Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 09, September
2022
MENINGOENCEPHALOCELE POSTERIOR: SEBUAH
LAPORAN KASUS
Anggilia Yuliani Susanti,
Filipo David Tamara, Elsa Evalyn, Andrew Robert
Universitas Tarumanagara, RSD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Meningoencephalocele (ME) posterior adalah herniasi meningens dan bagian parenkim otak melalui defek tulang oksipital yang terutama disebabkan oleh kelainan kongenital. ME posterior lebih sering dijumpai pada populasi anak perempuan dengan rasio 1,9:1. Adapun, survival rate ME posterior hanya mencapai 55% dan berpotensi menyebabkan komplikasi kebocoran CSF (Cerebrospinal Fluid), meningitis, kejang, hidrosefalus, gangguan perumbuhan dan perkembangan, serta kematian. Studi laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan kasus ME posterior di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang dan membandingkannya dengan kajian literatur. Kami melaporkan seorang pasien neonatus perempuan, berusia 18 hari, dengan riwayat benjolan di bagian belakang kepala menyerupai kembang kol dan disertai nanah sejak lahir (21 Desember 2021) tanpa disertai defisit neurologis. Pemeriksaan laboratorium sebelum operasi menunjukkan leukositosis (21.700 sel/�L), trombositosis (357.000 sel/�L), dan pemanjangan APTT (40,3 detik). Tindakan kraniotomi dilaksanakan pada 6 Januari 2022 sedangkan pemeriksaan fisik terakhir sebelum pasien dipulangkan dilakukan pada 24 Januari 2022. Pada pemeriksaan fisik lanjutan (10 Februari 2022), dijumpai tanda-tanda vital dalam batas normal, makrosefali (lingkar kepala = 40 cm, >2SD menurut Kurva Nellhaus), dan gerakan ke-2 bola mata terlihat tidak simetris. Hasil CT-Scan menunjukkan perbaikan jika dibandingkan dengan studi pencitraan pada 23 Deselmber 2021 (gambaran ME oksipital, hidrosefalus non-komunikans, dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial / TIK). Secara garis besar, hasil alloanamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada kasus ini sesuai dengan kajian literatur.
Kata kunci: meningoencephalocele; posterior; oksipital; hidrosefalus; non-komunikans, kraniotomi
Abstract
The posterior meningoencephalocele (ME) is a herniation of the meningens
and part of the parenchyma of the brain through an occipital bone defect caused
mainly by congenital abnormalities. Posterior ME is
more common in the female population with a ratio of 1.9:1. Meanwhile, the
survival rate of posterior ME only reaches 55% and has the potential to cause
complications of CSF (Cerebrospinal Fluid) leakage, meningitis, seizures,
hydrocephalus, growth and development disorders, and death. This case report
study aims to describe the case of posterior ME at RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Semarang and compare it with a literature review. We reported a female neonatal
patient, aged 18 days, with a history of lumps on the back of the head resembling
cauliflower and pus from birth (21 December 2021) with no neurological
deficits. Laboratory tests before surgery showed leukocytosis (21,700
cells/μL), thrombocytosis (357,000 cells/μL), and APTT elongation (40.3
seconds). The craniotomy procedure was carried out on January 6, 2022, while
the last physical examination before the patient was discharged was carried out
on January 24, 2022. On further physical examination (February 10, 2022), vital
signs were found within normal limits, macrocephaly (head circumference = 40
cm, >2SD according to the Nellhaus Curve), and the movements of the 2
eyeballs looked asymmetrical. CT-Scan results showed improvement when compared
to imaging studies on December 23, 2021 (occipital ME images, non-communicant
hydrocephalus, and signs of increased intracranial pressure/ICT). Broadly
speaking, the results of alloanamnesis, clinical features, physical
examination, and supporting examinations in this case are in accordance with
the literature review.
Keywords:�meningoencephalocele; posterior; Occipital;
hydrocephalus; non-communicants, craniotomy
Pendahuluan
Encephalocele atau meningoencephalocele (ME) adalah kelainan kongenital yang tergolong langka yang disebabkan karena kegagalan pada proses embriogenesis. Sekitar 15-20% defek neural tube menyebabkan terjadinya encephalocele (Bolly, 2022). Defek neural tube dapat disebabkan karena kurangnya konsumsi suplemen asam folat pada saat masa kehamilan. Kelainan yang terjadi pada defek neural tube terjadi peningkatan sebesar 4.3 kali pada ibu yang mengalami hipertensi kronik dengan superimposed preeclampsia. Di dunia, rasio kejadian ME adalah 1: 5.000-10.000 kelahiran, terjadi lebih umum pada keturunan Hispanik dan penduduk asli Amerika. Prevalensi dan insidensi encephalocele di Etiopia adalah 10/100.000 anak dan 630/100.000 anak. Adapun, sekitar 75% kasus ME terjadi di bagian tulang oksipital (ME posterior).
����������������������� ME posterior (oksipital) merupakan herniasi
meningens dan bagian parenkim otak melalui defek tulang oksipital (di antara suttura
lambdoidea dan foramen magnum) yang terutama disebabkan kelainan
kongenital. Secara umum, kejadian ME posterior lebih sering dijumpai
pada anak perempuan daripada laki-laki (rasio prempuan dengan rasio 1,9 : 1 (Rahmawati, 2019). Adapun, anak laki-laki cenderung lebih sering
mengalami ME anterior.
����������� ����������� Secara garis besar, survival rate ME posterior hanya 55%. Hal ini sangat berbeda dengan survival rate ME anterior yang dapat mencapai 100% (Ideham & Pusarawati, 2020). Hal ini disebabkan oleh banyaknya bagian struktur vital parenkim otak yang mengalami herniasi melalui defek tulang tengkorak pada kasus ME posterior.1 Apabila tidak ditangani dengan baik, ME posterior dapat menyebabkan kompilasi sebagai berikut : (1) kebocoran CSF (Cerebrospinal Fluid); (2) meningitis; (3) kejang; (4) hidrosefalus; (5) gangguan pertumbuhan dan perkembangan; serta (6) kematian.4,6 Selain itu, ME posterior juga berkaitan dengan malformasi Chiari, malformasi Dandy-Walker, dan anomali migrasi lainnya.
����������������������� Studi laporan kasus ini bertujuan untuk memaparkan kasus ME posterior pada seorang pasien neonatus perempuan dan membandingkannya dengan kajian literatur (Kristina, 2020). Pada laporan kasus ini telah dilakukan tatalaksana secara menyeluruh dan perkembangan setelah dilakukan tindakan operasi dinilai melalui follow up sehingga diharapkan dapat menambahkan kepustakaan untuk penelitian selanjutnya (AKHIR, AZIS, KEP, & NERS, 2020). Manfaat penelitian laporan kasus yang ditulis dapat memberikan gambaran rinci dari perjalanan klinis serta tatalaksana yang dilakukan terhadap kasus langka meningoencephalocele posterior.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, dilakukan studi laporan kasus pada seorang neonatus perempuan berusia 18 hari di RSD K.R.M.T Wonsonegoro, Semarang, pasca kraniotomi hari ke-18 atas indikasi hidrosefalus non-komunikans et causa ME posterior. Alloanamnesis dengan ibu pasien dan pemeriksaan fisik terakhir sebelum pasien pulang, dilakukan pada Senin, 24 Januari 2022 sedangkan tindakan kraniotomi dilakukan pada Kamis, 6 Januari 2022. Pemeriksaan lanjutan dilakukan pada 10 Februari 2022.
Hasil dan Pembahasan
I.
Identitas Pasien dan Keluarga
II.
Anamnesis (Subjektif)
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis
dengan ibu pasien pada Senin, 24 Januari 2022 di ruang Perinatologi RSUD
K.R.M.T. Wongsonegoro serta didukung oleh data rekam medik pasien.
A. Keluhan
Utama
Benjolan kemerahan di bagian belakang kepala meluas hingga ke leher
B. Riwayat
Penyakit Sekarang
��������� Ibu pasien datang ke IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
pada 22 Desember 2021 pukul 12.00 WIB atas rujukan dari RS Kartini Jepara
dengan keluhan terdapat benjolan kemerahan pada belakang kepala yang meluas ke
leher. Benjolan terlihat tidak beraturan dan
berbentuk seperti kembang kol serta dibagian tengah terlihat berwarna kuning
seperti nanah. Keluhan ini dialami oleh pasien sejak dilahirkan� pada 21 Desember 2021. Ibu pasien mengatakan
pasien tidak pernah mengalami kejang atau sesak sejak lahir. Keluhan posisi bola
mata miring dan kelemahan anggota gerak juga disangkal oleh ibu pasien. Pasien
telah menjalani operasi rekonstrukti atas indikasi meningoencephalocele
pada Kamis, 6 Januari 2022.
C. Riwayat
Pengobatan
Pasien belum berobat ke tempat lain.
D. Riwayat
Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa seperti pasien.
E. Riwayat
Kehamilan dan Persalinan
Ibu pasien terdeteksi
positif HbsAg dan preeklampsia berat (PEB) dengan kehamilan G2P1A0 dan
melahirkan di RS Kartini Jepara. Proses persalinan spontan dibantu oleh bidan
dan dokter kandungan. Pasien lahir dengan persalinan normal dan usia kehamilan
36 minggu. Setelah bersalin, bayi segera menangis dan bernafas spontan dengan
BBL 2300 gram.
F. Riwayat
Imunisasi
Pasien sudah mendapatkan
imunisasi HbIg dan HBO saat lahir di RS Kartini Jepara
G. Riwayat
Asupan Nutrisi
Pasien mendapatkan nutrisi dari PASI di rumah sakit.
H. Riwayat
Sosial Ekonomi
Pengobatan
menggunakan BPJS
III.
Pemeriksaan Fisik
�������������� Pemeriksaan
fisik dilakukan pada Senin, 24 Januari 2022 di Bangsal Sadewa 1 RSUD K.R.M.T.
Wongsonegoro Semarang
A. Status
Generalis
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum��������� : Tampak sakit sedang
Kesadaran������������������ : GCS 15 (E4M6V5), compos mentis (CM)
Tanda Vital
Tekanan Darah����������� : tidak diperiksa
Frekuensi Nadi����������� : 133 x/menit � �(N : 120-160x/menit)
Suhu��������������������������� : 36.5 �C
Pernapasan Napas������ : 46 x/menit���� (N : 40-60x/menit)
Antopometri
Berat Badan��������������� : 2.250 kg
Panjang Badan����������� :
48 cm
BB/PB ����������������������� : -2-0 SD �
status gizi baik menurut kurva WHO
Lingkar Kepala���������� :
39 cm � >2 SD � makrosefali menurut kurva Nellhaus
Pemeriksaan Sistem
A. Kepala
����������� A/R occipital, terdapat luka bekas operasi craniotomy atas indikasi meningocephalocele posterior tertutup kasa, rembesan (-)
���
B. Leher
����������� Trakea terletak di tengah, deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
C. Mata�������� : dbn
D. Hidung : tidak ada
kelainan, dbn
E. Telinga : tidak ada
kelainan, dbn
F. Mulut : Mukosa oral basah (+),
faring hipereremis (-)
G. �Thorax���������������� :
Inspeksi,
palpasi, auskultasi dbn
H. Jantung���� : Inspeksi, palpasi, auskultasi dbn
I. Abdomen�� : Inspeksi, auskultasi, perkusi, palpasi dbn
J. Ekstremitas dan Kulit : tidak ada kelainan, dbn
K. Pemeriksaan neurologis :
Refleks primitif :
� Palmar grasp� : +/+
� Plantar grasp� : +/+
� Refleks hisap�� : +/+
� Refleks Moro� : +/+
Motorik���������������������� : kesan kedua ekstremitas atas dan bawah terlihat aktif
IV.��� Pemeriksaan
Penunjang
A.
Laboratorium (20 Januari 2022)
Pemeriksaan |
Hasil |
Satuan |
Nilai
Normal |
Hemoglobin |
13,7* |
g/dL |
14-20 |
Hematokrit |
42,60 |
% |
35-47
|
Leukosit |
21,7* |
/mm3 |
5-18 |
Trombosit |
457* |
/mm3 |
150
� 400 |
PT Kontrol |
10,7 |
detik |
|
PT Pasien |
11,0 |
detik |
11.0
� 15.0 |
APTT Kontrol |
27 |
detik |
|
APTT Pasien |
40,3* |
detik |
26.0
� 34.0 |
INR |
0.98 |
|
|
Glukosa Darah Sewaktu |
156* |
mg/dL |
70-110 |
Calcium |
1.44* |
mmol/L |
1.00-1.15 |
Kalium |
7,40* |
mmol/L |
3.50-5.0 |
Natrium |
132* |
mmol/L |
135.0-147.0 |
Ureum |
10,5* |
mg/dL |
15-36 |
Creatinin |
0,2* |
mg/dL |
0,5-0,8 |
B.
Radiologi
CT Scan Kepala (tanggal
23 Desember 2021 pukul 12.15 WIB)
Pada brain
window:
1. Tak tampak lesi hipodens maupun hiperdens intrakranial.
2. Tampak hemiation brain
fissue and overlying meninges di regio occipital Iir.
3. Sulkus kortikalis dan fhisura Sylvii menyempit.
4. Ventrikel Iateral tampak melebar.
5. Sistem sisterna baik.
6. Batang otak dan cerebelum baik.
7. Tak tampak midline shifting.
Pada
bone window :
1. Tak tampak fraktur ossa cranium.
2. Tak tampak lesi litik dan sklerotik pada
tulang.
3. Tak tampak penebalan mukosa pada sinus
paranasalis yang terihat.
4. Tak tampak kesuraman pada kedua mastoid.
Kesan :
Gambaran occipital
meningoencephalocele.
Gambaran hidroselalus non-komunikans.
Disertai tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial saat ini
V.����� Resume
Telah diperiksa seorang bayi perempuan berusia 18 hari yang datang ke IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro atas rujukan dari RS Kartini Jepara pada tanggal 22 Desember 2021 pukul 12.00 dengan keluhan benjolan kemerahan di belakang kepala sampai leher. Dari anamnesis didapatkan keluhan benjolan sudah dialami pasien sejak lahir tanggal 21 Desember 2022, benjolan berbatas tegas dan berbentuk seperti kembang kol serta dibagian tengah terlihat berwarna kuning seperti nanah. Dari pemeriksaan fisik, diperoleh temuan tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis menunjukkan A/R occipital, terdapat luka post-craniotomy tertutup kasa dengan rembesan (-). Dari pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan peningkatan trombosit, leukosit, kalsium, APTT. Pemeriksaan penunjang CT scan didapatkan kesan gambaran occipital meningoencephalocele, hidrosefalus non komunikans serta tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
VI.��� Daftar
Masalah/Diagnosa
Diagnosis Utama
Bayi perempuan, usia 18 hari, post-craniotomy atas indikasi Meningoencephalocelle Posterior dengan hidrosefalus non-komunikans POD-18
Terapi Farmakologis
Pre-Operasi
1. Inf
2A1/2N 20 tpm
2. Inj Meropenem 125mg/12 jam
3. Inj Amikasin 40mg/24 jam
4. Inj Vitamin K 1 mg/12 jam
5. Inj Phenitoin 7,5mg/12 jam
6. Inj Fluconazole 1x25mg
Post-Operasi
1.
IVFD : D5/2NS 250cc/24
jam
2. Inj Meropenem 125mg/12 jam
3. Inj Paracetamol 3x30 mg
4. Inj Phenitoin 2x5 mg
Terapi Non-Farmakologis
Pro Rekonstruksi
Meningoensefalokel Kranial Posterior
Usul Pemeriksaan
Kultur jaringan dan
Analisa cairan CSF
Rencana Evaluasi
1. Memantau
tanda-tanda vital
2. Memantau perkembangan pasien setelah tindakan
3. Memantau penyembuhan luka post operasi
4. Memantau tanda dan gejala peningkatan tekanan intracranial
Edukasi
1. Perawatan
luka pasca operasi
2. Kontrol
rutin sesuai jadwal atau jika ada keluhan
3. Konsumsi
obat sesuai anjuran dokter
Prognosis
-
Ad Vitam������� :
bonam
-
Ad Functionam���������� :
dubia ad bonam
-
Ad Sanationam���������� :
dubia ad bonam
Follow
Up (Kamis, 10 Februari 2022)
Dilakukan follow up post-cranitomy atas indikasi meningoencephalocele posterior pada pasien tersebut di Poli Bedah Saraf RSUD K.R.M.T Wongsonegoro pada Kamis, 10 Februari 2022.
Alloanamnesis dengan Ibu pasien :
Ibu pasien mengeluh terdapat cairan bening yang merembes pada kasa luka bekas operasi. Keluhan demam dan kejang disangkal. Selama di rumah, pasien terlihat aktif serta dapat menyusui dengan baik. Keluhan BAB dan BAK juga disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Antopometri�
� Berat badan���� : 3,5 kg
� Panjang badan : 52 cm � 0-2 SD � panjang badan normal menurut kurva WHO
� BB/PB������������ : -2-0 SD � status gizi baik menurut kurva WHO
� Lingkar
kepala �������� : 40 cm �
>2 SD � makrosefali menurut Kurva Nellhaus
Tanda-tanda Vital
� Frekuensi nadi : 128x/menit��� (N : 120-160x/menit)
� Frekuensi napas���������� : 48x/menit ���� �(N : 40-60x/menit)
� Suhu��������������� : 36,7oC
� Tekanan Darah����������� : tidak diperiksa
Status lokalis :
A/R occipital, terdapat luka bekas operasi craniotomy dengan rembesan (+) berupa cairan bening (+), pus (-), tanda inflamasi (-)
Mata �� : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor 4mm/4mm, gerakan bola mata terlihat tidak simetris, RCL +/+, RCTL +/+
Pemeriksaan neurologis :
Refleks primitif :
� Palmar grasp� : +/+
� Plantar grasp� : +/+
� Refleks hisap�� : +/+
� Refleks Moro� : +/+
Motorik���������� : kesan kedua ekstremitas atas terlihat tidak aktif
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
: CT Scan Kepala Tanpa Kontras 10/02/2022 (perbandingan
dengan CT scan tanggal 22/12/2021
Pada brain window:
Tak tampak lesi hipodens maupun hiperdens intracranial
Masih tampak sedikit herniation brain tissue and overlying meninges di regio occipital kiri
Sulkus kortikalis dan fisura sylvii menyempit
System ventrikel tampak melebar
System sisterna baik
Batang otak dan cerebellum baik
Tak tampak midline shifting
Pada bone window:
Tak tampak fraktur ossa cranium
Tak tampak lesi litik dan sklerotik pada tulang
Tak tampak penebalan mukosa pada sinus paranasalis yang terlihat
Tak tampak kesuraman pada kedua mastoid
Kesan:
Gambaran occipital meningoencephalocele perbaikan, Gambaran hidrosefalus komunikans, Disertai tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial saat ini
Diagnosis
Bayi perempuan, usia 35 hari, dengan post-craniotomy atas indikasi meningoencephalocele posterior dan hidrosefalus non-komunikans
Tatalaksana
1. Ganti balut pada luka bekas operasi
2. Kontrol ke Poli Bedah Saraf
Tinjauan Pustaka
Meningoencephalitis Posterior
Klasifikasi
Meningoencephalocele posterior (occipital) adalah herniasi meningens dan bagian parenkim otak melalui defek os. occipital (di antara suttura lambdoidea dan foramen magnum) yang terutama disebabkan oleh kelainan kongenital.4,5 Klasifikasi meningoencephalocele posterior dibagi berdasarkan hubungannya dengan torcular Herophili (titik temu antara sinus sagittalis, sinus rectus, dan sinus occipitalis), yakni sebagai berikut :5
a.
Meningoencephalocele Posterior Supratorcular
b.
Meningoencephalocele Posterior Infratorcular
Epidemiologi
����������������������� Encephalocele atau meningoencephalocele adalah kelainan kongenital yang tergolong jarang atau langka (Fajrin et al., 2022).1-3 Sekitar 15-20% kelainan defek neural tube adalah encephalocele.4 Perkiraan angka prevalensi defek neural tube di dunia adalah 180/100.000 kelahiran hidup. Lebih lanjut lagi, prevalensi dan insidensi encephalocele di Etiopia adalah 10/100.000 anak dan 630/100.000 anak.4 Secara global, rasio kejadian meningoencephalocele adalah 1 : 5.000-10.000 kelahiran.1,4 Adapun, sekitar 75% kejadian meningoencephalocele terjadi pada os. occipital (meningoencephalocele posterior).1,3 Secara umum, kejadian encephalocele lebih banjak dijumpai pada populasi anak dengan jenis kelamin wanita dengan rasio 4,5:1. Populasi anak dengan jenis kelamin wanita cenderung lebih sering mengalami encephalocele posterior (rasio 1,9:1) sedangkan anak laki-laki cenderung lebih sering mengalami encephalocele anterior.4 Survival rate meningoencephalocele posterior adalah 55%. Angka ini jauh lebih rendah daripada survival rate meningoencephalocele anterior yang mendekati 100% (Fajrin et al., 2022). Hal ini disebabkan oleh banyaknya struktur vital parenkim otak yang mengalami herniasi melalui defek tulang tengkorak pada kasus meningoencephalocele posterior.1
Faktor Risiko
����������������������� Secara umum, faktor risiko encephalocele
dibagi menjadi factor genetic dan lingkungan. Faktor risiko yang
meningkatkan risiko kejadian encephalocele sebagai berikut
:3,4
a. Infeksi
TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes
Simplex Virus)
b. Pernikahan cosanguineus�
c. Riwayat defek neural tube pada kehamilan sebelumnya
d. Terdapatnya Meckel-Gruber syndrome, Walker-Warburg syndrome, Fraser syndrome, Knobloch syndrome, Roberts syndrome, dan amniotic band syndrome
e. Defisiensi asam folat
Etiologi
����������� Pada dasarnya, etiologi dibagi menjadi sebagai berikut :4,5
1. Kongenital
Sebagian besar atau mayoritas kasus encephalocele
memiliki etiologi kongenital (Yueniwati, Aurora, & Sanjaya, 2021).
Etiologi kongenital yang menyebabkan encephalocele meliputi kegagalan
pemisahan permukaan ektoderm secara sempurna dari neuroectoderm setelah
penutupan neural folds. Cranial neuropore biasanya akan menutup
pada hari ke-25 embriogenesis. Adanya masalah sebelum hari ke-25 embriogenesis
dapat menyebabkan kegagalan penutupan secara sempurna disertai dengan defek
yang tidak dilapisi oleh kulit.4
2. Didapat
Sebagian kecil kasus enchepalocele,
dapat disebabkan oleh etiologi didapat (sekunder). Etiologi sekunder yang
dimaksud meliputi tumor, trauma, infeksi, dan cedera pasca Tindakan bedah (iatrogenik) (Hidayati, 2020).4,5
3. Patofisiologi
Secara garis besar, patofisiologi encephalocele
belum diketahui secara jelas dan hanya berdasarkan teori saja (Munfarokhah, 2020).
Teori-teori yang menjelaskan mekanisme terjadinya encephalocele sebagai
berikut :4,5
a. Teori kegagalan pemisahan ektoderm dari neuroectoderm
setelah penutupan neural folds
Encephalocele terjadi sebagai akibat kegagalan pemisahan ektoderm dari
neuroectoderm setelah penutupan neural folds (Yueniwati
et al., 2021). Cranial neuropore biasanya akan menutup pada
hari ke-25 embriogenesis. Adanya masalah sebelum hari ke-25 embriogenesis dapat
menyebabkan kegagalan penutupan secara sempurna disertai dengan defek yang
tidak dilapisi oleh kulit (Karlinah, Yanti, &
Arma, 2015). Ketika kedua lapisan tersebut (ektoderm dan neuroectoderm)
melekat, lapisan mesoderm paraxial tidak dapat menyusup di antara kedua lapisan
tersebut untuk membentuk struktur tulang dan meningens yang adekuat.4
b. Teori
post-neurolation
Meningoencephalocele terjadi sebagai akibat
kegagalan migrasi mesoderm ke garis tengah sehingga menyebabkan herniasi
struktur otak. Melalui defek tulang
tengkorak, terjadi distorsi dan peregangan struktur neuroparenkim yang
berdekatan. Temuan klinis pada meningoencephalocele posterior mendukung
teori post-neurolation dengan adanya distorsi dan peregangan bagian otak
yang berdekatan dengan defek tulang tengkorak secara jelas.5
c.
Teori amniotic band
syndrome
Teori ini menjelaskan bahwa encephalocele terjadi
sebagai akibat dari amniotic band syndrome.4
d. Kelainan
gen pemberi sinyal pada neural tube
Encephalocele terjadi sebagai akibat adanya gen-gen abnormal pada gen penyusun sinyal neural tube. Teori ini juga menjelaskan bahwa encephalocele tidak disebabkan oleh anomali pada penutupan neural tube.4
Encephalocele occipital (posterior) dapat pula berkaitan dengan malformasi Chiari, malformasi Dandy-Walker, dan anomali migrasi lainnya.4
Manifestasi Klinis
����������� Secara garis besar, manifestasi klinis encephalocele
posterior sebagai berikut :2,4,5
1. Terdapatnya
massa yang dilapisi oleh kulit di dekat garis tengah area anterior atau
posterior kepala
2. Kantong hernia dapat terisi oleh CSF dan bersifat translucent
3. Spastisitas dapat terjadi pada encephalocele posterior berukuran besar akibat banyaknya jaringan otak yang mengalami herniasi dalam kantong
4. Hidrosefalus terjadi pada 40-60% kasus encephalocele posterior
5. Kejang terjadi pada 17% kasus encephalocele posterior, gangguan perkembangan, gangguan penglihatan, ataxia, mikrosefali, paraplegia spastik, dan peningkatan TIK (Tekanan Intrakranial)
6. Terdapatnya episode meningitis berulang
Pemeriksaan Fisik
����������������������� Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan sebagai berikut : (1) pemeriksaan transluminasi pada massa kepala; (2) pemeriksaan neurologi; dan (3) pemeriksaan lainnya untuk menemukan malofirmasi lainnya. Pemeriksaan transluminasi pada massa kepala menunjukkan terdapatnya jaringan padat pada kantong hernia.� Pada kasus encephalocele posterior, dapat dijumpai spastisitas, kejang, penurunan kesadaran, tanda-tanda peningkatan TIK, dan tanda-tanda meningitis (kaku kuduk dan tanda Brudzinski).1,4
Pemeriksaan Penunjang
����������������������� Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan guna menegakkan diagnosis encephalocele posterior adalah sebagai berikut :1-4
1.
USG (ultrasonography)
pre-natal
Pada kasus encephalocele,
pemeriksaan USG paling baik dilakukan pada periode pre-natal (Waqiati & Wahyuni, 2018).
Guna menegakkan diagnosis encephalocele, pemeriksaan USG sering
dilakukan pada kehamilan minggu ke-9 hingga ke-11. Pada periode tersebut, encephalocele
atau meningocele dapat dijumpai dengan temuan kantong berisi cairan
melalui defek tulang tengkorak. Pada minggu ke-13, diagnosis meningocele
atau encephalocele akan menjadi jelas karena struktur yang mengalami
herniasi sudah terlihat jelas. Jika kantong berisi cairan, diagnosisnya adalah meningocele.
Apabila kantong berisi parenkim otak, diagnosisnya adalah meningoencephalocele (Rahman, Maharani, Islamy, &
Iqbal, 2021).4
2. Pemeriksaan
DNA
Bertujuan untuk mengetahui adanya
abnormalitas kromosom. Pemeriksaan DNA merupakan pemeriksaan skrining
abnormalitas kromosom yang dapat dilakukan pada kehamilan minggu ke-10 (Fajrin et al., 2022).
Hasil temuan abnormal memiliki korelasi dengan temuan abnormal pada USG (Gunawan, 2020).
Meskipun begitu, temuan normal pada pemeriksaan DNA juga tidak dapat
menyingkirkankemungkinan encephalocele secara meyakinkan.4
3.
MRI (Magnetic
Resonance Imaging) dan MRI Angiography
MRI post-natal merupakan pemeriksaan penunjang terpilih untuk menegakkan diagnosis encephalocele serta mengetahui isi dan ukuran kantong hernia serta anomali lannya.4 Pada kasus encephalocele, MRI digunakan untuk mengukur dimensi kantong hernia secara akurat melalui diameter AP (anteroposterior), TR (transversal), dan CC (craniocaudal). Ukuran encephalocele merupakan faktor prognosis yang penting. Berdasarkan ukurannya, encephalocele tergolong besar apabila lebih besar daripada ukuran kepala dan berlaku sebaliknya. Encephalocele berukuran besar memiliki faktor prognosis yang buruk karena banyaknya volume otak yang mengalami herniasi. Berdasarkan isinya, encephalocele dibagi menjadi 4 jenis, yakni sebagai berikut:5
Meningocele
Meningocele
terdiri dari defek tulang tengkorak dan herniasi yang terdiri dari meningens
dan CSF (Cerebrospinal Fluid) (Yueniwati et al., 2021).
Gambaran meningocele pada MRI adalah kantong hernia yang berbatas tegas
yang ditandai dengan intensitas sinyal yang sama dengan CSF.5
a. Meningoencephalocele
Meningoencephalocele
terdiri dari defek tulang tengkorak dan herniasi yang terdiri dari meningens,
neuroparenkim, dan CSF. Neuroparenkim yang dijumpai sering sering bersifat
gliotik.5
b.
Atretic
Encephalocele
Atretic encephalocele adalah encephalocele yang terdiri dari duramater, jaringan fobrosa, dan jaringan otak yang mengalami degenerasi. Atretic encephalocele paling sering terjadi di area parieto-occipital dan dapat menyebabkan pembengkakkan di bawah kulit kepala (subscalp swelling) yang sering diduga sebagai massa subscalp lainnya.5
c.
Gliocele
Gliocele terdiri dari kista yang dibatasi oleh sel glia dan mengandung CSF.5
Apabila ventrikel mengalami herniasi dan menjadi bagian dari encephalocele,
diagnosis berubah menjadi meningo-encephalo-cystocele. Pada dasarnya, encephalocele
mengandung jaringan otak yang memiliki intensitas sinyal MRI
bervariasi (hiperintens pada T2-W menunjukkan gliosis). Selain itu, encephalocele
dapat mengadakan hubungan langsung ke rongga intrakranial (fistula).
Pemeriksaan venogram dan angiografi MRI dilakukan guna mengetahui hubungan
antara sinus duramater dan pembuluh darah dengan kantong hernia serta deteksi
anomali vena. Atretic encephalocele paling sering berkaitan dengan anomali
vena, yakni terdapatnya falcine sinus. Di samping itu, pemeriksaan MRI juga
dapat digunakan untuk deteksi anomali lainnya. Penderita encephalocele
posterior (occipital) memiliki risiko lebih tinggi menderita kelainan
malformasi fossa posterior lainnya, yakni malformasi Dandy-Walker, malformasi
Chiari, dan agenesis corpus callosum.5
Selain ukuran encephalocele, hidrosefalus juga
merupakan factor prognosis yang penting pada kasus encephalocele.� Hidrosefalus lebih sering dijumpai pada kasus
encephalocele posterior (occipital). Hal ini disebabkan oleh torsio aqueduct
Slyvii atau stenosis aqueductal. Secara
umum, temuan studi pencitraan hidrosefalus adalah dilatasi ventrikel, terutama
cornu temporalis, pembesaran ressesus anterior dan posterior ventrikel III,
lantai ventrikel III terdorong kebawah, dan penebalan sulci. Dari sudut pandang
ahli radiologi, komponen-komonen hidrosefalus yang perlu dievaluasi pada kasus
encephalocele sebagai beriktu : (1) derajat keparahan dilatasi ventrikel; (2)
efek neuroparenkim yang mengalami herniasi; dan (3)� terdapatnya kebocoran CSF transependymal
periventricular.5
CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan dilakukan untuk mengetahui dan evaluasi defek tulang tengkorak, anomali tulang, dan hidrosefalus.4 Anomali yang dimaksud meliputi kelainan tulang belakang dan spinal dysraphism.5
Gambar 1
Gambaran Giant Occipital Encephalocele
pada Pemeriksaan MRI T2W Penampang Sagital (A) dan Axial (B)
Gambar 2
�Gambaran Meningoencephalocele
Occipital dan Meningocele Occipital pada Pemeriksaan MRI T2W
Penampang Sagital
Diagnosis
����������������������� Penegakkan diagnosis meningoencephalocele didadasarkan pada temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.1-5 Anamnesis ditujukan kepada orang tua pasien untuk menggali riwayat kelainan defek neural tube pada kehamilan sebelumnya, riwayat ANC (ante natal care), riwayat defisit neurologis dan gangguan perkembangan, benjolan, dan tanda-tanda peningkatan TIK serta meningitis.1,3 Pemeriksaan fisik bertujuan untuk evaluasi benjolan dan isinya dengan pemeriksaan transluminasi, defisit neurologis serta tanda meningitis dan peningkatan TIK. Pemeriksaan penunjang bermanfaat untuk deteksi lokasi dan ukuran benjolan, isi kantong hernia, hidrosefalus, dan malformasi lainnya.2,4,5
����������������������� Diagnosis banding untuk kasus encephalocele sebagai berikut : (1) nasal glioma; (2) cranial dermal sinus tract; (3) kista dermoid nasalis; (4) epidermoid nasalis; (5) dakriosistitis; (6) dakriosistokel; (7) hemangioma; dan (8) polip nasi.4,5
Tatalaksana
����������������������� Tatalaksana utama encephalocele
adalah tatalaksana bedah.1,3-5 Tatalaksana bedah bertujuan sebagai
berikut : (1) memperbaiki defek tulang tengkorak dengan water-tight dural
closure; (2) eliminasi kulit yang berlebihan; (3) membuang jaringan otak
yang bersifat non-fungsional; (4) menghindari infeksi; (5) mencegah perburukkan
hidrosefalus; dan (6) mencegah distorsi anatomi fasial.4,5 Tatalaksana
bedah umumnya dilakukan secara terbuka, namun dapat pula dilakukan dengan
bantuan endoskopi. Tindakan bedah pada kasus encephalocele bergantung
pada komponen sebagai berikut : (1) ukuran; (2)
lokasi; (3) komplikasi; dan (4) ada atau tidaknya kulit yang melapisi kantong
hernia. Jika tidak terdapat lapisan kulit yang melapisi kantong hernia,
Tindakan bedah harus segera dilakukan. Jika terdapat kulit yang melapisi kantong hernia, tindakan bedah dapat
ditunda selama beberapa bulan atau tahun.4
����������������������� Tatalaksana
terapi bedah pada kasus encephalocele terdiri dari Tindakan membuang
kantong hernia dan jaringan neuroparenkim yang mengalami herniasi serta
rekonstruksi defek tulang tengkorak.4,5 Jika terdapat hidrosefalus,
dilakukan tatalaksana shunting terlebih dahulu sebelum manajemen bedah encephalocele.
Apabila terdapat defek besar pada tulang tengkorak dan lesi intrakranial,
Tindakan bedah lebih direkomendasikan dengan pendekatan terapi bedah terbuka.
Pendekatan endoskopi transnasal dapat dilakukan pada kasus encephalocele
dasar tengkorak (Kentjono, 2022). Pendekatan endoskopi memliliki risiko
mortalitas yang lebih rendah, risiko komplikasi post-operatif lebih rendah (meningitis,
kebocoran CSF, dan sepsis), dan risiko cedera saraf lebih rendah.5
����������������������� Tatalaksana
terapi bedah untuk kasus meningoencephalocele posterior terdiri dari
eksisi kantong hernia, repair, dan cranioplasty. Tindakan perbaikan duramater dilakukan baik secara
primer arau menggunakan perikranium. Penutupan defek tulang tengkorakdapat
dilakukan dengan menggunakan lem fibrin (Tambayong, 2001). Selain itu, dapat pula dilakukan autologous
split calvarial bone graft, mesh titanium, dan materi tulang
osteokondral. Apabia defek tulang tengkorak hanya sedikit atau kecil,
tidak perlu dilakukan repair. Tindakan drainase lumbal intraiperatif
dilakukan selama 5-7 hari guna menghindari komplikasi kebocoran CSF. Komplikasi
kebocoran CSF terjadi pada 6% kasus encephalocele, namun dapat dihindari dengan
Tindakan drainase lumbal.4
Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada kasus encephalocele sebagai berikut : (1) kebocoran CSF; (2) meningitis; (3) kejang; (4) hidrosefalus; serta (5) gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Prognosis
Faktor prognosis encephalocele bergantung pada komponen sebagai berikut : (1) lokasi dan isi kantong hernia; (2) ukuran dan volume jaringan otak yang mengalami herniasi; (3) hidrosefalus; (4) malformasi lainnya; dan (5) infeksi.4,5 Survival rate meningoencephalocele posterior adalah 55%. Angka ini jauh lebih rendah daripada survival rate meningoencephalocele anterior yang mendekati 100%. Hal ini disebabkan oleh banyaknya struktur vital parenkim otak yang mengalami herniasi melalui defek tulang tengkorak pada kasus meningoencephalocele posterior.1 Pada kasus meningoencephalocele posterior, isi jaringan yang mengalami herniasi umumnya vermis dan cerebellum, tetapi dapat pula lobus occipital. Apabila lobus occipital mengalami herniasi, individu akan berisiko menderita penurunan penglihatan. Hal ini disebabkan jaringan otak yang mengalami herniasi akan cenderung mengalami proses gliosis (Yueniwati & Aurora, 2022).5
Kesimpulan
Pada studi laporan kasus ini, diperoleh manifestasi klinis dan studi pencitraan ME posterior pada pasien serta tidak diketahui Riwayat konsumsi suplemen asam folat pada ibu yang mana berperan dalam proses pembentukan neural tube sesuai dengan literatur (Fajrin et al., 2022). Manifestasi klinis ME posterior yang dijumpai pada pasien ini adalah adanya riwayat benjolan di bagian oksipital menyerupai kembang kol sejak lahir tanpa disertai manifestasi neurologi. Hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan leukositosis (21.700 sel/�L), trombositosis (457.000 sel/�L), serta peningkatan APTT (40,3 detik) sedangkan studi pencitraan CT-Scan menunjukkan gambaran meningoencephalocele occipital, hidrosefalus non-komunikans, dan tanda-tanda peningkatan tekanan intra-kranial (TIK). Pemeriksaan lanjutan pada 10 Februari 2022 menunjukkan adanya defisit neurologis berupa gerakan bola mata yang tidak simetris, diameter lingkar kepala 40 cm (makrosefali menurut Kurva Nellhaus), serta luka pasca operasi. di regio oksipital tertutup kasa dan tanpa rembesan. Hasil CT-Scan pasca kraniotomi (10 Februari 2022) menunjukkan perbaikan.
BIBLIOGRAFI
akhir, Karya Ilmiah, Azis, Besse Maessy Aulia, Kep,
S., & Ners, Prodi Profesi. (2020). Literature Review: Efektifitas
Manajemen Jalan Napas Pada Pasien Stroke.
Bolly,
Hendrikus Masang Ban. (2022). Deteksi Dan Perekrutan Kasus Kelainan Bawaan
Sistem Saraf Pusat Di Puskesmas Wilayah Kota Jayapura. Prosiding Seminar
Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat, 3, SNPPM2022BRL-96.
Fajrin,
Dessy Hidayati, Dini, Agi Yulia Ria, WulandarI, Emi, Ermawati, Iit, Herman,
Sriyana, Aritonang, Tetty Rina, Putri, Diana, Pelawi, Arabta M. Peraten,
Julianawati, Tinta, & Nujulah, Lailatul. (2022). Kelainan bawaan dan
penyakit yang sering dialami bayi dan balita. Rena Cipta Mandiri.
Gunawan,
Andre. (2020). Indeks Doppler Ginjal dan Korelasinya dengan Indeks Laboratorium
Individu Dewasa Sero-Positif Human Immunodeficiency Virus (HIV). Journal of
Global Research in Public Health, 5 (2), 221�228.
Hidayati,
Afif Nurul. (2020). Gawat Darurat Medis dan Bedah. Airlangga University
Press.
Ideham,
Bariah, & Pusarawati, Suhintam. (2020). Helmintologi kedokteran.
Airlangga University Press.
Karlinah,
Nelly, Yanti, Efrida, & Arma, Nuriah. (2015). Bahan Ajar Embriologi
Manusia. Deepublish.
Kentjono,
Widodo Ario. (2022). Total Laryngectomy: An Update. Paradigma Dan Manajemen
Terkini Pada Kasus Onkologi THT-KL, 251.
Kristina,
Kristina. (2020). Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ny� N� Di Bpm Naimah
Pangkalan Bun Kecamatan Arut Selatan Kabupaten Kotawaringin Barat. Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Borneo Cendekia Medika Pangkalan Bun.
Munfarokhah,
Ida Royani. (2020). Neurosains dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelektual
Peserta Didik SD Islam Al-Azhar BSD. Institut PTIQ Jakarta.
Rahman,
Arninda, Maharani, Danny Yovita, Islamy, Nurul, & Iqbal, Javedh. (2021).
Bayi Baru Lahir dengan Kelainan Kongenital berupa Menigoensefalokel Parietal:
Sebuah Laporan Kasus. ARTERI: Jurnal Ilmu Kesehatan, 3 (1), 1�7.
Rahmawati,
Lianna Dwi. (2019). Klasifikasi Kejadian Kejang Penderita Epilepsi
Berdasarkan Faktor Risiko Kejang Epilepsi Menggunakan Regresi Logistik Biner
dan Naive Bayes. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Tambayong,
Jan. (2001). Patofisiologi. EGC.
Waqiati,
Anisah Amalia, & Wahyuni, Frederica Mardiana. (2018). Peran Mr-Imaging
Dalam Deteksi Agenesis Corpus Callosum Pada Anak Dengan Keluhan Kejang. Medica
Hospitalia: Journal of Clinical Medicine, 5 (2).
Yueniwati,
Yuyun, & Aurora, Habiba. (2022). Peran Pencitraan pada Cedera Otak
Traumatis. Universitas Brawijaya Press.
Yueniwati,
Yuyun, Aurora, Habiba, & Sanjaya, Christian Robby. (2021). Peran
Neuroimaging dalam Mendiagnosis Kelainan Kongenital Otak. Universitas
Brawijaya Press.
�
Copyright holder: Anggilia
Yuliani Susanti, Filipo David Tamara, Elsa Evalyn, Andrew Robert (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |