Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 9, September
2023
INTERNALISASI NILAI MODERAT DALAM BERAGAMA MAHASISWA
Zaenul Abidin, Muh. Hambali,
Miftahul Huda
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Institut Agama Islam Hamzanwadi
Pancor merupakan perguruan tinggi Islam yang menjunjung tinggi nilai moderat dalam
beragama, tetapi bukan sebuah keniscayaan
bahwa paham-paham yang tidak sejalan dengan
moderasi beragama bisa masuk ke
kampus kapan saja. Maka diperlukan usaha yang lebih serius untuk membina
para mahasiswa. Tujuan dari
penelitian ini, 1) Mengetahui konsep moderasi beragama, 2) Mengetahui proses internalisasi nilai moderat dalam
beragama mahasiswa, 3) Mengetahui dampak internalisasi nilai moderat dalam beragama
mahasiswa. Jenis penelitian
ini merupakan penelitian empiris (field search)
yang menggunakan pendekatan
kualitatif. Data primer didapatkan
melalui proses wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Adapun data sekunder didapat
melalui studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku, serta literatur pendukung lainnya seperti artikel dan jurnal yang berhubungan dengan penelitian ini. Hasil penelitian ini, 1) Konsep moderasi beragama yang diimplementasikan
di IAIH Pancor, yaitu Islam
yang rahmatan lil �alamin yang berpegang kepada prinsip-prinsip yang dipegang oleh Ahlussunna Wal
Jamaah dengan tendensinya kepada nilai-nilai Islam Wasathiyyah. Dalam arti sikap
yang mengutamakan jalan tengah, tidak tekstual,
dan juga tidak liberal dalam
beragama. Dan sikap moderat yang dibangun IAIH Pancor juga sangat menekankan keselarasan antara agama dan negara.
2) Proses internalisasi nilai
moderat dilakukan melalui beberapa kegiatan, pertama. Pendidikan
Ke-NWDI-an, kedua. Kajian kitab. 3) Dampak internalisasi nilai moderat, Pertama. membentuk mahasiswa yang inklusif dalam beragama, Kedua. membentuk mahasiswa yang cinta pada agama, bangsa, dan negara.
Kata kunci: Internalisasi; Nilai Moderat; Beragama Mahasiswa.
Abstract
The Hamzanwadi Pancor Islamic Institute is an Islamic university that
upholds moderate values in religion, but it is not a necessity that ideas that
are not in line with religious moderation can enter campus at any time. So a more serious effort is needed to foster students. The
purpose of this study, 1) Knowing the concept of religious moderation, 2)
Knowing the process of internalizing moderate values in student religion, 3)
Knowing the impact of internalizing moderate values in religious students. This
type of research is an empirical research (field search)
that uses a qualitative approach. Primary data obtained through the process of
interviews, observation, and documentation. The secondary data obtained through
literature study, namely by studying books, as well as other supporting
literature such as articles and journals related to this research. The results
of this study, 1) The concept of religious moderation implemented at IAIH Pancor, namely Islam that is rahmatan
lil 'alamin which adheres
to the principles held by Ahlussunna Wal Jamaah with
a tendency to Wasathiyyah Islamic values. In the
sense of an attitude that prioritizes the middle way, it is not textual, and
also not liberal in religion. And the moderate attitude built by IAIH Pancor also emphasizes the harmony between religion and the
state. 2) The process of internalizing moderate values is carried out through
several activities, first. NWDI's education, second. Book study. 3) The impact
of internalization of moderate values, First. shapestudents who are inclusive in religion, Second. mform students who love religion, nation, and state.
Keywords: Internalization; Moderate Value; Student Religion.
Pendahuluan
Isu radikalisme,
ataupun liberalisme di lingkungan kampus merupakan suatu hal yang sudah tidak asing didengar.
Maka dari itu, Perguruan Tinggi sangat berperan penting dalam mengikis
kesenjangan tersebut. Mengingat Perguruan Tinggi merupakan �wadah� bagi para akademisi, kaum intelektual, dan calon pemimpin di masa yang akan datang, selain
itu kampus merupakan tempat untuk membina generasi
penerus bangsa.
Untuk itu, Perguruan Tinggi harus berusaha memperbaiki masalah-masalah tersebut, yakni terkait masalah
moderasi beragama, maka implementasi pendidikan harus dilakukan secara efektif, efisien, menyeluruh, dan konsisten (Sari,
2021). Maka dalam
hal ini dibutuhkan
peran dari para civitas akademika yang tentu diantaranya adalah para dosen dan para mahasiswa. Ada beberapa artikel terkait hal ini
diantaranya Samsul (2020), hasil
penelitian ini menekankan peran guru agama memberikan pemahaman sekaligus menjadi contoh tentang tawasuth bagi siswa
sangat perlu dibudidayakan
dan digaungkan.
Dan materi-materi Pendidikan Agama Islam perlu
menekankan pemahaman kasih sayang, saling
menghormati, dan tolong menolong dalam kebaikan yang kemudian semua itu diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Heri
Gunawan, Mahlil Nurul Ihsan, dan Encep Supriatin Jaya (2021), hasil
penelitiannya menunjukkan internalisasi moderasi beragama dapat dikembangkan melalui pembelajaran PAI, kemudian diimplementasikan melalui pembinaan keagamaan, sehingga dapat membentuk sikap moderasi beragama peserta didik.
Dari artikel atau penelitian
ini dapat dipahami bahwa pentingnya internalisasi nilai moderasi beragama untuk membentuk sikap moderasi beragama seseorang salah satunya dengan pemilihan strategi yang sesuai/tepat, tetapi
artikel ini kurang mengkaji atau membahas tentang
konsep-konsep moderasi beragama dan dampak dari internalisasi tersebut, karena hal ini sangat penting untuk mengetahui
sejauhmana kesuksesan atau keefektifan internalisasi nilai moderasi bergama tersebut.
Menginternalisasikan atau menanamkan nilai moderat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk membangun
perdamaian dan keharmonisan
bangsa dan negara Muflich (2022), sehingga
tugas manusia di muka bumi ini
yaitu sebagai pengatur dan pemelihara bumi bisa diaktualisasikan
dengan baik. Hal ini juga senada dengan tujuan akhir
sebuah pendidikan yaitu terbentuknya manusia atau peserta
didik yang memiliki akhlak mulia yang merupakan misi utama diutusnya Nabi Muhammad
Saw. Di mana juga ciri dari
kesempurnaan iman dan islam seseorang bisa dilihat dari
tingkah lakunya yang baik.
Institut Agama Islam Hamzanwadi
(IAIH) Pancor, Lombok Timur merupakan
Perguruan Tinggi Agama Swasta
yang didirikan oleh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid.� Kehadiran IAIH Pancor disiapkan sebagai Lembaga Pendidikan yang memadukan
ilmu agama dengan berbagai disiplin ilmu yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat moderen yang terus berkembang.
Kehadiran IAIH Pancor
juga memiliki kelebihan tersendiri untuk lebih memantapkan ilmu-ilmu agamanya, di mana dilengkapi juga hadirnya lembaga non-formal yaitu Ma�had Darul Qur�an Wal Hadits
(MDQH), yang jenjang masa pendidikan
juga selama 4 tahun. Dan inilah yang menjadi ciri khas yang membedakannya dengan Perguruan Tinggi Agama lain yang ada
di Lombok.
Pemahaman yang tidak
sejalan dengan nilai-nilai moderasi beragama bisa masuk
ke dalam kampus kapan saja,
khususnya kepada para mahasiswa. Sebagaimana yang disampaikan Laelatul Husna, yaitu salah seorang mahasiswi IAIH NWDI Pancor
semester 4 prodi PAI dalam wawancara via telpon WA, �Ooo iya kakak,
teman kampus saya pernah ikut
sebuah komunitas, seperti komunitas hijrah-hijrah gitu. Komunitas itu kumpulnya
di Musolla al-Abror.
Awalnya dia tidak tahu maksud
dan tujuan dari komunitas itu, tapi setelah dia
ikuti beberapa pertemuan ternyata komunitas itu isinya
tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Aswajaan sebagaimana di kampus, ternyata komunitas itu seperti
komunitas yang menentang pemerintah gitu. Kemudian kejadian itu langsung dilaporkan
ke Ustadz Suhaimi, dan langsung dibubarkan.�
Bercermin dari hal tersebut, maka
sangat penting untuk senantiasa menanamkan nilai-nilai moderasi beragama yang kokoh, konsisten, serta kontinu untuk para mahasiswa, supaya tidak mudah goyah
dan terpengaruh dengan paham-paham yang tidak mendukung pada arah moderasi beragama. Kemudian, penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi yang konstruktif bagi lembaga pendidikan,
agama, bangsa, dan negara dalam
menghadapi tantangan radikalisme, terorisme, dan liberalisme, yaitu dalam rangka menyiapkan
dan membentuk generasi bangsa yang religius dan nasionalis.
Metode Penelitian
Jenis penelitian
ini merupakan penelitian empiris (field search)
yang menggunakan pendekatan
kualitatif (Creswell & Creswell, 2017). Maka penelitian
ini dilakukan dengan turun langsung
ke lapangan guna mengumpulkan berbagai data yang terkait. Objek dari penelitian
ini adalah Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, Lombok Timur. Data primer didapatkan
melalui proses wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Adapun data sekunder didapat
melalui studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari buku-buku, serta literatur pendukung lainnya seperti artikel dan jurnal yang berhubungan dengan penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
A. Internalisasi Nilai
Internalisasi berasal
dari kata intern atau
internal yang berarti bagian
dalam atau menempatkan dalam kepemilikan, dalam kaidah Bahasa Indonesia akhiran �si� berarti menunjukkan
proses (Rokim
& Manan, 2022). Dalam kamus
besar Bahasa Indonesia Internalisasi
diartikan sebagai penghayatan, penugasan, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui pembinaan, bimbingan, penyuluhan, penataran, dan sebagainya. Sedangkan nilai adalah sesuatu yang abstrak, ideal, dan menyangkut persoalan keyakinan terhadap yang dikehendaki, serta memberikan corak pada pola pikiran, perasaan, dan perilaku.
Nilai juga dapat
dirumuskan sebagai sifat yang terdapat pada sesuatu yang menempatkannya pada posisi yang berharga dan terhormat yakni bahwa sifat ini
menjadikan sesuatu itu dicari dan dicintai, contohnya ilmu bagi ulama mempunyai nilai yang tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa Internalisasi merupakan suatu proses penanaman sikap ke dalam
diri pribadi seseorang melalui pembinaan, bimbingan dan sebagainya agar pribadi seseorang itu menguasai
dan menghayati secara mendalam suatu nilai, sehingga dapat tercermin dalam sikap dan tingkah laku sesuai
dengan standar yang diharapkan.
Dalam proses internalisasi
nilai-nilai menurut
Muhaimin ada beberapa tahapan dalam penginternalisasi
nilai-nilai tersebut (Muhaimin, 2020). a) Tahap
transformasi nilai: Pada tahap ini guru hanya sekedar menginformasikan
nilai-nilai yang baik dan kurang baik kepada
siswa yang semata-mata komunikasi verbal. b) Tahap Transaksi nilai: Pada tahap ini pendidikan
nilai dilakukan dengan jalan komunikasi
dua arah atau interaksi antar siswa dengan guru yang bersifat interaksi timbal balik.
Dalam tahap
ini guru tidak hanya memberikan informasi antara nilai yang baik dan buruk tetapi lebih
pada bentuk contoh amalan dan siswa diminta untuk memberikan
respon yang sama, yakni menerima dan mengamalkan nilai. c) Tahap transinternalisasi nilai: Tahap ini
jauh lebih dalam dari pada sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan
guru di hadapan siswa bukan lagi sosok
fisiknya, melainkan sikap mentalnya (kepribadiannya) demikian pula siswa merespon kepada guru bukan hanya gerakan/penampilan
fisiknya, melainkan sikap mental dan kepribadiannya.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam transinternalisasi
ini adalah komunikasi dan kepribadian yang
masing-masing terlibat aktif.
Adapun strategi atau proses untuk membudayakan nilai-nilai� karakter di sekolah bisa dilakukan
melalui (Muhaimin, 2009). a) Power Strategi merupakan strategi pembudayaan nilai-nilai karakter dengan cara menggunakan
kekuatan atau kekuasaan melalui people�s power
yang ada di lembaga tersebut. b) Persuasive strategi, strategi ini dilakukan melalui
pembentukan pandangan dan opini warga sekolah.
c) Normative re-educative, norma adalah aturan yang berlaku di sekolah/kampus.
Norma termasyarakatkan
melalui educative. Normative digandengkan
dengan re-educative (pendidikan
ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat sekolah yang lama dengan yang baru.
Adapun langkah-langkah
mengajarkan nilai-nilai menurut Thomas Lickona adalah memberikan penjelasan tiga komponen penting dalam membangun pendidikan karakter, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan
tentang moral), dan moral action (perbuatan
moral) (Lickona, 2013). Ketiga
komponen tersebut dapat dijadikan rujukan implementatif dalam proses dan tahapan pendidikan karakter.
Apabila dikombinasikan
ketiga komponen tersebut dapat dinyatakan bahwa memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal
tersebut, selanjutnya berprilaku sesuai sesuai dengan apa
yang diketahuinya dan apa
yang disikapinya. Karena itu
pendidikan karakter meliputi ketiga aspek tersebut, seorang peserta didik mesti mengetahui
apa yang baik dan apa yang buruk.
Kemudian bagaimana
seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana seseorang sampai kepada tingkat
mencintai kebaikan dan membenci keburukan, serta pada tingkat berikutnya bertindak, berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga menjadi akhlak dan karakter mulia.
B. Moderasi Beragama
1. Konsep Moderasi Beragama
Secara konseptual,
moderasi beragama dibangun dari kata moderasi. Kata moderasi sendiri diadopsi dari bahasa Inggris
moderation Hornby (2000), yang artinya
sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan,
dan tidak memihak. Adapun
kata �Moderasi� dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti pengurangan atau penghindaran keekstreman (Kamus, 2007). Maka moderasi
dapat diartikan sebagai sebuah sikap menjauhi atau menghindari perbuatan ekstrem, serta berusaha memilih jalan tengah
dalam bersikap menghadapi suatu perbedaan.
Menurut Muchlis
M. Hanafi moderasi juga bisa
didefinisikan sebagai sebuah metode berpikir,
berinteraksi dan berperilaku
yang didasari atas sikap tawāzun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dianalisis dan dibandingkan, sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat (Hanafi, 2009). Dengan
pengertian ini, sikap wasathiyyah akan melindungi seseorang dari kecenderungan terjerumus pada sikap berlebihan.
Adapun menurut
perspektif Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A beliau menjelaskan banyak tentang wasathiyyah di dalam bukunya yang berjudul �Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama�. Adapun yang dimaksudkan
oleh beliau mengenai Wasathiyyah adalah moderasi atau Wassathiyyah
bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak
tegas terhadap sesuatu bagaikan sikap netral yang pasif, bukan juga pertengahan matematis yang dipahami sementara orang dari hasil pemikiran
filsuf Yunani.
Bukan juga, sebagaimana
dikesankan oleh namanya wasath yakni �pertengahan�,
pilihan yang mengantar pada
dugaan bahwa Wasathiyyah tidak menganjurkan manusia berusaha mencapai puncak sesuatu yang baik dan positif, seperti ibadah, ilmu, kekayaan, dan sebagainya. Moderasi juga bukan kelemah-lembutan. Memang salah satu
indikatornya adalah lemah-lembut dan sopan santu, namun bukan
berarti tidak lagi diperkenankan menghadapi segala persoalan dengan tegas.
Dari sini
ayat-ayat yang menganjurkan
bersikap tegas kepada orang-orang munafik dan
kafir, tidak serta merta sikap tegas
itu dipahami sebagai sikap kasar
yang harus diterapkan kepada semua munafik
dan kafir kapanpun, dimanapun,
dan bagaimanapun keadaan mereka (Shihab, 2019).
Lebih lanjut
beliau menjelaskan bahwa Wasathiyyah bukan satu madzhab
dalam Islam, bukan juga aliran baru, melainkan
salah satu ciri utama ajaran Islam dan karena itu tidak
wajar ia dinisbahkan kepada satu kelompok umat
Islam dengan mengabaikan kelompok yang lain, sebagaimana tidak wajar pula satu kelompok mengklaimnya
sebagai miliknya sendiri karena Wasathiyyah identik dengan Islam. Beliau juga mengacu kepada QS. Al- Baqarah ayat 143 dan QS. Ali Imran ayat
110. Bahwa penjelasan pada kedua surat pada ayat tersebut menjelaskan
secara rinci mengenai tentang makna Wasathiyyah.
2. Prinsip Moderasi Beragama
Menurut Kementrian
Agama Indonesia prinsip moderasi
beragama yang dikaitkan dengan Islam wasathiyah, sebagai berikut:
a. Tawassuth (jalan tengah)
Tawassuth adalah
pemahaman dan pengamalan
agama yang tidak ifrath, yakni berlebih-lebihan dalam beragama dan tafrith, yaitu mengurangi ajaran agama. Tawassuth adalah sikap tengah-tengah atau sedang di antara dua sikap, yaitu tidak terlalu
jauh ke kanan
(fundamentalis) dan terlalu
jauh ke kiri
(liberalis).
b. Tawāzun (berkeseimbangan)
Tawāzun memiliki
pengertian memberi sesuatu akan haknya
tanpa ada penambahan dan pengurangan. Tawāzun, karena merupakan kemampuan sikap seorang individu
untuk menyeimbangkan kehidupannya, maka ia sangat penting dalam kehidupan seseorang individu sebagai muslim, sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat.
c. I'tidal (lurus dan tegas)
Secara bahasa,
i�tidal memiliki arti lurus dan tegas, maksudnya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional. Adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di antara hak dan kewajiban. Hak asasi tidak boleh
dikurangi karena disebabkan adanya kewajiban. Tanpa mengusung keadilan, nilai-nilai agama terasa kering dan tiada bermakna, karena keadilan menyentuh hajat hidup orang banyak (Maarif, 2017).
d. Tasāmuh (toleransi)
Dalam kamus
lisan al-Arab kata tasāmuh
diambil dari bentuk asal kata samah, samahah yang dekat dengan makna
kemurahan hati, pengampunan, kemudahan, dan perdamaian (Siradj, 2013). Maka dapat
dikatakan tasāmuh erat kaitannya dengan masalah kebebasan atau kemerdekaan hak asasi manusia dan tata kehidupan bermasyarakat, sehingga mengizinkan berlapang dada terhadap adanya perbedaan pendapat dan keyakinan dari setiap individu.
e. Musāwah (Egaliter)
Secara bahasa,
musāwah berarti persamaan. Secara istilah, musāwah adalah persamaan dan penghargaan terhadap sesama manusia sebagai makhluk Allah. Semua manusia memiliki
harkat dan martabat yang sama tanpa memandang
jenis kelamin, ras ataupun suku
bangsa.
f. Syurā (musyawarah)
Kata Syurā berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Syurā atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai sesuatu perkara. Musyawarah pada hakikatnya juga dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis.
3. Indikator Moderasi Beragama
Menurut Kementrian
Agama Indonesia indikator-indikator moderasi beragama sebagai berikut:
a. Komitmen Kebangsaan
Dalam hal ini indikator
moderasi beragama bisa dilihat dari
komitmen pemahaman keagamaan sesorang yang sekaligus dibungkus dalam bingkai kebangsaan.
Segala bentuk paham keagamaan yang memiliki ideologi untuk menjauhkan individu maupun kelompok masyarakat dari komitmen kebangsaan dengan cita-cita mendirikan negara di luar sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dianggap tidak sesuai dengan
indikator moderasi beragama.
b. Toleransi
Indikator dari moderasi beragama terkait toleransi adalah kemampuan di dalam menunjukkan sikap dan ekspresi keagamaan dengan sesungguhnya untuk menghormati perbedaan yang terjadi di masyarakat. Dalam konteks yang lebih luas, toleransi tidak hanya berhubungan
dengan keyakinan beragama, namun juga mengarah pada perbedaan, ras, jenis kelamin,
perbedaan orientasi seksual, budaya, dan lain sebagainya, namun dalam konteks penelitian
ini lebih ditekankan pada toleransi dalam memahami dan menghormati perbebadaan pemahaman keagamaan.
c. Anti Radikalisme dan Kekerasan
Indikator moderasi
beragama dalam hubungannya dengan paham radikalisme terletak pada sikap dan ekspresi keagamaannya yang seimbang dan adil, yaitu sikap dan ekspresi keagamaan yang mengutamakan keadilan, menghormati, dan memahami realitas perbedaan di tengah-tengah masyarakat.
d. Akomodatif terhadap Budaya Lokal
Indikator ini terkait praktik dan perilaku keagamaan yang akomodatif terhadap tradisi dan budaya lokal dapat dilihat
sejauh mana pemahaman tersebut bersedia untuk menerima praktik keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi. Orang-orang moderat memiliki kecenderungan lebih ramah dalam penerimaan
tradisi dan budaya lokal dalam perilaku
keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Pemahaman keagamaan yang tidak kaku ditandai dengan
kesediaan untuk menerima praktik dan perilaku yang tidak semata-mata menekankan pada kebenaran paradigma keagamaan normatif, namun juga paradigma kontekstualis yang positif.
C. Internaslisasi Nilai Moderat dalam Beragama Mahasiswa di Institut Agama Islam
Hamzanwadi Pancor
1. Konsep Moderasi Beragama di Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor
Konsep moderasi
beragama yang diimplementasikan
di IAIH Pancor, yaitu Islam
yang rahmatan lil �alamin yang dalam penerapan maupun pelaksanaannya selalu mengacu dengan berpegang kepada prinsip-prinsip yang dipegang
oleh Ahlussunna Wal Jamaah, yaitu
yaitu tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), i�tidal (lurus/tegak), dan tasamuh (toleransi), dengan tendensinya kepada nilai-nilai Islam Wasathiyyah. Dalam arti sebuah sikap yang mengutamakan jalan tengah, tidak
tekstual, dan juga tidak berlebihan/liberal dalam beragama. Dengan tujuan untuk menjaga
keharmonisan dan kedamaian
di tengah perbedaan baik sesama muslim
maupun non-muslim.
Kemudian sikap moderat yang dibangun IAIH Pancor juga sangat menekankan keselarasan antara agama dan
negara. Agama dan negara harus diposisikan
sama dalam satu tarikan nafas.
Dalam hal ini IAIH ada tujuan strategis
yang ingin dibangun, yaitu membangun relasi antara agama dan negara secara simbiosis mutualisme. Negara sebagai sebuah institusi memerlukan agama sebagai basis
moral untuk menegakkan berdirinya suatu negara.
Sementara, agama tidak
akan berfungsi maksimal tanpa dukungan maksimal dari negara. Maka dalam hal ini juga diperlukan
sikap keterbukaan antara agama dan negara. Artinya dengan hal tersebut
antara agama dan negara akan
berjalan beriringan, saling mendukung, dan lain sebagainya. Jika dikaitkan konsep moderasi beragama IAIH Pancor dengan teori Muchlis
M. Hanafi memiliki keterkaitan
yang dapat saling mendukung. Teori Muchlis M.
Hanafi menekan pada sikap keseimbangan dalam berfikir, beintraksi dan berperilaku dalam menyikapi perbedaan antara prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat.
Hal ini juga sejalan dengan konsep IAIH Pancor yang mengedepankan jalan tengah dengan
tidak tekstual dan juga tidak berlebihan/liberal dalam beragama, dalam arti memahami teks-teks agama baik itu al-Qur�an dan Hadits itu tidak tekstual,
tetapi bagaimana memahami dan menyikapi al-Qur�an
dan hadits, dsb yang dikaitkan dengan konteks atau situasi
zaman dan tempat saat ini. Dan kedua konsep ini bertujuan
untuk menjaga keharmonisan dan kedamaian di tengah perbedaan. Akan tetapi dalam arti yang lebih luas juga IAIH Pancor memiliki konsep yang menekankan keselarasan antara agama dan
negara.
Agama dan negara harus diposisikan sama dalam satu
tarikan nafas. Dalam hal ini IAIH ada
tujuan strategis yang ingin dibangun, yaitu membangun relasi antara agama dan negara secara simbiosis mutualisme. Negara sebagai sebuah institusi memerlukan agama sebagai basis
moral untuk menegakkan berdirinya suatu negara. Adapun terkait Muchlis M. Hanafi yang menekankan keselarasan antara prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat bisa dikatakn sejalan dengan IAIH Pancor yaitu hubungan antara negara dan agama.
Akan tetapi jika dipahami
bahwa konsep dari Muchlis M. Hanafi ini memiliki hubungan
atau makna yang lebih sempit yang berkisar hubungan antara agama dan tardisi masyarakat, sedangan IAIH bukan hanya tradisi,
tetapi negara dalam arti
yang lebih luas. Karena dalam negara bukan hanya terdapat tradisi atau budaya,
tetapi lebih dari itu ada
suku, organisasi, tradisi, dsb. Maka bisa dikatakan konsep moderasi beragama yang ditawarkan IAIH Pancor memiliki makna yang lebih luas.
Jika dikaitkan teori Prof. Dr. Quraish
Shihab, M.A. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya IAIH Pancor dalam konsep moderasi
beragama mengutamakan jalan tengah, tidak
tekstual dan juga tidak berlebihan/liberal dalam beragama. Dalam arti memahami teks-teks agama baik itu al-Qur�an dan Hadsits itu tidak tekstual,
tetapi bagaimana memahami dan menyikapi antara al-Qur�an dan hadits, dsb yang dikaitkan dengan konteks atau situasi zaman dan tempat saat ini.
Karena individu atau kelompok
yang tekstual dalam memahami dalil-dalil agama cenderung mengikuti paham radikalisme atau yang diistilahkan Islam kanan, dan sebaliknya orang atau kelompok yang terlalu bebas cendereng
liberalisme, yang diistilahkan
Islam kiri. Konsep ini bukan berarti
melahirkan ketidakpastian, tapi melahirkan konsep beragama yang bisa melahirkan sebuah keharmonisan ditengah perbedaan kelompok ini, sehingga
terciptalah kedamaian dan keharmonisan di tengah masyarakat.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A bahwa moderasi atau Wassathiyyah bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak
tegas terhadap sesuatu bagaikan sikap netral yang pasif. Bukan juga, sebagaimana dikesankan oleh namanya wasath yakni �pertengahan�, pilihan yang mengantar pada dugaan bahwa Wasathiyyah
tidak menganjurkan manusia berusaha mencapai puncak sesuatu yang baik dan positif, seperti ibadah, ilmu, kekayaan, dan sebagainya.
Hal ini sejalan dengan
tujuan yang ingin dicapai yaitu sesuatu
yang positif yang bisa melahirkan kedamaian. Dan juga sebagaimana konsep di IAIH memahami teks atau
dalil agama dengan tidak tekstual dan bebas ini untuk
melahirkan sebuah konsep yang tegas, baik itu antara
dalil-dalil dengan pemahaman kepada non-muslin, tradisi, orang kafir dan munafik.
2. Internalisasi/Penanaman Nilai Moderat dalam Beragama
Mahasiswa di Institut Agama
Islam Hamzanwadi Pancor
Internalisasi nilai moderat dalam membentuk
moderasi beragama mahasiswa di Institut Agama Islam
Hamzanwadi Pancor dilakukan melalui beberapa kegiatan, pertama. Pendidikan Ke-NWDI-an, kedua.
Kajian kitab. Pendidikan Ke-NWDI-an memiliki makna hal-hal yang berkaitan dengan Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah sebagai sebuah organisasi yang lahir di Pancor, Lombok Timur. Secara konsepsional pendidikan atau pembelajaran Ke-NWDI-an dikembangkan dari fakta-fakta yang dapat diamati dari
kesejarahan dan eksistensi Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah, mulai dari kelahiran pendirinya, sikap, dan perilaku, serta ketauladanan pendirinya.
Menjadi bagian
dari organisasi Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah, IAIH dalam penerapan
maupun pelaksanaannya, terutama dalam masalah bagaimana membentuk mahasiswa yang moderat dalam beragama
selalu mengacu dengan berpegang kepada konsep ataupun
prinsip-prinsip yang dipegang
oleh Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah sebagaimana yang diajarkan
pendirinya, yaitu TGKH. M.
Zainuddin Abdul Majid.
Pendidikan Ke-NWDI-an didapatkan dalam
beberapa kegiatan. Pertama, Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK). Kedua, ada mata
kuliah khusus di kelas. Ketiga, dalam bentuk seminar ataupun diskusi, yang dalam hal ini
diselenggarakan oleh pihak kampus ataupun mahasiswa sendiri. Kemudian untuk metodenya dalam menanamkan nilai moderat bagi mahasiswa
dalam pendidikan atau pembelajaran Ke-NWDI-an dilakukan dengan
beberapa metode diantaranya ceramah, tanya jawab, dan diskusi.
Jika dikaitkan dengan teori Muhaimin tentang tahapan internalisasi nilai maka sejalan
dengan tahapan transformasi nilai, transaksi nilai, dan transinternalisasi nilai. Seperti disampaikan sebelumnya bahwa metode pembelajaran ketiga kegiatan pendidikan Ke-NWDI-an ini menggunakan tiga metode, yaitu ceramah,
tanya jawab, dan diskusi. Metode ceramah memiliki kesamaan tujuan dengan tahapan
transformasi nilai, yaitu guru/dosen hanya sekedar menginformasikan
nilai-nilai yang baik dan kurang baik atau
dalam hal ini tentang Ke-NWDI-an kepada mahasiswa
yang semata-mata komunikasi
verbal.
Kemudian metode
tanya jawab dan diskusi sejalan dengan tujuan pada tahapan transaksi nilai, yang mana tahap atau metode ini
nilai atau ilmu pengetahuan dalam hal ini
tentang Ke-NWDI-an dilakukan dengan jalan komunikasi dua arah atau interaksi
antar mahasiswa dengan dosen/guru, ataupun antar sesama
mahasiswa yang bersifat interaksi timbal balik. Dengan kata lain dosen dan mahasiswa sama-sama memiliki sifat aktif. Adapun tahap transinternalisasi, tahap ini jauh lebih
dalam dari pada sekedar transaksi.
Dalam tahap ini penampilan
guru atau dosen di hadapan mahasiswa bukan lagi sosok
fisiknya, melainkan sikap mentalnya (kepribadiannya) demikian pula mahasiswa merespon kepada dosen bukan
hanya gerakan/penampilan fisiknya, melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Begitu juga akan sosok pendiri
NWDI, yaitu TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid yang menjadi tokoh sentral
yang dipelajarai dalam pembelajaran Ke-NWDI-an ini semua gerak gerik
sikap dan perilaku akan menjadi penilain
dan contoh bagi mahasiswa.
Dan juga sosok TGB, yaitu cucu pendiri NWDI, selaku rektor sekaligus
ketua pengurus besar NWDI senantiasa menjadi sosok tauladan
bagi mahasiswa IAIH Pancor dalam mengamalkan
nilai-nilai moderasi beragama baik itu
dari pemikiran, sikap/mental, dan perilakunya.
Maka bisa disimpulkan kebutuhan akan sosok yang bukan sekedar menyampaikan, tetapi juga menjadi contoh dari kehidupan
yang moderat dalam beragama sangat dibutuhkan.
Kemudian hasil penelitian ini juga sejalan dengan teori Muhaimin terkait strategi atau proses untuk membudayakan nilai-nilai karakter, yaitu power strategi
(strategi kekuatan), persuasive strategi (strategi pembentukan opini), Strategi
normative re-educative (pendidikan normative di kalangan warga sekolah). Sebagaimana dari paparan atau
hasil data sebelumnya menjelaskan bahwa setiap institusi baik itu sekolah/madrasah
atau perguruan tinggi yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah mempelajari pendidikan
Ke-NWDI-an merupakan hal
yang wajib.
Maka hal ini sejalan
dengan teori Muhaimin tentang strategi membudayakan nilai yaitu power strategi. Power
strategi ini memiliki pengertian membudayakan nilai-nilai karakter dengan cara menggunakan
kekuatan atau kekuasaan melalui people�s power
yang ada di lembaga tersebut (Manan,
2018). Selanjutnya
pembelajaran Ke-NWDI-an melalui
berbagai kegiatan yang disebutkan sebelumnya baik menggunkan metode ceramah dan tanya jawab akan
memberikan sebuah penjelasan-penjelasan tentang materi tersebut, yang secara tidak langsung
mengajak atau membentuk mahasiswa menjadi bagian dari NWDI, baik dilakukan secara langsung atau tidak.
Baik dari pemikiran, sikap, dan perilaku. Maka hal ini sejalan
dengan teori Muhaimin tentang strategi membudayakan nilai yaitu persuasive strategi,
yang mana strategi ini dilakukan
untuk membentuk pandangan dan opini warga sekolah/kampus.
Kemudian yang terakhir
normative re-educative, strategi ini bertujuan untuk melakukan pendidikan ulang untuk menanamkan
dan mengganti paradigma berpikir masyarakat sekolah/kampus yang lama dengan yang baru.
Terkait teori ini di IAIH Pancor sendiri memiliki mahasiswa yang beragam latar belakang, ada Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Ataupun dari NWDI sendiri, tetapi belum benar-benar memahami tentang NWDI. Maka IAIH sebagaimana dijelaskan sebelumnya melakukan pendidikan Ke-NWDI-an kepada semua mahasiswa,
mulai sejak mahasiswa menjadi mahasiswa baru, ataupun pembelajaran Ke-NWDI-an
di kelas. Dari hasil penelitian ini maka dapat dipahami
IAIH Pancor melakukan normative
re-educative.
Kegiatan internalisasi
nilai moderat yang ke-dua yaitu kajian
kitab. Jika dikaitkan dengan
teori Muhaimin tentang tahapan-tahapan internalisasi dan
strategi internalisasi nilai
kurang lebih sama dengan pendidikan
Ke-NWDI-an, karena dalam metode pembelajarannya menggunakan metode yang sama. Hanya saja pada kajian kitab ini ada perbedaan atau
penekananannya lebih ke tahap traninternalisasi,
karena bisa dikatakan budaya santri sangat melekat pada diri mereka yang belajar di ma�had. Jadi keteladan akan pribadi seorang dosen atau syaikh
dalam istilah mahadnya sangat melekat. Dan pengajar-pengajar di ma�had
rata-rata adalah tokoh
agama atau dalam istilah Lomboknya Tuan Guru, atau di Jawa dikenal dengan istilah Kyai.
Adapun kitab-kitab
yang dikaji di ma�had umumnya ditulis oleh ulama yang beraliran ahlussunnah wal jama�ah, yang umumnya kita kenal
dengan ulama yang moderat. Tujuannya untuk membentuk pribadi yang moderat dalam beragama
yang bisa menghadirkan kedamaian dan keharmonisan dalam beragama dan bermasyarakat, serta bermanfaat bagi ummat.
Kitab yang dikaji dikelompokkan menjadi tiga, 1) ilmu keislaman seperti tafsir jalalain, fathul mu�in, fathul
qorib, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil A'immah (Fikih perbandingan mazhab), minhajul abidin, ta�limul muta�allim, husunul hamidiyah, dan lain-lain.
2) ilmu metodologi seperti uhsul fiqh,
qawa�idul fiqhiyah, musthalahul hadits, dan
lain-lain. 3) ilmu alat seperti matan al-Jurumiyah, matan bina� wal asas,
mulkhas qawaidul arabiyah, dan lain-lain.
Selanjutnya temuan
atau hasil penelitian terkait proses internalisasi nilai moderat dalam beragama
mahasiswa di Institut Agama
Islam Hamzanwadi Pancor, yaitu pendidikan Ke-NWDI-an dan kajian kitab sejalan dengan teori Thomas Lickona terkait tiga komponen
penting dalam membangun pendidikan karakter, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral
feeling (perasaan tentang
moral), dan moral action (perbuatan moral).
Pertama, moral knowing. Komponen atau tahap
ini terkait pengetahuan seseorang tentang sesuatu. Dalam konteks penelitian ini mahasiswa mengetahui
nilai moderat dalam beragama yang mereka dapatkan melalui pendidikan Ke-NWDI-an atau kajian kitab yang diajarkan oleh guru atau dosen mereka, atapun
melalui diskusi sesama mahasiswa. Selanjutnya yang ke-dua, moral
knowing.
Komponen ini terkait sikap tentang
sesuatu yang ia ketahui mungkin itu cinta, benci,
dan lain sebagainya. Dalam kontek
penelitian ini terkait bagaimana sikap mahasiswa dengan pengetahuan yang ia dapatkan tentang
nilai moderasi beragama yang ia dapatkan melalui pendidikan Ke-NWDI-an dan kajian kitab. Atau dari pengetahuan itu bagaimana dia bersikap
dengan yang lainnya, dalam arti yang berbeda dengannya. Kemudian yang ke-Tiga, moral action.
Hal ini memiliki makna
berprilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya. Dalam kontek penelitian ini terkait perilaku mahasiswa setelah mempelajari Ke-NWDI-an dan kajian kitab. Bukti nyata yang bisa kita ambil
tentang hal ini yaitu mahasiswa
ditempatkan PPL di sekolah Nahdlatul Ulama atau
Muhammadiyah, sedangkan KKN mereka
ditempatkan di lingkungan atau masyarakatnya yang tidak hanya muslim,
tetapi juga non-muslim.
3. Implikasi/Dampak Internalisasi Nilai Moderat dalam Beragama Mahasiswa di Institut Agama Islam
Hamzanwadi Pancor
Dari hasil penelitian ini setidaknya ada dua implikasi atau dampak dari
internalisasi nilai moderat dalam beragama
mahasiswa. Pertama, Membentuk Mahasiswa yang Inklusif dalam Beragama. Inklusif dalam hal ini
memiliki makna mahasiswa IAIH Pancor meyakini ajaran ataupun prinsip bahwa kebenaran itu ada di dalam
kelompok ataupun agamanya, tetapi ada ruang-ruang untuk hidup bersama
dengan yang berbeda keyakinan ataupun prinsip ajaran lain dengannya.
Kedewasaan mahasiswa
dalam beragama dengan sikap yang inklusif tidak lepas dari peran
keilmuan yang yang mereka miliki. Baik itu yang mereka dapatkan melalui pendidikan Ke-NWDI-an, pembelajaran
keagamaan di kampus, kajian kitab di Ma�had.
Jika dikaitkan
dengan teori yang dikemukakan Kementrian Agama Republik Indonesia terkait indikator-indikator moderasi beragama, maka �membentuk mahasiswa yang inklusif dalam beragama� ini masuk
pada tiga bagian indikator, yaitu toleransi, anti radikalisme dan kekerasan, dan akomodif terhadap budaya lokal.
Yang pertama, antara inklusif dan toleransi, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa indikator toleransi ini menunjukkan sikap dan ekspresi keagamaan dengan sesungguhnya untuk menghormati perbedaan, begitu juga dengan sikap inklusif meyakini ajaran ataupun prinsip bahwa kebenaran itu ada di dalam
kelompok ataupun agamanyanya, tetapi ada ruang-ruang untuk hidup bersama
dengan yang berbeda keyakinan ataupun prinsip ajaran lain dengannya. Dengan kata lain sama-sama saling menghargai perbedaan.
Orang yang memiliki sikap inklusif atau terbuka
dalam beragama cenderung orang yang memiliki keilmuan luas dan keluasan hati, sehingga mudah menerima ataupun tidak mudah menyalahkan
orang atau kelompok lain, dengan kata lain memiliki sikap toleransi dalam perbedaan. Tentu berbeda dengan orang memiliki sikap eksklusif/tertutup, memisahkan diri dengan yang lain cenderung memiliki sikap toleransi yang rendah. Dan tidak jarang melahirkan
permusuhan yang lahir dari ketidaktahuan /kesalahpahaman.
Kedua, antara
inklusif dan anti radikalisme
dan kekerasan. Sikap dan ekspresi yang muncul dari ideologi dan pemahaman radikalisme ini cenderung ingin
melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan
sosial masyarakat dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Kekerasan yang muncul dari sikap
dan ekspresi keagamaan ini tidak hanya
pada kekerasan fisik, namun juga pada kekerasan non-fisik, seperti menuduh sesat kepada
individu maupun kelompok masyarakat yang berbeda paham dengan
keyakinannya tanpa argumentasi teologis yang benar.
Jika dikaitkan temuan penelitian terkait membentuk sikap inklusif pada mahasiswa, hal tersebut sejalan
dengan indikator anti radikalisme dan kekerasan. Kenapa demikian? karena individu atau kelompok yang berpaham radikalisme dan keras ini cenderung
memiliki sikap inklusif atau tertutup
atau memisahakan diri dari kelompok
yang lain. Dia atau mereka ini menganggap kelompok lain salah, hanya kelompok mereka yang benar.
Dengan kata lain mereka
memonopoli kebenaran hanya ada pada kelompok mereka. Dan mereka ini bukan
hanya radikal dalam fisik tetapi
juga non-fisik dengan menuduh kelompok lain sesat, bahkan tidak
jarang mereka dengan kekerasan fisik, contohnya dengan melakukan bom bunuh diri
untuk membunuh orang yang mereka anggap sesat
dan kafir.
Ketiga, antara
inklusif dan akomodatif terhadap budaya lokal. Hal ini terkait kecenderungan seseorang lebih ramah dalam penerimaan
tradisi dan budaya lokal dalam perilaku
keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Dengan kata lain pemahaman keagamaan yang tidak kaku ditandai
dengan kesediaan untuk menerima praktik dan perilaku yang tidak semata-mata menekankan pada kebenaran paradigma keagamaan normatif, namun juga paradigma kontekstualis yang positif.
Hal ini sejalan dengan
sikap Inklusif dalam beragama yang dibentuk IAIH Pancor kepada mahasiswanya, yang mana dengan sikap tersebut
bagi mahasiswa atau seseorang yang memiliki sikap ini tidak mudah
menyalahkan ataupun menyesatkan yang lain, dalam konteks ini terkait
budaya. Seseorang yang memiliki sikap inklusif akan terbuka
dengan budaya lokal. Sikap ini
mengajarkan seseorang untuk berusaha menyesuaikan diri dengan budaya lokal.
Budaya tersebut
akan dikaji terlebih dahulu, dan budaya tersebut akan diterima sejauh
tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Tetapi orang yang memiliki sikap eksklusif cenderung akan langsung menyalahkan
atau menyesatkannya. Bahkan pelaku dalam
budaya tesebut langsung dituduh sesat, syirik, dan lain sebagainya. Selanjutnya hasil penelitian yang kedua, yaitu membentuk
Mahasiswa yang Cinta pada Agama, Bangsa,
dan Negara.
Jika dikaitkan dengan teori yang dikemukakan Kementrian Agama Republik
Indonesia terkait indikator-indikator
moderasi beragama, maka �membentuk Mahasiswa yang Cinta pada Agama, Bangsa,
dan Negara� sejalan dengan indikator komitmen kebangsaan. Indikator ini bisa dilihat
dari komitmen pemahaman keagamaan seseorang yang sekaligus dibungkus dalam bingkai kebangsaan.
Segala bentuk paham keagamaan
yang memiliki ideologi untuk menjauhkan individu maupun kelompok masyarakat dari komitmen kebangsaan
dengan cita-cita mendirikan negara di luar sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia dianggap tidak sesuai dengan
indikator moderasi beragama. Jika dikaitkan dengan cinta pada agama, bangsa, dan negara, sebagai mana hasil penelitian.
Maka sesungguhnya orang yang cinta
pada agama, bangsa, dan negara memiliki
komitmen kebangsaan yang kuat pula. Itulah yang dibentuk IAIH Pancor kepada mahasiswanya dari hasil menanamkan
nilai moderat dalam beragama melalui kajian atau pendidikan Ke-NWDI-an, ataupun kajian keagamaan dan kitab. Ketika mahasiswa
benar-benar memahami tentang Ke-NWDI-an baik itu tentang
pendiri ataupun ajaran-ajaran yang ada di NWDI, maka dia benar
memahami hubungan antara agama dan negara.
Sebagaimana NWDI memiliki
filosofi dua sekaligus, yaitu membangun agama dan negara.
Dalam hal ini merupakan nilai perjuangan utama dari organisasi ini.� Maka mahasiswa yang memahami dan menjalankan nilai-nilai ini tidak akan
membentur-benturkan antara
agama dan negara, sebagaimana yang terjadi pada kelompok HTI. Tetapi berusaha untuk memposisikan antara agama dan negara sama dalam satu tarikan
nafas, yakni membangun agama berarti membangun negara begitu juga sebaliknya.
Kesimpulan
Konsep moderasi beragama
yang diimplementasikan di IAIH Pancor,
yaitu Islam yang rahmatan lil �alamin yang dalam penerapan selalu mengacu dengan berpegang kepada prinsip-prinsip yang dipegang oleh Ahlussunna Wal
Jamaah, yaitu tawasuth (moderat), tawazun (netral/seimbang), i�tidal (lurus/tegak), dan tasamuh (toleransi). Dalam arti sikap yang
mengutamakan jalan tengah, menyesuaikan teks dengan konteks,
dan juga bersikap ataupun berperilaku dengan aturan atau batas-batas tertentu dalam beragama.
Kemudian sikap moderat
yang dibangun IAIH Pancor
juga sangat menekankan keselarasan
antara agama dan negara. Agama dan negara harus diposisikan sama dalam satu
tarikan nafas dengan tujuan membangun
relasi antara agama dan
negara secara simbiosis mutualisme. Kemudian proses internalisasi nilai moderat dilakukan melalui beberapa kegiatan, Pertama. Pendidikan
Ke-NWDI-an.
Pendidikan Ke-NWDI-an memiliki
makna mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kesejarahan dan eksistensi organisasi Nahdlatul Wathan Diniyah
Islamiyah mulai dari kelahiran pendirinya, sikap, perilaku, dan ketauladanan pendirinya, yaitu TGKH. M. Zainuddin Abdul Majid.� Kedua. Kajian
kitab. Kajian kitab ini dilakukan
untuk memperluas dan memperkuat ilmu keagamaan mahasiswa. Kitab yang dikaji dikelompokkan menjadi tiga, 1) ilmu keislaman, 2) ilmu metodologi, 3) ilmu alat.
Selanjutnya Implikasi internalisasi
nilai moderat dalam membentuk moderasi beragama mahasiswa di Institut Agama Islam
Hamzanwadi Pancor, Pertama. membentuk mahasiswa yang inklusif dalam beragama. Inklusif dalam arti mahasiswa meyakini ajaran atau prinsip
bahwa kebenaran itu ada di dalam
kelompok ataupun agamanya, tetapi ada ruang-ruang untuk hidup bersama
dengan yang berbeda keyakinan ataupun prinsip ajaran lain dengannya.
Kedua. membentuk mahasiswa
yang cinta pada agama, bangsa,
dan negara. Hal ini memiliki
makna membentuk mahasiswa yang memiliki sikap ataupun perilaku
yang menjadikan agama, bangsa,
dan negara pada kehidupan yang selaras,
damai, dan harmonis.
BIBLIOGRAPHY
Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2017). Research
design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage
publications.
Gunawan, H., Ihsan, M. N.,
& Jaya, E. S. (2021). Internalisasi Nilai-nilai Moderasi Beragama dalam
Pembelajaran PAI di SMA Al-Biruni Cerdas Mulia Kota Bandung. Atthulab:
Islamic Religion Teaching and Learning Journal, 6(1), 14�25.
Hanafi, M. (2009).
Muchlis,�Konsep Al Wasathiah Dalam Islam�, Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius,
Vol. VIII, Nomor, 32.
Hornby, A. S. (2000). Idioms//Hornby
AS Oxford Advanced Learner�s Dictionary of Current English. Oxford.
Kamus, T. P. (2007). Kamus
besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Lickona, T. (2013).
Mendidik untuk membentuk karakter: Bagaimana sekolah dapat mengajarkan sikap
hormat dan tanggung jawab. Jakarta: Bumi Aksara.
Maarif, N. H. (2017). Islam
mengasihi bukan membenci. (No Title).
Manan, M. A. (2018).
Internalisasi nilai-nilai karakter dalam meningkatkan kompetensi kepribadian
guru di smp ibrahimy 1 sukorejo situbondo. Jurnal Pendidikan Islam Indonesia,
3(1), 18�31.
Muflich, M. F., &
Nurhayati, B. (2022). Internalisasi Nilai Moderat Dalam Membangun Kerukunan
Masyarakat Lamongan. Al-Mada: Jurnal Agama, Sosial, Dan Budaya, 5(3),
427�439.
Muhaimin, M. A. (2009).
Rekontruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen,
Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. PT Raja Grafindo
Persada.
Muhaimin, M. A. (2020). Paradigma
Pendidikan Islam. PT Remaja Rosdakarya.
Rokim, R., & Manan, A.
(2022). Internalisasi Karakter Kemandirian Dalam Mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam Di SMP N 2 Babat Lamongan. Akademika, 16(2).
Samsul, A. R. (2020). Peran
Guru Agama Dalam Menanamkan Moderasi Beragama. Al-Irfan: Journal of Arabic
Literature and Islamic Studies, 3(1), 37�51.
Sari, A. A. P. (2021). Penerapan
Nilai-Nilai Moderasi Beragama Pada Pendidikan Anak Usia Dini Melalui Pendidikan
Agama Islam. IAIN BENGKULU.
Shihab, M. Q. (2019). Wasathiyyah
Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama. Lentera Hati Group.
Siradj, S. A. (2013).
Tasawuf Sebagai Basis Tasamuh. Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 13(1),
87�106.
Copyright holder: Zaenul Abidin, Muh. Hambali, Miftahul Huda (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |