Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022
PERTANGGUNGJAWABAN BPN DALAM HAL
TERJADINYA HAK ATAS TANAH TUMPANG TINDIH
Joshua Evan1*, Hanafi
Tanawijaya2
1* Fakultas Hukum,
Universitas Tarumanagara, Indonesia
2STIH Gunung Jati Tangerang, Indonesia
E-mail: 1*[email protected],
2[email protected]
Abstrak
Penelitian ini
menggambarkan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam mengatasi
masalah pertanahan terkait kepemilikan dan sertifikat tanah yang tumpang
tindih. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, BPN memiliki peran dalam
menyelesaikan sengketa melalui musyawarah, arbitrase, atau pengadilan.
Penelitian juga mencermati pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, termasuk tanggung jawab administratif, perdata, dan pidana. Hasil
penelitian menyoroti pentingnya konsistensi dalam menerapkan yurisprudensi
terkait sertifikat ganda dalam rangka mencapai keadilan.
Kata Kunci: Badan Pertanahan Nasional (BPN),
Sertifikat Tumpang Tindih, Putusan Pengadilan
Abstract
This study delineates the responsibility of the
National Land Agency (BPN) in addressing land-related issues pertaining to
ownership and overlapping land certificates. Based on prevailing laws and
regulations, BPN plays a role in resolving disputes through negotiations,
arbitration, or the judiciary. The research also examines the implementation of
court decisions that have obtained legal force, encompassing administrative,
civil, and criminal responsibilities. The study underscores the importance of
consistency in applying jurisprudence related to duplicate certificates to
achieve justice.
Keywords: National
Land Agency (BPN), Overlapping Certificates, Decision Implementation
Pendahuluan
Salah satu kebutuhan hidup manusia yang tidak bisa dipungkiri adalah tanah. Dimana fungsi tanah bagi manusia diantaranya yaitu untuk tempat tinggal maupun tempat usaha. Sehingga, dapat dikatakan bahwa hubungan manusia dengan tanah ��bersifat abadi dan berlangsung terus menerus.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah sebutan lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang tersebut disahkan dan diundangkan pada tanggal 24 September 1960 di Jakarta. Salah satu tujuan dari dikeluarkannya UUPA adalah untuk mengakhiri dualisme hukum agraria di Indonesia pada saat itu. Terhitung lebih dari satu dasawarsa sejak dibacakannya proklamasi, sebagian besar masyarakat di Indonesia masih tetap memberlakukan hukum agraria berdasarkan hukum barat (kolonial) yang tujuan serta sendi-sendinya dari pemerintah negara jajahan dan masyarakat lainnya memberlakukan hukum agraria berdasarkan hukum adat.
Masalah tanah tidak lepas dari masalah persengketaan di dalam masyarakat, sehingga untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum mengenai hak atas tanah maka diperlukan adanya tanda bukti hak atas tanah yang fungsinya untuk melindungi masyarakat dari permasalahan terkait tanah. Tanda bukti tersebut sebagai bentuk pengakuan terhadap seseorang yang memiliki atau menguasai suatu bidang tanah. Namun mengenai tanah tentunya pengakuan saja belum cukup, dikarenakan sangat sering timbul permasalahan mengenai kepastian subjek dan objek hukumnya. Oleh karenanya pemerintah Indonesia menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 �tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disebutkan bahwa �dalam hal menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 19 UUPA maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah di bidang pendaftaran tanah yaitu Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan kepemilikan tanah yang dimiliki nya (Adrian Sutedi, 2012). Sertifikat tersebut berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik serta data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, maka data tersebut dikatakan sebagai data yang benar selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenaran data tersebut dan tidak perlu ditambah dengan bukti tambahan lainnya.
Oleh karenanya bagi para pemegang hak atas tanah yang telah memiliki sertifikat hak atas tanahnya, maka pemegang hak atas tanah tersebut tentunya akan mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pemegang hak dalam kasus tumpang tindih tanah adalah dengan cara memberikan kesempatan pada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan permohonan untuk memperbaiki maupun mengubah batas kepemilikannya atas tanah hak yang saat ini menjadi tumpang tindih (Ade Irma, 2013).
Dalam kenyataan sehari-hari kepastian hukum hak atas tanah dalam seringkali tidak memberikan jaminan kepastian hukum untuk masyarakat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Seperti yang diketahui dalam pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan atau menganut sistem pendaftaran tanah yaitu sistem pendaftaran negatif yang bertendensi positif, yang artinya bahwa sertifikat bukan merupakan alat bukti yang mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat melainkan sertifikat tersebut adalah alat bukti yang kuat. Dalam hal sistem pendaftaran negatif yang bertendensi positif, tentunya tidak menutup kemungkinan terdapat klaim tuntutan dari pihak lain terhadap hak atas tanah yang telah dikeluarkannya sertifikat, sehingga bisa menimbulkan terjadinya sengketa tanah. Pada kasus pertanahan masalah-masalah yang ada walaupun telah ditangani dan sudah dianggap selesai, tidak menutup kemungkinan jika dikemudian hari terjadi permasalahan yang sama.
Adanya sertifikat ganda merupakan salah satu permasalahan yang terjadi dalam kegiatan pendaftaran tanah atau sering dikatakan sebagai tumpang tindih terkait hak atas tanah yang diterbitkan tersebut oleh kantor pertanahan setempat. Dapat terjadinya hal tersebut karena dalam satu bidang tanah terbit lebih dari satu sertifikat hak atas tanah. Tentunya sertifikat ganda akan menimbulkan terjadinya sengketa keperdataan karena akan merugikan hak-hak para pihak. Menyikapi hal tersebut seharusnya kantor pertanahan dapat mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan kasus sertifikat ganda tersebut yang tentunya sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
Salah satu contoh kasus sertifikat ganda atau tumpang tindih sertifikat hak atas tanah terjadi di Jalan Jurusan Pelaihari, Km 21 RT/08 RW/04 Kelurahan Landasan Ulin Selatan, Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dimana kasusnya berawal dari permohonan sertifikat hak atas tanah oleh Bapak Biantoro Sudargo yang dilakukan secara diam-diam untuk melakukan permohonan pembuatan sertifikat dengan memberikan keterangan palsu dan/atau keadaan palsu.
Pemilik hak atas tanah tersebut yaitu Bapak Harry Jansjah Limantara menentang dan langsung memberikan somasi serta mengajukan gugatan terhadap Bapak Biantoro Sudargo. Pada putusan tingkat pertama yaitu Nomor 27/Pdt.G/2017/PN.Bjb hasil dari putusannya Majelis Hakim Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, dan dilanjutkan pada putusan tingkat banding Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM yang dalam putusannya majelis hakim menerima banding dari pembanding yang sebelumnya merupakan penggugat dan akan membatalkan putusan pengadilan negeri banjarbaru Nomor 27/Pdt.G/2017/PN.Bjb, tidak hanya sampai disitu permasalahan ini kemudian dibawa dalam ranah kasasi Nomor 136/K/Pdt/2020 serta putusan Peninjauan Kembali Nomor 309 PK/PDT/2021 dalam putusannya Majelis menguatkan putusan Tingkat Banding. Sehingga Bapak Harry Jansjah Limantara secara inkracht adalah pemilik sah dari �objek tanah tersebut. Diketahui bahwa bapak Biantoro Sudargo telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum dengan cara yang tidak benar serta melawan hukum dalam pembuatan sertifikat hak atas tanah sehingga sertifikat tersebut tidak berkekuatan hukum.
Perbuatan tersebut telah melanggar Pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Telah terbukti pula terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah oleh BPN Kota Banjarbaru, pembatalan hak atas tanah tersebut terjadi karena cacat hukum administrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 106.
Berdasarkan uraian singkat di
atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul �Tanggung
Jawab BPN Dalam Hal Terjadinya Hak Atas Tanah Tumpang Tindih (Studi Putusan
Mahkamah Agung Nomor 309 PK/PDT/2021)
Tujuan penelitian
ini adalah untuk menggali pemahaman tentang tanggung jawab Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dalam kasus tumpang tindih (overlapping) yang terjadi dalam
Putusan Nomor: 309 PK/PDT/2021, serta untuk menganalisis pertimbangan hukum
yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam proses pemeriksaan, pengadilan, dan
penentuan hasil perkara tumpang tindih kepemilikan tanah bersertifikat dalam
Putusan tersebut.
Penelitian ini
memiliki kegunaan teoritis dalam memberikan pemahaman yang lebih mendalam
mengenai hak, akibat hukum, tumpang tindih sertifikat tanah, serta dasar
pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam kasus tumpang tindih kepemilikan tanah
bersertifikat seperti yang terdokumentasi dalam Putusan Nomor: 309 PK/PDT/2021.
Selain itu, memiliki kegunaan praktis bagi pemerintah, terutama Badan
Pertanahan dan Penegak Hukum, dalam memastikan perlindungan dan pemenuhan
hak-hak masyarakat terkait kepemilikan tanah, serta dalam upaya mewujudkan
keadilan dalam isu-isu kepemilikan tanah.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988. BPN merupakan satu-satunya lembaga atau institusi di Indonesia yang diberikan kewenangan dalam mengelola bidang pertanahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa: �Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disebut BPN RI adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden�. Kemudian dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa: �BPN RI mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan�. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kantor Pertanahan merupakan Pejabat TUN.
Sertifikat atas tanah merupakan suatu produk hukum Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga atasnya berlaku ketentuan-ketentuan hukum, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional. Sehingga BPN bertanggung jawab atas segala permasalahan yang terjadi berkaitan dengan sertifikat atas tanah. Pada dasarnya penerbitan sertifikat hak kepemilikan atas tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik hak yang bersangkutan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 31 dan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 serta penjelasan pasal demi pasal tersebut, bahwa sertifikat tanah di maksudkan agar pemegang hak dengan mudah membuktikan haknya.
Akan tetapi pada prakteknya seringkali terjadi sengketa atas terbitnya sertifikat hak atas tanah tersebut, salah satu jenis sengketa tersebut adalah mengenai kepemilikan sertifikat hak atas tanah ganda. Sertifikat ganda dapat terjadi kelalaian atau ketidaktelitian serta kurang hati-hatian pada saat proses pendaftaran tanah yang diawali dari tidak validnya data yang diberikan oleh pemohon, akan tetapi dapat diloloskan sehingga terbit sertifikat kedua (ganda) dan seterusnya (Mudakir Iskandar Syah, 2002). Terjadinya sertifikat ganda dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor
yang muncul dari Masyarakat. yakni :
a. Belum
diterimanya sertifikat yang telah dimohon sebelumnya, sehingga yang
bersangkutan mengajukan permohonan sertifikat yang kedua atas tanah yang sama;
b. Penggunaan
alat bukti hak yang berbeda-beda atas tanah yang sama yang digunakan oleh 2
(dua) pemohon sertifikat.
Sengketa pertanahan seringkali terjadi
juga disebabkan oleh pemilik tanah yang menelantarkan atau tidak memperhatikan
dan tidak memanfaatkan tanahnya dengan baik sehingga berakibat diambil alih
oleh orang lain dan di klaim sebagai miliknya dan kemudian mendaftarkan tanah
tersebut padahal sudah didaftarkan oleh pemilik asli.
2. Faktor
yang muncul dari Kantor BPN :
a. Ketidaktelitian
pejabat/petugas;
b. Kelalaian
pejabat/petugas (human error).
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan
kelalaian serta ketidaktelitian dimaksud dilakukan dengan sengaja atau dengan
kata lain telah direncanakan, oleh oknum pejabat pengurus pendaftaran tanah
dengan pemohon pendaftaran hak atas tanah yang tidak berhak. Sehingga dalam hal
ini yang terjadi adalah suatu tindak pidana.
3. Faktor
yang muncul dari Kantor Kelurahan.
Faktanya dalam pemerintahan saat ini,
seringkali terjadi ketidaksesuaian atau tidak sinkronnya kordinasi antar
lembaga pemerintahan. Pemerintah setempat yakni kelurahan atau desa yang tidak
memiliki basis data pertanahan yang telah disertifikasi menyebabkan ketika
adanya pengajuan permohonan surat keterangan penguasaan tanah, terkadang
langsung dibuatkan surat keterangan dimaksud dan tindakan tersebut tanpa
dilakukan pengukuran dan pengecekan terhadap lokasi serta kepastian tanah yang
dimohonkan.
Badan Pertanahan Nasional
bertanggung-jawab secara langsung terhadap seluruh masalah pertanahan terkait
dengan pemberian hak serta pemberian sertifikat tanah. Apabila tindakan yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang tersebut, dalam hal ini menerbitkan
sertifikat ahak atas anah yang ternyata ganda, merugikan pihak lain, maka dapat
dimintakan pertanggungjawaban sebagai akibat dari tindakan yang telah dilakukan.
Konsep tanggungjawab timbul akibat adanya hubungan kausalitas atau sebab akibat
dalam artian bahwa orang yang bertanggung jawab dianggap sebagai penyebab salah
satu akibat yang telah dilakukan (Aholiab
Watoly, 2005).
Tangungjawab apabila dilihat dari sisi badan atau lembaga mana pertanggungjawaban itu diberikan, maka dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tanggungjawab eksternal dan tanggungjawab internal. Tanggungjawab internal dapat berupa tanggungjawab bawahan kepada atasan. Sedangkan tanggungjawab eksternal merupakan tanggungjawab kepada pihak lain dalam hal ini misalnya tanggungjawab eksternal berupa tanggung gugat. Tanggung gugat ini muncul apabila terdapat individu atau badan hukum tertentu yang merasa dirugikan atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah (Hirwansyah, 2021).
Adapun mengenai tanggung jawab kantor BPN
tentang sertifikat tanah ganda, sebelumnya pihak kantor BPN akan memastikan
terlebih dahulu sebab timbulnya sertifikat tanah ganda, apakah sepenuhnya
kesalahan dan kelalaian dari pihak kantor BPN atau faktor lainnya. Apabila
terdapat indikasi adanya oknum pejabat BPN yang melakukan perbuatan yang
melanggar hukum atau melakukan kelalaian, maka pihak kantor BPN akan
bertanggungjawab dengan teguran hingga melakukan tindakan pemecatan. BPN akan
mengupayakan dan merekomendasikan solusi penyelesaian sengketa berdasarkan
peraturan perundang-undangan serta dengan memperhatikan rasa keadilan dan
menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian, BPN akan
memfasilitasi pihak-pihak yang bersengketa untuk dilakukan upaya mediasi dan
negosiasi untuk memperoleh solusi penyelesaian permasalahan yang ada secara
damai dan kekeluargaan.
Adapun mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan dalam hal ini termasuk juga sengketa sertifikat ganda dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (Mulyadi, Satino, 2019):
a. Sengketa
tanah biasanya diketahui oleh BPN dari pengaduan.
b. Pengaduan
ditindaklanjuti dengan mengidentifikasikan masalah. Dipastikan apakah unsur
masalah merupakan kewenangan BPN atau tidak.
c. Jika
memang kewenangannya, maka BPN meneliti masalah untuk membuktikan kebenaran
pengaduan serta menentukan apakah pengaduan beralasan untuk diproses lebih
lanjut.
d. Jika
hasil penelitian perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan data fisik administrasi
serta yuridis, maka kepala Kantor dapat mengambil langkah berupa pencegahan
mutasi (status quo).
e. Jika
permasalahan bersifat strategis, maka diperlukan pembentukan beberapa unit
kerja. Jika bersifat politis, sosial, dan ekonomis maka tim melibatkan
institusi berupa DPR atau DPRD, departemen dalam negeri, pemerintah daerah
terkait.
f. Tim
akan menyusun laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan rekomendasi
penyelesaian masalah.
Pasal 346 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3
Tahun 2006 menyatakan bahwa BPN bertanggungjawab untuk melakukan upaya
penyelesaian sengketa pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Saat ini penanganan sengketa pertanahan dalam hal ini mengenai
sertifikat ganda dilakukan melalui tiga cara, yakni: 1) penyelesaian secara langsung
melalui musyawarah oleh para pihak yang bersengketa; 2) penyelesaian melaui
arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa; dan 3) penyelesaian sengketa
melalui badan peradilan.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
sengketa ditemukan unsur maladministrasi dan merugikan masyarakat sebagai
pemegang hak, tanggung jawab dan tanggung gugatnya dibebankan kepada pribadi
orang yang melakukan tindakan maladministrasi tersebut. Kemudian administrasi
negara melakukan pertanggungjawaban pidana, jika ada unsur- unsur pidana dalam tindakan
pemerintahan tersebut. Jika dalam maladministrasi tersebut ditemukan unsur
perbuatan melawan hukum, maka bisa diajukan gugatan perdata atas pejabat
tersebut. Namun, jika tidak ditemukan unsur maladministrasi, meskipun ada unsur
perbuatan melawan hukum, maka pembayaran ganti rugi menjadi tanggungjawab
institusional dalam hal ini BPN.
Terdapat beberapa jenis pertanggungjawaban
hukum yang dapat dibebankan kepada BPN terhadap
timbulnya sertifikat tumpang tindih, diantaranya dapat dilakukan dengan:
a.
Pertanggungjawaban
Perdata
Akibat dari ketidak telitian dan ketidak cermatan dalam melakukan dan
memeriksa data fisik serta data yuridis dalam pendaftaran hak atas tanah,
berakibat pada timbulnya sengketa atas kepemilikan sertifikat hak atas tanah
tumpang tindih. Adapun sanksi perdata yang dapat diterapkan oleh Kantor
Pertanahan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata. Dalam
Pasal 1365, dijelaskan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut. Kemudian dalam Pasal 1366 menyatakan bahwa setiap orang bertanggung
jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Pertanggungjawaban yang tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1366
KUHPerdata mewajibkan adanya unsur kesalahan artinya seseorang tersebut harus
bersalah (liability based on fault).
Asas pertanggungjawaban secara kesalahan (fault)
didasarkan pada prinsip bahwa tidak ada pertanggungjawaban apabila tidak ada
unsur kesalahan dalam ilmu hukum disebut Tortious
Liability atau Liability Based on Fault.
Selanjutnya pihak yang berkewajiban untuk membuktikan unsur kesalahan
tersebut adalah pihak yang menuntut ganti rugi dengan kata lain beban
pembuktian ada pada pihak penggugat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1865
KUHPerdata �setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau,
guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk
pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa
tersebut.� Sehingga pemegang hak yang merasa dirugikan atas timbulnya
sertifikat hak ganda, harus dapat membuktikan adanya kesalahan yang dituduhkan.
Terhadap perbuatan melawan hukum karena kelalaian timbul model
pertanggungjawaban hukum yakni (Munir Fuady, 2002):
1)
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan
kelalaian) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1365 KUHPerdata;
2)
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1366 KUHPerdata;
3)
Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana
terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
Dengan demikian
diketahui bahwa, dalam hal timbulnya sertifikat hak atas tanah yang tumpang
tindih, yang dilakukan secara tidak sengaja yakni murni kehilafan karena
ketidaktelitian pejabat pengurusan pendaftaran hak atas tanah, dapat dibebankan
pertanggungjawaban secara keperdataan. Pihak BPN yang melakukan maladministrasi
disertai perbuatan melanggar hukum secara pribadi harus bertanggungjawab mengganti
kerugian yang ditimbulkan dan dialami oleh pemegang hak karena sertifikat yang
tumpang tindih tersebut, dalam hal ini yaitu ganti kerugian secara materil.
Seperti yang terdapat
pada sengketa dalam Putusan Nomor 309 PK/Pdt/2021 menguatkan kembali Putusan
Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM yang sebelumnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung
Nomor 136 K/Pdt/2020. Pada tingkat Banding, Majelis Hakim dalam amarnya
menyatakan bahwa Para Tergugat telah Bersalah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
(onrechtmatige daad) karena telah
menempati, memanfaatkan dan/atau ingin menguasai secara tanpa hak (penyerobotan)
obyek tanah milik Penggugat. Akan tetapi, Majelis Hakim tidak mengabulkan
gugatan Penggugat mengenai kerugian yang dialaminya dengan pertimbangan bahwa
mengenai kerugian tersebut tidak dibuktikan oleh Penggugat dalam pemeriksaan di
persidangan. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1865 KUHPerdata� yang menyatakan bahwa setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Penggugat seharusnya
membuktikan secara jelas bagaimana kerugian yang dialaminya dapat terjadi dan
terakumulasi. Dengan demikian, apa yang menjadi pertimbangan dan diputuskan
dalam amar putusan oleh Majelis Hakim tersebut beralasan dan dapat diterima.
b.
Pertanggungjawaban
Pidana
Terkait adanya indikasi tindak pidana pemalsuan
surat, dalam hal ini timbulnya sertifikat hak atas tanah ganda, dapat dikenakan
pidana sebagaimana dalam Pasal 264 KUHP, bahwa :
1)
Pemalsuan surat diancam dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
a) akta-akta otentik;
b) surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya
ataupun dari suatu lembaga umum;
c) surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
d) talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti
surat-surat itu;
e) surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;
2)
Diancam dengan pidana yang sama
barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang
isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu,
jika pemalsuan surat itu dapat.
Akan tetapi untuk dapat menyatakan bahwa seorang
pejabat pada BPN telah melakukan tindak pidana pemalsuan di atas perlu
dipertimbangan mengenai 2 (dua) unsur. Apaun kedua unsur yang dimaksud adalah adanya
unsur perbuatan pidana (actrus reus)
dan keadaan batin pembuatnya (mens rea).
Serta kesalahan (schuld) merupakan
unsur pembuat delik, sehingga termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang
mengandung arti pembuat dapat dipersalahkan atas perbuatannya.
c.
Tanggungjawab
Administrasi
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan, Pasal 54 menyatakan bahwa:
1) BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya.
2) Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a) Terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan;
b) Terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan;
c) Terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara lain;
d) Alasan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap terhadap sengketa terkait, maka BPN bertanggung jawab atas sertifikat yang dikeluarkannya. Dalam hal ini tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional atas terbitnya sertifikat ganda atas suatu objek tanah yang sama adalah mencabut atau membatalkan sertifikat hak atas tanah yang telah diterbitkannya. BPN sebagai institusi yang berwenang menerbitkan sertifikat hak atas tanah bertanggungjawab secara administratif, yaitu dengan membatalkan sertifikat hak atas tanah yang telah diterbitkannya tersebut.
Hal ini dapat kita lihat dalam amar Putusan Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM. Majelis Hakim menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik No 3241 dari penggabungan sertifikat masing-masing dengan No M. 3185 dan M. 3237 yang dibalik nama oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kotamadya Banjarbaru ttd Suad Lufti Broto dan untuk sertifikat Banjarbaru Plt Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Banjarbaru ditanda tangani oleh Drs, H.Noor Rachman yang sekarang dikuasai oleh Tergugat I dan Tergugat II tanpa prosedur yang resmi / jelas yang telah terlanjur diterbitkan oleh Tergugat III atas nama Tergugat I dan Tergugat II tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena didapat dengan cara yang tidak benar serta melawan hukum yang dilakukan secara Ileggal dan melawan hukum yang mengakibatkan sertifikat tersebut tidak berkekuatan hukum.
Adapun terhadap Pejabat yang menerbitkan sertifikat hak atas tanah tersebut, bentuk pertanggungjawabannya ditentukan berdasarkan kualifikasi perbuatannya. Dalam konteks ini pejabat yang dimaksud tentunya harus bertanggung jawab secara administrasi, akan tetapi� jika terdapat perbuatan yang berkualifikasi perbuatan melawan hukum, tentunya yang bersangkutan dapat dibebankan pertanggungjawaban perdata atau bahkan pidana. Karena idealnya, 1 (satu) objek tanah hanya memiliki 1 (satu) bukti kepemilikan hak.
Sanksi administratif berupa pemecatan dapat dikenakan terhadap petugas Kantor Pertanahan yang lalai dalam menjalankan tugasnya berdasar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini telah mengakibatkan timbulnya sertifikat hak atas tanah ganda. Sanksi administratif ini diharapkan dapat memberi efek jera Kepala Kantor Pertanahan dan pihak lainnya yang telah terbukti bersalah dalam menerbitkan sertipikat ganda.
Pemecatan atau pengenaan sanksi terhadap pejabat pada BPN
yang melakukan maladministrasi ini tidak dirumuskan dalam amar majelis hakim
mengenai sengketa dalam Putusan Nomor 309 PK/Pdt/2021 yang menguatkan kembali Putusan
Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM yang sebelumnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung
Nomor 136 K/Pdt/2020. Karena hal tersebut merupakan kewenangan dan kebijakan
yang dimiliki oleh instansi terkait, dalam hal ini BPN. Tentunya dengan
mempertimbangan unsur kesalahan yang dimiliki oleh pihak yang bersangkutan,
sehingga dapat dikenakan sanksi administratif secara adil dan sesuai ketentuan
yang berlaku.
Untuk dapat memberikan putusan yang adil,
hakim perlu mempertimbangkan fakta-fakta yang diperoleh dalam proses
persidangan. Fakta �fakta yang dimaksudkan yaitu sejak dimulainya proses
persidangan tahap awal ketika diajukan gugatan, jawaban oleh para tergugat,
hingga pada proses pemeriksaan saksi-saksi serta alat-alat bukti lain yang
dihadirkan dalam persidangan. Kemudian terhadap fakta-fakta yang telah
terungkap serta didukung oleh keyakinannya, hakim kemudian membuat
pertimbangan-pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan yang menetapkan
bersalah ataupun tidak bersalahnya seorang berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku. Hakim juga harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis,
sosiologis dan filosofis. Sehingga keadilan yang ingin dicapai dapat terwujud,
dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim yang berkeadilan dan berorientasi
pada keadilan hukum (legal justice),
keadilan masyarakat (social justice),
dan keadilan moral (moral justice) (Miftah Rizka Hayati, 2016).
Pada Putusan Nomor 309 PK/Pdt/2021, alasan
permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Biantoro Sudargo (sebelumnya
Tergugat I) adalah terdapat kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dalam putusan
Judex Juris atas sengketa yang terjadi. Akan tetapi Majelis Hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan
nyata dalam putusan Judex Juris yang menolak kasasi Tergugat I dan Tergugat II
dan putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin yang mengabulkan gugatan Penggugat.
Keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan Majelis Hakim terhadap gugatan
oleh Penggugat, Eksepsi yang diajukan oleh Para Tergugat, serta
pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim Judex Factie berdasarkan
fakta-fakta hukum di persidangan mengenai alat-alat bukti yang dihadirkan
sebagaimana dalam Putusan Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM
yang sebelumnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 136 K/Pdt/2020.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim
menyatakan bahwa dalam perkara a quo, Para Tergugat/Pemohon Peninjauan Kembali
tidak dapat diperlakukan sebagai pemilik tanah beriktikad baik karena pembeli
tanah beriktikad baik mengandung makna bahwa subjek hukum membeli tanah yang
telah bersertifikat dari pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat tanah
yang menjadi objek jual beli, jual beli yang dilakukan di hadapan PPAT dan pada
saat jual beli tanah objek jual beli tidak dalam status sengketa atau sita.
Namun belakangan diketahui kemudian ternyata si penjual yang namanya tercantum
dalam sertifikat objek jual beli terbukti bukan pihak atau bukan satu-satunya
pihak yang sesungguhnya yang berhak. Sehingga pembeli berhak memperoleh
perlindungan atas dasar pembeli beriktikad baik.
Bahwa dalam sengketa yang penyelesaiannya
didasarkan atas perlindungan hukum terhadap pembeli beriktikad baik, hanya
terkait satu sertifikat atas objek jual beli, sebaliknya, perkara a quo
memiliki karakter yang berbeda sehingga terhadap perkara a quo tidak dapat
diterapkan asas perlindungan hukum terhadap pembeli tanah beriktikad baik
karena dalam perkara a quo terdapat dua sertifikat yang sama-sama otentik di
atas objek atau tanah yang sama dengan dua pemilik yang berbeda. Bahwa sengketa
tanah terkait sertifikat ganda atau lebih di atas tanah yang sama memang merupakan
permasalahan hukum yang dilematis yang semestinya tidak akan terjadi jika Badan
Pertanahan Nasional bekerja dengan baik, professional dan memiliki teknologi
atau prosedur yang dapat mencegah terjadi sengketa di antara dua pihak atau
lebih yang sama-sama memiliki sertifikat yang otentik.
Mengenai permasalahan hukum sertifikat
ganda atau lebih pada tanah yang sama, telah terdapat yurisprudensi tetap yang
harus dipatuhi atau diikuti baik oleh hakim Judex Facti, maupun Judex Juris
secara konsisten dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam bingkai kesatuan hukum
dan konsistensi penerapan hukum. Kaidah hukum yang sudah menjadi yurisprudensi
tetap adalah bahwa �jika terdapat sertifikat ganda di atas tanah yang sama dan
kedua sertifikat sama-sama otentik, maka bukti hak yang paling kuat adalah
sertifikat yang terbit lebih dahulu.�
Pertimbangan tersebut turut menguatkan
pertimbangan Majelis Hakim Judex Factie pada tingkat Banding. Bahwa terbitnya
Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 3185 didasarkan pada Surat Keterangan Penguasaan
bidang tanah (sporadik) tanggal 8 Agustus 2003, dimana saat dibuatnya Sporadik
tersebut telah terlebih dahulu terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 545 (ex
SHM 1194) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten
Banjar pada tanggal 26 Nopember 1983. Oleh karena Sporadik tersebut diatas
diterbitkan diatas bidang tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 545 (ex SHM
1194), maka Sporadik tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum dengan
akibat Sertifikat yang terbit berdasarkan Sporadik tersebut yaitu Sertifikat
Hak Milik (SHM) No.3241 yang merupakan penggabungan 2 (dua) buah Sertifikat
masing-masing Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 3185 dan Sertifikat Hak Milik
(SHM) No.3237 sepanjang terhadap tanah Penggugat Sertifikat Hak Milik (SHM) No.
545 (ex SHM 1194) tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena terbitnya
Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 545 (ex SHM 1194) jauh lebih dahulu dari pada
Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 3185 maka Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 545 (ex
SHM 1194) mempunyai nilai pembuktian yang sempurna sebagai dasar kepemilikan
Penggugat atas tanah sengketa.
Pertimbangan Majelis Hakim pada Peninjauan
Kembali tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
dan memiliki nilai keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Selain itu,
putusan tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi pemegang sertifikat hak
atas tanah. Sehingga telah sesuai dengan tujuan dari pendaftaran hak atas
tanah, yaitu adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik hak yang
bersangkutan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 31 dan Pasal 32 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997, bahwa sertifikat tanah di maksudkan agar pemegang
hak dengan mudah membuktikan haknya.
Badan Pertanahan
Nasional bertanggung-jawab secara langsung terhadap seluruh masalah pertanahan
terkait dengan pemberian hak serta pemberian sertifikat tanah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini terjadinya sengketa
kepemilikan sertifikat hak milik tupang tindih. Sebagaimana
dalam Pasal 346 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006. Penanganan sengketa dapat
dilakukan dengan: 1) penyelesaian secara langsung melalui musyawarah oleh para
pihak yang bersengketa; 2) penyelesaian melaui arbitrase dan alternative
penyelesaian sengketa; dan 3) penyelesaian sengketa melalui badan peradilan.
Kemudian dalam hal dilakukan penyelesaian melalui badan peradilan dan telah
diputus berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, maka
berdasarkan Pasal 54 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011, BPN RI wajib
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya. Pelaksanaan
putusan tersebut yakni pemenuhan pertanggungjawaban baik keperdataan yakni ganti
kerugian terhadap pihak yang dirugikan, pertanggungjawaban pidana berupa
pemidanaan terhadap pihak yang apabila terbukti melakukan tindak pidana
pemalsuan surat, hingga tanggungjawab administratif berupa pembatalan
sertifikat hak atas tanah yang tumpang tindih.
Dasar pertimbangan
Majelis Hakim pada Putusan Peninjauan Kembali Nomor 309 PK/Pdt/2021 adalah gugatan
oleh Penggugat, Eksepsi yang diajukan oleh Para Tergugat, serta
pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim Judex Factie berdasarkan
fakta-fakta hukum di persidangan mengenai alat-alat bukti yang dihadirkan
sebagaimana dalam Putusan Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM yang sebelumnya dikuatkan
oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 136 K/Pdt/2020. Mengenai permasalahan hukum
sertifikat ganda, Majelis Hakim mengacu pada yurisprudensi tetap yang harus
dipatuhi atau diikuti baik oleh hakim Judex Facti, maupun Judex Juris secara
konsisten dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam bingkai kesatuan hukum dan
konsistensi penerapan hukum, bahwa �jika terdapat sertifikat ganda di atas
tanah yang sama dan kedua sertifikat sama-sama otentik, maka bukti hak yang
paling kuat adalah sertifikat yang terbit lebih dahulu.�
Aholiab
Watoly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural,
Cetakan Kelima (Yogyakarta: Kanisius, 2005).
Ali
Achmat, Menguak Tabir Hukum,
(Jakarta: Kencana, 2008).
Amiruddin
dan Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, (Jakarta: Ed. 1, Cet.VIII, PT. Raja Grafindo Persada,
2014).
Asikin Zainal dkk, Pengantar Hukum Perusahaan, (Prenadamedia
Group, Jakarta,
2016)
Fuady Munir, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan 1, (Citra Aditya Bakti, Bandung,
2002)
HR.
Ridwan, Hukum Administrasi Negara,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2000).
Hadjon
Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi
Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 2012).
Harsono
Boedi, Hukum Agraria Indoneia, (Jakarta, Universitas Trisakti, 2013)
Hatrik
Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Raja Grafindo, Jakarta, 1996)
Kelsen Hans, Teori Hukum Murni, (Nusa Media, Bandung,2006)
Kelsen Hans, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE, (Jakarta,
Media Indonesia, 2007).
Limbong
Berenhard, Politik Tanah, (Jakarta:
Pustaka Margaretha, 2014).
Marzuki
Peter Muhamad, Penelitian Hukum, Cet.ke-7,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005).
Meliala Djaja S., Hukum Perdata dalam Perspektif BW, (Nuansa
Aulia, Bandung, Revisi Keempat, 2014)
Mertokususmo
Sudikno, Hukum Acara Perdata
Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1988)
Muhaimin,
Metode Penelitian Hukum, (Mataram:
Mataram University Press, 2020).
Muhammad
Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia,
(Citra Aditya Bakti, 2010)
Mukti
Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme
Penelitian Hukum Normatif dan Hukum Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2017).
Mukti
Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Cetakan ke-5. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019).
Murad R, Penyelesaian sengketa hukum hak atas tanah,
(Bandung: Alumni 1991).
Murad
Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Cetakan
Pertama, Alumni, 1991)
Mustofa
Wildan Suyuthi, Kekuasaan Kehakiman,
(Bandung: Cetakan Pertama, Alumni, 2003).
Notoatmojo
Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010)
Priyatno Dwidja, Sistem Pertanggunjawaban Korporasi dalam
Kebijakan Legislasi (Kencana, Depok, Cetakan Pertama, 2017)
Shidarta,
Hukum Perlindungan Koonsumen Indonesia,
(Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, Edisi Revisi, 2006)
Sjawie Hasbullah F., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada
Tindak Pidana Korupsi, Edisi Pertama ( Kencana, Jakarta, 2015)
Soekanto
Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2007).
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,
2014)
Sommermeijer
W., Tanggung Jawab Hukum, (Bandung
: Pusat Studi Hukum Universitas Parahyangan, 2003)
Suherman
E., Masalah Tanggung Jawab Pada Charter
Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah
Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan, Cet. II, Alumni, Bandung,
1979).
Sutedi
Adrian, Sertifikat Hak Atas Tanah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012).
Syamsu Muhammad Ainul, Pergeseran Turut Serta Melakukan dalam
Ajaran Penyertaan Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana (cetakan ke-2), Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2016).
Usman
Rachmadi, Pilihan Penyelsaian Sengeketa
di Luar Pengadilan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakri 2013).
Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Indonesia,
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan.
Indonesia,
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Indonesia,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Indonesia,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Indonesia,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana jo UndangUndang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660.
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23)
Rizka
Hayati Miftah, Dasar Pertimbangan Hakim
Dalam Memutus Perkara Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Hakim No.25/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Plg),
Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, 2016
Hanafi. (1999). Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana.
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 6(11).
https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/6939
Hirwansyah,
Pertanggungjawaban Hukum Badan Pertanahan
Nasional Terhadap Adanya Penerbitan Sertifikat Ganda, Jurnal Hukum Sasana,
Vol. 7, No.1, 2021.
Irma
Ade, Perlindungan Hukum bagi Pemegang sah hak atas tanah yang mengalami tumpang
tindih (overlapping) Studi kasus di wilayah Gili Trawangan Kabupaten Lombok
Utara, (Malang: Jurnal Fakultas Hukum Unuversitas Brawijaya, 2013).
Iskandar
Syah Mudakir, Serifikat Tanah Ganda
Akibat Lemahnya Data Base Pertanahan, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, FH
Universitas Suryadarma, Vol. 4, No.2, 2014.
Kartika Anjani Ajeng, �Pertanggungjawaban Pengelolaan Dana Desa�,
Jurnal Jurist-Diction, Universitas Airlangga, Vol. 2, Nomor 3 Mei 2019
Mulyadi,
Satino, Penyelesaian Sengketa Kepemilikan
Tanah Bersertifikat Ganda, Jurnal Yuridis, Vol. 6, No. 1, 2019.
Ulya
Zaki, Eksistensi Badan Pertanahan Aceh sebagai Perangkat Daerah di Aceh dalam Aspek Kepastian
Hukum Bidang Pertanahan Jurnal Konstitusi Vol. 3, Universitas Samudra, 2015.
Maria S.W.Sumardjono,�������� Kebijakan������� Pertanahan����� antara� Regulasi��������� dan
Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2005).
Copyright holder: Joshua Evan, Hanafi Tanawijaya (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |