Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

PROSES PERUNDINGAN BIPARTIT SEBAGAI SYARAT MUTLAK DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

 

Iwan, P.L Tobing

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan sub sistem psebagai peradilan khusus yang ditempatkan dalam lingkungan kekuasaan peradilan umum. PHI dengan kompetensi absolut mengadili kasus atau sengketa ketenagakerjaan yang ternyata pada tataran pra judisial masuk ke PHI, yaitu ditingkat proses tripartite ternyata juga dapat bersentuhan dengan kewenangan peradilan tata usaha negara, terkait dengan aspek tindakan yang harus dilakukan badan tata usaha negara dalam hal ini berupa anjuran yang diterbitkan��������� mediator dariDinas Ketenagakerjaan, Apakah Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang Memerintahkan Dinas Tenaga Kerja Selaku Mediator Untuk Mengeluarkan Anjuran Dalam Sengketa Pemutusan Hubungan Kerja ? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan historis, komparasi dan titik berat penelitian pada data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, dengan metode dokumentasi dan analisis data kualitatif. Hasil penelitian bahwa Proses perundingan dua pihak antara Pengusaha dengan Pekerja merupakan syarat yang ditempuh agar dapat diteruskan ke mediasi beripa tripartite. Apabila Dinas Tenaga kerja tidak bersedia melakukan mediasi disebakan oehtidak terpenuhinya syarat berupa bukti bipartite maka dalam hal salah satu pihak menggugat ke PTUN berdasarkan fiktip positip dimaksud falam Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan, PTUN tetaptidak dapatmengabulkan permohonan untuk memerintahkan kan Dinas tenaga kerja mengeluarkan Anjuran.

 

Kata kunci: Hukum; Hubungan Kerja; Perundingan.

 

Abstract

The Industrial Relations Court (PHI) is a sub-system of special courts placed within the general judicial sphere. PHI with absolute competence to adjudicate labor cases or disputes that occur at the pre-judicial level enters PHI, namely at the tripartite process level it can also come into contact with the authority of the state administrative court, related to aspects of actions that must be taken by the state administrative agency in this case in the form of recommendations issued by mediators from the Manpower Office, whether the State Administrative Court has the authority to order the Manpower Office as a mediator? To issue a recommendation in a termination dispute? This research is a normative juridical research, with a historical approach, comparison and emphasis of research on secondary data which includes primary legal material, secondary legal material and tertiary legal material, with documentation methods and qualitative data analysis. The results of the study that the two-party negotiation process between employers and workers is a condition taken so that it can be forwarded to tripartite mediation. If the Manpower Office is not willing to mediate due to the non-fulfillment of the requirements in the form of bipartite evidence, in the event that one of the parties sues the PTUN based on the positive fictitious referred to in Article 53 of the Government Administration Law, the PTUN still cannot grant the request to order the Manpower Office to issue a Recommendation.

 

Keywords: Law; Employment Relations; Negotiations

 

Pendahuluan

Perselisihan atau perkara dimungkinkan terjadi dalam setiap hubungan antar manusia, hal ini merupakan konsekuensi dari adanya berbagai kepentingan manusia dalam interaksi sesama baik antar manusia sebagai manusia alamiah, maupun antara masnusia alamiah dengan subjek hukum hukum lainnya yaitu badan hukum seperti persetroan terbatas, yayasan dan koperasi. Dengan semakin kompleksnya corak kehidupan masyarakat, maka ruang lingkup kejadian atau peristiwa perselisihanpun meliputi ruang lingkup semakin luas, diantaranya yang sering mendapat sorotan adalah perselisihan hubungan industrial (Anggraini, Firnanda, Faizha, Varifqi, & Ervina, 2023).

Perselisihan hubungan industrial biasanya terjadi antara pekerja/buruh dan perusahaan atau antara organisasi buruh dengan organisasi Perusahaan (Mantili, 2021). Dari sekian banyak kejadian atau peristiwa konflik atau perselisihan yang penting adalah solusi untuk penyelesaiannya yang harus betul-betul objektif dan adil.

Penyelesaian perselisihan pada dasarnya dapat diselesaikan oleh para pihak sendiri, dan dapat juga diselesaikan dengan hadirnya pihak ketiga, baik yang disediakan oleh negara atau para pihak sendiri (Liling, Pangaribuan, & Roziqin, 2019). Dalam masyarakat modern yang diwadahi organisasi kekuatan publik berbentuk negara, forum resmi yang disediakan oleh negara untuk penyelesaian perkara atau perselisihan biasanya adalah lembaga peradilan (Landjar, 2021).

Sejalan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, pada saat ini penyelesaian hubungan industrial secara normatif telah mengalami banyak perubahan Simpen (2019), yang terakhir dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Berdasarkan UU ini telah ada peradilan khusus yang menangani penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yaitu Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Menurut UUD 1945 pasal 27 ayat (2) bahwa pemerintah memberikan perlindungan kepada setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ketentuan ini tentunya tidak terlepas dari filosofi yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Mencermati konflik antara pekerja/buruh dengan pengusaha pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (untuk selanjutnya ditulis �UU PPHI�) sebagai rangkaian pendukung diterbitkannya Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (untuk selanjutnya ditulis�UU ketenagakerjaan�) yang terlebih dahulu dikeluarkan.

PT.Nippisun Indonesia, berkedudukan di Kawasan Industri MM 2100, Jalan Sulawesi I. 1-1, Desa Gandamekar, Kecamatan Cikarang Barat, Kab. Bekasi, Jawa Barat mengajukan permohonan mediasi kepada Kepala Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi atas Pemutusan Hubungan Kerja terhadap 10 (sepuluh) eks karyawan Pengugat pada tanggal 13 November 2019, sebagaimana Surat Nomor 261/NPI-ADM/ XI/2019 tertanggal 21 November 2019 beserta lampiran Undangan Bipartit. Pada tanggal 13 Desember 2019 Termohon mengundang Pemohon untuk datang ke Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi dengan agenda bertemu dengan Bapak Suwato S.Ag.MM sebagai mediator, namun pada saat itu 10 (sepuluh) eks karyawan Pemohon yang juga diundang tidak datang hadir.

Selain tidak penah ditanggapinya permohonan pencatatan dari Pemohon kepada Termohon tersebut dengan tidak menerbitkan/menetapkan anjuran untuk Pemohon, Termohon pun setelah tanggal 2 Maret 2020 hingga tangal 14 April 2020 tidak pernah menyatakan sikap tentang lengkap atau tidaknya berkas permohonan mediasi yang dimohonkan oleh Pemohon, sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: Sehingga Pemohon merasa berkas permohonan mediasi yang diajukannya kepada Termohon harus sudah dianggap lengkap oleh Termohon dan Termohon harus menetapkan/menerbitkan anjuran atas permohonan mediasi Pemohon tersebut dikarenakan Penyelesaian melalui mediasi harus sudah selesai dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal 2 Maret 2020 yaitu tanggal 14 April 2020.

Pemutusan hubungan kerja terhadap 10 (sepuluh) pekerja oleh PT. Nipisun Indonesia didasarkan pada pandangan pengusaha bahwa pekerja telah melakukan pelanggarang berat terhadap peraturan perundangan baik Perjanjian kerja maupun Undang-undang Ketenagakerjaan. Namun, semua perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, dimana dalam kasus ini upaya penyelesaian secara bi partit yaitu perundingan antara pekerja dengan pengusaha ternyata sama sekali tidak ditempuh (Mulyadi & Subroto, 2011). Pengusaha sebagai Pemohon langsung mengajukan permohonan ke Dinas Tenaga Kerja untuk meminta dilakukan penyelesaian secara tripartite dengan memanggil pekerja dan pengusaha untuk dilakukan mediasi (Rahma Pertiwi & Septarina Budiwati, 2018).

Terhadap permohonan Pemohon, Dinas Tenaga Kerja tidak bersedia melakukan penyelesaian tripartite karena senyatanya dalam pendapat Dinas Tenaga Kerja yang berperan sebagai mediator, dalam sengketa ini para pihak belum melakukan perundingan secara bipartite, sehingga syarat untuk mengadakan tripartite dipandang belum terpenuhi, sehingga meskipun permohonan sudah diterima Dinas Tenaga Kerja, namun tetap tidak dilakukan tripartite sehingga Dinas tenaga kerja tidak menerbitkan Anjuran untuk penyelesaian kasus.

Tidak adanya tindakan Dinas Tenaga Kerja atas permohonan Pengusaha melaksanakan bipartite sesuai dengan maksud Undang-undang, Pengusaha mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha negara dengan mekanisme sesuai ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan yaitu tentang fiktip positip, dimana Pemohondalam hal ini Pengusaha mengacu kepada ketentua Pasal 1 Angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2017, adalah Pihak yang permohonannya dianggap dikabulkan secara hukum akibat tidak ditetapkannya Keputusan dan/atau tidak dilakukannya tindakan.

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan penelitian ini yaitu; 1) Bagaimanakah Mekanisme Kerja Mediator Dinas Tenaga Kerja Melaksanakan Tripartit Dalam Sengketa Pemutusan Hubungan Kerja? 2) Apakah Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang Memerintahkan Dinas Tenaga Kerja Selaku Mediator Untuk Mengeluarkan Anjuran Dalam Sengketa Pemutusan Hubungan Kerja?

 

Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah penelitian yang menjadikan hukum sebagai objek penelitiannya. Hukum bukan hanya dalam arti sebagai kaidah atau norma saja (law in book), tetapi meliputi hukum yang berkaitan dengan perilaku kehidupan masyarakat (law in action) (Waluyo, 2002). Secara garis besar, penelitian hukum dibedakan menjadi dua jenis, yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, yakni berupa penelitian terhadap sistematika hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum.

Pendekatan yang akan dipakai dalam penulisan ini adalah pendekatan yang menelaah aturan-aturan yang bersangkutan dengan isu hukum (statute approach), pendekatan yang beranjak dari doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum (conceptual approach) dan pendekatan yang menelaah latar belakang dan perkembangan isu yang diteliti (historical approach).

 

Hasil dan Pembahasan

A.    TinjauanUmum Kehakiman Dan Pelaksanaan Oleh Badan Peradilan

1.      Kekuasaan Kehakiman

Menurut pasal 24 Undang-undang Dasar 1945, ditegaskan bahwa: 1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Busthami, 2017). 2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung. 3) Dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan. 4) Peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan Peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh. 5) sebuah Mahkamah Konstitusi. 6) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Dengan dermikian, Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman dibawah Mahkamah Ahung terdiri dari 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu Tomson (2022): 1)Lingkungan Peradilan Umum. 2) Lingkungan Peradilan Agama. 3) Lingkungan Peradian Militer dan 4) Lingkungan peradilan Tata Usaha negara.

Pasal 1 dan Pasal 2 UU Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai definisi peradilan dan pengadilan, yang dimaksud peradilan dalam pasal tersebut adalah peradilan yang dilaksanakan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Peradilan (rechspraak atau judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara dalam penegakan hukum dan keadilan (Darmawan & Darmawan, 2023).

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa definisi badan peradilan adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang bertugas menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya dan tugas lain yang diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 

2.      Kewenangan Peradilan Umum

Berdasarkan Undang - Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Lembaga Peradilan adalah suatu lembaga yang bertugas memeriksa, memutuskan, dan mengadili perkara. Lembaga Peradilan Umum adalah sebuah Pelaksana kekuasaan dalam kehakiman untuk rakyat keadilan untuk perkara perdata dan perkara pidana. Peradilan Umum kekuasaan kehakiman pada lingkungan Peradilan Umum diselenggarakan pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

 

3.      Kewenangan Peradilan Agama

Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, tugas dan wewenang Pengadilan Agama yaitu untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama islam di bidang perkawinan; waris; wasiat; hibah; wakaf; zakat; infaq; shadaqah; ekonomi syariah. Kewenangan peradilan umum berdasarkan Pasal 25 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 25 ayat (5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

4.      Kewenangan Peradilan Militer

Peradilan Militer sudah ada di Indonesia sejak masih zaman penjajahan Belanda dengan nama Krijgraad dan Hoog Militair Gerechtsshof. Setelah Indonesia merdeka, Peradilan Militer tetap ada dengan nama dan struktural yang berbeda. UndangUndang Nomor 7 Tahun 1946 tentang peraturan mengadakan pengadilan Tentara di samping Pengadilan Biasa mengatur dua tingkat Pengadilan Militer, yakni Mahkamah Tentara dan Mahkamah Agung Tentara.

Dua jenis Pengadilan Militer tersebut berubah kembali detelah UndangUndang Nopmor 31 Tahun 1997 disahkan, yakni menjadi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Secara spesifik wewenang Peradilan Militer sebagai tercantum dalam UndangUndang Nomou 31 Tahun 2009 adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

 

 

 

5.      Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata usaha Negara memiliki dua definisi, yaitu dalam arti luas dan arti sempit (Putri, Rahmat, & Martua, 2019). Definisi Peradilan Tata Usaha Negara dalam arti luas yaitu peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan instansi-instansi Administrasi Negara, baik bersifat perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara adat dan perkara administrasi negara. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Badan Peradilan yang menyelesaikan mengenai sengketa Tata Usaha Negara. Asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Terbentuknya Pengadilan-Pengadilan Khusus di bidang administrasi (tata usaha negara) tersebut tidak terlepas dari proses penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara yang dianggap kurang efisien dan kurang efektif karena disamping memerlukan waktu yang cukup lama karena harus melalui proses pemeriksaan tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali serta manfaatnya yang belum optimal karena Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang menurut memutus dari segi legalitas saja, sedangkan ganti rugi harus digugat lagi melalui Peradilan Umum (Priyatna, 2002).

Untuk Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Badan/Pejabat Daerah dan keputusan yang jangkauan berlakunya di wilayah daerah yang bersangkutan, penyelesaiannya memakai sistem dua tingkat, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Tingkat Terakhir (vide pasal 45 A ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor: 9 Tahun 2004).

 

6.      Pengadilan Hubungan Industri ( PHI ) Sebagai Pengadilan Khusus

Tuntutan kebutuhan adanya peradilan khusus dalam bidang tertentu tidak dapat dinafikan sebagai suatu kebutuhan dalam lalulintas hukum yang menyangkut karakteristik kasus kasus tertetntu baik dari sisi proses maupun sifat dari sengketa itu sendiri. Hal ini terjadi dalam perkembangan sengketa sengketa perburuhan, yang sekarang lebih dikenal dengan sengketa hubungan industrial.

Penyelesaian perselisihan yang sebelumnya melalui badan administrasi negara beralih ke peradilan khusus dalam lingkungan peradilan umum setelah lebih dahulu ditempuh penyelesaian bipartite dan bila gagal dapat ditingkatkan pada penyelesaian secara tripartite dengan cara mediasi, konsiliasi, dan arbitrase (penyelesaian di luar pengadilan). Perubahan yang signifikan tersebut memberikan kebebasan kepada pekerja dan pengusaha untuk memilih sendiri cara penyelesaian perselisihan diantara mereka, apakah diluar pengadilan atau melalui Pengadilan Hubungan Industiral (PHI).

Secara spirit dan konsep, apa yang ditawarkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial memang lebih memberikan harapan dan mengurangi rasa pesimis karena bagaimanapun, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial telah melakukan reformasi institusi dan reformasi mekanisme dalam penyelesaian perselisihan perburuhan yang ditandai dengan pilihan metode penyelesaian, pembentukan PHI, peniadaan lembaga banding, dan pembatasan waktu dalam penanganan perkara.

Hal ini untuk lebih menjamin terciptanya rasa keadilan bagi pihak yang beperkara, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian sengketa diutamakan melalui perundingan guna mencari musyawarah mufakat di luar pengadilan. Selama kurang lebih 49 tahun sejak 1957 hingga 2003, bangsa Indonesia sama sekali belum mempunyai lembaga peradilan ketenagakerjaan sendiri.

Kecuali, lembaga nonpengadilan yang bernama Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P). Keinginan memiliki lembaga peradilan ketenagakerjaan sendiri terwujud, setelah lahir Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berlaku effektif sejak 14 Januari 2005 silam.

Undang-Undang ini tidak hanya mengatur penyelesaian perkara diluar pengadilan, tetapi juga melalui lembaga peradilan ketenagakerjaan yaitu Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Satu hal yang sangat menggembirakan bagi perkembangan hukum ketenagakerjaan kita adalah dimasukannya Pengadilan hubungan Industrial (PHI) sebagai pengadilan khusus di bawah pengadilan negeri dalam struktur hirarkis lingkungan peradilan umum (Wijayanti, 2016). Selain Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer.

Pengadilan Hubungan Industrial adalah lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua jenis perselisihan ketenagakerjaan. Hakim yang memeriksa dan memutus perselisihan tersebut diatas terdiri dari hakim dari lembaga peradilan dan hakim Ad Hoc. Pada pengadilan ini, serikat pekerja dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum mewakili anggotanya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi perselisihan hubungan industrial menjadi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.

Pembagian perselisihan menjadi beberapa klasifikasi tersebut menjadi sebuah kesulitan tersendiri dalam implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ini, yaitu harus dimulai dengan pengetahuan dalam membedakan jenis perselisihan

 

B.     Kewenangan MediatorDalam Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial

1.      PerananMediator DalamPenyelesaian perselisihanPemutusan Hubungan Kerja

Awal mula perselisihan hubungan industrial ini adalah bahwa telah terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap10 (sepeluh) pekerja oleh PT. Nippisun Indonesia dengan alasan pelanggaran serius tertanggal 13 November 2019. Kemudaian berdasarka paparan kasusposisi menyatakan, Bahwa Pemohonyang berkedudukan di Kawasan MM 2100, Jl. Sulawesi I. 1-1, Desa Gandamekar, Kecamatan Cikarang Barat, Kab. Bekasi, Jawa Barat mengajukan permohonan mediasi kepada Kepala Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi atas Pemutusan Hubungan Kerja terhadap 10 (sepuluh) eks karyawan Pemohon�� pada tanggal 13 Nopember 2019.

Kemudaian Pada tanggal 13 Desember 2019 Termohon mengundang Pemohon untuk datang ke Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bekasi dengan agenda bertemu dengan Bapak Suwato S.Ag.MM sebagai mediator, namun pada saat itu 10 (sepuluh) eks karyawan Pemohon yang juga diundang tidak datang hadir; Pada pertemuan tersebut Pemohon datang dan meminta agar acara hari itu merupakan agenda mediasi karena Pemohon menganggap bahwa berkas permohonan mediasi sudah lengkap.

Dalam proses mediasiPemohon disarankanOleh Termohon agarmenjalankan proses bipartiteharus dilakukan secara benar dengan membuat panggilan secara sah dan dibuatkan berita acara terhadap proses acara bipartite sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)bahwa Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.

Atas saran dari Termohon, Pemohon kembali membuka perundingan bipartit dan mengundang 10 (sepuluh) orang eks karyawan Pemohon pada tanggal 11 & 13 Februari 2020, namun permintaan perundingan bipartit yang dilakukan oleh Pemohon atas petunjuk surat dari Termohon tersebut tetap gagal karena ke 10 (sepuluh) eks karyawan Pemohon tidak menghadiri ajakan perundingan bipartit dari Pemohon. Selanjutnya terhadapberkas ajakan perundingan bipartit sebagai lampiran Permohonan Mediasi yang diajukan oleh Pemohon, Termohon tidak pernah menanggapinya bahkan cenderung mendiamkan permohonan mediasi dari Pemohon yang menyampaikan kelengkapan berkas permohonan mediasi pada tanggal 2 Maret 2020 atas petunjuk surat Termohon tersebut.

Bahkan sejak tanggal 2 Maret 2020 Termohon tidak pernah membuka atau mengundang Pemohon untuk datang mediasi agar supaya Pemohon mendapatkan anjuran tertulis sebagai kepastian hukum atas upaya penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap 10 (sepuluh) orang eks karyawan Pemohon.

Selain tidak penah ditanggapinya permohonan pencatatan dari Pemohon kepada Termohon tersebut dengan menerbitkan/ menetapkan anjuran untuk Pemohon, Termohon pun setelah tanggal 2 Maret 2020 hingga tangal 14 April 2020 tidak pernah menyatakan sikap tentang lengkap atau tidaknya berkas permohonan mediasi yang dimohonkan oleh Pemohon, sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2004 entang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: �Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas�;

Dalam permasalahan ini Pemohon menganggap Termohon telah lalai dalam kewenanganyatidakmenerbitkan/menetapkan Anjuran Tertulis. Sebagaimana ketentuan undang-undang mempunyai waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. 17/2014 tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi, yang berbunyi sebagai berikut: �Penyelesaian melalui mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 harus sudah selesai dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pelimpahan penyelesaian perselisihan�.

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa PT. Nipisun Indonesia yang telah melakukanpemutusan hubungan kerja terhadap10 (sepeluh) pekerjaolehPT. Nippisun Indonesia dengan alasan pelanggaran serius tertanggal 13 November 2019 Pemutusan Hubungan kerja yang dilakukan Tidaksesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Apabila mengkaji kasus yang dialami dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja PT. Nipisun Indonesia dapat kita cermati bahwa ada indikasi suatu upaya untuk melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. Nipisun Indonesia. Hal ini dapat terlihat dengan yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Hal ini mengutipdalam pokok perkara Termohon untuk menguatkan dalil-dalil Jawabannya bahwaBahwa disampaikan oleh Termohon bahwa Pemohon sebelum mengajukan mediasi tripartite kepada mediator sebaiknya dilakukan proses bipartite terlebih dahulu dan dibuatkan berita acara bipartitnya agar dapat dijadikan syarat mengajukan tripartite oleh karena itu hal tersebut harus ditempuhbegitu juga berdasarkan keerangan saksibahwa Saksi menyatakan dari awal tidak ada pemanggilan yang ditujukan kepada saksi tentang perundingan bipartit maupun tripartit�.

Dengan demikian apa yang telah dilakukan oleh PT. NIpisun Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat terlihat dengan yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku yakni PHK yang dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme tata cara penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial. Selanjutnya Apabila kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis, selanjutnya kedua belah pihak dapat melanjutkan perselisihan Hubungan Indutrial perselisihannya kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

 

Kesimpulan

Dalam sengketa tenaga kerja, apabila Dinas Tenaga Kerja sebagai Mediator tidak bersedia mengeluarkan Anjuran karena tidak dilaksanakan acara Tripartit dengan alasan dalam permohonan permintaaan tripartite tidak dilengkapi dengan bukti adanya lebih dahulu proses bipartite, maka anggapan tidak keluarnya Anjuran tersebut adalah merupakan fiktip positif sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah tidak benar.

Disemua sengketa hubungan industrial upaya penyelesaian sengketa antara pekerja dengan pengusaha merupakan satu syarat absolut yang tidak dapat disimpangi adanya proses perundingan para pihak yaitu pekerja dengan majikan (Hernawan, 2018). Apabila syarat bipartite tidak dipennuhi maka Disnaker tidak dapat melakukan proses tripartite yang akhirnya bermuara pada Anjuran. Sehingga tindakan Dinas Tenaga kerja yang tidak mengeluarkan Anjuran sebagai akibat tidak adanya proses tripartite disebabkan tidak ada bukti pelaksanaaan bipartite, hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai fiktip positip yang merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara.

 

BIBLIOGRAFI

Anggraini, Novita, Firnanda, Cucu Irma, Faizha, Salsaliya Eka, Varifqi, Helmi, & Ervina, Riza Dwi. (2023). Penerapan Hubungan Industrial Terhadap Para Pemuda Desa Modongan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Sejahtera: Jurnal Inspirasi Mengabdi Untuk Negeri, 2(3), 187�191.

 

Busthami, Dachran. (2017). Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Negara Hukum di Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 46(4), 336�342.

 

Darmawan, Putu Dodi Darmawan Putu Dodi, & Darmawan, Putu Dodi. (2023). PERADILAN ADAT DAN ARTI PENTING PERADILAN ADAT BAGI MASYARAKAT HUKUM ADAT DI BALI. Sabda Justitia, 2(1), 20�29.

 

Hernawan, Ari. (2018). Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial. Yogyakarta: UII Press.

 

Landjar, Faradiah. (2021). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Antara Pekerja/Buruh Dan Perusahaan di Kabupaten Ende. Universitas Kristen Indonesia.

 

Liling, Trisna Harjuni, Pangaribuan, Piatur, & Roziqin, Roziqin. (2019). Perlindungan Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Industrial di Sektor Swasta. Journal de Facto, 6(1).

 

Mantili, Rai. (2021). Konsep penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara serikat pekerja dengan perusahaan melalui Combined Process (Med-Arbitrase). Jurnal Bina Mulia Hukum, 6(1), 47�65.

 

Mulyadi, Lilik, & Subroto, Agus. (2011). Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Teori dan Praktik. Alumni.

 

Priyatna, Abdurrasyid. (2002). Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar. Fika Hati Aneska, Jakarta.

 

Putri, Wirda Eka, Rahmat, Rahmat, & Martua, Junindra. (2019). Peranan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menciptakan Pemerintahan Yang Baik Ditinjau Dari Segi Hukum Administrasi Negara. JURNAL PIONIR, 5(4).

 

Rahma Pertiwi, Diara, & Septarina Budiwati, S. H. (2018). Peran Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Kabupaten Bantul Dalam Penyelesaian Perkara Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Universitas Muhammadiyah Surakarta.

 

Simpen, I. Ketut, & Wismani, Herry Indiyah. (2019). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jurnal Ilmiah Raad Kertha, 2(2), 82�97.

 

Tomson, Situmeang. (2022). Reposisi pengadilan pajak menurut sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Honeste Vivere, 32(2), 108�122.

 

Waluyo, Bambang. (2002). Penelitian Hukum dalam Praktek, sinar grafika. Jakarta.

 

Wijayanti, Asri. (2016). Hukum Ketenagakerjan Pasca Reformasi (Sixth Edit). Jakarta: Sinar Grafika.

 

Copyright holder:

Iwan, P.L Tobing (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

This article is licensed under: