Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

 

Julius Mangatur, Parasian Simanungkalit, Anwar Sadat

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Tindak pidana perdagangan orang ini biasanya tidak hanya dilakukan oleh individu saja tetapi juga dilakukan oleh sekelompok orang (korporasi). Bentuk perdagangan orang ini berkaitan dengan pekerja seks komersial dan tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. Permasalahan yang diangkat dalam kasus ini adalah bagaimana penjatuhan sanksi pidananya dalam KUHP dan luar KUHP serta bagaimana kaitan sanksi tersebut dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia pada UU No 39 tahun 1999. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisinya adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.. Operasional perdagangan orang sering dilakukan secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Para pelaku perdagangan orang (trafficker) dengan cepat berkembang dengan cara kerja yang sulit terdeteksi. Kejahatan ini terus berkembang dengan pesat.

 

Kata Kunci: Perdagangan Orang, Hak Asasi Manusia, Teknologi

 

Abstract

This trafficking crime is usually not only committed by individuals but also carried out by a group of people (corporations). This form of trafficking is related to commercial sex work and the purpose of exploitation. Exploitation includes, exploitation of prostitution by others, or other forms of sexual exploitation, forced labor or service, slavery, or slavery-like practices, servitude or organ harvesting. The issue raised in this case is how the imposition of criminal sanctions in the Criminal Code and outside the Criminal Code and how these sanctions are related in the Human Rights Law in Law No. 39 of 1999. Based on Article 1 paragraph 1 of Law Number 21 of 2007 concerning Trafficking in Persons, the definition is the act of recruiting, transporting, sheltering, sending, transferring, or receiving a person by threat of violence, use of force, kidnapping, captivity, forgery, fraud, abuse of power or vulnerable position, debt bondage or giving payment or benefits, so as to obtain the consent of the person in control of the other person,whether carried out within countries or between countries, for the purpose of exploitation or resulting in exploitation of people. Trafficking operations were often conducted behind closed doors and operated outside the law. Traffickers quickly developed an undetectable way of working. This crime continues to grow at a rapid pace.

 

Keywords: Trafficking in Persons, Human Rights, Technology.

 

Pendahuluan

Keprihatinan dalam usaha penegakkan hukum di Indonesia masyarakat hampir tak mempercayai lagi lembaga penegakan hukum, sebenarnya salah satu kunci dalam menyelamatkan negara dari krisis kewibawaan dan krisis ekonomi, kepada rakyat harus diperlihatkan bahwa hukuman berlaku tegas tanpa diskriminasi. Bentuk penerapan sanksi pidana didasarkan pada kesalahan yang sesuai dengan unsur hukum dan tidak ada alasan penghapusan yang bersifat melawan hukum, unsur kesengajaan oleh pelaku sehingga tidak ada pembenaran atau alasan baginya untuk menghindari hukuman (Putri & Arifin, 2019).

Tindak pidana perdagangan orang ini biasanya tidak hanya dilakukan oleh individu saja tetapi juga dilakukan oleh sekelompok orang (korporasi) Bentuk perdagangan orang ini berkaitan dengan pekerja seks komersial dan tujuan eksploitasi (Santoso, 2001). Eksploitasi mencakup, eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh (Yuniantoro, 2018). Permasalahan yang diangkat dalam kasus ini adalah bagaimana penjatuhan sanksi pidananya dalam KUHP dan luar KUHP serta bagaimana kaitan sanksi tersebut dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia pada UU No 39 tahun 1999 (Hilmy, 2006).

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisinya adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana perdagangan orang ada tiga yaitu: unsur proses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya terpenuhi maka bisa dikategorikan sebagai perdagangan orang.

Proses: tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut

Cara: ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.

Eksploitasi: tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

Pemerintah Indonesia�� telah�� mengesahkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan pertimbangan bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya serta dilindungi secara hukum oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28A bahwa: �Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya

Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang ini juga memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai wujud perlindungan terhadap korban perdagangan manusia. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 2 yang mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan seorang pelaku perdagangan manusia baik secara melawan hukum maupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain yang bertujuan untuk mengeksploitasi.

Pasal 2 tersebut berbunyi: �Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Dalam Pasal 2 Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 kata �untuk tujuansebelum frasamengeksploitasi orang tersebutmenunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.

Penegakan hukum tentang kejahatan perdagangan manusia di Indonesia masih belum optimal di mana kita dapat melihat ini dari berita di media baik di media cetak maupun elektronik sehingga banyak kasus perdagangan manusia diidentifikasi sebagai korban perdagangan manusia tetapi untuk menjerat pelaku perdagangan manusia sangat sulit karena dari modus operandi ternyata pelakunya lebih dari satu orang dan perusahaan, dan jika para pelaku ditemukan maka semakin sulit untuk melanjutkan ke pengadilan agar mendapatkan sanksi pidana karena untuk bukti itu harus dipandu oleh prosedur�� pidana hukum, yaitu Hukum Acara Pidana yang memiliki prinsip bahwa hakim tidak diperbolehkan untuk melakukan kejahatan terhadap seseorang kecuali ada setidaknya dua bukti yang sah, hakim memiliki keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa bersalah untuk melakukan hal itu.

Praktek perdagangan orang telah menjadi kejahatan yang mengancam kehidupan masyarakat umum, terutama orang-orang yang rentan, berpenghasilan rendah dan berpendidikan rendah. Dalam Buku Putih Pertahanan Republik Indonesia Tahun 2015, dinyatakan bahwa salah satu ancaman nyata adalah pelanggaran wilayah perbatasan. Beberapa pelanggaran di wilayah perbatasan termasuk perdagangan manusia.

Undang-Undang Dasar 1945 dalam rumusan salah satu pasalnya, pada pasal 3 menyebutkan mengenaihak untuk tidak diperbudak�. Untuk mewujudkan perlindungan hak tersebut, maka pemerintah Indonesia memandang perlu untuk melakukan pengaturan tersendiri mengenai tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) karena perdagangan orang (human trafficking) bukan merupakan bentuk kejahatan yang baru dikenal. Dalam sejarah bangsa Indonesia, perdagangan orang pernah terjadi yaitu melalui perbudakan dan perhambaan (Soekanto, 1976).

Masa kerajaan-kerajaan di jawa, perdagangan manusia, yaitu perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia. Tindak pidana perdagangan orang umumnya, yaitu berupa pelanggaran harkat dan martabat asasi manusia manusia yang berupa perlakuan kejam, dan bahkan perlakuan serupa perbudakan. Pelaku ini diterima sebagai ketidakberdayaan korban, yang terjebak dalam jeratan jaringan yang sangat sulit untuk diidentifikasi, sehingga akan berakibat sulit menemukan solusinya.

Substansinya sama, yaitu perbudakan, tetapi modusnya yang lebih rapi dan terencana. Jika pada zaman perbudakan, manusia secara terang-terangan diperjualbelikan oleh raja atau yang lainnya untuk dijadikan gundik (pembantu), serta menjadi selir atau istri simpanan, saat ini manusia diperjualbelikan untuk kepentingan tertentu, seperti pembantu rumah tangga hingga menjadi wanita pekerja seks komersial (Jamaludin, 2016).

Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada era modern ini merupakan dampak krisis multidimensional yang dialami Indonesia. Dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Dari waktu ke waktu praktik perdagangan orang semakin menunjukkan kualitas dan kuantitasnya. setiap tahun diperkirakan 2 (dua) juta manusia diperdagangkan dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak (Syafaat, 2003).

Mereka yang telah menjadi perdagangan orang berulang kali jatuh sebagai korban seperti korban pemerasan dari aparat maupun masyarakat, korban tindak diskriminatif dan praktik kriminalisasi yang dilakukan oleh negara maupun sebagai masyarakat itu. Adapun hukuman di Indonesia, terutama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disingkat UU PTPPO) tidak mengkriminalkan perempuan yang menjadi korban eksploitasi seksual atau perempuan yang dilacurkan, namun Indonesia, juga bukan termasuk negara yang melegalkan prostitusi (Dian, 2010).

Akibat perkembangan teknologi yang semakin maju, semakin mempermudah dan membantu perkembangan kejahatan perdagangan orang tersebut. Sehingga banyak yang menggunakan teknologi yang semakin maju tersebut pada saat ini di jalur yang salah dengan menjajakan dirinya untuk melakukan prostitusi online ataupun untuk memperdagangkan diri orang lain (human traffickingakibat yang ditimbulkan tidak saja pada aspek ekonomi, tetapi juga aspek politik, budaya dan kemanusiaan (Ali & Pramono, 2011).

Namun sasaran mereka yaitu dunia online yang mempermudah mereka untuk memperdagangkan calon-calon korban yang akan diperdagangkan dan mudah untuk diakses. Calon-calon korban yang berpotensial untuk diperdagangkan sudah merambah ke remaja maupun anak-anak. Dikarenakan kebanyakan dari pengguna media sosial yaitu remaja dan anak-anak, penggunaan media sosial seperti line, whatsApp, skype, instagram, face time, twitter, facebook, path, dan lain-lainnya merupakan media sosial yang merekrut mereka untuk terjerumus menjadi korban dari Human Trafficking.

Media-media sosial tersebut tidak membatasi relasi pertemanan dan pornografi yang semakin mudah diakses. Bahkan rekrutmen Human Trafficking saat ini mulai memikat para remaja melalui media sosial. Di Amerika Serikat, pelaku-pelaku seks komersial menggunakan situs-situs seperti Craigslist untuk merekrut dan menjual anak-anak dan remaja. Bahwa sekitar seperempat dari anak-anak yang dilaporkan hilang di Indonesia diyakini telah diculik dan mereka bertemu dengan si penculik melalui media sosial.

Berdasarkan uraian di atas maka rumusan penelitian ini adalah 1) Bagaimana Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang? 2) Baimanakah Peranan Negara Republik Indonesia Dari Segi Hukum Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang Kedepannya?

 

Metode Penelitian

Metode penelitian berperan penting untuk mendapatkan data yang akurat dan terpercaya. Metode penelitian ini juga digunakan sebagai alat atau cara untuk pedoman dalam melakukan penelitian. Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum primer,sekunder maupun tersier. Penelitian ini meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang.

 

Hasil dan Pembahasan

A. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.

Penerapan pidana merupakan suatu mata rantai proses tindakan dari pihak yang diberikan wewenang oleh undang-undang mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Penerapan sanksi pidana atau tindakan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang juga merupakan proses tindakan dari penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan dalam persidangan. Tindak pidana yang dilakukan sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri atas beberapa jenis pidana (Chazawi, 2010).

Penerapan sanksi pidana di Indonesia diimplementasikan ke dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), penjatuhan sanksi pidanterhadap tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dalam KUHP diatur didalam buku II Pasal 295 ayat (1) angka 1 dan 2, Pasal 295 ayat (2), Pasal 296, Pasal 297, Pasal 298 ayat (1), (2) dan Pasal 506. Dari pengertian yang terdapat di dalam KUHP dapat dijabarkan sebagai berikut: a) Dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang korbannya anak (kandung, tiri,angkat) dan anak-anak dibawah pengawasannya; perbuatan pelaku sebagai mata pencaharian; b) Perbuatan yang sama, tapi untuk orang dewasa; c) Memperniagakan perempuan dan anak laki-laki; d) Ada hukuman tambhan (1) pencabutan hak (asuh untuk pelaku yang korbannya anak), (2) pemecatan dari pekerjaan kalau kejahatan dilakukan dalam pekerjaannya.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 pada Pasal 9 menyatakan bahwa salah satu kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik dan ditujukan terhadap penduduk sipil serta sebagai lanjutan kebijakan penguasa yang berhubungan dengan organisasi kekuasaan. Apabila perbuatan tersebut tidak memiliki unsur yang sebagaimana tertera pada pasal tersebut maka dapat dikatakan tindak pidana biasa yang diatur dalam KUHP. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengatur beberapa kekhususan yang berbeda dengan pengaturan hukum acara pidana (Nuraeny, 2011).

1. Penambahan Pidana dan Perluasannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Mengakibatkan korban luka berat. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal 7.

Mengakibatkan matinya korban. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (Pasal 7 ayat 2

Pelakunya adalah pejabat. Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. (Pasal 8).

Pelakunya adalah korporasi (perusahaan). Sanksi 3 kali lipat dan tambahan pidana denda dan tambahan sanksi berupa: a) pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana; pencabutan status badan hukum; pemecatan pengurus; dan/atau larangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. (Pasal 15).

Pelaku Kelompok. oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga). (Pasal 16).

Di era globalisasi dan modern ini tidak menutupkemungkinan kejahatan human trafficking dilakukan oleh korporasi. Sering sekali penyalur jasa TKI ilegal menggunakan modus usaha baik berbentuk CV, PT ataupun lain lain untuk melancarkan niat jahat melakukan human trafficking (Hanim & Prakoso, 2015). Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada korporasi sudah diberikan secara eksplisit dalam rumusan Undang-Undang N0 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Sebagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh korporasi, maka UU ini telahmengatur mengenai manusia dan korporasi sebagai subjek hukum. Ditempatkanya korporasi dalam subjek hukum tindak pidana human� �trafficking dapat memberikan harapan serta optimisme bagi upaya pengusutan dan pemberantasantindak pidana perdagangan orang.�

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 memuat unsur dari tindak pidana human trafficking, yaitu dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan utang.

Sehubungan dengan hal tersebut, bahwa peristiwa-peristiwa pidana memiliki unsur-unsur adalah suatu kelakuan yang bertentangan dengan (melawan) hukum, suatu kelakuan yang diadakan karena suatu pelanggar bersalah dan suatu kelakuan yang dapat dihukum, maka dalam tindak pidana human trafficking terdapat perbuatan yang melawan hukum yaitu melakukan perbuatan merekrut, mengirim, dan penyerah terimaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan atas unsur kesalahan dalam rumusan tindak pidana human trafficking adanya kesalahan digambarkan secara implisit dalam rumusan untuk tujuan mengeksploitasi atau berakibat tereksploitasi orang tersebut yang berarti ada maksud untuk mengeksploitasi atau berakibat tereksploitasi orang� tersebut (Kamea, 2016).

Di era globalisasi dimana kejahatan sudah bertransformasi dari model konvensional ke model modern, alangkah bijaknya apabila kita sudah mulai melirik korporasi sebagai subjek hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Apalagi dalam hal tindak pidana perdagangan orang sangat dimungkinkan korporasi mendapatkan keuntungan ekonomi dari terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

Sebagai tindak lanjut dari terpenuhinya syarat korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, maka Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007, telah mengatur sanksi pidana berupa sanksi pidana denda dan sanksi pidana tambahan. Rumusan sanksi tersebut disebutkan dalam Pasal 13 Ayat 1 dan 2 yaitu: �Ayat (1).Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh rang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama�; dan �Ayat (2).Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya�.

 

2. Pemanfaatan Teknologi Canggih yang digunakan Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang

Teknologi canggih, salah satunya internet memberikan berbagai kemudahan dalam mencari dan memberikan informasi bagi masyarakat. Teknologi yang canggih tentunya memudahkan masyarakat dalam berinteraksi dengan jarak yang jauh dan tidak ada batasan geografis. Dalam penggunaan media internet yang diluar kendali pun juga bisa menjadi bagian dari perdagangan manusia.

Informasi dalam media sosial tentu menjadi suatu komoditas tersendiri. Data yang telah diunggah inilah yang bisa menjadi suatu bisnis yang dapat diperdagangkan dan sebagai bukti identitas dari pengguna sendiri. Hal ini tentu memudahkan suatu kelompok tertentu untuk mengeksploitasi atau memperdagangkan orang melalui jaringan online.

Adanya jaringan internet dan penggunaan media online sekarang akan memberi kemudahan pada orang-orang yang memperdagangkan manusia. Meningkatnya aksesibilitas dan berkembangnya teknologi informasi terlebih didunia online juga menjadi salah satu faktor. Sementara itu, anonimitas jejaring sosial, iklan baris online dan situs kencan dapat digunakan untuk merekrut orang ke dalam perdagangan dan mengiklankan pekerjaan mereka.

Jaringan anonim digunakan untuk mentransfer dan menukar data yang berlokasi di wilayah dengan kekuasaan atau penegakan undang-undang cybercrime yang kurang ketat. Ada juga trend baru dimana penjahat mengandalkan peralatan portable seperti smartphone yang jika mereka sudah dalam keadaan darurat langsung dibuang.

Adanya pertimbangan kontinuitas seputar perdagangan manusia dan eksploitasi ini merupakan dampak tersendiri apalagi ditambah dengan adanya jaringan online. Pada jaringan online tentu menawarkan peluang dan tantangan baru yaitu kemudahan menggunakan media online ini tentunya dimanfaatkan seefektif mungkin untuk para trafficker (orang yang memperdagangkan manusia) dan juga lebih terorganisir. Jaringan sosial menciptakan ruang baru yang bersifat online; Facebook, Twitter, Portal berita online, dll.

Perdagangan manusia (human trafficking) termasuk kedalam kejahatan terorganisir (organized crime), artinya suatu kejahatan yang dilakukan dalam suatu jaringan terorganisir rapi dalam suatu organisasi ilegal dan dilakukan dengan cara canggih. Akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang hampir tidak mengenal batas negara, pengawasan yang longgar di daerah perbatasan atau tempat pemeriksaan imigrasi memudahkan terjadinya tindak pidana perdagangan manusia lintas negara.

 

B. Peranan Negara Republik Indonesia Dari Segi Hukum Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang

Untuk mencapai tujuan meminimalisir kasus tindak pidana perdagangan orang maka undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar Negara dan oleh pelaku perorangan maupun korporasi, untuk melaksanakan protokol PBB tahun 2006 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penghukuman terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya perempuan dan anak-anak yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia (Damanik, 2013).

Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bahwa perdagangan orang merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia termasuk kejahatan terhadap kernanusiaan. Dalam Pasal 9 menyebutkan kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Selain itu, indonesia telah menandatangani UN Convention Transnational Organized Crimes beserta protokolnya yaitu Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, dan Protokol Against The Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air, pada Desember 2000 di Palermo italia, yang tentunya dalam rangka menyikapi adanya implikasi- implikasi hukum atas tindakan perdagangan orang. Oleh karena itu, pemerintah indonesia bulan April 2007 telah mensahkan undang-undang tindak pidana perdagangan orang (Hidayati, 2012).

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengkriminalisasi segala bentuk kejahatan yang melibatkan perdagang tenaga kerja dan perdagangan seks dewasa dengan jerat hukuman tiga hingga lima belas tahun penjara. Berbeda dengan hukum internasional, undang-undang ini mensyaratkan penggunaan kekuatan, penipuan, atau paksaan untuk menyatakan kejahatan terkait perdagangan seks anak, sehingga tidak semua bentuk perdagangan seks anak dapat dikriminalisasi.

Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri pada bulan April 2018 yang mengamanatkan pemerintah daerah untuk memuat pemberantasan TPPO dalam prioritas kebijakan mereka, namun pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk menerapkan mandat ini dan tidak cukup mempengaruhi seluruh pemerintah provinsi untuk secara konsisten mengalokasikan anggaran pemberantasan TPPO atau untuk mengimplementasikan kebijakan nasional. Sebagai akibatnya, koordinasi lembaga pemerintah dan pengumpulan data terus menjadi tantangan dan beberapa kepolisian tingkat provinsi melaporkan bahwa anggaran mereka tidak memungkinkan untuk melakukan investigasi lintas provinsi atau lintas perbatasan.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) membentuk 13 satuan tugas TPPO tingkat provinsi tetapi tidak melaporkan hasil penyidikan dari satuan tugas tersebut. Satuan Tugas TPPO POLRI tidak memiliki mekanisme untuk melacak investigasi di semua tingkat pemerintahan, sehingga mempersulit mereka untuk menentukan trend dan jumlah investigasi dan kasus yang terselesaikan. Pada tahun 2018, POLRI melaporkan 95 investigasi kasus, menurun bila dibandingkan dengan 123 kasus pada 2017.

Mahkamah Agung menerapkan mekanisme pencatatan yang komprehensif untuk data pengadilan secara nasional. Mahkamah Agung melaporkan terjadinya 316 tuntutan dan 279 putusan pada 2018, menurun bila dibandingkan dengan 407 tuntutan dan 331 hukuman pada 2017. Pemerintah tidak melaporkan data penghukuman secara komprehensif.

Dalam upaya penanganan, dilakukan pelatihan mengenai pemberantasan TPPO dari pemerintah, organisasi internasional, pemerintah asing, namun pemerintah tidak melembagakan pelatihan tersebut. Hal ini mengakibatkan pemahaman pejabat yang terbatas menghambat penuntutan kasus berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan TPPO. Sebaliknya aparat penegak hukum menuntut orang yang dicurigai melakukan perdagangan manusia dengan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Yang memberikan hukuman yang lebih ringan.

Mahkamah Agung memuat perdagangan orang di dalam kurikulum tahunan yang diberikan kepada para hakim; namun demikian, pelatihan hanya menampung 20 hingga 30hakim per tahun. Selama tahun 2018, Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan hanya mengadakan dua pelatihan pada bulan November mengenai cara penanganan kasus. Dari aspek perlindungan, pemerintah mengkoordinasikan layanan rehabilitasi yang diutamakan untuk korban pelanggaran, termasuk korban perdagangan manusia, melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

P2TP2A terdapat di 34 provinsi dan sekitar 436 kabupaten. Pusat pelayanan tersebut dikelola dan didanai oleh pemerintah provinsi atau kabupaten. Layanan yang diberikan antara lain penampungan jangka pendek, perawatan medis, konseling, layanan penghubung keluarga, dan beberapa pelatihan keterampilan kejuruan; namun demikian, dalam praktiknya, pemberian layanan tersebut bervariasi sesuai dengan kepemimpinan dan pendanaan daerah.

Wanita yang tinggal di wilayah pedesaan atau kabupaten yang tidak memiliki P2TP2A tersebut mengalami kesulitan dalam menerima layanan pendukung, dan beberapa layanan tersebut hanya buka enam jam dalam sehari dan tidak diwajibkan buka selama 24 jam. LSM tetap berperan penting dalam melengkapi dan mengisi kesenjangan layanan pemerintah termasuk bagi korban laki-laki yang dirujuk ke LSM yang memiliki tempat penampungan. LPSK mengakui bahwa pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang layanan yang tersedia.

Pada bulan Agustus 2018, LPSK meluncurkan hotline dan aplikasi telepon genggam dalam rangka memberikan informasi kepada semua korban kejahatan terkait dengan tata cara pengaduan dan layanan perlindungan pemerintah yang tersedia. Hal yang paling penting dari kebijakan kriminal adalah, selain menggunakan hukum pidana (penal), adalah menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal). Sarana non penal sebagai bagian dari kebijakan kriminal adalah bersifat preventif. Oleh karena itu, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisasi tindak pidana perdagangan orang dengan melibatkan berbagai stakeholder, termasuk peran serta masyarakat.

Pemerintah telah membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO tingkat nasional, yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementrian PPPA), sudah membentuk 32 satuan tugas tingkat provinsi (Papua dan Papua Barat tidak memiliki satuan tugas) dan 244 Kabupaten/Kota. Di tingkat masyarakat, dalam rangka meningkatkan pencegahan melalui peningkatan partisipasi dan kapasitas masyarakat melakukan deteksi dini dan advokasi migrasi aman serta pemberdayaan masyarakat desa, telah terbentuk 502 Komunitas PTPPO di tingkat desa di 52 Kabupaten/Kota, 130 desa migrasi produktif (Desmigratif) di 65 Kabupaten/Kota basis pekerja migran, dan 30 Komunitas Keluarga Buruh Migran (KKBM) di 7 provinsi melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan TPPO dari tingkat hulu hingga hilir.

 

 

Kesimpulan

Bahwa Bentuk penerapan hukum perdagangan orang dapat dilihat dari pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang di dalam KUHP yakni pasal 296 KUHP dan pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang diluar KUHP yakni Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dianggap sudah dapat mengatur keseluruhan dan mencakup semua Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adapun undang-undang lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dasarnya bukan hanya semata-mata pada KUHP saja namun juga harus mengacu pada undang-undang tindak pidana khusus diluar tindak pidana umum. Undang-undang tindak pidana khusus tersebut seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.

Kemudian Sebagai tindak lanjut dari terpenuhinya syarat korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, maka Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007, telah mengatur sanksi pidana berupa sanksi pidana denda dan sanksi pidana tambahan. Rumusan sanksi tersebut disebutkan dalam Pasal 13 Ayat 1 dan 2 yaitu: �Ayat (1).Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama�; dan �Ayat (2).Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya�

Keberhasilan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan sangat tergantung kepada komitmen para penyelenggara pemerintah di berbagai tingkatan, peran serta organisasi masyarakat/LSM dan masyarakat itu sendiri serta sangat tergantung pula pada upaya-upaya penegakan hukum. Pada level daerah, pemerintah daerah harus membuat kebijakan yang komprehensif dengan melibatkan berbagai stakeholder, yang bekerja bersama-sama.

Pengetahuan tentang perdagangan orang, termasuk perdagangan perempuan merupakan hal yang mutlak, teristimewa aparat penegak hukum, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat dalam penanganan tindak pidana perdagangan perempuan. Untuk mencapai tujuan meminimalisir kasus tindak pidana perdagangan orang maka undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun antar Negara dan oleh pelaku perorangan maupun korporasi, untuk melaksanakan protokol PBB tahun 2006 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penghukuman terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya perempuan dan anak-anak yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia

 

 

BIBLIOGRAFI

Ali, Mahrus, & Pramono, Bayu Aji. (2011). Perdagangan orang: dimensi, instrumen internasional, dan pengaturannya di Indonesia. Citra Aditya Bakti.

 

Chazawi, Adami. (2010). Pelajaran Hukum Pidana 1 Edisi 1. Rajawali Pers, Jakarta.

 

Damanik, Jalinson. (2013). Penerapan Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Trafficking (Studi Putusan di Pengadilan Negeri Binjai). Universitas Medan Area.

 

Dian, Kartikasari. (2010). Kerentanan perempuan dalam perdagangan perempuan, migrasi, hiv/aids, Koalisi Perempuan Indonesia Untuk keadilan dan Demokrasi. Hal.

 

Hanim, Lathifah, & Prakoso, Adityo Putro. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Perdagangan Orang (Studi Tentang Implementasi Undang-Undang No. 21 Tahun 2007). Jurnal Pembaharuan Hukum, 2(2), 234�244.

 

Hidayati, Maslihati Nur. (2012). Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Perdagangan Orang Melalui Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, 1(3), 163�175.

 

Hilmy, Umu. (2006). Penanganan Kasus-Kasus Trafikking Berpespektif Gender Oleh Jaksa dan Hakim. Universitas Malang Press, Malang.

 

Jamaludin, Adon Nasrullah. (2016). Dasar-dasar patologi sosial. Bandung: CV Pustaka Setia.

 

Kamea, Herlien C. (2016). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Lex Crimen, 5(2).

 

Nuraeny, Henny. (2011). Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sinar Grafika, Jakarta.

 

Putri, Anggie Rizqita Herda, & Arifin, Ridwan. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia (Legal Protection for Victims of Human Trafficking Crimes in Indonesia). Res Judicata, 2(1), 170�185.

 

Santoso, Topo. (2001). Menggagas Hukum Pidana Islam. Penerapan Hukum Pidana Islam Dalam Konteks Modernitas, Asy-Syaamil Press Dan Grafika, Jakarta.

 

Soekanto, Soerjono. (1976). Beberapa permasalahan hukum dalam kerangka pembangunan di Indonesia: suatu tinjauan secara sosiologis. (No Title).

 

Syafaat, Rachmad. (2003). Dagang manusia. Lappera Pustaka Utama, Jakarta.

 

Yuniantoro, Fredi. (2018). Eksploitasi Seksual Sebagai Bentuk Kejahatan Kesusilaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan. Justitia Jurnal Hukum, 2(1).

 

Copyright holder:

Julius Mangatur, Parasian Simanungkalit, Anwar Sadat (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: