Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 09, September 2022
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SANITASI
PEDESAAN DI KECAMATAN SERASAN TIMUR KABUPATEN NATUNA
Feri Eldinata1*,
Tjahjo Suprajogo2, Siti Aisyah3
1*,2,3 Program Magister Administrasi Publik, Universitas
Terbuka, Indonesia
Email:
1*[email protected]; 2[email protected]; 3[email protected]
Abstrak
Permasalahan pelaksanaan kebijakan pembangunan sanitasi pedesaaan di Kecamatan Serasan Timur, belum optimalnya alokasi pendanaan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat terkait pembangunan sanitasi yang tercermin dari kurangnya sarana dan prasarana yang layak serta tingginya jumlah masyarakat yang masih melakukan Buang Air Besar Sembarangan (BABS), mencapai 5472 keluarga. Serta jumlah jamban keluarga di Kabupaten Natuna masih terbatas, dengan hanya 15.618 unit yang tersedia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap dan menganalisis implementasi kebijakan pembangunan sanitasi dari aspek isi kebijakan dan aspek lingkungan kebijakan dan untuk mengetahui upaya yang telah dilakukan oleh Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna dalam mengatasi hambatan-hambatan yang mungkin muncul selama implementasi kebijakan pembangunan sanitasi berlangsung. Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Kemudian prosedur pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dokumen dan materi audio dan visual. Informan pada penelitian ini yaitu tokoh tasyarakat dan perwakilan masyarakat. Teknik analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi kebijakan pembangunan sanitasi ditinjau dari aspek isi kebijakan di Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna adalah terlihat dari sasaran kebijakan dimana sudah terdapat MCK atau jamban umum yang dapat dipergunakan untuk masyarakat dengan keperluan MCK.
Kata Kunci: Implementasi
Kebijakan, Pembangunan Sanitasi
Absract
The problem of
implementing rural sanitation development policies in East Serasan District has
not been optimal funding allocation from the central and regional governments.
In addition, the low public awareness related to sanitation development which
is reflected in the lack of proper facilities and infrastructure and the high
number of people who still practice open defecation, reaching 5472 families.
And the number of family latrines in Natuna Regency is still limited, with only
15,618 units available. The purpose of this study is to uncover and analyze the
implementation of sanitation development policy from the aspect of policy
content and environmental aspects of the policy and to find out the efforts
that have been made by Serasan Timur District, Natuna Regency in overcoming
obstacles that may arise during the implementation of sanitation development
policy. The research methodused in this study is a qualitative method with a
descriptive approach. Then the data collection procedure uses observations, interviews,
documents and audio and visual materials. The informants in this study are: community
leaders and community representatives. Data analysis techniques use data
reduction, data presentation and conclusion. The results showed that the
implementation of sanitation development policy in terms of the aspect of
policy content in Serasan Timur District, Natuna Regency is seen from the
policy target where there is already MCK or public latrines that can be used
for the community with MCK needs.
Keywords: Policy Implementation, Sanitation Development
Komitmen pemerintah dalam menjalankan
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat
(1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 40 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk
bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak menunjukkan kondisi yang
semakin penting untuk ditanggapi
oleh birokrasi pemerintahan terutama dalam era globalisasi seperti sekarang ini.
Aparatur pemerintah harus benar-benar
memiliki kemampuan profesional serta memiliki disiplin tinggi dalam menghadapi berbagai
tantangan kearah peningkatan kualitas pelayanan. Implikasinya dalam memasuki era perubahan, semua
fungsi dan tugas pemerintah sebagai
pelayan pubik (public service) dapat terlaksana secara lebih optimal khususnya dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah pusat maupun daerah terus berupaya
untuk dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dengan mengeluarkan
berbagai kebijakan ataupun program pembangunan sumber daya manusia. Hal ini
dilakukan untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia.
Upaya peningkatan IPM tersebut dilakukan
mengingat saat ini IPM Indonesia masih berada pada level bawah negara-negara di
kawasan ASEAN. Permasalahan IPM masyarakat Indonesia tidak lepas dari masih
ditemukannya permukiman warga yang tidak memenuhi standar kesehatan, yang
berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Kabupaten Natuna merupakan salah satu
Kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau dan merupakan daerah yang berbatasan
langsung dengan negara luar. Kabupaten Natuna memiliki sumber daya alam yang
melimpah dan termasuk daerah kaya. Namun, pembangunan SDM masih belum
menunjukkan hasil yang optimal baik dari aspek pendidikan maupun kesehatan.
Permasalahan SDM salah satunya tercermin dari kualitas hidup masyarakat yang
belum memenuhi standar. Kondisi ini terlihat dari sanitasi warga desa di
Kabupaten Natuna yang dikategorikan belum layak.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
pembangunan sanitasi merupakan bagian pembangunan
yang memenuhi kebutuhan masa baik sosial, ekonomi, serta lingkungan tanpa
melupakan generasi berikutnya dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Upaya
perwujudan 100%
akses
sanitasi ini juga merupakan implementasi Pasal 12 Ayat 1 UU
No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, bahwa pelayanan sanitasi
merupakan
kewenangan
daerah dan menjadi urusan wajib yang
berkaitan dengan pelayanan dasar. Pada pasal lainnya, yaitu Pasal
298 Ayat 1 disebutkan bahwa belanja daerah diprioritaskan untuk mendanai urusan pemerintahan wajib yang terkait pelayanan dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal (SPM).
Dengan demikian, belanja daerah untuk pemenuhan
Standar Pelayanan Minimal (SPM) pelayanan sanitasi
di Kabupaten Natuna mutlak harus
diprioritaskan. Dikaitkan
dengan
target nasional akses universal
2019, maka pemerintah
Kabupaten
Natuna harus
menyusun
strategi,
program, dan skema pembiayaan untuk penyediaan 100% akses sanitasi.
Berikut
ini akan ditampilkan tabel capaian indikator sanitasi
pada beberapa indikator yang tertuang langsung di Laporan Kinerja dan Renstra
dari tahun 2016-2020 Kabupaten Natuna:
Tabel
1
Capaian
Indikator Persentase Rumah Tinggal Bersanitasi di Kabupaten Natuna Tahun 2016-2020
No |
Indikator |
2016 |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
1 |
Bidang
Kesehatan |
34,80% |
32,70% |
42,54% |
77,83% |
71,40% |
2 |
Perumahan
Rakyat dan Permukiman |
63,22% |
63,22% |
70,45% |
63,14% |
63,14% |
3 |
Air
Bersih dan Sanitasi Layak |
17,31% |
28,66% |
38,58% |
71,20% |
65,45% |
Sumber:
Laporan Kinerja dan Renstra Perangkat Daerah Kab Natuna 2016-2020
Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat dilihat
bahwa capaian indikator persentase rumah tinggal bersanitasi tahun 2016-2020
mengalami fluktuasi yang cenderung menurun di tahun 2020. Pada indikator bidang
kesehatan penurunan persentase sanitasi terjadi pada tahun 2017 dan 2020
sedangkan pada indikator perumahan rakyat dan permukiman cenderung tidak
mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan hanya terjadi pada tahun
2018 dan kembali mengalami penurunan pada tahun 2019 dan dengan perolehan angka
yang sama yaitu 63,14% pada tahun 2020. Pada indikator air bersih dan sanitasi
layak terjadi penurunan di tahun 2020 sebesar 65,45%
yang sebelumnya sudah berada perkembangan yang cukup baik selama empat tahun
terakhir.
Pemerintah
belum menunjukkan komitmen tinggi terhadap pembangunan sanitasi pedesaan yang
tergambar dari alokasi anggaran. Hal ini terlihat dari anggaran yang
dialokasikan untuk pembangunan sanitasi tersebut, tidak hanya minimnya pencapaian
target tetapi juga mencerminkan kesungguhan pemerintah terhadap masalah
sanitasi warga desa. Hal ini dapat dilihat dari penyusunan rencana strategi
tahun 2021-2026 yang disusun untuk Kecamatan Serasan Timur pada tabel berikut:
Tabel
2
Pagu
Anggaran Rencana Strategi Tahun 2021-2026
Kecamatan
Serasan Timur
No |
Program |
2021 |
2022 |
2023 |
2024 |
2025 |
1 |
Program
Peningkatan Desa Maju |
50.000.000 |
50.000.000 |
50.000.000 |
50.000.000 |
50.000.000 |
2 |
Program
Penyelenggaran Pelayanan Publik |
3.483.330.688 |
3.553.330.688 |
3.743.135.688 |
3.743.535.688 |
3.903.535.688 |
3 |
Program
Kesehatan dan Sanitasi Desa |
45.000.000 |
45.000.000 |
45.000.000 |
90.000.000 |
110.000.000 |
4 |
Program
Penunjang Urusan Pemerintah |
100.000.000 |
100.000.000 |
100.000.000 |
100.000.000 |
100.000.000 |
Sumber:
Laporan Rencana Strategi Kabupaten Natuna 2021-2026
Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat dilihat
bahwa program yang disusun untuk rencana strategi Kecamatan Serasan Timur tahun
2021-2026 terdapat empat program utama. Program kesehatan dan sanitasi desa
memperoleh perencanaan anggaran dengan nilai yang berfluktuasi namun cenderung
konstan pada tiga tahun di awal yaitu dengan anggaran hanya sebesar Rp
45.000.000,- per tahun. Mengingat pentingnya peran
sanitasi, pemerintah belum menunjukkan
komitmen tinggi terhadap pembangunan sanitasi pedesaan yang tergambar dari
alokasi anggaran. Hal ini terlihat dari anggaran yang dialokasikan untuk
pembangunan sanitasi tersebut. Tidak hanya itu minimnya pencapain target
pembangunan juga menunjukkan bahwa selain masalah pendanaan, dukungan dan
komitmen dari pemeritah menjadi salah satu kunci keberhasilan implementasi
kebijakan pembanguan sanitasi pedesaan.
Selama ini,
pembangunan sanitasi pedesaan masih bersifat parsial dan belum melibatkan
kolaborasi lintas sektor, seperti Dinas Kesehatan, Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (DPMPD) dan sektor lain yang bersinggungan dengan pembangunan sanitasi pedesaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan sanitasi erat kaitannya dengan
pembangunan kesehatan masyarakat, khususnya melalui keluarga, dalam hal ini
peran Dinas Kesehatan dan instansi terkait tentang kualitas hidup keluarga,
namun hal ini masih belum sepenuhnya disadari oleh implementor kebijakan.
Implementasi kebijakan dapat berjalan
dengan baik apabila konsep dasar dari pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan
oleh pemerintah dapat menjadi suatu jawaban dari permasalahan yang ada.
Implementasi kebijakan dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan
perundang-undangan yang ditetapkan, sehingga di dalam implementasinya akan terlihat
tahapan proses yang dilaksanakan menuju sasaran dan manfaat program kebijakan
yang dicapai dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan
itu sendiri (Mazmanian & Sabatier, 1983).
Penelitian yang dilakukan oleh Balogh (2012) menyatakan bahwa kehadiran
kebijakan pembangunan oleh pemerintah sebagai suatu pendekatan akan membantu pengaturan beberapa lembaga dalam
sebuah kepentingan untuk lebih terarah pada proses yang bersifat transformatif
dan berlaku dalam jangka waktu yang panjang. Lebih tegas penelitian Kallis,
Kiparsky, dan Norgaard (2009) menyebutkan implementasi kebijakan
pembangunan dapat dijadikan sebagai adaptive management untuk
menjamin keterlaksanaan sebuah program, selain itu Sorensen dan
Torfing (2012) juga mendukung hasil penelitian ini yang
menempatkan efektifitas penyelenggaraan pelayanan publik sebagai ide
baru dan inovasi praktis sebagai kekuatan dalam implementasi sektor publik dan
pemicu bagi proses pengambilan kebijakan yang lebih baik.
Penelitian
yang dilakukan oleh Munaf (2017) menyatakan hasil yang berbeda terkait dengan implementasi kebijakan pembangunan. Penelitian
ini menemukan bahwa semakin banyak keterlibatan peran para pihak terutama dalam
implementasi kebijakan pembangunan, maka akan semakin
banyak kepentingan yang timbul sehingga akan mempersulit dalam menyelesaikan
suatu masalah. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Purwanti (2016) juga
menyatakan bahwa kebijakan pembangunan hanya akan
berhasil apabila setiap sistem memiliki visi yang sama dalam mengatasi masalah
dan harus terhindar dari intervensi pihak lainnya yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan.
Urgensi dari
penelitian tentang implementasi kebijakan pembangunan sanitasi pedesaan
memiliki relevansi dengan pembangunan kesehatan masyarakat desa di Kabupaten
Natuna. Kesehatan
merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor yang tidak hanya
menentukan kualitas hidup manusia saja, tetapi berpengaruh besar terhadap
meningkatnya harapan hidup masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kesehatan
masyarakat yang meningkat memicu angka harapan hidup bangsa Indonesia meningkat
lebih cepat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya melalui berbagai kebijakan dan
program. Apabila masalah sanitasi tidak di atasi, maka upaya untuk menekan
angka gizi kurang dan gizi buruk tidak akan berhasil.
Dalam pelaksanaannya, terdapat masalah
dalam implementasi kebijakan pembangunan sanitasi pedesaan di Kecamatan Serasan
Timur Kabupaten Natuna. Identifikasi masalah yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan ini mencakup dua aspek utama. Pertama, kesadaran masyarakat terkait
pembangunan sanitasi masih rendah, yang tercermin dari kurangnya sarana dan
prasarana yang layak serta tingginya jumlah masyarakat yang masih melakukan
Buang Air Besar Sembarangan (BABS), mencapai 5472 keluarga. Kedua, jumlah
jamban keluarga di Kabupaten Natuna masih terbatas, dengan hanya 15.618 unit
yang tersedia. Masalah-masalah ini perlu mendapatkan perhatian serius dalam
upaya meningkatkan kondisi sanitasi pedesaan di wilayah tersebut.
Selain itu permalasahan pada data di atas,
Masyarakat Kecamatan Serasan Timur juga menerima alokasi pendanaan dari
pemerintah pusat/daerah yang belum optimal dan belum tertariknya sektor
swasta serta penggalian potensi pendanaan dari Masyarakat. Kecamatan Serasan
Timur juga belum secara optimal melakukan sosialisasi Perda terkait pembangunan
sanitasi pedesaan di daerahnya serta belum memadainya peraturan perundangan dan
penegakan hukum terkait sanitasi (Rangkuman Kinerja dan Rencana Strategi
Kecamatan Serasan Timur, 2022).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap dan
menganalisis implementasi kebijakan pembangunan sanitasi dari dua aspek utama.
Pertama, aspek isi kebijakan yang akan dievaluasi dan
dianalisis dalam konteks Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna. Kedua, aspek
lingkungan kebijakan yang juga akan dianalisis dalam
wilayah yang sama. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
upaya yang telah dilakukan oleh Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna dalam
mengatasi hambatan-hambatan yang mungkin muncul selama implementasi kebijakan
pembangunan sanitasi berlangsung.aat penelitian diharapkan memberikan pemahaman
yang lebih mendalam tentang pelaksanaan kebijakan sanitasi di wilayah tersebut.
Manfaat penelitian ini diharapkan untuk
menambah wawasan mengenai permasalahan yang ada, khususnya tentang implementasi kebijakan pembangunan sanitasi
pedesaan di Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna. Selain itu, manfaat teoritis lainnya adalah memenuhi
salah satu syarat dalam menempuh ujian untuk meraih gelar Magister pada program
studi Ilmu Administrasi Bidang Minat Administrasi Publik di Universitas
Terbuka.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif (qualitative-descriptive). Berdasarkan kepada pendapat Creswell (2013) yang mendefinisikan penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengekplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan (Sugiyono, 2013). Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan berbagai pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum dan menafsirkan makna data (Ghozali, 2016). Selain kepada pemahaman asli di atas, Garna (1999:32) menjelaskan bahwa pendekatan kualitatif dicirikan oleh tujuan penelitian yang berupaya memahami gejala-gejala yang sedemikian rupa tidak selalu memerlukan kuantifikasi.
Penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan fakta empiris tentang kebijakan pembangunan sanitasi dengan
menggunakan teori implementasi kebijakan dengan model Grindle. Teori ini
digunakan dalam penelitian sebagai pintu masuk untuk memahami berjalannya
implementasi kebijakan pembangunan sanitasi pedesaan dengan dua cara yaitu isi kebijakan dan lingkungan kebijakan.
Penelitian ini berusaha mengungkap makna bagaimana implementasi kebijakan
pembangunan sanitasi pedesaan di Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna.
Peneliti berusaha memahami pemahaman informan terhadap fenomena yang muncul
dari kesadarannya, serta fenomena yang dialami oleh informan dengan melakukan
pengamatan partisipan, wawancara yang intensif, melakukan analisis dari
kelompok kecil, dan memahami kebijakan pembangunan sanitasi pedesaan di
Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna.
Dalam penelitian ini menggunakan informan sebagai sumber untuk memperoleh data dalam melengkapi penulisan ini. Pemilihan informan didasarkan pada subyek yang banyak memiliki informasi dalam permasalahan yang akan diteliti dan bersedia memberikan data. Adapun sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Menurut Hasan (2004:19) data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan. Data primer ini juga disebut juga data asli. Misalnya: data kuesioner (data yang diperoleh melalui kuesioner), data survey, data observasi, dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah data yang langsung dari sumbernya, yaitu melalui wawancara yang di lakukan oleh peneliti dengan infornan. Informan adalah orang yang mampu memberikan data/informasi yang sebenar-benarnya tentang diri orang lain atau lingkungannya.
Menurut Morse (dalam Denzin & Lincoln, 2009) pengumpulan data secara produktif merupakan tahap paling menarik dalam penelitian kualitatif; pada tahapan ini, keteraturan dan pemahaman muncul, sebaliknya kebingungan pun hilang. Namun, munculnya pemahaman tersebut tidak terjadi begitu saja tanpa usaha. Munculnya pola-pola relasi pemahaman ini lebih banyak disebabkan oleh observasi yang terus menerus dan kerangka kerja yang dilakukan peneliti. Menurut Creswell (2014:206) pengumpulan data adalah sebagai rangkaian aktivitas yang saling terkait yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan riset yang muncul.
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan prosedur-prosedur pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang melibatkan empat jenis strategi, mengutip pendapat
Selama penelitian
berlangsung, penggunaan metode pengolahan data sangatlah penting untuk
melakukan efesiensi penelitian. Semua transkrip dan catatan harus mudah
disalin, mudah dirujuk silang (cross-reference) menurut Denzin & Lincoln (2009:291). Sesuai dengan sifat
penelitian kualitatif, pengolahan data dilakukan berbarengan dengan kegiatan
pengumpulan data dan informasi. Tahap pertama pengolahan data dimulai dari
penelitian pendahuluan hingga tersusunnya usulan penelitian. Kedua, pengolahan
data yang lebih mendalam dilakukan selama kegiatan wawancara dan pengumpulan
berbagai informasi lapangan di lokasi penelitian. Kemudian dilakukan
pemeriksaan keabsahan data hasil wawancara dengan informan penelitian serta
membandingkan data tersebut dengan berbagai informasi yang terkait. Tahap akhir
adalah interpretasi data dan informasi yang telah diperiksa keabsahannya dengan
pendekatan analisis trianggulasi.
Analisis data dalam penelitian kualitatif di Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman
dan Pertanahan dan Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna dilakukan
sejak sebelum terjun ke lapangan, observasi, selama pelaksanaan penelitian di
lapangan dan setelah selesai penelitian di lapangan. Data penelitian ini
diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi analisis data
dilakukan dengan cara mengorganisasi data yang
diperoleh kedalam sebuah kategori, menjabarkan data kedalam unit-unit,
menganalisis data yang penting, menyusun atau menyajikan data yang sesuai
dengan masalah penelitian dalam bentuk laporan dan membuat kesimpulan agar
mudah untuk dipahami. Sesuai dengan jenis penelitian di atas, maka peneliti
menggunakan model interaktif dari Miles, Huberman dan Saldana (2014) untuk
menganalisis data hasil penelitian.
A. Deskripsi Data
Penelitian mengenai implementasi kebijakan pembangunan
sanitasi pedesaan di Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna ini bertujuan
untuk mengetahui dan menganalisis implementasi kebijakan pembangunan sanitasi
ditinjau dari aspek isi kebijakan di Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna.
Mengetahui dan menganalisis implementasi kebijakan pembangunan sanitasi
ditinjau dari aspek lingkungan kebijakan di Kecamatan Serasan Timur Kabupaten
Natuna. Selain itu untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dilakukan oleh
Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna dalam mengatasi hambatan implementasi
kebijakan pembangunan sanitasi. Penelitian ini sesuai dengan teori implementasi
kebijakan pembangungan menurut Merilee S. Grindle yang dipengaruhi oleh dua
variabel besar yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan
implementasi (context of implementation). Sumber data utama dicatat
dalam catatan tertulis dalam proses wawancara langsung.
Selain data berupa kata-kata, dalam penelitian ini
juga peneliti menggunakan data-data dari dokumentasi yang berada di Disdukcapil Kabupaten Natuna,
studi puskata, dan juga dokumentasi yang sengaja peneliti ambil sendiri melalui
pengamatan. Selanjutnya untuk menjaga validitas data yang didapatkan selama
penelitian berlangsung, peneliti melakukan aktivitas triangulasi sumber,
teknik, dan waktu.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Implementasi
Kebijakan Pembangunan Sanitasi Ditinjau Dari Aspek Isi Kebijakan Di Kecamatan
Serasan Timur Kabupaten Natuna
Model implementasi kebijakan pembangunan sanitasi Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna ini menggunakan teori Grindle. Indikator yang diukur dalam isi kebijakan mengacu pada teori Grindle (1980) dengan penjelasan sebagai berikut:
a.
Sasaran
Kebijakan
Implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik apabila konsep dasar dari pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menjadi suatu jawaban dari permasalahan yang ada. Implementasi kebijakan dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan perundang-undangan yang ditetapkan, sehingga di dalam implementasinya akan terlihat tahapan proses yang dilaksanakan menuju sasaran dan manfaat program kebijakan yang dicapai dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan itu sendiri. Grindle (1980) mengilustraksikan sasaran kebijakan ini mengenai sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan.
Implementasi kebijakan pembanguanan sanitasi di Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna ditentukan dengan standar sasaran yang merupakan ukuran baku untuk diterapkan. Kebijakan ini akan memberikan sasaran lebih baik dan terarah untuk menghasilkan hasil pembangunan yang lebih baik. Cakupan pembanguanan sanitasi di Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna untuk mendapatkan efektifitas dari pembangunan.
b.
Manfaat
Kebijakan
Implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik apabila konsep dasar dari pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menjadi suatu jawaban dari permasalahan yang ada. Implementasi kebijakan dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan perundang-undangan yang ditetapkan, sehingga di dalam implementasinya akan terlihat manfaat program kebijakan yang dicapai dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan itu sendir. Grindle (1980) mengilustraksikan manfaat kebijakan ini mengenai jenis manfaat yang diterima oleh target groups.
Implementasi kebijakan
pembanguanan sanitasi di Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna ditentukan
dengan standar sasaran yang merupakan ukuran baku
untuk diterapkan. Peraturan Daerah tentang Pembangunan Sanitasi Pedesaaan
merupakan aturan yang diperlukan untuk penataan kota yang berhubungan langsung
dengan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian kebersihan dan
kecukupan sarana prasarana sehingga terwujud penataan bangunan yang teratur,
indah dan nyaman dengan aspek lingkungan dan ketentuan-ketentuan yang ada dan
perlu memanfaatkan ruang kota secara optimal melalui perizinan yang tertib,
dengan melakukan pembangunan sanitasi pedesaan secara efektif dan efisien.
c.
Perubahan
yang diinginkan
Implementasi kebijakan pembangunan sanitasi dengan menggunakan teori Grindle yaitu dimana semua aktor yang melakukan tugas serta fungsinya, seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan, karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa dan tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran. Pembangunan sanitasi karena bukan hanya semata-mata untuk mewujudkan keberhasilan suatu program saja tetapi mengukur keberhasilan melalui evaluasi, menganalisis melalui AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) yang terjadi sebelum dan sesudah pelaksanaan pembangunan dimulai supaya tercapainya keberlanjutan program sanitasi pembangunan pedesaan dan terwujudnya kesadaran masyarakat. Lingkungan kebijakan di dalam teori Grindle juga meliputi strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga penguasa dan tingkat kepatuhan dan daya tanggap.
Pernyataan tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Bashir dan Madhaviah (2015) yang menyebutkan penerapan kebijakan akan dapat berhasil dengan baik apabila dilaksanakan secara efektif, maka dari itu para pelaksanaan tidak saja harus terlebih dahulu harus mengetahui kemampuan untuk menerapkannya, tetapi juga harus mempunyai kombinasi yang kuat untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan rasa penuh tanggung jawab.
Sejalan dengan hal
tersebut teori Soebarsono (2005) menyebutkan kebijakan public memiliki kerangka
kerja yang sisebut strategi kebijakan public. Kerangka kerja tersebut
ditentukan oleh beberapa variabel antara lain Tujuan yang akan
dicapai, Preferensi nilai, Sumber daya, Kemampuan orang-orang yang terlibat
dalam pembuatan kebijakan, Lingkungan sekitarnya dan Strategi yang digunakan
untuk mencapai tujuan.
d.
Keputusan
Implementasi kebijakan berjalan dengan baik berasaalkan dari keputusan yang diambil oleh setiap pemerintah. Pembuatan keputusan kolektif dalam setting dimana terdapat pluralitas aktor-aktor dan organisasi-organsiasi, dimana tidak ada sistem kendali formal yang mampu mendikte pola hubungan antara aktor-aktor dan organisasi-organisasi. Berdasarkan pada definisi Chotary dan Stoker (2009) maka dapat disimpulkan bahwa governance memiliki empat elemen utama. Pertama, elemen rule atau aturan main. Kedua, elemen kolektif. Ketiga, elemen pembuat keputusan. Dan keempat, bahwa tidak ada sistem kendali formal yang bisa mendikte pola kerjasama dan dampak yang diperoleh. Penelitian ini lebih dekat pada.
Berdasarkan informan di atas
diketahui jika implementasi kebijakan mulai dapat dirasakan dan membuahkan
hasil yang dapat di nikmati oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan observasi
yang dilakukan jika lingkungan Kecamatan Serasan Timur terlihat sedikit lebih
bersih dan tertata dengan baik. Berdasarkan hal ini menjadikan implementasi
kebijakan mulai terlihat perubahan sedikit demi sedikit. Masyarakat merasakan
perubahan sesuai dengan yang diharapkan dan tidak merasakan ada pelanggaran
atau melenceng dari seharusnya.
e.
Pelaksanaan
Program
Suatu implementasi atau pelaksanaan dari suatu kebijakan publik dapat mempengaruhi corak dan karakter dari suatu implementasi kebijakan. Grindle (1980) mengilustraksikan sasaran kebijakan ini mengenai sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan.
Implementasi kebijakan
sudah terlihat sedikit perubahan seperti adanya drainase yang layak. Penerapan kebijakan
akan dapat berhasil dengan baik apabila dilaksanakan
secara efektif, maka dari itu para pelaksanaan tidak saja harus terlebih dahulu
harus mengetahui kemampuan untuk menerapkannya, tetapi juga harus mempunyai
kombinasi yang kuat untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan rasa penuh
tanggung jawab.
f.
Sumber
Daya
Proses implementasi kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi. Isi kebijakan dalam teori Grindle terdiri atas kepentingan yang mempengaruhi; tipe manfaat; derajat perubahan yang diinginkan; letak pengambilan keputusan; pelaksana progam; dan sumber daya yang dilibatkan. Sedangkan konteks implementasi mencakup hal-hal sepetti kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat; karakteristik lembaga penguasa; dan tingkat kepatuhan dan daya tanggap. Grindle (1980) mengilustraksikan sumber daya kebijakan ini mengenai sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Kejelasan dan konsistensi
aturan yang ada terlihat pada badan pelaksana. Tingkat komitmen aparat terhadap
tujuan kebijakan. Kasus korupsi yang terjadi di negara-negara dunia ketiga,
khususnya Indonesia salah satu sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen
aparat untuk melaksanakan tugas atau program-program. Seberapa luas akses
kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi
kebijakan. Suatu program yang memberikan peluang luas bagi masyarakat untuk
terlibat akan relatif mendapat dukungan daripada
program yang tidak melibatkan masyarakat.
2. Implementasi
Kebijakan Pembangunan Sanitasi Ditinjau Dari Aspek Lingkungan Kebijakan Di
Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna
Model implementasi kebijakan pembangunan sanitasi Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna ini menggunakan teori Grindle. Indikator yang diukur dalam aspek lingkungan mengacu pada teori Grindle (1980) dengan penjelasan sebagai berikut:
a.
Kepentingan
Strategi
Lingkungan kebijakan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi. Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relatif mudah menerima program-program pembaruan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. Kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups), kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara seperti melakukan intervensi dalam keputusan dan mempengaruhi implementor dengan kritik-kritik yang dipublikasikan. Grindle (1980) mengilustraksikan kepentingan strategi ini mengenai seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan.
Sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Arfan dan Ishak (2015) yang menyebutkan bahwa komitmen menyangkut keyakinan dan antusiasme yang harus ditampakkan oleh karyawan dengan menggambarkan siapa melaksanakan apa, bagaimana dan kapan pekerjaan itu dilaksanakan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komitmen dari para pelaksana suatu kebijakan yang sangat menentukan berhasil tidaknya dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Berdasarkan hal ini
menjadikan implementasi kebijakan mulai terlihat perubahan sedikit demi
sedikit. Masyarakat merasakan perubahan sesuai dengan yang diharapkan dan tidak
merasakan ada pelanggaran atau melenceng dari seharusnya.
b.
Karakter
Lembaga
Implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik apabila konsep dasar dari pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menjadi suatu jawaban dari permasalahan yang ada. Implementasi kebijakan dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan perundang-undangan yang ditetapkan, sehingga di dalam implementasinya akan terlihat manfaat program kebijakan yang dicapai dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan itu sendir. Grindle (1980) mengilustraksikan karakter Lembaga ini mengenai karakteristik institusi dan rezim yang berkuasa.
Kebijakan sanitasi telah digulirkan pemerintah melalui kebijakan makro, meso atau menengah, maupun mikro. Kebijakan sanitasi di tingkat Pusat tergambar dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah diterbitkan antara lain UndangUndang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan kualitas air dan Pengendalian Pencemaran Air, maupun PP No. 16 Tahun 2008 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah, Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, di samping itu untuk penetapan tingkat pencemaran Pemerintah telah menetapkan dasar baku mutu antara lain Baku Mutu untuk air limbah domestik sebagaimana Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 112 Tahun 2003, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 3 Tahun 2010 tentang Baku Mutu air limbah di kawasan industri.
Sesuai dengan teori yang
disampaikan oleh Sobarsono (2005) yang menyebutkan tujuan yang akan dicapai. Yaitu mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks,
maka semakin sulit mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan
kebijakan semakin sederhana, maka semakin mudah untuk mencapainya.
c.
Responsivitas
Pembangunan yang berkembang saat ini sebagai respon berbagai masalah adalah pembangunan berkelanjutan. Moenir (2013) memberikan pengertian lain tentang pembangunan berkelanjutan menyatakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa baik sosial, ekonomi, serta lingkungan tanpa melupakan generasi berikutnya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pengertian mendasar dari sustainable development adalah bahwa dalam keberhasilan pembangunan ekonomi maupun sosial setidaknya bisa memperbaiki keadaan yang sebenarnya, bukan merusak kondisi lingkungan yang ada.
Sesuai dengan teori yang
disampaikan oleh Bashir dan Madhaviah (2015) yang menyebutkan penerapan
kebijakan akan dapat berhasil dengan baik apabila dilaksanakan secara efektif,
maka dari itu para pelaksanaan tidak saja harus terlebih dahulu harus
mengetahui kemampuan untuk menerapkannya, tetapi juga harus mempunyai kombinasi
yang kuat untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan rasa penuh tanggung jawab
3. Upaya
Yang Dilakukan Oleh Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna Dalam Mengatasi
Hambatan Implementasi Kebijakan Pembangunan Sanitasi
Model implementasi kebijakan pembangunan sanitasi Kecamatan Serasan Timur Kabupaten Natuna ini menggunakan teori Grindle. Indikator yang diukur dalam mengatasi hambatan mengacu pada teori Grindle (1980) dengan penjelasan sebagai berikut:
a.
Top-Down
Pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya berkonsentrasi pada di lingkungan saja. Tetapi mencakup tiga ruang lingkup kebijakan antara lain yakni: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan lingkungan. Ketiga dimensi tersebut saling terkait yang mana merupakan pilar pendorong bagi suatu pembangunan berkelanjutan. Keseimbangan dari ketiga dimensi itu sangat diperlukan untuk mengukur keberhasilan fenomena permasalahan sanitasi. Standar pembangunan dan pelaksanaan program SLBM akan sangat tergantung dari hasil partisipasi masyarakat sebagai subyek pembangunan. Grindle (1980) mengilustraksikan top-down ini mengenai Strategi dilaksanakan berdasarkan instruksi dari pimpinan tertinggi sebuah institusi atau pembuat kebijakan.�
Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Bashir dan Madhaviah (2015) yang menyebutkan penerapan kebijakan akan dapat berhasil dengan baik apabila dilaksanakan secara efektif, maka dari itu para pelaksanaan tidak saja harus terlebih dahulu harus mengetahui kemampuan untuk menerapkannya, tetapi juga harus mempunyai kombinasi yang kuat untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan rasa penuh tanggung jawab.
b.
Buttom
Up (Apanya yang bottom up)
Tempat�tempat umum dalam lingkungan sanitasai adalah suatu tempat dimana banyak orang yang berkumpul untuk melakukan kegiatan baik secara incidental maupun terus menerus, secara membayar maupun tidak membayar (Munaf, 2017). Tempat�tempat umum memiliki potensi sebagai tempat terjadinya penularan penyakit, pencemaran lingkungan ataupun gangguan kesehatan lainnya. Pengawasan atau pemeriksaan sanitasi terhadap tempat�tempat umum yang bersih guna untuk melindungi kesehatan masyarakat dari kemungkinan penularan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya (Tjiptono, 2013). Sanitasi tempat�tempat umum merupakan usaha untuk mengawasi kegiatan yang berlangsung di tempat�tempat umum terutama yang erat hubungannya dengan timbulnya atau menularnya suatu penyakit, sehingga kerugian yang ditimbulkan 34 oleh kegiatan tersebut dapat dicegah (Munro, 2008). Dengan menerapkan sanitasi dapat mencegah terjadinya timbulnya atau menularnya penyakit yang berhubungan dengan lingkungan. Grindle (1980) mengilustraksikan buttom up ini mengenai Strategi disusun oleh pelaksana kebijakan yang memiliki informasi secara langsung di lapangan dan diajukan kepada pemutus kebijakan.�
Sesuai dengan teori yang
disampaikan oleh Sobarsono (2005) yang menyebutkan tujuan yang akan dicapai. Yaitu mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks,
maka semakin sulit mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan
kebijakan semakin sederhana, maka semakin mudah untuk mencapainya.
c.
Demokratis
Pembangunan yang berkembang saat ini sebagai respon berbagai masalah adalah pembangunan berkelanjutan. Moenir (2013) memberikan pengertian lain tentang pembangunan berkelanjutan menyatakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa baik sosial, ekonomi, serta lingkungan tanpa melupakan generasi berikutnya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pengertian mendasar dari sustainable development adalah bahwa dalam keberhasilan pembangunan ekonomi maupun sosial setidaknya bisa memperbaiki keadaan yang sebenarnya, bukan merusak kondisi lingkungan yang ada. Pemecahan masalah di dalam teori Grindle juga meliputi strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga penguasa dan tingkat kepatuhan dan daya tanggap.
Sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Bashir dan Madhaviah (2015) yang menyebutkan penerapan kebijakan akan dapat berhasil dengan baik apabila dilaksanakan secara efektif, maka dari itu para pelaksanaan tidak saja harus terlebih dahulu harus mengetahui kemampuan untuk menerapkannya, tetapi juga harus mempunyai kombinasi yang kuat untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan rasa penuh tanggung jawab
Agustino, L. (2006). Dasar-Dasar Kebijakan Publik.
Alfabeta.
Ansell, C., & Gash, A. (2007). Collaborative governance
in theory and practice. Journal of public administration research and theory,
18(4), 543�571.
Apdiansyah R. (2012). Implementasi Kebijakan Perizinandan
Non-Perizinan Dalam Pelayanan Perizinan. Jurnal Demokrasi & Otonomi
Daerah, 10(1), 55�62.
Arfan, I., & Ishak, M. (2015). Akuntansi Keprilakuan.
Salemba Empat.
Bashir, I., & Madhavaiah, C. (2015). Trust, Social
Influence, Self‐Efficacy, Perceived Risk and Internet Banking Acceptance:
An Extension of Technology Acceptance Model in Indian Context. Metamorphosis,
14(1), 25�38.
Bauer, R. A. (1960). Consumer Behavior as Risk Taking.
Risk Taking and Information Handling in Consumer Behavior. Harvard
University Press.
Charisma, J. A. (2020). Analisis minat dan perilaku pengguna
e-Wallet: Perluasan UTAUT 2 dengan budaya sebagai moderasi: Studi pada
Mahasiswa di Kota Malang. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Chennerchom, P. (1994). Resource Management in Public
(Hall Page). PaperHill.
Chhotray, V., & Stoker, G. (2009). Governance: From
theory to practice. In Governance Theory and Practice (hal. 214�247).
Springer.
Creswell, J. W. (2013). Research Design: Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (3 ed.). Penerbit Pustaka Pelajar.
Creswell, J. W. (2014). Research Design: Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed (A. Fawaid (ed.)). Pustaka Pelajar.
Davis, G., & Keating, M. (1993). The Future of
Governance: Policy Choices. Allen and Unwin.
Denzin, & Lincoln. (2009). Handbook of Qualitative
Research. Pustaka Pelajar.
Ekasari, A. (2014). Implementasi Kebijakan Pelayanan Izin
Mendirikan Kabupaten Soppeng Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk
Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Ilmu Pemerintahan Oleh Alfiani
Ekasari Program Studi Ilmu Pemerintahan.
Enceng, & Madya, F. (2013). Evaluasi Perumusan,
Implementasi, Dan Lingkungan Kebijakan. Jurnal Kebijakan Publik, 5(3),
1�8.
Farazmand, A., & Carter, R. (2004). Sound governance:
Policy and administrative innovations. Greenwood Publishing Group.
Firdausi, F., & Romi A.S, M. . (2019). Implementasi
Kebijakan Pemerintah Tentang Strategi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan
Korupsi Di Lembaga Pemerintahan Daerah (Studi Di Pemerintah Kabupaten
Probolinggo). Reformasi, 9(1), 66. https://doi.org/10.33366/rfr.v9i1.1324
Garna, J. K. (1999). Metode Penelitian: Pendekatan
Kualitatif. Primaco Akademika.
Ghozali, I. (2016). Aplikasi Analisis Multivariate dengan
Program IBM SPSS 23 (8 ed.). Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Kallis, G., Kiparsky, M., & Norgaard, R. (2009).
Collaborative governance and adaptive management: Lessons from California�s
CALFED Water Program. environmental science & policy, 12(6),
631�643.
Lan, L. (2004). E-government: A catalyst to good governance in
China. IFIP International Working Conference on Knowledge Management in
Electronic Government, 317�324.
Lukman, A. (2008). Implementasi Kebijakan Perda No. 7 Tahun
1992 Tentang Imb ( Izin Mendirikan Bangunan ) Di Kota Surabaya. Jurnal
Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 8(2), 84�91.
Luthans, F. (2017). Organization Behavior. McGraw Hill
International.
Mahsun, M., Sulistyowati, F., & Heribertus, A. P. (2017).
Akuntansi Sektor Publik (2 ed.). BPFE.
Maldonado, N. (2010). The World Bank�s evolving concept of good
governance and its impact on human rights. Doctoral Workshop on Development
and International Organizations. Stockholm, Sweden, May, 29�30.
Mazmanian, D. A., & Sabatier, P. A. (1983). Implementation
and Public Policy. Scott Foresman and Company.
Miftakhul, I. M., & Darmi, T. (2014). Analisis
Pengembangan Sumber Daya� Manusia Dalam
Peningkatan Layanan Publik di Pemkot Bengkulu. Universitas Terbuka.
Munaf, Y. (2017). Network Pattern of Regional Election
Commission (KPUD) Pekanbaru City Increasing Political Participation in Society.
International Conference on Democracy, Accountability and Governance (ICODAG
2017).
Munro, E. R. (2008). Research governance, ethics and access:
A case study illustrating the new challenges facing social researchers. International
Journal of Social Research Methodology, 11(5), 429�439.
Obot, F., & Setyawan, D. (2017). Implementasi Kebijakan
Pemerintah Kota Batu Dalam Mewujudkan Kota Pariwisata Berkelanjutan Yang
Berwawasan Lingkungan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 6(3),
113�120.
Osborne, S. P. (2010). Introduction the (New) Public
Governance: a suitable case for treatment? In The new public governance?
(hal. 17�32). Routledge.
Patton, M. Q. (2012). Qualitative research and evaluation
methods (3 ed.). Sage.
Prawirosentono. (2018). Dasar-Dasar Manajemen
(Revisi). Ghalia Indonesia.
Provan, K. G., & Kenis, P. (2008). Modes of network
governance: Structure, management, and effectiveness. Journal of public
administration research and theory, 18(2), 229�252.
Rahayu, A. (2019). Pengaruh Integritas dalam memediasi
hubungan independensi Terhadap Kinerja Auditor. Jurnal Ilmiah Manajemen
Bisnis Universitas Negeri Semarang, 2(1).
Sorensen, E., & Torfing, J. (2012). Introduction:
Collaborative innovation in the public sector. The Innovation Journal, 17(1),
1.
Sudimin, S. (2016). Pengaruh Pegawai Dilingkungan
Sekretariat Daerah Kabupaten Bangkalan. Tesis Universitas Negeri Padang.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan :
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Winarno, B. (2005). Teori dan Proses Kebijakan Publik.
Media Press.
Yuskar. (2018). Pengaruh Independensi Auditor, Komitmen
Organisasi, Pemahaman Good Governance, Integritas Auditor, Budaya Organisasi,
dan Etos Kerja terhadap Kinerja Auditor. Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis
Universitas Surabaya.
Copyright
holder: Nama
Author (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |