan sosialnya (dalam lingkungan rehabilitasi).
BNN melaksanakan rehabilitasi sosial sesuai dengan
Keputusan Menteri yang ada serta
adanya kesinambungan dalam kementerian sosial membantu rehabilitasi di bidang sosial. Rehabilitasi berkelanjutan adalah tahapan bina lanjut
(after care) yang merupakan serangkaian
kegiatan positif dan produktif bagi penyalahguna/pecandu narkotika pasca menjalani tahap pemulihan (rehabilitasi medis dan sosial).
Tahapan bina lanjut merupakan bagian yang integral dalam rangkaian rehabilitasi ketergantungan narkotika dan tidak dapat dianggap
sebagai bentuk terapi yang berdiri sendiri, hal ini
berkaitan dengan pemahaman umum bahwa setelah pecandu
menjalani program rehabilitasi
di tempat rehabilitasi, mereka masih memerlukan
pendampingan agar proses reintegrasi
ke masyarakat dapat berlangsung sesuai dengan tujuan
untuk dapat hidup normatif, mandiri dan produktif (Hidayatun
& Widowaty, 2020).�
Upaya lain sebagai langkah strategis Badan Narkotika
Nasional Provinsi (BNNP) mengadakan
proses Penjangkauan kepada
para pecandu Narkotika. Penjangkauan ini dilakukan dengan cara �jemput bola� yaitu dengan mendatangi
rumah-rumah pecandu agar mau direhabilitasi, lalu dengan memanfaatkan
pecandu yang ada untuk mengajak temannya yang sesama pecandu agar mau direhabilitasi. Upaya ini dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan untuk meyakinkan pecandu agar mau di rehabilitasi.
Pihak BNN setelah
menerima wajib lapor tenaga tim
kesehatan dan tenaga psikologis melakukan assesmen terhadap pecandu sehingga proses penerimaan wajib lapor itu didasari
oleh diri sendiri atau voluntary (sukarela), bagi pecandu yang sudah cukup umur
dan juga bisa dilaporkan
oleh keluarga pecandu yang sudah cukup umur
kepada Institusi Penerima Wajib Lapor, untuk pecandu narkotika yang belum cukup umur
dalam melaksanakan wajib lapor dilakukan
atau dilaporkan oleh orang tua/wali pecandu
Narkotika. Alat yang digunakan
setidaknya dapat mendeteksi 4 (empat) jenis Narkotika, yaitu opiat, ganja, metamfetamin dan methylenedioxy
methamphetamine (MDMA).
Proses pemberian rekomendasi ini mengacu pada penentuan tempat rehabilitasi yang sudah ditunjuk oleh menteri baik menteri kesehatan
bagi tempat rehabilitasi medis sesuai Kemenkes No. 1305 Tahun 2011 dan menteri sosial bagi tempat
rehabilitasi sosial dalam pemulihan dibidang sosial yang diperuntukan bagi pecandu narkotika, dalam proses ini BNN mengirimkan surat rujukan ke pusat
rehabilitasi sebagai surat rekomendasi untuk memasukan atau mengirimkan pecandu narkotika ke pusat rehabilitasi.
Assesmen ulang dimaksudkan untuk memastikan pecandu narkotika apakah memang mengunakan narkotika atau tidak mengkonsumsi narkotika, apabila pecandu narkotika terbukti mengkonsumsi narkotika maka pecandu narkotika langsung mendapatkan pelayanan rehabilitasi medis selama 6 bulan untuk melepas
racun didalam darah. Sedangkan hasil assesmen ulang pecandu tidak
terbukti kedapatan mengkonsumsi narkotika, maka dinyatakan bukan pecandu dan di kembalikan kepada keluarga untuk mendapatkan pembinaan dari orang tua atau wali dalam
pergaulan yang berdampak akan bahaya narkotika.
2. Hambatan dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan
Penentuan status sebagai
pengguna atau korban peredaran atau penyalahgunaan narkoba rawan disalahgunakan. Kategori sebagai produsen, bandar, pengedar, penadah dan pengguna narkoba amat sulit
ditentukan. Antara kategori
yang satu dengan lainnya beda-beda alias berpotensi dimainkan. Apapun kategorinya bila seseorang secara �sukarela� melaporkan diri kepada Badan Narkotika Nasional atau polisi atau lembaga
rehabilitasi yang ditunjuk,
otomatis dia akan bersetatus �pengguna� dan akan segera menjalani proses rehabilitasi di tempat yang dikelola pemerintah atau rehabilitasi yang direkomendasikan oleh Badan Narkotika
Nasional.
Apabila yang melaporkan
adalah pengguna yang sekaligus juga pengedar, maka dia bisa
bebas dari jeratan hukum dan negara akan rugi membiayai
rehabilitasi pengguna dan pengedar. Bila yang ada di dalam adalah orang berkategori ganda seperti itu, maka
lembaga rehabilitasi akan mengelola orang yang salah.
1) Tidak ada kriteria baku lamanya
rehabilitasi. Penentuan berapa lama pecandu akan direhabilitasi tidak ada kriteria
baku. Kriteria sembuh juga bermacam-macam, sehingga ada pecandu
yang direhabilitasi 3 bulan,
6 bulan, atau 9 bulan. Apakah seseorang
boleh pulang untuk lanjut ke
pasca rehabilitasi sangat tergantuk pada pengelola. Bila pengelola rehabilitasi tidak jujur, maka
bisa saja mereka �menahan� residen selama mungkin demi terus mendapat dana dari APBN. Residen rawan menjadi
objek bisnis berkedok rehabilitasi.
2) Penentuan
berapa lama pecanduakan direhabilitasi tidak ada kriteria baku.
Kriteria sembuh juga bermacam-macam, sehingga ada pecandu yang direhabilitasi 3 bulan, 6 bulan, atau 9 bulan.
Apakah seseorang boleh pulang untuk
lanjut ke pasca rehabilitasi sangat tergantuk pada pengelola. Bila pengelola rehabilitasi tidak jujur, maka
bisa saja mereka �menahan� residen selama mungkin demi terus mendapat dana dari Angaran Pendapatan Belanja Negara. Pengguna menjadi rawan sebagai objek
bisnis berkedok rehabilitasi (Diputra, 2012).
3) Tidak ada
kriteria baku rawat jalan atau
rawat inap.� Jika seseorang harus terpaksa menjalani rehabilitasi, maka otomatis yang bersangkutan lebih memilih rehabilitasi rawat jalan dan menghindari rehabilitasi rawat inap. Dengan
demikian pasti tidak ada yang mau rehabilitasi rawat inap. Penentuan
seseorang rawat jalan saja atau
rawat inap yang kemudian secepatnya akan dilanjutkan dengan rawat jalan
sangat ditentukan orang yang melakukan
assessment awal.�
Deputi Bidang
Rehabilitasi Badan Narkotika
Nasional Diah Setia Utami mengungkapkan, meskipun para pencandu narkoba sudah direhab,
dia bisa balik lagi menggunakannya.
Hal itu ia katakan dalam acara
Indonesia-U.S. Drug Demand Reduction Workshop. Dirinya
pun menyebut bahwa para pengguna atau pencandu
narkoba yang sudah direhabilitasi dan balik lagi untuk menggunakan
masih sekitar 70 persen. "Ada pasti, karena memang tinggi
sekitar 70 persen,"
Mekanisme pembiayaan
menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara untuk pecandu narkoba
oleh tempat rehabilitasi
dan pasca rehabilitasi
sangat sederhana, sehingga rentan terjadi kolusi dan korupsi. Cukup kunjungan oleh petugas kemudian diberikan rekomendasi, dan selanjutnya berbekal rekomendasi itulah tempat rehabilitasi bisa mengklaim uang pengganti rehabilitasi bagi para pecandu.
Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR) pada dasarnya sepakat
bahwa PP 99 harus direvisi secepat mungkin, pandangan ini didasarkan atas konteks harm reduction (pengurangan dampak buruk) bagi pengguna
dan pecandu narkotika. ICJR
menilai bahwa PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Pemberian Remisi tidak melihat
secara lebih fokus realita dan masalah empiris peradilan pidana yang berhubungan dengan kasus narkotika. Atas permasalahan overkapasitas dan masalah narkotika, ICJR memiliki beberapa catatan, diantaranya;
a. Masalah Overkapasitas Dan Penyalahguna Narkotika
Salah satu
masalah utama dalam overkapasitas adalah karena tingginya
supply tahanan dan narapidana
ke dalam lapas. Berdasarkan Penelitian ICJR pada 2016, Populasi
penghuni penjara meledak dua kali lipat dari 71.500 menjadi 144.000 pada tahun 2016 hingga 2021, padahal kapasitas penjara hanya bertambah
kurang dari 2%.
b. Kebijakan tidak
tepat sasaran
ICJR justru mempertanyakan semangat ini, jika memang
berencana mengurangi overkapasitas, maka mengapa di arahkan atau menyentuh kebijakan pemidanaan kepada kejahatan korupsi? berdasarkan data SDP bahwa jumlah warga
binaan terbesar dalam Lapas salah satunya adalah narapidana yang menyandang status
korban penyalahguna napza/narkotika.
c. Korban Narkotika Anak tiri Negara
Dengan kondisi
hukum narkotika yang sangat
buruk ini, Pemerintah justru mengarahkan perubahan kebijakan ke arah
salah sasaran. Seharusnya, pelonggaran remisi diarahkan kepada korban narkotika yaitu pengguna dan pecandu, yang sebetulnya tidak layak masuk dalam
penjara. Apalagi SEJA
(Surat Edaran Jaksa Agung), (Surat Edaran Mahkamah Agung) SEMA terkait pengguna dan pecandu harus masuk
rehabilitasi, mengalami kegagalan dalam praktik, karena kebijakan aparat penegak hukum kita
ternyata lebih bersemangat memasukkan mereka (pengguna/pecandu) ke penjara.
Dibutuhkan ikatan profesi konselor pecandu narkoba sehingga ada lembaga
yang bertanggungjawab untuk
menjaga etika profesi, membuat standar kompensasi, mengawasi perilaku konselor narkoba.
Berdasarkan hal tersebut kemudian penulis melihat adanya kendala yang masih butuh perhatian
serius dari semua pihak yang terlibat dalam upaya pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika. Secara teoritis terdapat beberapa hal yang menjadi faktor penyebab dan membutuhkan penjabaran belum terimplementasinya dengan baik pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika yaitu: a) Subtansi Hukum. b) Struktur Hukum. c) Kultur Hukum. d) Sarana dan Prasarana.
B.
Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Rehabilitasi Terhadap Korban
Penyalahgunaan Narkotika Sebagaimana Dalam Putusan Pengadilan Negeri Klaten
Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln
1.
Pertimbangan Hakim dalam Pemidanaannya Memberikan Rehabilitasi Terhadap Terdakwa
Telah banyak
pecandu Narkotika yang tertangkap lagi oleh aparat kepolisian setelah menjalani masa hukuman dipenjara. Salah satu alasannya adalah tidak dapat
lepas dari ketergantungan terhadap Narkotika dan terpaksa kembali menyalahgunakan Narkotika. Sehingga pemidanaan dengan pidana penjara tidaklah efektif untuk menjerakan pecandu Narkotika. Oleh karena itu Rehabilitasi
dianggap sebagai pemidanaan yang lebih tepat untuk menanggulangi
penyalahgunaan Narkotika� (Hanafi, 2013). Dalam mempertimbangkan
tindakan bagi pelaku penyalahgunaan Narkotika harus ada surat keterangan
dari dokter dan atau keterangan dari seorang ahli
untuk membuktikan bahwa pelaku penyalahgunaan
Narkotika tersebut adalah pecandu.
Keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan ahli adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang
yang memiliki keahlian khusus tentang hal apa yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan dan Pasal 184 ayat (1) telah menyebutkan bahwa salah satu alat bukti yang sah ialah keterangan
ahli, maka sebagai alat bukti
yang sah keterangan ahli dapat diberikan
pada tahap penyidikan, penuntutan hingga tahap pemeriksaan dipengadilan. Dokter sebagai keterangan ahli dapat menyatakan keterangan dalam pemeriksaan dipengadilan dan\dapat dimintai sebagai saksi dan atau untuk petunjuk
bagi hakim untuk mempertimbangkan putusan dalam sebuah perkara.
Dokter sebagai
keterangan ahli dimintai hadir dipengadilan, oleh karena dua versi pertama sebagai
saksi a de charge. Saksi ini
dihadirkan kepersidangan oleh
jaksa penuntut umum dimana keterangannya
dapat menguntungkan maupun memberatkan terdakwa. Versi kedua dokter sebagai
keterangan ahli bertidak sebagai saksi a de charge. Saksi ini dihadirkan kepersidangan oleh terdakwa atau penasehat
hukumnya sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 65 KUHP.�
Keterangan yang diberikannya
meringankan terdakwa atau dapat dijadikan
dasar pembelaandari terdakwa atau penasehat
hukumnya. Sehingga pada tahap pemeriksaan dipengadilan, baik jaksa maupun penasehat
hukum tersangka dapat menghadirkan saksi atau ahli
dengan ijin hakim. Pasal 186 Kuhap menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli ialah apa
yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan, hal ini sejalan dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 187 huruf C KUHAP yang menyebutkan bahwa keterangan ahli yang diberikan dalam bentuk laporan
termasuk kategori bukti surat.
Keterangan ahli tersebut adalah sebuah petunjuk bagi hakim jika dianggap bahwa keterangan yang diberikan seorang ahli relevan
dan dapat menjernihkan
duduk persoalan yang timbul
disidang peradilan maka hakim dapat mengambil keterangan itu dalam pertimbangannya.
Klasifikasi keterangan ahli hanya keterangan
ahli atau hanya keterangan biasa saja tidak
menjadi persoalan, karena keterangan itu sendiri sudah
merupakan petunjuk dan petunjuk merupakan salah satu alat bukti
yang diatur dalam Pasal 184 KUHP walaupun bukan alat bukti
yang utama namun hakim akan menimbangkan petunjuk tersebut dalam persidangan.
Keterangan ahli tersebut dapat diberikan dalam bentuk tulisan yaitu assesment yang menyatakan bahwa terdakwa merupakan korban pelaku penyalahgunaan Narkotika dan dapat juga disampaikan didalam persidangan saat pemeriksaan saksi-saksi untuk memberikan keterangan kepada hakim bahwa terdakwa memang membutuhkan rehabilitasi. Putusan tindakan rehabilitasi dapat diberikan apabila ada keterangan dari dokter ahli
yang memeriksa atau menangani terdakwa dan dengan keterangan dari dokter ahli
tersebut hakim dapat mendapatkan petunjuk yang nantinya akan menjadi
salah satu dasar diputuskannya tindakan rehabilitasi bagi terdakwa dan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa ini tidak
harus berupa penjatuhan hukuman pidana atau tahanan
semata.
Akan tetapi
juga lebih memperhatikan masalah penyembuhan rasa kecanduan dari diri terdakwa. Jika semata-mata ingin menghukum terdakwa dengan pidana penjara
bukan tidak mungkin jika terdakwa
setelah keluar dari penjara akan
melakukan perbuatan penyalahgunaan Narkotika lagi (Diputra, 2012).
2.
Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor
8/Pid.Sus/2019/PN.Kln
a.
Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa
berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan sebagaimana dalam pertimbangan tersebut diatas, telah ternyata bahwa Terdakwa telah memiliki dan menguasai sabu seberat 0,4gram yang ditimbang beserta pembungkusnya. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, yaitu keterangan dari saksi Dinar Setyawan dan saksi Widi Prayitno, serta keterangan Terdakwa, ternyata Terdakwa memiliki sabu tersebut adalah
untuk dipergunakan sendiri, bukan untuk dijual, hal
ini terbukti dari hal tes
urine Terdakwa, jika beberapa saat sebelum
ditangkap Terdakwa telah menghisap/mengkonsumsi sabu dan sabu yang dimilikinya adalah seberat 0,4gram ditimbang beserta pembungkusnya.
Menimbang, bahwa
ternyata sejak tanggal 12 Juni 2018 s/d Terdakwa
ditangkap Terdakwa masih dalam proses Rehabilitasi Sosial pada Rehabilitasi Kunci Yogjakarta karena Terdakwa mengalami ketergantungan obat Narkotika dan memerlukan perawatan /rehabilitasi lebih lanjut, namun
terdakwa tidak mondok melainkan rawat jalan setiap
minggu datang ke panti sekali,
dan Terdakwa juga tidak bersedia dirujuk ke RS Panti Rapih dan lebih memilih dokter
sendiri yaitu dr. Musinggih, Sp.Kj.
Menimbang, bahwa
jenis narkotika yang ditemukan pada diri Terdakwa hanya sabu seberat 0.4gram ditimbang beserta pembungkusnya, yang dibeli Terdakwa dari Resi Dewo dengan maksud
untuk dipergunakan sendiri, bukan untuk diperdagangkan atau diperjual-belikan. Menimbang, bahwa Terdakwa yang bermaksud untuk menggunakan atau memakai narkotika
tersebut, tentu saja menguasai atau memiliki narkotika
tersebut semata-mata untuk digunakan.
Menimbang, bahwa
berdasarkan uraian pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, maka unsure ketiga ini tidak terbukti.
Menimbang, bahwa dari seluruh uraian-uraian
sebagaimana tersebut di atas, maka Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan terdakwa tidak memenuhi salah satu unsur dari
pasal 112 ayat (1) UU.No. 35 tahun 2009, oleh karena itu terdakwa
Handy Sugiyanto als. Babahe harus dinyatakan
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana
dalam dakwaan Pertama, oleh karena itu Terdakwa harus
dibebaskan dari dakwaan pertama tersebut.
Menimbang, bahwa
oleh karena dakwaan disusun secara Komulatif dan dakwaan pertama tidak terbukti,
maka selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan Kedua yaitu melanggar
Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No.35 Th.2009, yang unsur-unsurnya
adalah sebagai berikut: 1) Setiap Penyalahguna; 2) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri. Menimbang,
bahwa pidana yang akan dijatuhkan tersebut bukan semata-mata sebagai pembalasan atas kesalahan terdakwa, namun diharapkan dengan pemidanaan tersebut dapat menjadi pelajaran bagi terdakwa maupun
orang lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari.
Menimbang, bahwa
sebelum menjatuhkan pidana terlebih dahulu Majelis Hakim memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan
pada diri terdakwa.
Hal
yang memberatkan: a) Perbuatan
terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang
sedang gencargencarnya memerangi/memberantas penyalahgunaan Narkoba.
Hal
yang meringankan: a) Terdakwa
sopan dipersidangan, mengakui perbuatannya, dan merasa bersalah. b) Terdakwa pada saat ditangkap masih dalam proses perawatan/rehabilitasi social di Rehabilitasi
Kunci Yogyakarta, dan perawatan
dr. Musinggih, Sp.Kj
karena Terdakwa mengalami ketergantungan obat keras/Narkotika.
b. Tuntutan
Jaksa Penuntut Umum
Penuntut Umum tanggal
27 Pebruari 2019 yang pokoknya
berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, karena itu menuntut
supaya Majelis Hakim memutuskan sebagai berikut;
1) Menyatakan terdakwa Handy Sugiyanto als Babahe
secara sah dan menyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana memiliki,
menyimpan dan menguasai serta menyalah gunakan Narkotika bagi dirinya sendiri
Sebagaimana diatur pasal 112 ayat (1) UURI No 35 Tahun 2009 dan pasal 127 ayat (1) huruf a UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Selama 5 (lima) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi
selama terdakwa berada dalam tahanan
dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan denda Rp800.000.000, -
(delapan ratus juta)
subside 6 (enam) bulan penjara;
3) Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) plastic klip kecil yang didalamnya berisi serbuk warna
putih yang di duga narkotika golongan I bukan tanaman jenis
sabu berat 0,4 gram ditimbang beserta bungkusnya, 1 buah pipet kaca yang didalamnya berisi serbuk putih
yang diduga narkotika golongan I bukan tanman, 1 buah hand phone nokia X2 warna hitam beserta sim cardnya, 1 buah alat bong penghisap terbuat dari botol
kaca YOU C1000, 1 buah korek api gas warna
hijau, dirampas untuk dimusnahkan, 1 Suzuki Smash
warna biru Nopol AD-2991-GC dikembalikan kepada pemiliknya melalui terdakwa.
c. Putusan Hakim
1) Menyatakan Terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalamdakwaan Pertama. 2) Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari
dakwaan Pertama tersebut. 3) Menyatakan Terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �Menyalahgunakan Narkotika Gol. I
Bagi Diri Sendiri. 4) Menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa Handy Sugiyanto als. Babahe berupa
perintah untuk dilakukan tindakan hukum menjalani rehabilitasi atas diri terdakwa, di rumah sakit Ghrasia
Pakem Kabupaten Sleman DIY selama 6 (enam) bulan. 5) Menetapkan masa menjalani rehabilitasi sebagai masa menjalani pidana.
Kesimpulan
Pelaksanaan penerapan rehabilitasi
terhadap korban penyalahgunaan
narkotika, dilakukan oleh
Tim asesmen terpadu dengan tujuan menyelamatkan
korban penyalahgunaan narkotika,
apabila seseorang sebagai pecandu. atau korban yang tertangkap dapat menentukan apakah dimasukkan dalam penjara atau
direhabilitasi. Pecandu dan
korban penyalahgunaan narkotika
adalah �orang sakit� yang wajib menjalani pengobatan dengan menempatkan meraka kedalam lembaga rehabilitasi Sosial.
Hal tersebut berdasarkan
pertimbangan bahwa sebagian besar pelaku narkotika merupakan korban penyalahguna narkotika. Pemahaman reorientasi penanganan pecandu dan korban penyalahguna Narkotika, yang merumuskan bahwa pengguna Narkotika yang sedang dalam proses hukum dan terbukti sebagai pengguna murni tidak lagi digiring
ke dalam jeruji besi, akan
tetapi direhabilitasi, sehingga baik dari
Kepolisian dan Kejaksaan masih menerapkan proses hukum dan pemid naan bagi setiap penyalah
guna yang tertangkap tangan mengonsumsi Narkotika.
Pertimbangan hakim dalam memutus
rehabilitasi terhadap
korban penyalahgunaan narkotika
karena narkotika dan terpaksa kembali menyalahgunakan Narkotika. Sehingga pemidanaan dengan pidana penjara
tidaklah efektif untuk menjerakan pecandu Narkotika. Oleh karena itu Rehabilitasi
dianggap sebagai pemidanaan yang lebih tepat untuk menanggulangi
penyalahgunaan Narkotika�. Ketentuan Hakim dalam menjatuhkan putusan tindakan Rehabilitasi bagi terdakwa Penyalahgunaan
Narkotika terdapat dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sedangkan pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan
Negeri Klaten Nomor 8/Pid.Sus/2019/PN.Kln,
karena terdakwa hanyalah sebagi pemakai dan kepemilikan sabu tersebut adalah
untuk dipergunakan sendiri, serta saat ini Terdakwa
masih dalam proses perawatan dr. Musinggih, Sp.KJ hal ini
terbukti dari surat dan salinan Resep obat yang diberikan oleh dokter dan menjalani Rehabilitasi Sosial di Rehabilitasi Kunci Yogyakarta.�
BIBLIOGRAPHY
Busnarma, T. (2019). Penerapan Sanksi Pidana Denda
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika Di
Pengadilan Negeri Padang. Soumatera Law Review, 2(1), 172�192.
Diputra,
I. B. P. S. (2012). Kebijakan Rehabilitasi terhadap Penyalah Guna Narkotika
pada Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jurnal Magister
Hukum Udayana, 2(1), 44098.
Dwiyanti,
K. B. R., Yuliartini, N. P. R., SH, M., Mangku, D. G. S., & SH, L. M.
(2019). Sanksi Pidana Penyalahgunaan Narkotika Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika (Studi Putusan Penyalahgunaan Narkotika Golongan I Oleh
Anggota Tni Atas Nama Pratu Ari Risky Utama). Jurnal Komunitas Yustisia,
2(1), 31�43.
Eki,
S. (2023). Upaya Meningkatkan Kepercayaan Diri dan Interaksi Sosial melalui
Terapi Vokasional pada Korban Penyalahgunaan Narkotika di Yayasab An-Nur Haji
Supono. UIN PROF. KH SAIFUDDIN ZUHRI.
Fadhli,
A. (2018). NAPZA Ancaman, Bahaya, Regulasi dan Solusi Penanggulangannya. Yogyakarta:
Gava Media.
Hanafi,
J. (2013). Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Tindak Pidana
Pecandu Narkotika (Studi Putusan Nomor: 402/Pid. Sus/2011/Pn. Yk.). UIN
SUNAN KALIJAGA.
Hanitijo,
R. (2000). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hidayatun,
S., & Widowaty, Y. (2020). Konsep Rehabilitasi Bagi Pengguna Narkotika yang
Berkeadilan. Jurnal Penegakan Hukum Dan Keadilan, 1(2).
Laoly,
Y. H. (2019). Jerat mematikan: perspektif kesejahteraan ekonomi dalam
penyalahgunaan narkoba. (No Title).
Marzuki,
P. M. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.
Rizky,
F. (2017). Pelaksanaan Rehabilitasi Terhadap Pecandu, Penyalahguna Dan Korban
Narkotika. Riau Law Journal, 1(1), 103�123.
Santi,
G. A. N., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2019). Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Kabupaten
Buleleng. Jurnal Komunitas Yustisia, 2(3), 216�226.
Santi,
G. A. N., Yuliartini, N. P. R., & Mangku, D. G. S. (2020). Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Kabupaten
Buleleng. Jurnal Komunitas Yustisia, 2(3), 216�226.
Sutarmo,
S. V. (2006). Jangan Coba�coba Menjadi Pengguna Narkoba. Jakarta: UI
Press.
Yatim,
D. I. (1986). Kepribadian, keluarga, dan narkotika: tinjauan
sosial-psikologis. Arcan.
Copyright holder: Marsono, Iman Santoso, Kemala Atmojo (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |