Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

KAMPANYE DAN PERILAKU MEMILIH DI INDONESIA STUDI KASUS PEMILIHAN UMUM 2019 DAPIL JAWA TIMUR 11 DAN DAPIL 7 SULAWESI SELATAN

 

Andi Yusuf Akbar, Fatma Hidayah, Udyahitani Secundaputeri

Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Hakikat demokrasi berujuan menghadirkan pemerintahan yang terselenggara untuk meuwujudkan hak-hak perorangan warga negara, sehingga sistem pemilihan proporsional terbuka memungkinkan wajib pilih dalam pesta demokrasi termasuk memilih calon legislatif. Pada sistem multi partai yang lebih kompleks seperti di Indonesia, partai politik didorong untuk dapat secara cermat memahami perilaku pemilih yang secara sosiologis dan psikologis menentukan orientasi politiknya tidak berdasarkan identifikasi partai melainkan ketokohan individu yang dicalonkan. Melalui riset ini, diketahui bahwa kualitas ketokohan kandidat adalah berdasarkan endorsement atau dukungan dari figur sentral yang ada pada suatu daerah pemilihan. Fenomena ini akan menimbulkan problem jangka panjang, karena dalam tatanan proses, selama masa kampanye wajib pilih terus terpapar citra perseorangan, keadaan ini akan secara konsisten menciptakan realita bahwa keterwakilan seseorang di DPR adalah pada individu yang menduduki jabatan, bukan pada partai politik. Dari perspektif konvergensi simbolik dapat disimpulkan bahwa ketika berkampanye, pesan dasar yang menjadi kekuatan utama partai politik saat ini adalah tentang ketokohan kadernya baik didaerah maupun dipusat, kader yang dimaksud bisa dari golongan calon legislatif atau Ketua partai, yang kemudian divalidasi oleh tokoh daerah. Bercermin dari kesukseskan Willy Aditya dan Andi Izmand Maulana Padjalangi memenangkan pemilu 2019, maka teori konvergensi simbolik secara ilmiah dapat dijadikan sebagai referensi menyusun rancangan strategi kampanye.

 

Kata kunci: Kampanye; Perilaku Memilih; Konvergensi Simbolik; Party Identification; Pemilihan Umum.

 

Abstract

The nature of democracy aims to present an organized government to realize the individual rights of citizens, so that an open proportional electoral system allows compulsory voting in democratic parties including choosing legislative candidates. In a more complex multi-party system such as in Indonesia, political parties are encouraged to be able to carefully understand the behavior of voters who sociologically and psychologically determine their political orientation not based on party identification but on the individual's leadership. Through this research, it is known that the quality of candidates' shops is based on endorsements or support from central figures in a constituency. From the perspective of symbolic convergence, it can be concluded that when campaigning, the basic message that is the main force of a political party today is about the ability of its cadres both in the region and in the center, the cadre in question can be from the class of legislative candidates or the Chairman of the party, which is then validated by regional figures. That issue is reflected in the success of Willy Aditya and Andi Izmand Maulana Padjalangi winning the 2019 elections, so the theory of symbolic convergence can be scientifically used as a reference for drafting campaign strategies.

 

Keywords: Campaign; Voting behavior; symbolic convergence; Party Identification; Election.

 

Pendahuluan

Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998, Indonesia secara perlahan bertransformasi menjadi negara demokrasi dengan asas kedaulatan ditangan rakyat. Hal ini tercermin dari mekanisme pemilihan pejabat politik dimana manifestasi dari mandat rakyat didapatkan melalui pemilihan langsung (pemilu). Penyelenggaraan pesta demokrasi di era orde baru mengalami banyak perubahan. Pemerintahan pasca reformasi berfokus pada penguatan kelembagaan yang berfungsi untuk memastikan proses pemilihan berjalan secara jujur, bebas, adil dan rahasia (Tangkasiang, 2023).

Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie) kala itu mendorong reformasi politik dengan merumuskan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, dan UU Nomor 4 tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Berbagai produk hukum ini sukses mengembalikan posisi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan golongan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk netral dalam politik. Dwifungsi ABRI yang tadinya adalah core atau pusat dari pemerintahan didorong mundur sehingga mau tidak mau harus kembali berfokus pada kewenangan awal yakni pertahanan negara.

Model pemilihan yang menganut Sistem Pemilu Proporsional (SPP) terbuka yang saat ini diterapkan, dianggap mampu menjamin hadirnya pejabat yang aspiratif serta egaliter. Setiap calon anggota legislatif dituntut untuk dapat berkampanye dan menyosialisasikan diri dengan konsep down to earth. Media merupakan kanal yang memungkinkan seorang calon untuk dapat mengaktualisasikan dirinya secara efektif (Saied & Syafii, 2023).

Tulisan ini diharapkan dapat secara komprehensif menjadi referensi untuk memahami tahapan yang wajib dilakukan seorang politisi atau konsultan politik dalam menyusun sebuah strategi kampanye yang tepat guna dan tidak salah sasaran.

Dibutuhkan alur jalan yang jelas dalam rangka menghadirkan demokratisasi kampanye. Bila diibaratkan sebuah armada perang, maka dalam konteks pemenangan kampanye, strategi komunikasi politik merupakan artileri utama yang harus dimiliki, terlebih dengan kondisi pemahaman politik masyarakat Indonesia yang tidak merata, tentu memengaruhi metode kampanye seorang calon legislatif.

 

Kerangka Pemikiran

Dari perspektif ilmiah, ada 3 (tiga) prinsip pokok yang menjadi titik kritis dalam merencanakan startegi kampanye, diantaranya yaitu positioning, branding, dan segmenting (Heryanto, 2018). Ketiga prinsip ini bila di elaborasi maka akan menghasilkan upaya penciptaan image atau citra yang konsisten kepada simpatisan maupun konstituen yang telah diidentifikasi sehingga mengerecut pada satu tema tertentu, tema ini sendiri terbentuk atas program kerja partai, isu politik, dan image pemimpin.

Lalu upaya apa yang harus ditempuh untuk menciptakan citra? Dibutuhkan serangkaian proses manajemen komunikasi agar dapat meresonansikan stimulus berupa pesan kepada khalayak agar respon atau umpan balik yang didapatkan sesuai dengan yang direncanakan. Menurut Leonard W.Doob, suatu isu baru dapat dikatakan pendapat umum setelah masyarakat menyatakan pendapatnya (Changara, 2016), sepanjang pendapat itu sifatnya per orang, maka ia baru menjadi pendapat pribadi. Secara luas, pendapat umum muncul karena adanya kesan yang dimiliki pada suatu objek. Berdasarkan ini maka seorang calon legislatif tidak dapat mengklaim citra dirinya bila secara umum khalayak belum bersepakat dengan image yang dia coba tonjolkan.

Fokus politisi untuk membangun citra sesuai dengan segmentasinya menghadirkan konten kampanye politik yang beraneka ragam, fenomena ini menjadi tantangan tersendiri oleh masyarakat sebagai calon pemilih, karena mereka dituntut untuk dapat secara mandiri membedakan ide dan gagasan antara satu partai dengan partai yang lain. Apakah partai dengan dasar ideologi keagamaan memiliki perbedaan yang mendasar dengan partai lainnya? Atau perbedaan itu hanya pada tatanan organisasional saja?

Ideologi dalam partai merupakan moda untuk dapat berkonstribusi secara nyata kepada konstituennya (Alamsyah, Sinaga, Ugut, & Hulu, 2021). Ide dan gagasan dari segi kehidupan sosial, ekonomi, hukum dan budaya harus secara fundamental diartikulasikan sesuai dengan ideologi partai sehingga masyarakat memiliki sistem deteksi yang memudahkan mereka untuk mengelompokkan serta memilih partai berdasarkan kesamaan cita-cita dan ideologi.

Menyalurkan hak suara adalah tugas demokrasi yang diamanatkan kepada seluruh warga negara Indonesia, bila dilihat dari perspektif satuan angka maka masyarakat yang telah memasuki usia dengan kategori wajib pilih merupakan voters potensial, oleh karenanya partai politik dan calon legislatif perlu memahami model perilaku pemilih.

Kathleen M. Mcgraw dalam Cambridge Handbook of Experimental Political Science (McGraw, 2011) mengungkapkan ada dua proses psikologis awal untuk memahami aktifitas kognitif seseorang sebelum menentukan pilihannya. Pertama, wajib pilih akan mencoba untuk memahami karakteristik serta identitas dari partai politik atau calon legislatif, kedua wajib pilih harus mencapai titik kesimpulan akhir berdasarkan oleh ringkasan penilaian.

Dari pendapat ahli tersebut maka dapat ditarik benang merah bahwa identitas politik memegang peranan penting dalam memengaruhi perilaku pemilih, Party Identification (Party ID) menjadi salah satu titik kritis yang perlu untuk dicermati. Party ID dapat juga disebut sebagai penonjolan karakter suatu partai. Dengan hadirnya pengetahuan konstituen terhadap Party ID maka indikator untuk menentukan kedekatan antara pemilih dengan partai politiknya dapat terurai dengan baik.

Sebagai komponen penting dalam proses peningkatan kualitas demokrasi Indonesia kehadiran party ID akan sangat membantu para calon pemilih untuk menentukan partai mana yang secara ide, gagasan serta nilai mewakili kepribadian mereka. Seorang kandidat atau partai politik tidak akan kesulitan dalam menjaga konsistensi image apabila party ID melekat erat dalam benak khalayak.

Namun, meski kehadiran party ID merupakan salah satu komponen yang dapat meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, apakah Party Id dapat mempengaruhi strategi kampanye dan perilaku pemilih ? dalam hal ini khususnya pada tokoh kandidat Willy Aditya dan Andi Izmand Maulana Padjalangi di tahun 2019.

Secara umum, tulisan ini bermanfaat bagi para pemangku kepentingan politik. Tulisan ini diharapkan dapat secara komprehensif menjadi referensi untuk memahami tahapan yang wajib dilakukan seorang politisi atau konsultan politik dalam menyusun sebuah strategi kampanye yang tepat guna dan tidak salah sasaran.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan gejala atau kenyataan yang ada sehingga data yang disimpulkan dalam penelitian akan dijelaskan dengan metode kualitatif. Dimana peneiliti mendeskripsikan dan mengkonstruksi wawancara-wawancara mendalam terhadap subjek penelitian. Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan metode pengumpulan data menggunakan teknik pertemuan dalam jaringan (daring) yang dibantu dengan daftar pertanyaan via fomulir Google.

Teknik yang digunakan adalah purposive sampling, yakni pengambilan data kepada populasi melalui wawancara. Purposive sampling menurut Ibrahim, 2015 adalah sebuah teknik menentukan sampel dimana peneliti mengandalkan penilaiannya sendiri saat memilih anggota populasi untuk berpartisipasi dalam penelitian.

Karena penelitian ini berfokus pada kedalaman informasi bukan kuantitas responden maka yang akan menjadi narasumber dan subjek penelitian adalah Willy Aditya, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Partai Nasdem periode 2019-2024 dari daerah pemilihan Jawa Timur 11 (Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan) dan Andi Izmand seorang pendatang baru dalam kontestasi pemilihan DPRD Provinsi Sulsel Fraksi Partai Golkar daerah pemilihan Sulsel 7 (Kabupaten Bone) yang berhasil mengamankan kursi legislator daerah.

Rekam jejak keterpilihan menjadi dasar bagi penulis untuk dapat secara lengkap mengeksplorasi informasi berdasarkan pengalaman narasumber terkait strategi kampanye dan pemahaman terhadap model perilaku pemilih. Sumber data berasal dari data primer dan data sekunder, data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui sumbernya dengan teknik wawancara atau tanya jawab dengan pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan tujuan penelitian.

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung melainkan data yang diperoleh melalui studi pustaka, seperti dokumen, artikel-artikel media, referensi politik atau teori-teori yang memiliki relevansi erat dengan tujuan penelitian.

Menurut Manulang (Pedoman Teknis Menulis Skripsi. 2004. h.35) Ada tiga jenis alur kegiatan yang terjadi dalam analisa kualitatif, yakni menelaah sumber data yang telah tersedia dan dikumpulkan dari hasil wawancara atau sumber lain, lalu data tersebut direduksi melalui proses pemilihan agar terjadi penyederhanaan. Hal ini bertujuan agar peneliti dapat mengarahkan dan mengorganisasi data agar pada akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan.

 

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan riset oleh Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada bulan Desember 2018, tingkat kedekatan masyarakat Indonesia dengan partai politik hanya sebesar 11,7% (GunawanIndra, 2021). Bila dibandingkan dengan negara lain tentu penjabaran data ini memosisikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat party ID paling rendah didunia.

Cukup miris melihat realita tersebut, karena seyogyanya sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik bertanggung jawab untuk melestarikan segala aspek fundamental termasuk pendidikan politik, bahkan sesuai defenisi umum, partai politik merupakan perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu (Budita, 2023). Klaim kepemilikan basis voters oleh sebagian banyak partai politik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, PDI Perjuangan dengan jargon partai wong cilik memang terbukti dapat mempertahankan eksistensinya sebagai partai yang kerap menduduki posisi top 3 dalam setiap perhelatan pemilu pasca era orde baru, dilain pihak Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang selama puluhan tahun dianggap sebagai rumah besar umat islam terus menerus mengalami defisit legitimasi akibat berkurangnya perolehan kursi sejak pemilu tahun 1999 digelar.

Tren penurunan suara ini menimbulkan pertanyaan, apakah degradasi yang dialami oleh PPP adalah efek dari kurang terkonsolidasinya partai pada tatanan organisasi? atau partai berlambang Kabah ini tidak lagi merepresentasikan umat islam secara keseluruhan karena munculnya partai lain seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)?

Di Indonesia, figur sentral ketua partai menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto sebagai ketua umumnya terbukti mampu mendongkrak perolehan kursi di Senayan, terlebih beberapa pengamat menilai bahwa peningkatan ini dipengaruhi oleh efek ekor jas (coat-tail effect), sebuah efek dimana terdapat korelasi positif antara elektabilitas seorang calon secara individu dengan partai politik pengusungnya (Rif�an, 2018).

Fenomena coat-tail effect ini seolah menjadi semacam jalan pintas untuk mendapatkan insentif elektoral, sejumah partai mulai terinsipirasi untuk mengidentifikasi dirinya dengan calon tertentu, pada Pemilu 2009 misalnya PKB dan PPP mengasosiasikan partainya erat dengan ketokohan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), alih-alih mendapatkan peningkatan suara, PKB kehilangan 21 kursi sedangkan PPP harus merelakan 4 kursinya di Dewan Perwakilan Rakyat. Fenomena ini menurut Andre Borges dan Matheu Turgeon sebagaimana dikutip Djayadi Hanan disebut sebagai diffused coattail effect dimana efek ekor jas tidak terdistribusi secara tidak proporsional.

Temuan hasil studi dari pemilu Brasil dan Chile ini mengungkapkan partai yang dianggap partai formatur koalisi (pembentuk koalisi, yakni presiden) memperoleh dampak efek ekor jas paling besar. Adapun partai-partai anggota koalisi lainnya memperoleh dampak ekor jas tergantung pada kuat lemahnya asosiasi mereka dengan sang formatur koalisi di mata publik pemilih.

Tidak ada jaminan peningkatan elektabilitas dengan cara membangun narasi bahwa suatu partai politik dan calon legislatif memiliki kedekatan dengan tokoh populer tertentu, pola tersebut berpotensi menimbulkan bias yang berujung pada kebingungan voters dalam mengidentifikasikan identitas partai politik tertentu. Keambiguan ini akan dapat tereduksi apabila secara kognitif, publik telah memiliki konsep identitas politik melalui party ID.

Citra kandidat maupuan parpol akan sangat ditentukan dengan kemasan yang diresonansikan ke khalayak melalui penyeleksian political framing (politik pengemasan). Tulisan ini akan menjabarkan posisi party ID dalam strategi kampanye dan apakah party ID memengaruhi perilaku pemilih.

Anggota DPR, DPRD dan kader partai yang secara jabatan bertanggung jawab dalam bidang pemenangan pemilu menjadi sumber informasi penulis, hal ini bertujuan agar penulis memiliki akses informasi terkait dengan mekanisme perencanaan strategi kampanye, informasi mengenai perilaku pemilih dan bagaimana partai memosisikan party ID. Setelah menganalisa data hasil wawancara, dapat diuraikan beberapa temuan yang relevan dengan landasan teori penulis.

 

Temuan 1

a.    Party ID Tidak Memiliki Peran Signifikan Dalam Memengaruhi Keputusan Pemilih

Menurut Narasumber 1 (Willy Aditya), bila menjadikan daerah pemilihannya sebagai referensi maka secara psikologis, relasi patron klien memegang peranan besar dalam memengaruhi orientasi politik khalayak. Patron klien merupakan hubungan timbal balik antara dua orang yang memiliki perbedaan status sosial dan ekonomi yang dijalin secara khusus atau dengan dasar saling menguntungkan (Merliya & Ikhwan, 2019). �Di daerah Madura masih kental budaya luhur dimana kyai serta lurah (kepala desa) diposisikan sebagai tokoh sentral untuk mendapatkan referensi pilihan politik, sehingga pada dapil Madura terjadi fenomena yang mirip dengan sistem pemilihan noken seperti di Papua� (Willy Aditya Anggota DPR RI Fraksi Nasdem). Noken adalah suatu sistem sosial dimana masyarakat menyerahkan keputusan memilih kepada bigman atau pemimpin (Bawaslu Kota Malang, 2022).

Sebagai suatu bentuk ekspresi ketaatan kepada tokoh masyarakat dan pemimpin, tradisi Noken menciptakan sebuah realita politik dimana identitas partai tidak berimplikasi signifikan terhadap keputusan voters. Narasumber 1 sebagai Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu (BAPILU) Partai Nasdem menerangkan bahwa anatomi suara Nasdem berdasarkan party ID masih terbilang cukup rendah. �Bercermin dari pemilu 2019, pemilih yang mencoblos logo partai nasdem hanya 14 persen dari total keseluruhan suara partai�. Rendahnya jumlah pemilih yang mengasosiasikan dirinya dengan Partai Nasdem dapat terbaca dari sejumlah survey nasional yang kala itu selalu menempatkan Nasdem pada posisi bawah dan terancam tidak mampu mememuhi parliament threshold. �Metode survey ketika itu menghitung popularitas dan elektabilitas hanya dari segi kemampuan masyarakat mengenal atau mengidentifikasi partai politiknya saja, sedangkan Nasdem tidak jual partai melainkan ketokohan individu�.

Kesamaan pendapat dalam melihat perilaku pemilih juga disampaikan oleh Andi Izmand Maulana Padjalangi (Narasumber 2), sebagai pendatang baru dengan pengalaman minim dibidang politik, Andi Izmand secara normatif menjalankan strategi pelaksanaan kampanye dengan berkeliling dapil.

�Fokus saya adalah bagaimana caranya agar dapat bertemu dengan masyarakat sebagai upaya untuk memperkenalkan diri, daerah pemilihan Sulawesi 7 yang terdiri dari Kabupaten Bone, membuat calon legislatif termasuk saya ketika itu harus mengelilingi ratusan titik kampanye, ini karena Bone sebagai Kabupaten terbesar di Sulawesi Selatan memiliki 27 Kecamatan, 333 Desa dan 39 kelurahan.� (Andi Izmand M. Padjalangi�Anggota DPRD Sulawesi Selatan Fraksi Golkar)

Menurut narasumber 2, ada perbedaan antara pemilu 2014 dengan 2019. �Pemilu 2014 kebanyakan pemilih melihat partai sebelum menentukan pilihan, Dapil saya itu selalu menjadi lumbung suara Golkar, pola ini sulit terulang di 2019 karena karakter dan kemasan dari kandidat secara individu menjadi sorotan utama pemilih sebelum menentukan sikapnya�. Narasumber 2 mengungkapkan, fenomena tersebut sesuai dengan filosofi bugis; sipakatau, sipakalebbi, sipakainge, yang artinya saling menghormati, saling menghargai dan saling mengingatkan. Prinsip ini menjadi budaya dan dipegang teguh oleh masyarakat Bone.�

Sebagai putra dari Bupati Bone sekaligus Ketua Golkar Kabupaten Bone, Narasumber 2 mengakui tidak pernah menyampaikan kepada khalayak bahwa dirinya memiliki hubungan dengan Kepala Daerah, namun dia tidak menampik kerja-kerja tim sukses dan tokoh masyarakat Desa/Kelurahan yang menjadikan fakta tersebut sebagai materi sosialisasi. �Selama kampanye resmi di 362 titik, tidak pernah sekalipun saya mengatakan bahwa saya ini anak Bupati, tapi tidak bisa dipungkiri informasi itu acap kali digunakan tim sukses teman-teman di Desa untuk memudahkan mereka memperkenalkan saya�.

Penjelasan narasumber 1 dan 2 terkait perilaku pemilih dapat dikorelasikan menggunakan landasan teori penulis yakni, corong kausalitas (funnel causality). Relasi patron klien yang diilustrasikan oleh narasumber 1 dapat diaplikasikan dalam corong kasualitas, dimana orientasi politik dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi sehingga perbedaan strata yang dihasilkan mampu memengaruhi loyalitas kelompok.

Berangkat dari konsep noken, maka ketika individu secara kognitif masuk dalam corong kausalitas yang lebih dalam bigman atau tokoh masyarakat seperti pemimpin daerah, lurah atau kepala desa menjadi faktor politis yang secara eksternal memproduksi kebijakan-kebijakan sebagai stimulan agar khalayak dapat memutuskan sikap politiknya. Dari hipotesis ini posisi party ID tidak dapat terdeteksi sebagai elemen yang memiliki peran krusial dalam penentuan pilihan politik.

a.    Simbolik Konvergensi Sebagai Metode Kandidat Untuk Meresonansikan Citranya

Dengan terdeteksinya pola perilaku pemilih, kandidat dapat secara tepat menyusun metode kampanye yang efektif dan efisien, termasuk diantaranya menerapkan model simbolik konvergensi. Bila dipetakan, maka struktur dasar simbolik konvergensi seperti tema fantasi, symbolic cue, tipe fantasi dan saga yang ditonjolkan narasumber 1 dan 2 mengerucut pada struktur pesan perbincangan tentang bagaimana kandidat mengembangkan fantasi berupa kedekatan eksklusifnya dengan pemimpin atau tokoh masyarakat lokal.

 

Penilaian

Penyebab Muncul Penilaian

Informan

Pendekatan yang dilakukan baik

Kita sebenarnya heran awalnya karena ada caleg muda dari luar daerah. Bahkan bukan dari Jawa Timur. Tapi kita lihat program-program yang ditawarkan lumayan menarik untuk warga. Pendekatannya juga berbeda dari calon yang lain. Yang ini mau melakukan dialog dan tidak sungkan bertatap muka dengan warga satu per satu.

IM

Solutif

Membahas persoalan-persoalan yang berkembang di Madura. Banyak dibahas permasalahan dan upaya yang telah dilakukan. Termasuk tawaran solusi yang mungkin bisa dikerjakan bersama-sama.

HI

Mendengarkan kaum pemuda

Selama ini kan teman-teman pemuda ini tidak pernah didengarkan, hanya dimanfaatkan saja oleh caleg-caleg. Nah, waktu itu kemudian caleg yang ini mau ketika diajak dengar pendapat begitu. Kami mendapati kesan bahwa Bapak ini mau juga mendengar anak muda.

B

Kebudayaan

Saya dari Madura yang terkenal agak keras apa adanya. Sementara Abang dari Sumatera Barat

N

 

Dalam penerapannya, visi retoris sebagai bagian dari struktur pesan dimanfaatkan untuk dapat memperluas gelombang fantasi yang bermuara pada kesadaran kelompok, namun sebelum teramplifikasi secara meluas dibutuhkan fantasizer atau sejumlah individu yang memosisikan diri lebih siap dari pada khalayak, kesiapan ini dapat berupa perbedaan atribut komunikasi yang dimiliki. Seorang atau sekelompok fantasizer secara inisiatif dapat menghiasi, merekonfigurasi serta merestrukturisasi sejumlah tema fantasi sehingga muncul sebuah kesadaran baru untuk memperbincangkan sesuatu diantara partisipan.

Fantasizer kedua narasumber adalah tim sukses dan simpatisan yang telah tersusun secara sistematis dan dibekali pengetahuan teknik penyampaian pesan sebagai instrumen untuk melestarikan desain fantasi yang telah disepakati oleh kandidat. Muatan pesan fantasizer dapat dijabarkan melalui klasifikasi struktur dinamis yang terdiri dari righteous master analogue atau visi retoris yang menggambarkan cara atau moral melakukan sesuatu, social master analogue yaitu penggambaran hubungan manusiawi atau interpersonal dan pragmatic master analogue yang berfungsi untuk menghadirkan efisiensi dari penjabaran suatu konteks pesan (Heryanto, 2018). �Bupati merupakan kader Nasdem�, seperti yang diungkapkan oleh narasumber 1 dan �Kandidat memiliki hubungan darah dengan pak Bupati� seperti yang diceritakan oleh narasumber 2 adalah materi kata yang secara konteks coba dibangun oleh fantasizer melalui sinkronisasi ketiga struktur dinamis tersebut.

Sebagai pendatang baru non petahana, Model konvergensi simbolik yang diterapkan oleh narasumber 1 dan 2 secara faktual berhasil mengantarkan mereka ke kursi wakil rakyat, kalau diperhatikan secara tipologi TKS tidak hanya berfokus pada metode penciptaan simbol yang berkonvergensi pada kelompok, terdapat struktur evaluatif agar kandidat dapat secara rutin memeriksa ulang proses konvergensi simbolik yang terjadi (Heryanto, 2018), shared group consciousness menjadi elemen yang perlu secara rutin diawasi, bagaimana kolektivitas masyarakat berbagi tema fantasi yang teresonansi masih terpelihara, apakah diskursus tentang relasi antara kandidat dengan penguasa masih terjadi.

Elemen evaluatif selanjutnya adalah reality link atau keterhubungan tema fantasi dengan realitas masih dapat terdeteksi, dalam hal ini apakah masyarakat masih menjadikan bigman sebagai referensi dalam memilih atau tidak. Yang terakhir adalah theme artistry atau kebaharuan, apakah tema fantasi, symbolic cue, tipe fantasi, saga dan visi retoris dianggap membutuhkan perubahaan seiring berubahnya perilaku pemilih.

 

Righteous Master Analogue

Sosial Master Analogue

Pragmatic Master Analogue

Memiliki darah dengan bapak bupati

Masyarakat pintar dalam memilih calon anggota legislatif

Melakukan pendekatan person to person

Kabupaten Bone Lumbung suara partai Golkar

Masyarakat bone merasa sangat senang dihargai

Terjun ke desa desa dalam waktu 2 hari

Memperkenalkan diri sendiri ke masyarakat

 

Masyarakat bone terdiri dari latar belakang yang berbeda beda

Mengejar kunjungan dari desa ke desa

Hasil survey di 4 kota (Jakarta, Aceh, Papua dan madura) kurang mewakili

Masyarakat di hari kerja melakukan pekerjaan dan weekend berlibur

Bias hasil survey besar

Bupati merupakan kader partai nasdem

Masyarakat madura mempunyai pandangan yang baik terhadap bupati

Suara Partai Nasdem Meningkat

Partai nasdem mengedepan riset ilmiah dalam menjalankan roda organisasi

Masyarakat lebih memilih artis dibandingkan politisi

Artis banyak yang memenangkan pemilu

Orang yang dekat dengan rakyat

 

Figure public menjadi daya Tarik bagi masyarakat

Figure public

dapat mendongkrak suara

 

Kesimpulan

Hakikat demokrasi adalah untuk menghadirkan pemerintahan yang terselenggara dalam rangka mewujudkan hak-hak perorangan warga negara (Syarifudin, 2020). Oleh karena itu sistem pemilihan proporsional terbuka memungkinkan wajib pilih untuk dapat memilih calon legislatif yang secara personal dianggap memiliki kesamaan ideologi dan karakter.

Pada sistem multi partai yang lebih kompleks seperti di Indonesia, partai politik didorong untuk dapat secara cermat memahami perilaku pemilih yang secara sosiologis dan psikologis menentukan orientasi politiknya tidak berdasarkan identifikasi partai melainkan kepada ketokohan individu yang dicalonkan. Melalui riset ini, diketahui bahwa kualitas ketokohan kandidat adalah berdasarkan endorsement atau dukungan dari figur sentral yang ada pada suatu daerah pemilihan.

Fenomena ini akan menimbulkan problem jangka panjang, karena dalam tatanan proses, selama masa kampanye wajib pilih terus menerus terpapar citra perseorangan, model seperti ini akan secara konsisten menciptakan realita bahwa keterwakilan seseorang di DPR adalah pada individu yang menduduki jabatan, bukan pada partai politik. Sedangkan jika dilihat dari realita politik, anggota legislatif saat ini terjebak dalam istilah �petugas partai� dimana keputusan dan arah kebijakan seorang kader ditentukan oleh Dewan Pimpinan Pusat sebagai pemegang kuasa tertinggi secara organisasi partai. Apabila suatu konten isu yang tengah diperdebatkan dianggap membahayakan posisi partai, maka seorang kader tidak akan dapat mengaktualisasikan dirinya secara bebas didepan forum resmi.

Sudah saatnya bagi partai politik untuk fokus membangun identifikasi partai dengan memperkuat party ID. Dari aspek sejarah, Indonesia pernah berada pada kondisi dimana party ID melekat kuat di benak masyarakat. Di era orde baru dengan sistem proporsional tertutup masyarakat secara umum memiliki derajat kedekatan dengan partai yang relatif tinggi, hal ini disebabkan karena kala itu partai peserta pemilu memusatkan kampanye pada program partai serta penonjolan karakter partai, para kader yang dicalonkan sebagai wakil rakyat tidak perlu secara intens mengkampanyekan dirinya karena di hari pemilihan nantinya, yang akan dicoblos adalah lambang partai saja.

Memang banyak isu yang menjadikan pemilu di era orde baru jauh dari kata ideal, mobilisasi ABRI, Pegawai Negeri Sipil, tekanan politik dan kurangnya transparansi menjadi masalah utama yang akhirnya memuncak dan mendorong reformasi terjadi. Namun dari konteks perilaku pemilih yang mengasosiasikan dirinya dengan partai, party ID di era orde baru dapat menjadi landasan bagi pemangku kepentingan untuk memahami benefit dari kehadiran party ID yang kuat.

Dari perspektif konvergensi simbolik dapat disimpulkan bahwa ketika berkampanye, pesan dasar yang menjadi kekuatan utama partai politik saat ini adalah tentang ketokohan kadernya baik didaerah maupun dipusat, kader yang dimaksud bisa dari golongan calon legislatif atau Ketua partai, yang kemudian divalidasi oleh tokoh daerah. Bercermin dari kesukseskan Willy Aditya dan Andi Izmand Maulana Padjalangi memenangkan pemilu 2019, maka teori konvergensi simbolik dapat secara ilmiah dijadikan sebagai referensi untuk menyusun rancangan strategi kampanye

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alamsyah, Virza Utama, Sinaga, Poltak, Ugut, Gracia, & Hulu, Edison. (2021). Manajemen Perubahan Komunikasi Partai Politik New Wave: Sebuah Studi Etnografis Di Partai Psi Jawa Barat. Perspektif Komunikasi: Jurnal Ilmu Komunikasi Politik Dan Komunikasi Bisnis, 5(1), 11�27.

 

Bawaslu Kota Malang. (2022).

 

Budita, Carissa Almaasah. (2023). Dinamika Politik Dalam Pembentukan Negara Islam Indonesia Tahun 1949-1962. Jejak: Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah, 3(1), 97�110.

 

Changara, Hafied. (2016). Komunikasi Politik : Konsep , Teori, Dan Strategi.

 

Gunawanindra. (2021). Thesis Analisis Keputusan Memilih Partai Politik. Universitas Paramadina, Jakarta.

 

Heryanto, Gun Gun. (2018). Media Komunikasi Politik. Ircisod.

 

Ibrahim, Dr. (2015). Penelitian Kualitatif. Journal Equilibrium, 5, 1�8.

 

Mcgraw, Kathleen. (2011). Candidate Impressions And Evaluations. Cambridge Handbook Of Experimental Political Science, 187�200.

 

Merliya, Merliya, & Ikhwan, Ikhwan. (2019). Pola Interaksi Sosial Pedagang Dengan Nelayan Di Pasar Ikan Pantai Purus Padang Kecamatan Padang Barat. Jurnal Perspektif: Jurnal Kajian Sosiologi Dan Pendidikan, 2(4), 399�406.

 

Rif�an, Ali. (2018). Pemilu 2019 Dan �Efek Ekor Jas. Retrieved From Https://News.Detik.Com/Kolom/D-4063924/Pemilu-2019-Dan-Efek-Ekor-Jas, Diakses 12/03/2022, Pukul 13:45

 

Saied, Muhammad, & Syafii, Akhmad. (2023). Perancangan Dan Implementasi Sistem Absensi Berbasis Teknologi Terkini Untuk Meningkatkan Efisiensi Pengelolaan Kehadiran Karyawan Dalam Perusahaan. Jurnal Teknik Indonesia, 2(3), 87�92.

 

Syarifudin, Aip. (2020). Pilkada Dan Fenomena Politik Uang: Analisa Penyebab Dan Tantangan Penanganannya. Jurnal Keadilan Pemilu, 1(2), 25�34.

 

Tangkasiang, Bramulia. (2023). Pengembangan Kapasitas Bawaslu Kota Dalam Pelaksanaan Pengawasan Pemilihan Gubernur Tahun 2020 Di Kota Palangka Raya. Jurnal Sociopolitico, 5(2), 77�93.

 

Copyright holder:

Andi Yusuf Akbar, Fatma Hidayah, Udyahitani Secundaputeri (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: