Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 9, September 2023

 

SANKSI PIDANA PERZINAHAN AKIBAT ADANYA DELIK ADUAN DARI PIHAK YANG DIRUGIKAN MENURUT PASAL 284 KUHP

 

Muhammad Ridho Muttaqien, Anyelir Puspa Kemala

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan menganalisa hukum mengenai Sanksi Pidana Perzinahan Akibat Adanya Delik Aduan Dari Pihak Yang Dirugikan Menurut Pasal 284 Ayat (1) KUHP. Salah satu perilaku yang diatur terkait perzinahan dalam pernikahan adalah perzinahan dalam konteks hukum Islam dan overspel dalam literatur hukum pidana. Merajalelanya perzinahan dalam kehidupan masyarakat telah menodai adanya suatu ikatan suci dalam perkawinan. �Dengan adanya sebuah perkawinan tersebut diharapkan dapat menciptakan keluarga yang tera, oleh karena itu maka dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan. suami istri yang terbukti melakukan perzinahan, salah satu yang dirugikan dapat melaporkan pasangannya tersebut melalui kepolisian. Mengenai sanksi yang dapat diterima oleh pelaku perzinahan, merujuk pada ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelakunya diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan. Hal ini berlaku untuk suami maupun istri yang menjadi selingkuhannya tersebut. Jika perzinahan telah mengarah ke perbuatan zina, maka suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya serta selingkuhannya ke polisi atas dasar perbuatan perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 284 KUHP ini merupakan suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan dan atau yang dimalukan. Selain itu, laporan pidana gendak (overspel) tidak dapat diproses lebih lanjut oleh Kepolisian apabila yang melaporkan bukanlah pasangan resmi pihak yang dirugikan.

 

Kata Kunci: Perkawinan, Perzinahan, Delik Aduan

 

Abstract

This study aims to obtain information and analyze the law regarding the criminal sanctions for adultery due to complaints from the injured party according to Article 284 paragraph (1) of the Criminal Code. One of the regulated behaviors related to adultery in marriage is adultery in the context of Islamic law and overspel in criminal law literature. The rampant adultery in public life has tarnished the existence of a sacred bond in marriage. "With the existence of a marriage, it is hoped that it can create a tera family, therefore a law on marriage was formed. A husband and wife who are convicted of adultery, one of the aggrieved can report the spouse through the police. Regarding the sanctions that can be received by adulterers, referring to the provisions of Article 284 of the Criminal Code, the perpetrators are threatened with imprisonment for a maximum of nine months. This applies to both husband and wife who are having an affair. If adultery has led to adultery, then the spouse of the spouse who committed adultery can report his wife/husband and infidelity to the police on the basis of adultery as stipulated in Article 284 of the Criminal Code (KUHP). Article 284 of the Criminal Code is an absolute complaint offense, meaning that it cannot be prosecuted if there is no complaint from the aggrieved and/or humiliated husband or wife. In addition, overspel criminal reports cannot be processed further by the Police if the reporting person is not the official spouse of the injured party.

 

Keywords: Marriage, Adultery, Delik Complaint

 

Pendahuluan

Hukum Pidana Indonesia dalam sejarahnya merupakan produk asli Belanda yang diterapkan oleh bangsa Indonesia (Hamzah, 2017). Dalam pembahasannya hukum pidana Indonesia memuat berbagai jenis tindak pidana yang diantaranya adalah tindak pidana perzinahan. Ketentuan larangan zina di Indonesia hanya berlaku bagi pasangan yang salah satunya atau keduanya terikat dalam perkawinan. Hukum pidana Indonesia tidak melarang adanya perzinahan yang terjadi antara orang yang berlainan jenis dan tidak terikat dalam perkawinan (Amalia, 2018). Selain itu tindak pidana perzinahan tergolong sebagai delik aduan yang hanya bisa diproses apabila ada pihak yang mengadukan tindak pidana tersebut.

Lain halnya dengan hukum pidana yang diadopsi dari barat, zina tidak dianggap sebagai pelanggaran dan tentu tidak dihukum, selama tidak ada yang merasa dirugikan. KUH Pidana memang menganggap bahwa persetubuhan diluar perkawinan adalah zina, namun tidak semua perbuatan zina dapat dihukum. Perbuatan yang memungkinkan untuk dihukum adalah perbuatan zina yang dilakukan laki-laki maupun wanita yang telah menikah sedangkan zina yang dilakukan oleh laki-laki maupun wanita yang belum menikah tidak termasuk larangan tersebut.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa: �Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa�.

Salah satu perilaku yang diatur terkait perzinahan dalam pernikahan adalah perzinahan dalam konteks hukum Islam dan overspel dalam literatur hukum pidana (Kurniawan, Sihombing, & Berliane, 2023). Merajalelanya perzinahan dalam kehidupan masyarakat telah menodai adanya suatu ikatan suci dalam perkawinan. �Dengan adanya sebuah perkawinan tersebut diharapkan dapat menciptakan keluarga yang Sejahtera.

Oleh karena itu maka dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan (Munarki, 2006). Menurut Salim HS menyatakan bahwa, �pernikahan dalam waktu yang sama, seorang laki-laki hanya diperbolehkan memiliki satu orang perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan hanya diperbolehkan satu orang laki-laki sebagai suaminya.� (Hs, 2008). Perzinahan dalam pandangan R. Soesilo, merupakanpersetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya.

Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak (Soesilo, 1974). Dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP, proses penuntutan atau pelaporan tindak pidana gendak (overspel) hanya dapat dilakukan atas pengaduan suami atau istri. Perzinahan.

Suami istri yang terbukti melakukan perzinahan, salah satu hak yang merasa dirugikan dapat melaporkan pasangannya tersebut dengan membuat laporan melalui kepolisian. Dasar hukum membuat laporan tersebut ada di dalam pasal 284 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana selama 9 (sembilan) bulan. Pasal tersebut mengatur bahwa:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: a) Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya. b) Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga. (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Mengenai sanksi yang dapat diterima oleh pelaku perzinahan, merujuk pada ketentuan Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pelakunya diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan. Hal ini berlaku untuk suami maupun istri yang melakukan perzinahan. Pihak suami/istri dari pasangan yang melakukan zina dapat melaporkan istri/suaminya serta selingkuhannya ke polisi atas dasar perbuatan perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam KUHP memang tidak diatur secara khusus mengenai istilah perzinahan. Namun kita bisa menggunakan istilah yang ada dalam KUHP terjemahan Prof. Oemar Seno Adji, S.H., et al yakni istilah mukah (overspel) dan tidak menutup kemungkinan ada perbedaan terminologi dalam KUHP terjemahan lain, sehingga untuk kasus ini dapat dikenakan Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a KUHP. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.

Lebih lanjut R. Soesilo berpendapatperaturan perundang-undangan di Indonesia belum efektif mengatasi masalah perzinahan yang terjadi dalam masyarakat, Oleh karena itu, terlihat dari tindakan kasus perzinahan yang semakin marak, berani, dan tidak tercermin rasa bersalah (Soesilo, 1995). Tindak pidana perzinahan dalam KUHP termasuk jenis kejahatan terhadap kesusilaan, hal ini dikemukakan Muhammad Abdul Kadir, bahwa:

Kejahatan yang dimaksud telah dimuat dalam kurang lebih 5 (lima) Pasal yaitu 284 (perzinahan), Pasal 285, (pemerkosaan bersetubuh), Pasal 286, (bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya dalam keadaan pingsan), Pasal 287, (bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur lima belas tahun yang bukan istrinya) Pasal 288, (bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawinkan dan menimbulkan luka-luka atau kematian)� (Abdulkadir, 2000).

Adapun yang menjadi rumusan masalahnya di dalam penelitian adalah: 1) Bagaimana Sanksi Pidana Perzinahan Akibat Adanya Delik Aduan? 2) Bagaimana Dampak Pasal 284 KUHP yang Mengatur tentang�� Perzinahan?

 

Metode Penelitian

Metode pendekatan yang dilakukan oleh Penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Sanksi Pidana Perzinahan Akibat Adanya Delik Aduan dari Pihak Yang Dirugikan Menurut Pasal 284 Ayat (1) KUHP. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Soekanto, 1985).

Pendekatan yuridis adalah pendekatan yang memakai kaidah-kaidah serta perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, sedangkan pendekatan normatif adalah penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai data utama, yaitu bahwa Penulis tidak perlu mencari data langsung ke lapangan.

Adapun spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, dan untuk menarik suatu kesimpulan dan hasil penelitian, maka data yang telah dikumpulkan oleh Penulis dalam penelitian ini kemudian dianalisis secara yuridis kualitatif, dengan mengacu pada data sekunder yang Penulis peroleh dari penelitian kepustakaan, baik terhadap peraturan perundangan maupun terhadap teori ataupun pendapat para pakar yang berkaitan dengan sanksi perzinahan akibat adanya delik aduan dan penerapan Pasal 284 Ayat (1) KUHP yang Mengatur tentang Perzinahan, yaitu dengan menyusun secara sistematis yang bertujuan untuk dianalisis tanpa menggunakan angka-angka.

 

Hasil dan Pembahasan

Sanksi Pidana Perzinahan Akibat Adanya Delik Aduan

Kasus Perzinahan dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam pasal 284 KUHP, yang berbunyi: Dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) bulan, laki-laki yang beristri berbuat zina sedang diketahuinya bahwa pasal 27 KUHPerdata berlaku padanya, dan perempuan yang bersuami berbuat zina.

Perbuatan perzinahan adalah merupakan delik aduan yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari pihak yang mempunyai hak untuk mengatakan hal tersebut (pasal 284 ayat 2 KUHP) (Bahiej, 2003). Pengaduan-pun oleh hukum dibatasi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut diketahui atau dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan, jika pengadu berada di luar negeri (pasal 74 ayat 1 KUHP).

Pengaduan terhadap kasus perzinahan dapat dilakukan pencabutan selama persidangan perkara tersebut belum dimulai (pasal 284 ayat 4 KUHP). Hal ini berbeda dengan delik aduan lainnya yang mana hanya boleh dicabut dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ia memasukan pengaduannya tersebut ke Kepolisian (pasal 75 KUHP). Overspel dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap kesetiaan dalam hubungan perkawinan (Santoso, 1997).

Khusus kasus perzinahan, akan diproses oleh pihak kepolisian jika ada bukti yang cukup bahwa telah terjadi perzinahan tersebut dan saat itu juga harus disertai dengan adanya gugatan perceraian dari pihak suami atau istri yang dirugikan tersebut (vide pasal 284 ayat 5 KUHP). Tanpa adanya gugatan cerai, maka kasus perzinahan tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan, walaupun peristiwa perzinahan tersebut bisa dibuktikan benar-benar terjadi.

Sistem hukum pidana tentang tindak pidana yang ada di Indonesia memandang berbeda terhadap delik perzinahan sebagai bagian dalam delik-delik mengenai kesusilaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Sistem hukum yangberlaku dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai - nilai kesusilaan. Perzinahan akan dipandang sebagai sebuah bentuk perbuatan yang bisa tergantung kemauan tiap individu.

Perzinahan akan dipandang tercela jika hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan dan bukan dianggap sebagai pelanggaran kejahatan terhadap hukum tuhan yang harus dibasmi. Peranan aparat penegak hukum dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus tindak pidana perzinahan dituntut untuk profesional yang disertai kematangan intelektual dan integritas moral yang tinggi.

Hal tersebut diperlukan agar proses peradilan dalam menyelesaikan kasus tindak pidana perzinahan dapat berjalan dengan tuntas dan pelaku dikenai pidana yang seadil-adilnya. Perzinaan tampak sebagai kegiatan yang bersifat sangat pribadi, namun pada dasarnya perzinaan adalah kegiatan pribadi yang memiliki dimensi sosial luas. Oleh karena itu, Upaya penanggulan kejahatan perzinahan senantiasa menjadi pembicaraan yang menarik bagi banyak kalangan, khususnya ahli hukum pidana dan kriminologi. Dalam hukum pidana ada pembicaraan mengenai nilai dan norma, yakni larangan atau suruhan, dan ada sanksi atas pelanggaran nilai dan norma itu berupa ancaman pidana (Yuliansyah, Iskandar, & Umami, 2021).

Menurut pasal 284 KUHP perzinahan adalah seorang pria atau wanita yang melakukan persetubuhan dengan yang bukan suami atau istri sah nya.Dalam KUHP sendiri terdapat unsurunsur yang harus terpenuhi dalam tindak pidana perzinahan yaitu bersetubuh dengan pria atau wanita yang salah satu diantara keduanya telah terikat tali perkawinan yang sah.

Dan perzinahan yang dilakukan dengan dasar sama-sama mengetahui bahwa pihak-pihak yang melakukan telah terikat perjanjian pernikahan tanpa ada unsur paksaan dari salah satu pihak, dan pihak yang melakukan tindak pidana perzinahan diancam dengan hukuman penjara maksimal 9 bulan penjara. Di kehidupan masyarakat perzinahan merupakan suatu masalah sosial yang sangat mencederai etika dan moral namun pada prakteknya kasus perzinahan ini sangat jarang diproses secara hukum, dikarenakan kasus ini membutuhkan pembuktian yang sangat amat rumit.

Di dalam sebuah kasus hukum pidana diperlukan alat bukti dan saksi untuk mendukung jalannya proses penuntutan. Kendala alat bukti serta saksi inilah yang membuat para aparat penegak hukum menjadi kesulitan dalam mengungkap sebuah kasus perzinahan. Kebanyakan kasus perzinahan juga sangat sulit mendapatkan saksi yang perlu diambil keterangannya, mengingat ini merupakan suatu aib membuat orang�orang enggan turut ikut campur dalam masalah ini. Masalah ini juga yang kerap menimbulkan spekulasi kepada para pelaku, dikarenakan korban yang dirugikan merasa jalur hukum atas kasus perzinahan sangat sulit dan mengingat hukuman penjara yang dijatuhkan kepada pelaku perzinahan cukup ringan.

Tindak pidana perzinahan dalam lingkup hukum pidana di Indonesia termasuk tindak pidana aduan, artinyaTindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana harus terlebih dahulu adanya pengaduan oleh pihak yang berhak mengajukan pengaduan (Chazawi, 2010).

 

Analisis Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Mengatur tentang Perzinahan

Salah satu perbuatan yang dianggap dan disepakati sebagai perbuatan yang paling tabu dan keji dalam kehidupan masyarakat adat adalah perbuatan berzina (adultery). Adalah hal yang menarik mengenai perbedaan pengertian zina sebagai delik yang dirumuskan di dalam KUHP Indonesia yang berlaku saat ini, dengan zina sebagai perbuatan yang oleh masyarakat adat disepakati sebagai delik adat dan karena harus dikenai sanksi.

Di dalam KUHP delik zina dirumuskan di dalam Pasal 284 KUHP Ayat (1) dengan kriteria bahwa salah satu pihak atau kedua pelakunya (laki-laki dan wanita) dalam keadaan terikat pada perkawinan sah. Sementara itu Ayat (2)-nya memberikan mekanisme penyelesaiannya dengan menjadikan zina sebagai delik aduan, yaitu hanya dapat dituntut hanya berdasarkan adanya pengaduan dari suami atau istri yang merasa dirugikan atau tercemar.

Menurut Pasal 284 KUHP, perzinahan adalah hubungan seksual antara pasangan yang berbeda jenis kelamin diluar nikah. penuntutan hanya dilakukan dengan didahului pengaduan oleh pihak suami atau istri yang merasa dirugikan dan merupakan delik aduan absolut (Soesilo, 1974). Tindak pidana perzinaan tergolong sebagai delik aduan yang hanya bisa diproses apabila ada pihak yang mengadukan tindak pidana tersebut (Marpaung, 1996). Pandangan publik tentang perzinaan jauh lebih kompleks daripada yang ditetapkan dalam hukum nasional. Perzinaan bukan hanya selingkuh, tetapi lebih bermoral dan harus dicegah sejak dini, dan bukan hanya setelah menikah.

Perspektif ini muncul dalam masyarakat karena pengaruh norma-norma agama dan kekuasaan yang kuat dari rakyat terhadap nilai-nilai pancasila, di mana ajaran-ajaran pertama menyebutkankepercayaan pada Yang Maha Agung� sehingga hukum yang taat kepada Tuhan lebih baik daripada hukum lainnya. Dengan demikian definisi perzinahan yang tertanam dalam nilai-nilai masyarakat cenderung sifat perzinahan dalam agama, yang menganggap bahwa perzinahan sebagai tindakan keji dan jalan yang buruk (Amri & Busthami, n.d.).

Bahwa moral dan susila yang hidup di masyarakat kita lebih cenderung untuk mengklasifikasi perzinahan sebagai suatu tindak pidana. Pencantuman pasal perzinaan dalam KUHP semestinya dipidanakan karena menurut agama telah melanggar kesucian dari perkawinan atau merupakan suatu �extra-marital sexual intercourse� yang harus dicela (Adji, 1981).

Sebagaimana pengaturan tentang zina terdapat dalam pasal 284 KUHP sangat jelas hanya mengatur tentang perzinahan, dimana pasal tersebut hanya berlaku jika salah satu pelaku atau keduanya masih terikat oleh perkawinan yang sah dengan orang lain. Kemudian pada ayat (2) menjelaskan perbuatan zina merupakan pelanggaran pengaduan. yang hanya bisa dituntut jika pasangan sah melakukan keberatan atau aduan kepada pihak kepolisian.

Pasal 284 KUHP memberikan celah bagi masyarakat yang belum kawin untuk dapat melakukan perbuatan zina. Dengan kata lain, pria atau wanita yang belum kawin tidak menjadi cakupan dalam Pasal ini, sehingga efek yang timbul adalah terjadinya pergaulan bebas atau hubungan seksual yang dilakukan oleh masyarakat yang belum kawin.

Ditinjau dari faktor masyarakat, masyarakat Indonesia dalam menyikapi perbuatan zina terkadang tidak sesuai dengan aturan yang terdapat dalam pasal 284 KUHP. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaku perzinahan. Maka tanpa disadari, timbulnya main hakim sendiri mengindikasikan bahwa perzinaan semata-mata tidak lagi bersifat pribadi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 284 KUHP.

Terjadinya main hakim sendiri merupakan dampak sosial terhadap kelemahan pasal 284 KUHP. Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan secara seksama dalam proses penegakan hukum, karena apabila hal itu kurang mendapat perhatian maka penegakan hukum tidak akan tercapai. Karena pada kenyataannya, substansi dalam pasal 284 KUHP tidak mencerminkan dan mengakomodir nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, contohnya nilai rukun yang ada di dalam masyarakat seperti tolong menolong dan saling menghargai.

Bahwa Perluasan terhadap Pasal 284 bisa juga menyebabkan perbuatan zina menjadi delik umum, dan bukan lagi menjadi delik aduan. Hal ini karena norma agama dan sosial yang ada di dalam masyarakat ketika mendapati perempuan dan laki-laki yang berduaan dan tidak terikat perkawinan adalah perbuatan maksiat sehingga harus dilaporkan, dan akibatnya menjadi main hakim sendiri.

Perubahan ini juga bisa mencabut hak warga negara menikmati perlindungan bagi institusi perkawinan dan keluarganya. Maka, tidak jarang suami istri memutuskan untuk tidak melaporkan zina yang dilakukan pasangannya karena tidak ingin perkawinannya terhenti atau anak-anaknya mengetahui dampak dari perluasan Pasal 284 KUHP yakni untuk mengurangi jumlah perempuan hamil diluar nikah dan ditelantarkan, sebagaimana zina dalam konteks pemahaman agama dan dampak psikologis terhadap anak-anak dan kehormatan keluarga.

 

Kesimpulan

Bahwa Perbuatan perzinahan adalah merupakan delik aduan yang hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari pihak yang mempunyai hak untuk mengatakan hal tersebut (vide pasal 284 ayat 2 KUHP). Pengaduan-pun oleh hukum dibatasi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut diketahui atau dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan, jika pengadun berada di luar negeri (vide pasal 74 ayat 1 KUHP). Pengaduan terhadap kasus perzinahan dapat dilakukan pencabutan selama persidangan perkara tersebut belum dimulai (vide pasal 284 ayat 4 KUHP). Hal ini berbeda dengan delik aduan lainnya yang mana hanya boleh dicabut dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ia memasukan pengaduannya tersebut ke Kepolisian (pasal 75 KUHP).

Bahwa Perluasan terhadap Pasal 284 bisa juga menyebabkan perbuatan zina menjadi delik umum, dan bukan lagi menjadi delik aduan. Hal ini karena paham masyarakat yang ketika mendapati perempuan dan laki-laki yang berduaan dan tidak terikat perkawinan adalah perbuatan maksiat sehingga harus dilaporkan, dan akibatnya menjadi main hakim sendiri.

Perubahan ini juga bisa mencabut hak warga negara menikmati perlindungan bagi institusi perkawinan dan keluarganya. Maka, tidak jarang suami istri memutuskan untuk tidak melaporkan zina yang dilakukan pasangannya karena tidak ingin perkawinannya terhenti atau anak-anaknya mengetahui.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Abdulkadir, Muhammad. (2000). Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

 

Adji, Oemar Seno. (1981). Hukum [acara] pidana dalam prospeksi. Penerbit Erlangga.

 

Amalia, Mia. (2018). Prostitusi dan perzinahan dalam perspektif hukum islam. Tahkim (Jurnal Peradaban Dan Hukum Islam), 1(1).

 

Amri, Indrawan Fajar Bin Zaufi, & Busthami, M. Dachran S. (n.d.). Adultery in the Perspective of Islamic Law and the Criminal Law Legislation a Comparative Study. IOSR Journal of Humanities and Social Science (IOSR-JHSS) Volume, 23.

 

Bahiej, Ahmad. (2003). Tinjauan Yuridis atas Delik Perzinahan (Overspel) dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Sosio-Relegia, 2(2), 2.

 

Chazawi, Adami. (2010). Pelajaran Hukum Pidana 1 Edisi 1. Rajawali Pers, Jakarta.

 

Hamzah, Andi. (2017). Hukum Pidana Indonesia. Sinar Grafika.

 

Hs, Salim. (2008). Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.

 

Kurniawan, Teguh, Sihombing, Adelina Mariani, & Berliane, Aurelia. (2023). Konstruksi Politik Hukum Pidana Terhadap Delik Perzinaan Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Binamulia Hukum, 12(1), 11�24.

 

Marpaung, Leden. (1996). Kejahatan terhadap kesusilaan dan masalah prevensinya. Sinar Grafika.

 

Munarki, Abu. (2006). . Pekanbaru: Berlian Putih.

 

Santoso, Topo. (1997). Seksualitas dan hukum pidana. Ind-Hill.

 

Soekanto, Soerjono. (1985). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet.

 

Soesilo, Raden. (1974). Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP): serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal: untuk para pejabat kepolisian negara, kejaksaan/pengadilan negeri, pamong praja, dsb. (No Title).

 

Soesilo, Raden. (1995). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.

 

Yuliansyah, Dimas Wahyu, Iskandar, Iskandar, & Umami, Ariza. (2021). UPAYA KEPOLISIAN DALAM MELAKUKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAPTINDAK PIDANA PERZINAHAN. JUSTICE LAW: Jurnal Hukum, 1(1), 26�37.

 

Copyright holder:

Muhammad Ridho Muttaqien, Anyelir Puspa Kemala (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: