Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 09, September 2022

 

PERTANGGUNGJAWABAN BPN DALAM HAL TERJADINYA HAK ATAS TANAH TUMPANG TINDIH

 

Joshua Evan1*, Hanafi Tanawijaya2

1* Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia

2STIH Gunung Jati Tangerang, Indonesia

E-mail: 1*[email protected], 2[email protected]

Abstrak

Penelitian ini menggambarkan tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam mengatasi masalah pertanahan terkait kepemilikan dan sertifikat tanah yang tumpang tindih. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, BPN memiliki peran dalam menyelesaikan sengketa melalui musyawarah, arbitrase, atau pengadilan. Penelitian juga mencermati pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, termasuk tanggung jawab administratif, perdata, dan pidana. Hasil penelitian menyoroti pentingnya konsistensi dalam menerapkan yurisprudensi terkait sertifikat ganda dalam rangka mencapai keadilan.

 

Kata Kunci: Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sertifikat Tumpang Tindih, Putusan Pengadilan

 

Abstract

This study delineates the responsibility of the National Land Agency (BPN) in addressing land-related issues pertaining to ownership and overlapping land certificates. Based on prevailing laws and regulations, BPN plays a role in resolving disputes through negotiations, arbitration, or the judiciary. The research also examines the implementation of court decisions that have obtained legal force, encompassing administrative, civil, and criminal responsibilities. The study underscores the importance of consistency in applying jurisprudence related to duplicate certificates to achieve justice.

 

Keywords: National Land Agency (BPN), Overlapping Certificates, Decision Implementation

 

Pendahuluan

Salah satu kebutuhan hidup manusia yang tidak bisa dipungkiri adalah tanah. Dimana fungsi tanah bagi manusia diantaranya yaitu untuk tempat tinggal maupun tempat usaha. Sehingga, dapat dikatakan bahwa hubungan manusia dengan tanah ��bersifat abadi dan berlangsung terus menerus.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah sebutan lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang tersebut disahkan dan diundangkan pada tanggal 24 September 1960 di Jakarta. Salah satu tujuan dari dikeluarkannya UUPA adalah untuk mengakhiri dualisme hukum agraria di Indonesia pada saat itu. Terhitung lebih dari satu dasawarsa sejak dibacakannya proklamasi, sebagian besar masyarakat di Indonesia masih tetap memberlakukan hukum agraria berdasarkan hukum barat (kolonial) yang tujuan serta sendi-sendinya dari pemerintah negara jajahan dan masyarakat lainnya memberlakukan hukum agraria berdasarkan hukum adat.

Masalah tanah tidak lepas dari masalah persengketaan di dalam masyarakat, sehingga untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum mengenai hak atas tanah maka diperlukan adanya tanda bukti hak atas tanah yang fungsinya untuk melindungi masyarakat dari permasalahan terkait tanah. Tanda bukti tersebut sebagai bentuk pengakuan terhadap seseorang yang memiliki atau menguasai suatu bidang tanah. Namun mengenai tanah tentunya pengakuan saja belum cukup, dikarenakan sangat sering timbul permasalahan mengenai kepastian subjek dan objek hukumnya. Oleh karenanya pemerintah Indonesia menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah.

Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) disebutkan bahwa dalam hal menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebagai implementasi dari ketentuan Pasal 19 UUPA maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah di bidang pendaftaran tanah yaitu Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan kepemilikan tanah yang dimiliki nya (Adrian Sutedi, 2012). Sertifikat tersebut berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik serta data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan, maka data tersebut dikatakan sebagai data yang benar selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenaran data tersebut dan tidak perlu ditambah dengan bukti tambahan lainnya.

Oleh karenanya bagi para pemegang hak atas tanah yang telah memiliki sertifikat hak atas tanahnya, maka pemegang hak atas tanah tersebut tentunya akan mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pemegang hak dalam kasus tumpang tindih tanah adalah dengan cara memberikan kesempatan pada pemegang hak atas tanah untuk mengajukan permohonan untuk memperbaiki maupun mengubah batas kepemilikannya atas tanah hak yang saat ini menjadi tumpang tindih (Ade Irma, 2013).

Dalam kenyataan sehari-hari kepastian hukum hak atas tanah dalam seringkali tidak memberikan jaminan kepastian hukum untuk masyarakat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Seperti yang diketahui dalam pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan atau menganut sistem pendaftaran tanah yaitu sistem pendaftaran negatif yang bertendensi positif, yang artinya bahwa sertifikat bukan merupakan alat bukti yang mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat melainkan sertifikat tersebut adalah alat bukti yang kuat. Dalam hal sistem pendaftaran negatif yang bertendensi positif, tentunya tidak menutup kemungkinan terdapat klaim tuntutan dari pihak lain terhadap hak atas tanah yang telah dikeluarkannya sertifikat, sehingga bisa menimbulkan terjadinya sengketa tanah. Pada kasus pertanahan masalah-masalah yang ada walaupun telah ditangani dan sudah dianggap selesai, tidak menutup kemungkinan jika dikemudian hari terjadi permasalahan yang sama.

Adanya sertifikat ganda merupakan salah satu permasalahan yang terjadi dalam kegiatan pendaftaran tanah atau sering dikatakan sebagai tumpang tindih terkait hak atas tanah yang diterbitkan tersebut oleh kantor pertanahan setempat. Dapat terjadinya hal tersebut karena dalam satu bidang tanah terbit lebih dari satu sertifikat hak atas tanah. Tentunya sertifikat ganda akan menimbulkan terjadinya sengketa keperdataan karena akan merugikan hak-hak para pihak. Menyikapi hal tersebut seharusnya kantor pertanahan dapat mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan kasus sertifikat ganda tersebut yang tentunya sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.

Salah satu contoh kasus sertifikat ganda atau tumpang tindih sertifikat hak atas tanah terjadi di Jalan Jurusan Pelaihari, Km 21 RT/08 RW/04 Kelurahan Landasan Ulin Selatan, Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dimana kasusnya berawal dari permohonan sertifikat hak atas tanah oleh Bapak Biantoro Sudargo yang dilakukan secara diam-diam untuk melakukan permohonan pembuatan sertifikat dengan memberikan keterangan palsu dan/atau keadaan palsu.

Pemilik hak atas tanah tersebut yaitu Bapak Harry Jansjah Limantara menentang dan langsung memberikan somasi serta mengajukan gugatan terhadap Bapak Biantoro Sudargo. Pada putusan tingkat pertama yaitu Nomor 27/Pdt.G/2017/PN.Bjb hasil dari putusannya Majelis Hakim Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, dan dilanjutkan pada putusan tingkat banding Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM yang dalam putusannya majelis hakim menerima banding dari pembanding yang sebelumnya merupakan penggugat dan akan membatalkan putusan pengadilan negeri banjarbaru Nomor 27/Pdt.G/2017/PN.Bjb, tidak hanya sampai disitu permasalahan ini kemudian dibawa dalam ranah kasasi Nomor 136/K/Pdt/2020 serta putusan Peninjauan Kembali Nomor 309 PK/PDT/2021 dalam putusannya Majelis menguatkan putusan Tingkat Banding. Sehingga Bapak Harry Jansjah Limantara secara inkracht adalah pemilik sah dari objek tanah tersebut. Diketahui bahwa bapak Biantoro Sudargo telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum dengan cara yang tidak benar serta melawan hukum dalam pembuatan sertifikat hak atas tanah sehingga sertifikat tersebut tidak berkekuatan hukum.

Perbuatan tersebut telah melanggar Pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Telah terbukti pula terdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah oleh BPN Kota Banjarbaru, pembatalan hak atas tanah tersebut terjadi karena cacat hukum administrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 106.

Berdasarkan uraian singkat di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul �Tanggung Jawab BPN Dalam Hal Terjadinya Hak Atas Tanah Tumpang Tindih (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 309 PK/PDT/2021)

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali pemahaman tentang tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam kasus tumpang tindih (overlapping) yang terjadi dalam Putusan Nomor: 309 PK/PDT/2021, serta untuk menganalisis pertimbangan hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam proses pemeriksaan, pengadilan, dan penentuan hasil perkara tumpang tindih kepemilikan tanah bersertifikat dalam Putusan tersebut.

Penelitian ini memiliki kegunaan teoritis dalam memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai hak, akibat hukum, tumpang tindih sertifikat tanah, serta dasar pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam kasus tumpang tindih kepemilikan tanah bersertifikat seperti yang terdokumentasi dalam Putusan Nomor: 309 PK/PDT/2021. Selain itu, memiliki kegunaan praktis bagi pemerintah, terutama Badan Pertanahan dan Penegak Hukum, dalam memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat terkait kepemilikan tanah, serta dalam upaya mewujudkan keadilan dalam isu-isu kepemilikan tanah.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk mengkaji tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam kasus tumpang tindih (overlapping) dalam Putusan Nomor: 309 PK/PDT/2021 dan menganalisis pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam perkara tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan memeriksa pandangan dan doktrin dalam ilmu hukum serta pendekatan perundang-undangan (statute approach) untuk menelaah regulasi terkait dengan isu hukum yang dihadapi. Teknik pengumpulan data adalah studi pustaka terhadap bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dengan data sekunder meliputi peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku teks, jurnal ilmiah, dan sumber lainnya. Analisis data dilakukan secara kualitatif untuk menjawab masalah penelitian. Sistematika penulisan disusun agar pembaca dapat memahami isi penelitian dengan baik.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Tanggung Jawab BPN dalam Terjadinya Sertifikat Hak Atas Tanah Tumpang Tindih

Badan Pertanahan Nasional (BPN) dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988. BPN merupakan satu-satunya lembaga atau institusi di Indonesia yang diberikan kewenangan dalam mengelola bidang pertanahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dalam Pasal 1 dijelaskan bahwa: �Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disebut BPN RI adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden�. Kemudian dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa: �BPN RI mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan�. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kantor Pertanahan merupakan Pejabat TUN.

Sertifikat atas tanah merupakan suatu produk hukum Pejabat Tata Usaha Negara, sehingga atasnya berlaku ketentuan-ketentuan hukum, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional. Sehingga BPN bertanggung jawab atas segala permasalahan yang terjadi berkaitan dengan sertifikat atas tanah. Pada dasarnya penerbitan sertifikat hak kepemilikan atas tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik hak yang bersangkutan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 31 dan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 serta penjelasan pasal demi pasal tersebut, bahwa sertifikat tanah di maksudkan agar pemegang hak dengan mudah membuktikan haknya.

Akan tetapi pada prakteknya seringkali terjadi sengketa atas terbitnya sertifikat hak atas tanah tersebut, salah satu jenis sengketa tersebut adalah mengenai kepemilikan sertifikat hak atas tanah ganda. Sertifikat ganda dapat terjadi kelalaian atau ketidaktelitian serta kurang hati-hatian pada saat proses pendaftaran tanah yang diawali dari tidak validnya data yang diberikan oleh pemohon, akan tetapi dapat diloloskan sehingga terbit sertifikat kedua (ganda) dan seterusnya (Mudakir Iskandar Syah, 2002). Terjadinya sertifikat ganda dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu:

1.      Faktor yang muncul dari Masyarakat. yakni :

a.       Belum diterimanya sertifikat yang telah dimohon sebelumnya, sehingga yang bersangkutan mengajukan permohonan sertifikat yang kedua atas tanah yang sama;

b.      Penggunaan alat bukti hak yang berbeda-beda atas tanah yang sama yang digunakan oleh 2 (dua) pemohon sertifikat.

Sengketa pertanahan seringkali terjadi juga disebabkan oleh pemilik tanah yang menelantarkan atau tidak memperhatikan dan tidak memanfaatkan tanahnya dengan baik sehingga berakibat diambil alih oleh orang lain dan di klaim sebagai miliknya dan kemudian mendaftarkan tanah tersebut padahal sudah didaftarkan oleh pemilik asli.

2.      Faktor yang muncul dari Kantor BPN :

a.       Ketidaktelitian pejabat/petugas;

b.      Kelalaian pejabat/petugas (human error).

Meski demikian, tidak menutup kemungkinan kelalaian serta ketidaktelitian dimaksud dilakukan dengan sengaja atau dengan kata lain telah direncanakan, oleh oknum pejabat pengurus pendaftaran tanah dengan pemohon pendaftaran hak atas tanah yang tidak berhak. Sehingga dalam hal ini yang terjadi adalah suatu tindak pidana.

3.      Faktor yang muncul dari Kantor Kelurahan.

Faktanya dalam pemerintahan saat ini, seringkali terjadi ketidaksesuaian atau tidak sinkronnya kordinasi antar lembaga pemerintahan. Pemerintah setempat yakni kelurahan atau desa yang tidak memiliki basis data pertanahan yang telah disertifikasi menyebabkan ketika adanya pengajuan permohonan surat keterangan penguasaan tanah, terkadang langsung dibuatkan surat keterangan dimaksud dan tindakan tersebut tanpa dilakukan pengukuran dan pengecekan terhadap lokasi serta kepastian tanah yang dimohonkan.

Badan Pertanahan Nasional bertanggung-jawab secara langsung terhadap seluruh masalah pertanahan terkait dengan pemberian hak serta pemberian sertifikat tanah. Apabila tindakan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang tersebut, dalam hal ini menerbitkan sertifikat ahak atas anah yang ternyata ganda, merugikan pihak lain, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban sebagai akibat dari tindakan yang telah dilakukan. Konsep tanggungjawab timbul akibat adanya hubungan kausalitas atau sebab akibat dalam artian bahwa orang yang bertanggung jawab dianggap sebagai penyebab salah satu akibat yang telah dilakukan (Aholiab Watoly, 2005).

Tangungjawab apabila dilihat dari sisi badan atau lembaga mana pertanggungjawaban itu diberikan, maka dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tanggungjawab eksternal dan tanggungjawab internal. Tanggungjawab internal dapat berupa tanggungjawab bawahan kepada atasan. Sedangkan tanggungjawab eksternal merupakan tanggungjawab kepada pihak lain dalam hal ini misalnya tanggungjawab eksternal berupa tanggung gugat. Tanggung gugat ini muncul apabila terdapat individu atau badan hukum tertentu yang merasa dirugikan atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah (Hirwansyah, 2021).

Adapun mengenai tanggung jawab kantor BPN tentang sertifikat tanah ganda, sebelumnya pihak kantor BPN akan memastikan terlebih dahulu sebab timbulnya sertifikat tanah ganda, apakah sepenuhnya kesalahan dan kelalaian dari pihak kantor BPN atau faktor lainnya. Apabila terdapat indikasi adanya oknum pejabat BPN yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau melakukan kelalaian, maka pihak kantor BPN akan bertanggungjawab dengan teguran hingga melakukan tindakan pemecatan. BPN akan mengupayakan dan merekomendasikan solusi penyelesaian sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan serta dengan memperhatikan rasa keadilan dan menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan demikian, BPN akan memfasilitasi pihak-pihak yang bersengketa untuk dilakukan upaya mediasi dan negosiasi untuk memperoleh solusi penyelesaian permasalahan yang ada secara damai dan kekeluargaan.

Adapun mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan dalam hal ini termasuk juga sengketa sertifikat ganda dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (Mulyadi, Satino, 2019):

a.       Sengketa tanah biasanya diketahui oleh BPN dari pengaduan.

b.      Pengaduan ditindaklanjuti dengan mengidentifikasikan masalah. Dipastikan apakah unsur masalah merupakan kewenangan BPN atau tidak.

c.       Jika memang kewenangannya, maka BPN meneliti masalah untuk membuktikan kebenaran pengaduan serta menentukan apakah pengaduan beralasan untuk diproses lebih lanjut.

d.      Jika hasil penelitian perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan data fisik administrasi serta yuridis, maka kepala Kantor dapat mengambil langkah berupa pencegahan mutasi (status quo).

e.       Jika permasalahan bersifat strategis, maka diperlukan pembentukan beberapa unit kerja. Jika bersifat politis, sosial, dan ekonomis maka tim melibatkan institusi berupa DPR atau DPRD, departemen dalam negeri, pemerintah daerah terkait.

f.       Tim akan menyusun laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan rekomendasi penyelesaian masalah.

Pasal 346 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa BPN bertanggungjawab untuk melakukan upaya penyelesaian sengketa pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini penanganan sengketa pertanahan dalam hal ini mengenai sertifikat ganda dilakukan melalui tiga cara, yakni: 1) penyelesaian secara langsung melalui musyawarah oleh para pihak yang bersengketa; 2) penyelesaian melaui arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa; dan 3) penyelesaian sengketa melalui badan peradilan.

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa ditemukan unsur maladministrasi dan merugikan masyarakat sebagai pemegang hak, tanggung jawab dan tanggung gugatnya dibebankan kepada pribadi orang yang melakukan tindakan maladministrasi tersebut. Kemudian administrasi negara melakukan pertanggungjawaban pidana, jika ada unsur- unsur pidana dalam tindakan pemerintahan tersebut. Jika dalam maladministrasi tersebut ditemukan unsur perbuatan melawan hukum, maka bisa diajukan gugatan perdata atas pejabat tersebut. Namun, jika tidak ditemukan unsur maladministrasi, meskipun ada unsur perbuatan melawan hukum, maka pembayaran ganti rugi menjadi tanggungjawab institusional dalam hal ini BPN.

Terdapat beberapa jenis pertanggungjawaban hukum yang dapat dibebankan kepada BPN terhadap timbulnya sertifikat tumpang tindih, diantaranya dapat dilakukan dengan:

a.       Pertanggungjawaban Perdata

Akibat dari ketidak telitian dan ketidak cermatan dalam melakukan dan memeriksa data fisik serta data yuridis dalam pendaftaran hak atas tanah, berakibat pada timbulnya sengketa atas kepemilikan sertifikat hak atas tanah tumpang tindih. Adapun sanksi perdata yang dapat diterapkan oleh Kantor Pertanahan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata. Dalam Pasal 1365, dijelaskan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kemudian dalam Pasal 1366 menyatakan bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.

Pertanggungjawaban yang tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1366 KUHPerdata mewajibkan adanya unsur kesalahan artinya seseorang tersebut harus bersalah (liability based on fault). Asas pertanggungjawaban secara kesalahan (fault) didasarkan pada prinsip bahwa tidak ada pertanggungjawaban apabila tidak ada unsur kesalahan dalam ilmu hukum disebut Tortious Liability atau Liability Based on Fault.

Selanjutnya pihak yang berkewajiban untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut adalah pihak yang menuntut ganti rugi dengan kata lain beban pembuktian ada pada pihak penggugat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1865 KUHPerdata �setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.� Sehingga pemegang hak yang merasa dirugikan atas timbulnya sertifikat hak ganda, harus dapat membuktikan adanya kesalahan yang dituduhkan.

Terhadap perbuatan melawan hukum karena kelalaian timbul model pertanggungjawaban hukum yakni (Munir Fuady, 2002):

1)      Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1365 KUHPerdata;

2)      Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1366 KUHPerdata;

3)      Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

Dengan demikian diketahui bahwa, dalam hal timbulnya sertifikat hak atas tanah yang tumpang tindih, yang dilakukan secara tidak sengaja yakni murni kehilafan karena ketidaktelitian pejabat pengurusan pendaftaran hak atas tanah, dapat dibebankan pertanggungjawaban secara keperdataan. Pihak BPN yang melakukan maladministrasi disertai perbuatan melanggar hukum secara pribadi harus bertanggungjawab mengganti kerugian yang ditimbulkan dan dialami oleh pemegang hak karena sertifikat yang tumpang tindih tersebut, dalam hal ini yaitu ganti kerugian secara materil.

Seperti yang terdapat pada sengketa dalam Putusan Nomor 309 PK/Pdt/2021 menguatkan kembali Putusan Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM yang sebelumnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 136 K/Pdt/2020. Pada tingkat Banding, Majelis Hakim dalam amarnya menyatakan bahwa Para Tergugat telah Bersalah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) karena telah menempati, memanfaatkan dan/atau ingin menguasai secara tanpa hak (penyerobotan) obyek tanah milik Penggugat. Akan tetapi, Majelis Hakim tidak mengabulkan gugatan Penggugat mengenai kerugian yang dialaminya dengan pertimbangan bahwa mengenai kerugian tersebut tidak dibuktikan oleh Penggugat dalam pemeriksaan di persidangan. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1865 KUHPerdatayang menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Penggugat seharusnya membuktikan secara jelas bagaimana kerugian yang dialaminya dapat terjadi dan terakumulasi. Dengan demikian, apa yang menjadi pertimbangan dan diputuskan dalam amar putusan oleh Majelis Hakim tersebut beralasan dan dapat diterima.

b.      Pertanggungjawaban Pidana

Terkait adanya indikasi tindak pidana pemalsuan surat, dalam hal ini timbulnya sertifikat hak atas tanah ganda, dapat dikenakan pidana sebagaimana dalam Pasal 264 KUHP, bahwa :

1)             Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

a)      akta-akta otentik;

b)      surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

c)      surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:

d)     talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

e)      surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan;

2)             Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat.

Akan tetapi untuk dapat menyatakan bahwa seorang pejabat pada BPN telah melakukan tindak pidana pemalsuan di atas perlu dipertimbangan mengenai 2 (dua) unsur. Apaun kedua unsur yang dimaksud adalah adanya unsur perbuatan pidana (actrus reus) dan keadaan batin pembuatnya (mens rea). Serta kesalahan (schuld) merupakan unsur pembuat delik, sehingga termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang mengandung arti pembuat dapat dipersalahkan atas perbuatannya.

c.       Tanggungjawab Administrasi

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan, Pasal 54 menyatakan bahwa:

1)        BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya.

2)        Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:

a)   Terhadap obyek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan;

b)  Terhadap obyek putusan sedang diletakkan sita jaminan;

c)   Terhadap obyek putusan sedang menjadi obyek gugatan dalam perkara lain;

d)  Alasan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap terhadap sengketa terkait, maka BPN bertanggung jawab atas sertifikat yang dikeluarkannya. Dalam hal ini tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional atas terbitnya sertifikat ganda atas suatu objek tanah yang sama adalah mencabut atau membatalkan sertifikat hak atas tanah yang telah diterbitkannya. BPN sebagai institusi yang berwenang menerbitkan sertifikat hak atas tanah bertanggungjawab secara administratif, yaitu dengan membatalkan sertifikat hak atas tanah yang telah diterbitkannya tersebut.

Hal ini dapat kita lihat dalam amar Putusan Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM. Majelis Hakim menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik No 3241 dari penggabungan sertifikat masing-masing dengan No M. 3185 dan M. 3237 yang dibalik nama oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah Kotamadya Banjarbaru ttd Suad Lufti Broto dan untuk sertifikat Banjarbaru Plt Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Banjarbaru ditanda tangani oleh Drs, H.Noor Rachman yang sekarang dikuasai oleh Tergugat I dan Tergugat II tanpa prosedur yang resmi / jelas yang telah terlanjur diterbitkan oleh Tergugat III atas nama Tergugat I dan Tergugat II tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena didapat dengan cara yang tidak benar serta melawan hukum yang dilakukan secara Ileggal dan melawan hukum yang mengakibatkan sertifikat tersebut tidak berkekuatan hukum.

Adapun terhadap Pejabat yang menerbitkan sertifikat hak atas tanah tersebut, bentuk pertanggungjawabannya ditentukan berdasarkan kualifikasi perbuatannya. Dalam konteks ini pejabat yang dimaksud tentunya harus bertanggung jawab secara administrasi, akan tetapijika terdapat perbuatan yang berkualifikasi perbuatan melawan hukum, tentunya yang bersangkutan dapat dibebankan pertanggungjawaban perdata atau bahkan pidana. Karena idealnya, 1 (satu) objek tanah hanya memiliki 1 (satu) bukti kepemilikan hak.

Sanksi administratif berupa pemecatan dapat dikenakan terhadap petugas Kantor Pertanahan yang lalai dalam menjalankan tugasnya berdasar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dalam hal ini telah mengakibatkan timbulnya sertifikat hak atas tanah ganda. Sanksi administratif ini diharapkan dapat memberi efek jera Kepala Kantor Pertanahan dan pihak lainnya yang telah terbukti bersalah dalam menerbitkan sertipikat ganda.

Pemecatan atau pengenaan sanksi terhadap pejabat pada BPN yang melakukan maladministrasi ini tidak dirumuskan dalam amar majelis hakim mengenai sengketa dalam Putusan Nomor 309 PK/Pdt/2021 yang menguatkan kembali Putusan Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM yang sebelumnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 136 K/Pdt/2020. Karena hal tersebut merupakan kewenangan dan kebijakan yang dimiliki oleh instansi terkait, dalam hal ini BPN. Tentunya dengan mempertimbangan unsur kesalahan yang dimiliki oleh pihak yang bersangkutan, sehingga dapat dikenakan sanksi administratif secara adil dan sesuai ketentuan yang berlaku.

B.     Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memeriksa, mengadili, dan Memutus Perkara Tumpang Tindih Kepemilikan Tanah Bersertifikat pada Putusan Nomor : 309 PK/PDT/2021

Untuk dapat memberikan putusan yang adil, hakim perlu mempertimbangkan fakta-fakta yang diperoleh dalam proses persidangan. Fakta �fakta yang dimaksudkan yaitu sejak dimulainya proses persidangan tahap awal ketika diajukan gugatan, jawaban oleh para tergugat, hingga pada proses pemeriksaan saksi-saksi serta alat-alat bukti lain yang dihadirkan dalam persidangan. Kemudian terhadap fakta-fakta yang telah terungkap serta didukung oleh keyakinannya, hakim kemudian membuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang menjadi dasar dari putusan yang menetapkan bersalah ataupun tidak bersalahnya seorang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Hakim juga harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, sosiologis dan filosofis. Sehingga keadilan yang ingin dicapai dapat terwujud, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim yang berkeadilan dan berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice), dan keadilan moral (moral justice) (Miftah Rizka Hayati, 2016).

Pada Putusan Nomor 309 PK/Pdt/2021, alasan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Biantoro Sudargo (sebelumnya Tergugat I) adalah terdapat kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dalam putusan Judex Juris atas sengketa yang terjadi. Akan tetapi Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan nyata dalam putusan Judex Juris yang menolak kasasi Tergugat I dan Tergugat II dan putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin yang mengabulkan gugatan Penggugat. Keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan Majelis Hakim terhadap gugatan oleh Penggugat, Eksepsi yang diajukan oleh Para Tergugat, serta pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim Judex Factie berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan mengenai alat-alat bukti yang dihadirkan sebagaimana dalam Putusan Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM yang sebelumnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 136 K/Pdt/2020.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam perkara a quo, Para Tergugat/Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat diperlakukan sebagai pemilik tanah beriktikad baik karena pembeli tanah beriktikad baik mengandung makna bahwa subjek hukum membeli tanah yang telah bersertifikat dari pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat tanah yang menjadi objek jual beli, jual beli yang dilakukan di hadapan PPAT dan pada saat jual beli tanah objek jual beli tidak dalam status sengketa atau sita. Namun belakangan diketahui kemudian ternyata si penjual yang namanya tercantum dalam sertifikat objek jual beli terbukti bukan pihak atau bukan satu-satunya pihak yang sesungguhnya yang berhak. Sehingga pembeli berhak memperoleh perlindungan atas dasar pembeli beriktikad baik.

Bahwa dalam sengketa yang penyelesaiannya didasarkan atas perlindungan hukum terhadap pembeli beriktikad baik, hanya terkait satu sertifikat atas objek jual beli, sebaliknya, perkara a quo memiliki karakter yang berbeda sehingga terhadap perkara a quo tidak dapat diterapkan asas perlindungan hukum terhadap pembeli tanah beriktikad baik karena dalam perkara a quo terdapat dua sertifikat yang sama-sama otentik di atas objek atau tanah yang sama dengan dua pemilik yang berbeda. Bahwa sengketa tanah terkait sertifikat ganda atau lebih di atas tanah yang sama memang merupakan permasalahan hukum yang dilematis yang semestinya tidak akan terjadi jika Badan Pertanahan Nasional bekerja dengan baik, professional dan memiliki teknologi atau prosedur yang dapat mencegah terjadi sengketa di antara dua pihak atau lebih yang sama-sama memiliki sertifikat yang otentik.

Mengenai permasalahan hukum sertifikat ganda atau lebih pada tanah yang sama, telah terdapat yurisprudensi tetap yang harus dipatuhi atau diikuti baik oleh hakim Judex Facti, maupun Judex Juris secara konsisten dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam bingkai kesatuan hukum dan konsistensi penerapan hukum. Kaidah hukum yang sudah menjadi yurisprudensi tetap adalah bahwa �jika terdapat sertifikat ganda di atas tanah yang sama dan kedua sertifikat sama-sama otentik, maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat yang terbit lebih dahulu.�

Pertimbangan tersebut turut menguatkan pertimbangan Majelis Hakim Judex Factie pada tingkat Banding. Bahwa terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 3185 didasarkan pada Surat Keterangan Penguasaan bidang tanah (sporadik) tanggal 8 Agustus 2003, dimana saat dibuatnya Sporadik tersebut telah terlebih dahulu terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 545 (ex SHM 1194) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Banjar pada tanggal 26 Nopember 1983. Oleh karena Sporadik tersebut diatas diterbitkan diatas bidang tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 545 (ex SHM 1194), maka Sporadik tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum dengan akibat Sertifikat yang terbit berdasarkan Sporadik tersebut yaitu Sertifikat Hak Milik (SHM) No.3241 yang merupakan penggabungan 2 (dua) buah Sertifikat masing-masing Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 3185 dan Sertifikat Hak Milik (SHM) No.3237 sepanjang terhadap tanah Penggugat Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 545 (ex SHM 1194) tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 545 (ex SHM 1194) jauh lebih dahulu dari pada Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 3185 maka Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 545 (ex SHM 1194) mempunyai nilai pembuktian yang sempurna sebagai dasar kepemilikan Penggugat atas tanah sengketa.

Pertimbangan Majelis Hakim pada Peninjauan Kembali tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki nilai keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Selain itu, putusan tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi pemegang sertifikat hak atas tanah. Sehingga telah sesuai dengan tujuan dari pendaftaran hak atas tanah, yaitu adalah untuk menjamin kepastian hukum bagi pemilik hak yang bersangkutan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 31 dan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, bahwa sertifikat tanah di maksudkan agar pemegang hak dengan mudah membuktikan haknya.

 

Kesimpulan

Badan Pertanahan Nasional bertanggung-jawab secara langsung terhadap seluruh masalah pertanahan terkait dengan pemberian hak serta pemberian sertifikat tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini terjadinya sengketa kepemilikan sertifikat hak milik tupang tindih. Sebagaimana dalam Pasal 346 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006. Penanganan sengketa dapat dilakukan dengan: 1) penyelesaian secara langsung melalui musyawarah oleh para pihak yang bersengketa; 2) penyelesaian melaui arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa; dan 3) penyelesaian sengketa melalui badan peradilan. Kemudian dalam hal dilakukan penyelesaian melalui badan peradilan dan telah diputus berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, maka berdasarkan Pasal 54 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011, BPN RI wajib melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali terdapat alasan yang sah untuk tidak melaksanakannya. Pelaksanaan putusan tersebut yakni pemenuhan pertanggungjawaban baik keperdataan yakni ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan, pertanggungjawaban pidana berupa pemidanaan terhadap pihak yang apabila terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan surat, hingga tanggungjawab administratif berupa pembatalan sertifikat hak atas tanah yang tumpang tindih.

Dasar pertimbangan Majelis Hakim pada Putusan Peninjauan Kembali Nomor 309 PK/Pdt/2021 adalah gugatan oleh Penggugat, Eksepsi yang diajukan oleh Para Tergugat, serta pertimbangan-pertimbangan hukum Majelis Hakim Judex Factie berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan mengenai alat-alat bukti yang dihadirkan sebagaimana dalam Putusan Nomor 115/PDT/2018/PT.BJM yang sebelumnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 136 K/Pdt/2020. Mengenai permasalahan hukum sertifikat ganda, Majelis Hakim mengacu pada yurisprudensi tetap yang harus dipatuhi atau diikuti baik oleh hakim Judex Facti, maupun Judex Juris secara konsisten dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam bingkai kesatuan hukum dan konsistensi penerapan hukum, bahwa �jika terdapat sertifikat ganda di atas tanah yang sama dan kedua sertifikat sama-sama otentik, maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat yang terbit lebih dahulu.�

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aholiab Watoly, Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural, Cetakan Kelima (Yogyakarta: Kanisius, 2005).

 

Ali Achmat, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008).

 

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ed. 1, Cet.VIII, PT. Raja Grafindo Persada, 2014).

 

Asikin Zainal dkk, Pengantar Hukum Perusahaan, (Prenadamedia Group, Jakarta, 2016)

 

Fuady Munir, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan 1, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002)

 

HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000).

 

Hadjon Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 2012).

 

Harsono Boedi, Hukum Agraria Indoneia, (Jakarta, Universitas Trisakti, 2013)

 

Hatrik Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Raja Grafindo, Jakarta, 1996)

 

Kelsen Hans, Teori Hukum Murni, (Nusa Media, Bandung,2006)

 

Kelsen Hans, Teori Umum Hukum dan Negara, BEE, (Jakarta, Media Indonesia, 2007).

 

Limbong Berenhard, Politik Tanah, (Jakarta: Pustaka Margaretha, 2014).

 

Marzuki Peter Muhamad, Penelitian Hukum, Cet.ke-7, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005).

 

Meliala Djaja S., Hukum Perdata dalam Perspektif BW, (Nuansa Aulia, Bandung, Revisi Keempat, 2014)

 

Mertokususmo Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988)

 

Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, (Mataram: Mataram University Press, 2020).

 

Muhammad Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, (Citra Aditya Bakti, 2010)

 

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Hukum Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2017).

 

Mukti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Cetakan ke-5. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019).

 

Murad R, Penyelesaian sengketa hukum hak atas tanah, (Bandung: Alumni 1991).

 

Murad Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Cetakan Pertama, Alumni, 1991)

 

Mustofa Wildan Suyuthi, Kekuasaan Kehakiman, (Bandung: Cetakan Pertama, Alumni, 2003).

 

Notoatmojo Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010)

 

Priyatno Dwidja, Sistem Pertanggunjawaban Korporasi dalam Kebijakan Legislasi (Kencana, Depok, Cetakan Pertama, 2017)

 

Shidarta, Hukum Perlindungan Koonsumen Indonesia, (Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, Edisi Revisi, 2006)

 

Sjawie Hasbullah F., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Edisi Pertama ( Kencana, Jakarta, 2015)

 

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2007).

 

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2014)

 

Sommermeijer W., Tanggung Jawab Hukum, (Bandung : Pusat Studi Hukum Universitas Parahyangan, 2003)

 

Suherman E., Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan, Cet. II, Alumni, Bandung, 1979).

 

Sutedi Adrian, Sertifikat Hak Atas Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012).

 

Syamsu Muhammad Ainul, Pergeseran Turut Serta Melakukan dalam Ajaran Penyertaan Telaah Kritis Berdasarkan Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana (cetakan ke-2), Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2016).

 

Usman Rachmadi, Pilihan Penyelsaian Sengeketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakri 2013).

 

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan.

 

Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

 

Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

 

Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

 

Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo UndangUndang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660.

 

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23)

 

Rizka Hayati Miftah, Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan Hakim No.25/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Plg), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang, 2016

 

Hanafi. (1999). Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 6(11). https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/6939

 

Hirwansyah, Pertanggungjawaban Hukum Badan Pertanahan Nasional Terhadap Adanya Penerbitan Sertifikat Ganda, Jurnal Hukum Sasana, Vol. 7, No.1, 2021.

 

Irma Ade, Perlindungan Hukum bagi Pemegang sah hak atas tanah yang mengalami tumpang tindih (overlapping) Studi kasus di wilayah Gili Trawangan Kabupaten Lombok Utara, (Malang: Jurnal Fakultas Hukum Unuversitas Brawijaya, 2013).

 

Iskandar Syah Mudakir, Serifikat Tanah Ganda Akibat Lemahnya Data Base Pertanahan, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, FH Universitas Suryadarma, Vol. 4, No.2, 2014.

 

Kartika Anjani Ajeng, �Pertanggungjawaban Pengelolaan Dana Desa�, Jurnal Jurist-Diction, Universitas Airlangga, Vol. 2, Nomor 3 Mei 2019

 

Mulyadi, Satino, Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Bersertifikat Ganda, Jurnal Yuridis, Vol. 6, No. 1, 2019.

 

Ulya Zaki, Eksistensi Badan Pertanahan Aceh sebagai Perangkat Daerah di Aceh dalam Aspek Kepastian Hukum Bidang Pertanahan Jurnal Konstitusi Vol. 3, Universitas Samudra, 2015.

 

Maria S.W.Sumardjono,�������� Kebijakan������� Pertanahan����� antaraRegulasi��������� dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2005).

 

Copyright holder:

Joshua Evan, Hanafi Tanawijaya (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: