Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 9, September
2023
ANALISIS INFLASI DI INDONESIA: PENERAPAN MODEL VITALIANO
Rika Swastika*, Taufiq Chaidir, Ida Ayu Putri Suprapti
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mataram
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kasus inflasi di Indonesia, yang didasari
oleh permasalahan kanaikan tingkat harga (inflasi) yang menjadi masalah klasik� perekonomian
berbagai negara terutama
negara berkembang seperti
Indonesia. Pada penelitian ini
menggunakan model Vitaliano untuk
menganalisis inflasi, variabel yang termasuk dalam model ini adalah jumlah uang beredar (M2), pertumbuhan ekonomi yang diukur oleh produk domestic bruto dan pengeluaran pemerintah. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Error Correction
Model, dengan hasil pengujian menyimpulkan bahwa variabel jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap inflasi baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang.
Kata Kunci: Inflasi,
Vitaliano, JUB, GDP, Pengeluaran Pemerintah
Abstract
This
study aims to analyze the case of inflation in Indonesia, which is based on the
problem of raising the price level (inflation) which is a classic economic problem
of various countries, especially developing countries such as Indonesia. In
this study using the Vitaliano model to analyze inflation, the variables
included in this model are the money supply (M2), economic growth as measured
by gross domestic product and government spending. The analytical tool used in
this study is the Error Correction Model, with the test results concluding that
the variables of money supply, economic growth and government spending have no
effect on inflation in both the short and long run.
Keywords: Inflation,
Vitaliano, JUB, GDP, Government Spending.
Pendahuluan
Stabilitas
ekonomi menjadi� prasyarat yang
signifikan terhadap kelancaran dan keberhasilan pembangunan ekonomi, terlebih
dalam menciptakan iklim ekonomi yang mendorong masyarakat untuk menabung dan
berinvestasi, mendorong efisiensi dalam�
pengadaan dan penggunaan barang serta jasa dengan tujuan lebih
produktif, serta meningkatkan daya saing dalam kegiatan perdagangan
internasional yang mendukung perbaikan catatan ekonomi pada neraca pembayaran
internasional (Nurhayati,
Asmawati, Ihromi, Marianah, & Saputrayadi, 2020).
Akan tetapi,
masalah kestabilan perekonomian menjadi perhatian khusus klasik baik negara
maju dan� negara berkembang seperti
Indonesia yang sangat bergantung pada kebijakan moneter (Ismail
& Indrawati, 2020). Sesuai
dengan ungkapan II (2023),
kebijakan moneter merupakan jalan yang ditempuh oleh bank sentral (Bank
Indonesia) untuk memengaruhi dan mengarahkan aktivitas ekonomi dan finansial
pada tujuan yang ingin dicapai, pada umumnya terkait kestabilan harga dengan
pertimbangan pertumbuhan ekonomi (Sriyono,
2013).
Sehingga proses tersebut menggambarkan mekanisme ekonomi moneter
yang disebut dengan transmisi kebijakan moneter.
Sebagaimana uraian di atas, salah satu dari masalah kestabilan
yang menjadi perhatian khusus di seluruh negara adalah terkait inflasi karena inflasi merupakan indikator ekonomi makro yang digunakan untuk mengukur stabilitas ekonomi negara. Sehingga Poetra (2016) mengatakan
inflasi ada di mana saja dan selalu menjadi fenomena moneter yang mencerminkan adanya pertumbuhan moneter yang berlebihan dan tidak stabil. Inflasi
merupakan kejadian yang menunjukkan kenaikan harga secara umum
dan berlangsung dalam waktu yang terus-menerus, sehingga dapat diamati terdapat kriteria untuk melihat setelah terjadinya inflasi yaitu harga meningkat,
secara umum, dan terus-menerus dalam rentang waktu tertentu.
Inflasi atau dikenal dengan kenaikan harga barang dan jasa secara umum dapat
menjadi beban bagi banyak pihak,
karena kemampuan untuk membeli suatu
mata uang menjadi lebih rendah. Karena penurunan daya beli mata uang, membuat kemampuan masyarakat berpendapatan tetap dalam membeli
kebutuhan sehari-hari menjadi semakin menurun.
Perubahan harga dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat pada waktu tertentu, diukur menggunakan indeks harga konsumen (IHK) sekaligus merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur laju inflasi (Siregar,
2020). Pada saat
IHK meningkat, maka tingkat harga akan
terdistorsi. Keadaan tersebut tentu akan sulit dalam
membuat suatu perencanaan, sehingga pada akhirnya tidak mendorong minat masyarakat dan dunia usaha untuk menabung dan berinvestasi.
Kenaikan dan penurunan
laju inflasi yang terjadi, disebabkan oleh faktor di dalam ataupun luar negeri yang sangaat beragam, dan penyebab fluktuasi inflasi tiap negara tidak sama (Bina,
2023). Hal tersebut
disebabkan antara lain oleh
kondisi ekonomi dan berbagai aspek lainnya seperti hukum, budaya dan kelembagaan yang berlaku pada
masing-masing negara. Sehingga sesuai
dengan ungkapan Utari dkk dalam Kusumatrisna
dkk (2022) menyatakan bahwa perbedaan tersebut mencerminkan sumber karakteristik tekanan harga, seperti kualitas infrastruktur logistik, kemampuan produksi pangan, kebijakan harga yang diatur, struktur pasar, jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, serta pengeluaran pemerintah.
Identifikasi sumber inflasi dan variabel makro lainnya yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, menemukan bahwa pertumbuhan populasi mempengaruhi tingkat inflasi secara positif, dilihat melalui pengaruhnya terhadap permintaan agregat yang lebih tinggi dan respons penawaran yang lambat (Darlin,
2017). Akan tetapi
efek ini akan kuat ketika
penawaran agregat tidak mampu mengimbangi.
Valogo dkk (2023)
menganalisis pengaruh
threshold pass through nilai tukar
terhadap inflasi dalam konteks Ghana, menyatakan bahwa nilai tukar memiliki
efek pass-through positif
yang signifikan terhadap inflasi dan memberikan kepercayaan terhadap relevansi level threshold. Sejalan
dengan Mukhtarov dkk (2019), mengkonfirmasi adanya hubungan jangka panjang antar variabel yang menunjukkan bahwa harga minyak dan nilai tukar berpengaruh
positif dan signifikan secara statistik terhadap inflasi dalam jangka panjang
di Azerbaijan.
Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa inflasi diamati selama periode harga minyak tinggi
dan rendah, dan nilai tukar bertindak sebagai saluran transmisi dari harga minyak terhadap
inflasi. Serta dalam penelitian Nazarian (2014), simetris
pass-through dari harga minyak terhadap inflasi di Iran mengungkapkan bahwa hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara komponen positif indeks harga konsumen dan harga minyak adalah
non-linier. Sejalan dengan hubungan jangka panjang, hubungan yang positif dan bermakna antara harga minyak
dan inflasi. Temuan penting lainnya dari penelitian ini adalah bahwa
harga minyak di Iran melewati inflasi secara asimetris. Artinya, pass-through harga minyak terhadap inflasi di Iran cukup besar.
Dalam penelitian Ahmed dkk (2014) terkait determinan inflasi, menunjukkan dinamika inflasi jangka panjang dan jangka pendek dalam kasus
Pakistan, hasilnya menunjukkan
bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah saat ini, impor, krisis
energi, kesenjangan output,
dan produk domestik bruto (GDP) memberikan kontribusi positif dalam kasus Pakistan. Pandangan tersebut juga diperkuat dengan penelitian Chaudary dkk (2018)
yang membuktikan hubungan antara inflasi, jumlah uang beredar, PDB riil dan harga impor dengan meninjau
studi yang relevan menggunakan Nepal sebagai negara referensi.
Jelas bahwa pertumbuhan jumlah uang beredar, tingkat pertumbuhan PDB riil dan harga impor merupakan
penentu utama inflasi di Nepal. Studi ini menunjukkan bahwa harga di Nepal sangat bergantung
pada harga barang dan jasa di India karena pasokan produksi dalam negeri yang lebih lemah ditambah dengan meningkatnya harga barang impor
dari India. Dalam konteks ini, faktor dominan
penyebab inflasi adalah supply shock yang ditimbulkan
di luar negeri, sehingga pengendalian inflasi menjadi lebih menantang
dan rumit bagi otoritas moneter.
Sehubungan dengan inflasi yang disebabkan oleh kondisi ekonomi, ada anggapan umum
yang menyatakan bahwa inflasi bergantung pada volatilitas jumlah uang beredar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dkk
(2022), yang bertujuan untuk
menganalisis permintaan
uang dalam ketidakpastian ekonomi di Indonesia dengan berfokus pada hubungan antara variabel makroekonomi salah satunya inflasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya sensitivitas permintaan uang terhadap perubahan pendapatan, harga, dan volatilitas nilai tukar.
Reaksi positif terhadap perubahan suku bunga menunjukkan
bahwa struktur permintaan uang di Indonesia mirip
dengan kebijakan Taylor
Rule. Aturan ini dapat meningkatkan inflasi dan output setelah guncangan agregat moneter atau permintaan
uang. Demikian pula dengan Mauladhanita (2020) mengemukakan
jumlah uang beredar yang dapat menjadi penyebab
inflasi, karena likuiditas uang beredar meningkat dengan indeks harga konsumen
serta kecepatan peredaran uang dan indeks harga konsumen bereaksi terhadap likuiditas uang beredar secara simultan. Menurut Kugler dan Samuel (2022) terkat
penelitian uang dan inflasi
di Swiss, menghasilkan tentang
efek dinamis uang pada inflasi dan output konsisten dengan literatur yang ada.
Berdasarkan studi yang
dilakukan oleh Raju (2018) di India dengan mengkaji pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi, menemukan fenomena� bahwa tidak ada hubungan
kausalitas antara pertumbuhan ekonomi (PDB) dan inflasi dengan menggunakan analisis time series.
Bukti empiris menunjukkan adanya hubungan negatif jangka panjang yang signifikan berturut-turut dari PDB terhadap inflasi.
Pada negara referensi yang sama yang mengatakan bahwa inflasi tidak
bergantung pada PDB, justru
pandangan tersebut bertolak belakang dengan hasil studi
Samal dkk (2022) yang mengkaji
dampak faktor ekonomi makro terhadap
inflasi harga pangan di India dengan mempertimbangkan dinamika jangka pendek dan analisis jangka panjang, telah menunjukkan bukti hubungan jangka panjang antara faktor ekonomi makro seperti PDB, jumlah uang beredar, harga pangan global, dan upah pertanian berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi harga pangan.
Menurut George dkk
(2020) dalam menganalisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap tingkat inflasi Nigeria antara tahun 1999 dan 2019 diulas dalam penelitian
tersebut bahwa data yang diolah dengan model
Autoregressive Distributed Lag sebagai alat analisis utama,
hasilnya mengungkapkan hubungan positif tetapi tidak signifikan
antara pengeluaran pemerintah dan tingkat inflasi dalam jangka
pendek. Selain itu, dalam jangka panjang,
pengeluaran pemerintah memiliki tingkat inflasi negatif dan signifikan secara statistik.
Berdasarkan paparan di
atas, terlihat bahwa inflasi dipengaruhi
oleh jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah. Terkait dengan Indonesia, kondisi di atas cenderung sama yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1
Perkembangan Inflasi, JUB, GDP, Pengeluaran Pemerintah Tahun 2010-2022
Tahun |
Inflasi (%) |
JUB (Miliar Rupiah) |
GDP (Triliun Rupiah) |
Pengeluaran pemerintah (Ribu Rupiah) |
2010 |
6,96 |
2.471.205 |
6.422,9 |
133.473.026.486 |
2011 |
3,79 |
2.877.219 |
7.427,1 |
160.504.440.878 |
2012 |
4,3 |
3.307.507 |
8.241,9 |
212.452.970.917 |
2013 |
8,38 |
3.730.197 |
9.084,0 |
237.336.479.424 |
2014 |
8,36 |
4.173.326 |
10.542,7 |
261.712.905.009 |
2015 |
3,35 |
4.546.743 |
11.540,8 |
277.595.813.274 |
2016 |
3,02 |
5.004.976 |
12.406,8 |
297.851.059.459 |
2017 |
3,61 |
5.419.165 |
13.588,8 |
349.611.545.050 |
2018 |
3,13 |
5.760.046 |
14.837,4 |
370.944.523.414 |
2019 |
2,72 |
6.136.551 |
15.833,9 |
396.055.585.953 |
2020 |
1,68 |
6.900.049 |
15.434,2 |
406.537.379.382 |
2021 |
1,87 |
7.940.716 |
16.970,8 |
406.537.379.382 |
2022 |
5,51 |
7.963.216 |
19.588,4 |
424.475.339.073 |
Sumber: BPS dan Bank Indonesia
Tabel di atas menunjukkan
perkembangan laju inflasi yang sangat fluktuatif, dapat dilihat bahwa
laju inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2013 karena kenaikan harga barang dan jasa akibat dari kenaikan
harga BBM, serta menurun secara tajam pada tahun 2020 akibat dari pandemic Covid-19
yang membuat perekonomian menjadi lesu. Sedangkan
variabel jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah menunjukkan tren yang meningkat selama tiga belas
tahun terakhir. Terlebih pada tahun 2022, terlihat bahwa jumlah uang beredar pada posisi 7.963.216 dalam miliar rupiah, sedangkan pertumbuhan ekonomi 19.588,4 dalam triliun rupiah, serta pengeluaran pemerintah sebesar
750.901.057.002 dalam ribu
rupiah.
Sehubungan dengan inflasi yang menjadi permasalahan kronis dalam perekonomian, tentunya menarik minat ekonom untuk
melakukan studi terutama fokus identifikasi sumber inflasi yang disebabkan oleh jumlah uang beredar (JUB), pertumbuhan ekonomi (GDP), dan pengeluaran pemerintah (Kurayish, 2019; Nguyen, 2015; Santosa, 2017). Berdasarkan paparan tersebut, fenomena ini membutuhkan analisis yang lebih dalam mengenai inflasi yang disebabkan oleh jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi pada studi spesifik negara di
Indonesia.
Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan menganalisis seberapa besar hubungan jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah terhadap inflasi di Indonesia dengan menerapkan salah satu model inflasi yaitu model Vitaliano dengan Error Correction Model. Inflasi
model Vitaliano merupakan pengembangan
dari faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Amerika Serikat pada tahun 1984 yang diteliti oleh Donald Vitaliano. Model inflasi
ini digunakan untuk menganalisis dan menjelaskan inflasi yang dipengaruhi oleh jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan model inflasi yang dikembangkan oleh
Donald Vitaliano untuk menganalisis
inflasi di Indonesia dengan
spesifikasi model sebagai berikut:
Pt = β0 + β1 Mt + β2 GDP + β3 GE
Keterangan:
Pt: Indeks harga
(%)
Mt: Jumlah uang beredar
GDP: Pertumbuhan ekonomi
GE: Pengeluaran pemerintah
Sedangkan untuk prosedur analisis data, penelitian ini menggunakan Error Correction Model (ECM) yang bertujuan untuk mengoreksi persamaan regresi serta menjelaskan
hubungan jangka panjang dan jangka pendek dari variabel
penelitian yang disebabkan
oleh adanya ketidakseimbangan
hubungan pada model dan ketidaknormalan
serta ketidakstasioneran
data.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Uji Stasioneritas
Tabel 2 Uji Stasioneritas
Variabel |
Uji Akar Unit |
|||||
Level |
1st
Difference |
2nd
Difference |
||||
ADF |
Prob |
ADF |
Prob |
ADF |
Prob |
|
Inflasi |
˗0,970445 |
0,7191 |
˗4,163907 |
0,0121 |
˗4,973885 |
0,0049 |
JUB |
1,050417 |
0,9927 |
˗3,540017 |
0,0337 |
˗5,073756 |
0,0056 |
GDP |
˗0,0637361 |
0,8192 |
˗4,997741 |
0,0038 |
˗3,592853 |
0,0350 |
PP |
˗2.125733 |
0,2389 |
˗2,505003 |
0,1399 |
˗5,232848 |
0,0028 |
Sumber:
Data Diolah
��
Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa variabel inflasi, JUB,
GDP, dan PP tidak stasioner pada data level (uji akar unit) yang artinya
derajat stasioneritas setiap variabel yang diestimasi berbeda-beda. Oleh sebab
itu, dilakukann uji derajat integrasi pada data first difference dan
menunjukkan bahwa variabel inflasi, jumlah uang beredar (M2), dan pertumbuhan
ekonomi (GDP) stasioner karena nilai probabilita yang berada di bawah angka
0,05.
Sedangkan variabel pengeluaran pemerintah tidak stasioner pada data first difference, sehingga dilakukan uji
derajat integrasi pada semua variabel dengan data second difference dan
menunjukkan hasil bahwa variabel inflasi stasioner dengan probabilita 0,0049,
variabel jumlah uang beredar stasioner dengan probabilita 0,0056,� variabel GDP stasioner dengan probabilita
0,0350 dan pengeluaran pemerintah stasioner dengan probabilita� 0,0028.
Hasil Uji Kointegrasi
Kointegrasi Jangka Panjang
Berdasarkan hasil pengujian pada tabel 3 diperoleh kesimpulan bahwa tidak
ada variabel yang mempengaruhi inflasi dalam jangka panjang dengan melihat
nilai probabilita yang jauh di atas 0,05.
Tabel 3 Uji Kointegrasi Jangka Panjang
Dependent Variable: INFLASI |
|
|
|||
Method: Least Squares |
|
|
|||
Date: 07/27/23�� Time:
06:52 |
|
|
|||
Sample: 2010 2022 |
|
|
|||
Included observations: 13 |
|
|
|||
Variable |
Coefficient |
Std. Error |
t-Statistic |
Prob. |
|
JUB |
-1.04E-06 |
1.78E-06 |
-0.583505 |
0.5739 |
|
GDP |
0.000764 |
0.000971 |
0.786332 |
0.4519 |
|
PP |
-2.43E-11 |
2.89E-11 |
-0.840534 |
0.4224 |
|
C |
7.502301 |
2.147574 |
3.493384 |
0.0068 |
|
|
|
|
|
|
|
R-squared |
0.328791 |
Mean dependent
var |
4.360000 |
||
Adjusted R-squared |
0.105055 |
S.D. dependent
var |
2.264483 |
||
S.E. of regression |
2.142236 |
Akaike info
criterion |
4.609237 |
||
Sum squared resid |
41.30257 |
Schwarz
criterion |
4.783068 |
||
Log likelihood |
-25.96004 |
Hannan-Quinn criter. |
4.573507 |
||
F-statistic |
1.469548 |
Durbin-Watson
stat |
1.514237 |
||
Prob(F-statistic) |
0.287147 |
|
|
|
|
Sumber: Data Diolah
Dari hasil regresi di atas, digunakan untuk membentuk residual Error
Correction Term yang stasioner pada uji akar unit ( level) seperti tabel 4 di
bawah ini.
Tabel 4� Error
Correction Term
Variabel |
t˗statistik |
Probabilita |
Error Correction
Term |
˗4, 272524 |
0,0090 |
Sumber: Data Diolah
Setelah membentuk residual dan diuji akar unit, terlihat dari tabel di atas
bahwa data tersebut terkointegrasi dalam jangka pendek dan jangka panjang karena residual ECT stasioner
pada tingkat level yang terlihat
dari nilai t-statistik yang negative dan signifikan
pada nilai probabilita di bawah 5% yaitu 0,0090.
Sedangkan untuk jangka pendek,
dalam penelitian menggunakan metode Engel Granger
Cointegration Test untuk melihat
apakah variabel bebas dalam model memiliki pengaruh terhadap inflasi dalam jangka pendek
atau tidak yang tertera dalam tabel
5 di bawah ini.
Tabel 5 Uji Kointegrasi Engle-Granger
Dependent |
tau-statistic |
Prob.* |
z-statistic |
Prob.* |
|
|
INFLASI |
-3.037363 |
0.8182 |
-11.27521 |
0.8154 |
|
|
JUB |
-4.015449 |
0.4924 |
-64.46593 |
0.0000 |
|
|
GDP |
-3.677279 |
0.6090 |
-37.03297 |
0.0000 |
|
|
PP |
-3.526910 |
0.6529 |
-12.89922 |
0.6295 |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*MacKinnon (1996) p-values. |
|
|
|
|||
Warning: p-values may not be accurate
for fewer than 30 observations. |
||||||
|
|
|
|
|
|
|
Intermediate Results: |
|
|
|
|||
|
|
INFLASI |
JUB |
GDP |
PP |
|
Rho - 1 |
-0.939601 |
-2.197057 |
-1.720310 |
-1.074935 |
||
Rho S.E. |
0.309348 |
0.547151 |
0.467821 |
0.304781 |
||
Residual variance |
3.024159 |
1.07E+10 |
128210.1 |
6.72E+19 |
||
Long-run residual variance |
3.024159 |
7.61E+10 |
491021.5 |
6.72E+19 |
||
Number of lags |
0 |
1 |
1 |
0 |
||
Number of observations |
12 |
11 |
11 |
12 |
||
Number of stochastic trends** |
4 |
4 |
4 |
4 |
||
Sumber: Data Diolah
Dalam gambar
3 di atas, dapat diketahui bahwa dalam jangka pendek
variabel bebas yang memengaruhi inflasi adalah jumlah uang beredar (M2) dan pertumbuhan ekonomi (GDP) dengan probabilita 0,0000. Sedangkan variabel pengeluaran pemerintah dengan nilai probabilita di atas 0,05 yaitu 0,6295 yang artinya bahwa variabel
ini tidak memiliki kontribusi dalam jangka pendek
terhadap inflasi
Hasil Uji Error Correction Model
Tabel 6 Uji
Error Correction Model
Variable |
Coefficient |
Std. Error |
t-Statistic |
Prob. |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
D(JUB,2) |
-2.13E-06 |
1.72E-06 |
-1.234674 |
0.2631 |
|
D(GDP,2) |
0.000550 |
0.000669 |
0.822152 |
0.4424 |
|
D(PP,2) |
-1.17E-11 |
3.05E-11 |
-0.382451 |
0.7153 |
|
ECT (-1) |
-1.468580 |
0.295092 |
-4.976689 |
0.0025 |
|
C |
0.186090 |
0.533078 |
0.349086 |
0.7389 |
|
R-squared |
0.826208 |
Mean
dependent var |
0.619091 |
||
Adjusted R-squared |
0.710347 |
S.D.
dependent var |
3.185785 |
||
S.E. of regression |
1.714572 |
Akaike
info criterion |
4.219160 |
||
Sum squared resid |
17.63855 |
Schwarz
criterion |
4.400021 |
||
Log likelihood |
-18.20538 |
Hannan-Quinn
criter. |
4.105152 |
||
F-statistic |
7.131006 |
Durbin-Watson
stat |
1.615424 |
||
Prob(F-statistic) |
0.018260 |
|
|||
Sumber: Data
Diolah
Berdasarkan gambar 4 menunjukkan bahwa nilai koefisien ECT pada model
tersebut signifikan dan bertanda negatif untuk estimasi� inflasi, sehingga mengindikasikan bahwa model
ini merupakan model yang valid dengan nilai koefisien elastisitas sebesar
-1,468580 dan nilai probabilita 0,0025. Sementara nilai R2 sebesar 0,710 atau
71 % walaupun pada dasarnya
menggunakan data dala bentuk differensi kedua, sehingga dapat dikatakan bahwa
jenis variabel bebas yang dimasukkan dalam model sudah cukup baik, sebab hanya
sekitar 29% keragaman variabel terikat yang dipengaruhi oleh variabel bebas di
luar model.
Kemudian berdasarkan hasil resgresi OLS Error Correction Model
menunjukkan bahwa dalam jangka pendek tanda koefisien variabel model ini tidak
sesuai dengan hipotesis yang diajukan. Demikian halnya dengan perilaku jangka
panjang seluruh variabel dalam model memiliki tanda tidak signifikan, sehingga
berarti bahwa dalam jangka panjang variabel Vitaliano tidak sesuai dengan
hipotesis.
Hasil Uji Hipotesis
Tabel 7 Uji Hipotesis
Variable |
Coefficient |
Std. Error |
t-Statistic |
Prob. |
|
|
|
|
|
C |
7.502301 |
2.147574 |
3.493384 |
0.0068 |
JUB |
-1.04E-06 |
1.78E-06 |
-0.583505 |
0.5739 |
GDP |
0.000764 |
0.000971 |
0.786332 |
0.4519 |
PP |
-2.43E-11 |
2.89E-11 |
-0.840534 |
0.4224 |
R-squared |
0.328791 |
Mean
dependent var |
4.360000 |
|
Adjusted R-squared |
0.105055 |
S.D.
dependent var |
2.264483 |
|
S.E. of regression |
2.142236 |
Akaike
info criterion |
4.609237 |
|
Sum squared resid |
41.30257 |
Schwarz
criterion |
4.783068 |
|
Log likelihood |
-25.96004 |
Hannan-Quinn
criter. |
4.573507 |
|
F-statistic |
1.469548 |
Durbin-Watson
stat |
1.514237 |
|
Prob(F-statistic) |
0.287147 |
|
Sumber: Data
Diolah
��
�� Secara
parsial variabel jumlah uang beredar (M2) memiliki nilai t-statistic sebesar
-0,5835 dengan nilai probabilita (signifikansi) 0,5739, Gross Domestic Product
(Pertumbuhan Ekonomi) memiliki nilai t-statistic sebesar 0,7863 dengan nilai
probabilita (signifikansi) 0,4519, pengeluaran pemerintah memiliki nilai
t-statistic sebesar -0,8405 dengan nilai probabilita (signifikansi) 0,4224
sehingga disimpulkan bahwa secara parsial ketiga variabel tersebut tidak
berpengaruh signifikan terhadap inflasi.
Diketahui
nilai F-Statistic sebesar 1,469 dengan nilai probabilita (F-Statistic) sebesar
0,287 (>0,05), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel independen (
Jumlah uang beredar, Gross Domestic Product atau pengeluaran pemerintah, dan
pengeluaran pemerintah) tidak berpengaruh signifikan secara simultan
(bersamaan) terhadap variabel dependen (Inflasi). Serta nilai Adjusted
R-squared sebesar 0,105 maka berkesimpulan bahwa kontribusi pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen secara simultan sebesar 10,5% dan sisanya
sebesar 89,5% dipengaruhi variabel lain di luar variabel ini.
Hasil Uji Asumsi Klasik
Uji Multikolinieritas
Tabel 8 Uji Multikolinieritas
Variance Inflation Factors |
|
||
Date: 07/14/23�� Time: 11:10 |
|
||
Sample: 2010 2022 |
|
||
Included observations: 11 |
|
||
|
Coefficient |
Uncentered |
Centered |
Variable |
Variance |
VIF |
VIF |
D(JUB,2) |
2.97E-12 |
1.296779 |
1.283285 |
D(GDP,2) |
4.48E-07 |
1.171134 |
1.135055 |
D(PP,2) |
9.32E-22 |
1.275711 |
1.273328 |
ECT (-1) |
0.087079 |
1.139318 |
1.128429 |
C |
0.284172 |
1.063317 |
NA |
|
|
|
|
Sumber: Data Diolah
Berdasarkan pengujian dengan Uji Variant Inflation Factor diperoleh bahwa tidak terdapat masalah multikolinieritas atau lolos uji multikolinieritas. Hal tersebut disebabkan oleh nilai Centered VIF di bawah angka 10, terlihat dala tabel bahwa semua variabel dalam model terhindar dari multikolinieritas.
Uji Heteroskedastisitas
Tabel 9 Uji
Heteroskedastisitas
F-statistic |
0.384417 |
Prob.
F(4,6) |
0.8130 |
Obs*R-squared |
2.243974 |
Prob.
Chi- Square(4) |
0.6910 |
Scaled explained SS |
0.563899 |
Prob.
Chi-Square(4) |
0.9670 |
Sumber: Data Diolah
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas menunjukkan bahwa bahwa� nilai Obs* R-squared atau t-hitung sebesar 0,6910 yang lebih besar dari
α = 5 % (0,05), karena indikator
lolos dari uji ini adalah memiliki
nilai di atas 0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa model ini tidak terdapat pelanggaran heteroskedastisitas atau lolos dala
uji heteroskedastisitas.
Uji Autokorelasi
Tabel 9 Uji
Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM
Test: |
|
||
F-statistic |
0.157860 |
Prob.
F(2,4) |
0.8590 |
Obs*R-squared |
0.804713 |
Prob.
Chi-Square(2) |
0.6687 |
Sumber: Data Diolah
Sama
halnya dengan indikator lolos uji heteroskedastisitas, berdasarkan tabel 4.9
pengolahan data dengan uji autokorelasi menunjukkan bahwa nilai Chi-Square(2) di atas 0,05 (5%) artinya
dalam model ini tidak terdapat autokorelasi.
Uji Regresi Berganda
Tabel 10
Uji Regresi Berganda
Variable |
Coefficient |
Std. Error |
t-Statistic |
Prob. |
C |
7.502301 |
2.147574 |
3.493384 |
0.0068 |
JUB |
-1.04E-06 |
1.78E-06 |
-0.583505 |
0.5739 |
GDP |
0.000764 |
0.000971 |
0.786332 |
0.4519 |
PP |
-2.43E-11 |
2.89E-11 |
-0.840534 |
0.4224 |
R-squared |
0.328791 |
Mean
dependent var |
4.360000 |
|
Adjusted R-squared |
0.105055 |
S.D.
dependent var |
2.264483 |
|
S.E. of regression |
2.142236 |
Akaike
info criterion |
4.609237 |
|
Sum squared resid |
41.30257 |
Schwarz
criterion |
4.783068 |
|
Log likelihood |
-25.96004 |
Hannan-Quinn
criter. |
4.573507 |
|
F-statistic |
1.469548 |
Durbin-Watson
stat |
1.514237 |
|
Prob(F-statistic) |
0.287147 |
|
|
|
Sumber: Data Diolah
Dengan persamaan Y = 7,50 + (-1,04) X1+ 0,00 X2+ (-2,43) X3 dapat disimpulkan bahwa konstanta yang diperoleh sebesar 7,50 sehingga dapat diartikan jika variabel independen naik satu satuan secara rerata, maka variabel dependen akan meningkat sebesar 7,50. Sementara nilai koefisien regresi X1 bernilai negative (-) sebesar -1,04 maka diartikan bahwa jika variabel jumlah uang beredar (M2) meningkat maka variabel inflasi akan menurun sebesar -1,04 dan begitupun sebaliknya.
Sedangkan nilai
koefisien regresi X2 bernilai positif (+) sebesar 0,00 maka diartikan bahwa jika variabel Gross Domestic
Product (Pertumbuhan ekonomi)
meningkat maka variabel inflasi akan meningkat sebesar 0,00 dan begitupun sebaliknya. Serta nilai koefisien regresi X3 bernilai negative (-) sebesar
-2,43 maka diartikan bahwa jika pengeluaran
pemerintah meningkat maka variabel inflasi
akan menurun sebesar -2,43 dan begitupun sebaliknya.
Jumlah Uang Beredar
Dalam jangka pendek
dan jangka panjang jumlah uang beredar (M2) tidak berpengaruh signifikan terhadap laju inflasi di Indonesia. Jika dikaitkan dengan teori kuantitas uang, secara teoretis hasil penelitian ini tidak sejalan.
Karena teori tersebut menyatakan bahwa perubahan nilai uang atau tingkat harga
merupakan akibat dari adanya perubahan
jumlah uang beredar (M2). Berkaitan dengan teori permintaan uang, tingkat harga atau
laju inflasi akan berubah jika
jumlah uang beredar (M2) mengalami volatilitas naik turun. Artinya ketika jumlah uang beredar tidak sesuai
dengan pemintaan atau lebih besar
dibandingkan yang diminta masyarakat, maka akan terjadi kenaikan
harga dan mendorong inflasi.
Jika dikaitkan dengan
teori Keynes yang berpendapat
bahwa pertambahan dalam jumlah uang beredar (M2) dapat meningkatkan harga, akan tetapi kenaikan
jumlah uang beredar (M2) tidak selalu sebanding
dengan kebutuhan dalam kegiatan ekonomi. Artinya tidak selalu kenaikan
tersebut menyebabkan perubahan harga terlebih secara umum, karena menghadapi
permasalahan seperti pengangguran, cuaca ataupun musim. Sejalan dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa jumlah uang beredar (M2) tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi di Indonesia baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, pada dasarnya inflasi bukan semata-mata
akibat dari fenomena moneter akan tetapi termasuk
pada permasalahan structural.
Pertumbuhan Ekonomi
Dalam jangka pendek dan jangka panjang pertumbuhan ekonomi (GDP) tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Penelitian ini tidak sejalan dengan teori Demand Pull Inflation dan Cosh Push Inflation. Dalam teori inflasi yang disebabkan oleh Cosh Push Inflation yang menekankan pada saat terjadi pergeseran kurva penawaran agregat sebagai penyebab utama terjadinya inflasi. Potret ini pada biasanya timbul akibat dari peningkatan harga faktor-faktor produksi baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga menurunkan penawaran agregat dan pada akhirnya akan meningkatkan harga.
Sedangkan dalam kajian Demand Pull Inflation menerangkan bahwa inflasi didorong oleh kuatnya peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap hasil produksi, sehingga menarik kurva permintaan agregat ke kanan atas dan terjadi excess demand (inflationary gap). Sehingga dalam kasus ini, kenaikan harga barang dan jasa selalu diikuti dengan peningkatan output (GDP) dengan asumsi kondisi ekonomi belum full-employment.
Sehubungan dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa baik dalam jangka pendek dan jangka panjang pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi, mendukung kebijakan ketika aggregate demand akibat dari peningkatan pendapatan masyarakat yang mampu diimbangi oleh aggregate supply. Jika berpatokan pada data pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari tahun ke tahun selama 13 tahun terakhir, dan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi dapat dijelaskan melalui kajian mekanisme harga.
Ketika
masyarakat menghendaki barang dan jasa lebih banyak, maka
permintaan akan meningkat pada produk barang dan jasa yang diminta. Sehingga terjadi peningkatan produksi, dan secara tidak langsung kondisi ini direspon
oleh produsen-produsen baru
dan berlangsung terus-menerus
maka akan mengakibatkan jumlah barang dan jasa yang diminta menjadi berlimpah. Sehingga hal tersebut menyebabkan
tingginya penawaran agregat dan berpengaruh pada menurunnya tingkat harga yang mencerminkan inflasi, dan produk domestic bruto mencerminkan pertumbuhan ekonomi.
Pengeluaran Pemerintah
Dalam
jangka pendek maupun jangka panjang,
pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Hal ini tidak sejalan dengan
teori dalam Mishkin (2018)
yang menyatakan bahwa satu kali peningkatan pengeluaran pemerintah, maka akan terjadi
satu kali peningkatan harga. Apabila peningkatan pengeluaran pemerintah terjadi berkali-kali dalam jangka panjang, maka akan terjadi
kenaikan harga dan menyebabkan inflasi. Selain uraian di atas, Keynes dalam Nanga (2005) untuk analisis inflasi permintaan salah satu yang menyebabkan inflasi adalah pengeluaran pemerintah.
Akan tetapi berkaitan
dengan hasil penelitian bahwa pengeluaran pemerintah tidak mempengaruhi inflsi baik dalam
jangka panjang maupun dalam jangka
pendek, hal tersebut disebabkan oleh sektor penerimaan yang terbatas dan belum cukup untuk membiayai
pembangunan ekonomi, walaupun pada dasarnya pengeluaran pemerintah dari tahun ke
tahun semakin meningkat. Peningkatan pengeluaran pemerintah dalam skala rendah,
sedangkan kebutuhan pembangunan ekonomi secara agregat sangat tinggi sehingga menimbulkan defisit anggaran terutama akibat dari pandemic.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan setelah dilakukan pengujian hipotesis terhadap
permasalahan yang ada pada skripsi ini, maka dapat disimpulkan bahwa
berdasarkan metode pengujian Error Correction Model, menggambaran bahwa dalam
jangka pendek dan jangka panjang variabel jumlah uang beredar, pertumbuhan
ekonomi, dan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap
inflasi periode 2010-2022 di Indonesia. Sedangkan secara parsial dan simultan
variabel jumlah uang beredar (M2), pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran
pemerintah tidak berpengaruh
terhadap inflasi di
Indonesia periode 2010-2022.
BIBLIOGRAFI
BINA, A. L. (2023). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA. UNIMED.
Darlin, Evalina. (2017). Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1979-2008. Jurnal Lentera
Bisnis, 1(2), 51�77.
II, B. A. B. (2023). OTORISASI MONETER DAN KEBIJAKAN
MONETER INDONESIA. Lembaga Keuangan Bank Dan Non Bank, 13.
Ismail, Munawar, & Indrawati, Yulia. (2020). Paradigma
Baru Kebijakan Moneter: Menakar Pelajaran Krisis Keuangan Global. Pustaka
Abadi.
Mauladhanita, Dicka. (2020). PENGARUH JUMLAH UANG
BEREDAR, INFLASI DAN INVESTASI TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH DI INDONESIA.
Universitas Siliwangi.
Nurhayati, Nurhayati, Asmawati, Asmawati, Ihromi,
Syirril, Marianah, Marianah, & Saputrayadi, Adi. (2020). Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Melalui Aplikasi Teknologi Pengolahan Dodol Nangka Dan Susu
Biji Nangka Di Kabupaten Lombok Barat. SELAPARANG Jurnal Pengabdian
Masyarakat Berkemajuan, 4(1), 522�528.
POETRA, RONALD PRATAMA. (2016). Pengaruh inflasi,
harga minyak mentah, suku bunga, nilai tukar rupiah terhadap indeks harga saham
gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Pendidikan Ekonomi (JUPE),
4(3).
Siregar, Indah Purnama Sari. (2020). Aplikasi
Rantai Markov Terboboti untuk Memprediksi Indeks Harga Konsumen Saat Menghadapi
Pandemi Covid-19. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan.
Sriyono, Sriyono. (2013). Strategi Kebijakan Moneter
di Indonesia. JKMP (Jurnal Kebijakan Dan Manajemen Publik), 1(2),
111�130.
Copyright holder: Rika Swastika, Taufiq Chaidir, Ida Ayu Putri Suprapti (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |