Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

UPAYA HUKUM UNTUK MENJERAT TINDAKAN PELAKU PERSELINGKUHAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT DAYAK NGAJU

 

Yessiarie Silvanny Sibot, Desti Natasha, Henkam Nipriskila Cahyanti

Fakultas Hukum, Universitas Palangka Raya

Email:

 

Abstrak

Permasalahan yang terjadi adalah kekosongan hukum mengenai pengaturan sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku perselingkuhan melalui hukum nasional. Pada masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah, Hukum Adat Dayak ditegakkan secara tegas, namun masih belum banyak diketahui. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif empiris, dilakukan dengan mengunjungi Lembaga Kedamangan di Kalimantan Tengah dan Dewan Adat Dayak (DAD) di Kalimantan Tengah. Hal ini dapat melengkapi upaya hukum nasional sebelum pelaksanaan hukum nasional RUU KUHP bagi masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Upaya hukum yang dilakukan untuk menjerat pelaku perselingkuhan adalah ingkar janji yang merupakan upaya hukum paling serius yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat suku Dayak Ngaju. Mereka percaya bahwa sumpah yang diucapkan pada Basarah Adat akan serius bagi mereka yang berani berbohong. Mereka mungkin berumur pendek, tidak beruntung dan menderita penyakit terus menerus untuk diri mereka sendiri dan keturunan serta saudara mereka. Sanksi adat Dayak Ngaju yang dikenakan kepada pelaku perselingkuhan adalah membayar dua kali nilai perkawinan adat (mahar) pasangan yang disitanya membayar ganti rugi malu bagi keluarga sah pasangan perempuan, membayar ganti rugi biaya perkawinan bagi pasangan sah dan membayar kedamaian pesta.

 

Kata Kunci: Hukum Adat Dayak; Pelaku Perselingkuhan; Masyarakat Adat; Upaya Hukum

 

Abstract

The problem that occurs is a legal vacuum regarding the regulation of sanctions that can be imposed on perpetrators of infidelity through national law. In the Dayak indigenous communities of Central Kalimantan, Dayak customary law is strictly enforced, but it is still not widely known. This research uses empirical qualitative research type, conducted by visiting the Kedamangan Institute in Central Kalimantan and the Dayak Customary Council (DAD) in Central Kalimantan. This can complement national legal efforts before the implementation of the national law of the Criminal Code Bill for the Ngaju Dayak community in Central Kalimantan. Legal efforts made to ensnare perpetrators of infidelity are broken promises which are the most serious legal remedies that can be done by the indigenous people of the Ngaju Dayak tribe. They believe that the oath taken on Basarah Adat will be serious for those who dare to lie. They may be short-lived, unlucky and suffer from continuous illness for themselves and their offspring and siblings. The customary Dayak Ngaju sanctions imposed on perpetrators of infidelity are to pay twice the value of the customary marriage (dowry) of the confiscated spouse, pay shame compensation for the legal family of the female partner, pay compensation for marriage expenses for the legal couple, and pay the peace of the party.

 

Keywords: Dayak Customary Law; Perpetrator of infidelity; Indigenous; Legal Remedies

 

Pendahuluan

Perkawinan menurut hukum adat merupakan peristiwa penting dan sakral bagi setiap orang yang menjalani tidak hanya para pihak yang menikah, tetapi juga masing- masing keluarga kedua mempelai bahkan menyangkut arwah para leluhur (Yuliartini, 2010). Pelaksanaan perkawinan yang tidak sesuai dengan adat dan adanya perselingkuhan dipercaya akan membawa hukuman penderitaan karena telah melanggar janji yang telah diikrarkan pada saat pemenuhan hukum adat (Yuliartini, 2010).

Fenomena yang kerap kali penulis amati di Kalimantan Tengah adalah keenganan korban untuk berusaha menjerat Pelaku Perselingkuhan (pihak ke tiga) yang menggoda pasangan mereka. Sebagian memilih untuk melampiaskan kekecewaannya dengan melabrak pelaku perselingkuhan ataupun berkoar-koar di media sosial untuk menjelek- jelekan Pelaku Perselingkuhan tersebut. Sebagian lagi memilih jalan perceraian dan pasrah mengganggap dirinya memang sudah tidak menarik lagi.

Sangat disayangkan jika masyarakat suku Dayak tidak memberdayakan hukum adat miliknya sendiri. Salah satunya dengan memperdalam ketentuan adat yang dapat menjerat perbuatan Pelaku Perselingkuhan dan memberikan efek jera kepada mereka. Perbuatan Pelaku Perselingkuhan dalam hukum�� adat�� Dayak�� Ngaju�� disebut dengan Tungkun merupakan suatu perbuatan yang memiliki dimensi Pidana di dalamnya yaitu tergolong dalam pelanggaran adat kesusilaan. Pedoman pengaturan tentang hukum adat Dayak yang sampai saat ini masih digunakan adalah 96 Pasal Hukum Adat Tumbang Anoi yang dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan para pemangku adat Dayak.

Faktor dominan terjadinya kasus perceraian di Palangka Raya adalah selingkuh. Terkadang wanita juga bisa menggoda pria yang sudah memiliki istri. Kalau tidak kuat- kuat iman, pasti tergoda dan terjadilah perselingkuhan. Istilah yang sedang popular di kalangan masyarakat terhadap seseorang yang menggoda suami / istri orang ini adalah �Pelaku Perselingkuhan�. Perbuatan seperti ini telah melanggar nilai adat yang dipegang teguh oleh suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.

Wawancara dilakukan dengan Damang di Lembaga Kedamangan di Kecamatan Kahayan Tengah. Pemeriksaan dokumen dilakukan untuk mencari informasi-informasi yang terkait dengan permasalahan yang diangkat yang berasal dari dokumen-dokumen tertulis, yang berupa laporan-laporan dari masyarakat adat Dayak Ngaju tentang permohonan perceraian yang relevan dengan penelitian ini.

Kasus asusila seperti ini telah melanggar norma sosial dan falsafah Belum Bahadat suku Dayak Ngaju. Perbuatan ini dapat dikenai sanksi denda adat dengan tidak mengenyampingkan hukum positif dalam aspek pidana (Pratiwi, Suprayitno, & Triyani, 2019).

Perselingkuhan merupakan salah satu aspek kehidupan keluarga dan sering menjadi sumber permasalahan (Al Mansur, Saim, & Riyaldi, 2021). Perselingkuhan seorang suami atau istri merupakan bentuk penyimpangan tindakan anggota keluarga dilakukan tanpa sepengetahuan pasangannya (Muhajarah, 2017). Perselingkuhan dilakukan di berbagai aspek kehidupan keluarga, seperti keuangan, kebijakan keputusan, seksual, persahabatan, hubungan dengan orang tua, pekerjaan, dan sebagainya. Perselingkuhan biasanya ditandai dengan perubahan sikap (binti Zulkepley, 2018).

Perubahan sikap paling nyata dan sering terjadi dalam kasus perselingkuhan adalah kecenderungan untuk merahasiakan sesuatu, bertindak defensif (bersikap bertahan), dan berbohong (Satiadarma, 2001). Namun pada kenyataannya hukum Indonesia tidak mendefinisikan perselingkuhan. Sebab, perselingkuhan memang mencakup arti yang luas (Wattimena, 2010). Saat ini istilah berselingkuh bisa disematkan pada pacar, suami, maupun istri. Selain itu, aktivitas yang tergolong sebagai perselingkuhan pun diartikan berbeda-beda, mulai dari komunikasi lisan, tertulis, tatap muka, hingga perzinaan.

Meskipun perselingkuhan merupakan masalah yang sangat privat namun media massa terutama elektronik setiap hari membongkarnya terus-menerus. Perselingkuhan tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di desa-desa dan kampung-kampung.

Perselingkuhan bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang berada, tapi juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu dari segi finansial. Meskipun perselingkuhan merupakan masalah yang sangat privat namun media massa terutama elektronik setiap hari membongkarnya terus-menerus. Perselingkuhan tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di desa-desa dan kampung-kampung.

Perselingkuhan bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang berada, tapi juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu dari segi finansial. Lebih memprihatinkan lagi, perselingkuhan juga dilakukan oleh orang-orang yang ada hubungan kekerabatan, seperti perselingkuhan antara ayah/ibu dengan anak tirinya, antara kakak dengan adiknya, antara adik ipar dengan kakak ipar.

Selain itu, perselingkuhan juga dilakukan oleh seorang ayah/ibu dengan pacar/teman akrab anaknya dan seorang laki-laki dengan tetangga wanitanya yang telah berumah tangga. Perselingkuhan juga dilakukan oleh orang-orang yang sudah bertahun-tahun membina mahligai perkawinan maupun mereka yang baru melangsungkan perkawinan.

Hukum adat Dayak masih sangat dijunjung para warganya. Para pelaku perselingkuhan pun di atur dalam hukum adat tersebut. Dikutip dari buku Sekilas Perkawinan Dayak Mualang karya L. Tatang disebutkan deretan hukum adat perkawinan.

Dijelaskan jika perselingkuhan masuk dalam perkawinan bermasalah. Dalam buku ini dijelaskan perkawinan merupakan dua manusia yang bersatu dan tidak bisa dipisahkan. Maka jika terjadi pertikaian karena perselingkuhan akan dikenakan hukum adat butang. Butang merupakan perbuatan selingkuh atau zinah yang pria atau wanita yang sudah menikah. Pelaksanaan hukum ini yakni, mengharuskan kedua pihak yang bersengketa atau bermasalah menyelam dalam air, kemudian keduanya akan didampingi Ketua Adat untuk mengadakan ritual dengan mengucapkan mantra.

Pelaku Perselingkuhan adalah istilah untuk menyebut seorang yang dianggap telah memicu keretakan rumah tangga pasangan yang sudah menikah (Ulfiah, 2016). Istilah ini berkaitan dengan tindakan perselingkuhan, khususnya dengan mereka yang telah memiliki pasangan sah dalam pernikahan (Perangin-angin et al., 2021).

Pada dasarnya, menurut Pasal 1 UU Perkawinan, hukum perkawinan di Indonesia menentukan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, dalam upaya mewujudkan tujuan itu, pasangan suami-istri akan menemui bermacam batu ujian, salah satunya adanya perselingkuhan.

Dari ketentuan di atas, baik pelaku perselingkuhan yang melakukan hubungan seksual dengan suami orang lain maupun laki-laki / perempuan yang telah menikah dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 284 KUHP. Namun, proses penuntutan secara pidana hanya dapat dilakukan atas pengaduan pasangan sah atau istri yang suaminya direbut oleh Pelaku Perselingkuhan.

Berdasarkan peristiwa yang banyak terjadi saat ini, istilah ini identik dengan seseorang yang merebut seorang suami / istri dari pasangan sahnya. Perbuatan tersebut biasanya dikenal dengan istilah selingkuh. Pelaku Perselingkuhan berkaitan erat dengan perselingkuhan dengan kontribusi dari kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan dengan tujuan sekadar berzina atau mengarah kepada pernikahan. Mereka yang melakukan hal itu bukan hanya membutuhkan uang, tetapi mereka butuh nafsu hingga status yang menjadikan seseorang bisa merebut pasangan orang lain, atau disebut Pelaku Perselingkuhan.

Seiring semakin seringnya isu perselingkuhan muncul, istilah ' Pelaku Perselingkuhan ' jadi fenomena yang sangat populer. Banyak berita yang menjadi viral di sejumlah media sosial adalah berita tentang Pelaku Perselingkuhan. Kedekatan dengan orang yang sudah berumah tangga kerap menjadi masalah besar, salah satunya adalah ketertarikan, meskipun seseorangan sudah mempunyai suami/istri dan anak (Iqbal & Fawzea, 2020). Dikenal sebagai Pelaku Perselingkuhan untuk sebutan orang yang menggoda dan merebut laki-laki atau perempuan, suami/istri orang yang sudah mempunyai pasangan hidup. Pelaku Perselingkuhan dapat diartikan sebagai seorang yang berani menggoda pasangan yang telah menikah.

Secara hukum positif, apabila salah satu dari pasangan selingkuh, dalam arti melakukan perbuatan perzinahan, beserta kawan selingkuhnya dapat diadukan ke kantor polisi berdasarkan ketentuan pasal 284 KUHP. Makna overspel dalam pasal 284 KUHP yang dapat dituntut pidana adalah: a) Persetubuhan yang dilakukan oleh mereka yang sudah menikah saja. b) Partner yang disetubuhi, yang belum menikah hanya dianggap sebagai peserta pelaku (medepleger). Apabila partner yang disetubuhi sudah menikah, maka bukan dianggap sebagai peserta pelaku. c) Persetubuhan tidak direstui oleh suami atau isteri yang bersangkutan.

Secara a contrario dapat dikatakan kalau persetubuhan itu direstui oleh suami atau isteri yang bersangkutan maka itu termasuk overspel. Berdasarkan hukum positif, perbuatan pelaku perselingkuhan tidak serta merta dapat dijatuhi sanksi pidana, harus ada pengaduan dan pembuktian akurat yang menyatakan bahwa benar terjadi perzinahan (Hadi, 2022). Kondisi tersebut memberikan peluang terjadinya perbuatan perselingkuhan atau perzinahan yang semakin meluas. Untuk itu, perlu adanya aturan hukum yang sanksinya tegas langsung bisa dikenakan kepada pelaku perselingkuhan atau perzinahan.

Hukum adat merupakan solusi konkrit yang bisa diberikan kepada pelaku perselingkuhan, karena sifatnya dekat dengan kehidupan masyarakat dan nilai-nilai budanya merupakan hasil kristalisasi budaya masyarakat setempat. Menurut hukum adat, hal yang paling pokok dalam perkawinan adalah hakikat mengenai ikatan perkawinan.

Dalam hukum adat bukan sekedar ikatan pria dan wanita, tetapi juga ikatan hubungan hukum sebagai perikatan perdata dan perikatan adat Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

Upaya hukum yang dilakukan dengan tantangan bersumpah adalah upaya hukum paling serius yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat suku Dayak Ngaju. Mereka percaya bahwa sumpah yang diucapkan pada saat basara adat akan berakibat fatal bagi pihak yang berani berbohong yaitu memiliki umur pendek, tidak ada rejeki, sakit penyakit yang sambung menyambung untuknya, keturunan serta saudara-saudaranya.

Sanksi adat Dayak ngaju yang dikenakan bagi perbuatan pelaku perselingkuhan untuk perbuatannya yang berani merebut pasangan sah orang lain dan diwajibkan membayar Dua kali nilai palaku adat perkawinan (mahar) pasangan yang direbutnya membayar ganti rugi malu bagi keluarga pasangan sah, membayar ganti rugi biaya pernikahan bagi pasangan sah dan membayar pesta damai. Hal ini dapat melengkapi kekosongan hukum nasional sebelum berlakunya RUU KUHP bagi masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.

Upaya Hukum yang dapat dilakukan untuk perbuatan hatungkun yang dilakukan oleh untuk menjerat pelaku perselingkuhan ini dapat diadukan dengan cara melaporkan para pihak yang terlibat ke Damang Kepala Adat yang berkedudukan di wilayah kecamatan tempat tinggal si pelapor ataupun wilayah kedamangan tempat dilaksanakannya kawin adat para pihak yang terikat perkawinan tersebut.

Salah satu prasyarat pengaduan adalah harus dilakukan dengan semangat kejujuran yang tinggi dari pihak yang merasa dirugikan dan memiliki niat yang tulus untuk memberikan maaf yang tulus kepada pelaku nantinya. Jika semua bukti telah terkumpulkan serta para pihak yang dimaksud telah jelas keberadaannya maka akan digelarlah sebuah Basara Adat yaitu proses gelar perkara/persidangan dalam Sistem Hukum Adat Dayak Ngaju.

Salah satu prasyarat pengaduan adalah harus dilakukan dengan semangat kejujuran yang tinggi dari pihak yang merasa dirugikan dan memiliki niat yang tulus untuk memberikan maaf yang tulus kepada pelaku nantinya. Jika semua bukti telah terkumpulkan serta para pihak yang dimaksud telah jelas keberadaan nya maka akan digelarlah sebuah Basara Adat yaitu proses gelar perkara/persidangan dalam Sistem Hukum Adat Dayak Ngaju.

Basara Adat berdasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah memiliki ketentuan sebagai berikut:

a) Jika basara adat itu berkenaan dengan pelaku yang melibatkan orang lain dari luar wilayah Kedamangan (lintas wilayah yuridiksi kedamangan) dalam satu wilayah kabupaten /kota, maka Damang dari wilayah hukum yang bersangkutan perlu memohon kepada Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten/Kota melibatkan Damang dari wilayah kedamangangan/kecamatan lain dalam menangani dan menyelesaikan perkara tersebut;

b) Jika basara (gelar perkara) itu berkenaan dengan pelaku yang berasal dari luar kabupaten/kota (lintas kabupaten / kota), maka Damang Kepala Adat dari wilayah hukum yang bersangkutan perlu memohon kepada Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi untuk melibatkan Damang Kepala Adat dari Kabupaten / Kota lain di wilayah provinsi yang bersangkutan Let (hakim) Adat;

c) Jika basara (gelar perkara) itu berkenaan dengan pelaku yang berasal dari luar provinsi (lintas provinsi), maka Damang Kepala Adat dari wilayah provinsi bersangkutan perlu memohon kepada Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) menugaskan Damang Kepala Adat dari provinsi lain itu untuk menjadi Let (hakim) Adat (Pratiwi et al., 2019).

Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini akan mengkaji lebih dalam tentang �Upaya Hukum Untuk Menjerat Tindakan Pelaku Perselingkuhan Dalam Presfektif Hukum Adat Dayak Ngaju�.

Sumber informasi makalah ini didapatkan dari jurnal-jurnal penelitian hukum, artikel-artikel, perundang-undangan dan wawancara dengan Damang Kepala Adat Lembaga Kedamangan di Kecamatan Kahayan Tengah.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka peneliti merumuskan masalahsebagai berikut: 1) Apa Peran Lembaga Adat Dalam Penyelesaian hukum untuk Tindakan Pelaku Perselingkuhan? 2) Bagaimana Upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menjerat Pelaku Perselingkuhan melalui Hukum Adat Dayak Ngaju?

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum. Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum (Abdulkadir, 2004).

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statue aproach) (Marzuki, 2013). Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder (Soekanto, 2007).

Data dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan, jurnal hukum, peraturan perundang- undangan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Bahan hukum primer, yaitu semua bahan/materi hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Metode yang penulis gunakan ialah metode penelitian normatif dengan pendekatan studi kepustakaan, menggunakan bahan hukum primer dan sekunder seperti 96 pasal Perjanjian Damai Tumbang Anoi, kitab Panaturan, surat perjanjian kawin, buku hukum dan hasil penelitian hukum.

Bahan hukum primer terdiri dari yaitu wawancara dengan Damang, pemeriksaan dokumen-dokumen peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan atau materi yang berkaitan dan menjelaskan mengenai permasalahan dari bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan literatur-literatur terkait Upaya Hukum Untuk Menjerat Tindakan Pelaku Perselingkuhan Dalam Presfektif Hukum Adat Dayak Ngaju.

Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran dan menelaah bahan pustaka (literatur, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah dsb). Bahan hukum dikumpulkan melalui prosedur inventarisasi dan identifikasi peraturan perundang-undangan, serta klasifikasi dan sistematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian.

Oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, menganalisa, mencatat dan membuat ulasan bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya Upaya Hukum Untuk Menjerat Tindakan Pelaku Perselingkuhan Dalam Presfektif Hukum Adat Dayak Ngaju.

Selain itu penulis juga mengimpun informasi yang relevan dengan topik yang sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, karangan-karangan ilmiah, tesis, peraturan-peraturan, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektornik lain.

Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk uraian-uraian yang tersusun secara sistematis, artinya data sekunder yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lain disesuaikan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh sesuai dengan kebutuhan penelitian.

Penelitian ini disajikan untuk memberikan pedoman bagi masyarakat adat Dayak Ngaju untuk menjerat dan memberikan efek jera bagi Pelaku perselingkuhan sesuai dengan hukum adat Dayak Ngaju untuk menjaga arti kesakralan pernikahan dalam adat Dayak Ngaju.

Untuk menganalisis data yang diperoleh, akan digunakan metode analisis normatif, merupakan cara menginterpretasikan dan mendiskusikan bahan hasil penelitian berdasarkan pada pengertian hukum, norma hukum, teori-teori hukum serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Norma hukum diperlukan sebagai premis mayor, kemudian dikorelasikan dengan fakta-fakta yang relevan (legal facts) yang dipakai sebagai premis minor dan melalui proses silogisme akan diperoleh kesimpulan (conclution) terhadap permasalahannya.

 

Hasil dan Pembahasan

Paradigma tentang Upaya Hukum Untuk Menjerat Tindakan Pelaku Perselingkuhan

Langkah awal melakukan musyawarah dalam Upaya Hukum Untuk Menjerat Tindakan Pelaku Perselingkuhan Dalam Presfektif Hukum Adat Dayak Ngaju yakni dengan diadukan dengan cara melaporkan para pihak yang terlibat ke Damang Kepala Adat yang berkedudukan di wilayah kecamatan tempat tinggal si pelapor ataupun wilayah kedamangan tempat dilaksanakannya kawin adat para pihak yang terikat perkawinan tersebut.

Salah satu prasyarat pengaduan adalah harus dilakukan dengan semangat kejujuran yang tinggi dari pihak yang merasa dirugikan dan memiliki niat yang tulus untuk memberikan maaf yang tulus kepada pelaku nantinya. Jika semua bukti telah terkumpulkan serta para pihak yang dimaksud telah jelas keberadaannya maka akan digelarlah sebuah Basara Adat yaitu proses gelar perkara/persidangan dalam Sistem Hukum Adat Dayak Ngaju. Prosedur penyelesaian perkara secara garis besar dilakukan dengan melakukan pengaduan yang dapat dilakukan oleh istri/suami sebagai korban, anak, keluarga, masyarakat, RT, RW atau bahkan saksi mata yaitu membuat surat permohonan yang berisikan pengaduan yang ditujukan kepada Damang selaku Kepala Adat dan Mantir sebagai pelaksana untuk segera di proses.

Setelah melihat bukti dan saksi yang ada, maka diadakan musyawarah yang bertujuan untuk berembuk mencari kebenaran dan keputusan akhir dari kasus tersebut setelah itu diadakanlah basara adat untuk memutuskan sanksi/denda bagi yang bersalah dan pembacaan singer/denda yang berikan kepadanya.

Pengambilan sumpah Adat (bukan sumpah menurut agama) dari pihak yang bersengketa dan juga para saksi. Dalam sumpah Adat ini perlu dilakukan oleh tukang tawur/pisur yang terlebih dahulu memanggil roh-roh untuk memberikan kekuatan dan kemampuan untuk berkata jujur. Pengambilan keterangan dari pihak-pihak yang bersengketa dan juga keterangan dari para saksi maka dilakukan pembacaan kesimpulan oleh Mantir Adat atau Damang atas keterangan para pihak yang bersengketa dan juga saksi. Dalam hal telah dilakukannya diskusi, maka hasil dari peninjauan objek perkara/permasalahan juga disampaikan, atau apabila akan ada peninjauan maka hal tersebut juga disampaikan/dirundingkan, dengan waktu paling lama tiga hari.

Pengambilan keputusan oleh Mantir Adat atau Damang atas perkara yang terjadi serta pembuatan berita acara Sidang penyelesaian perkara dan penandatanganan keputusan yang dikeluarkan atas perkara tersebut. Upacara perdamaian yaitu berupa tampung tawar, penyembelihan hewan, pesta dan atau Hasapa. Dalam hal hasapa ini hanya dilakukan pada tingkat perkara yang ditangani oleh Damang dan jika dalam suatu perkara tidak ada yang berkata jujur untuk mengakui kesalahannya sehingga permasalahan tidak menemukan titik penyelesaian.

Ancaman dan pengenaan sanksi bukan hanya pada manusia tapi pada hewan dan juga lama semesta, sekalipun pelaksanaannya dikerjakan oleh manusia melalui ritual. Sehingga sanksi-sanksinya juga ditujukan untuk mendamaikan pihak yang sedang berperkara. Menyelesaikan masalah, mengembalikan keseimbangan alam baik hubungannya dengan alam, manusia dan sang pencipta.

Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008, disebutkan jenis-jenis sanksi dapat dikategorikan sebagai berikut:

1) Sanksi Ringan berupa: a) Nasihat; b) Teguran; c) Pernyataan maaf.

2) Sanksi sedang adalah Singer (ganti rugi) dan denda berdasarkan kearifan lokal.

3) Sanksi Berat, yakni: a) Dikucilkan; b) Dikeluarkan dari masyarakat adat (diusir); c) Pencabutan gelar.

Berbagai jenis sanksi singer di masyarakat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1) Denda ganti kerugian dalam berbagai rupa seperti pembayaran uang adat kepada orang yang terkena, menyerahkan barang adat seperti guci, gong, mandau atau tombak sebagai pengganti kerugian rohani. 2) Denda melaksanakan upacara adat (dengan mengorbankan hewan babi, ayam, sapi, atau kerbau) untuk pembersihan batin si korban, membersihkan masyarakat dari segala aib (hal-hal yang tabu) sebagai bentuk permohonan maaf si pelaku kepada para leluhur secara rohaniah. 3) Denda pengasingan (dikucilkan) dari masyarakat di luar tata hukum, bentuk pertanggung��� jawaban��� secara��� batiniah��� si��� pelaku��� atas��� pelanggaran���� adat yang dilakukannya.

Sanksi dari perbuatan pelaku perselingkuhan atau yang disebut dengan bahasa Dayak Ngaju adalah terdapat dalam Pasal 1 Perjanjian Tumbang Anoi dan diterapkan pada salah satu kasus yang penulis dapatkan pada Kedamangan Kecamatan Kahayan Tengah yaitu kasus pelaku perselingkuhan (Hatungkun).10

 

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang telah dibahas dapat disimpulkan bahwa Proses Penyelesaian Kasus Perselingkuhan Melalui Hukum Adat Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah) adalah salah satu penyelesaian masalah jika terjadinya kebuntuhan adat dalam mengadili atau memutuskan siapa yang salah dan siapa yang benar diantara kedua pihak. Pelaksanaan hukum adat berbentuk mengumpulkan pihak yang bersangkutan dan bermasalah atas kasus perselingkuhan berserta keluarga dari pihak yang menjadi pelaku ataupun pihak yang menjadi korban (perselingkuhan), wajib melakukan ritual yaitu kedua belah pihak yang bermasalah akan disuruh mendatangi balai adat dan bertatap muka langsung untuk menyelesaikan masalah perselikungkuhan yang mereka hadapi didalam rumah tangganya.

Dengan mengundang ketua adat/Damang adat, Ketua RT, Kades/lurah untuk memberikan arahan atau himbauan kepada kedua belah pihak yang bersangkutan dan untuk memutuskan siapa yang salah dan siapa yang benar. Hukum adat Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah) merupakan kebudayaan yang telah secara turun-temurun di dalam masyarakat setempat serta telah diyakini dalam menyelesaikan permasalahan, sampai pada saat ini masyarakat Suku Dayak Ngaju (Kalimantan Tengah) tetap melestarikan hukum adat melalui proses �Pertemuan/Mengumpulkan� pihak yang bersangkutan entah pihak yang dinyatakan bersalah maupun pihak yang tidak dinyatakan bersalah dan cara ini merupakan tindakan yang dianggap seadil-adilnya oleh masyarakat adat.

Upaya hukum yang dilakukan dengan tantangan bersumpah adalah upaya hukum paling serius yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat suku Dayak Ngaju dalam pembuktian ada tidaknya niat jahat dalam diri pelaku perselingkuhan. Perbuatan pelaku perselingkuhan dianggap hina mencerminkan sikap Belom Dia Bahadat, Akibat dari sumpah yang diucapkanlah yang amat ditakuti jika terjadi di kemudian hari. Mereka percaya bahwa sumpah yang diucapkan pada saat basara adat telah didengar oleh semua elemen yaitu Tuhan, alam, manusia maupun roh-roh nenek moyang sehingga akan berakibat fatal bagi pihak yang berani berbohong.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abdulkadir, Muhammad. (2004). Hukum dan penelitian hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

 

Al Mansur, Muhammad, Saim, Saim, & Riyaldi, Rino. (2021). Faktor Penyebab Perselingkuhan Suami Istri dan Upaya Penanganannya di KUA Kecamatan Rupat. TAHKIM, 17(1), 62�82.

 

binti Zulkepley, Halimahtun Saadiah. (2018). Faktor-Faktor Sebab Terjadinya Perselingkuhan di Tempat Kerja (Studi Kasus Perkara-Perkara yang Masuk di Jabatan Agama Islam Perak). UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

 

Hadi, Saiful. (2022). Ketentuan Sanksi terhadap Pelaku Tindak Pidana Zina dalam KUHP dan Qanun Hukum Jinayat. UIN Ar-Raniry.

 

Iqbal, Muhammad, & Fawzea, Kisma. (2020). Psikologi pasangan: Manajemen konflik rumah tangga. Gema Insani.

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2013). Penelitian hukum.

 

Muhajarah, Kurnia. (2017). Perselingkuhan suami terhadap istri dan upaya penanganannya. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 12(1), 23�40.

 

Perangin-angin, Reh Bungana Beru, Sembiring, Rya Elita Br, Melianti, Yusna, Habeahan, Sampitmo, Batu, Dewi Pika Lbn, & Charity, Hafni Zahra. (2021). Pelakor Overviewed from Indonesian Law Perspective. International Conference For Democracy and National Resilience (ICDNR 2021), 79�82. https://doi.org/2991/assehr.k.211221.014

 

Pratiwi, Putri Fransiska Purnama, Suprayitno, Suprayitno, & Triyani, Triyani. (2019). Upaya Hukum Untuk Menjerat Tindakan Pelakor Dalam Perspektif Hukum Adat Dayak Ngaju. Jurnal Cakrawala Hukum, 10(2), 209�217.

 

Satiadarma, Monty P. (2001). Menyikapi perselingkuhan. Yayasan Obor Indonesia.

 

Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

 

Ulfiah, Ulfiah. (2016). Psikologi keluarga: Pemahaman hakikat keluarga dan penanganan problematika rumah tangga. Ghalia Indonesia.

 

Wattimena, Reza Alexander Antonius. (2010). Filsafat Perselingkuhan Sampai Anorexia Kudus. Evolitera.

 

Yuliartini, Ni Putu Rai. (2010). Anak Tidak Sah Dalam Perkawinan Yang Sah (Studi Kasus Perkawinan Menurut Hukum Adat Bonyoh). Jurnal IKA, 8(2).

 

 

Copyright holder:

Yessiarie Silvanny Sibot, Desti Natasha, Henkam Nipriskila Cahyanti (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: