Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 10, Oktober 2023
PENEGAKKAN HUKUM PIDANA DALAM KASUS ILLEGAL LOGGING BERDASARKAN UU NO.
41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
Rahmawati Eka Sari, Erwin Syahruddin
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi dan menganalisa hukum mengenai Penegakkan Hukum Pidana Dalam Kasus Illegal Logging berdasarkan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan menggunakan Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Sebagai kekayaan alam milik bangsa
dan negara, maka hak-hak bangsa dan negara atas hutan dan hasilnya perlu dijaga dan dipertahankan supaya hutan tersebut dapat memenuhi fungsinya bagi kepentingan bangsa dan negara itu sendiri. Hutan
sebagai sumber kekayaan alam milik
bangsa Indonesia merupakan
salah satu modal 2 (duua) dasar pembangunan nasional yang dipergunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi air, dan kekayaan alam yang ada didalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut versi WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) pernah mencapai angka 3,4 juta hektar setiap
tahun, kerugian akibat illegal logging pun berkisar
40- 65 triliun setiap tahunnya. Tahun 2003 laju kerusakan menurun menjadi 3,2 juta hektar dan 2005 berkisar 2,4 juta hektar, penurunan angka laju kerusakan
ini bukan disebabkan oleh efektivitas penegakan hukum, melainkan semakin langkanya kayu yang dapat dijarah oleh para penjahat kehutanan. Illegal
logging tidak satu-satunya kejahatan di sektor kehutanan yang menyebabkan kondisi hutan kritis.
Pentingnya peranan hutan dalam kehidupan
masyarakat serta untuk menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat, pemerintah seharusnya tidak berpangku tangan melainkan bertindak untuk menanggulangi praktek illegal logging yang telah
lama terjadi. Disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Kata Kunci: Illegal Logging, Hutan,
Lingkungan Hidup
Abstract
This
study aims to obtain information and analyze the law regarding Criminal Law
Enforcement in Illegal Logging Cases based on Law Number 41 of 1999 concerning
Forestry. Using the approach method in this study is a normative juridical
approach. As natural wealth belonging to the nation and state, the rights of
the nation and state to the forest and its results need to be maintained and
maintained so that the forest can fulfill its function for the benefit of the
nation and state itself. Forests as a source of natural wealth belonging to the
Indonesian nation are one of the 2 basic capitals (duua)
of national development used to increase the prosperity of the people as
explained in Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution that the earth,
water, and natural resources contained therein are used for the greatest
prosperity of the people. According to the version of WALHI (Forum for the
Environment) once reached 3.4 million hectares every year, losses due to
illegal logging ranged from 40-65 trillion every year. In 2003 the rate of
destruction decreased to 3.2 million hectares and in 2005 around 2.4 million
hectares, the decrease in the rate of destruction was not due to the
effectiveness of law enforcement, but rather the increasing scarcity of timber
that could be looted by forest criminals. Illegal logging is not the only crime
in the forestry sector that causes critical forest conditions. The importance
of the role of forests in people's lives and to create public order and
security, the government should not stand idly by but act to overcome the
long-standing practice of illegal logging. The enactment of Law Number 41 of
1999 concerning Forestry.
Keywords: Illegal
Logging, Forest, Environment
Pendahuluan
Hutan merupakan suatu lapangan bertumbuhnya pohon-pohon yang secara keseluruhan dari persekutuan hidup alam hayati
beserta alam lingkungannya. Pembangunan hutan merupakan salah satu sasaran pembangunan nasional yang diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Rahmadi (2011) Hutan sebagai
salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber kesejahteraan rakyat, semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga secara
terus-menerus, agar tetap abadi, dan ditangani dengan budi pekerti
yang luhur, berkeadilan, berwibawa, transparan, dan profesionaal serta bertanggung jawab (Yusuf
& Makarao, 2011).
Sebagai kekayaan alam milik bangsa
dan negara, maka hak-hak bangsa dan negara atas hutan dan hasilnya perlu dijaga dan dipertahankan supaya hutan tersebut dapat memenuhi fungsinya bagi kepentingan bangsa dan negara itu sendiri. Hutan
sebagai sumber kekayaan alam milik
bangsa Indonesia merupakan
salah satu modal 2 (dua) dasar
pembangunan nasional yang dipergunakan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi air, dan kekayaan alam yang ada didalamnya
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Surono,
2017).
Pembangunan hutan merupakan salah satu sasaran pembangunan nasional yang diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (Damanik
& Sinurat, n.d.). Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting tidak hanya sebagai
sumber daya kayu, tetapi lebih
sebagai salah satu bagian komponen lingkungan hidup (Utina,
2015).
Pentingnya peranan hutan dalam kehidupan
masyarakat serta untuk menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat, pemerintah seharusnya tidak berpangku tangan melainkan bertindak untuk menanggulangi praktek illegal logging yang telah
lama terjadi (Hilmy,
2021). Disahkannya
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan selanjutnya, diatur pada pasal 78 ayat (1) sampai ayat (12) mengenai ketentuan pidana harus mampu dijadikan
senjata bagi aparat penegak hukum untuk menindak
para pelaku illegal logging.
Penebangan kayu dan pencurian kayu pembalakan kayu yang diambil dari kawasan
hutan secara tidak sah dikenal
dengan istilah illegal
logging (Fadhillia
& Hadi, 2018). Illegal logging saat
ini berjalan dengan lebih terbuka,
transparan dan banyak pihak yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktivitas pencurian kayu, modus yang biasanya dilakukan adalah dengan melibatkan
banyak pihak dilakukan secara sistematis dan terorganisir.
Pada umumnya, mereka yang berperan adalah buruh/penebang,
pemodal (cukong). Dalam beberapa hasil temuan modus yang biasa dilakukan dalam illegal logging adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta
memanipulasi isi dokumen Surat Keterangan Sahnya
Hasil Hutan (SKSHH) ataupun
dengan membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek illegal logging.
Illegal logging terjadi karena adanya kerjasama
antara masyarakat lokal berperan sebagai pelaksana di lapangan dengan para cukong bertindak sebagai pemodal yang akan membeli kayu-kayu
hasil tebangan tersebut, adakalanya cukong tidak hanya
menampung dan membeli kayu-kayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat kepada masyarakat
untuk kebutuhan pengangkutan (Syolikhin,
2021).
Untuk mengatasi maraknya tindak pidana illegal logging jajaran aparat penegak hukum (penyidik Polri maupun penyidik
Pegawai Negeri Sipil yang lingkup tugasnya bertanggung jawab terhadap pengurusan hutan, Kejaksaan maupun Hakim) telah mempergunakan Undang-Undang No.
41 tahun 1999 diubah dengan Undang-undang No 19 tahun 2004 kedua undang-undang tersebut tentang Kehutanan sebagai instrumen hukum untuk menanggulangi
tindak pidana illegal
logging, meskipun secara limitatif undang-undang tersebut tidak menyebutkan adanya istilah illegal logging.
Kejahatan terhadap lingkungan saat ini sering terjadi,
misalnya saja kejahatan terhadap sektor kehutanan, kehutanan adalah sektor yang paling sering mendapatkan tekanan eksploitasi berlebihan, laju kerusakan hutan menurut versi
WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) pernah
mencapai angka 3,4 juta hektar setiap
tahun, kerugian akibat illegal logging pun berkisar
40- 65 triliun setiap tahunnya.
Tahun 2003 laju kerusakan menurun menjadi 3,2 juta hektar dan 2005 berkisar 2,4 juta hektar, penurunan
angka laju kerusakan ini bukan
disebabkan oleh efektivitas
penegakan hukum, melainkan semakin langkanya kayu yang dapat dijarah oleh para penjahat kehutanan. Illegal
logging tidak satu-satunya kejahatan di sektor kehutanan yang menyebabkan kondisi hutan kritis
(Hamdan, 2000).
Illegal logging merupakan masalah yang kompleks bagi pembangunan kehutanan menyadari arti pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup manusia pada umumnya, maka harus
dilakukan pelestarian hutan serta melindungi
keberadaanya demi kelangsungan
hidup umat manusia itu sendiri
sehingga dapat mencegah aksi para pelaku illegal logging yang hanya
berpikir sesaat tanpa memikirkan dampak yang dilakukannya itu (Hilmy,
2021).
Unsur-unsur tindak pidana yang terkait dengan kegiatan illegal logging dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 antara lain: a) Perbuatan baik sengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya
dan taman wisata; b) Perbuatan baik sengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan memelihara, mengangkut, memperniagakan dan menyelundupkan hasil hutan. Namun ketentuan
tersebut khusus terhadap hasil hutan berupa tumbuhan
yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu
yang terancam kepunahan.
Dipandang dari segi ilmu hukum
pidana menurut Marpaung bahwa ada kerancuan dalam
penetapan sanksi pidana yang berat terhadap hutan, karena sangat jarang dimuat dalam Peraturan
Pemerintah dan pada umumnya
tindak pidana serta sanksi dirumuskan
berdasarkan Undang-Undang sedangkan tindak pidana terhadap hutan diatur dalam
PP No. 28 Tahun 1995 tentang
Perlindungan Hutan (Leden, 1997).
Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana
khusus yang diatur dengan ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapat menunjukan hukum pidana khusus
itu, yaitu pertama, orang orangnya atau subjeknya yang khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten) (Pope, 2003).
Hukum pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau
pelakunya yang khusus seperti hukum pidana
militer yang hanya untuk golongan militer (Ruslan
Renggong, 2017). Dan kedua
hukum pidana yang perbuatannya yang khusus maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang tertentu
seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal.� Kejahatan illegal logging merupakan
tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk
delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu
(Audina,
2018).
Adapun yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah: 1) Bagaimana Penegakkan Hukum Pidana Dalam
Kasus Illegal Logging? 2) Bagaimana UU N0 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan mengatur Tentang Illegal Logging?
Metode Penelitian
Metode pendekatan
yang dilakukan oleh Penulis
dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan implementasi terhadap Penegakkan Hukum Pidana Dalam Kasus Illegal Logging secara
sistematis, metodologis,
dan konsisten di masa yang akan
datang. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Soekanto, 1985).
Pendekatan yuridis adalah pendekatan yang memakai kaidah-kaidah serta perundang-undangan yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti, sedangkan pendekatan normatif adalah penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier sebagai data utama, yaitu bahwa
Penulis tidak perlu mencari data langsung ke lapangan.
Adapun spesifikasi
dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis, dan untuk menarik suatu kesimpulan
dan hasil penelitian, maka data yang telah dikumpulkan oleh Penulis dalam penelitian ini kemudian dianalisis
secara yuridis kualitatif, dengan mengacu pada data sekunder yang Penulis peroleh dari penelitian kepustakaan, baik terhadap peraturan perundangan maupun terhadap teori ataupun pendapat para pakar yang berkaitan dengan Penegakkan Hukum Pidana Dalam Kasus Illegal Logging, yaitu
dengan menyusun secara sistematis yang bertujuan untuk dianalisis tanpa menggunakan angka-angka.
Hasil dan Pembahasan
Kebijakan hukum
pidana pada hakikatnya mengandung kebijakan negara dalam mengatur dan membatasi
kekuasaan, baik kewenangan masyarakat pada umumnya untuk bertindak dan
bertingkah laku maupun kekuasaan atau kewenangan penguasa/penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya memastikan bahwa masyarakat taat dan patuh pada aturan
yang telah ditetapkan (Tawang,
2022).
Asas retroaktif
dimungkinkan sepanjang mengenai kejahatan yang termasuk dalam extra ordinary
crime, dalam hal ini kejahatan penebangan liar (illegal logging) sudah
semestinya dikategorikan sebagai extra ordinary crime karena kejahatan tersebut
berdampak besar dan multi dimensional, budaya, ekologi, ekonomi dan politik,
yang mana dapat dilihat dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penebangan
liar (illegal logging) yang ditemukan dan dikaji oleh berbagai lembaga
pemerintah maupun lembaga non pemerintah, nasional maupun internasional.
Perbuatan yang
dapat dikategorikan termasuk di dalam suatu perbuatan melawan hukum atau tindak
pidana atau tidak, maka dapat dilihat dari unsur-unsur perbuatan tersebut.
Adapun yang termasuk dalam unsur-unsur tindak pidana menurut Hazewinkel-Suringa
meliputi Surbakti (2005): a)������ Unsur kelakuan orang: b) Unsur akibat (pada tindak pidana yang dirumuskan secara materiil); c) Unsur Psikis (dengan sengaja atau dengan
alpa); d) Unsur objektif yang menyertai keadaan tindak pidana, seperti di muka umum. e) Unsur
syarat tambahan untuk dapat dipidananya
perbuatan (pasal 164, 165
KUHP) disyaratkan tindak pidana terjadi; f) Unsur melawan hukum
Berdasarkan unsur-unsur
serta pembagian tindak pidana maka
tindakan illegal logging termasuk
dalam tindak pidana. Illegal logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan, pelanggaran-pelanggaran
ini terjadi disemua lini tahapan
industri kayu Arief (n.d.), misalnya
pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran dan bahkan meliputi pengunaan cara-cara korup untuk mendapatkan
akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran
keuangan, seperti penghindaran pajak, pelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi dalam kawasan ini, tidak
diduga dilapangkan dengan melibatkan masyarakat setempat.
Pada dasarnya kejahatan illegal logging, secara
umum kaitannya dengan unsur-unsur tindak pidana umum
dalam KUHP, dapat dikelompokan ke dalam beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu:
1. Pengrusakan
Pengrusakan sebagaimana
diatur dalam Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP terbatas hanya mengatur tentang pengrusakan barang dalam arti barang-barang biasa yang dimiliki orang (Pasal 406 KUHP). Barang tersebut dapat berupa barang
terangkat dan tidak terangkat, namun barang-barang yang mempunyai fungsi sosial artinya
dipergunakan untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal
408, akan tetapi terbatas pada barang-barang tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam pasal tersebut dan tidak relevan untuk
diterapkan pada kejahatan pengrusakan hutan.
2. Pencurian
Pencurian menurut penjelasan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a) Perbuatan mengambil, yaitu mengambil untuk dikuasai. b) Sesuatu barang, dalam hal ini
barang berupa kayu yang ada waktu
diambil tidak berada dalam penguasaan
pelaku. c) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dalam hal ini
hutan dapat merupakan hutan adat dan hutan hak yang termasuk dalam hutan negara maupun hutan negara yang tidak dibebani. d) Dengan maksud ingin
memiliki dengan melawan hukum.
3. Penyelundupan
Hingga saat ini, belum
ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam
KUHP yang merupakan ketentuan
umum terhadap tindak pidana pun belum mengatur tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan
penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan delik pencurian
oleh karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak
mengambil barang milik orang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan kayu (peredaran kayu secara ilegal)
menjadi bagian dari kejahatan illegal logging
dan merupakan perbuatan
yang dapat dipidana.
4. Pemalsuan
Pemalsuan surat-surat dalam Pasal 263-276. Pemalsuan materai dan merek diatur dalam Pasal
253-262, pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut
penjelasan Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat surat
sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya.
Surat dalam
hal ini adalah
yang dapat menerbitkan: suatu hal, suatu
perjanjian, pembebasan
utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu keterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut pasal 263 KUHP ini adalah penjara
paling lama 6 tahun, dan Pasal
264 paling lama 8 tahun.
5. Penggelapan
Penggelapan dalam KUHP diatur dalam Pasal 372 sampai Pasal 377. dalam penjelasan pasal 372 KUHP, Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan
pencurian dalam pasal 362.
6. Penadahan
Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan
lain dari perbuatan persekongkolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat. R Soesilo menjelaskan bahwa perbuatan itu dibagi menjadi,
perbuatan membeli atau menyewa barang
yang diketahui atau patut diduga hasil
dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau menggadaikan
barang yang diketahui atau patut diduga
dari hasil kejahatan (Soesilo, 1995).
Ancaman pidana dalam Pasal
480 itu adalah paling lama
4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900
(sembilan ratus rupiah). Dilihat
dari uraian siingkat dari arti illegall logging tersebut maka dapat digambarkan
bahwa tindak pidana illegal logging merupakan tindak pidana yang sangat kompleks, sehingga diperlukannya usaha pencegahan sejak dini baik dalam
bentuk penal (hukum pidana) dan non penal (di luar hukum pidana). Hal ini dianggap perlu
karena dampak dari tindak pidana
illegal logging tidak hanya
berdampak buruk bagi sektor ekonomi
saja, tapi di dalam kerusakan ekosistem dapat berakibat jangka panjang.
Upaya penegakan
hukum yang dilakukan belum berjalan optimal, dikarenakan masih ditemuinya beberapa kendala, kendala lainnya yang dihadapi dalam penanganan tindak pidana kehutanan
Hamid
(2016), diantaranya:
adalah: 1) Terbatasnya sarana dan prasarana sehingga dapat memperlambat dalam operasi dll; 2) Minimnya polisi kehutanan; 3) Lemahnya komitmen para pihak dalam mendukung upaya pemberantasan tindak pidana kehutanan.
Untuk dapat dilaksanakannya penegakan hukum kehutanan secara sistematik, efektif dan efisien, guna penegakan
hukum yang optimal, perlu adanya pedoman yang memberikan arahan dalam upaya penegakan
hukum kehutanan. Untuk kasus Illegal logging tersebut, perlu mempercepat proses peradilan sebagai tindakan �shock terapi�, melakukan penahanan, menjatuhkan sanksi administrasi dan sanksi pidana terhadap
pelaku.
Sejalan dengan tindakan �shock terapi� tersebut, perlu di bangun kerangka kerja yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum kehutanan, antara lain: 1) Membentuk sistem monitoring pelacakan kasus untuk memonitor kejahatan yang dilaporkan, melakukan investigasi kejahatan dan memantau proses jalannya pengadilan; 2) Memperbaiki komunikasi dan penyelesaian perbedaan di antara pemangku kepentingan, terutama yang terkait dengan: otoritas pemberi izin, sumber-sumber kayu yang legal dan ilegal, kepemilikan hutan dan tanah, hak adat
atas hutan dan hasil-hasil tanah; 3) Meningkatkan kesadaran guna memerangi dan mengurangi terjadinya tindak pidana dibidang
kehutanan melalui berbagai media massa.
Penegakan hukum pidana adalah
suatu upaya mewujudkan segala sesuatu keinginan dari hukum pidana
agar menjadi nyata, yaitu hukum pidana
menurut Van Hamel, hukum pidana adalah keseluruhan
dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang
apa yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut (Sudarto &
Pidana, 1983).
Kurangnya pendekatan masyarakat dengan penegak hukum mengakibatkan penghambatan dalam penanganan kasus Illegal logging,
karenanya masyarakat juga tidak melaporkan apabila ada kejadian
yang menyangkut kayu yang tidak mempunyai surat izin, untuk
selanjutnya diharapkan koordinasi dan kerjasama masyarakat dengan penegak hukum agar terjalin kerjasama dalam penanggulangan illegal
logging.
Efektivitas UU N0 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan yang
mengatur Tentang Illegal
Logging
Fungsi sosial budaya dari
hutan dapat dilihat dengan adanya keterkaitan antara hutan dengan
masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan, baik dalam
hubungannya sebagai sumber mata pencaharian,
hubungan religius, hubungan adat istiadat
dan sebagainya (Pane, 2016). Dilihat
dari aspek sosial, illegal logging menimbulkan
berbagai konflik seperti konflik hak atas hutan,
konflik kewenangan pengelolaan hutan antara pemerintah pusat dan daerah setempat serta masyarakat terhadap hutan.
Aspek budaya seperti ketergantungan masyarakat terhadap hutan, penghormatan terhadap hutan yang masih dianggap memiliki nilai magis juga ikut terpengaruh oleh praktik-praktik illegal logging yang pada akhirnya mengubah perspektif dan perilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan. Dampak kerusakan
ekologi atau lingkungan akibat illegal logging
tersebut menurut beberapa pakar pemerhati lingkungan yang meneliti berbagai bencana alam yang terjadi, mensinyalir sebagai akibat dari illegal logging yang juga menimbulkan
masalah kerusakan flora dan
fauna.
Merusak hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan adalah merupakan suatu kejahatan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 48 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa�tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini adalah
kejahatan�. Bab yang dimaksud
dalam pasal tersebut adalah Bab IV Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang ketentuan pidana, yang didalamnya dirumuskan tentang ketentuan pidana terhadap perbuatan yang�� mengakibatkan�� pencemaran�� dan/atau�� perusakan lingkungan.
Perusakan hutan adalah merupakan
salah satu bentuk kerusakan lingkungan, oleh karena itu maka
perusakan hutan adalah merupakan suatu kejahatan. Salah satu bentuk kerusakan
hutan Penebangan liar
(illegal logging) adalah salah satu
bentuk kejahatan dalam bidang kehutanan
dan belum diatur secara spesifik dalam suatu ketentuan
undang-undang tersendiri. Penegakan hukum terhadap penebangan liar (illegal
logging) masih mengacu kepada ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal
50 Jo Pasal 78 Undang-Undang
No. 41 Tahun 1999.
Dalam Pasal
50 Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan disebutkan antara lain: 1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. 2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu, serta izin pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Setiap orang dilarang: a) Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara
tidak sah; b) Merambah kawasan hutan; c) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
dengan radius atau jarak sampai dengan:
- 500
(lima ratus) meter dari tepi
waduk atau danau;
-
200 (dua ratus) meter dari tepi
mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
- 100
(seratus) meter dari kiri kanan tepi
sungai,
-
50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi
anak sungai;
-130 (seratus
tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan
pasang terendah di tepi pantai.
d) Membakar
hutan. e) Menebang pohon atau memanen
atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari
pejabat yang berwenang. f)���������� Menerima, membeli atau menjual,
menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga
berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut
secara tidak sah. g) Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi
atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan,
tanpa izin Menteri. h) Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil
hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan. i) Menggembalakan
ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk
maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang. j) Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut
diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat
yang berwenang. k) Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon
di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang. l) Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam
kawasan hutan. m) Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan
hutan tanpa izin dari pejabat
yang berwenang.
Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan/atau mengangkut tumbuhan dan/atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan substansi Pasal 50 Undang-Undang Kehutanan di atas, dapat disimpulkan
mengenai aktivitas illegal
logging, yaitu meliputi kegiatan-kegiatan yang dilarang dilakukan oleh seseorang antara lain; 1) Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
dalam radius atau jarak sampai dengan
500 (lima ratus) meter dari tepi
waduk atau danau, 200 (dua ratus) meter dari
tepi mata air dan kiri kanan sungai
di daerah rawa, 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi
sungai, 50 (lima puluh)
meter dari kiri kanan tepi anak
sungai, 2 (dua) kali kedalaman
jurang dari tepi jurang, dan 130 (seratus tiga puluh)
kali selisih pasang tertinggi
dan pasang terendah dari tepi Pantai. 2) Melakukan kegiatan menebang pohon atau memanen
atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari
pejabat yang berwenang. 3) Menerima, membeli atau menjual, menerima
tukar, menerima titipan, menyimpan, atau hasil hutan
yang diambil atau dipungut secara tidak sah. 4) melakukan
kegiatan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan. 5) melakukan kegiatan membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga
akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan dalam
kawasan hutan, tanpa izin pejabat
yang berwenang; 6) Melakukan
kegiatan membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelahmpohon di dalam kawasan hutan
tanpa izin pejabat yang berwenang.
Undang-Undang Nomor. 41 tahun 1999 merumuskan adanya 2 (dua) jenis sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku yaitu:
1. Sanksi
Pidana
Jenis sanksi
pidana yang digunakan adalah pidana pokok
berupa: pidana penjara dan pidana denda serta pidana
tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan alat yang dipakai untuk melakukan
kejahatan. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh dan atau badan hukum atau badan usaha (korporasi) dikenakan pidana sesuai dengan ancaman
pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 78 ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan, dan berdasar pasal 80 kepada penanggung jawab perbuatan diwajibkan pula untuk membayar ganti rugi sesuai
dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan dan tindakan lain yang diperlukan.
2. Sanksi
Administrasi
Sanksi administratif dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan
hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang melanggar ketentuan pidana sebagaimana dirumuskan dalam pasal 78 Sanksi Administratif yang dikenakan antara lain berupa denda, pencabutan, penghentian kegiatan dan atau pengurangan areal.
Sanksi pidana dirumuskan secara kumulatif bersifat imperatif kaku yakni pidana
pokok berupa pidana penjara dan denda yang cukup besar serta pidana
tambahan berupa dari hasil kejahatan
dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran.
Hal ini
menimbulkan kekhawatiran tidak efektif dan menimbulkan masalah karena ada ketentuan
bahwa apabila denda tidak dibayar
dikenakan pidana kurungan pengganti. Ini berarti berlaku ketentuan umum dalam KUHP (pasal 30) bahwa maksimum pidana kurungan pengganti adalah 6 (enam) bulan atau
dapat menjadi maksimum 8 (delapan) bulan apabila ada
pemberatan (recidive/concursus).
Dengan demikian kemungkinan besar ancaman pidana denda yang besar itu tidak akan
efektif, karena kalau tidak dibayar
paling-paling hanya terkena
pidana kurungan pengganti 6 (enam) bulan atau 8 (delapan)
bulan.
Kesimpulan
Bahwa
Berdasarkan unsur-unsur serta pembagian tindak pidana maka tindakan illegal
logging termasuk dalam tindak pidana. Illegal logging meliputi serangkaian
pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang
berlebihan, pelanggaran-pelanggaran ini terjadi disemua lini tahapan industri
kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan,
tahap pemrosesan dan tahap pemasaran dan bahkan meliputi pengunaan cara-cara
korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran
keuangan, seperti penghindaran pajak, pelanggaran juga terjadi karena
kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan
unit-unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi dalam
kawasan ini, tidak diduga dilapangkan dengan melibatkan masyarakat setempat.
Bahwa
Undang-Undang Nomor. 41 tahun 1999 merumuskan adanya 2 (dua) jenis sanksi yang
dapat dikenakan kepada pelaku yaitu: pertama Sanksi Pidana yaitu Jenis sanksi
pidana yang digunakan adalah pidana pokok berupa: pidana penjara dan pidana
denda serta pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan
alat yang dipakai untuk melakukan kejahatan.
Terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh dan atau badan hukum atau badan usaha (korporasi)
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana sebagaimana tersebut dalam pasal
78 ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan, dan berdasar
pasal 80 kepada penanggung jawab perbuatan diwajibkan pula untuk membayar ganti
rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara
untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan dan tindakan lain yang
diperlukan.
Yang kedua Sanksi Administrasi yaitu
Sanksi administratif dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hutan, atau izin
pemungutan hasil hutan yang melanggar ketentuan pidana sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 78 Sanksi Administratif yang dikenakan antara lain berupa denda,
pencabutan, penghentian kegiatan dan atau pengurangan areal..
BIBLIOGRAFI
Arief, Irma Indrayani. (n.d.). ILLEGAL LOGGING
& ILLEGAL FISHING.
Audina, Safira. (2018). Penegakan Hukum Pidana
terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging di Indonesia. Logika: Jurnal
Penelitian Universitas Kuningan, 9(02), 72�90.
Damanik, Sarintan E., & Sinurat, Anggiat. (n.d.). PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN EKOSISTEM HUTAN. Penerbit K-Media.
Fadhillia, Listiya, & Hadi, Ainal. (2018).
Tinjauan Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Illegal Logging Di Kabupaten Aceh
Selatan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana, 2(2),
375�385.
Hamdan, Muhammad. (2000). Tindak Pidana Pencemaran
Lingkungan Hidup. Mandar Maju.
Hamid, Muhammad Amin. (2016). Penegakan Hukum Pidana
Lingkungan Hidup Dalam Menanggulangi Kerugian Negara. Legal Pluralism:
Journal of Law Science, 6(1).
Hilmy, Mhd. (2021). Peran Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera utara Dalam Menanggulangi Praktik Illegal Logging di Kawasan Hutan
Produksi UPT KPH IV Sipirok. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Leden, Marpaung. (1997). Tindak Pidana Lingkungan
Hidup. Sinar Grafica, Jakarta, Hal, 8.
Pane, Erina. (2016). Rekonstruksi Kebijakan Penataan
Hutan Adat Di Kabupaten Way Kanan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang
Hutan Adat. Fiat Justisia, 10(3).
Pope, Jeremy. (2003). Strategi memberantas korupsi:
elemen sistem integritas nasional. Yayasan Obor Indonesia.
Rahmadi, Takdir. (2011). Hukum lingkungan di
Indonesia.
Ruslan Renggong, S. H. (2017). Hukum Pidana Khusus.
Prenada Media.
Soekanto, Soerjono. (1985). Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet.
Soesilo, Raden. (1995). Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP): Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.
Sudarto, Hukum, & Pidana, Hukum. (1983). Bandung. Sinar
Baru.
Surbakti, Natangsa. (2005). Buku Pegangan Kuliah Hukum
Pidana Khusus. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Fakultas Hukum.
Surono, Agus. (2017). Peranan Hukum Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Alam Skala Desa Oleh Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat Desa. Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional, 6(3), 459�478.
Syolikhin, Muhammad. (2021). KAJIAN MENGENAI TINDAK
PIDANA ILLEGAL LOGGING DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA.
Universitas Islam Kalimantan MAB.
Tawang, Dian Adriawan Daeng. (2022). Kebijakan hukum
pidana dalam menanggulangi tindak pidana illegal logging di Kabupaten Dompu. THESIS-2020.
Utina, Ramli. (2015). Pendidikan Lingkungan Hidup
dan Konservasi Sumberdaya Alam Pesisir.
Yusuf, Abdul Muis, & Makarao, Muhammad Taufik.
(2011). Hukum kehutanan di Indonesia. Rineka Cipta.
Copyright holder: Rahmawati Eka Sari, Erwin Syahruddin (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |