Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 9, September
2023
PENEGAKKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA
Fery Singgih Ardianto, Parasian Simanungkalit, Anwar Sadat
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
IBLAM
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tindak pidana yang banyak mendapat perhatian dari para ahli ilmu sosial
pada tahun-tahun terakhir ini. dari data yang terkumpul belum diketahui secara pasti berapa banyak
perempuan dalam hal ini istri
yang menjadi korban tindak kekerasan mulai dari keengganan memberi nafkah kepada istri sampai
kepada kekerasan seksualitas. Maka dari itu untuk mengatasi
masalah kekerasan terhadap perempuan di lingkungan rumah tangga, perlu adanya
tindakan bersama antar semua pihak,
baik dari masyarakat sampai dengan aparat serta
perundang-undangan yang berfungsi
dengan baik sehingga masalah kekerasan di Indonesia seperti masalah kekerasan dapat diatasi dengan
baik. Dalam perkembangannya
saat ini para korban kekerasan dalam rumah tangga sulit
mengajukan penderitaan yang
dialaminya kepada penegak hukum, karena kuatnya pandangan bahwa perlakuan kasar suami kepada istri
merupakan bagian dari peristiwa privat (urusan rumah tangga) sehingga
tidak bisa dilaporkan kepada aparat kepolisian. Sehingga penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga (istri)
berkepanjangan tanpa perlindungan. Kondisi korban kekerasan dalam rumah tangga yang sedemikian itu ternyata masih dilematis pula setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Karena jika istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga melaporkan
suaminya kepada kepolisian dikuatirkan suami akan semakin
berlaku kasar terhadap dirinya setelah istri kembali
ke rumahnya lantaran tidak adanya perlindungan hukum dari kepolisian
dan atau pengadilan. Bahkan ada sebagian
istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga lebih
memilih menahan penderitaan kekerasan yang dialaminya karena merasa kuatir terhadap
masa depannya jika suaminya berurusan dengan penegak hukum.
Kata Kunci:�� Kekerasan, Rumah Tangga,
Perempuan, Anak
Abstract
Violence
against women is a crime that has received much attention from social
scientists in recent years. From the data collected, it is not known exactly
how many women, in this case, wives are victims of violence, ranging from
reluctance to provide for their wives to sexual violence. Therefore, to
overcome the problem of violence against women in the household, there needs to
be joint action between all parties, both from the community to the apparatus
and legislation that functions properly so that the problem of violence in
Indonesia such as the problem of violence can be overcome properly. In its
current development, victims of domestic violence find it difficult to submit
their suffering to law enforcement, because of the strong view that the harsh
treatment of husbands to wives is part of private events (domestic affairs) so
that it cannot be reported to the police. So that the suffering of victims of
domestic violence (wives) is prolonged without protection. The condition of
victims of such domestic violence is still dilemmatic after the promulgation of
Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence. Because
if a wife who experiences domestic violence reports her husband to the police,
it is feared that the husband will be more violent towards him after the wife
returns home because there is no legal protection from the police and / or
court. There are even some wives who are victims of domestic violence who
prefer to endure the suffering of violence because they feel worried about
their future if their husbands deal with law enforcement.
Keywords: Violence,
Household, Woman, Child
Pendahuluan
Undang-Undang RI Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga merupakan prestasi penting Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) dan gerakan perempuan
di Indonesia. Undang-Undang tersebut
memperluas definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) dan potensi korban KDRT, mengkriminalisasi
pelecehan seksual untuk pertama kalinya
di Indonesia dan mengakui hak-hak
korban.
Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tindak pidana yang banyak mendapat perhatian dari para ahli ilmu sosial
pada tahun-tahun terakhir ini (Amalia,
2014). dari data
yang terkumpul belum diketahui secara pasti berapa banyak
perempuan dalam hal ini istri
yang menjadi korban tindak kekerasan mulai dari keengganan memberi nafkah kepada istri sampai
kepada kekerasan seksualitas.
Maka dari itu untuk mengatasi
masalah kekerasan terhadap perempuan di lingkungan rumah tangga, perlu adanya
tindakan bersama antar semua pihak,
baik dari masyarakat sampai dengan aparat serta
perundang-undangan yang berfungsi
dengan baik sehingga masalah kekerasan di Indonesia seperti masalah kekerasan dapat diatasi dengan
baik (Adami, 2005).�
Menurut para ahli kriminologi, �kekerasan� yang mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik adalah kekerasan yang bertentangan dengaN hukum. Oleh karena itu, kekerasan merupakan kejahatan. Berdasarkan pengertian inilah sehingga kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
dijaring dengan pasal-pasal Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tentang
kejahatan.
Terlebih lagi jika melihat definisi
yang dikemukakan oleh Sanford Kadish dalam Encyclopedia of Criminal Justice, beliau
mengatakan bahwa kekerasan adalah semua jenis perilaku
yang tidak sah menurut kadang-kadang, baik berupa suatu
tindakan nyata maupun berupa kecaman
yang mengakibatkan pembinasaan
atau kerusakan hak milik (Fakih, 2008).
Pada skala nasional realitas sosial Indonesia hari ini memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga masih berlangsung di segala ruang; domestik
(rumah tangga) maupun publik, di segala waktu dan dilakukan oleh banyak orang dengan identitas sosio-kultural yang beragam, dari yang dianggap sebagai �orang terhormat�, terpelajar dan dianggap �shaleh� sampai yang dianggap �orang rendahan� dan �manusia pinggiran�.
Pada sisi lain kekerasan terhadap perempuan dalam kenyataannya tidak hanya dilakukan secara individual melainkan juga
oleh institusi sosial, ekonomi, politik dan budaya (Hasbi,
2017). Kita juga boleh
jadi kehilangan akal untuk dapat
mengidentifikasi secara pasti identitas orang yang diharapkan dapat menjamin keamanan perempuan dari kemungkinan menjadi korban kekerasan. Orang-orang yang paling dekat
dan paling terpercaya dengan
perempuan sekalipun seperti ayah, kakak, adik, paman, dalam
sejumlah� kasus terbukti juga terlibat dalam aksi kekerasan (Wahid, Irfan, & Rasjidi, 2001).
Berkaitan dengan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, Sukerti mengatakan
sebagai berikut: 1) Kekerasan fisik. Contoh: dipukul dengan tangan, dipukul dengan sendok, ditentang, dicekik, dijambak, dicukur paksa, kepala dibenturkan ke tembok; 2) Kekerasan
psikologis. Contoh: diancam, disumpah, pendapat korban tidak pernah dihargai, dilarang bergaul, tidak pernah diajak
timabang pendapat, direndahkan dengan mengucapkan katakata yang sifatnya merendahkan posisi Perempuan. 3) Kekerasan ekonomi. Contoh: membebankan biaya rumah tangga sepenuhnya
kepada perempuan (perempuan yang bekerja secara formal) atau tidak memberikan pemenuhan finansial kepada perempuan, jadi menelantarkan rumah tangga .
Kekerasan terhadap perempuan, biasanya berbentuk penyajian isu, berita yang dibingkai menggunakan bahasa. Bahasa ternyata dipakai untuk memahami
simbol-simbol yang dapat memberikan kejelasan mengenai makna opini dan sikap atas sesuatu hal.
Simbol itu dapat berupa tanda
tertulis, lisan, atau gambar, yang divisualisasikan baik dalam kata-kata maupun gambar. Kategori bahwa bahasa mampu
melahirkan multiinterpretasi
dan pemaknaan bersifat denotatif maupun konotatif yang dapat mempengaruhi perkembangan isu tertentu (Rakhmat, 2003).
Dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai hak korban ditegaskan bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan, pelayanan kesehatan, penanganan secara khusus. Namun dalam
pelaksanaannya hak-hak ini masih terkadang
belum didapatkan korban, karena mengenai hak-hak korban tentu harus ada pihak
lain yang bertugas untuk memenuhi hak tersebut
dan dalam pelaksanaannya pihak yang bertugas untuk memenuhi hak-hak korban masih kurang tegas untuk
memenuhi hak tersebut.
Jika isi dalam
pasal ini bertujuan untuk memenuhi hak-hak korban, dalam rumusannya ditegaskan bahwa �berhak� mendapatkan, hal ini bermakna
relatif seharusnya lebih ditegaskan dengan rumusan �wajib� memberikan, tentunnya kewajiban ini dilakukan oleh para aparat penegak hukum.
Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi tanpa membedakan
latar belakang ekonomi, pendidikan, pekerjaan, etnis, usia, lama perkawinan, atau bentuk fisik
korban (Manan,
2018). Kekerasan
adalah sebuah fenomena lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri atau terjadi begitu
saja. Secara prinsip ada akibat
tentu ada penyebabnya.
Dalam kaitan itu Fathul Djannah
mengemukakan beberapa faktornya yaitu Fathul, (2002): 1) Kemandirian
ekonomi perempuan. Secara umum ketergantungan
perempuan terhadap laki-laki dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan, akan tetapi tidak
sepenuhnya demikian karena kemandirian perempuan juga dapat menyebabkan perempuan menerima kekerasan oleh laki-laki; 2) Karena pekerjaan perempuan. Perempuan bekerja di luar rumah dapat
menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan; 3) Perselingkuhan laki-laki. Perselingkuhan laki-laki dengan perempuan lain atau laki-laki kawin lagi dapat
melakukan kekerasan terhadap perempuan; 4) Campur tangan pihak
ketiga. Campur tangan anggota keluarga dari pihak
laki-laki, terutama ibu mertua dapat
menyebabkan laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan; 5) Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang salah dapat menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga; 6) Karena kebiasaan laki-laki, di mana laki-laki melakukan kekerasan terhadap perempuan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Dalam perkembangannya saat ini para korban kekerasan dalam rumah tangga sulit
mengajukan penderitaan yang
dialaminya kepada penegak hukum, karena kuatnya pandangan bahwa perlakuan kasar suami kepada istri
merupakan bagian dari peristiwa privat (urusan rumah tangga) Mansyur (2007), sehingga tidak bisa dilaporkan
kepada aparat kepolisian. Sehingga penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga
(istri) berkepanjangan tanpa perlindungan.
Kondisi korban kekerasan
dalam rumah tangga yang sedemikian itu ternyata masih
dilematis pula setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Karena jika istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga melaporkan
suaminya kepada kepolisian dikuatirkan suami akan semakin
berlaku kasar terhadap dirinya setelah istri kembali
ke rumahnya lantaran tidak adanya perlindungan hukum dari kepolisian
dan atau pengadilan. Bahkan ada sebagian
istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga lebih
memilih menahan penderitaan kekerasan yang dialaminya karena merasa kuatir terhadap
masa depannya jika suaminya berurusan dengan penegak hukum.
Prinsip pengakuan
dan perlindungan HAM di atas
selaras dengan asas legalitas dalam hukum pidana,
bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana jika tidak
ditentukan terlebih dahulu di dalam perundang-undangan, yang dalam bahasa Latin dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
(tak ada delik, tak ada
pidana tanpa peraturan terlebih dahulu) (Situngkir,
2018).
Dari pernyataan tersebut, bahwa setiap orang pada hakikatnya bebas dari tuntutan
hukum. Selaras dengan hal ini Osman Abdel Malek
al-Saleh mengemukakan asas legalitas dalam Islam, bahwa �no
person can be accused of crime or suffer punishment except as specified by law�
(Tidak seorangpun dapat didakwa atas suatu
kejahatan atau dibebani hukuman kecuali ada ketentuan
hukum yang mengaturnya).
Dalam praktek penegakkan hukum di Indonesia, aturan�aturan hukum
yang digunakan dalam penanggulangan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) tidak hanya terbatas pada ketentuan�ketentuan yang terdapat dalam Undang�Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, tetapi juga ketentuan dalam KUHP dan Undang�Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena pada dasarnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak hanya terjadi terhadap
istri, tetapi anak bahkan ada
suami yang menjadi korban.
Secara umum kekerasan terhadap perempuan hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), dibawah bab tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Misalnya pemerkosaan terhadap perempuan bukan istri diatur
dalam pasal 285 KUHP, terhadap perempuan yang sedang pingsan Pasal 286 KUHP, perempuan dibawah umur pasal
287 KUHP dan perkosaan terhadap
istri dibawah umur Pasal 288 KUHP, perbuatan cabul dan/atau pelecehan seksual Pasal 294 KUHP, perdagangan perempuan Pasal 297 KUHP dan penganiayaan istri Pasal 356 KUHP. Penempatan pasal-pasal tersebut dibawah bab tentang kejahatan
terhadap kesusilaan (crime
against ethics) sendiri menimbulkan
persoalan konseptual karena eksistensi perempuan direduksi menjadi nilai-nilai kesusilaan belaka dan bukan dalam rangka
melindungi eksistensinya sebagai manusia.
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif dan represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah dalam hal ini
melalui aparat penegak hukumnya, seperti pemberian perlindungan atau pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara
memadai. Proses pemeriksaan
dan peradilan yang adil terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan Hak Asasi Manusia serta instrumen
penyeimbang (Suwito
& Aribowo, 2019). Di sinilah
dasar filosofis di balik pentingnya perlindungan terhadap korban kejahatan atau keluarganya.
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan
penelitian ini adalah 1) Bagaimana Penegakkan Hukum Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dan
Anak Dalam Rumah Tangga? 2) Bagaimana
Peran Serta Pemerintah Untuk
Melindungi Perempuan Dan Anak Yang Menjadi Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Di Masa Yang
Akan Datang?
Metode Penelitian
Metode penelitian berperan penting untuk mendapatkan data yang akurat dan terpercaya. Metode penelitian ini juga digunakan sebagai alat atau cara
untuk pedoman dalam melakukan penelitian. Jenis penelitian yang
dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah dengan
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data
kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum
primer, sekunder maupun tersier. Penelitian ini meliputi penelitian
mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berkaitan
dengan hukum yang mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga.
Hasil dan Pembahasan
A. Penegakkan
Hukum Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak di Indonesia
Perlindungan hukum untuk perempuan
korban KDRT ada pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004, tujuan dibentuknya Undang-Undang ini adalah untuk menyelamatkan
para korban kekerasan dalam
rumah tangga. Hal ini tentu saja
merupakan suatu kemajuan yang baik agar para
korban dari kekerasan dalam rumah tangga
ini dapat melakukan penuntutan serta mereka akan
merasa lebih aman karena dilindungi
oleh hukum. Eksistensi suatu perundang-undangan sangat menentukan terwujudnya suatu keadaan tertib
hukum, hal ini sangat diperlukan karena undang-undang merupakan suatu sumber hukum yang utama (Mansyur &
Gultom, 2007).
Meskipun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 telah dibentuk namun tetap saja masih
banyak korban-korban yang tidak
berani bahkan tidak mau untuk
melaporkan atas kekerasan yang telah mereka dapatkan, hal ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor sehingga mereka enggan untuk melaporkan
hal tersebut kepada pihak yang berwenang, faktor-yang menyebabkan mereka enggan melaporkannya antara lain yaitu rasa mau sebab merasa
bahwa hal yang terjadi dalam lingkup
rumah tangga merupakan aib yang harus ditutupi, kemudian ketergantungan ekonomi, serta kinerja para penegak hukum juga bisa saja menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Kurangnya kepercayaan dari masyarakat kepada sistem hukum di Indonesia ini disebabkan fakta sebelum disahkannya
undang-undang no 3 th 2004.
Ada banyak sekali laporan mengenai kekerasan dalam rumah tangga tetapi
laporan tersebut tidak dilanjutkan ke tahap penyidikan
terhadap pelaku kekerasan (Irianto, 2006).
Peran Pemerintah,
pihak kepolisian, dan pengadilan, medis, serta lembaga sosial
tidak berfungsi sebagaimana mestinya, karena paradigma di masyarakat masih menganggap bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga
khususnya kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri merupakan persoalan privat. Korban juga
pada umumnya melakukan pengabaian pada kasusnya karena memiliki rasa takut untuk melaporkan
kasusnya kepada polisi karena memiliki
kekhawatiran kasusnya akan �didamaikan�, memikirkan nasib ekonomi anak dan keluarganya, kekhawatiran terhadap pelaku akan masuk penjara,
serta takut aib keluarganya diketahui oleh masyarakat.
Hal ini
dapat dilihat dari minimnya kasus
kekerasan seksual dalam rumah tangga
(pemaksaan hubungan intim suami istri)
yang diadili oleh pengadilan
dan minimnya pengaduan dari para korban ke kepolisian (Rahardjo, 2009). Maka dalam
kasus kekerasan seksual khususnya yang dilakukan oleh suam terhadap istri sangat diperlukan peran aparat penegak hukum, masyarakat serta lembaga masyarakat
untuk dapat melindungi hak-hak korban kekerasan seksual tersebut.
Penyelesaian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kebanyakan dari korban melaporkan karena sedang sangat emosi pada akhirnya ketika laporan tengah diproses tiba�tiba pelapor
atau korban mencabut laporannya, beralasan karena tidak tega
terhadap suaminya. Ada beberapa kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) yang diselesaikan melalui
jalur pengadilan, tapi tidak sedikit
juga kasus yang demikian diselesaikan secara damai, kekeluargaan atau melalui jalur
non penal.
Penyelesaian kasus secara kekeluargaan
masih sangat kental dipakai di pedesaan atau desa terpencil,
karena di desa terpencil masih banyak memiliki dan menerapkan hukum adat yang sangat kuat. Karena
pada umumnya masyarakat adat berpikiran komunal, magis, religius. Sehingga keputusan yang dihasilkan dengan menggunakan hukum adat tidak
merupakan hasil olah pikir yang rasional oleh karena itu tidak memilih
jalur hukum untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Hukum adat
di setiap daerah pasti berbeda tapi
pada dasarnya hukum adat di Indonesia meliputi asas ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebersamaan, kerakyatan, kesepakatan serta keadilan dan kesepakatan, itulah mengapa di pedesaan terpencil masih menggunakan penyelesaian secara kekeluargaan untuk suatu masalah karena
memiliki asas tersebut dengan tujuan terciptanya kesepakatan dan keadilan untuk kedua pihak.
Dengan adanya beberapa hal yang meliputi asas hukum adat
tersebut, maka dikatakan bahwa hukum adat di Indonesia sebagai hukum yang berfalsafah pancasila, oleh karena itu hukum
adat yang berfalsafah pancasila perwujudannya akan menjadi berbeda�beda di setiap daerah karena meskipun
berbeda�beda tetapi berlandasan dengan falsafah yang sama yaitu Pancasila (Mahmutarom, 2010).
Ketika korban memilih untuk menyelesaikan
kasus ini melalui jalur pengadilan
membuktikan bahwa korban sudah tidak sanggup
jika harus bertahan dengan keadaan yang terus menerus harus merasakan
tekanan dan kesakitan fisik, tetapi jika
ada korban yang memilih untuk menyelesaikan kasus ini secara
kekeluargaan itu membuktikan bahwa korban bergantung pada suaminya, hal inilah yang menjadi kebimbangan atau dilema bagi
para perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan ketika memilih cerai tetapi banyak
pertimbangan seperti anak dan terutama ekonomi, tetapi jika bertahan korban harus mengalami kekerasan yang terus berlanjut.
Tetapi dengan adanya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 ini dapat menepis
sedikit ketakutan para
korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena Undang � Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini juga mengatur perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT).
Kekerasan dalam rumah tangga
menurut UU No. 23 Tahun
2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.43
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga
memperlihatkan suatu pola yang menunjukkan siklus kekerasan diantara pasangan suami istri.
Siklus ini terdiri dari
tiga tahapan (fase) utama, yaitu Fathul (2002): a) Fase ketegangan atau ketegangan yang meningkat Pada tahap ini pelaku
kekerasan mulai menyalahkan pasangannya dan menggunakan penganiayaan kecil untuk mengontrol
pasangannya. Sebaliknya
korban (istri) akan mencoba menyabarkan diri dan timbul perasaan dalam dirinya untuk menyelamatkan
rumah tangga. b) Fase akut atau penganiayaan
akut Pada tahap kedua, ketegangan yang telah meningkat dapat meledak menjadi
tindak penganiayaan.
Dalam hal
ini suami bermaksud untuk memberi pelajaran kepada pasangan, maka timbullah perasaan takut pada istri dan istri mencoba melepaskan rasa marahnya dengan jalan melawan. c) Keadaan tenang atau fase bulan
madu Setelah terjadi penganiayaan pada istri, terkadang pelaku menyadari dan menyesali tindakannya yang telah melewati batas. Umumnya pelaku akan minta maaf
dan berjanji tidak mengulangi penganiayaan lagi. Permintaan maaf suami tersebut
membuat istri merasa bahagia dan mempunyai harapan lagi.
Untuk mengurangi beban penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga,
Pasal 10 undang-undang ini memberikan hak kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, untuk
memperoleh Tamtiari (2005): a) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c) Penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban.
Dengan demikian undang-undang ini mengatur secara
khusus (lex specialis) mengenai perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kaitan ini proses perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga
tahap awal berupa perlindungan sementara.
Dengan demikian, perlindungan sementara merupakan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga (istri)
yang diberikan langsung
oleh kepolisian dan atau lembaga sosial, atau pihak lain,
sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara sangat penting untuk segera diberikan
kepada istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga
karena jika korban harus menunggu turunnya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, dikuatirkan prosesnya lama, sedangkan korban membutuhkan perlindungan dalam waktu relatif cepat.
Urgensi perlindungan sementara ini terutama
bagi korban yang rentan memperoleh tindak kekerasan lanjutan dari suaminya setelah
dia melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib.
Realitasnya ada kemungkinan pelaku (suami) akan semakin marah
dan melampiaskan kemarahannya
kepada korban (istri) setelah diketahui korban melaporkan pelaku kepada kepolisian, seperti yang dialami IR yang mengaku dipukul suaminya sehingga dia harus dirawat
di rumah sakit selama dua hari. Namun setelah satu
hari di rumah sakit, sudah dipaksa
suaminya agar pulang ke rumah (Fathul et al.,
2002).
Sedangkan untuk kekerasan terhadap anak Pidana
bagi pelaku kekerasan terhadap anak dalam KUHP didapat diatur dalam bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak, pidananya disebutkan objeknya adalah anak. Tindak
pidana kekerasan terhadap anak adalah
salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang merupakan contoh kerentanan posisi anak dan berimplikasi jauh pada kehidupan anak, sehingga dia terpaksa
harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis.
Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana kekerasan terhadap anak baik
melalui proses peradilan pidana maupun melalui
sarana kepedulian social tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan kebijakan sosial, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada.
Pada intinya
kekerasan terhadap anak bermuara pada tindakan seseorang/kelompok orang yang mengakibatkan
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, penelantaran anak dan rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan seseorang secara melawan hukum. Dengan demikian,dapat dipahami bahwa tindak kekerasan
akan menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan terhadap orang/anak yang menjadi korban.
Menurut UU No. 13 tahun 2006 yang dimaksud dengan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental atau kerugian ekonomi
akibat suatu tindak pidana atau
kejahatan. Dengan demikian, anak korban kekerasan adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan
yang menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oran /kelompok orang/lembaga/negara.
Salah satu
contoh Penegakkan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak Di
Indonesia adalah Kasus Unggul
Nicanor Siahaan yang melakukan Pemukulan
Terhadap Istri dan Dihukum selama 2 (dua) Tahun. Terdakwa Nicanor melakukan perbuatan kekerasan fisik terhadap isterinya Riama Fransiska Boru Manik hanya karena masalah sepele. Terdakwa kehilangan uang Rp. 100.000,- dan menuduh istrinya yang mengambil. Merasa tidak pernah mengambil
uang dimaksud, Istri membantah sehingga timbul pertengkaran.
Terdakwa merasa jengkel lalu memukul mata
kiri dan pelipis sebelah kiri isteri,
sehingga ia merintih kesakitan. Terdakwa terus mendesak supaya istri mengaku, yang memaksanya mengeluarkan kata-kata
menyakitkan terdakwa: �Nggak ada,
kalau kau terus menuduh saya, besok
saya ganti sama tanah perkuburanmu�.
Mendengar kalimat tersebut, terdakwa melakukan aksi kekerasan berikutnya dengan cara menumbuk
bagian lengan tangan sebelah kiri dan kanan. Perbuatan itu menyebabkan
isteri yang menjadi saksi korban menderita kesakitan, karena pelipis, mata, dan lengan sebelah kiri bengkak, yang seluruhnya dinyatakan dalam visum et repertum oleh Dr. Donny Mega Surya dari
RSU Sarah Medan.
Jaksa Penuntut
Umum menuntut terdakwa melakukan pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana
diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.23 tahun 2004 dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ke-1e KUHP. Atas dasar dakwaan tersebut, terdakwa dituntut hukuman pidana 2 (dua) tahun penjara dan dibebani biaya perkara sebesar Rp. 1.000,-.
Pengadilan Negeri
Medan menyatakan terdakwa Unggul Vicanor Siahaan (Nicanor) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan �tindak pidana
penganiayaan� terhadap isterinya, dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua tahun). Putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi
Medan, dan menyatakan terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana�perbuatan dengan kekerasan terhadap keluarganya�, dan oleh karena itu menghukum
terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan.
Hukuman itu diperberat oleh Pengadilan Tinggi Medan, dengan pertimbangan bahwa penjatuhan pidana terhadap terdakwa dirasa terlalu ringan dan tidak setimpal dengan perbuatannya. Selain itu terdakwa terlalu merendahkan martabat perempuan, yang seharusnya sebagai suami dapat
menjaga dan mengangkat derajat dan martabat seorang perempuan selaku isterinya.
Dalam memori
kasasinya kepada Mahkamah Agung, terdakwa menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri tidak menerapkan hukum acara pidana, karena mengabaikan hak-hak terdakwa untuk didampingi penasehat hukum, melarang menghadirkan saksi-saksi terdakwa, keterangan saksi saling bertentangan, fakta hukum di persidangan tidak dipertimbangkan oleh Majelis
Hakim Tingkat Pertama.
Mengenai pertimbangan hakim tingkat
banding, terdakwa menyatakan
antara lain bahwa saksi korban (isteri)lah yang justeru melakukan penganiayaan terhadap terdakwa dengan cara menggigit
sebelah kiri dan memukul pakai alu, namun terdakwa tidak membuat pengaduan,
sehingga kini masih berbekas di tangan terdakwa.
Tindakan saksi
korban itu tidak terungkap di Pengadilan Negeri
Medan, sehingga terdapat adanya manipulasi fakta. Putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak sesuai dengan tuntutan
Jaksa Penuntut Umum yang hanya
menuntut hukuman 2 (dua) tahun penjara, sehingga putusan tersebut dianggap tanpa pertimbangan dan dasar hukum yang jelas. Selain itu, terdakwa keberatan dengan pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi, karena terdakwa melakukan tindak pidana yang merendahkan wanita tidak dikuatkan dengan bukti-bukti dan saksi-saksi, sehingga haruslah ditolak.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi yang diajukan pemohon terdapat cukup alasan untuk dikabulkan,
sehingg putusan Pengadilan Tinggi Medan harus dibatalkan. Dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan yang dianggap
sudah tepat, dan pertimbangannya diambil alih oleh Mahkamah Agung, dan dengan mengadili sendiri Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi pemohon kasasi/terdakwa dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, dengan menyatakan terdakwa Unggul Vicanor Siahaan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap istrinya, dan menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
B. Peran Serta Pemerintah Untuk Melindungi Perempuan Dan Anak Yang Menjadi
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
di Masa Yang Akan Datang
Pada dasarnya
seseorang telah melakukan suatu tindak pidana dapat
dikenai sanksi pidana apabila perbuatannya tersebut memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Unsur-Unsur tindak pidana yang harus dipenuhi antara lain adalah suatu perbuatan
memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang yang dianggap mampu bertanggungjawab.
Peran Pemerintah
sebagai regulator merupakan
hal yang paling penting. Regulasi ini yang akan menjadi payung
hukum dalam pelaksanaan program maupun kegiatan suatu lembaga pemerintah. Peran Pemerintah sebagai sebagai regulator menurut Lembaga
Administrasi Negara yaitu menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui terbitan aturan-aturan. Kaitannya dengan penyelenggaraan perlindungan dan penanganan kekerasan dalam rumah tangga, pemerintah
memegang tanggung jawab terbesar dari seluruh rangkaian
kegiatan perlindungan dan penanganan kekerasan dalam rumah tangga.
Salah satunya
yaitu sebagai regulator,
yang dapat melaksanakan perlindungan korban kekerasan dengan membentuk berbagai peraturan-peraturan yang
melandasi kegiatan-kegiatan
yang mendukung upaya perlindungan dan penanganan kekerasan dalam rumah tangga. Pemerintah
sebagai regulator tersebutlah
yang membuat acuan dasar kepada masyarakat
sebagai instrumen untuk mengatur segala kegiatannya.
Berbagai tindak
kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi merupakan masalah serius dan dapat ditemukan dimana-mana, baik itu di lingkungan keluarga, tempat kerja, masyarakat dan negara. Dengan bentuk fisik,
psikis, seksual dan penelantaran rumah tangga dengan pelaku
kekerasan baik oleh perorangan, keluarga atau kelompok yang ada dalam rumah
tangga. Masalah kekerasan dalam rumah tangga
perlu diatur secara khusus dalam
sebuah Undang-Undang, mengingat konteks permasalahannya yang juga spesifik.
Karena KUHP sendiri tidak mengenal
istilah kekerasan dalam rumah tangga.
Padahal istilah ini penting untuk
dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat
maupun aparat hukum, sehingga tidak menganggap serius adanya kekerasan
dalam rumah tangga atau hanya
menganggap masalah rumah tangga sebagai
masalah privat.
Dengan dibentuknya Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan
dan Anak juga mendukung sarana
prasarana tersebut dengan adanya, program fasilitasi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A) dimana kegiatannya
melakukan koordinasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
dan Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) terkait, melakukan
validasi data dengan lembaga penerima layanan lainnya seperti puskesmas, kepolisian, dan LSM.
Melakukan sosialisasi terkait KDRT dengan tokoh masyarakat,
organisasi kemasyarakatan seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dengan guru Budi Pekerti (BP),
dan anak-anak. Melakukan
Forum Group Discussion (FGD) dan membentuk tim khusus perlindungan
perempuan dan anak.
Berbagai sarana dan prasarana
tersebut dapat mendukung upaya pencegahan terhadap tindak kekerasan perempuan dan anak. Sosialisasi yang dilaksanakan sebagai bentuk upaya pencegahan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Peran masyarakat
juga sangat diperlukan dalam
proses perlindungan kekerasan
dalam rumah tangga tersebut. Mulai dari tahap pengaduan,
dimana korban bisa melapor atau melakukan
pengaduan melalui perangkat desa seperti Lurah, RT/RW, SATGAS KDRT dan Bhabinkamtibmas
yang nantinya Lurah, RT/RW dan Bhabinkamtibmas
tersebut yang membantu korban
menyampaikan laporannya ke P2TP2A. Selain itu, dalam tahap proses penanganan juga sangat dibutuhkan
peran dari perangkat desa. Oleh karena itu, P2TP2A berkoordinasi dengan perangkat desa seperti RT/RW dalam melakukan pengawasan. Karena P2TP2A
tidak mampu melakukan pengawasan secara langsung ke lapangan secara
rutin, maka dibutuhkan peran dari perangkat desa tersebut.
1. Mekanisme
penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mekanisme penyelesaian tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melalui dua jalur, yang pertama penyelesaian melalui jalur persidangan
(pendekatan penal) yang kedua
penyelesaian melalui jalur diluar pengadilan
atau penyelesaian secara kekeluargaan (sistem non peradilan pidana/non penal).
Sistem peradilan merupakan suatu sistem yang dibuat untuk menangani
masalah�masalah yang terjadi dalam ruang
lingkup masyarakat, yang menyebabkan terjadinya kejahatan sehingga membuat kenyamanan dari masyarakat itu terganggu. Sistem peradilan pidana sebagai salah satu sistem penegakan
hukum tidak hanya difungsikan untuk memproses suatu perkara dengan
cepat, biaya murah, serta transparan
tetapi juga memikirkan hak � hak asasi
manusia, hak asasi korban dan pelaku untuk dilindungi.
Proses penyelesaian
yang dimaksudkan adalah melalui tahap-tahap berikut yakni: 1) Tahap penyelidikan/penyidikan Tahap yang dilakukan di tingkat kepolisian. Kepolisian, dengan tugas utama
menerima laporan dari pihak � pihak
yang merasa dirugikan, melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap suatu tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus�kasus yang dapat dilimpahkan kepada kejaksaan, dan melaporkan hasil penyidikan. 2)� Tahap Penuntutan Kejaksaan dengan mengemban tugas utama, menyaring
kasus�kasus yang dapat dilimpahkan ke kejaksaan, menyiapkan
berkas penuntutan, melakukan penuntutan, dan melaksanakan putusan pengadilan. 3) Tahap Persidangan Tahap persidangan yang ditangani oleh lembaga yang berwenang yakni adalah Pengadilan.
Pengadilan dengan mengemban kewajiban untuk menegakkan hukum, melindungi apa yang menjadi hak dan kewajiban dari terdakwa, saksi, maupun korban pada saat sidang sedang
berjalan, memeriksa kasus dengan baik,
cermat, dan teliti sehingga tidak akan ada kekeliruan,
dan memberikan putusan yang
dipandang adil untuk semua pihak
yang terkait. 4)������ Lembaga
Pemasyarakatan Setelah ada putusan dari
pengadilan, maka selanjutnya pelaku dilimpahkan ke LAPAS atau Lembaga Pemasyarakatan yang memiliki fungsi untuk menjalankan putusan pengadilan terhadap pelaku untuk dilakukan pemenjaraan terhadap narapidana, melindungi hak � hak narapidana,
menjaga kondisi LP dengan baik, kemudian
mempersiapkan narapidana untuk kembali berkecimpung
dalam lingkungan masyarakat, ada upaya�upaya untuk
memperbaiki narapidana dengan harapan semua upaya yang diterapkan kepada narapidana selama berada dalam lembaga
dapat berfungsi dan narapidana tidak melakukan kesalahan yang melawan hukum lagi
ketika berada dalam lingkungan masyarakat.
Hal yang dimaksud
di atas mengacu pada hukum pidana formil
pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Ketentuan mengenai tata cara beracaranya harus mengacu padaKUHAP. Dasar hukum atas penyelesaian
kasus kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) dalam Pasal 102
KUHAP, keharusan bagi penyidik untuk segera menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) tidak hanya diatur dalam KUHAP, tetapi diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT) Pasal 19.
Sedangkan Penyelesaian secara kekeluargaan menjadi salah satu upaya yang diberikan kepada kedua belah pihak
yang sedang bermasalah. Sebelum masalah dilanjutkan ke tahap pengadilan, maka kedua pihak
diberikan pilihan untuk melakukan mediasi secara kekeluargaan. Adapun tahap � tahap dalam penyelesaian
kasus kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) melalui jalur non
penal.
Adapun tahapan-tahapannya
adalah sebagai berikut: 1) Sepakat untuk menempuh proses mediasi; 2) Memahami masalah�masalah; 3) Membangkitkan pilihan�pilihan pemecahan masalah; 4) Mencapai kesepakatan; 5) Melaksanakan kesepakatan
Penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) dengan jalur non
penal juga memiliki dasar hukum (Kadri Husin &
Budi Rizki Husin, 2022). Proses penyelesaian
perkara kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) melalui jalur non
penal berdasarkan pada Surat Kapolri
No. Pol: B./3022/XII/2009/ Sdeops tgl.
14 Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui ADR, yaitu terhadap tindak pidana, dengan kerugian kecil dan disepakati oleh para pihak yang berperkara, melalui prinsip musyawarah mufakat, serta menghormati norma hukum sosial dan/atau adat dan berasaskan keadilan bagi para pihak.
Penyelesaian secara kekeluargaan juga memiliki banyak manfaat yakni masyarakat
atau khususnya kedua pihak yang bersangkutan dapat secara langsung masuk dalam penyelesaian
permasalahan, kedua pihak dapat mengetahui
secara langsung apa yang harus dilakukan, karena ada baiknya jika
tidak terus menerus aparat hukum yang menyelesaikan permasalahan.
Tapi, ketika
kedua pihak yang secara langsung menyelesaikan, tidak serta merta aparat
tidak ikut campur dalam hal
itu dan tidak pula korban tidak mendapatkan hak�haknya, maka
dari itu pada saat dilakukan mediasi atau penyelesaian
secara kekeluargaan, korban
dapat mengutarakan apa yang menjadi keganjilan, apa yang diharapkan dalam penyelesaian kasus ini, dan apa yang menjadi kerugian korban.
Pelaku juga dapat mengutarakan hal yang sama dihadapan
para penegak hukum, namun penyelesaian secara kekeluargaan tetap memprioritaskan apa saja yang menjadi
hak � hak korban dan untuk merealisasikan harapan � harapan pelaku dan khususnya korban disini harus dilaksanakan
dengan adanya kewenangan dari diskresi kepolisian. Ini lah salah satu manfaat menyelesaikan masalah secara kekeluargaan bahwa permasalahan dapat dilaksanakan dengan cepat, keputusan yang diambil adalah merupakan keputusan yang telah dirundingkan oleh kedua pihak, yang oleh karena itu kedua
belah pihak akan merasa adil.
Kesimpulan
Secara umum
kekerasan terhadap perempuan hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), dibawah bab tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Misalnya
pemerkosaan terhadap perempuan bukan istri diatur dalam pasal 285 KUHP,
terhadap perempuan yang sedang pingsan Pasal 286 KUHP, perempuan dibawah umur
pasal 287 KUHP dan perkosaan terhadap istri dibawah umur Pasal 288 KUHP,
perbuatan cabul dan/atau pelecehan seksual Pasal 294 KUHP, perdagangan perempuan
Pasal 297 KUHP dan penganiayaan istri Pasal 356 KUHP.
Penempatan
pasal-pasal tersebut dibawah bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan (crime
against ethics) sendiri menimbulkan persoalan konseptual karena eksistensi
perempuan direduksi menjadi nilai-nilai kesusilaan belaka dan bukan dalam
rangka melindungi eksistensinya sebagai manusia sedangkan Tindak pidana bagi
para pelaku kekerasan terhadap anak dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) didapat beberapa pasal yang mengatur tentang bentuk-bentuk kekerasan
terhadap anak dan juga aturan pidananya baik yang secara langsung disebutkan
objeknya adalah anak, maupun secara tidak langsung.
Beberapa pasal
dalam KUHP yang mengaturnya adalah: tindak pidana (kejahatan) terhadap
asal-usul dan perkawinan, yaitu melakukan pengakuan anak palsu (Pasal 278); Bab
XVtentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan Pasal 285, 287, 289, 290, 291, 292,
293, 294, 295, 297, dan 305 KUHP. Para pelaku kekerasan terhadap anak secara
khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
dibentuk. Mengenai pengaturan pidana kekerasan terhadap anak secara khusus
telah diatur dalam Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002: (1).
Setiap orang
yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan
terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua
juta rupiah), (2). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka
berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), (3).
Dalam hal anak mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) Tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah), (4). Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Penetapan sanksi pidana kepada pelaku
kekerasan dalam rumah tangga secara
hukum formil harus melalui proses penegakan hukum. Suami tidak bisa serta
merta langsung dihukum (ditahan atau dipenjara) tanpa melalui proses hukum sesuai prosedur
hukum acara pidana. Dalam kaitan ini Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 memberikan aturan langsung mengenai proses penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalamrumah tangga dan Peran serta pemerintah dalam memberikan perlindungan Sebagai perlindungan yang bersifat psikologis, korban membutuhkan pendampingan, baik yang berkaitan dengan pelayanan bersifat rohani dari pembimbing rohani, maupun advokasi dalam proses hukum. Untuk pelayanan
yang bersifat rohani.
Berdasarkan Pasal 24 Undang-undang ini, pembimbing rohani diharuskan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban
dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban. Khusus untuk upaya pemulihan
korban, pelayanan yang diberikan
dapat diperoleh dari tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan atau pembimbing rohani.
BIBLIOGRAFI
Adami, Chazawi. (2005). Tindak Pidana mengenai
kesopanan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Amalia, Mia. (2014). Kekerasan Perempuan dalam
Perspektif Hukum dan Sosiokultural. Jurnal Wawasan Yuridika, 25(2),
399�411.
Fakih, Mansour. (2008). Analisis gender dan
transformasi sosial. (No Title).
Fathul, Djannah, Nuraisah, M. S., & Chuzaimah, B.
(2002). Kekerasan terhadap istri. Yogyakara: LKIS.
Hasbi, Muhammad. (2017). kekerasan terhadap perempuan
menurut tinjauan agama dan Sosiologi. AL-MAIYYAH: Media Transformasi Gender
Dalam Paradigma Sosial Keagamaan, 10(2), 263�277.
Irianto, Sulistyowati. (2006). Perempuan di
persidangan: pemantauan peradilan berperspektif perempuan. Yayasan Obor
Indonesia.
Kadri Husin, SHMH, & Budi Rizki Husin, SHMH.
(2022). Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Sinar Grafika.
Mahmutarom, H. R. (2010). Rekonstruksi Konsep Keadilan.
Badan Penerbit Undip. Semarang.
Manan, Mohammad�Azzam. (2018). Kekerasan dalam rumah
tangga dalam perspektif sosiologis. Jurnal Legislasi Indonesia, 5(3),
9�34.
Mansyur, Dikdik M. Arief, & Gultom, Elisatris.
(2007). Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta,
Rajawali Pess, Hal, 177�178.
Rahardjo, Satjipto. (2009). Penegakan hukum: suatu
tinjauan sosiologis.
Rakhmat, Jalaludin. (2003). Psikologi Komunikasi,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Situngkir, Danel Aditia. (2018). Asas Legalitas Dalam
Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana Internasional. Soumatera Law Review,
1(1), 22�42.
Suwito, Edy, & Aribowo, Mulyadi. (2019).
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam Peradilan
Pidana. Mizan: Jurnal Ilmu Hukum, 8(1), 27�31.
Tamtiari, Wini. (2005). Awig-awig: melindungi
perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga? Kerja sama Ford Foundation
dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan �.
Wahid, Abdul, Irfan, Muhammad, & Rasjidi, Lili.
(2001). Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual: advokasi atas hak asasi
perempuan. (No Title).
Copyright holder: Fery Singgih
Ardianto, Parasian Simanungkalit, Anwar Sadat (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |