Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA

 

Gandes Candra Kirana

Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Pembuktian dalam Peradilan Agama menggunakan Sistem dan Alat-Alat bukti yang digunakan di Lingkungan Peradilan Umum kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU Peradilan Agama. Hal-hal yang diatur secra khusus tersebut salah satunya untuk Proses Perceraian. Pokok masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pembuktian dalam Perkara Perceraian di Peradilan Agama? bagaimana penerapan proses pembuktian Perkara Perceraian tersebut dalam praktek beracara di Pengadilan Agama? Tipe penelitian yang digunakan adalah Normatif Empiris, dimana peneliti berusaha melakukan penelitian terhadap data sekunder dan pelaksanaannya dalam praktek; Penelitian bersifat Deskriptif Analistis, dan Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data sekunder seperti Undang-Undang Peradilan Agama dan HIR, juga Bahan hukum sekunder seperti buku-buku dan tulisan ilmiah para pakar hukum di bidang Acara pada Peradilan Agama; yang didukung dengan data primer berupa wawancara dengan narasumber yang terkait seperti para Hakim di lingkungan Peradilan Agama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perkara perceraian dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama aturan pembuktiannya menggunakan HIR dan hal-hal yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Peradilan Agama serta pembuktiannya didalam praktek beracara di Pengadilan Agama menggunakan berbagai aturan yang tersebar dibeberapa peraturan-peraturan, termasuk SEMA.

 

Kata Kunci: Hukum Pembuktian; Perceraian; Pengadilan Agama.

 

Abstract

Evidence in the Religious Courts uses the System and Evidence Instruments used in the General Court Environment except for matters specifically regulated in the Law on Religious Courts. One of the matters regulated specifically is for the Divorce Process. The main problem in this research is how to prove in Divorce Cases in the Religious Courts? how is the application of the process of proving the Divorce Case in practice in the Religious Courts? The type of research used is Empirical Normative, where the researcher tries to conduct research on secondary data and its implementation in practice; The research is descriptive-analytical in nature, and the data sources used in this study are secondary data such as the Law on the Religious Courts and HIR, as well as secondary legal materials such as books and scientific writings by legal experts in the field of procedures at the Religious Courts; which is supported by primary data in the form of interviews with relevant sources such as Judges in the Religious Courts. The results of the study show that divorce cases in Law no. 7 in 1989 Jo. Law No. 3 of 2006 Jo. Law No. 50 of 2009 concerning the Religious Courts, the rules for proving use the HIR and matters specifically regulated in the Law on the Religious Courts as well as the proof in the practice of proceedings in the Religious Courts use various rules scattered in several regulations, including SEMA.

 

Keywords: Law of Evidence; Divorce; Religious Courts.

 

Pendahuluan

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah agung dan 4 Lingkungan Peradilan yang ada dibawahnya; hal ini diatur dalam UU No. 14 tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004, yang telah diganti lagi dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Adapun menurut Undang-Undang ini Indonesia mempunyai 4 Lingkungan Peradilan yaitu Peradilan Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara; yang masing-masing lingkungan peradilan tersebut mempunyai kewenangan yang berbeda.

Lingkungan Peradilan umum mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara perdata dan pidana umum (Saleh, 2015); Lingkungan Peradilan Agama mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara perdata yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam; Lingkungan Peradilan Militer mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer yang masih aktif; Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa-sengketa yang timbul antara badan/ pejabat TUN dengan Orang/Badan hukum perdata sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (M. Yahya Harahap, 2003).

Peradilan Agama sendiri diatur oleh UU No. 7 Tahun 1989 Jo. UU No. 3 Tahun 2006 Jo. UU No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang bertugas untuk melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman yang berada dibawah Mahkamah Agung.

Berdasarkan Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 Jo. UU No. 3 Tahun 2006 Jo. UU No.50 tahun 2009 dijelaskan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU ini (Ramulyo, 1991).

Adapun acara tersebut adalah mengenai Permohonan Cerai Talaq, Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara (Jamal, 2016). Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan/ penyakit, sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya, Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan Syiqaq, Gugatan perceraian atas alasan zina (Muhammad & Yulmina, 2019).

Proses Pembuktian adalah salah satu bagian dari hukum acara di pengadilan dalam semua lingkungan peradilan, termasuk di Pengadilan Agama. Menurut Soebekti (1992) membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dari dalil-dalil yang disengketakan oleh para pihak. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang harus membuktikan adalah para pihak bukan hakim.

Pembuktian dalam Peradilan Agama menggunakan Sistem dan Alat-Alat bukti yang digunakan di Lingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam HIR (Het Herzine Indonesisch Reglement) karena Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan agama menentukan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU ini. Untuk Proses Perceraian di Pengadilan agama ada hal-hal yang secara khusus diatur dalam UU Peradilan Agama (Chatib Rasyid & Syaifuddin, 2009).

 

Metode Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian yang berjudul Pembuktian Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama.ini adalah Normatif, dimana peneliti berusaha melakukan penelitian terhadap data sekunder dan pelaksanaannya dalam praktek yang didapat melalui data sekunder; Penelitian ini bersifat Deskriptif Analisis, dan Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data sekunder yang berupa bahan hukum primer seperti Undang-Undang Peradilan Agama dan HIR, juga Bahan hukum sekunder seperti buku-buku dan tulisan ilmiah para pakar hukum di bidang Acara pada Peradilan Agama.

 

Hasil dan Pembahasan

Pembuktian merupakan salah satu tahapan penting beracara di Pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidaknya seseorang. Pembuktian adalah suatu proses untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dari dalil-dalil yang di sengketakan dan dikemukakan oleh para pihak di persidangan (Assiddiqi, 2023).

Dalam proses pembuktian yang harus membuktikan adalah para pihak, bisa Penggugat bisa tergugat, tergantung pihak mana yang mendalilkan. Sedangkan yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah dalil-dalil yang disengketakan dan dikemukakan oleh para pihak dipersidangan. Dalil-dalil itu sendiri adalah fakta-fakta yang berisikan hak atau peristiwa. Selain itu ada hal-hal yang tidak harus dibuktikan oleh para pihak yang antara lain adalah hal-hal yang sudah diakui oleh para pihak, hal-hal yang tidak disangkal, hal-hal yang dilihat sendiri oleh hakim dipersidangan, dan hal-hal yang sudah diketahui umum.

Membuktikan adalah memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim dalam pemeriksaan suatu perkara agar dapat memberikan kepastian tentang kebenaran pristiwa yang diajukan (Krisna Harahap, 1996).

 

 

1)   Pembuktian Dalam Perkara Perceraian Di Peradilan Agama

Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 Jo. UU No. UU No.3 Tahun 2006 menjelaskan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.

Untuk proses dalam Hukum Acara Perdata sistem pembuktian yang digunakan adalah Sistem Pembuktian Secara Positif Berdasarkan Undang-Undang (Positive Wettelijk Bewijs Theori) yang artinya Hakim menyatakan seseorang bersalah atau tidak hanya berdasarkan alat-alat buktiyang diatur secara limitatif oleh Undang-Undang yaitu dalam Pasal 164 HIR (keyakinan Hakim tidak digunakan) hal ini dikeranakan Hakim dalam Hukum Acara Perdata bersifat Pasif. Adapun ke 5 (lima) alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR tesebut adalah, surat/ bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Sedangkan Hal-hal yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Peradilan Agama adalah: a) Pernah diusahakan perdamaian tapi tidak berhasil. b) Selama proses perkaranya berlangsung, kedua belah pihak sudah tidak serumah lagi.

Kemudian tentang kesimpulan bahwa telah cukup alasan perceraian, hakim dapat menarik dari peristiwa-peristiwa sebagai berikut: 1) Isteri pemboros. 2) Isteri senang berjudi. 3) Isteri banyak membuat hutang

Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim tersebut, dalam perkara permohonan cerai talak merupakan bukti yang sempurna. Dengan pertimbangan yang didasarkan kepada kedua persangkaan-persangkaan yang sangat menentukan untuk mengabulkan permohonan pemohon.

 

a)   Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara.

Dalam Pasal 74 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama diatur bahwa apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti cukup menyampaikan salinan Putusan Pengadilan yang berwenang yang memutuskan perkara, disertai dengan keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan Pasal 74 dapat disimpulkan bahwa Untuk dapat membuktikan dalilnya, Penggugat cukup menyampaikan Salinan Putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana itu, disertai dengan Surat Keterangan bahwa putusan Pengadilan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Mengenai lamanya hukuman pidana penjara, sebagaimana yang telah ditentukan oleh UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu lima tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung.

Dalam hukum acara perdata salinan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang diajukan ke Pengadilan Agama tersebut merupakan bukti surat/ tertulis yang tergolong akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang; dalam hal ini hakim (Fauzan & SH, 2016). Sebagai akta otentik, salinan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat, dan cukup (Dewi & Surata, 2015).

 

b)  Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan/ penyakit, sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya

Dalam Pasal 75 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama diatur bahwa Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter.

Mengenai cacat badan atau penyakit yang dimaksud disini misalnya lumpuh atau sakit ingatan yang menyebabkan suami tidak dapat bekerja mencari nafkah dan tidak dapat menjadi kepala keluarga yang baik.

Berdasarkan Pasal 75 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama dapat disimpulkan bahwa yang harus dibuktikan dimuka sidang adalah cacat badan atau penyakit yang diderita oleh si tergugat dan bahwa tergugat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami. Tergugat diwajibkan untuk memeriksakan diri ke dokter, untuk membuktikan cacat badan/ penyakit tersebut. Surat Keterangan dari dokter tersebutyang merupakan alat bukti surat (bukti sempurna).

 

c)   Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan Syiqaq

Dalam Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama diatur apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga orang-orang yang dekat dengan suami isteri.

Sedangkan dalam Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama diatur bahwa setelah Pengadilan mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.

Dalam penjelasan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama dijelaskan bahwa Syiqaq adalah perselisihan yang terjadi secara terus menerus antara suami dengan isteri, yang tidak dapat dirukunkan kembali.

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama dijelaskan bahwa Hakam adalah orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. Pengadilan mengangkat seorang Hakam untuk mendamaikan/ mengupayakan agar kedua belah pihak rukun kembali. Jika tidak berhasil maka Pengadilan mengucapkan putusan perceraian.

 

d)  Gugatan perceraian atas alasan zina

Dalam Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama diatur bahwa apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah. Sedangkan dalam Pasal 87 ayat (2) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama diatur bahwa Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.

Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama mengatur bahwa Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan cara li'an. Sedangkan dalam ayat (2) dikatakan bahwa apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum acara yang berlaku.

Pada proses pembuktian dengan di Pengadilan Agama untuk permohonan cerai dengan alasan zina, bila tidak diketemukan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR bukti sumpah, Pengadilan Agama menanyakan suami apakah akan melakukan sumpah li�an.

Apabila suami menghendaki untuk mengucapkan sumpah li�an, maka Pengadilan Agama memerintahkan suami mengucapkan sumpah li�an sebanyak empat kali yang berbunyi : �Demi Allah saya bersumpah bahwa istri saya telah berbuat zina�; Setelah mengucapkan sumpah tersebut, ditutup dengan lafadz: �Saya siap menerima laknat Allah bila saya berdusta�

Setelah suami disumpah, Pengadilan Agama menanyakan kepada istri apakah ia bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), bila Istri bersedia mengangkat sumpah nukul (sumpah balik), Pengadilan Agama memerintahkan istri mengucapkan sumpah tersebut sebanyak empat kali yang berbunyi : �Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak berbuat zinah�, dan setelah itu ditutup dengan ucapan, �saya siap menerima laknat Allah apabila saya berdusta�.

 

2)   Penerapan proses pembuktian Perkara Perceraian tersebut dalam praktek beracara di Pengadilan Agama

Hukum Acara Peradilan Agama adalah Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan Negara maupun dari syariat Islam yang mengatur bagaimana cara seseorang bertindak kemuka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya untuk mewujudkan hukum materiil Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama (Roihan A. Rasyid & Roihan, 2016).

Proses Pembuktian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama. Hukum formil tersebut hanya mengatur dan menentukan hal-hal apa saja yang diatur secara khusus di lingkungan Peradilan Agama, tapi untuk prosedur dan atau tata caranya tidak diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.

Berdasarkan data yang primer yang diperoleh dari wawancara dengan para narasumber yaitu para hakim di Pengadilan Agama pada lingkungan Peradilan Agama, para narasumber berpendapat bahwa penerapan proses pembuktian untuk hal-hal yang diatur secara khusus dalam Peradilan Agama tersebut didalam praktek beracara di Pengadilan Agama menggunakan berbagai macam aturan yang tersebar dibeberapa peraturan-peraturan.

a.    Permohonan Cerai Talaq

Permohonan cerai talak pembuktiannya adalah melalui kesimpulan hakim sesuai dengan Pasal 70 Undang-Undang Peradilan agama, dimana untuk dapat mengabulkan permohonan cerai talak Hakim harus berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan lagi; kesimpulan tersebut merupakan persangkaan hakim dalam hukum acara perdata.

Setelah ada putusan hakim yang mengabulkan permohonan cerai talak tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, Pengadilan Agama mengeluarkan suatu Penetapan yang berisi penetapan mengenai hari sidang penyaksian Iklar Talak, dengan memanggil pemohon cerai talak (suami) dan termohon cerai talak (isteri); Tata cara pemangilannya dilakukan sesuai dengan Pasal 390 HIR/ Pasal 718 RBg.

Sidang penyaksian ikrar talak terbuka untuk umum dan Hakim membuat sebuah Penetapan yang isinya menetapkan putusnya perkawinan antara pemohon dan termohon; �Penetapanini diatur dalam SEMA No. 1 Tahun 1990). Penetapan mengenai putusnya perkawinan dengan permohonan cerai talak ini tidak dapat diajukan upaya hukum banding ataupun kasasi.

 

 

 

b.   Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara.

Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, sebagai alat buktinya pemohon cukup menyampaikan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Sulyadi, 2017). Adapun mengenai lamanya hukuman pidana penjara adalah 5 (lima) tahun atau lebih; hukuman pidana ini dilaksanakan setelah perkawinan berlangsung.

Di dalam praktek Penggugat cukup menyampaikan salinan putusan; disertai dengan keterangan yang menyatakan bahwa putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Penggugat dapat memperoleh salinan putusan tersebut dengan mengajukan surat kepada Ketua Pengadilan Negeri yang pernah memutus perkara pidana tersebut serta memohon agar ia diberi salinan putusan untuk mengurus perceraian perkawinan di Pengadilan Agama.

Dalam Hukum Acara Perdata, salinan putusan merupakan alat bukti tertulis/ surat. Putusan Pengadilan merupakan akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang (dalam hal ini adalah Hakim). Sedangkan salinan putusan yang dilegalisir oleh panitera kepala pengadilan juga dapat dikategorikan sebagai akta otentik. Sebagai akta otentik, salinan putusan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak memerlukan bukti yang lainnya. Hakim hanya tinggal memberi putusan perceraian bagi kedua belah pihak.

c.    Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan/ penyakit, sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya.

Untuk membuktikan kebenaran alasan tersebut ditempuh dengan cara-cara nsebagai berikut Pengakuan dari isteri di muka sidang dengan menujukkan adanya cacat atau penyakit secara nyatakepada hakim, atau Keterangan saksi-saksi yang dapat memberikan keyakinan kepada hakim, atau bila perlu dengan saksi ahli, atau Memerintahkan kepada termohon untuk memerintahkan diri kepada dokter. Dalam hal ini berlaku sistem pembuktian terbalik. Apabila termohon menolak untuk memeriksakan diri kepada dokter, meskipun telah diperintahkan oleh hakim, maka ia akan dikalahkan.

Jadi pembuktian tentang cacat badan/ penyakit dilakukan dengan alat bukti surat, yaitu surat keterangan dokter. Surat keterangan dokter ini merupakan alat bukti yang sempurna.

d.   Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan Syiqaq

Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan syiqaq dapat menggunakan alat bukti keterangan saksi-saksi, dimana saksi-saksi tersebut berasal dari orang-orang yang dekat dengan para pihak. Hal ini dikarenakan perselisihan diantara suami dengan isteri merupakan suatu pristiwa yang sangat rahasia didalam rumah tangga jadi tidak mungkin dibuat dalam bentuk tertulis seperti pristiwa perdata yang lain, untuk itulah diperlukan saksi.

Nuheri menambahkan saksi-saksi yang dimaksud tersebut dapat berasal dari pihak keluarga suami isteri tersebut seperti orang tua, anak, ipar, atau mertua. Selain itu saksi tersebut dapat berasal dari orang-orang yang dekat dengan para pihak, seperti pembantu rumah tangga, supir, atau tetangga suami isteri tersebut.

Kalau perselisihan itu sifatnya sudah mengancam keutuhan rumah tangga dan tidak mungkin didamaikan kembali, maka hakim karena jabatannya berwenang mengangkat Hakam dari masing-masing pihak. Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama mensyaratkan bahwa Hakam yang diangkat berasal dari pihak keluarga ataupun orang lain.

Dari pihak keluarga, dimaksudkan karena dengan adanya hubungan darah itulah Hakam tersebut benar-benar dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Sedangkan Hakam yang berasal dari orang lain, dicari orang yang benar-benar memahami dan mampu menjalankan tugasnya sebagai Hakam. Jika Hakam berhasil merukunkan kembali pasangan suami isteri tersebut maka Pengadilan Agama memutus perkara tersebut dengan putusan perdamaian. Sebaliknya apabila gagal maka Hakim Pengadilan Agama akan menetapkan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri.

e.    Gugatan perceraian atas alasan zina

Proses pembuktian untuk perkara zina itu tidak mudah dilakukan berhubung perbuatan itu dilakukan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi sehingga sulit dibuktikan dengan surat atau saksi. Apabila pihak yang mengajukan gugatan perceraian atas alasan zina tidak dapat melengkapi bukti-bukti dengan 4 (empat) orang saksi dan pihak tergugat menyangkal tersebut maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh pihak penggugat untuk bersumpah, pihak tergugat juga diberi kesempatan untuk meneguhkan sanggahannya dengan sumpah. Penyelesaian ini dinamakan dengan cara Li�an.

Sehubungan dengan hal tersebut undang-undang telah memberi petujuk bahwa pristiwa zina dapat dibuktikan dengan sumpah. Namun sebelum sampai kepada pembuktian dengan sumpah, di isyaratkan harus ada bukti permulaan.

Dalam perkara yang demikian, kemungkinan penggugat hanya dapat mengajukan 1 (satu) saksi saja yang hanya melihat tergugat pergi bersama teman lawan jenisnya, sudah tentu bukti yang diajukan itu dinilai Hakim kurang cukup untuk membuktikan perkara perzinahan tersebut. Kemudian selain bukti tersebut tidak ada bukti-bukti lain untuk melengkapi. Maka dari itu Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk mengangkat sumpah.

Sumpah dalam gugatan perceraian dengan alasan zina selalu dibebankan kepada penggugat sebagai pelengkap.

 

Kesimpulan

Pembuktian dalam Perkara Perceraian di Peradilan Agama menggunakan Hukum Acara baik yang ada di dalam HIR maupun UU Peradilan Agama. Hukum Pembuktian untuk perkara perceraian yang diatur di HIR adalah didalam Pasal 163 HIR yang mengatur bahwa barang siapa yang mendalilkan suatu hak atau suatu pristiwa maka dia yang harus membuktikannya; dan Pasal 164 HIR mengenai macam-macam alat bukti yaitu alat bukti tertulis/ surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Sedangkan pembuktian dalam perkara perceraian yang diatur dalamUndang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama adalah proses perkara termasuk pembuktian didepan sidang Pengadilan Agama mengenai sengketa perkawinan, yaitu mengenai mengenai Permohonan CeraiTalaq (Pasal 66), Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara (Pasal 74), Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan/ penyakit, sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya (Pasal 75), Gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan Syiqaq (Pasal 76), Gugatan perceraian atas alasan zina (Pasal 87). Selain menggunakan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo. Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama sebagai sumber/ dasar hukum, juga menggunakan hukum acara perdata yang berlaku dilingkungan Peradilan Umum yaitu HIR (Het Herzine Indonesisch Reglement; serta menggunakan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung).

Penerapan proses pembuktian Perkara Perceraian dalam praktek beracara di Pengadilan Agama menggunakan berbagai macam aturan yang tersebar dibeberapa peraturan-peraturan. Selain menggunakan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 Jo. Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Jo.Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan agama sebagai sumber/ dasar hukum, juga menggunakan hukum acara perdata yang berlaku dilingkungan Peradilan Umum yaitu HIR (Het Herzine Indonesisch Reglement); serta menggunakan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai sumber hukumnya, sehingga terkadang hal tersebut menyulitkan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Assiddiqi, Muhammad Hasbi. (2023). Penerapan Asas Keaktifan Hakim (Dominus Litis) Dalam Sistem Pembuktian Pada Persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru (Studi Putusan Nomor 20/G/2020/Ptun. Pbr Dan 37/G/2021/Ptun. Pbr). Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

 

Dewi, Ni Ketut Liana Citra, & Surata, I. Gede. (2015). AKTA OTENTIK DALAM PEMBUKTIAN PADA PERKARA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SINGARAJA). Kertha Widya, 3(2).

 

Fauzan, H. M., & SH, M. M. (2016). Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar�iah di Indonesia. Kencana.

 

Harahap, Krisna. (1996). Hukum Acara Perdata Teori & Praktek. Grafitri Budi Utami, Bandung.

 

Harahap, M. Yahya. (2003). Kedudukan kewenangan dan acara peradilan agama UU No. 7 tahun 1989 Edisi Kedua.

 

Indonesia, & Soebekti, R. (1992). Kitab undang undang hukum perdata: burgerlijk wetboek. Pradnya Paramita.

 

Jamal, Ridwan. (2016). Penyelesaian Perkara Gugat Cerai yang di Dasarkan Atas Alasan Syiqaq (Studi Kasus di Pa Kota Manado). Jurnal Ilmiah Al-Syir�ah, 2(2).

 

Muhammad, Rusjdi Ali, & Yulmina, Yulmina. (2019). Multi Alasan Cerai Gugat: Tinjauan Fikih terhadap Cerai Gugat Perkara Nomor: 0138/Pdt. G/2015/MS. Bna pada Mahkamah Syar�iyah Banda Aceh. Samarah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam, 3(1), 33�52.

 

Ramulyo, M. Idris. (1991). Beberapa masalah tentang hukum acara perdata peradilan agama. Ind-Hill.

 

Rasyid, Chatib, & Syaifuddin. (2009). Hukum acara perdata dalam teori dan praktik pada peradilan agama. UII Press.

 

Rasyid, Roihan A., & Roihan, A. (2016). Hukum acara peradilan agama.

 

Saleh, Mohammad. (2015). Problematika Titik Singgung Perkara Perdata di Peradilan Umum dengan Perkara di Lingkungan Peradilan Lainnya.

 

Sulyadi, Sulyadi. (2017). Perbedaan putusan Pengadilan Agama Buntok dan Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya tentang anak kandung sebagai saksi dalam perkara perceraian. IAIN Palangka Raya.

 

 

 

Copyright holder:

Gandes Candra Kirana (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: