Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 9, September
2023
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM
PENEGAKKAN HUKUM PIDANA ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012
Bambang Tri
Suparyanto Nugroho, Gunawan Nachrawi, Adi
Sujatno
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
IBLAM
Email: [email protected], [email protected] [email protected]
Abstrak
Anak dengan segala pengertian dan definisinya memiliki perbedaan karakteristik dengan orang dewasa, ini merupakan titik tolak dalam memandang hak dan kewajiban bagi seorang anak yang akan mempengaruhi pula kedudukannya di hadapan hukum. Dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga disebutkan bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Konsep dan filosofi hukum pidana dan sistem peradilan pidana anak yang memberikan perlindungan secara berimbang hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat dan negara, saat ini dikenal dengan peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, jika dilihat dari filosofi yang mendasari lahirnya undang-undang peradilan anak adalah karena anak belum dapat memahami apa yang dilakukannya serta mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dan sesuai dengan Konvensi Hak Anak 1990 yang diratifikasi oleh Indonesia selaku anggota United Nations (PBB) melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 menyatakan bahwa pidana merupakan upaya terakhir karena anak adalah aset bangsa dan generasi penerus, berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah melakukan upaya hukum untuk mencari jalan terbaik bagi anak dengan menerbitkan suatu peraturan yang disebut dengan peraturan Mahkamah Agung nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak.
Kata kunci: Restorative Justice; Penegakan Hukum; Pidana Anak.
Abstract
Children with all their definitions and
definitions have different characteristics from adults, this is a starting
point in viewing the rights and obligations for a child that will also affect
his position before the law. In consideration of Law Number 11 of 2012
concerning the Juvenile Criminal Justice System, it is also stated that
children are the trust and gift of God Almighty who has dignity and dignity as
a whole person. To maintain their dignity and dignity, children are entitled to
special protection, especially legal protection in the justice system. The
concept and philosophy of criminal law and the juvenile criminal justice system
that provides balanced protection of the rights and interests of perpetrators
and victims of criminal acts, society and the state, is currently known as
restorative justice as a judicial concept that produces restorative justice.
Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System,
hereinafter referred to as the Juvenile Criminal Justice System Law, when
viewed from the philosophy underlying the birth of the juvenile justice law is
because children have not been able to understand what they are doing and
prioritize the best interests of children and in accordance with the 1990
Convention on the Rights of the Child ratified by Indonesia as a member of the
United Nations (UN) through Presidential Decree Number 36 of 1990 states that
Crime is a last resort because children are assets of the nation and the next
generation, based on this law the government makes legal efforts to find the
best way for children by issuing a regulation called Supreme Court regulation
number 4 of 2014 concerning Guidelines for the implementation of diversion in
the juvenile criminal justice system.
Keywords: Restorative Justice; Law Enforcement;
Juvenile Crime.
Pendahuluan
�Restorative Justice" atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Terlepas dari kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana.
Pada hakikatnya hukum dibuat untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi masyarakat luas. Untuk mewujudkan hal tersebut, saat ini mulai dikembangkan metode baru, yakni menggunakan penyelesaian perkara pidana non-litigasi dalam penyelesaian perkara pidana diluar peradilan yang disebut restorative justice. Restorative justice itu sendiri merupakan upaya dalam menyelesaikan perkara pidana tanpa adanya peradilan dan sanksi penjara, namun restorative justice ini mengupayakan kembalinya situasi sebelum adanya tindak pidana dan mencegah adanya tindak pidana dengan mengutamakan musyawarah mufakat oleh kedua pihak dengan didampingi pihak penegak hukum dan menjunjung tinggi nilai keadilan.
Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Latar belakang dibentuknya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) adalah karena selama ini, dalam pelaksanaannya anak diposisikan sebagai obyek, dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak (Pangemanan, 2015).
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) menggunakan pendekatan restorative justice yang dilaksanakan dengan cara pengalihan (diversi), sebagai salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak. Seorang ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya�Restorative Justice an Overview� mengatakan restorative justice adalah sebuah proses di mana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan (di Indonesia, 2009).
Anak dengan segala pengertian dan definisinya memiliki perbedaan karakteristik dengan orang dewasa, ini merupakan titik tolak dalam memandang hak dan kewajiban bagi seorang anak yang akan mempengaruhi pula kedudukannya di hadapan hukum. Dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga disebutkan bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem peradilan (Afandi, 2021). Konsep dan filosofi hukum pidana dan sistem peradilan pidana anak yang memberikan perlindungan secara berimbang hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat dan negara, saat ini dikenal dengan peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif (Zehr & Gohar, 2002).
Menurut Said (2018), perlindungan anak merupakan bagian dari Pembangunan Nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hal ini tercermin pada hakikat pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional (Atmasasmita, 2010).
Anak adalah subjek yang belum dewasa dan rentan dengan perbuatan salah, konsekuensinya adalah perilaku ketidaksadaran anak untuk berbuat menyimpang dari norma yang ada seperti melakukan tindak kekerasan, berkelahi, mengambil milik orang lain, terlibat narkoba, dan tindakan menyimpang lainnya. Anak berdasarkan hukum yang berlaku memiliki definisi yang sedikit berbeda satu dengan yang lainnya di dalam peraturan-peraturan yang berlaku pada umumnya.
Dalam Pasal 1 butir ke 3 Undang-Undang no 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan bahwa: �yang disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana�. Pasal 1 butir ke 2 Undang-undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, menyatakan bahwa: �yang disebut anak adalah sampai batas usia sebelum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin�.
Penggolongan tersebut dibagi dalam 3 (tiga) fase, yaitu Wagiati (2008): fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 sampai 7 tahun yang disebut sebagai masa anak kecil. Fase kedua adalah dimulainya pada usia 7 sampai 14 tahun yang disebut sebagai masa kanak-kanak. Dan fase ketiga adalah dimulainya pada usia 14 sampai 21 tahun yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan adolescent, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak-anak menjadi orang dewasa.
Dalam kebijakan implementasi restorative justice dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia di masa yang akan datang dapat menjamin terlindunginya hak-hak anak yang dapat diketahui dari kebijakan yang dilakukan untuk mengalihkan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana untuk menghindarkan anak dari pemidanaan.
Sistem peradilan pidana khusus bagi anak tentunya memiliki tujuan khusus bagi kepentingan masa depan anak dan masyarakat yang didalamnya terkandung prinsip-prinsip restorative justice, definisi restorative justice itu sendiri tidak seragam, sebab banyak variasi model dan bentuk yang berkembang dalam penerapannya.
Oleh karena itu, banyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan konsep restorative justice, seperti keadilan komunitarian, keadilan positif, keadilan relasional, keadilan reparatif, dan keadilan masyarakat.
Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekomendasikan konflik mereka. Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh (korban), pelaku dan �kepentingan komunitas� mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka.
�Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka, daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Restorative justice juga mengupayakan untuk me-restore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
Secara prinsipil melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mengedepankan pendekatan restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga penerapan restorative justice akan menawarkan jawaban atas isu-isu penting dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu: 1) Kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban (criminal justice system that disempowers individu). 2) Menghilangkan konflik khususnya antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the conflict from them); ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami sebagai akibat dari tindak pidana harus diatasi untuk mencapai perbaikan (in order to achieve reparation) (Aertsen, Bol�var, & Lauwers, 2011).
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutnya disebut sebagai Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak, jika dilihat dari filosofi yang mendasari lahirnya undang-undang peradilan anak adalah karena anak belum dapat memahami apa yang dilakukannya serta mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dan sesuai dengan Konvensi Hak Anak 1990 yang diratifikasi oleh Indonesia selaku anggota United Nations (PBB) melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 menyatakan bahwa pidana merupakan upaya terakhir karena anak adalah aset bangsa dan generasi penerus, berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah melakukan upaya hukum untuk mencari jalan terbaik bagi anak dengan menerbitkan suatu peraturan yang disebut dengan peraturan Mahkamah Agung nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak.
Seorang anak dalam melakukan suatu kejahatan sebenarnya terlalu ekstrim apabila disebut sebagai tindak pidana (Wahyudi, 2011). Hal ini dikarenakan seorang anak dianggap memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, serta agresif yang dapat mengganggu ketertiban umum. Mengganggu ketertiban umum di sini seperti mengkonsumsi narkoba, pergaulan bebas, tawuran antar pelajar, penipuan, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang intinya membuat susah dan resah orang tuanya.
Anak nakal itu merupakan hal yang wajar saja, karena tidak seorangpun dari orang tua menghendaki kenakalan anaknya berlebihan sehingga menjurus ke tindak pidana (Salam, 2005). Seiring dengan perkembangan zaman kenakalan anak telah memasuki ambang batas yang sangat memprihatinkan (Wadog, 2000). Menurut Romli Atmasasmita mengenai kenakalan anak juvenile delinquency adalah �setiap perbuatan atau tingkah laku seorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi anak yang bersangkutan.
Anak yang melakukan tindak pidana dalam konteks hukum positif yang berlaku di Indonesia tetap harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, namun demikian mengingat pelaku tindak pidana masih di bawah umur maka proses penegakan hukumnya dilaksanakan secara khusus. Dalam perkembangannya untuk melindungi anak, terutama perlindungan khusus yaitu perlindungan hukum dalam sistem peradilan Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, memberikan perlakuan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, baik dalam hukum acaranya maupun pradilanya. Hal ini mengikat sifat anak dan keadaan psikologisnya dalam beberapa hal memerlukan perlakuan khusus serta perlindungan yang khusus pula, terutama terhadap tindakan-tindakan yang pada dasarnya dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak.
Pelaksanaan penyidikan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak terkait bagaimanakah proses penyidikan yang dilakukan penyidik yang ditentukan oleh KUHAP, serta Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang secara khusus mengatur hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum, yang diterapkan penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Karena anak belum sadar sepenuhnya dalam bertindak dan kondisi psikologis yang tidak seimbang (Djamil, 2017).
Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini dianggap tidak sesuai karena dinilai belum memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Karena penanganan kejahatan anak tentunya berbeda dengan yang dilakukan oleh orang dewasa karena dalam hal ini anak masih sangat rentan baik secara fisik dan psikisnya (Kartono, 2010). Secara umum penegakan hukum dapat diartikan sebagai tindakan menerapkan perangkat sarana hukum tertentu untuk memaksakan sanksi hukum guna menjamin pentaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan tersebut.
Proses peradilan pidana anak menimbulkan efek negatif yaitu dapat berupa penderitaan fisik dan emosional seperti ketakutan, kegelisahan,dan lainnya. Begitu juga efek negatif adanya putusan hakim pemidanaan terhadap anak maka stigma yang berkelanjutan, rasa bersalah pada diri anak dan sampai pada kemarahan dari pihak keluarga (Rahardjo, 1980).�
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan penelitian ini adalah 1) Bagaimana Penerapan Restorative Justice Dalam Penegakkan Hukum Pidana Anak? 2) Bagaimana Hukum Positif di Indonesia dalam Penegakkan Hukum Pidana Anak?
Metode Penelitian
Metode
penelitian berperan penting untuk mendapatkan
data yang akurat dan terpercaya.
Metode penelitian ini juga digunakan sebagai alat atau cara
untuk pedoman dalam melakukan penelitian. Jenis penelitian yang
dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah dengan
menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder.
Hasil dan Pembahasan
A.
Penerapan
Restorative Justice Dalam Penegakkan Hukum Pidana Anak
Proses pemulihan menurut konsep restorative
justice adalah melalui diversi yaitu pengalihan
atau pemindahan dari proses peradilan dalam proses alternatif penyelesaian perkara, yaitu melalui musyawarah
pemulihan atau mediasi. Apabila perkaranya tidak dapat diselesaikan secara mediasi sistem peradilan pidana anak harus
mengacu pada due process of law, sehingga
hak asasi anak yang diduga melakukan tindak pidana dan atau telah terbukti melakukan tindak pidana dapat dilindungi.
Dalam menyelesaikan
perkara anak, anak harus diberlakukan
secara khusus. Perlindungan khusus ini terdapat pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini mengingat sifat
dan psikis anak dalam beberapa hal tertentu memerlukan
perlakuan khusus, serta perlindungan yang khusus pula, terutama pada tindakan-tindakan yang dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak.
Perlakuan khusus dimulai pada saat tahap penyidikan, harus dibedakan pemeriksaan terhadap anak di bawah umur
dengan orang dewasa. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan
atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.
Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibuat untuk memberikan
rasa keadilan kepada anak, memberikan kesempatan kepada anak untuk ikut
serta di dalam menyelesaikan konflik, dan bertanggung jawab atas apa yang telah
dilakukan, karena di dalamnya terdapat diversi melalui pendekatan Restorative Justice yang menekankan
pemulihan pada keadaan semula.
Dalam hal penyidikan kepada anak di bawah umur
pada umumnya seringkali didapatkan adanya paksaan dari pihak
penyidik untuk mengakui perbuatan tindak pidana yang telah diperbuat, dapat disimpulkan bahwa hak anak
seringkali tidak dilihat di dalam tahap penyidikan, padahal seorang anak yang terlibat dalam tindak pidana
harus diberikan perlindungan khusus. Dalam pasal 17 ayat (1) tertulis bahwa, Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim wajib memberikan perlindungan khusus bagi anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat.
Penyidik yang melakukan penyidikan kepada anak dalam konsep
restorative justice harus mengutamakan
perlakuan khusus seperti yang tertulis dalam Pasal 17. Perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum juga dapat dilihat dalam Pasal
59 Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan
Anak bahwa �Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan
perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum�.
Penyidikan yang dilakukan kepada anak tidak
boleh menggunakan atribut penegak hukum seperti penyidikan
pada umumnya. Karena dapat memperburuk kondisi mental dan psikologis anak yang belum siap untuk
berhadapan dengan hukum. Sehingga dalam tahap penerapan
restorative justice sangat diperlukan peran dari Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan social Pidana penjara dan pidana kurungan menjadi alternative pertama dan kedua dalam penanganan masalah anak.
Ini menunjukan bahwa pemerintah masih menganut hukum feudal yang selalu berprinsip bahwa pelaku kejahatan harus dihukum untuk
memberikan efek jera pada pelaku dan masyarakat. Seharusnya untuk kasus anak
ini diperlakukan berbeda yaitu dengan
diterapkannya pendekatan
restorative justice karena anak
bukan subjek hukum dan belum bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya di hadapan hukum. Jadi sangsi yang diberikan pada anak yang melakukan kesalahan bukan efek jera tapi
pembinaan dan bimbingan dari orang tua dan lembaga pendidikan agar dapat merubah perilaku
anak sesuai dengan sistem dan aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Tahapan setelah penyidikan adalah penuntutan, yang dijalankan oleh penuntut umum. Menurut Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa �Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh)
hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik�.
Pada tahap penuntutan penuntut umum wajib
mengupayakan pengalihan hukum demi kepentingan terbaik bagi pelaku
anak melalui pendekatan keadilan restoratif.
Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, penuntut umum menyampaikan
berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan.
Apabila dalam hal diversi gagal , penuntut
umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan
dengan melampirkan laporan hasil penelitian
kemasyarakatan.
Pengalihan hukum melalui pendekatan Restorative Justice
dapat diterapkan pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Menurut Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan �Hakim wajib mengupayakan diversi paling lama tujuh hari setelah ditetapkan
oleh ketua pengadilan
negeri sebagai hakim�.
Apabila proses pengalihan hukum (diversi) melalui pendekatan restorative
justice berhasil mencapai kesepakatan, hakim menyampaikan berita acara diversi kepada ketua pengadilan
negeri untuk dibuat penetapan. Apabila diversi gagal maka
perkara tersebut dilanjutkan ke tahap persidangan dengan menjaga suasana kekeluargaan tetap terjaga, sehingga anak dapat
mengutarakan segala peristiwa dan perasaanya secara terbuka dan jujur selama sidang
berjalan.
Perbedaan anak yang berhadapan dengan hukum dengan pelaku
dewasa ini juga terlihat dari pemidanaannya,
pelaku dewasa hukuman mati merupakan
pidana terakhir untuk pelaku dewasa,
sedangkan anak adalah penjara itupun untuk sebagai
pilihan terakhir dan tidak diperbolehkan hukuman mati/penjara
seumur hidup.
Perbedaan lainnya juga ada dalam proses peradilannya. Untuk anak yang berhadapan dengan hukum proses penahanannya dalam proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan relatif lebih singkat dibandingkan
orang dewasa. Selain itu selama proses tersebut anak yang berhadapan dengan hukum juga harus selalu didampingi
oleh orangtua/wali, Bapas, Peksos, dan pihak-pihak terkait lainnya. Berbeda dengan orang dewasa yang hanya mendapatkan hak didampingi oleh kuasa hukum atau
mendapatkan bantuan hukum.
Jika melihat
serangkaian proses hukum
yang dilakukan oleh anak, maka unsur-unsur yang tertuang pun dengan harkat dan martabat atau kebawah dengan
berpedoman peradilan anak, harus mengacu
kepada UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak perubahan terhadap UU Nomor 23 Tahun 2002, bahwa perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan kriminalisasi.
Beberapa kesulitan
yang mungkin timbul dalam penerapan restorative
justice adalah sebagai berikut Pradityo, (2016): a) Kesulitan
mempertemukan keseimbangan pelbagai kepentingan pihak-pihak (pelaku, korban, masyarakat dan Negara); b) Ketidaktaatan
terhadap pedoman dan asas-asas dasar yang telah dirumuskan; c) Perasaan korban yang merasa mengalami ketakutan karena merasa ditekan;
d) Percobaan dari sistem peradilan pidana formal untuk mengambil alih gerakan keadilan restoratif dengan alasan agar sesuai dengan sistem tradisional
yang ada beserta birokrasinya; e) Penerapan keadilan restoratif harus dilakukan secara sistematik dengan terlebih dahulu memantapkan sistem hukum yang mendasari, baik struktur substansi maupun insider yang akan terlibat langsung.
Terkait dengan
hukuman terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, berdasarkan
UU SPPA disebutkan ada dua macam, yaitu pidana
atau tindakan. Ketentuan pidana dan tindakan disebutkan dalam Bab V UU SPPA Pasal 69: (1)
Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenal tindakan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya
dapat dikenai tindakan.Berdasarkan Pasal 69 di atas, hukuman terhadap anak yang berhadapan dengan hukum hanya
ada dua macam, yaitu pidana dan tindakan.
Mengenai tindakan
ini, terdapat batasan bahwa anak
yang belum berusia 14 (empat belas) tahun
hanya dikenal tindakan. Ketentuan mengenai Restorative Justice tampak
dalam Pasal 70, yang menyebutkan bahwa hakim dapat tidak menjatuhkan
pidana atau pengenaan tindakan dengan berdasarkan pada pertimbangan segi keadilan dan kemanusiaan. Penerapan pidana penjara terhadap anak hanyalah digunakan
sebagai upaya terakhir. Ketentuan ini jelas memberikan
perlindungan hak-hak anak, dengan mengedepankan
pendekatan Restorative Justice.
Ketentuan tersebut
secara jelas disebutkan dalam Pasal 81 Ayat (5), yang berbunyi:
(1) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.Sistem
Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif.
Sistem Peradilan
Pidana Anak meliputi:a)
Penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. b) Persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan
dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan
Diversi. Diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Secara prinsipil melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mengedepankan pendekatan
restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian
tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga penerapan restorative
justice akan menawarkan jawaban atas isu-isu
penting dalam penyelesaian-penyelesaian perkara
pidana anak.
B. Hukum Positif
di Indonesia dalam Penegakkan Hukum Pidana Anak
Pelanggaran terhadap
norma hukum yang membuat seorang anak harus
berhadapan dengan sistem peradilan, menimbulkan tanggapan yang mengatakan bahwa adanya penegak hukum yang belum memberikan perhatian secara khusus terhadap
tersangka anak, dan hal tersebut menunjukan
bahwa hukum yang ada di Indonesia masih belum cukup berpihak
pada anak-anak, sedangkan sebagai bagian dari subjek hukum
anak-anak mestinya mendapatkan perlindungan dikarenakan anak adalah titipan Tuhan dan generasi penerus keluarga, marga, suku, bangsa dan Negara serta generasi penerus umat manusia.
Perlindungan anak tersebut adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan
dan pertumbuhan anak secara wajar baik
fisik, mental dan sosial19. Perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan juvenile delinquency, hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak, karena terlalu keras bila seorang
anak yang melakukan tindak pidana dikatakan
sebagai penjahat. Dalam tahap penahanan terhadap pelaku tindak pidana anak
tidak sama dengan penahanan pada umumnya.
Dalam Pasal
21 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan:
a) Diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; b) Dalam hal adanya keadaan
yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak, atau menghilangkan
barang bukti; c) Mengulangi tindak pidana.
Dalam praktik
penyidik atau Jaksa Penuntut Umum serta Hakim yang melakukan penahanan, mempergunakan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Apakah seorang anak yang masih di bawah umur yang kemudian ditahan dengan alasan bahwa akan
melarikan diri padahal anak tersebut
memiliki identitas dan keluarga yang jelas.
Proses penahanan
menurut Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, penahanan terhadap anak tidak
boleh dilakukan dalam hal anak
memperoleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga
bahwa anak tidak akan melarikan
diri, tidak akan merusak atau
menghilangkan barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi
tindak pidana.
1. Hak-Hak Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: a) diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya,
seperti beribadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapatkan kunjungan dari keluarga/pendamping,
perawatan rohani dan jasmani, pendidikan dan pengajaran, pelayanan kesehatan danmakanan yang layak, bahan bacaan,
serta menyampaikan keluhan, dan mengikuti siaran media massa. b) dipisahkan dari orang dewasa. c) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. d) melakukan kegiatan rekreasional, seperti kegiatan latihan fisik bebas
sehari-hari di udara terbuka. Anak juga harus memiliki waktu tambahan untuk kegiatan hiburan harian, kesenian, atau mengembangkan keterampilan. e) bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya. Perbuatan yang merendahkan derajat dan martabat anak, misalnya anak disuruh membuka
baju dan lari berkeliling, anak digunduli rambutnya, diborgol, disuruh membersihkan toilet, serta anak perempuan
disuruh memijat penyidik laki-laki. f) tidak dijatuhi pidana mati atau
pidana seumur hidup. g) tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. h) memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; i)
tidak dipublikasikan identitasnya;memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya
oleh anak. j) memperoleh advokasi social. k) memperoleh kehidupan pribadi, diantaranya dibolehkan membawa barang atau perlengkapan pribadinya, seperti mainan, dan jika anak ditahan atau
ditempatkan di Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA), anak berhak memiliki atau membawa selimut
atau bantal, pakaian sendiri, dan diberikan tempat tidur yang terpisah. l)��� memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat.
m) memperoleh pendidikan. n)
memperoleh pelayanan kesehatan. o) memperoleh hak lain sesuai dengan UU tentang Hukum Acara Pidana, yakni hak
untuk tidak menghadiri sidang bagi anak yang belum mencapai umur 17 tahun dan mengikuti sidang tertutup bagi anak
berusia lebih dari 17 tahun dan di bawah 18 tahun, serta hak menurut
UU tentang Pemasyarakatan, seperti menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lain.
Kemudian untuk anak yang sedang menjalani masa pidana, mempunyai hak sebagai
berikut: a) mendapat pengurangan masa pidana; b) memperoleh asimilasi. c) memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d) memperoleh pembebasan bersyarat. e) memperoleh cuti menjelang bebas; f) memperoleh cuti bersyarat. g) memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Diversi Sebagai
Restorative Justice Di Indonesia
Definisi diversi
sendiri adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Program diversi memberi keuntungan pada masyarakat dalam penanganan yang awal dan cepat terhadap perilaku menyimpang. Manfaat pelaksanaan
program diversi adalah: a) Membantu
anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi selekas mungkin. b) Memperbaiki luka-luka karena kejadian tersebut, kepada keluarga, korban dan masyarakat. c)
Kerjasama dengan pihak
orang tua, pengasuh dan diberi nasihat hidup sehari-hari. d)��������� Melengkapi dan
membangkitkan anak-anak untuk membuat keputusan
yang bertanggung jawab. e) Memberikan tanggung jawab anak atas
perbuatannya dan memberikan
pelajaran tentang kesempatan mengamati akibat-akibat dan efek kasus tersebut. f) Memberikan pilihan bagi pelaku untuk
berkesempatan menjaga agar tetap bersih dari
catatan kejahatan. g) Mengurangi beban pada peradilan dan lembaga penjara.
Beberapa faktor
situasi yang menjadi pertimbangan pelaksanaan diversi adalah sifat dan kondisi perbuatan, pelanggaran yang sebelumnya dilakukan, derajat keterlibatan anak dalam kasus,
sikap anak terhadap perbuatan tersebut, reaksi orang tua dan/atau keluarga
anak terhadap perbuatan tersebut, dampak perbuatan terhadap korban, pandangan Hakim tentang penanganan yang ditawarkan.
Oleh karena
itu menurut penjelasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi. Diversi merupakan hal yang wajib diupayakan dalam setiap tingkat pemeriksaan, bahkan ada sanksi administratif
bagi pejabat atau petugas yang tidak mengupayakan diversi (Joni & Zulchana, 1999). Apabila diversi
berhasil dilakukan dengan hasil yang telah disepakati, kemudian akan dibuat
penetapan ketua Pengadilan Negeri tentang kesepakatan diversi lalu dicatat pada Register Kesepakatan Diversi yang ada pada
Pengadilan Negeri setempat.
Undang-undang Sistem
Peradilan Pidana Anak mewajibkan dilakukannya diversi dalam semua
tahap pemeriksaan baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat
(1), dan dalam tulisan ini,
Penulis mencoba membahas bagaimana penerapan diversi dalam tahap pemeriksaan
di persidangan, karena undang-undang ini tidak mengatur secara teknis mengenai
penerapan diversi.
Sehubungan dengan
penyelesaian perkara anak melalui diversi,
Mahkamah Agung selaku badan
peradilan yang membawahi Pengadilan Negeri selaku pengadilan tingkat pertama yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan diversi telah mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak, maka
Hakim-Hakim yang menangani perkara
pidana anak berpedoman dengan PERMA tersebut.
Dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka terhadap perkara anak wajib dilakukan
diversi dalam setiap pemeriksaan perkara anak sejak
dari penyidikan, penuntutan sampai dengan pemeriksaan pada persidangan.
Berdasarkan beberapa
teori-teori pemidanaan yang
telah dijelaskan terlebih dahulu pada bab sebelumnya, maka dapat dikatakan
bahwa pada dasarnya diversi mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan anak, yang terlihat dari hal-hal sebagai
berikut: a) Diversi sebagai
proses pengalihan dari
proses yustisial ke proses
non yustisial, bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana yang seringkali menimbulkan pengalaman yang pahit berupa stigmatisasi (cap negatif) berkepanjangan, dehumanisasi (pengasingan dari masyarakat) dan menghindarkan anak dari kemungkinan terjadinya prisionisasi yang menjadi sarana transfer kejahatan terhadap anak. b) Perampasan kemerdekaan terhadap anak baik dalam
bentuk pidana penjara maupun dalam bentuk perampasan
yang lain melalui mekanisme
peradilan pidana, memberi pengalaman traumatis terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan jiwanya. Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia peradilan akan menjadi bayang-bayang
gelap kehidupan anak yang tidak mudah dilupakan. c) Dengan diversi tersebut maka anak
terhindar dari penerapan hukum pidana yang dalam banyak teori telah
didalilkan sebagai salah satu faktor kriminogen,
berarti juga menghindarkan anak dari kemungkinan
menjadi jahat kembali (recidive), menghindarkan masyarakat dari kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan. d) Dengan diversi akan memberikan
2 (dua) keuntungan sekaligus
terhadap individu anak. Pertama; anak tetap dapat
berkomunikasi dengan lingkungannya sehingga tidak perlu beradaptasi
sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua; anak terhindar
dari dampak negatif prisionisasi yang seringkali merupakan sarana transfer kejahatan.
Dalam hal
proses persidangan peradilan
anak Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan PERMA Nomor 4 Tahun 2014 dengan mengingat Pasal 15 UU Nomor 11 Tahun 2012 untuk mengisi kekosongan hukum acara mengenai pelaksanaan diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi. Dalam pasal 3 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 menyebutkan: �Hakim anak wajib mengupayakan
diversi dalam hal anak didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara
di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana
yang diancam pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih
dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas,
alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan)�.
Dasar dilaksanakan
diversi bagi Penyidik dan Penuntut Umum adalah hanya UU Nomor 11 Tahun 2012 dan Peraturan Pelaksana Nomor 65 Tahun 2015 sedangkan kedua peraturan tersebut tidak memberikan penjelasan mengenai hal tersebut dan tidak ada petunjuk
teknis dari masing-masing, sedangkan PERMA hanya berlaku untuk intern dari Mahkamah Agung RI yang dalam hal ini
diterapkan oleh Pengadilan
Negeri dan dalam PERMA tersebut
juga tidak menjelaskan mengenai penerapan pasal 79 karena hanya mengatur mengenai tata cara proses diversi saja sehingga
menurut penulis untuk dapat menerapkan
pasal tersebut adalah penafsiran dari masing-masing aparat penegak hukum.
Dalam
Pasal 1 Angka 5 disebutkan:
�Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Adapun tujuan
diversi adalah untuk: a) Mencapai perdamaian antara korban dan Anak.
b) Menyelesaikan perkara
Anak di luar proses peradilan.
c) Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan. d) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi. e) Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Berdasarkan Pasal
8 angka (3) di atas jelas bahwa dalam
proses diversi wajib diperhatikan 6 (enam) aspek yaitu: a) Kepentingan korban. b) Kesejahteraan
dan tanggung jawab anak. c) Penghindaran stigma negative.
d) Penghindaran pembalasan.
e) Keharmonisan masyarakat.
f) Kepatutan, kesusilaan,
dan ketertiban umum.
Bentuk putusan
pengadilan ketika tercapai kesepakatan Diversi adalah penetapan. Penetapan ini dilakukan
paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah diterimanya kesepakatan Diversi. Penetapan ini kemudian
disampaikan kepada Pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut Umum, atau hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.
Setelah menerima penetapan tersebut Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 12 Ayat (2) sampai dengan ayat
(5), sebagai berikut:
a. Hasil
kesepakatan Diversi sebagaimana
dimaksud pada ayat
Disampaikan oleh atasan
langsung pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak
kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.
b. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari Terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
c. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing kemasyarakatan, penyidik, penuntut Umum, atau hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.
d. Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.
Mekanisme penerapan
Restorative Justice di dalam pengadilan
tetap dimulai dengan upaya Diversi, yang dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan
negeri. Kemudian ketika
Diversi itu tidak berhasil mencapai kesepakatan, maka perkara dilanjutkan kepada tahap persidangan.
Mekanisme demikian ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 52 Ayat (1) sampai dengan Ayat (6). Berikut ketentuan pasal 25 Ayat (1) sampai dengan Ayat (6): Bagian Keenam pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Dalam Pasal 52: a) Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk menangani perkara Anak paling
lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara dari Penuntut Umum. b) Hakim wajib mengupayakan Diversi paling
lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim. c) Diversi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 30 (tiga
puluh) hari. d) Proses
Diversi dapat dilaksanakan
di ruang mediasi pengadilan negeri. e) Dalam hal
proses Diversi berhasil mencapai
kesepakatan Hakim menyampaikan
berita acara Diversi beserta
kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
f) Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.
Kesimpulan
Bahwa Dalam menyelesaikan perkara anak, anak harus diberlakukan secara khusus. Perlindungan khusus ini terdapat pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini mengingat sifat dan psikis anak dalam beberapa hal tertentu memerlukan perlakuan khusus, serta perlindungan yang khusus pula, terutama pada tindakan-tindakan yang dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak. Perlakuan khusus dimulai pada saat tahap penyidikan, harus dibedakan pemeriksaan terhadap anak di bawah umur dengan orang dewasa. Penerapan pidana penjara terhadap anak hanyalah digunakan sebagai upaya terakhir.
Ketentuan ini jelas memberikan perlindungan hak-hak anak, dengan mengedepankan pendekatan Restorative Justice. Ketentuan tersebut secara jelas disebutkan dalam Pasal 81 Ayat (5), yang berbunyi: (1) Pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Bahwa Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Secara prinsipil melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 telah mengedepankan pendekatan restorative justice dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga penerapan restorative justice akan menawarkan jawaban atas isu-isu penting dalam penyelesaian-penyelesaian perkara pidana anak. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka terhadap perkara anak wajib dilakukan diversi dalam setiap pemeriksaan perkara anak sejak dari penyidikan, penuntutan sampai dengan pemeriksaan pada persidangan
Aertsen, Ivo, Bol�var, Daniela, & Lauwers,
Nathalie. (2011). Restorative justice and the active victim: exploring the
concept of empowerment. Temida, 14(1), 5�19.
Afandi,
Masngud. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak
Pidana Melalui Diversi Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana Anak.
Universitas Islam Sultan Agung (Indonesia).
Atmasasmita,
Romli. (2010). Sistem peradilan pidana kontemporer.
di
Indonesia, Peradilan Pidana Anak. (2009). pengembangan konsep diversi dan
Restorative Justice. Bandung: PT Refika Aditama.
Djamil,
Nasir. (2017). Anak Bukan untuk dihukum. Sinar Grafika.
Joni,
Muhammad, & Zulchana, Z. Tanamas. (1999). Aspek Hukum Perlindungan Anak
dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung, PT. Citra Aditya Bhakti.
Kartono,
Kartini. (2010). Kenakalan Remaja Patologi Sosial 2. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Pangemanan,
Jefferson B. (2015). Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia. Lex et Societatis, 3(1).
Pradityo,
Randy. (2016). Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal
Hukum Dan Peradilan, 5(3), 319�330.
Rahardjo,
Satjipto. (1980). Masalah penegakan hukum: Suatu tinjauan sosiologis.
Sinar Baru.
Said,
Muhammad Fachri. (2018). Perlindungan hukum terhadap anak dalam perspektif hak
asasi manusia. JCH (Jurnal Cendekia Hukum), 4(1), 141�152.
Salam,
Moch Faisal. (2005). Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia. Bandung:
Mandar Maju.
Wadog,
Maulana Hassan. (2000). Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,
Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta.
Wagiati,
Soetodjo. (2008). Hukum Pidana Anak. PT. Refika Aditama, Bandung.
Wahyudi,
Setya. (2011). Implementasi ide diversi dalam pembaruan sistem peradilan pidana
anak di Indonesia. (No Title).
Zehr,
Howard, & Gohar, Ali. (2002). The Little Book of Restorative Justice,
Pennsylvania. Good Books.
Copyright holder: Bambang Tri Suparyanto Nugroho, Gunawan Nachrawi, Adi Sujatno (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |