Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

PERANAN POLISI REPUBLIK INDONESIA DALAM PEMBERANTASAN PRAKTIK ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

 

Jepry Robin, Parasian Simanungkalit, Anwar Sadat

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

Email: [email protected] [email protected] [email protected]

 

Abstrak

Terumbu karang yang dimiliki Negara Indonesia lebih kurang seluas 7000 km2 dengan 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan serta memiliki keanekaragaman ikan sekitar 1.650 jenis spesies ikan. Nelayan asing yang kerap memasuki wilayah perairan Indonesia, antara lain, berasal dari Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Perairan Natuna, perairan Sulawesi Utara merupakan kawasan yang paling rawan terhadap kegiatan illegal fishing. Rawannya perairan Indonesia tersebut dari kegiatan illegal fishing, selain dikarenakan di kawasan perairan tersebut terkandung potensi sumber daya perikanan yang besar, juga dikarenakan posisi geografis dari kawasan perairan Indonesia tersebut berada di perairan internasional sehingga sangat terbuka bagi kemungkinan masuknya nelayan asing ke wilayah perairan Indonesia dan melakukan penangkapan ikan secara ilegal. Kegiatan illegal fishing masih saja terjadi di perairan Indonesia, meskipun berbagai upaya untuk mengatasinya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan ilegal yang bersifat lintas batas ini tidak semata-mata menjadi persoalan Indonesia, tetapi juga menjadi persoalan antarnegara mengingat para pelaku dan kegiatannya bersifat lintas negara, dan oleh karena itu pula, penanganannya pun harus dilakukan secara lintas negara terutama melalui kerja sama bilateral dengan negara-negaratetangga di kawasan yang para nelayan sering memasuki wilayah perairan Indonesia secara ilegal. Illegal fishing telah menjadi perhatian dunia karena kegiatan ilegal ini telah berlangsung di berbagai kawasan dan dianggap dapat mengancam keberadaan dan kelestarian sumber daya perikanan laut global jika tidak ditangani secara serius oleh masyarakat internasional. Dalam studi hubungan internasional, illegal fishing dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk transnational crime, karena dalam kegiatan ilegal tersebut terkandung beberapa aspek sebagaimana tercakup dalam pengertian transnational crime.

 

Kata Kunci: Perairan Indonesia, Teritorial, Ilegal Fishing

 

Abstract

Coral reefs owned by the State of Indonesia are approximately 7000 km2 with 480 species of coral that have been successfully described and have a diversity of fish around 1,650 species of fish. Foreign fishermen who often enter Indonesian territorial waters, among others, come from Thailand, Vietnam, the Philippines, and Malaysia. Natuna waters, North Sulawesi waters are the most vulnerable area to illegal fishing activities. The vulnerability of Indonesian waters from illegal fishing activities, in addition to the fact that the water area contains the potential for large fishery resources, also because the geographical position of the Indonesian territorial waters is in international waters so that it is very open to the possibility of foreign fishermen entering Indonesian waters and fishing illegally. Illegal fishing activities still occur in Indonesian waters, despite various efforts to overcome them by the Indonesian government. This cross-border illegal activity is not only a problem for Indonesia, but also an interstate problem considering that the perpetrators and activities are transnational, and therefore, the handling must also be carried out cross-country, especially through bilateral cooperation with neighboring countries in the region where fishermen often enter Indonesian territorial waters illegally. Illegal fishing has become a global concern because this illegal activity has taken place in various regions and is considered to threaten the existence and sustainability of global marine fisheries resources if not handled seriously by the international community. In the study of international relations, illegal fishing can be categorized as a form of transnational crime, because in these illegal activities contained several aspects as included in the definition of transnational crime.

 

Keywords: Perairan Indonesia, Teritorial, Ilegal Fishing

 

Pendahuluan

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus melaksanakan perang terhadap illegal fishing. Sebagai bentuk penguatan, KKP menandatangani perjanjian kerja sama dengan Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polisi Republik Indonesia terkait pemanfaatan jaringan Interpol.

Sinergi antara KKP dan Polisi Republik Indonesia telah berjalan sangat baik. Terlebih kedua lembaga juga memiliki Nota Kesepahaman yang telah ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Selain itu, aparat kedua instansi juga telah saling bahu membahu dalam penanganan illegal fishing di lapangan. Jaringan Interpol I-24/7 ini merupakan jaringan komunikasi global INTERPOL yang disebut sebagai Interpol Global Police Communication System (IGCS) yang bekerja selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, yang digunakan sebagai sarana pertukaran informasi antara negara anggota Interpol.

Dengan jaringan ini, Ditjen PSDKP-KKP akan memperoleh berbagai update terkini salah satunya terkait environmental crime termasuk berbagai modus operandi illegal fishing dan kapal-kapal ikan yang menjadi buronan internasional (Sasminto, 2020).

Kegiatan illegal fishing tersebut dilakukan oleh nelayan-nelayan asing dari negara-negara tetangga di kawasan yang memasuki perairan Indonesia secara illegal (Maryani & Nasution, 2019). Melalui berbagai modus operandi para nelayan asing tersebut menangkap ikan di perairan Indonesia dan selanjutnya diperjualbelikan di luar Indonesia dengan keuntungan yang berlipat ganda. Penangkapan ikan secara ilegal tersebut telah merugikan negara secara finansial, karena telah ikut menurunkan produktivitas dan hasil tangkapan secara signifikan, di samping telah mengancam sumber daya perikanan laut Indonesia.

Nelayan asing yang kerap memasuki wilayah perairan Indonesia, antara lain, berasal dari Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Perairan Natuna, perairan Sulawesi Utara dan perairan di sekitar Maluku serta Laut Arafura merupakan kawasan yang paling rawan terhadap kegiatan illegal fishing. Rawannya perairan Indonesia tersebut dari kegiatan illegal fishing, selain dikarenakan di kawasan perairan tersebut terkandung potensi sumber daya perikanan yang besar, juga dikarenakan posisi geografis dari kawasan perairan Indonesia tersebut berada di perairan perbatasan atau berdekatan dengan perairan internasional sehingga sangat terbuka bagi kemungkinan masuknya nelayan-nelayan asing ke wilayah perairan Indonesia dan melakukan penangkapan ikan secara illegal (Barama, 2016).

Kejahatan lintas negara di Indonesia tergolong sebagai kejahatan yang sangat berpotensi terjadi, karena beberapa faktor sebagai berikut: 1) Bentuk Negara Kepulauan dengan pantai terbuka 2) Posisi silang wilayah Indonesia sebaga jalur perlintasan perdagangan dunia. 3) Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dan sebagai sumber pengirim Tenaga Kerja. 4) Sistem perdagangan bebas yang semakin terbuka. 5) Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.

Kejahatan terhadap kekayaan negara salah satunya adalah illegal fishing yang dapat berlangsung lintas negara di samping sangat merugikan negara dan masyarakat juga berpotensi merusak lingkungan yang membahayakan keberlangsungan tidak hanya generasi sekarang, melainkan juga generasi mendatang (Maryani & Nasution, 2019). Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan terhadap kejahatan kekayaan negara dan kejahatan transnasional merupakan wujud nyata penyelamatan kekayaan negara dan membangun iklim persaingan usaha maupun investasi yang sehat yang pada akhirnya akan bermuara pada meningkatnya kemakmuran rakyat dan citra Indonesia di dunia internasional (Berdal & Serrano, 2002);(Rohingati, 2014).

Negara Indonesia adalah merupakan negara kepulauan dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km2 dengan memiliki lebih dari 17.504 pulau. Keadaan tersebut tentunya menjadikan Indonesia termasuk ke dalam negara yang memiliki kekayaan sumber daya perairan yang cukup tinggi dengan sumber daya hayati yang beraneka ragam. Keanekaragaman sumber daya perairan Indonesia tersebut meliputi sumber daya ikan maupun sumber daya terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki Negara Indonesia lebih kurang seluas 7000 km2 dengan 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan serta memiliki keanekaragaman ikan sekitar 1.650 jenis spesies ikan (Siombo, 2013).

Untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pelaku kejahatan illegal fishing tentunya harus dimulai dengan kriminalisasi yang menyatakan bahwa perbuatan pelaku sebagai suatu tindak pidana dan merupakan dasar untuk melakukan penyidikan dalam rangka penegakan hukum, norma dasar penegakan hukum pidana yang dianut dalam konsepsi hukum pidana Indonesia yakni berlandaskan KUHAP yang mensyaratkan suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

Upaya Indonesia untuk mengatasi kegiatan illegal fishing yang bersifat lintas batas adalah tidak mudah dan juga tidak cukup dilakukan oleh pemerintah Indonesia semata. Kerjasama secara bilateral antara Indonesia dengan negara-negara tetangga di kawasan, terutama antara Indonesia dengan negara-negara di mana para nelayannya sering memasuki wilayah perairan Indonesia secara ilegal, juga perlu dibangun dan dikembangkan. Melalui pengembangan kerja sama secara bilateral antara Indonesia dengan negara-negara tetangga di kawasan, kegiatan illegal fishing yang bersifat lintas batas ini diharapkan dapat tertangani dengan baik.

Diantara beberapa permasalahan yang terkait dengan kelautan yaitu praktik illegal fishing oleh kapal ikan asing adalah yang terbanyak merugikan negara. Bentuk praktik illegal fishing di perairan Indonesia antara lain berupa: 1) Penangkapan ikan tanpa izin; 2) Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu; 3) Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang; 4) Penangkapan jenis (spesies) ikan yang dilarang atau tidak sesuai dengan izin.

Penegakan hukum secara represif menempatkan Polisi Republik Indonesia sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana dalam penanganan tindak pidana illegal fishing pada hakikatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan (Hatrik, 1996). adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem peradilan Pidana.

Kegiatan illegal fishing masih saja terjadi di perairan Indonesia, meskipun berbagai upaya untuk mengatasinya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan ilegal yang bersifat lintas batas ini tidak semata-mata menjadi persoalan Indonesia, tetapi juga menjadi persoalan antarnegara mengingat para pelaku dan kegiatannya bersifat lintas negara, dan oleh karena itu pula, penanganannya pun harus dilakukan secara lintas negara terutama melalui kerja sama bilateral dengan negara-negara tetangga di kawasan yang para nelayan sering memasuki wilayah perairan Indonesia secara ilegal.

Illegal fishing telah menjadi perhatian dunia karena kegiatan ilegal ini telah berlangsung di berbagai kawasan dan dianggap dapat mengancam keberadaan dan kelestarian sumber daya perikanan laut global jika tidak ditangani secara serius oleh masyarakat internasional (Mauna, 2001). Dalam studi hubungan internasional, illegal fishing dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk transnational crime, karena dalam kegiatan ilegal tersebut terkandung beberapa aspek sebagaimana tercakup dalam pengertian transnational crime (Kurnia, 2008). Dalam studi hubungan internasional, transnational crime dikategorikan sebagai bagian dari masalah-masalah keamanan non- tradisional (Berdal & Serrano, 2002).

Transnational crime itu sendiri sering diartikan sebagai suatu bentuk kejahatan lintas batas yang mencakup empat aspek Jemadu (2008), yakni;1) Dilakukan di lebih dari satu negara, 2) Persiapan, perencanaan, pengarahan dan pengawasan dilakukan di negara lain, 3) Melibatkan organized criminal group di mana kejahatan dilakukan di lebih satu negara, 4) Berdampak serius pada negara lain.

Penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polisi Republik Indonesia terhadap terjadinya tindak pidana pencurian ikan adalah melakukan serangkaian tindakan Kepolisian yang salah satunya melakukan tindakan penyidikan terhadap pelaku dan merupakan bagian dari criminal justice system yang meliputi proses pra ad jukasi dan proses judikasi (Kusumaatmadja, 1997). Pada proses pra ad judikasi dilakukan setelah Polisi Republik Indonesia mengetahui terjadinya tindak pidana pencurian ikan, baik melalui patroli di wilayah perairan, dari hasil penyelidikan tindak pidana maupun laporan dari masyarakat, maka Polisi Republik Indonesia selaku penyidik melakukan proses lebih lanjut.

Penyidik dalam melakukan rangkaian kegiatan penyidikan terhadap tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan sebagai korporasi mengindikasikan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah merupakan perbuatan berlanjut (delictum continuatum/voortgezettehandeling) Muladi (2007), sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 64 KUH Pidana yang menyatakan bahwa ada perbuatan berlanjut apabila seseorang melakukan perbuatan, perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran, antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah penelitian ini yaitu; 1) Bagaimana Peranan Polisi Republik Indonesia dalam praktik pemberantasan illegal Fishing di wilayah perairan Indonesia? 2) Bagaimana Sanksi dan pertanggungjawaban pelaku dari negara tetangga yang melakukan praktek Ilegal Fishing di wilayah perairan Indonesia?

 

Metode Penelitian

Metode penelitian berperan penting untuk mendapatkan data yang akurat dan terpercaya. Metode penelitian ini juga digunakan sebagai alat atau cara untuk pedoman dalam melakukan penelitian. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder (Moleong, 2005). Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum primer,sekunder maupun tersier. Penelitian ini meliputi penelitian mengenai Peranan Polisi Republik Indonesia dalam praktik pemberantasan illegal Fishing di wilayah perairan Indonesia.

 

Hasil dan Pembahasan

A. Peranan Polisi Republik Indonesia Dalam Praktik Pemberantasan Illegal Fishing Di wilayah Perairan Indonesia

Perkembangan lingkungan strategis yang sangat dinamis mengakibatkan upaya penegakkan hukum kedaulatan dan keamanan di laut terutama di wilayah perbatasan dari waktu ke waktu senantiasa dihadapkan kepada tantangan yang cukup kompleks (Djalal, 2003). Terlebih lagi bila dikaitkan dengan konstelasi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan dua pertiga wilayahnya terdiri atas laut, posisinya yang strategis dan kandungan sumber daya laut yang potensial. Wilayah-wilayah perbatasan yang kurang diawasi terutama wilayah perairan menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya pencurian sumber daya alam seperti ikan illegal fishing.

Pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar merupakan salah satu program utama akselerasi transformasi Polisi Republik Indonesia dalam rangka meningkatkan pelayanan Polisi Republik Indonesia, memelihara keamanan dalam a) Kemampuan dasar Patroli. b)��� Kemampuan melakukan tindakan pertama di TKP. c) Mampu memberikan������ bantuan, perlindungan, arahan, kepada masyarakat yang memerlukan. d) Mampu membuat laporan dan pengaduan.

Kemampuan Navigasi; a) Mampu menggunakan Kompas. b) Mampu menjangka peta. c)��� Mampu olah gerak kapal. b) Mampu tehnik mesin.

3) Kemampuan perundang � undangan tentang perairan dan pelayaran.

4) Kemampuan dasar SAR: a) Mampu melaksanakan pencarian dan pertolongan serta penyelamatan terhadap korban musibah. b) Mampu melakukan perlindungan terhadap jiwa, harta benda milik masyarakat yang mengalami musibah.

5) Kemampuan berkomunikasi; a) Menggunakan HT. b) Menggunakan Semapore.

6) Kemampuan menghentikan dan melakukan pemeriksaan kapal.

7) Kemampuan deteksi.

8) Keterampilan: a) Memiliki keterampilan fisik (Cekatan). b) Memiliki keterampilan menggunakan perahu karet, c)���������� Memiliki keterampilan beladiri POLRI. d) Memiliki keterampilan mendayung, berenang, selam, e) Memiliki keterampilan pertolongan pertama ( P3K ).

Meskipun beberapa waktu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 4 Februari 2008, telah disusun kesepakatan kerjasama antara tiga instansi untuk menyusun Standard Operation Procedur (SOP) tindak pidana yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan, TNI AL, dan Polisi Republik Indonesia. Menjalin kerjasama secara regional pun dilakukan dengan beberapa negara diantaranya Australia, Brunei Darussalam, Cambodia, Filipina, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Singapura, Thailand, Timor Leste dan Vietnam. Kerugian yang dialami oleh Indonesia akibat pelanggaran perbatasan wilayah perairan sangatlah besar bahkan dari tahun ke tahun secara kuantitatif meningkat.

Dalam pelaksanaannya tindakan ini bergerak secara �bersama- sama� karena tidak hanya kapal penangkap ikan yang bergerak tetapi ada kapal lain yang membantu secara logistik untuk operasionalnya. Sehingga ada beberapa bentuk kapal yang dilarang diantaranya: a) kapal ikan baik dari dalam maupun luar negeri yang tidak terdaftar. b) kapal ikan dengan alat tangkap yang dilarang, seperti trawl, sianida, tau bom. c) kapal ikan yang menjual hasil tangkapnya di laut.

UU ini telah memiliki sensitivitasnya terhadap lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 serta ketentuan pidananya dalam Bab XV Pasal 84. 91 Selain itu subyeknya sudah mencakup pemilik kapal dan perusahaan. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi Republik Indonesia terhadap terjadinya tindak pidana pencurian ikan adalah melakukan serangkaian tindakan Kepolisian yang salah satunya melakukan tindakan penyidikan terhadap pelaku dan merupakan bagian dari criminal justice system yang meliputi proses pra ad jukasi dan proses judikasi.

Pada proses pra ajudikasi dilakukan setelah Polri mengetahui terjadinya tindak pidana pencurian ikan, baik melalui patroli di wilayah perairan, dari hasil penyelidikan tindak pidana ataupun laporan dari masyarakat, maka Polri selaku penyidik melakukan proses lebih lanjut. Penyidik dalam melakukan rangkaian kegiatan penyidikan terhadap tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan sebagai korporasi mengindikasikan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah merupakan perbuatan berlanjut delictum continuatum voortgezette handeling, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 64 KUH Pidana yang menyatakan bahwa ada perbuatan berlanjut apabila seseorang melakukan perbuatan, perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran, antara perbuatan- perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut.

 

Studi kasus Aktivitas Nelayan Tiongkok di Perairan Indonesia

Kegiatan Illegal Fishing oleh nelayan Tiongkok di Laut Natuna Utara telah terjadi setidaknya sebanyak tiga kali pada pertengahan tahun 2016. Kasus pertama terjadi pada tanggal 19 Maret. Pada saat melakukan patroli Kapal Pengawas (KP) Hiu 11 mendeteksi adanya kegiatan penangkapan ikan oleh kapal asing di Laut Natuna Utara. Kapal tersebut kemudian terdeteksi sebagai kapal KM Kway Fey 10078 dengan bendera Tiongkok.

Kemudian KP Hiu 11 mendatangi lokasi target operasi (TO) dan meminta kapal KM Kway Fey 10078 untuk berhenti, namun permintaan tersebut diabaikan dan kapal berusaha untuk melarikan diri. Pihak KP Hiu 11 kemudian memberikan tembakan peringatan, namun KM Kway Fey 10078 tetap berusaha melarikan diri, pada akhirnya terjadi pengejaran antara KP Hiu 11 dan KM Kway Fey 10078 yang berujung pada tabrakan kedua kapal. Selanjutnya KP Hiu 11 melompat ke kapal tangkapan dan berhasil mengamankan delapan anak buah kapal (ABK).

Namun pada saat penggiringan KM Kway Fey 10078 oleh KP Hiu 11, muncul Kapal coast guard Tiongkok dan dengan sengaja menabrakkan kapalnya ke KM Kway Fey 10078 palnya ke KM Kway Fey 10078. KP Hiu 11 kemudian memutuskan untuk meninggalkan KM Kway Fey 10078 dikarenakan adanya kerusakan parah yang dialami setelah terjadi tabrakan oleh Kapal coast guard Tiongkok sehingga KM Kway Fey 10078 tidak dapat dibawa sebagai barang bukti. Pada akhirnya KP Hiu 11 hanya berhasil mengamankan anak buah kapal KM Kway Fey 10078 dan kemudian dibawa ke Pulau Tiga, Natuna untuk menjalani proses peradilan.

Kasus ketiga terjadi pada tanggal 17 Juni tahun 2016. Peristiwa diawali tepatnya pada pagi hari ketika pesawat udara milik Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) mendeteksi adanya 12 kontak mencurigakan di sekitar Laut Natuna Utara. TNI Angkatan Laut kemudian mendatangi lokasi dimana kapal-kapal tersebut terdeteksi dan Setelah menyadari kehadiran TNI Angkatan Laut, kapal-kapal tersebut berpencar untuk melarikan diri. Selanjutnya KRI Imam Bonjol-383 melakukan tindakan lain dengan menembak haluan salah satu kapal. Usai tembakan peringatan 11 kapal lolos dan pergi dari tempat kejadian dan satu kapal yang masih menebar jala yang tertangkap yaitu kapal dengan nama Yueyandong Yu 19038. Kapal Yueyandong Yu 19038diberhentikan dan ditangkap oleh kapal TNI Angkatan Laut pada pukul 09.55 WIB.34

Atas kejadian Illegal Fishing yang dilakukan oleh KM Kway Fey 10078 di Laut Natuna Utara Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti memanggil Duta Besar Tiongkok untuk menyampaikan protes dan meminta Tiongkok untuk mengklarifikasi beberapa hal atas kejadian pada tanggal 19 Maret 2016 oleh nelayan Tiongkok di Laut Natuna Utara. Selain itu melalui Kementerian Luar Negeri Indonesia, Menteri Retno Marsudi mengirimkan nota protes terhadap Tiongkok akibat kejadian masuknya kapal penangkap ikan (KIA) KM Kway Fey 10078 dan kapal coast guard Tiongkok di Laut Natuna Utara.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada tanggal 20 Maret 2016 memanggil kuasa usaha sementara Kedutaan Besar Tiongkok Sun Wede di Jakarta dan sekaligus menekankan tiga kesalahan yang dilakukan oleh kapal coast guard Tiongkok. Dalam nota protesnya Indonesia menyatakan tiga argumen terkait kegiatan Illegal Fishing oleh nelayan Tiongkok di Laut Natuna Utara. Pertama, kapal nelayan dan kapal coast guard Tiongkok telah melanggar hak berdaulat Indonesia di wilayah Natuna baik dalam aturan nasional maupun internasional.

Kedua, kapal patroli Tiongkok telah mengintervensi penegakan hukum yang dilakukan oleh Indonesia terhadap kapal-kapal nelayan yang melakukan kegiatan Illegal Fishing. Ketiga, kapal coast guard Tiongkok telah melanggar Laut Teritorial Indonesia. Pada kasus KM Kway Fey 10078, kapal coast guard Tiongkok dengan sengaja menabrakkan kapalnya ke KM Kway Fey 10078 dengan tujuan untuk menggagalkan upaya penangkapan oleh kapal patroli Indonesia, pengejaran tersebut terjadi hingga memasuki wilayah laut teritorial Indonesia.

Respon Tiongkok dalam kasus Illegal Fishing oleh nelayannya di Laut Natuna Utara ini menarik dikarenakan sejak klaim Tiongkok atas wilayah laut Indonesia di utara Kepulauan Natuna melalui peta ninedash lines pada tahun 1993, Tiongkok menunjukkan sikap yang berbeda dalam kasus Illegal Fishing di Laut Natuna Utara pada pertengahan tahun 2016. Jika pada sebelumnya nota protes yang dikirim Indonesia tidak di respon, pada kali ini Pemerintah Tiongkok membalas nota protes tersebut. Laut Natuna Utara sebagai bagian dari ZEE dan Landas Kontinen Indonesia merupakan yurisdiksi eksklusif dimana Indonesia memiliki hak berdaulat dan tiada seorangpun yang dapat melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi di yurisdiksi tersebut tanpa persetujuan dari Indonesia.

Berdasarkan ketiga kasus Illegal Fishing yang dilakukan oleh nelayan Tiongkok di Laut Natuna Utara telah melanggar kedua pasal diataskarena pada saat dilakukan investigasi oleh pihak berwenang telah terbukti bahwa ketiga kapal tersebut melakukan penangkapan ikan tanpa izin atau persetujuan Negara Republik Indonesia.

Dalam argumennya terkait Illegal Fishing yang dilakukan oleh nelayan Tiongkok di Laut Natuna Utara, Tiongkok menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari Traditional Fishing Grounds. Selain itu, adanya intervensi oleh Kapal coast guard Tiongkok pada insiden Illegal Fishing di Laut Natuna Utara memaksa Indonesia untuk memberikan respon terutama setelah adanya putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang menyatakan bahwa klaim Tiongkok atas seluruh bagian dari Laut Cina Selatan tidak berdasar dan tidak dapat diterima.

Kegiatan Illegal Fishing yang dilakukan oleh nelayan Tiongkok yang dikawal oleh Kapal coast guard Tiongkok tidak hanya mengancam keamanan sumber daya alam Indonesia namun juga mengancam keamanan perairan Natuna sebagai bagian terluar dari wilayah Indonesia. Berdasarkan alasan-alasan tersebut Indonesia mengambil langkah untuk meningkatkan keamanan di wilayah Natuna terutama di Laut Natuna Utara.

 

B. Sanksi Dan Pertanggungjawaban Pelaku Dari Negara Tetangga Yang Melakukan Praktek Ilegal Fishing

�� Wilayah Perairan Indonesia Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang - Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Yang memiliki sanksi pidana denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing. Ancaman hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku yang melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu berupSIUP, SIPI, SIKPI.

Pidana denda yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang�Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi paling rendah atau minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera kepada pelaku. Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi Korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama kepada tindak pidana pembiaran.

Subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana Perikanan secara tersurat hanya dapat diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan penangkapan ikan secara ilegal maupun kepada kapal ikan yang yang melakukan transhipment secara ilegal. Ketentuan tentang pidana perikanan itu belum menyentuh pelaku lain termasuk pelaku intelektual yang terkait dengan Illegal Fishing secara keseluruhan seperti Korporasi, Pejabat Penyelenggara Negara, Pegawai Negeri Sipil, TNI/POLRI, dan Pemilik Kapal.

Barang bukti berupa kapal perikanan, ikan dan dokumen� dokumen kapal dalam tindak pidana perikanan khususnya ikan dalam proses penyitaan sebagai barang bukti sangat perlu diperhatikan dimana barang bukti tersebut memiliki sifat yang cepat membusuk sehingga dalam proses penyitaan sebagai barang bukti harus dilakukan secara baik yaitu setelah barang bukti tersebut disita selanjutnya segera dilelang dengan persetujuan Ketua Pengadilan kemudian uang hasil lelang tersebut digunakan sebagai barang bukti di Pengadilan.Perizinan Kapal Asing Yang Memasuki Perairan Indonesia

Tindakan kapal nelayan asing yang memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa ijin serta mengeksploitasi kekayaan alam di dalamnya tentu melanggar kedaulatan negara Indonesia. Untuk itu harus ada penegakan hukum yang tegas berupa penangkapan nelayan asing beserta kapalnya untuk diproses secara hukum. Tindakan penangkapan terhadap kapal nelayan asing dapat dibenarkan apabila sudah dipenuhinya bukti- bukti bahwa kapal nelayan tersebut melakukan Illegal Fishing.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut LaksamanaPertama TNI Manahan Simorangkir mengatakan, bahwa bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan asing adalah bukti yang menduga adanya tindak pidana di bidang perikananoleh kapal nelayan asing. Pelanggaran itu mencakup tidak memiliki surat izin usaha penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan di wilayah perairan Indonesia.�

Selain penangkapan nelayan asing yang melakukan illegal fishing dilakukan juga penenggelaman kapal asing yang tertangkap dengan cara diledakan. Hal ini dilakukan agar menimbulkan efek jera kepada pelaku illegal fishing dan untu memperlihatkan pada dunia bahwa Indonesia tegas dalam pemberantasan illegal fishing.

Adapun dasar hukum izin penggunaan kapal asing sebagai berikut: a) Undang�Undang Nomor 17 Tahun 2008 tahun Pelayaran; b) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan; c) Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010;

Di Dalam melengkapi izin tersebut, harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: a) Surat permohonan Perusahaan. b) Rencana kerja yang dilengkapi dengan jadwal dan wilayah kerja kegiatan yang ditandai dengan koordinat geografis; c)�������� Memiliki charter party antara perusahaan angkutan laut nasional dengan pemilik kapal asing dan kontrak kerja dan / atau Letter of Intent (LOI) dari pemberi kerja;

1) Pertanggungjawaban Pelaku Illegal Fishing

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif indonesia itu pada dasarnya mengarah pada pemahaman pemidanaan kepada para pelaku tindak pidana pelanggar hukum. Sehingga dapat dikenakan sanksi alternatif yang dapat ditawarkan terhadap korporasi sebagai pelaku dalam kasus illegal fishing.

 

2) Denda Pidana

Penggantian keuntungan materil yang diperoleh secara tidak sengaja. Ganti rugi untuk kerugian materil dari pelanggaran penangkapan ikan yang melanggar hukum ke negara-negara yang dirugikan. Ganti semua atau sebagian dari biaya pengecekan dan perbaikan segala kerugian yang ditimbulkan.

 

3) Sanksi Tambahan

Larangan menyelesaikan urusan atau aktivitas yang menyebabkan berlanjutnya atau terulangnya pelanggaran penangkapan ikan yang melanggar hukum, sehingga untuk memberikan dampak jera bagi pelakunya maka penting adanya suatu standar yang melarang pelaku penangkapan ikan yang melanggar hukum yang telah selesai melaksanakan hukumannya agar tidak kembali melakukan kesalahan serupa sehingga menyebabkan kelanjutan dari kesalahan dan menyebabkan hasil yang merugikan dengan sangat besar.

Menghentikan aktivitas (untuk sementara waktu atau bahkan selama-lamanya), pencabutan izin beraktivitas usaha di bidang bisnis, khususnya di pelanggaran penangkapan ikan yang melanggar hukum termasuk perusahaan, jelas membuat kerugian besar bagi perekonomian negara juga. karena termasuk merusak iklim laut.

4) Penindakan Dan Penghukuman Terhadap Pelaku Kapal Negara Asing Yang Memasuki Perairan Indonesia

Keterkaitan antara illegal fishing dan Transnational Organized Crime (TOC), pada Sidang Umum PBB yang ke-70, Bagian IV dari Resolusi A/RES/ 70/75 Tahun 2015 (para.87) menyatakan,: �Juga memperhatikan adanya kemungkinan keterkaitan antara kejahatan transnasional terorganisir dan penangkapan ikan secara ilegal di beberapa wilayah di dunia, dan mendukung negara-negara, termasuk melalui forum dan organisasi internasional yang sesuai, untuk mempelajari penyebab, metode dan faktor pendukung terjadinya penangkapan ikan secara illegal, mengenai kejahatan transnasional terorganisir dalam bidang industri perikanan, dengan memperhatikan perbedaan rezim hukum dan ganti kerugian berdasarkan hukum internasional yang berlaku untuk penangkapan ikan secara ilegal dan kejahatan transnasional terorganisir�.

Dalam kasus illegal fishing ini sudah memenuhi unsur-unsur di atas karena kejahatan dilakukan oleh beberapa warga negara, kejahatan terjadi di suatu wilayah laut negara Indonesia yang menyebabkan kerugian hukum karena menangkap ikan secara overfishing tanpa dokumen yang sah tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Kejahatan transnasional ini dilakukan oleh kelompok yang terorganisir, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 huruf a yang menyebutkan bahwa kejahatan terorganisir adalah suatu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 orang atau lebih, dibentuk untuk periode waktu tertentu dan bertindak dengan melakukan tindak pidana serius atau kejahatan dengan tujuan mendapatkan keuntungan keuangan atau keuntungan materiil lainnya.

Tindak Pidana serius sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 huruf b adalah kejahatan yang diancam hukuman pidana penjara sekurang-kurangnya 4 tahun atau hukuman yang lebih berat. Tindak pidana ini dapat diposisikan pada pembentuk atau ketua organisasi yang telah merencanakan dan mengatur langkah untuk melakukan illegal fishing yang dilakukan oleh anggota organisasi yang turun ke lapangan atau bertindak melakukan penangkapan di laut.

Para pelaku yang terjun langsung di lapangan, yaitu Nahkoda dan ABK juga terlibat melakukan tindak pidana karena dianggap telah ikut serta dalam melakukan tindak pidana dan dianggap mendapatkan keuntungan dari hasil tindak pidana penangkapan ikan secara ilegal, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 6 yang mengatur tentang keikutsertaan dalam kelompok kejahatan terorganisir.

Penjatuhan hukuman pada illegal fishing belum menyentuh pada pelaku yang sesungguhnya yang merupakan suatu organisasi. Padahal dengan banyaknya kerugian negara yang timbul akibat illegal fishing dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya pada pelaku utamanya. Karena sejauh ini proses hukum yang mengadili para nahkoda hanya didenda dengan nominal yang kecil tidak dapat mengembalikan kerugian negara. Adapun nominal yang besar tidak dapat dibayar karena nahkoda tidak memiliki uang untuk membayar dan hukuman ditambahkan pada kurungan.

Dalam hal melakukan penyidikan pada organisasi sebagai pelaku utama illegal fishing bukan merupakan suatu hal yang mudah, karena pasti dilindungi oleh pemerintahan negaranya, namun apabila dasar hukum negara Indonesia telah tegas dan didukung dengan melakukan pendekatan multi-door antar Undang-Undang seperti dengan UU Perseroaan, UU ZEE, UU Perpajakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UNCLOS dan pihak-pihak yang berwenang dapat membantu untuk mengungkap organisasi yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya sehingga kerugian negara dapat tergantikan.

Karena tindak pemerintah untuk menenggelamkan dan atau membakar kapal asing saat ini hanya merupakan langkah tegas untuk memberantas illegal fishing, tetapi masalah kerugiannya belum dapat diatasi.Tindakan dan penghukuman illegal fishing yang dilakukan pemerintah melalui Satgas hanya berupa tindakan penenggelaman dan/atau pembakaran kapal, adapun hukuman hanya dijatuhkan kepada nahkoda dengan kapal belum menyentuh organisasi sebagai pelaku utamanya.

Tindak pidana transnasional ini, membutuhkan penindakan yang tidak cukup hanya ditelaah dari konteks hukum saja, melainkan permasalahan kerugian negara yang tidak kembali perlu ditinjau melalui kacamata ekonomi. Kasus illegal fishing yang menimbulkan kerugian pada negara selain permasalahan hukum juga termasuk dalam masalah ekonomi karena akibat tindakan penangkapan ikan yang bertentangan dengan hukum berdampak pada kerugian keuangan negara karena ikan yang bernilai ekonomi untuk diperdagangkan malah dicuri.

Pendekatan analisis ekonomi mikro tentang hukum pidana berasal dari teori ekonomi mikro yaitu, �the study of how scarce resources are allocated among competing ends� (Studi mengenai bagaimana sumber daya yang terbatas dialokasikan antara berbagai hasil akhir yang bersaing satu sama lain). Teori ekonomi mikro menawarkan suatu teori umum tentang bagaimana setiap orang/pemimpin/kelompok orang mengambil keputusan.

Pidana denda yang dijatuhkan terhadap Nahkoda kapal banyak yang tidak sesuai dengan jumlah kerugian negara, hal ini tidak akan memberikan efek jera dan justru pelaku tidak akan merasa rugi, karena hasil tangkapan mereka lebih besar dari denda yang dijatuhkan kepadanya. Banyak modus operandi yang digunakan oleh pelaku agar tidak diketahui ketika melakukan penangkapan ikan, penyelidikan hanya dilakukan terhadap barang bukti untuk menjatuhkan hukuman.Secara yuridis kasus-kasus illegal fishing diadili berdasarkan pelanggaran- pelanggaran yang dilakukannya, kemudian baru dijatuhi hukuman.

Ketentuan penjatuhan hukuman dalam Undang-undang belum memberikan efek jera dan tidak dapat mengembalikan kerugian negara. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI AL, Kejaksaan perlu mengeluarkan keputusan berdasarkan sudut pandang ekonomi. Karena melalui teori ekonomi mikro ini yang merupakan teori mengenai aspek tingkah laku manusia didasarkan pada tiga prinsip yaitu; 1) Optimalisasi (maximization dan minimization); 2) Keseimbangan (equilibrium); 3) Efisiensi (efficiency).

Perlu dilakukan pembaharuan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 khususnya terkait dengan hukuman baik penjara maupun denda. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan kepada pelaku utama baik berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, untuk dimintai pertanggungjawaban pidananya. Dalam menindak dan menghukum pelaku illegal fishing yang merugikan negara perlu dilakukan pendekatan ekonomi mikro dalam hukum pidana, teori ekonomi mikro dapat mengatasi dan menyelesaikan hukuman dengan beratnya pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena terdiri dari prinsip optimalisasi (maximization dan minimization), keseimbangan (equilibrium) dan efisiensi (efficiency).

 

Kesimpulan

Bahwa Penegakan hukum secara represif menempatkan Polisi Republik Indonesia sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana dalam penanganan tindak pidana illegal fishing pada hakikatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights).

Adapun dasar yang memberikan kewenangan bagi Polisi Republik Indonesia dalam melakukan penyidikan atas tindak pidana adalah Hukum Acara Pidana khusus tentang penyidik adalah Polisi Republik Indonesia. Secara garis penyidikan terhadap kasus tindak pidana pencurian ikan dilakukan berdasarkan dua sumber yaitu: pertama, dari laporan terjadinya pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, berdasarkan laporan tersebut Polisi Republik Indonesia c.q penyidik melakukan penelitian mendalam lebih lanjut, karena laporan tersebut bersifat informasi yang harus dilakukan penelitian atau penyelidikan akan kebenarannya (berbeda dalam hal tertangkap tangan melalui kegiatan patroli di wilayah perairan Indonesia). Setelah dilakukan penelitian dan dirasa dapat ditingkatkan ke dalam penyidikan maka laporan tersebut dituangkan dalam laporan Polisi Republik Indonesia model A, yaitu laporan polisi yang dibuat oleh anggota polisi, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan alat bukti.

Bahwa Sanksi dengan menenggelamkan kapal yang tidak memiliki dokumen resmi atau melanggar ketentuan hukum RI didasarkan pada ketentuan Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan). Pasal 69 ayat (1) Undang- Undang Perikanan menentukan bahwa kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia.

Sedangkan Pasal 69 ayat (4) berbunyi, dalam melaksanakan fungsi sebagaimana ayat (1), penyidik dan atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Selanjutnya tindakan pemusnahan merujuk pada ketentuan Pasal 76 Huruf A Undang-Undang Perikanan, bahwa benda atau alat yang digunakan atau dihasilkan dari pidana perikanan dapat dirampas atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan pengadilan.

 

BIBLIOGRAFI

 

Barama, Michael. (2016). Menuju Efektivitas UU No. 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan dalam Pelaksanaannya. Jurnal Hukum UNSRAT, 22(6).

 

Berdal, Mats R., & Serrano, M�nica. (2002). Transnational organized crime and international security: business as usual? Lynne Rienner Publishers.

 

dan Muladi, Barda Nawawi. (2007). Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni, Bandung.

 

Djalal, Hasjim. (2003). Mengelola Potensi Laut Indonesia. Jakarta: Gramedia.

 

Hatrik, Hamzah. (1996). Asas pertanggung jawaban Korporasi dalam hukum pidana Indonesia (Strict Liability dan vicarious liability).

 

Jemadu, Aleksius. (2008). Politik global dalam teori & praktik. Graha Ilmu.

 

Kurnia, Ida. (2008). Penerapan UNCLOS 1982 dalam Ketentuan Perundang-Undangan Nasional, Khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Jurnal Hukum Prioris, 2(1), 42�49.

 

Kusumaatmadja, Mochtar. (1997). Pengantar Hukum Internasional Buku I. Binacipta, Bandung.

 

Maryani, Halimatul, & Nasution, Adawiyah. (2019). Rekonsepsi Model Pemberantasan Illegal Fishing Di Perairan Indonesia (Analisis Perspektif Hukum Internasional). Jurnal Legislasi Indonesia, 16(3), 379�391.

 

Mauna, Boer. (2001). Hukum Internasional: Pengertian Peranana dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Alumni.

 

Moleong, Lexy J. (2005). metodologi penelitian kualitatif, Bandung: Remaja. Rosdakarya. T. Hani.

 

Rohingati, Sulasi. (2014). Penenggelaman kapal ikan asing: upaya penegakan hukum laut Indonesia. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data Dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.

 

Sasminto, Wigit Adi. (2020). Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Ilegal Fishing) di Indonesia.

 

Siombo, D. R. Marhaeni Ria. (2013). Hukum perikanan nasional dan internasional. Gramedia Pustaka Utama.

 

Copyright holder:

Jepry Robin, Parasian Simanungkalit, Anwar Sadat (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: