Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 9, September
2023
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG SEDANG
MENJALANI PROSES PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK
Supriyatna,
Adi Sujatno, Umar Aris
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
E-mail: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Anak
yang tumbuh dalam lingkungan yang berisi
orang-orang terpelajar, sopan,
ramah cenderung akan mengikuti orang sekitarnya karena yang dilihat adalah tata krama yang dilakukan oleh orang dewasa. Jika
anak tumbuh dalam lingkungan yang berisi orang-orang yang tidak berpendidikan atau bahkan dikelilingi pelaku-pelaku kejahatan, maka anak tersebut
akan lebih cenderung berperilaku kasar dan tidak segan untuk melakukan
kejahatan ataupun kekerasan. Metode penelitian yang
penulis gunakan adalah metode yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengutamakan data
kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum
primer,sekunder maupun tersier. Penelitian ini meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap anak yang sedang menjalani proses pembinaan di
Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA). Berdasarkan hasil
penelitian, penulis menyimpulkan bahwa Bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjalani proses pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing, berhak
mendapatkan perawatan baik perawatan jasmani atau rohani,
berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran, berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, berhak menyampaikan keluhan, berhak mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, berhak mendapatkan kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya, berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), pembebasan bersyarat (asimilasi), mendapatkan cuti (cuti mengunjungi keluarga dan cuti menjelang bebas).
Kata kunci: Anak;
Perlindungan Hukum; Pembinaan
Di LPKA.
Abstract
Children who grow up in an environment that contains
educated, polite, friendly people tend to follow people around them because
what is seen is the manners carried out by adults. If the child grows up in an
environment that contains uneducated people or even surrounded by perpetrators
of crime, then the child will be more likely to behave violently and not
hesitate to commit crimes or violence. The research method that the author uses
is the normative juridical method, which is research that prioritizes literature
data, namely research on secondary data. The secondary data can be primary,
secondary or tertiary legal material. This research includes research on
positive legal provisions in force in Indonesia relating to legal protection of
children who are undergoing the formation process at the Special Child
Development Institute (LPKA). Based on the results of the study, the author
concludes that the form of legal protection for children who undergo the
formation process at the Special Child Development Institute is the right to
worship in accordance with their respective religions and beliefs, the right to
get care both physical and spiritual care, the right to education and teaching,
the right to get proper health and food services, the right to complain, the
right to get reading materials and to follow broadcasts Other mass media that
are not prohibited, entitled to visits by family, legal counsel, or certain
other persons, are entitled to reduced criminal terms (remission), parole
(assimilation), leave (leave to visit family and leave before release.
Keywords: Child;
Legal Protection; Coaching at LPKA.
Pendahuluan
Anak merupakan suatu faktor yang penting dari suatu bangsa,
dimana anak merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa dan generasi
penerus bangsa yang seharusnya dijaga dan dilindungi. Sebagaimana amanat konstitusi Indonesia atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa: �setiap anak berhak atas
kelangsungan tumbuh, hidup, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Setiadi, 2017).
Faktor lingkungan memiliki pengaruh dalam pembentukan karakter anak. Lingkungan sosial tempat anak
bersosialisasi akan mempengaruhi sifat dan karakter anak tersebut
karena anak sangat mudah terpengaruh dengan orang sekitarnya (Santika
et al., 2019). Jika anak
berada dalam lingkungan yang baik maka akan berpengaruh
baik bagi karakter anak tersebut,
begitu pula sebaliknya, lingkungan yang buruk akan memberi pengaruh
buruk karena anak belum bisa
membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan
yang berisi orang-orang terpelajar,
sopan, ramah cenderung akan mengikuti orang sekitarnya karena yang dilihat adalah tata krama yang dilakukan
oleh orang dewasa (Nawawi Arief, 2009). Jika anak
tumbuh dalam lingkungan yang berisi
orang-orang yang tidak berpendidikan
atau bahkan dikelilingi pelaku-pelaku kejahatan, maka anak tersebut akan
lebih cenderung berperilaku kasar dan tidak segan untuk
melakukan kejahatan ataupun kekerasan.
Hal-hal seperti diataslah
yang biasanya menjadi faktor anak dibawah
umur pun dapat melakukan tindak pidana, mulai dari
melakukan pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, penyalahgunaan narkoba, bahkan pembunuhan di umur yang terbilang masih sangat muda. Anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana tidak bisa
sepenuhnya disalahkan karena perbuatannya. Peran orang tua, masyarakat serta pemerintah mempunyai andil yang besar dalam mencegah
terjadinya kejahatan di usia dini.
Anak yang melakukan tindak pidana harus tetap
mempertanggungjawabkan tindakannya
agar anak tersebut menyadari perbuatannya itu salah dan tidak mengulangi kesalahannya. Salah satunya adalah menempuh proses hukum jika kejahatan yang dilakukan tergolong berat. Salah satu hak dari seorang
anak adalah mendapatkan perlindungan. Secara hukum, negara Indonesia telah memberikan perlindungan kepada anak khususnya Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selain
itu perlindungan anak juga diberikan kepada anak yang telah disempurnakan dengan berlakunya Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Siddiq,
2015).
Anak yang dijatuhi pidana penjara oleh pengadilan maka akan ditempatkan
di Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA). Adanya LPKA yang menjadi tempat anak menjalani
hukumannya diharapkan dapat membina atau
menata kembali perilaku anak yang menyimpang sehingga dikemudian hari anak tersebut tidak
mengulangi perbuatannya dan
siap dikembalikan kepada masyarakat. LPKA dibuat agar narapidana anak tidak digabungkan
dengan narapidana dewasa di Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas).
Secara psikologi,
seorang anak yang sering berinteraksi dengan orang dewasa pola perilakunya akan mengikuti orang sekitarnya terlebih lagi jika narapidana
anak sering berinteraksi dengan narapidana dewasa yang telah melakukan kejahatan akan timbul kecenderungan anak tersebut semakin
jahat atau mengetahui cara berbuat kejahatan yang dilakukan oleh penjahat yang lebih berpengalaman. Belum lagi masalah kekerasan
seksual yang kerap terjadi di Lapas, tentu saja anak
akan menjadi sasaran utama karena
fisiknya yang lemah sehingga sulit melakukan perlawanan. Banyaknya dampak negatif yang akan timbul maka perlu
dipisahkan antara narapidana anak dengan narapidana dewasa (Anak, 2016).
Penjatuhan pidana
bagi anak yang melakukan pidana harus memperhatikan kesejahteraan anak tersebut supaya tidak memberi pengaruh
buruk bagi tumbuh kembangnya. Meskipun anak tersebut
telah melakukan kejahatan di masa kecilnya namun masih besar
harapan untuk anak tersebut berubah
menjadi lebih baik. Masa depannya pun masih panjang sehingga
masih dapat diperbaiki dengan penanganan dan pembinaan yang benar.
Untuk melaksanaan
pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan
mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan
secara khusus. Ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum yang melindungi anak yang tersangkut masalah hukum, yang dalam Pasal 1 angka
(1), pengertian sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan
proses penyelesaian perkara
Anak yang berhadapan dengan
hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana.
Perlu perlakuan
khusus dalam membina narapidana anak, menurut Pasal
28 huruf b ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 setelah
amandemen setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Negara Indonesia yang
juga menjadi pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak
(Convention on the Rights of the Child) yang mengatur
prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Meskipun
ditempatkan dalam LPKA, hak mendapat pendidikan
tidak boleh diabaikan sesuai Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,
yang menjelaskan bahwa setiap LPKA wajib melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Pendidikan tersebut
dilaksanakan di dalam LPKA
dan apabila telah berhasil menempuh pendidikan tersebut maka akan diberikan
Surat Tanda Tamat Belajar yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang.
Terkait dengan
hal-hal yang uraikan diatas, kiranya perlu dikaji mengenai
perlindungan hukum terhadap anak, apakah pembinaan khususnya di bidang pendidikan yang disediakan LPKA sudah sesuai dengan
aturan hukum yang ada sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan uraian
di atas maka rumusan penelitian ini yaitu; 1) Bagaimana
bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjalani proses pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak? 2) Bagaimana hambatan dalam proses pembinaan anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak?
Metode Penelitian
Menurut Peter Mahmud, �Penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi� (Marzuki, 2013). Metodologi penelitian
merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada di dalam
suatu penelitian yang berfungsi sebagai suatu pedoman bagi
ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa dan memahami sebuah fenomena atau permasalahan
yang sedang diteliti untuk mendapatkan tujuan yang ingin diketahui dan dicapai (Soekanto, 2007).
Jenis Penelitian yang dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah
dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data
kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum
primer,sekunder maupun tersier (Hanitijo, 2000). Penelitian ini meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap anak yang sedang menjalani proses pembinaan di
Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA).
Hasil dan Pembahasan
A. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjalani Proses
Pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
1. Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Anak
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita� luhur
bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu,
perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkemang dengan wajar baik secara
rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan sebuah usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peran, yang menyadari betul akan pentingnya anak bagi nusa
dan bangsa di kemudian hari (Cahyaningtyas, 2017).
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat,
dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Proses perlindungan anak tidak boleh dilakukan
secara berlebihan dan harus mempehatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu
sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negatif.
Perlindungan anak dilaksanakan secara rasional, bertanggung jawab danbermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien. Usaha perlindungan anak tidak boleh
mengakibatkan matinya inisistif, kratifitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain
dan berperilaku tak terkendali, sehingga anak tidak memiliki
kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya (Marsaid, 2018).
Perlindungan hak-hak
anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama
didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan
dependent, disamping karena
adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik jasmani, rohani
maupun sosial. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tuanya serta bagi pemerintah,
maka koordinasi kerjasama perlinduungan anak perlu diadakan
dalam rangka mencegah ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan (Gosita, 1985).
Dari bunyi pasal tersebut,
tentunya sudah sangat jelas bahwa perlindungan
anak menjadi prioritas utama bagi setiap Warga Negara. Setiap Warga Negara pada hakekatnya
ikut bertanggungjawab akan perlindungan anak yang mana implemetasi dari perlindungan anak tersebut adalah
untuk kesejahteraan anak. Proses perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berprestasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusaiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan Sejahtera (Gultom & Sumayyah, 2014).
Indonesia telah meratifikasi konvensi Hak-Hak Anak berdasar
Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak),
oleh karena itu Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan
ketentuan yang termaktub di
dalam Konvensi Hak-Hak Anak.
Secara umum hak-hak anak dapat
dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori Hak-Hak Anak yaitu: a) Hak Terhadap Kelangsungan Hidup (the Right to Survival). b) Hak Tumbuh
Kembang (development right). c) Hak Terhadap Perlindungan (protection rights). d) Hak untuk berpartsipasi
(participation rights).
Berbicara mengenai
pemenuhan hak-hak terhadap anak tentunya
haruslah memperhatikan pula
terhadap pemenuhan hak-hak anak yang sedang berhadapan dengan hukum, menginggat
ketika seorang anak masuk dalam
proses peradilan hak-hak
yang melekat pada anak tersebut lebih rentan untuk dilanggar
ketika sedang menjalani proses peradilan.
Selain itu di dalam pelaksanaan hukuman haruslah dibedakan antara penanganan orang dewasa dengan anak
yang sedang menjalani masa pidana.
Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan
salah satu cara melindungi tunas bangsa masa depan. Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum
yang berlaku. Perlindungan ini diperlukan menginggat anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mental dimana anak memerlukan sebuah perlindungan dan perawatan khusus. Perembangan perlindungan anak tidak hanya
terjadi di Indonesia, akan tetapi juga di Negara-negara di dunia antara
lain di Chicago.
Prinsip-prinsip perlindungan
terhadap anak dalam proses peradilan pidana anak diatur
oleh sejumlah konvensi internasional yang menjadi dasar acuan pemerintah
Indonesia dalam menyelenggarakan
atau melaksanakan peradilan anak dan menjadi dasar perlakuna
terhadap anak-anak yang berada dalam sistem
peradilan pidana dapat diuraikan sebagai berikut:
Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration Of Human Rights), yang mengatur tentang: 1) Setiap orang tidak boleh dianiaya atau diperlakukan secara kejam dengan
hukuman yang menghinakan.
2) Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku. 3) Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dibuang secara sewenang-wenang.
Konvenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Convenan
on Chivil and Political Right) yang mengatur tentang: 1) Setiap orang yang ditahan, saat penahanan harus diberitahukan alasan dan secepat mungkin diberitahu tentang segala tuduhan terhadapnya dan diperlakukan secara manusiawi dan dihormati martabatnya. 2) Setian orang tidak
boleh ditahan tanpa alasan dan menurut prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. 3)
Setiap orang yang ditahan atas tuduhan kejahatan
secepatnya disidangkan dan diperiksa.
Konvensi tentang
Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the child). Hak anak
yang wajib diberikan perlindungan oleh Negara ketika anak tersebut berhadapan
dengan hukum yaitu: 1) Anak tidak dapat dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam lain yang tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan, hukuman mati atau
pemenjaraan seumur hidup tanpa kemungkinan
pembebasan. 2) Anak tidak dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang.
Penagkapan, penahanan atau pemenjaraan sesuai dengan undang-undang,
dan harus digunakan sebagai upaya terakhir
dalam waktu sesingkat mungkin. 3) Anak yang ditahan arus diperlakukan
secara manusiawi dan dihormati martabat manusianya dan pemenuhan kebutuhannya.
Peraturan-peraturan Minimum Standar
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (The Beijing
Rules). Pada prinsipnya setiap
anak yang berhadapan dengan peradilan anak berhak medapatkan
perlakuan sebagai berikut: 1) Pelaksanaan peadilan pidana harus efektif, adil, dan manusiawi tanpa adanya perbedaan
dan diskriminasi. 2)�
Usia pertanggungjawaban
pelaku anak berkisar 7tahun hingga 18 tahun atau lebih
tua. 3) Saat penangapan anak harus dihindarkan
dari tindakan kekerasan fisik dan bahasa kasar. 4) Anak pelaku tindak pidana
diupayakan untuk dilakukan pengalihan dari proses formal ke informal
oleh pihak berwenang yang berkompeten.
Pedoman Peserikatan
Bangsa-Bangsa dalm rangka pencegahan tindak pidana remaja
tahun 1990 (United Nation Guidelines for the
Preventive of Juvenile Delinquency, �Riyadh Guidelines�), yang antara lain menyebutkan: 1) Keberhasilan pencegahan terhadap anak pelaku
tindak pidana memerlukan upaya dari seluruh masyarakat
guna menjamin perkembangan kea rah proses dewasa
secara harmonis dengan meghormati dan mengembangkan kepribadian mereka sejak masa kanak-kanak. 2) Anak harus mempunyai peran dan kerja sama aktif
dengan masyarakat agar tidak semata-mata menjadi objek sosialisai
ataupengawasan. 3) Program dan pelayanan
masyarakat untuk pencegahan tindak pidana anak agar dikembangkan, terutama dalam hal badan pengawasan sosial yang resmi agar dapat digunakan sebagai upaya terakhir.
2. Pembinaan Di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)
Pada hakikatya
pola sistem pemasyarakatan dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah banyak mengadopsi
Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (SMR). Salah satu konsep pemasyarakatan
yang merujuk pada SMR dapat
dilihat dari tujuan akhir pemasyarakatan,
dimana pembinaan dan pembimbingan terhadap narapidana dan anak pidana mengarah pada integrasi kehidupan di dalam masyarakat.
Dalam konsideran
UU No. 12 Tahun 1995 juga jelas
disebutkan bahwa penerimaan kembali oleh masyarakat serta keterlibatan narapidana dalam pembangunan merupakan akhir dari penyelenggaraan pemasyarakatan. Proses pembinaan
yang berlaku dalam sistem pemasyarakatan mengedepankan prinsip pengakuan dan perlakuan yang lebih manusiawi dibandingkan dengan sistem peenjaraan yang mengedepankan balas dendam dan efek jera.
Tujuan penyelenggaraan
sistem pemasyarakatan adalah pembentukan warga binaan menjadi
manusia yang seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana, kembali ke masyarakat,
aktif dalam pembangunan, hidup wajar sebagai warganegara
dan bertanggugjawab. Terkait
dengan hal ini Soejono Dirdjosisworo (1977) menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan pembinaan narapidana adalah segala daya upaya
perbaikan terhadap narapidana dengan maksud secara langsung
dan minimal menghindarkan pengulangan
tingkah laku yang menyebabkan keputusan hakim tersebut.
Lapas mempunyai
tugas pemasyarakatan dan berfungsi dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana atau anak didik,
memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja, melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib, serta melakukan
urusan tata usaha rumah tangga Lapas.
Sistem Pemasyarakatan identik dengan reintegrasi sosial, terpidana tidak hanya menjadi obyek
tetapi juga menjadi subyek dalam pembinaan (Dirjosisworo, 1977).
Lembaga Pembinaan Khusus Anak bukanlah tempat untuk menghukum anak, akan tetapi
diharapkan dapat dijadikan tetapi tempat untuk mendidik
anak sehingga tidak akan melakukan
tindak pidana lagi. Bentuk pembinaan
anak dikembangkan dalam rangka memelihara
masa depan anak yang bersangkutan. Hal tersebut bukan hal yang mudah untuk diimplementasikan
pada semua narapidana anak.
Muladi dan Barda
Nawawi mengemukakan bahwa perlindungan hukum bagi anak dalam
proses peradilan tidak dapat dilepaskan dari apa yang sebenarnya
tujuan atau dasar pemikiran dari peradilan anak (juvenile justice) itu sendiri yang bertolak dari dasar pemikiran
baru yang dapat ditentukan apa dan bagaimana hakikat wujud dari perlindungan
hukum yang sifatnya diberikan kepada anak. Tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan anak tidak dapat dilepaskan
dari tujuan utama untuk mewujudkan
kesejahteraan anak yang
pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan social (dan Muladi, 2007).
B.
Hambatan Dalam
Proses Pembinaan Anak Di� Lembaga
Pembinaan Khusus Anak
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) sebagai organiasi yang mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan terhadap Anak Pidana yang dititipkan di lembaga, mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pembinaan agar Anak Pidana mengalami perubahan dalam bertingkah laku selama masa pembinaan di dalam lembaga maupun kesiapan untuk kembali dalam lingkungan
masyarakat dan keluarga.
Anak Pidana yang berusia 12
tahun sampai dengan 18 tahun, adalah usia yang sedang memasuki masa pubertas di mana faktor kelompok bermainnya maupun dari lingkungannya
memiliki pengaruh yang besar terhadap diri mereka.
Usia 12 tahun
sampai dengan 18 tahun adalah suatu
masa di mana anak-anak berusaha
mencari jati dirinya di mana anak berusaha untuk memperoleh mpengakuan dari orang lain, baik dari teman-teman sepemainannya, sekolah maupun lingkungan sosialnya. Hal ini berkaitan dengan kegiatan pembinaan yang akan diberikan kepada anak-anak seusia mereka sehingga
tujuan dari pembinaan tersebut dapat tercapai artinya kegiatan pembinaan yang akan dilaksanakan harus mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan masa pertumbuhan mereka.
Hambatan-hambatan yang dihadapi
dalam pelaksanaan, pembinaan bagi Anak Pidana di Lembaga pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah sebagai berikut:
a. Hambatan di Bidang Pendidikan
Istilah pendidikan berasal dari kata paedagogie. Istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu puedos dan agoge vang berarti "saya membimbing, memimpin anak". Berdasarkan asal kata tersebut, maka pendidikan memiliki pengertian seorang yang tugasnya membimbing anak Pidana di Lembaga pembinaan Khusus Anak (LPKA) di dalam pertumbuhannya kepada arah berdiri sendiri
serta bertanggung jawab. Pendidikan selalu dapat dibedakan menjadi teori dan praktek.
Teori pendidikan adalah pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogianya pendidikan itu dilaksanakan. Sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara konkret (nyata). Kumpulan dari semua proses yang memungkinkan seseorang Anak Pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) untuk mengembangkan kemampuan dan sikap-sikap serta bentuk-bentuk tingkah laku yang bernilai positif dalam masyarakat dimana dia hidup.
Proses sosial di mana orang dihadapkan
pada pengaruh lingkungan
yang terpilih dan terkontrol
(khusus di lingkungan sekolah), sehingga mereka dapat memperoleh
kemampuan sosial dan perkembangan individu yang
optimum. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan. Bahkan anak-anak yang cacat dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum, tetap
berhak memperoleh pendidikan dalam keterbatasannya. Walaupun harus mendekam di dalam Lembaga Pemasyarakatan
Anak, bagi anak yang berhadapan dengan hukum tetap berhak
memperoleh pendidikan melalui pembinaan di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Pembinaan terhadap
anak yang berhadapan dengan hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)) diperlukan suatu tahapan-tahapan, sehingga efektifitas sanksi vang dijatuhkan kepada anak dapat mencapai
sasaran yang diharapkan yaitu anak dapat
kembali hidup secara normal tanpa ada suatu tekanan
secara psikologi dalam menjalani kehidupan masa depannya.Salah satu tahap yang terpenting adalah tahapan pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan.Melalui
pembinaan yang bersifat mendidik di Lembaga Pemasyarakatan
Anak, memberi kesempatan bagi anak yang berhadapan dengan hukum untuk menjadi
manusia yang lebih bertanggungjawab.
b. Hambatan di Bidang Pembina
Pembina yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) masih membutuhkan suatu pengetahuan khusus tentang pembinaan terhadap anak yang bermasalah.Pengetahuan khusus ini salah satunya mengenai kemampuan menciptakan hubungan dan komunikasi yang baik antara pembina
dengan Anak Pidana di
Lembaga Pembinaan Khusus
Anak (LPKA).
Menciptakan pola hubungan dan komunikasi yang baik antara pembina
dan Anak Pidana merupakan suatu tugas yang tidak gampang karena
para pembina membutuhkan keterampilan khusus termasuk pengetahuan mengenai psikologi perkembangan Anak Pidana (Silalahi
et al., 2019). Hambatan
dalam pola hubungan dan komunikasi antara Pembina dengan Anak Pidana menjadi bahan pertimbangan bagi semua pihak
untuk terwujudnya tuivan pembinaan yang diharapkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak
(LPKA).
Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap Anak Pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), diperoleh keterangan bahwa salah satu faktor penghambat yang dihadapi Anak Pidana di dalam mengikuti kegiatan pembinaan adalah faktor pembina
atau pegawai. Anak Pidana menganggap pembina yang memberikan masih kurang dalam
hal kejiwaan, perasaan dan keinginan Anak Pidana.
c. Hambatan di Bidang Motivasi
Motivasi adalah
suatu dorongan/keinginan yang timbul dari dalam diri
seseorang maupun dari lingkungan sosialnya. Setiap anak memiliki semangat/motivasi yang masih kuat dan hal ini
merupakan potensi yang harus kembangkan ke arah yang positif.
Namun disisi lain, seorang anak
yang berusia dari 14 tahun sampai dengan
18 tahun sangat rentan terhadap pengaruh negatif yang datang baik dari dalam
maupun dari luar dirinya sehingga
akan mempengaruhi motivasi dalam mengikuti suatu kegiatan termasuk kegiatan pembinaan seperti dalam mengikuti
program pembinaan Pembebasan
Bersyarat (PB), Cuti Menjelang
Bebas (CMB), Assimilasi dan
Cuti Bersyarat (CB) yang dilaksanakan
di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Salah satu faktor yang mempengaruhi kurangnya motivasi atau semangat
Anak Pidana dalam mengikuti kegiatan pembinaan adalah keadaan ekonomi keluarga yang kurang mampu, yaitu Anak Pidana, "Anak Hilang" (tidak- jelas asal
usul keluarganya), anak yang orang tuanya yang bekerja sebagai penarik becak, anak yang orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap, serta anak yang orang tuanya bekerja sebagai pedagang kecil.
d. Hambatan di Bidang Sarana dan Prasarana
Hambatan yang dihadapi
pembina dalam mendidikan Anak Pidana adalahterbatasnya sarana atau fasilitas yang diadakan pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Minimnya sarana penunjang kegiatan olahraga, sarana prasarana untuk mengembangkan bakat yang dimiliki, dll akan
mengakibatkan keengganan dari Anak Pidana untuk mengikuti kegiatan yang diadakan di LPKA
Pembina maupun Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan sendiri kegiatan yang diadakan sesuai dengan kebutuhan
lembaga dan Anak Pidana. Pihak lembaga hanya
diperkenankan melakukan kegiatan yang telah ditetapkan sesuai Petunjuk Pelaksana (Juklak) dan Petunjuk Teknis
(JUKNIS) sesuai dengan
Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Selanjutnya hasil pengamatan penulis di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) mengatakan bahwa salah satu hambatan yang dihadapi di dalam mengikuti kegiatan pembinaan adalah terbatasnya sarana dan prasarana. Diantaranya yaitu; belum tersedianya
buku-buku yang memadai di Perpustakaan, terbatasnya pakaian dan sepatu yang dibutuhkan untuk kegiatan Pramuka, peralatan untuk kegiatan pelatihan kerja seperti pelatihan
perbengkelan, meubel dan pelatihan menjahit kurang memadai.
Kesimpulan
Bentuk perlindungan hukum
terhadap anak yang menjalani proses pembinaan di
Lembaga Pembinaan Khusus
Anak adalah berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing, berhak mendapatkan
perawatan baik perawatan jasmani atau rohani, berhak
mendapatkan pendidikan dan pengajaran, berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, berhak menyampaikan
keluhan, berhak mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang, berhak mendapatkan kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya, berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), pembebasan bersyarat (asimilasi), mendapatkan cuti (cuti mengunjungi keluarga dan cuti menjelang bebas).
Perlindungan hukum bagi
anak yang melanggar tindak pidana diharapkan
mampu melindungi hak-hak anak. Keadilan
restoratif sebagai tujuan dalam melaksanakan
Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dimaksudkan mampu menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigma terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan si anak dapat
kembali ke lingkungan sosialnya secara wajar. Karena kejahatan narkotika adalah kejahatan tanpa korban, maka anak yang terlibat dalam kejahatan narkotika haruslah dianggap sebagai korban.
Hambatan dalam proses pembinaan
anak di Lembaga Pendidikan Khusus
Anak, yaitu hambatan dalam mewujudkan tujuan pembinaan yaitu reintegrasi sosial; a) Alat-alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembinaan belum tercukupi; b) Alat-alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembinaan mengalami kerusakan; c). Tidak adanya tenaga pengajar atau guru yang ahli dalam bidangnya; d) Program konseling belum memiliki seorang konselor dari LPKA; e) Masyarakat
Indonesia masih belum terbuka untuk menerima
kembali anak sebagai mantan pelaku tindak pidana;
f)� Kebutuhan terkait anggaran pembinaan belum terpenuhi; g) Beberapa Anak masih belum terbuka
atas dirinya dengan walinya di LPKA dan sulit diajak berubah
untuk menjadi lebih baik; dan h) Belum ada program yang berinteraksi langsung dengan masyarakat sehingga masyarakat tidak mempercayai Anak sebagai mantan narapidana untuk hidup berdampingan
dengan mereka
BIBLIOGRAPHY
Anak, K. P. (2016). Menggugat Peran Negara,
Pemerintah, Masyarakat dan Orang Tua dalam Menjaga dan Melindungi Anak.
Cahyaningtyas,
I. (2017). Perlindungan Anak Pidana Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Dalam
Perspektif Model Pembinaan Anak Secara Perorangan. Legality: Jurnal Ilmiah
Hukum, 24(1), 27�39.
dan
Muladi, B. N. (2007). Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung.
Dirjosisworo,
S. (1977). Sosio kriminologi: amalan ilmu-ilmu sosial dalam studi kejahatan.
Tribisana Karya.
Gosita,
A. (1985). Masalah perlindungan anak. (No Title).
Gultom,
M., & Sumayyah, D. (2014). Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem
peradilan pidana anak di Indonesia.
Hanitijo,
R. (2000). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Marsaid,
D. R. H. (2018). DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (MAQASID ASY-SYARI �AH).
Marzuki,
P. M. (2013). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo, Sudikno.
Nawawi
Arief, B. (2009). Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Perspektif Pembaharuan Hukum
Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Santika,
I. G. N., Kartika, I. M., & Wahyuni, N. W. R. (2019). Pendidikan karakter:
studi kasus peranan keluarga terhadap pembentukan karakter anak Ibu Sunah di
Tanjung Benoa. Widya Accarya, 10(1).
Setiadi,
E. M. (2017). Ilmu sosial & budaya dasar. Kencana.
Siddiq,
S. A. (2015). Pemenuhan Hak Narapidana Anak dalam Mendapatkan Pendidikan dan
Pelatihan. Pandecta Research Law Journal, 10(1).
Silalahi,
A., Marlina, M., Eddy, T., & Nasution, A. R. (2019). Analisis Hukum
Terhadap Pembinaan Anak Pidana Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Medan. ARBITER:
Jurnal Ilmiah Magister Hukum, 1(1), 98�108.
Soekanto,
S. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.
Copyright holder: Supriyatna Adi Sujatno, Umar Aris (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |