Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No.
12, December 2023
PENCATATAN PERKAWINAN
BEDA AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA
Muhammad
Fachrisyah Pratama1*, Mia
Hadiati2
1* Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara,
Indonesia
2
Universitas Tarumanagara, Indonesia
Abstrak
Pencatatan
perkawinan memiliki peran sentral dalam sistem hukum dan administrasi pemerintahan
untuk merekam dan melindungi hak-hak perorangan serta mengelola status
pernikahan dalam suatu masyarakat. Penelitian ini menggali signifikansi dan
dampak dari pencatatan perkawinan dalam konteks hukum perdata dan administrasi
publik. Melalui analisis peraturan pernikahan, prosedur pencatatan, dan dampak
hukumnya, penelitian ini mengidentifikasi peran pencatatan perkawinan dalam
mengakui hak dan kewajiban suami istri, serta melindungi kepentingan anak.
Penelitian juga mengeksplorasi evolusi pencatatan perkawinan dalam menghadapi
perubahan sosial dan teknologi, serta implikasinya terhadap aksesibilitas dan
keamanan data. Hasil penelitian menyoroti pentingnya efisiensi dan transparansi
dalam proses pencatatan perkawinan untuk memastikan perlindungan hak-hak
individu dan memberikan dasar yang kuat bagi penegakan hukum. Pemahaman lebih
lanjut tentang peran pencatatan perkawinan ini dapat memberikan landasan bagi
perbaikan sistem administrasi perkawinan dan mendukung pembaharuan kebijakan
yang mendukung keadilan dan keamanan hukum.
Kata Kunci:
Perkawinan; Pencatatan; Beda agama
Abstract:
Marriage registration plays a central role in the legal system and
government administration to record and protect individual rights while
managing marital status within a society. This research delves into the
significance and impact of marriage registration in the context of civil law
and public administration. Through the analysis of marriage regulations,
registration procedures, and their legal implications, this study identifies
the role of marriage registration in acknowledging the rights and obligations
of spouses, as well as protecting the interests of children. The research also
explores the evolution of marriage registration in response to social and technological
changes, along with its implications for accessibility and data security. The
research findings highlight the importance of efficiency and transparency in
the marriage registration process to ensure the protection of individual rights
and provide a strong foundation for law enforcement. Further understanding of
the role of marriage registration can serve as a basis for improving marriage
administration systems and supporting policy reforms that promote justice and
legal security.
Keywords: Marriage; Registration; Interfaith
Masyarakat terdiri
dari beberapa orang, baik individu (perseorangan) maupun kelompok orang yang
bersatu untuk maksud atau tujuan yang berbeda. Agar hubungan dapat berjalan
dengan baik diperlukan aturan-aturan yang menjadi landasan bagi orang-orang
untuk mempertahankan kepentingannya sendiri dan menghormati kepentingan hak
orang lain sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh aturan hukum.
perkawinan juga memiliki aturan norma hukum baik itu hukum perundang-undangan,
hukum norma adat, dan hukum sosial.
Perkawinan adalah
salah satu institusi sosial yang sangat penting dalam masyarakat, karena
mempengaruhi struktur sosial, hubungan interpersonal, serta nilai-nilai dan
norma yang berlaku. Perkawinan adalah ikatan antara dua individu yang
berkomitmen untuk membangun kehidupan bersama, dan sering kali melibatkan
aspek-aspek agama dan budaya yang kuat dalam pengambilan keputusan tersebut.
Salah satu bentuk perkawinan yang menarik perhatian adalah perkawinan beda
agama, yaitu perkawinan antara dua individu yang memiliki agama atau
kepercayaan yang berbeda.
Perkawinan beda
agama telah menjadi topik yang semakin relevan dan menarik dalam berbagai
masyarakat di seluruh dunia. Hal ini karena perkawinan beda agama sering kali
dihadapkan pada berbagai tantangan dan perbedaan, baik dalam hal keyakinan,
praktik keagamaan, maupun nilai-nilai budaya. Meskipun perkawinan beda agama
telah ada dalam sejarah manusia, perkawinan semacam ini masih memunculkan
berbagai pertanyaan dan isu-isu kompleks yang perlu dipahami dan diteliti lebih
dalam.
Di Indonesia, yang
dikenal sebagai negara dengan beragam budaya dan agama, perkawinan beda agama
juga menjadi fenomena yang signifikan. Meskipun pemerintah telah mengatur
beberapa aspek terkait dengan perkawinan beda agama melalui peraturan hukum,
tetapi masih banyak isu-isu yang memerlukan pemahaman lebih lanjut. Misalnya,
bagaimana dampak perkawinan beda agama terhadap hubungan keluarga, bagaimana
individu dalam perkawinan beda agama menjalani praktik keagamaan mereka, dan
bagaimana masyarakat sekitar merespons perkawinan semacam ini.
Perkawinan beda
agama di Indonesia memiliki beberapa aspek yang perlu diperhatikan, karena
Indonesia memiliki keragaman agama dan sistem hukum yang mengatur perkawinan.
Persyaratan hukum di Indonesia yaitu undang-undang perkawinan mengharuskan
pasangan yang ingin kawin untuk memiliki agama yang sama agar dapat melakukan perkawinan.
Perkawinan beda agama di Indonesia dapat dilakukan apabila salah satu pasangan
dari agama yang satu ke agama pasangan lainnya. Apabila seorang muslim ingin
menikahi seorang kristen, maka salah satu pasangan tersebut harus pindah ke
agama pasangannya sebelum perkawinan dapat dilakukan dan diakui secara hukum.
Keluarga,
masyarakat budaya, dan norma sosial di Indonesia memiliki pengaruh yang kuat
terhadap perkawinan beda agama. Beberapa keluarga atau masyarakat mungkin tidak
dapat menerima perkawinan beda agama karena adanya sebuah pertimbangan terkait
agama, tradisi, atau kebiasaan yang sudah dilakukan oleh masyarakat tersebut.
Pasangan yang hendak melakukan perkawinan beda agama perlu mempertimbangkan
reaksi keluarga dan masyarakat sekitar dan mencari cara untuk mengatasi
tantangan tersebut agar perkawinan mereka dapat terealisasikan.
Meskipun adanya
beberapa tantangan yang terkait dalam sebuah perkawinan beda agama di
Indonesia, ada perlindungan hukum bagi pasangan yang hendak melakukan
perkawinan. Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban pasangan serta
hak-hak anak yang lahir dari perkawinan. Perkawinan beda agama ini dapat
berhasil dengan adanya dukungan, komunikasi, dan pemahaman yang kuat antara
pasangan dan keluarga masing-masing. Dalam beberapa kasus pasangan yang hendak
melakukan perkawinan beda agama mungkin juga membutuhkan bantuan dan nasihat
dari seorang ahli hukum atau seorang konselor untuk membantu mereka untuk
melakukan perkawinan beda agama yang mereka akan jalani.� Regulasi mengenai perkawinan antara individu
dari berbagai agama ini sangat beragam di beberapa negara. Ada negara-negara
yang mengizinkan perkawinan beda agama, sementara ada negara lain yang
mengaplikasikan larangan terhadap jenis perkawinan ini.
Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa �Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.� Sementara, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyebutkan bahwa
�Perkawinan dilarang jika aturan agama melarang serta peraturan lain yang
berlaku�. Sementara
Menurut Pasal 35 UU Administrasi kependudukan, perkawinan yang ditetapkan
pengadilan wajib dilaporkan. Dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 35 huruf a UU
Administrasi kependudukan, �Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah
perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama�. Dalam ranah hukum
positif, penetapan sah atau tidaknya suatu perkawinan diserahkan kepada
norma-norma agama yang dianut masing-masing individu. Prinsip ini diatur secara
tegas dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) dan (2) dari undang-undang
tersebut menegaskan bahwa suatu perkawinan dianggap sah jika dilaksanakan
sesuai dengan norma hukum agama yang dianut oleh pihak yang bersangkutan dan
sesuai dengan keyakinannya. Selanjutnya, setiap perkawinan harus dicatat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur
dalam ayat (2) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Lebih lanjut,
ketentuan ini dijelaskan dengan rinci dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang
tersebut, yang menegaskan bahwa "perkawinan tidak diizinkan antara dua
individu yang memiliki hubungan yang dilarang menurut norma agama yang dianut
atau peraturan yang berlaku".
Perkawinan yang
diakui sah harus dicatatkan atau diarsipkan sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal tersebut menyatakan bahwa �Setiap perkawinan diwajibkan dicatat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku�. Meskipun tindakan pencatatan
ini tidak memastikan keabsahan suatu perkawinan, namun berfungsi sebagai bukti
administratif yang menegaskan keberadaan dan terjadinya peristiwa tersebut.
Prosedur pencatatan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975, di mana untuk individu yang beragama Islam, pencatatan
dilakukan oleh Pegawai Pencatatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Talak, dan Rujuk. Sementara itu,
bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatan dilaksanakan oleh Pegawai
Pencatatan Perkawinan di Kantor Catatan Sipil.
Kenyataannya,
perkawinan beda agama masih sering terjadi, di mana banyak pasangan dengan
keyakinan agama yang berbeda memutuskan untuk menikah dan tetap setia pada
agama masing-masing. Situasi ini dapat menimbulkan kesulitan dalam proses
pengesahan dan pencatatan pernikahan. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan
peraturan di Indonesia terkait undang-undang pernikahan dan pencatatan
pernikahan antaragama. Sebagai contoh, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
mengeluarkan keputusan pada tanggal 18 Februari 2021 dengan Nomor
131/Pdt.P/2021/PN Jkt.Sel, di mana perkawinan beda agama telah dijalankan
melalui dua prosesi, mengikuti ritus Katolik dan syariat Islam. Setelah
melaksanakan upacara perkawinan sesuai dengan keyakinan agama mereka
masing-masing, para pemohon mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan
persetujuan agar perkawinan mereka dicatatkan di kantor catatan sipil.
Penelitian ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pencatatan perkawinan
beda agama di Indonesia. Penelitian ini akan mencoba untuk menjawab beberapa
rumusan masalah yang berhubungan dengan pencatatan perkawinan beda agama,
sehingga dapat memberikan wawasan yang lebih baik tentang kompleksitas dan
dinamika hubungan dalam pencatatan perkawinan beda agama.
Metode
Penelitian
Metode penelitian
adalah sebuah metode ilmiah untuk memperoleh informasi guna mencari suatu
tujuan dan kegunaan tertentu. Tujuan dari metode ilmiah adalah agar kegiatan
penelitian didasarkan pada ciri-ciri ilmiah, yaitu secara rasional, sistematis
dan empiris. Metode penelitian ini dibutuhkan oleh penulis agar penulis
dapat mengindentifikasikan dan menganalisis terkait permasalahan yang sedang
diteliti dan memecahkan hukum yang ada. Hukum yang ada disini yaitu adalah
bagaimana keabsahan peernikahan beda agama didalam perspektif hukum di
Indonesia.
Penelitian ini
mengadopsi metode penelitian normatif. Peter Mahmud berpendapat didalam bukunya
yang berjudul Penelitian Hukum, Penelitian hukum normatif bertujuan untuk
menemukan konsistensi dalam peraturan hukum, yaitu apakah terdapat aturan hukum
yang sejalan dengan norma hukum, norma (perintah atau larangan) yang sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum, dan apakah tindakan individu sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum atau norma hukum. Penelitian ini menggunakan teori-teori
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain itu,
penulis juga menganalisis berbagai dokumen dan publikasi hukum, termasuk
buku-buku dan jurnal-jurnal hukum yang relevan dengan permasalahan hukum yang
diteliti. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengevaluasi kesesuaian antara
fakta hukum dengan peraturan perundang-undangan dari perspektif teoritis dan
praktis.
Spesifikasi
penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan tujuan untuk memberikan
gambaran menyeluruh, mengungkap fakta-fakta hukum, serta menganalisis secara
terstruktur peraturan nasional dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
keterlibatan masyarakat dalam melakukan sebuah perkawinan beda agama. Jenis
bahan hukum dalam penelitian ini ada 3 (tiga) jenis yaitu primer, sekunder, dan
bahan non hukum.
Penyusunan
penelitian ini, peneliti melibatkan metode pengumpulan data yang mencakup
kajian pustaka terhadap beragam sumber penelitian dengan melakukan studi
kepustakaan (library research), termasuk sumber primer, sekunder, dan
non hukum.
Menurut Peter
Mahmud Marzuki, dibukumya yang berjudul penelitian hukum, pendekatan yang dapat
digunakaan dalam penelitian hukum ada 5 (lima) yaitu pendekatan undang-undang (statue
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach). Berdasarkan dari semua
pendekatan, penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang. Pendekatan
undang-undang ini dilakukan berdasarkan legalisasi dan regulasi yang
diberlakukan di Indonesia,
Penelitian ini
menggunakan deskriptif kualitatif. Terdapat beberapa teknik analisis yang dapat
digunakan untuk menganalisis bahan penelitian, pemilihan teknik analisis yang
tepat tergantung pada jenis data yang digunakan oleh penulis seperti, data yang
dikumpulkan, tujuan penelitian, dan pertanyaan penelitian yang ingin dijawab.
Data yang
diperoleh dari hasil penelitian ini disusun dan dianalisis secara kualitatif
guna mengkategorikan dan menyeleksi bahan-bahan yang didapatkan dari berbagai
sumber yang konkret sebagai objek penelitian. Selanjutnya materi dideskripsikan
secara deskriptif untuk memberikan gambaran yang jelas dan dapat dipahami dan
juga dapt diarahkan untuk menjawab permasalahan yang diteliti.
Hasil dan Pembahasan
Peraturan mengenai
perkawinan bagi warga Indonesia diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan. Undang-undang ini resmi diundangkan pada tanggal 2 Januari
1974 dan berlaku secara efektif mulai tanggal 11 Oktober 1975 melalui peraturan
pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 yang mengatur pelaksanaannya
Undang-undang perkawinan.
Undang-undang
tersebut telah secara resmi diberlakukan secara yuridis di Indonesia dan telah
diintegrasikan ke dalam hukum positif. Selain mengatur prinsip-prinsip dasar,
undang-undang perkawinan ini juga memuat prinsip-prinsip dan menjadi dasar
hukum perkawinan yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia.
Perkawinan menurut
pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang Wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah institusi sosial dan legal yang
umumnya diatur oleh Undang-undang dan norma budaya di suatu negara. Beberapa
elemen penting dalam definisi perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Ikatan
sah; perkawinan harus dilakukan sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku di
suatu negara atau yurisdiksi tertentu. Ini termasuk persyaratan usia,
persetujuan, ketidakterkaitan keluarga yang terlalu dekat, dan pemenuhan
dokumen-dokumen resmi yang diperlukan.
2. Antara
dua orang; perkawinan biasanya terjadi antara dua orang yang secara sukarela memilih
untuk menjadi pasangan hidup. Beberapa negara atau yurisdiksi mengakui
perkawinan sejalan dengan perkembangan hukum yang mengizinkan perkawinan antara
dua orang dari jenis kelamin yang sama.
3. Tujuan
membentuk keluarga; salah satu tujuan utama perkawinan adalah membentuk
keluarga, yang mencakup ikatan emosional, keuangan, dan tanggung jawab bersama
antara suami dan istri. Keluarga ini dapat melibatkan anak-anak yang lahir dari
pernikahan atau anak-anak yang diadopsi.
4. Melahirkan
keturunan; perkawinan juga secara tradisional dikaitkan dengan keinginan untuk
melahirkan keturunan dan memperluas keluarga. Namun, penting untuk diingat
bahwa tujuan ini tidak mutlak dan tidak semua pasangan menikah memiliki niat
atau kemampuan untuk memiliki anak.
Perkawinan yang
tidak tercatat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sering disebut
sebagai pernikahan sirri atau pernikahan dibawah tangan. Dalam konteks hukum,
perkawinan yang tidak tercatat sesuai dengan peraturan yang berlaku dianggap
tidak ada, sehingga akibatnya hak-hak hukum seperti yang dimiliki oleh istri,
anak-anak, dan keluarga istri lainnya tidak dapat ditegakkan terhadap suami.
Dalam hal ini seperti hak waris untuk seorang istri jika suami tersebut sudah
meninggal dunia.
����������� Penjelasan
diatas ada beberapa syarat sah mengenai perkawinan menurut Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974, yaitu:
1. Adanya
persetujuan dari kedua calon mempelai. Persyaratan perkawinan ini bertujuan
untuk mencegah perkawinan yang dipaksa di masyarakat kita. Kesepakatan ini juga
mencerminkan kesediaan masing-masing pasangan dalam ikatan perkawinan.
Seharusnya, perkawinan lebih banyak diberikan kepada keinginan pribadi
masing-masing untuk memilih sendiri siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya
dalam kehidupan berumah tangga.
2. Adanya
izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
3. Calon
mempelai pria sudah berusia 19 tahun dan usia calon wanita sudah berusia 16
tahun. Langkah ini dilakukan untuk menghindari perkawinan yang terlalu dini di
masyarakat dan untuk mengurangi tingkat perceraian. Jika calon pengantin belum
mencapai usia yang ditentukan, mereka dapat mengajukan permohonan dispensasi
perkawinan.
4. Calon
mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak memiliki hubungan keluarga yang
melarang perkawinan mereka.
Didalam perkawinan
ini, terdapat perkawinan beda agama yang menjadi polemik di Indonesia. Perkawinan
beda agama adalah ketika dua orang dengan keyakinan agama yang berbeda memilih
untuk menikah. Hal ini dapat terjadi antara dua individu yang memiliki keyakinan
agama yang berbeda, seperti seorang umat muslim yang menikah dengan seorang
umat kristen atau seorang umat hindu yang menikahi seorang yang memiliki
kepercayaan buddha. Perkawinan beda agama dapat didefinisikan berupa ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama maupun Negara
menyebabkan bersatunya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan
tata cara pelaksanaan sesuai hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan
membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan tuhan Yang Maha Esa.
Perkawinan beda
agama dapat berhasil dengan baik jika pasangan memiliki pemahaman yang kuat,
komunikasi yang terbuka, saling menghormati, dan kemauan untuk menghadapi
tantangan yang mungkin timbul. Penting bagi pasangan untuk berdiskusi secara
terbuka tentang perbedaan agama mereka sebelum menikah dan membangun fondasi
yang kokoh untuk kehidupan perkawinan mereka.
Pencatatan perkawinan
beda agama dapat melibatkan proses yang lebih kompleks dibandingkan dengan
perkawinan sejenis agama. Setiap negara memiliki peraturan yang berbeda terkait
dengan pencatatan perkawinan beda agama. Pencatatan
Perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap
peristiwa perkawinan ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon
suami dan calon istri.
A.
Pencatatan Perkawinan
Beda Agama dalam hukum positif di Indonesia
Pada tanggal 29 Desember 2006,
diterbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, yang mengatur prosedur dan pelaksanaan pencatatan peristiwa
penting atau pencatatan sipil yang dialami oleh setiap penduduk Republik
Indonesia. Cara dan pelaksanaan pencatatan peristiwa penting atau pencatatan
sipil tersebut mencakup langkah-langkah yang harus diikuti.
Pasal 8
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menegaskan bahwa Instansi Pelaksanaan
memiliki tanggung jawab untuk mencatat peristiwa perkawinan, perceraian, dan
rekonsiliasi bagi penduduk beragama Islam di tingkat kecamatan. Prosedur ini dilakukan oleh pegawai pencatat yang bekerja di Kantor Urusan
Agama (KUA) kecamatan.
Undang-Undang Administrasi
Kependudukan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, mengatur prosedur pencatatan
perkawinan. Beberapa poin penting terkait pencatatan perkawinan menurut
undang-undang tersebut antara lain:
1.
Pendaftaran Perkawinan; Setiap perkawinan yang dilangsungkan di
Indonesia wajib didaftarkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
setelah dilangsungkan.
2.
Tempat Pendaftaran; Pendaftaran perkawinan dilakukan di kantor catatan
sipil atau tempat pendaftaran perkawinan yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan.
3.
Persyaratan Pendaftaran; Para pihak yang akan menikah diharuskan
memberikan persyaratan yang ditetapkan, termasuk formulir pendaftaran
perkawinan, fotokopi KTP, akta kelahiran, dan dokumen pendukung lainnya.
4.
Pencatatan dan Pembuatan Akta Perkawinan; Pencatatan perkawinan
dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan yang ditunjuk oleh pejabat pencatat
perkawinan setempat. Setelah proses pendaftaran, akan dibuatkan akta perkawinan
yang menjadi bukti resmi peristiwa tersebut.
5.
Pencatatan Perkawinan Beda Agama; Jika perkawinan melibatkan pihak
dengan agama yang berbeda, harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
6.
Pemutakhiran Data Kependudukan; Informasi perkawinan yang dicatat akan
menjadi bagian dari data kependudukan dan akan dijadikan dasar untuk
pemutakhiran data penduduk secara keseluruhan.
Pencatatan perkawinan bagi warga negara Indonesia yang
melakukan perkawinan di luar negeri diatur oleh Undang-Undang Administrasi
Kependudukan, terutama dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Berikut adalah beberapa poin
terkait pencatatan perkawinan bagi warga negara Indonesia yang menikah di luar
negeri:
1.
Pendaftaran di Luar Negeri; Warga negara Indonesia yang menikah di luar
negeri disarankan untuk mendaftarkan perkawinan mereka di Kedutaan Besar atau
Konsulat Indonesia setempat. Pendaftaran ini akan membantu memastikan bahwa
perkawinan tersebut diakui oleh pemerintah Indonesia.
2.
Pengumpulan Dokumen; Calon suami dan calon istri harus menyediakan
dokumen-dokumen yang diperlukan, termasuk akta kelahiran, paspor, dan surat keterangan
dari kantor catatan sipil setempat di negara di mana perkawinan dilangsungkan.
3.
Pengesahan di Indonesia; Setelah pendaftaran di luar negeri, para pihak
perlu mengesahkan perkawinan mereka di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan di
Kantor Catatan Sipil di Indonesia, dan mereka akan diberikan bukti pencatatan
perkawinan.
4.
Kantor Catatan Sipil; Pencatatan perkawinan di Indonesia biasanya
dilakukan di kantor catatan sipil di tempat domisili calon suami atau calon
istri.
5.
Akta Perkawinan; Setelah proses pendaftaran selesai, akta perkawinan
akan diterbitkan sebagai bukti resmi pencatatan perkawinan.
Dalam hal ini, penting untuk mengikuti prosedur yang
ditetapkan oleh pemerintah dan konsultasikan dengan pihak berwenang atau kantor
catatan sipil untuk mendapatkan informasi yang paling akurat dan terkini,
karena prosedur ini dapat mengalami perubahan.
Jika diperhatikan lebih lanjut, terdapat satu pasal dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memuat
ketentuan untuk mencatat perkawinan beda agama, yaitu Pasal 35 huruf a. Pasal
ini bertujuan untuk memfasilitasi pencatatan perkawinan antar umat berbeda
agama yang sebelumnya sulit dilaksanakan. Namun, perlu dicatat bahwa ketentuan
ini bersifat kontroversial dan memicu perdebatan, terutama terkait dengan apa
yang diperinci di bawah ini.
Pasal 35 huruf a menyatakan, "Pencatatan perkawinan
berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan."
Penjelasannya menjelaskan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan
mencakup perkawinan antar umat yang memiliki keyakinan agama yang berbeda.
Meskipun pasal 35 dan 36 Undang-Undang ini dianggap dapat dimengerti dan
diterima, muncul keanehan ketika membaca penjelasan pasal 35 huruf a yang
tampaknya tidak konsisten dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Dalam penjelasan atas
undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya, termasuk ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agamanya, selama tidak bertentangan dengan
Undang-undang tersebut.
Namun, penjelasan pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 mengizinkan perkawinan beda agama dengan mendaftarkannya melalui
pengadilan. Meskipun masyarakat Indonesia mengetahui bahwa sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan antara pasangan berbeda agama
dilarang, penjelasan pasal 35 huruf a menciptakan kesan bahwa perkawinan
semacam itu dapat diakui melalui penetapan pengadilan. Meskipun kontroversial
dan menjadi bahan perdebatan, pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 telah menjadi hukum positif di Indonesia.
Seiring dengan dikeluarkannya SEMA No 2 Tahun 2023 oleh
Mahkamah Agung (MA), terdapat panduan bagi hakim dalam mengadili perkara
perkawinan antar-umat berbeda agama dan kepercayaan, dalam Surat Edaran SEMA No
2 Tahun 2023 ini dijelaskan bahwa perkawinan yang diakui sah adalah yang
dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f �Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Tujuan jelas dari Surat Edaran SEMA No 2 Tahun 2023 ini
adalah memberikan kepastian dan kesatuan dalam penerapan hukum, dengan merujuk
pada ketentuan undang-undang yang berlaku. Langkah ini sesuai dengan fungsi
Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk menjaga
keberlanjutan dan konsistensi penerapan hukum di Indonesia. SEMA,
pada dasarnya, merupakan pedoman atau petunjuk dan merujuk pada Pasal 2
Undang-Undang Perkawinan. Dalam konteks ini, menyatakan bahwa melalui surat edaran
ini, Mahkamah Agung (MA) melaksanakan fungsi pengawasan sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua UU MA. Namun, dari hasil wawancara dengan hakim pengadilan negeri Jakarta
Selatan, pada tanggal 30 oktober 2023. Telah dijelaskan bahwa dengan adanya
Surat Edaran SEMA ini, pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di dalam
negeri tidak dapat dilakukan. Namun, jika seseorang melakukan perkawinan beda
agama di luar negeri, pencatatan perkawinan beda agama masih dapat dilakukan
pencatatannya.
Kesimpulan
Undang-undang perkawinan di Indonesia diatur
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berlaku sejak 11 Oktober 1975, dengan
fokus pada ikatan lahir batin antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga
berdasarkan ketuhanan. Syarat-syarat sah perkawinan termasuk persetujuan kedua
calon mempelai, izin orang tua/wali jika belum berusia 21 tahun, dan batasan
usia minimal. Perkawinan beda agama memerlukan pemahaman dan komunikasi, diatur
oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Kontroversi muncul terkait pencatatan
perkawinan beda agama, tetapi SEMA No 2 Tahun 2023 mengklarifikasi bahwa
perkawinan yang diakui sah sesuai hukum agama masing-masing. Proses pencatatan
perkawinan harus dilakukan dalam 30 hari kerja di kantor catatan sipil atau
tempat pendaftaran perkawinan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengatur
prosedur pencatatan perkawinan, sementara SEMA No 2 Tahun 2023 memberikan
panduan kepada hakim dalam mengadili perkara perkawinan antar-umat berbeda
agama dan kepercayaan. Meskipun terdapat pandangan bahwa SEMA tidak
mempengaruhi pencatatan perkawinan di dalam negeri, namun perkawinan beda agama
yang dilakukan di luar negeri masih dapat dicatat.
BIBLIOGRAFI
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Cetakan ke-15 (Jakarta:
���������� Kencana, 2021).
Mertokusumo, Sudikno. Bab-Bab
Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: �� Aditya
Bakti, 1993).
Muksalmina. �Pernikahan Sirri
Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum ����������� Positif�,
Jurnal Inovasi Penelitian, Volume 1 No. 2 Tahun 2020.
Rusli dan R. Tama. Perkawinan
Antar Agama dan Masalahnya, (Bandung: ����������� Penerbit
Pionir Jaya, 2000).
Sidharta, Arif. Pengantar Ilmu Hukum
Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Belakunya Ilmu Hukum, Cetakan ke-1
(Bandung: PT ���� Alumni, 2000).
Indonesia, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang ��� perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974).
Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 Administrasi ���� Kependudukan ���������� (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun ������� 2006).
Indonesia, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi ������� Manusia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999).
Indonesia, Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas ���������� Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik ������� Indonesia
Tahun 2019).
Copyright holder: Muhammad Fachrisyah Pratama, Mia Hadiati (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |