Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

ANALISIS INFLASI DI INDONESIA: PENERAPAN MODEL VITALIANO

 

Rika Swastika*, Taufiq Chaidir, Ida Ayu Putri Suprapti

Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mataram

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kasus inflasi di Indonesia, yang didasari oleh permasalahan kanaikan tingkat harga (inflasi) yang menjadi masalah klasikperekonomian berbagai negara terutama negara berkembang seperti Indonesia. Pada penelitian ini menggunakan model Vitaliano untuk menganalisis inflasi, variabel yang termasuk dalam model ini adalah jumlah uang beredar (M2), pertumbuhan ekonomi yang diukur oleh produk domestic bruto dan pengeluaran pemerintah. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Error Correction Model, dengan hasil pengujian menyimpulkan bahwa variabel jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap inflasi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

 

Kata Kunci: Inflasi, Vitaliano, JUB, GDP, Pengeluaran Pemerintah

 

 

Abstract

This study aims to analyze the case of inflation in Indonesia, which is based on the problem of raising the price level (inflation) which is a classic economic problem of various countries, especially developing countries such as Indonesia. In this study using the Vitaliano model to analyze inflation, the variables included in this model are the money supply (M2), economic growth as measured by gross domestic product and government spending. The analytical tool used in this study is the Error Correction Model, with the test results concluding that the variables of money supply, economic growth and government spending have no effect on inflation in both the short and long run.

 

Keywords: Inflation, Vitaliano, JUB, GDP, Government Spending.

 

Pendahuluan

Stabilitas ekonomi menjadiprasyarat yang signifikan terhadap kelancaran dan keberhasilan pembangunan ekonomi, terlebih dalam menciptakan iklim ekonomi yang mendorong masyarakat untuk menabung dan berinvestasi, mendorong efisiensi dalampengadaan dan penggunaan barang serta jasa dengan tujuan lebih produktif, serta meningkatkan daya saing dalam kegiatan perdagangan internasional yang mendukung perbaikan catatan ekonomi pada neraca pembayaran internasional (Nurhayati, Asmawati, Ihromi, Marianah, & Saputrayadi, 2020).

Akan tetapi, masalah kestabilan perekonomian menjadi perhatian khusus klasik baik negara maju dannegara berkembang seperti Indonesia yang sangat bergantung pada kebijakan moneter (Ismail & Indrawati, 2020). Sesuai dengan ungkapan II (2023), kebijakan moneter merupakan jalan yang ditempuh oleh bank sentral (Bank Indonesia) untuk memengaruhi dan mengarahkan aktivitas ekonomi dan finansial pada tujuan yang ingin dicapai, pada umumnya terkait kestabilan harga dengan pertimbangan pertumbuhan ekonomi (Sriyono, 2013). Sehingga proses tersebut menggambarkan mekanisme ekonomi moneter yang disebut dengan transmisi kebijakan moneter.

Sebagaimana uraian di atas, salah satu dari masalah kestabilan yang menjadi perhatian khusus di seluruh negara adalah terkait inflasi karena inflasi merupakan indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengukur stabilitas ekonomi negara. Sehingga Poetra (2016) mengatakan inflasi ada di mana saja dan selalu menjadi fenomena moneter yang mencerminkan adanya pertumbuhan moneter yang berlebihan dan tidak stabil. Inflasi merupakan kejadian yang menunjukkan kenaikan harga secara umum dan berlangsung dalam waktu yang terus-menerus, sehingga dapat diamati terdapat kriteria untuk melihat setelah terjadinya inflasi yaitu harga meningkat, secara umum, dan terus-menerus dalam rentang waktu tertentu.

Inflasi atau dikenal dengan kenaikan harga barang dan jasa secara umum dapat menjadi beban bagi banyak pihak, karena kemampuan untuk membeli suatu mata uang menjadi lebih rendah. Karena penurunan daya beli mata uang, membuat kemampuan masyarakat berpendapatan tetap dalam membeli kebutuhan sehari-hari menjadi semakin menurun.

Perubahan harga dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat pada waktu tertentu, diukur menggunakan indeks harga konsumen (IHK) sekaligus merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur laju inflasi (Siregar, 2020). Pada saat IHK meningkat, maka tingkat harga akan terdistorsi. Keadaan tersebut tentu akan sulit dalam membuat suatu perencanaan, sehingga pada akhirnya tidak mendorong minat masyarakat dan dunia usaha untuk menabung dan berinvestasi.

Kenaikan dan penurunan laju inflasi yang terjadi, disebabkan oleh faktor di dalam ataupun luar negeri yang sangaat beragam, dan penyebab fluktuasi inflasi tiap negara tidak sama (Bina, 2023). Hal tersebut disebabkan antara lain oleh kondisi ekonomi dan berbagai aspek lainnya seperti hukum, budaya dan kelembagaan yang berlaku pada masing-masing negara. Sehingga sesuai dengan ungkapan Utari dkk dalam Kusumatrisna dkk (2022) menyatakan bahwa perbedaan tersebut mencerminkan sumber karakteristik tekanan harga, seperti kualitas infrastruktur logistik, kemampuan produksi pangan, kebijakan harga yang diatur, struktur pasar, jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, serta pengeluaran pemerintah.

Identifikasi sumber inflasi dan variabel makro lainnya yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, menemukan bahwa pertumbuhan populasi mempengaruhi tingkat inflasi secara positif, dilihat melalui pengaruhnya terhadap permintaan agregat yang lebih tinggi dan respons penawaran yang lambat (Darlin, 2017). Akan tetapi efek ini akan kuat ketika penawaran agregat tidak mampu mengimbangi.

Valogo dkk (2023) menganalisis pengaruh threshold pass through nilai tukar terhadap inflasi dalam konteks Ghana, menyatakan bahwa nilai tukar memiliki efek pass-through positif yang signifikan terhadap inflasi dan memberikan kepercayaan terhadap relevansi level threshold. Sejalan dengan Mukhtarov dkk (2019), mengkonfirmasi adanya hubungan jangka panjang antar variabel yang menunjukkan bahwa harga minyak dan nilai tukar berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap inflasi dalam jangka panjang di Azerbaijan.

Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa inflasi diamati selama periode harga minyak tinggi dan rendah, dan nilai tukar bertindak sebagai saluran transmisi dari harga minyak terhadap inflasi. Serta dalam penelitian Nazarian (2014), simetris pass-through dari harga minyak terhadap inflasi di Iran mengungkapkan bahwa hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara komponen positif indeks harga konsumen dan harga minyak adalah non-linier. Sejalan dengan hubungan jangka panjang, hubungan yang positif dan bermakna antara harga minyak dan inflasi. Temuan penting lainnya dari penelitian ini adalah bahwa harga minyak di Iran melewati inflasi secara asimetris. Artinya, pass-through harga minyak terhadap inflasi di Iran cukup besar.

Dalam penelitian Ahmed dkk (2014) terkait determinan inflasi, menunjukkan dinamika inflasi jangka panjang dan jangka pendek dalam kasus Pakistan, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah saat ini, impor, krisis energi, kesenjangan output, dan produk domestik bruto (GDP) memberikan kontribusi positif dalam kasus Pakistan. Pandangan tersebut juga diperkuat dengan penelitian Chaudary dkk (2018) yang membuktikan hubungan antara inflasi, jumlah uang beredar, PDB riil dan harga impor dengan meninjau studi yang relevan menggunakan Nepal sebagai negara referensi.

Jelas bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar, tingkat pertumbuhan PDB riil dan harga impor merupakan penentu utama inflasi di Nepal. Studi ini menunjukkan bahwa harga di Nepal sangat bergantung pada harga barang dan jasa di India karena pasokan produksi dalam negeri yang lebih lemah ditambah dengan meningkatnya harga barang impor dari India. Dalam konteks ini, faktor dominan penyebab inflasi adalah supply shock yang ditimbulkan di luar negeri, sehingga pengendalian inflasi menjadi lebih menantang dan rumit bagi otoritas moneter.

Sehubungan dengan inflasi yang disebabkan oleh kondisi ekonomi, ada anggapan umum yang menyatakan bahwa inflasi bergantung pada volatilitas jumlah uang beredar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dkk (2022), yang bertujuan untuk menganalisis permintaan uang dalam ketidakpastian ekonomi di Indonesia dengan berfokus pada hubungan antara variabel makroekonomi salah satunya inflasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan pendapatan, harga, dan volatilitas nilai tukar.

Reaksi positif terhadap perubahan suku bunga menunjukkan bahwa struktur permintaan uang di Indonesia mirip dengan kebijakan Taylor Rule. Aturan ini dapat meningkatkan inflasi dan output setelah guncangan agregat moneter atau permintaan uang. Demikian pula dengan Mauladhanita (2020) mengemukakan jumlah uang beredar yang dapat menjadi penyebab inflasi, karena likuiditas uang beredar meningkat dengan indeks harga konsumen serta kecepatan peredaran uang dan indeks harga konsumen bereaksi terhadap likuiditas uang beredar secara simultan. Menurut Kugler dan Samuel (2022) terkat penelitian uang dan inflasi di Swiss, menghasilkan tentang efek dinamis uang pada inflasi dan output konsisten dengan literatur yang ada.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Raju (2018) di India dengan mengkaji pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi, menemukan fenomenabahwa tidak ada hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi (PDB) dan inflasi dengan menggunakan analisis time series. Bukti empiris menunjukkan adanya hubungan negatif jangka panjang yang signifikan berturut-turut dari PDB terhadap inflasi.

Pada negara referensi yang sama yang mengatakan bahwa inflasi tidak bergantung pada PDB, justru pandangan tersebut bertolak belakang dengan hasil studi Samal dkk (2022) yang mengkaji dampak faktor ekonomi makro terhadap inflasi harga pangan di India dengan mempertimbangkan dinamika jangka pendek dan analisis jangka panjang, telah menunjukkan bukti hubungan jangka panjang antara faktor ekonomi makro seperti PDB, jumlah uang beredar, harga pangan global, dan upah pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi harga pangan.

Menurut George dkk (2020) dalam menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap tingkat inflasi Nigeria antara tahun 1999 dan 2019 diulas dalam penelitian tersebut bahwa data yang diolah dengan model Autoregressive Distributed Lag sebagai alat analisis utama, hasilnya mengungkapkan hubungan positif tetapi tidak signifikan antara pengeluaran pemerintah dan tingkat inflasi dalam jangka pendek. Selain itu, dalam jangka panjang, pengeluaran pemerintah memiliki tingkat inflasi negatif dan signifikan secara statistik.

Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah. Terkait dengan Indonesia, kondisi di atas cenderung sama yang terlihat pada tabel di bawah ini.

 

Tabel 1

Perkembangan Inflasi, JUB, GDP, Pengeluaran Pemerintah Tahun 2010-2022

Tahun

Inflasi (%)

JUB (Miliar Rupiah)

GDP (Triliun Rupiah)

Pengeluaran pemerintah (Ribu Rupiah)

2010

6,96

2.471.205

6.422,9

133.473.026.486

2011

3,79

2.877.219

7.427,1

160.504.440.878

2012

4,3

3.307.507

8.241,9

212.452.970.917

2013

8,38

3.730.197

9.084,0

237.336.479.424

2014

8,36

4.173.326

10.542,7

261.712.905.009

2015

3,35

4.546.743

11.540,8

277.595.813.274

2016

3,02

5.004.976

12.406,8

297.851.059.459

2017

3,61

5.419.165

13.588,8

349.611.545.050

2018

3,13

5.760.046

14.837,4

370.944.523.414

2019

2,72

6.136.551

15.833,9

396.055.585.953

2020

1,68

6.900.049

15.434,2

406.537.379.382

2021

1,87

7.940.716

16.970,8

406.537.379.382

2022

5,51

7.963.216

 

19.588,4

424.475.339.073

 

Sumber: BPS dan Bank Indonesia

 

Tabel di atas menunjukkan perkembangan laju inflasi yang sangat fluktuatif, dapat dilihat bahwa laju inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2013 karena kenaikan harga barang dan jasa akibat dari kenaikan harga BBM, serta menurun secara tajam pada tahun 2020 akibat dari pandemic Covid-19 yang membuat perekonomian menjadi lesu. Sedangkan variabel jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah menunjukkan tren yang meningkat selama tiga belas tahun terakhir. Terlebih pada tahun 2022, terlihat bahwa jumlah uang beredar pada posisi 7.963.216 dalam miliar rupiah, sedangkan pertumbuhan ekonomi 19.588,4 dalam triliun rupiah, serta pengeluaran pemerintah sebesar 750.901.057.002 dalam ribu rupiah.

Sehubungan dengan inflasi yang menjadi permasalahan kronis dalam perekonomian, tentunya menarik minat ekonom untuk melakukan studi terutama fokus identifikasi sumber inflasi yang disebabkan oleh jumlah uang beredar (JUB), pertumbuhan ekonomi (GDP), dan pengeluaran pemerintah (Kurayish, 2019; Nguyen, 2015; Santosa, 2017). Berdasarkan paparan tersebut, fenomena ini membutuhkan analisis yang lebih dalam mengenai inflasi yang disebabkan oleh jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi pada studi spesifik negara di Indonesia.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis seberapa besar hubungan jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah terhadap inflasi di Indonesia dengan menerapkan salah satu model inflasi yaitu model Vitaliano dengan Error Correction Model. Inflasi model Vitaliano merupakan pengembangan dari faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Amerika Serikat pada tahun 1984 yang diteliti oleh Donald Vitaliano. Model inflasi ini digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan inflasi yang dipengaruhi oleh jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan model inflasi yang dikembangkan oleh Donald Vitaliano untuk menganalisis inflasi di Indonesia dengan spesifikasi model sebagai berikut:

Pt = β0 + β1 Mt + β2 GDP + β3 GE

Keterangan:

Pt: Indeks harga (%)

Mt: Jumlah uang beredar

GDP: Pertumbuhan ekonomi

GE: Pengeluaran pemerintah

Sedangkan untuk prosedur analisis data, penelitian ini menggunakan Error Correction Model (ECM) yang bertujuan untuk mengoreksi persamaan regresi serta menjelaskan hubungan jangka panjang dan jangka pendek dari variabel penelitian yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan hubungan pada model dan ketidaknormalan serta ketidakstasioneran data.

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil Uji Stasioneritas

Tabel 2 Uji Stasioneritas

Variabel

Uji Akar Unit

Level

1st Difference

2nd Difference

ADF

Prob

ADF

Prob

ADF

Prob

Inflasi

˗0,970445

0,7191

˗4,163907

0,0121

˗4,973885

0,0049

JUB

1,050417

0,9927

˗3,540017

0,0337

˗5,073756

0,0056

GDP

˗0,0637361

0,8192

˗4,997741

0,0038

˗3,592853

0,0350

PP

˗2.125733

0,2389

˗2,505003

0,1399

˗5,232848

0,0028

 

 

Sumber: Data Diolah

��

Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa variabel inflasi, JUB, GDP, dan PP tidak stasioner pada data level (uji akar unit) yang artinya derajat stasioneritas setiap variabel yang diestimasi berbeda-beda. Oleh sebab itu, dilakukann uji derajat integrasi pada data first difference dan menunjukkan bahwa variabel inflasi, jumlah uang beredar (M2), dan pertumbuhan ekonomi (GDP) stasioner karena nilai probabilita yang berada di bawah angka 0,05.

Sedangkan variabel pengeluaran pemerintah tidak stasioner pada data first difference, sehingga dilakukan uji derajat integrasi pada semua variabel dengan data second difference dan menunjukkan hasil bahwa variabel inflasi stasioner dengan probabilita 0,0049, variabel jumlah uang beredar stasioner dengan probabilita 0,0056,variabel GDP stasioner dengan probabilita 0,0350 dan pengeluaran pemerintah stasioner dengan probabilita0,0028.

 

Hasil Uji Kointegrasi

Kointegrasi Jangka Panjang

Berdasarkan hasil pengujian pada tabel 3 diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada variabel yang mempengaruhi inflasi dalam jangka panjang dengan melihat nilai probabilita yang jauh di atas 0,05.

Tabel 3 Uji Kointegrasi Jangka Panjang

Dependent Variable: INFLASI

 

 

Method: Least Squares

 

 

Date: 07/27/23�� Time: 06:52

 

 

Sample: 2010 2022

 

 

Included observations: 13

 

 

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.  

JUB

-1.04E-06

1.78E-06

-0.583505

0.5739

GDP

0.000764

0.000971

0.786332

0.4519

PP

-2.43E-11

2.89E-11

-0.840534

0.4224

C

7.502301

2.147574

3.493384

0.0068

 

 

 

 

 

R-squared

0.328791

    Mean dependent var

4.360000

Adjusted R-squared

0.105055

    S.D. dependent var

2.264483

S.E. of regression

2.142236

    Akaike info criterion

4.609237

Sum squared resid

41.30257

    Schwarz criterion

4.783068

Log likelihood

-25.96004

    Hannan-Quinn criter.

4.573507

F-statistic

1.469548

    Durbin-Watson stat

1.514237

Prob(F-statistic)

0.287147

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Data Diolah

 

Dari hasil regresi di atas, digunakan untuk membentuk residual Error Correction Term yang stasioner pada uji akar unit ( level) seperti tabel 4 di bawah ini.

 

Tabel 4Error Correction Term

Variabel

t˗statistik

Probabilita

Error Correction Term

˗4, 272524

0,0090

Sumber: Data Diolah

 

Setelah membentuk residual dan diuji akar unit, terlihat dari tabel di atas bahwa data tersebut terkointegrasi dalam jangka pendek dan jangka panjang karena residual ECT stasioner pada tingkat level yang terlihat dari nilai t-statistik yang negative dan signifikan pada nilai probabilita di bawah 5% yaitu 0,0090.

Sedangkan untuk jangka pendek, dalam penelitian menggunakan metode Engel Granger Cointegration Test untuk melihat apakah variabel bebas dalam model memiliki pengaruh terhadap inflasi dalam jangka pendek atau tidak yang tertera dalam tabel 5 di bawah ini.

 

Tabel 5 Uji Kointegrasi Engle-Granger

Dependent

tau-statistic

Prob.*

z-statistic

Prob.*

 

INFLASI

-3.037363

 0.8182

-11.27521

 0.8154

 

JUB

-4.015449

 0.4924

-64.46593

 0.0000

 

GDP

-3.677279

 0.6090

-37.03297

 0.0000

 

PP

-3.526910

 0.6529

-12.89922

 0.6295

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

*MacKinnon (1996) p-values.

 

 

 

Warning: p-values may not be accurate for fewer than 30 observations.

 

 

 

 

 

 

Intermediate Results:

 

 

 

 

 

INFLASI

JUB

GDP

PP

Rho - 1

-0.939601

-2.197057

-1.720310

-1.074935

Rho S.E.

 0.309348

 0.547151

 0.467821

 0.304781

Residual variance

 3.024159

 1.07E+10

 128210.1

 6.72E+19

Long-run residual variance

 3.024159

 7.61E+10

 491021.5

 6.72E+19

Number of lags

 0

 1

 1

 0

Number of observations

 12

 11

 11

 12

Number of stochastic trends**

 4

 4

 4

 4

Sumber: Data Diolah

 

Dalam gambar 3 di atas, dapat diketahui bahwa dalam jangka pendek variabel bebas yang memengaruhi inflasi adalah jumlah uang beredar (M2) dan pertumbuhan ekonomi (GDP) dengan probabilita 0,0000. Sedangkan variabel pengeluaran pemerintah dengan nilai probabilita di atas 0,05 yaitu 0,6295 yang artinya bahwa variabel ini tidak memiliki kontribusi dalam jangka pendek terhadap inflasi

 

Hasil Uji Error Correction Model

Tabel 6 Uji Error Correction Model

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

D(JUB,2)

-2.13E-06

1.72E-06

-1.234674

0.2631

D(GDP,2)

0.000550

0.000669

0.822152

0.4424

D(PP,2)

-1.17E-11

3.05E-11

-0.382451

0.7153

ECT (-1)

-1.468580

0.295092

-4.976689

0.0025

C

0.186090

0.533078

0.349086

0.7389

R-squared

0.826208

    Mean dependent var

0.619091

Adjusted R-squared

0.710347

    S.D. dependent var

3.185785

S.E. of regression

1.714572

    Akaike info criterion

4.219160

Sum squared resid

17.63855

    Schwarz criterion

4.400021

Log likelihood

-18.20538

    Hannan-Quinn criter.

4.105152

F-statistic

7.131006

    Durbin-Watson stat

1.615424

Prob(F-statistic)

0.018260

 

Sumber: Data Diolah

 

Berdasarkan gambar 4 menunjukkan bahwa nilai koefisien ECT pada model tersebut signifikan dan bertanda negatif untuk estimasiinflasi, sehingga mengindikasikan bahwa model ini merupakan model yang valid dengan nilai koefisien elastisitas sebesar -1,468580 dan nilai probabilita 0,0025. Sementara nilai R2 sebesar 0,710 atau 71 % walaupun pada dasarnya menggunakan data dala bentuk differensi kedua, sehingga dapat dikatakan bahwa jenis variabel bebas yang dimasukkan dalam model sudah cukup baik, sebab hanya sekitar 29% keragaman variabel terikat yang dipengaruhi oleh variabel bebas di luar model.

Kemudian berdasarkan hasil resgresi OLS Error Correction Model menunjukkan bahwa dalam jangka pendek tanda koefisien variabel model ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan. Demikian halnya dengan perilaku jangka panjang seluruh variabel dalam model memiliki tanda tidak signifikan, sehingga berarti bahwa dalam jangka panjang variabel Vitaliano tidak sesuai dengan hipotesis.

 

Hasil Uji Hipotesis

Tabel 7 Uji Hipotesis

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.  

 

 

 

 

 

C

7.502301

2.147574

3.493384

0.0068

JUB

-1.04E-06

1.78E-06

-0.583505

0.5739

GDP

0.000764

0.000971

0.786332

0.4519

PP

-2.43E-11

2.89E-11

-0.840534

0.4224

R-squared

0.328791

    Mean dependent var

4.360000

Adjusted R-squared

0.105055

    S.D. dependent var

2.264483

S.E. of regression

2.142236

    Akaike info criterion

4.609237

Sum squared resid

41.30257

    Schwarz criterion

4.783068

Log likelihood

-25.96004

    Hannan-Quinn criter.

4.573507

F-statistic

1.469548

    Durbin-Watson stat

1.514237

Prob(F-statistic)

0.287147

 

Sumber: Data Diolah

��

�� Secara parsial variabel jumlah uang beredar (M2) memiliki nilai t-statistic sebesar -0,5835 dengan nilai probabilita (signifikansi) 0,5739, Gross Domestic Product (Pertumbuhan Ekonomi) memiliki nilai t-statistic sebesar 0,7863 dengan nilai probabilita (signifikansi) 0,4519, pengeluaran pemerintah memiliki nilai t-statistic sebesar -0,8405 dengan nilai probabilita (signifikansi) 0,4224 sehingga disimpulkan bahwa secara parsial ketiga variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi.

Diketahui nilai F-Statistic sebesar 1,469 dengan nilai probabilita (F-Statistic) sebesar 0,287 (>0,05), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel independen ( Jumlah uang beredar, Gross Domestic Product atau pengeluaran pemerintah, dan pengeluaran pemerintah) tidak berpengaruh signifikan secara simultan (bersamaan) terhadap variabel dependen (Inflasi). Serta nilai Adjusted R-squared sebesar 0,105 maka berkesimpulan bahwa kontribusi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan sebesar 10,5% dan sisanya sebesar 89,5% dipengaruhi variabel lain di luar variabel ini.

 

Hasil Uji Asumsi Klasik

Uji Multikolinieritas

Tabel 8 Uji Multikolinieritas

Variance Inflation Factors

 

Date: 07/14/23�� Time: 11:10

 

Sample: 2010 2022

 

Included observations: 11

 

 

Coefficient

Uncentered

Centered

Variable

Variance

VIF

VIF

D(JUB,2)

 2.97E-12

 1.296779

 1.283285

D(GDP,2)

 4.48E-07

 1.171134

 1.135055

D(PP,2)

 9.32E-22

 1.275711

 1.273328

ECT (-1)

 0.087079

 1.139318

 1.128429

C

 0.284172

 1.063317

 NA

 

 

 

 

 

Sumber: Data Diolah

 

Berdasarkan pengujian dengan Uji Variant Inflation Factor diperoleh bahwa tidak terdapat masalah multikolinieritas atau lolos uji multikolinieritas. Hal tersebut disebabkan oleh nilai Centered VIF di bawah angka 10, terlihat dala tabel bahwa semua variabel dalam model terhindar dari multikolinieritas.

 

Uji Heteroskedastisitas

Tabel 9 Uji Heteroskedastisitas

F-statistic

0.384417

    Prob. F(4,6)

0.8130

Obs*R-squared

2.243974

    Prob. Chi- Square(4)

0.6910

Scaled explained SS

0.563899

    Prob. Chi-Square(4)

0.9670

Sumber: Data Diolah

Berdasarkan hasil pengolahan data di atas menunjukkan bahwa bahwanilai Obs* R-squared atau t-hitung sebesar 0,6910 yang lebih besar dari α = 5 % (0,05), karena indikator lolos dari uji ini adalah memiliki nilai di atas 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa model ini tidak terdapat pelanggaran heteroskedastisitas atau lolos dala uji heteroskedastisitas.

 

Uji Autokorelasi

Tabel 9 Uji Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

 

F-statistic

0.157860

    Prob. F(2,4)

0.8590

Obs*R-squared

0.804713

    Prob. Chi-Square(2)

0.6687

Sumber: Data Diolah

 

Sama halnya dengan indikator lolos uji heteroskedastisitas, berdasarkan tabel 4.9 pengolahan data dengan uji autokorelasi menunjukkan bahwa nilai Chi-Square(2) di atas 0,05 (5%) artinya dalam model ini tidak terdapat autokorelasi.

 

Uji Regresi Berganda

Tabel 10 Uji Regresi Berganda

Variable

Coefficient

Std. Error

t-Statistic

Prob.  

C

7.502301

2.147574

3.493384

0.0068

JUB

-1.04E-06

1.78E-06

-0.583505

0.5739

GDP

0.000764

0.000971

0.786332

0.4519

PP

-2.43E-11

2.89E-11

-0.840534

0.4224

R-squared

0.328791

    Mean dependent var

4.360000

Adjusted R-squared

0.105055

    S.D. dependent var

2.264483

S.E. of regression

2.142236

    Akaike info criterion

4.609237

Sum squared resid

41.30257

    Schwarz criterion

4.783068

Log likelihood

-25.96004

    Hannan-Quinn criter.

4.573507

F-statistic

1.469548

    Durbin-Watson stat

1.514237

Prob(F-statistic)

0.287147

 

 

 

Sumber: Data Diolah

 

Dengan persamaan Y = 7,50 + (-1,04) X1+ 0,00 X2+ (-2,43) X3 dapat disimpulkan bahwa konstanta yang diperoleh sebesar 7,50 sehingga dapat diartikan jika variabel independen naik satu satuan secara rerata, maka variabel dependen akan meningkat sebesar 7,50. Sementara nilai koefisien regresi X1 bernilai negative (-) sebesar -1,04 maka diartikan bahwa jika variabel jumlah uang beredar (M2) meningkat maka variabel inflasi akan menurun sebesar -1,04 dan begitupun sebaliknya.

Sedangkan nilai koefisien regresi X2 bernilai positif (+) sebesar 0,00 maka diartikan bahwa jika variabel Gross Domestic Product (Pertumbuhan ekonomi) meningkat maka variabel inflasi akan meningkat sebesar 0,00 dan begitupun sebaliknya. Serta nilai koefisien regresi X3 bernilai negative (-) sebesar -2,43 maka diartikan bahwa jika pengeluaran pemerintah meningkat maka variabel inflasi akan menurun sebesar -2,43 dan begitupun sebaliknya.

 

Jumlah Uang Beredar

Dalam jangka pendek dan jangka panjang jumlah uang beredar (M2) tidak berpengaruh signifikan terhadap laju inflasi di Indonesia. Jika dikaitkan dengan teori kuantitas uang, secara teoretis hasil penelitian ini tidak sejalan. Karena teori tersebut menyatakan bahwa perubahan nilai uang atau tingkat harga merupakan akibat dari adanya perubahan jumlah uang beredar (M2). Berkaitan dengan teori permintaan uang, tingkat harga atau laju inflasi akan berubah jika jumlah uang beredar (M2) mengalami volatilitas naik turun. Artinya ketika jumlah uang beredar tidak sesuai dengan pemintaan atau lebih besar dibandingkan yang diminta masyarakat, maka akan terjadi kenaikan harga dan mendorong inflasi.

Jika dikaitkan dengan teori Keynes yang berpendapat bahwa pertambahan dalam jumlah uang beredar (M2) dapat meningkatkan harga, akan tetapi kenaikan jumlah uang beredar (M2) tidak selalu sebanding dengan kebutuhan dalam kegiatan ekonomi. Artinya tidak selalu kenaikan tersebut menyebabkan perubahan harga terlebih secara umum, karena menghadapi permasalahan seperti pengangguran, cuaca ataupun musim. Sejalan dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa jumlah uang beredar (M2) tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, pada dasarnya inflasi bukan semata-mata akibat dari fenomena moneter akan tetapi termasuk pada permasalahan structural.

 

Pertumbuhan Ekonomi

Dalam jangka pendek dan jangka panjang pertumbuhan ekonomi (GDP) tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Penelitian ini tidak sejalan dengan teori Demand Pull Inflation dan Cosh Push Inflation. Dalam teori inflasi yang disebabkan oleh Cosh Push Inflation yang menekankan pada saat terjadi pergeseran kurva penawaran agregat sebagai penyebab utama terjadinya inflasi. Potret ini pada biasanya timbul akibat dari peningkatan harga faktor-faktor produksi baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga menurunkan penawaran agregat dan pada akhirnya akan meningkatkan harga.

Sedangkan dalam kajian Demand Pull Inflation menerangkan bahwa inflasi didorong oleh kuatnya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap hasil produksi, sehingga menarik kurva permintaan agregat ke kanan atas dan terjadi excess demand (inflationary gap). Sehingga dalam kasus ini, kenaikan harga barang dan jasa selalu diikuti dengan peningkatan output (GDP) dengan asumsi kondisi ekonomi belum full-employment.

Sehubungan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa baik dalam jangka pendek dan jangka panjang pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi, mendukung kebijakan ketika aggregate demand akibat dari peningkatan pendapatan masyarakat yang mampu diimbangi oleh aggregate supply. Jika berpatokan pada data pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun selama 13 tahun terakhir, dan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi dapat dijelaskan melalui kajian mekanisme harga.

Ketika masyarakat menghendaki barang dan jasa lebih banyak, maka permintaan akan meningkat pada produk barang dan jasa yang diminta. Sehingga terjadi peningkatan produksi, dan secara tidak langsung kondisi ini direspon oleh produsen-produsen baru dan berlangsung terus-menerus maka akan mengakibatkan jumlah barang dan jasa yang diminta menjadi berlimpah. Sehingga hal tersebut menyebabkan tingginya penawaran agregat dan berpengaruh pada menurunnya tingkat harga yang mencerminkan inflasi, dan produk domestic bruto mencerminkan pertumbuhan ekonomi.

 

Pengeluaran Pemerintah

Dalam jangka pendek maupun jangka panjang, pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Hal ini tidak sejalan dengan teori dalam Mishkin (2018) yang menyatakan bahwa satu kali peningkatan pengeluaran pemerintah, maka akan terjadi satu kali peningkatan harga. Apabila peningkatan pengeluaran pemerintah terjadi berkali-kali dalam jangka panjang, maka akan terjadi kenaikan harga dan menyebabkan inflasi. Selain uraian di atas, Keynes dalam Nanga (2005) untuk analisis inflasi permintaan salah satu yang menyebabkan inflasi adalah pengeluaran pemerintah.

Akan tetapi berkaitan dengan hasil penelitian bahwa pengeluaran pemerintah tidak mempengaruhi inflsi baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek, hal tersebut disebabkan oleh sektor penerimaan yang terbatas dan belum cukup untuk membiayai pembangunan ekonomi, walaupun pada dasarnya pengeluaran pemerintah dari tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan pengeluaran pemerintah dalam skala rendah, sedangkan kebutuhan pembangunan ekonomi secara agregat sangat tinggi sehingga menimbulkan defisit anggaran terutama akibat dari pandemic.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan setelah dilakukan pengujian hipotesis terhadap permasalahan yang ada pada skripsi ini, maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan metode pengujian Error Correction Model, menggambaran bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang variabel jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi periode 2010-2022 di Indonesia. Sedangkan secara parsial dan simultan variabel jumlah uang beredar (M2), pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap inflasi di Indonesia periode 2010-2022.

 

BIBLIOGRAFI

BINA, A. L. (2023). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA. UNIMED.

 

Darlin, Evalina. (2017). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1979-2008. Jurnal Lentera Bisnis, 1(2), 51�77.

 

II, B. A. B. (2023). OTORISASI MONETER DAN KEBIJAKAN MONETER INDONESIA. Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank, 13.

 

Ismail, Munawar, & Indrawati, Yulia. (2020). Paradigma Baru Kebijakan Moneter: Menakar Pelajaran Krisis Keuangan Global. Pustaka Abadi.

 

Mauladhanita, Dicka. (2020). PENGARUH JUMLAH UANG BEREDAR, INFLASI DAN INVESTASI TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH DI INDONESIA. Universitas Siliwangi.

 

Nurhayati, Nurhayati, Asmawati, Asmawati, Ihromi, Syirril, Marianah, Marianah, & Saputrayadi, Adi. (2020). Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Aplikasi Teknologi Pengolahan Dodol Nangka Dan Susu Biji Nangka Di Kabupaten Lombok Barat. SELAPARANG Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 4(1), 522�528.

 

POETRA, RONALD PRATAMA. (2016). Pengaruh inflasi, harga minyak mentah, suku bunga, nilai tukar rupiah terhadap indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Pendidikan Ekonomi (JUPE), 4(3).

 

Siregar, Indah Purnama Sari. (2020). Aplikasi Rantai Markov Terboboti untuk Memprediksi Indeks Harga Konsumen Saat Menghadapi Pandemi Covid-19. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.

 

Sriyono, Sriyono. (2013). Strategi Kebijakan Moneter di Indonesia. JKMP (Jurnal Kebijakan Dan Manajemen Publik), 1(2), 111�130.

 

Copyright holder:

Rika Swastika, Taufiq Chaidir, Ida Ayu Putri Suprapti (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: