Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 12, December 2023

 

PENCATATAN PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA

 

Muhammad Fachrisyah Pratama1*, Mia Hadiati2

1* Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia

2 Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: *[email protected]

 

Abstrak

Pencatatan perkawinan memiliki peran sentral dalam sistem hukum dan administrasi pemerintahan untuk merekam dan melindungi hak-hak perorangan serta mengelola status pernikahan dalam suatu masyarakat. Penelitian ini menggali signifikansi dan dampak dari pencatatan perkawinan dalam konteks hukum perdata dan administrasi publik. Melalui analisis peraturan pernikahan, prosedur pencatatan, dan dampak hukumnya, penelitian ini mengidentifikasi peran pencatatan perkawinan dalam mengakui hak dan kewajiban suami istri, serta melindungi kepentingan anak. Penelitian juga mengeksplorasi evolusi pencatatan perkawinan dalam menghadapi perubahan sosial dan teknologi, serta implikasinya terhadap aksesibilitas dan keamanan data. Hasil penelitian menyoroti pentingnya efisiensi dan transparansi dalam proses pencatatan perkawinan untuk memastikan perlindungan hak-hak individu dan memberikan dasar yang kuat bagi penegakan hukum. Pemahaman lebih lanjut tentang peran pencatatan perkawinan ini dapat memberikan landasan bagi perbaikan sistem administrasi perkawinan dan mendukung pembaharuan kebijakan yang mendukung keadilan dan keamanan hukum.

 

Kata Kunci: Perkawinan; Pencatatan; Beda agama

 

Abstract:

Marriage registration plays a central role in the legal system and government administration to record and protect individual rights while managing marital status within a society. This research delves into the significance and impact of marriage registration in the context of civil law and public administration. Through the analysis of marriage regulations, registration procedures, and their legal implications, this study identifies the role of marriage registration in acknowledging the rights and obligations of spouses, as well as protecting the interests of children. The research also explores the evolution of marriage registration in response to social and technological changes, along with its implications for accessibility and data security. The research findings highlight the importance of efficiency and transparency in the marriage registration process to ensure the protection of individual rights and provide a strong foundation for law enforcement. Further understanding of the role of marriage registration can serve as a basis for improving marriage administration systems and supporting policy reforms that promote justice and legal security.

 

Keywords: Marriage; Registration; Interfaith

 

Pendahuluan

Masyarakat terdiri dari beberapa orang, baik individu (perseorangan) maupun kelompok orang yang bersatu untuk maksud atau tujuan yang berbeda. Agar hubungan dapat berjalan dengan baik diperlukan aturan-aturan yang menjadi landasan bagi orang-orang untuk mempertahankan kepentingannya sendiri dan menghormati kepentingan hak orang lain sesuai dengan hak dan kewajiban yang ditentukan oleh aturan hukum. perkawinan juga memiliki aturan norma hukum baik itu hukum perundang-undangan, hukum norma adat, dan hukum sosial.

Perkawinan adalah salah satu institusi sosial yang sangat penting dalam masyarakat, karena mempengaruhi struktur sosial, hubungan interpersonal, serta nilai-nilai dan norma yang berlaku. Perkawinan adalah ikatan antara dua individu yang berkomitmen untuk membangun kehidupan bersama, dan sering kali melibatkan aspek-aspek agama dan budaya yang kuat dalam pengambilan keputusan tersebut. Salah satu bentuk perkawinan yang menarik perhatian adalah perkawinan beda agama, yaitu perkawinan antara dua individu yang memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda.

Perkawinan beda agama telah menjadi topik yang semakin relevan dan menarik dalam berbagai masyarakat di seluruh dunia. Hal ini karena perkawinan beda agama sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan dan perbedaan, baik dalam hal keyakinan, praktik keagamaan, maupun nilai-nilai budaya. Meskipun perkawinan beda agama telah ada dalam sejarah manusia, perkawinan semacam ini masih memunculkan berbagai pertanyaan dan isu-isu kompleks yang perlu dipahami dan diteliti lebih dalam.

Di Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan beragam budaya dan agama, perkawinan beda agama juga menjadi fenomena yang signifikan. Meskipun pemerintah telah mengatur beberapa aspek terkait dengan perkawinan beda agama melalui peraturan hukum, tetapi masih banyak isu-isu yang memerlukan pemahaman lebih lanjut. Misalnya, bagaimana dampak perkawinan beda agama terhadap hubungan keluarga, bagaimana individu dalam perkawinan beda agama menjalani praktik keagamaan mereka, dan bagaimana masyarakat sekitar merespons perkawinan semacam ini.

Perkawinan beda agama di Indonesia memiliki beberapa aspek yang perlu diperhatikan, karena Indonesia memiliki keragaman agama dan sistem hukum yang mengatur perkawinan. Persyaratan hukum di Indonesia yaitu undang-undang perkawinan mengharuskan pasangan yang ingin kawin untuk memiliki agama yang sama agar dapat melakukan perkawinan. Perkawinan beda agama di Indonesia dapat dilakukan apabila salah satu pasangan dari agama yang satu ke agama pasangan lainnya. Apabila seorang muslim ingin menikahi seorang kristen, maka salah satu pasangan tersebut harus pindah ke agama pasangannya sebelum perkawinan dapat dilakukan dan diakui secara hukum.

Keluarga, masyarakat budaya, dan norma sosial di Indonesia memiliki pengaruh yang kuat terhadap perkawinan beda agama. Beberapa keluarga atau masyarakat mungkin tidak dapat menerima perkawinan beda agama karena adanya sebuah pertimbangan terkait agama, tradisi, atau kebiasaan yang sudah dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pasangan yang hendak melakukan perkawinan beda agama perlu mempertimbangkan reaksi keluarga dan masyarakat sekitar dan mencari cara untuk mengatasi tantangan tersebut agar perkawinan mereka dapat terealisasikan.

Meskipun adanya beberapa tantangan yang terkait dalam sebuah perkawinan beda agama di Indonesia, ada perlindungan hukum bagi pasangan yang hendak melakukan perkawinan. Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban pasangan serta hak-hak anak yang lahir dari perkawinan. Perkawinan beda agama ini dapat berhasil dengan adanya dukungan, komunikasi, dan pemahaman yang kuat antara pasangan dan keluarga masing-masing. Dalam beberapa kasus pasangan yang hendak melakukan perkawinan beda agama mungkin juga membutuhkan bantuan dan nasihat dari seorang ahli hukum atau seorang konselor untuk membantu mereka untuk melakukan perkawinan beda agama yang mereka akan jalani.Regulasi mengenai perkawinan antara individu dari berbagai agama ini sangat beragam di beberapa negara. Ada negara-negara yang mengizinkan perkawinan beda agama, sementara ada negara lain yang mengaplikasikan larangan terhadap jenis perkawinan ini.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa �Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.� Sementara, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyebutkan bahwa �Perkawinan dilarang jika aturan agama melarang serta peraturan lain yang berlaku�. Sementara Menurut Pasal 35 UU Administrasi kependudukan, perkawinan yang ditetapkan pengadilan wajib dilaporkan. Dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi kependudukan, �Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama�. Dalam ranah hukum positif, penetapan sah atau tidaknya suatu perkawinan diserahkan kepada norma-norma agama yang dianut masing-masing individu. Prinsip ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) dan (2) dari undang-undang tersebut menegaskan bahwa suatu perkawinan dianggap sah jika dilaksanakan sesuai dengan norma hukum agama yang dianut oleh pihak yang bersangkutan dan sesuai dengan keyakinannya. Selanjutnya, setiap perkawinan harus dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam ayat (2) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Lebih lanjut, ketentuan ini dijelaskan dengan rinci dalam Pasal 8 huruf f Undang-Undang tersebut, yang menegaskan bahwa "perkawinan tidak diizinkan antara dua individu yang memiliki hubungan yang dilarang menurut norma agama yang dianut atau peraturan yang berlaku".

Perkawinan yang diakui sah harus dicatatkan atau diarsipkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Ketentuan ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut menyatakan bahwa �Setiap perkawinan diwajibkan dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku�. Meskipun tindakan pencatatan ini tidak memastikan keabsahan suatu perkawinan, namun berfungsi sebagai bukti administratif yang menegaskan keberadaan dan terjadinya peristiwa tersebut. Prosedur pencatatan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, di mana untuk individu yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Talak, dan Rujuk. Sementara itu, bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatan dilaksanakan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan di Kantor Catatan Sipil.

Kenyataannya, perkawinan beda agama masih sering terjadi, di mana banyak pasangan dengan keyakinan agama yang berbeda memutuskan untuk menikah dan tetap setia pada agama masing-masing. Situasi ini dapat menimbulkan kesulitan dalam proses pengesahan dan pencatatan pernikahan. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan peraturan di Indonesia terkait undang-undang pernikahan dan pencatatan pernikahan antaragama. Sebagai contoh, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan keputusan pada tanggal 18 Februari 2021 dengan Nomor 131/Pdt.P/2021/PN Jkt.Sel, di mana perkawinan beda agama telah dijalankan melalui dua prosesi, mengikuti ritus Katolik dan syariat Islam. Setelah melaksanakan upacara perkawinan sesuai dengan keyakinan agama mereka masing-masing, para pemohon mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan persetujuan agar perkawinan mereka dicatatkan di kantor catatan sipil.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia. Penelitian ini akan mencoba untuk menjawab beberapa rumusan masalah yang berhubungan dengan pencatatan perkawinan beda agama, sehingga dapat memberikan wawasan yang lebih baik tentang kompleksitas dan dinamika hubungan dalam pencatatan perkawinan beda agama.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian adalah sebuah metode ilmiah untuk memperoleh informasi guna mencari suatu tujuan dan kegunaan tertentu. Tujuan dari metode ilmiah adalah agar kegiatan penelitian didasarkan pada ciri-ciri ilmiah, yaitu secara rasional, sistematis dan empiris. Metode penelitian ini dibutuhkan oleh penulis agar penulis dapat mengindentifikasikan dan menganalisis terkait permasalahan yang sedang diteliti dan memecahkan hukum yang ada. Hukum yang ada disini yaitu adalah bagaimana keabsahan peernikahan beda agama didalam perspektif hukum di Indonesia.

Penelitian ini mengadopsi metode penelitian normatif. Peter Mahmud berpendapat didalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum, Penelitian hukum normatif bertujuan untuk menemukan konsistensi dalam peraturan hukum, yaitu apakah terdapat aturan hukum yang sejalan dengan norma hukum, norma (perintah atau larangan) yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, dan apakah tindakan individu sesuai dengan prinsip-prinsip hukum atau norma hukum. Penelitian ini menggunakan teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain itu, penulis juga menganalisis berbagai dokumen dan publikasi hukum, termasuk buku-buku dan jurnal-jurnal hukum yang relevan dengan permasalahan hukum yang diteliti. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengevaluasi kesesuaian antara fakta hukum dengan peraturan perundang-undangan dari perspektif teoritis dan praktis.

Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan tujuan untuk memberikan gambaran menyeluruh, mengungkap fakta-fakta hukum, serta menganalisis secara terstruktur peraturan nasional dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam melakukan sebuah perkawinan beda agama. Jenis bahan hukum dalam penelitian ini ada 3 (tiga) jenis yaitu primer, sekunder, dan bahan non hukum.

Penyusunan penelitian ini, peneliti melibatkan metode pengumpulan data yang mencakup kajian pustaka terhadap beragam sumber penelitian dengan melakukan studi kepustakaan (library research), termasuk sumber primer, sekunder, dan non hukum.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, dibukumya yang berjudul penelitian hukum, pendekatan yang dapat digunakaan dalam penelitian hukum ada 5 (lima) yaitu pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Berdasarkan dari semua pendekatan, penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang. Pendekatan undang-undang ini dilakukan berdasarkan legalisasi dan regulasi yang diberlakukan di Indonesia,

Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif. Terdapat beberapa teknik analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis bahan penelitian, pemilihan teknik analisis yang tepat tergantung pada jenis data yang digunakan oleh penulis seperti, data yang dikumpulkan, tujuan penelitian, dan pertanyaan penelitian yang ingin dijawab.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini disusun dan dianalisis secara kualitatif guna mengkategorikan dan menyeleksi bahan-bahan yang didapatkan dari berbagai sumber yang konkret sebagai objek penelitian. Selanjutnya materi dideskripsikan secara deskriptif untuk memberikan gambaran yang jelas dan dapat dipahami dan juga dapt diarahkan untuk menjawab permasalahan yang diteliti.

 

Hasil dan Pembahasan

Peraturan mengenai perkawinan bagi warga Indonesia diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini resmi diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku secara efektif mulai tanggal 11 Oktober 1975 melalui peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 yang mengatur pelaksanaannya Undang-undang perkawinan.

Undang-undang tersebut telah secara resmi diberlakukan secara yuridis di Indonesia dan telah diintegrasikan ke dalam hukum positif. Selain mengatur prinsip-prinsip dasar, undang-undang perkawinan ini juga memuat prinsip-prinsip dan menjadi dasar hukum perkawinan yang digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia.

Perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang Wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah institusi sosial dan legal yang umumnya diatur oleh Undang-undang dan norma budaya di suatu negara. Beberapa elemen penting dalam definisi perkawinan adalah sebagai berikut:

1.      Ikatan sah; perkawinan harus dilakukan sesuai dengan persyaratan hukum yang berlaku di suatu negara atau yurisdiksi tertentu. Ini termasuk persyaratan usia, persetujuan, ketidakterkaitan keluarga yang terlalu dekat, dan pemenuhan dokumen-dokumen resmi yang diperlukan.

2.      Antara dua orang; perkawinan biasanya terjadi antara dua orang yang secara sukarela memilih untuk menjadi pasangan hidup. Beberapa negara atau yurisdiksi mengakui perkawinan sejalan dengan perkembangan hukum yang mengizinkan perkawinan antara dua orang dari jenis kelamin yang sama.

3.      Tujuan membentuk keluarga; salah satu tujuan utama perkawinan adalah membentuk keluarga, yang mencakup ikatan emosional, keuangan, dan tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Keluarga ini dapat melibatkan anak-anak yang lahir dari pernikahan atau anak-anak yang diadopsi.

4.      Melahirkan keturunan; perkawinan juga secara tradisional dikaitkan dengan keinginan untuk melahirkan keturunan dan memperluas keluarga. Namun, penting untuk diingat bahwa tujuan ini tidak mutlak dan tidak semua pasangan menikah memiliki niat atau kemampuan untuk memiliki anak.

Perkawinan yang tidak tercatat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sering disebut sebagai pernikahan sirri atau pernikahan dibawah tangan. Dalam konteks hukum, perkawinan yang tidak tercatat sesuai dengan peraturan yang berlaku dianggap tidak ada, sehingga akibatnya hak-hak hukum seperti yang dimiliki oleh istri, anak-anak, dan keluarga istri lainnya tidak dapat ditegakkan terhadap suami. Dalam hal ini seperti hak waris untuk seorang istri jika suami tersebut sudah meninggal dunia.

����������� Penjelasan diatas ada beberapa syarat sah mengenai perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

1.      Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai. Persyaratan perkawinan ini bertujuan untuk mencegah perkawinan yang dipaksa di masyarakat kita. Kesepakatan ini juga mencerminkan kesediaan masing-masing pasangan dalam ikatan perkawinan. Seharusnya, perkawinan lebih banyak diberikan kepada keinginan pribadi masing-masing untuk memilih sendiri siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya dalam kehidupan berumah tangga.

2.      Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.

3.      Calon mempelai pria sudah berusia 19 tahun dan usia calon wanita sudah berusia 16 tahun. Langkah ini dilakukan untuk menghindari perkawinan yang terlalu dini di masyarakat dan untuk mengurangi tingkat perceraian. Jika calon pengantin belum mencapai usia yang ditentukan, mereka dapat mengajukan permohonan dispensasi perkawinan.

4.      Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak memiliki hubungan keluarga yang melarang perkawinan mereka.

Didalam perkawinan ini, terdapat perkawinan beda agama yang menjadi polemik di Indonesia. Perkawinan beda agama adalah ketika dua orang dengan keyakinan agama yang berbeda memilih untuk menikah. Hal ini dapat terjadi antara dua individu yang memiliki keyakinan agama yang berbeda, seperti seorang umat muslim yang menikah dengan seorang umat kristen atau seorang umat hindu yang menikahi seorang yang memiliki kepercayaan buddha. Perkawinan beda agama dapat didefinisikan berupa ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama maupun Negara menyebabkan bersatunya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan sesuai hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan tuhan Yang Maha Esa.

Perkawinan beda agama dapat berhasil dengan baik jika pasangan memiliki pemahaman yang kuat, komunikasi yang terbuka, saling menghormati, dan kemauan untuk menghadapi tantangan yang mungkin timbul. Penting bagi pasangan untuk berdiskusi secara terbuka tentang perbedaan agama mereka sebelum menikah dan membangun fondasi yang kokoh untuk kehidupan perkawinan mereka.

Pencatatan perkawinan beda agama dapat melibatkan proses yang lebih kompleks dibandingkan dengan perkawinan sejenis agama. Setiap negara memiliki peraturan yang berbeda terkait dengan pencatatan perkawinan beda agama. Pencatatan Perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap peristiwa perkawinan ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.

A.  Pencatatan Perkawinan Beda Agama dalam hukum positif di Indonesia

Pada tanggal 29 Desember 2006, diterbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang mengatur prosedur dan pelaksanaan pencatatan peristiwa penting atau pencatatan sipil yang dialami oleh setiap penduduk Republik Indonesia. Cara dan pelaksanaan pencatatan peristiwa penting atau pencatatan sipil tersebut mencakup langkah-langkah yang harus diikuti.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menegaskan bahwa Instansi Pelaksanaan memiliki tanggung jawab untuk mencatat peristiwa perkawinan, perceraian, dan rekonsiliasi bagi penduduk beragama Islam di tingkat kecamatan. Prosedur ini dilakukan oleh pegawai pencatat yang bekerja di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan.

Undang-Undang Administrasi Kependudukan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, mengatur prosedur pencatatan perkawinan. Beberapa poin penting terkait pencatatan perkawinan menurut undang-undang tersebut antara lain:

1.      Pendaftaran Perkawinan; Setiap perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia wajib didaftarkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah dilangsungkan.

2.      Tempat Pendaftaran; Pendaftaran perkawinan dilakukan di kantor catatan sipil atau tempat pendaftaran perkawinan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.

3.      Persyaratan Pendaftaran; Para pihak yang akan menikah diharuskan memberikan persyaratan yang ditetapkan, termasuk formulir pendaftaran perkawinan, fotokopi KTP, akta kelahiran, dan dokumen pendukung lainnya.

4.      Pencatatan dan Pembuatan Akta Perkawinan; Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan yang ditunjuk oleh pejabat pencatat perkawinan setempat. Setelah proses pendaftaran, akan dibuatkan akta perkawinan yang menjadi bukti resmi peristiwa tersebut.

5.      Pencatatan Perkawinan Beda Agama; Jika perkawinan melibatkan pihak dengan agama yang berbeda, harus memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6.      Pemutakhiran Data Kependudukan; Informasi perkawinan yang dicatat akan menjadi bagian dari data kependudukan dan akan dijadikan dasar untuk pemutakhiran data penduduk secara keseluruhan.

Pencatatan perkawinan bagi warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan di luar negeri diatur oleh Undang-Undang Administrasi Kependudukan, terutama dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Berikut adalah beberapa poin terkait pencatatan perkawinan bagi warga negara Indonesia yang menikah di luar negeri:

1.      Pendaftaran di Luar Negeri; Warga negara Indonesia yang menikah di luar negeri disarankan untuk mendaftarkan perkawinan mereka di Kedutaan Besar atau Konsulat Indonesia setempat. Pendaftaran ini akan membantu memastikan bahwa perkawinan tersebut diakui oleh pemerintah Indonesia.

2.      Pengumpulan Dokumen; Calon suami dan calon istri harus menyediakan dokumen-dokumen yang diperlukan, termasuk akta kelahiran, paspor, dan surat keterangan dari kantor catatan sipil setempat di negara di mana perkawinan dilangsungkan.

3.      Pengesahan di Indonesia; Setelah pendaftaran di luar negeri, para pihak perlu mengesahkan perkawinan mereka di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil di Indonesia, dan mereka akan diberikan bukti pencatatan perkawinan.

4.      Kantor Catatan Sipil; Pencatatan perkawinan di Indonesia biasanya dilakukan di kantor catatan sipil di tempat domisili calon suami atau calon istri.

5.      Akta Perkawinan; Setelah proses pendaftaran selesai, akta perkawinan akan diterbitkan sebagai bukti resmi pencatatan perkawinan.

Dalam hal ini, penting untuk mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah dan konsultasikan dengan pihak berwenang atau kantor catatan sipil untuk mendapatkan informasi yang paling akurat dan terkini, karena prosedur ini dapat mengalami perubahan.

Jika diperhatikan lebih lanjut, terdapat satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memuat ketentuan untuk mencatat perkawinan beda agama, yaitu Pasal 35 huruf a. Pasal ini bertujuan untuk memfasilitasi pencatatan perkawinan antar umat berbeda agama yang sebelumnya sulit dilaksanakan. Namun, perlu dicatat bahwa ketentuan ini bersifat kontroversial dan memicu perdebatan, terutama terkait dengan apa yang diperinci di bawah ini.

Pasal 35 huruf a menyatakan, "Pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan." Penjelasannya menjelaskan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan mencakup perkawinan antar umat yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Meskipun pasal 35 dan 36 Undang-Undang ini dianggap dapat dimengerti dan diterima, muncul keanehan ketika membaca penjelasan pasal 35 huruf a yang tampaknya tidak konsisten dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Dalam penjelasan atas undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya, selama tidak bertentangan dengan Undang-undang tersebut.

Namun, penjelasan pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengizinkan perkawinan beda agama dengan mendaftarkannya melalui pengadilan. Meskipun masyarakat Indonesia mengetahui bahwa sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan antara pasangan berbeda agama dilarang, penjelasan pasal 35 huruf a menciptakan kesan bahwa perkawinan semacam itu dapat diakui melalui penetapan pengadilan. Meskipun kontroversial dan menjadi bahan perdebatan, pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 telah menjadi hukum positif di Indonesia.

Seiring dengan dikeluarkannya SEMA No 2 Tahun 2023 oleh Mahkamah Agung (MA), terdapat panduan bagi hakim dalam mengadili perkara perkawinan antar-umat berbeda agama dan kepercayaan, dalam Surat Edaran SEMA No 2 Tahun 2023 ini dijelaskan bahwa perkawinan yang diakui sah adalah yang dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tujuan jelas dari Surat Edaran SEMA No 2 Tahun 2023 ini adalah memberikan kepastian dan kesatuan dalam penerapan hukum, dengan merujuk pada ketentuan undang-undang yang berlaku. Langkah ini sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan dan konsistensi penerapan hukum di Indonesia. SEMA, pada dasarnya, merupakan pedoman atau petunjuk dan merujuk pada Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan. Dalam konteks ini, menyatakan bahwa melalui surat edaran ini, Mahkamah Agung (MA) melaksanakan fungsi pengawasan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU MA. Namun, dari hasil wawancara dengan hakim pengadilan negeri Jakarta Selatan, pada tanggal 30 oktober 2023. Telah dijelaskan bahwa dengan adanya Surat Edaran SEMA ini, pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan di dalam negeri tidak dapat dilakukan. Namun, jika seseorang melakukan perkawinan beda agama di luar negeri, pencatatan perkawinan beda agama masih dapat dilakukan pencatatannya.

 

Kesimpulan

Undang-undang perkawinan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berlaku sejak 11 Oktober 1975, dengan fokus pada ikatan lahir batin antara pria dan wanita untuk membentuk keluarga berdasarkan ketuhanan. Syarat-syarat sah perkawinan termasuk persetujuan kedua calon mempelai, izin orang tua/wali jika belum berusia 21 tahun, dan batasan usia minimal. Perkawinan beda agama memerlukan pemahaman dan komunikasi, diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Kontroversi muncul terkait pencatatan perkawinan beda agama, tetapi SEMA No 2 Tahun 2023 mengklarifikasi bahwa perkawinan yang diakui sah sesuai hukum agama masing-masing. Proses pencatatan perkawinan harus dilakukan dalam 30 hari kerja di kantor catatan sipil atau tempat pendaftaran perkawinan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengatur prosedur pencatatan perkawinan, sementara SEMA No 2 Tahun 2023 memberikan panduan kepada hakim dalam mengadili perkara perkawinan antar-umat berbeda agama dan kepercayaan. Meskipun terdapat pandangan bahwa SEMA tidak mempengaruhi pencatatan perkawinan di dalam negeri, namun perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri masih dapat dicatat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Cetakan ke-15 (Jakarta: ���������� Kencana, 2021).

 

Mertokusumo, Sudikno. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: �� Aditya Bakti, 1993).

 

Muksalmina. �Pernikahan Sirri Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum ����������� Positif�, Jurnal Inovasi Penelitian, Volume 1 No. 2 Tahun 2020.

 

Rusli dan R. Tama. Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, (Bandung: ����������� Penerbit Pionir Jaya, 2000).

 

Sidharta, Arif. Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Belakunya Ilmu Hukum, Cetakan ke-1 (Bandung: PT ���� Alumni, 2000).

 

Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang ��� perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974).

 

Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Administrasi ���� Kependudukan ���������� (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ������� 2006).

 

Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi ������� Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999).

 

Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas ���������� Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik ������� Indonesia Tahun 2019).

Copyright holder:

Muhammad Fachrisyah Pratama, Mia Hadiati (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: