Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 10, Oktober 2023

 

PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN WARALABA SEBAGAI DASAR PEMBUATAN KONTRAK

 

Muhammad Masudi, Budi Santoso

Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Email: [email protected]

 

Abstrak

Perjanjian baku merupakan kontrak yang cenderung bersifat sepihak dan melanggar asas itikad baik. Berbeda dengan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata bahwa Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Prakteknya penerapan asas tersebut sebagai dasar pembentukan perjanjian waralaba, sering menjadi sebab terjadinya penyimpangan hak dan kewajiban oleh pihak yang kuat, sehingga merugian pihak yang lemah. sehingga terlihat jauh dari nilai-nilai keadilan. Salah satu cara untuk mengetahui apakah asas itikad baik dan kepatutan diterapkan dalam pembuatan perjanjian waralaba adalah dengan mencermati ketentuan/pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban para pihak. Penelitian ini bertujuan mengetahui penerapan asas itikad baik sebagai dasar pembuatan perjanjian waralaba serta akibat hukumnya bila tidakadaknya asas itikad baik. Metode penelitihan yuridis empiris, dengan Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis. kesimpulan penerapan asas itikad baik dalam perjanjian waralaba harus diperlakukan untuk terpenuhinya hak-hak dan kewajiban para pihak, akibat hukum terhadap asas itikad baik adalah perjanjian batal demi hukum atau dapat dibatalkan.

 

Kata Kunci: Asas Itikad Baik, Perjanjian Waralaba, Akibat Hukum

 

Abstract

Standard agreement is a contract that tends to be one-sided and violates the principle of good faith. It is different from what is stated in Article 1338 (3) of the Civil Code that the Agreement must be executed in good faith. In practice, the application as the basis for the formation of franchise agreements, the cause of deviations in rights and obligations by strong parties, resulting in the loss of weak parties. so that it looks far from the values of justice. To find out whether the principles are applied in making a franchise agreement is to pay close attention to the provisions/articles governing the rights and obligations of the parties. This study aims to determine the application of the principle as the basis for making franchise agreements and the legal consequences if the principle is not carried out. Empirical juridical research methods, with the specifics are descriptive analytical. the conclusion of the application of that in the franchise agreement must be treated for the fulfillment of the rights and obligations of the parties, the legal effect on the principle is that the agreement is null and void or voidable.

 

Keywords : Principles of Good Faith, Franchise Agreements, Legal Consequences

 

PENDAHULUAN

Penerapan perjanjian dari sebuah kesepakatan yang dibuat oleh para pihak yang telah sepakat saling mengikatkan diri. Kesepakatan yang terjadi dalam perjanjian baik untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dampak dari kesepakatan ini akan melahirkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang mengikatkan diri. Dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai hukum perjanjian terdapat dalam buku IIII tentang perikatan, memuat hukum kekayaan mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap pihak-pihak tertentu.

Berbeda bila dikaitkan dengan teori ilmu hukum, hukum perjanjian termasuk kedalam golongan hukum tentang diri seseorang dan hukum kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara kecapakan seseorang dan hukum untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang. Keberadaan perjanjian tersebut, saat ini lazim disebut juga kontrak tidak lepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu kontrak. Kontrak merupakan suatu perbuatan hukum yang terjadi antara suatu pihak atau lebih sepakat mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih atau dimana keduanya saling mengikatkan diri untuk memenuhi hak dan kewajibannya (Khairandy, 2004).

Perjanjian dalam dunia hukum, menurut rumusan Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan dengan mana satu atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan dalam dunia usaha, perjanjian adalah hal yang sangat penting karenga penyangkut bidang usaha yang digeluti (Busro, 2011). Menurut Sudikno Mertokusumo mendefinisikan Perjanjian merupakan suatu perbuatan berdasar kesepakatan dimana seorang atau lebih saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan akibat hukum.

Definisi tersebut menunjukkan adanya asas konsensualisme, asas kepercayaan, dan asas keseimbangan. Bahwa atas dasar kesepakatan dan kepercayaan, kedua pihak saling mengikatkan dirinya dalam perjanjian sehingga ada perjanjian dan keseimbangan hukum diantara keduanya (Mertokusumo, 1995). Menurut sudut pandang penulisi kesepakatan merupakan dasar suatu perbuatan dari seorang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan akibat hukum. Sehinga kata sepakat akan timbul dari apa yang dikehendaki oleh pihak pertana dan dikehendaki pula oleh pihak kedua sehingga terjadi keseimbangan diantara kedua belah pihak.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang kemudian memberikan definisi waralaba merupakan hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Pengertian perjanjian waralaba diatur secara jelas pada Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Waralaba yakni Perjanjian Waralaba merupakan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba atau Pemberi Waralaba Lanjutan dengan Penerima Waralaba Lanjutan.

Hukum kontrak ini pun senantiasa berkembang, terlebih lagi dengan semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai munculnya era globalisasi, yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian khususnya di bidang bisnis. Salah satu perjanjian bisnis yang banyak dipraktikkan oleh masyarakat saat ini adalah perjanjian bisnis waralaba/franchise. Waralaba atau dalam Bahasa Inggris yaitu franchise menjadi salah satu kontrak bisnis pilihan sebagai peluang usaha yang saat ini banyak diminati oleh para pelaku usaha, baik yang memiliki modal kecil sampai yang bermodal besar.

Ada beberapa hal yang bisa dianggap keuntungan sehingga membuat usaha ini memiliki daya tarik tersendiri, yaitu dengan sudah terbentuknya manajemen bisnis yang jelas, sudah terdapat jenis usaha yang akan dijalankan, dan yang terpenting adalah sudah adanya merek dagang yang telah dikenal di kalangan masyarakat banyak. Hal ini disebabkan antara lain, karena produk-produk atau jasa-jasa yang dimiliki oleh pemberi waralaba atau franchisor telah terbukti kualitasnya, dikenal, dan memiliki pangsa pasar yang jelas.

Perjanjian waralaba dibuat berdasarkan hukum perjanjian yang berlaku pada umumnya di Indonesia yang tunduk pada buku III KUH(Perdata) dan juga Pemerintah di Indonesia telah mengeluarkan legalitas terkait dengan waralaba sejak tahun 1997 yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 tahun 1997 tentang waralaba yang kemudian dikeluarkan juga Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Tata Cara Pelaknsanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Seiring perkembangan zaman dikeluarkan peraturan baru, dirubah dengan (Peraturan) Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan (Menteri Perdagangan RI) Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba tentang Penyelenggaraan Waralaba.

Bagi franchisee adanya sistem franchise tersebut memberikan berbagai keuntungan dalam hal efisiensi usaha, karena franchisee menggunakan kekhasan bisnis (brain name), merek bisnis, logo, cara memproduksi, pemasaran serta service juga diberikannya technical assistance. Franchise dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan kesempatan kepada pengusaha kecil maupun menengah untuk berusaha, memberikan kesempatan kerja, pemerataan dan juga lapangan kerja masyarakat (Badriah, 2013).

Maka Hubungan timbal balik yang terjadi antara pemberi waralaba yang memberikan bantuan kepada pemberi waralaba dan sebagai imbalannya maka pihak penerima waralaba memberikan keuntungan/royalti agar keduanya dapat bekerjasama menjalankan bisnis tersebut dengan baik. Namun, terkadang hubungan timbal balik tersebut tidak berjalan dengan baik sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat bersama oleh kedua belah pihak.

Terdapat perbedaan dengan praktiknya, kecenderungan makin memperlihatkan bahwa beberapa perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang diantara para pihak, sebaliknya perjanjian itu terjadi dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui atau ditolak. Perjanjian yang demikian itu dinamakan perjanjian standar atau perjanjian baku.

Praktek bisnis yang berat sebelah akan memunculkan reaksi yang mengarah kepada perlunya diberikan tempat yang layak bagi keberadaan asas itikad baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan perjanjian. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata �Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik�. Pasal ini bermakna perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak harus dilaksanakan sesuai dengan kepatutan dan keadilan.

Asas ini ditempatkan sebagai asas yang paling penting (super eminent principle) dalam kontrak (Khairandy, 2015). Asas ini menjadi suatu ketentuan fundamental dalam hukum kontrak, dan mengikat para pihak dalam kontrak (Judd, 1988). Disimpulkan bahwa asas itikad baik dalam penerapan perjanjian ini merupakan kepatuhan atau keharusan sebuah penilaian perilaku salah satu pihak dalam hal mengimplementasikan apa-apa saja yang telah diperjanjikan dan bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dan sewenang-wenangnya dari salah satu pihak.

Berbeda dengan kenyataanya, perkembangannya asas ini muncul menjadi paradigma baru dalam hukum kontrak yang menjurus pada kebebasan tanpa batas (unretristicted freedom of contract). Kondisi saat ini, bahwa penerapan asas ini juga membuat orang/pihak yang kuat bisa memaksakan kehendaknya terhadap pihak yang lemah, sehingga cita-cita kebebasan berkontrak yang awalnya memberikan keseimbangan hukum, keseimbangan kepentingan dan juga keseimbangan dalam posisi tawar, menjadi sarana penekan bagi pihak yang lemah (Busro, 2016).

Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan keseimbangan antara dua pihak. Menurutnya keutamaan merupakan ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Sedangkan ukuran keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia disamakan dalam satu unit.

Misalnya semua orang sama di hadapan hukum. Kemudian kesamaan proporsional adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya. Aristoteles juga membedakan antara keadilan distributif dengan keadilan korektif. Keadilan distributive menurutnya adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik, yaitu berfokus pada distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh anggota masyarakat. Kemudian keadilan korektif berhubungan dengan pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Sehingga dapat disebutkan bahwa ganti rugi dan sanksi merupakan keadilan akorektif menurut Aristoteles (Rhiti, 2015).

Berdasarkan paparan penulis di atas maka Asas Itikad baik telah menjadi asas yang sangat penting di dalam sebuah kontrak baik pada tahap pra kontrak maupun tahap pelaksanaan kontrak, akan tetapi dalam prakteknya asas itikad baik ini masih� membutuhkan penjelasan lebih lanjut terkait dengan bagaimana penerapan itikad baik menilai sebuah kontrak yang bentuknya baku, maka menurut hemat penulis penerapan asas itikad tidaklah hal yang sederhana, tetapi hal ini yang terpentik untuk dilaksanakan dalam setiap kontrak yang telah disepakati bersama.

Maka sejalan dengan prakteknya tersebut dan atas dasar latar belakang tersebut penulis ingin mengetahui penerapan asas itikad baik dalam pembuatan perjanjian waralaba sebagai dasar pembuatan kontrak, dan mengetahui apa akibat hukum dari pelanggaran asas itikad baik dalam kontrak waralaba. Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka penulis membuat rumusan masalah untuk penulisan artikel jurnal ini yaitu, bagaimana penerapan asas itikad baik dalam pembuatan perjanjian waralaba sebagai dasar pembuatan kontrak? Dan apakah akibat hukum dari pelanggaran asas itikad baik dalam kontrak waralaba?

Artikel ini dengan judul Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Pembuatan Perjanjian Waralaba Sebagai Dasar Pembuatan Kontrak merupakan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan, guna menyelesaikan penelitian ini, peneliti juga telah membandingan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang membahas mengenai asas itikad baik dalam perjanjian waralaba. Akan tetapi, Artikel ini memiliki subtansi pembahasan yang berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya.

Dalam penelitian berjudul �Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Online�.� oleh I Gede Krisna Wahyu Wijaya dan Nyoman Satyayudha Dananjaya (Wijaya & Dananjaya, 2018), penelitian tersebut mengkaji bagaimana peran penting asas itikad baik didalam pembuatan perjanjian jual beli online dan akibat hukum dari pelanggaran asas itikad baik didalam perjanjian jual beli online yang ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Berdasarkan hasil penelitiannya, menurutnya di dalam proses pembuatan sebuah perjanjian, termasuk perjanjian jual beli online atau transaksi elektronik haruslah didasari dengan itikad baik dari masing-masing pihak didalam perjanjian tersebut. Asas itikad baik merupakan salah satu sendi terpenting dalam hukum perjanjian. Akibat hukum dari adanya itikad yang tidak baik didalam perjanjian jual beli online yaitu dapat berakibat dituntutnya pihak yang beritikad tidak baik tersebut tidak hanya secara perdata namun dapat juga dibawa keranah hukum pidana. Apabila pelaku bisnis online tidak memiliki itikad baik dalam perjanjian online tersebut, maka dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 62 UUPK dan diperberat dengan ketentuan pasal 45 ayat (2) UU ITE.

Juga dalam penelitian berjudul �Penerapan Asas Itikad Baik Dan Kepatutan Dalam Perjanjian Waralaba (The Application Of Good Faith And Conscionability Principles Within Franchise Agreements)�. Oleh Ery Agus Priyono (Priyono, 2016), di dalamnya mengkaji bagaimana penerapan Asas kebebasan Berkontrak, itikad baik dan kepatutan pada waktu membuat para pihak membuat perjanjian dan mengetahui kekuatan asas itikad baik dan kepatutan dalam hal hakim melakukan �penilaian� terhadap perjanjian di mana tercantum clausule exoneratie.

Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi pelanggaran terhadap asas kebebasan berkontrak, asas konsensual, dalam merumuskan isi di dalam perjanjian tersebut khususnya pada pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban para pihak.Terlalu banyak kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak francisee tetapi hak yang dimilikinya sangat sedikit. Sebaliknya banyak pasal yang mengatur hak-hak franchisor, akan tetapi sangat sedikit yang mengatur kewajibannya. Hasil penelitan juga menunjukkan hakim dapat menghapuskan pasal-pasal yang diduga sengaja dibuat untuk memberikan keuntungan kepada salah satu pihak atau membebaskan salah satu pihak dari tanggung jawab yang semestinya harus dipikulnya.

Artikel yang ditulis oleh penulis ini mempunyai perbedaan dengan jurnal atau penelitian-penelitian diatas. Artikel yang ditulis oleh penulis ini membahas mengenai penerapan asas itikad baik dalam pembuatan perjanjian waralaba sebagai dasar pembuatan kontrak serta apa saja akibat hukumnya bila terjadi pelanggaran asas itikad baik dalam perjanjian waralaba. Penulisan ini lebih menekankan pada penerapan asas itikad baik dan akibat hukumnya.

 

METODE PENELITIAN

Penulisan penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Selain itu penelitian tesis ini disebut juga sebagai penelitian doktrinal, karena dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas (Amiruddin & Asikin, 2014). Metode ini mengkaji hukum tertulis dengan berbagai aspek seperti teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan penjelasan pada tiap Pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu perundangan.

Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis artinya hasil penelitian ini berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti (Soekanto, 1986). Sumber dan jenis data yang digunakan oleh artikel ini yaitu sumber hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait, sumber hukum sekunder berupa hasil penelitian yang terkait dengan artikel ini, dan sumber hukum tersier seperti kamus bahasa hukum, majalah elektronik, ataupun internet.

Dalam penulisan ini alat pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan ini adalah studi dokumen atau studi kepustakaan. Pengolahan dan analisis data penulisan berpedoman pada rumusan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai penulis. Dalam penulisan ini, pendekatan yang diambil adalah pendekatan kualitatif. Data-data yang diperoleh akan disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif, guna mencapai kejelasan permasalahan yang akan dibahas. Metode analisis kualitatif digunakan, karena data-data yang diperoleh tidak berbentuk angka-angka maupun variable-variabel tertentu, untuk kemudian dilakukan pengumpulan dan penyusunan data secara sistematis serta menguraikannya dengan kalimat yang teratur sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.        Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Pembuatan Perjanjian Waralaba Sebagai Dasar Pembuatan Kontrak

Menurut Salim H.S., bahwa secara prinsip, kontrak dari aspek namanya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu Kontrak nominaat dan Kontrak innominaat. Kontrak nominaat adalah kontrak-kontrak atau perjanjian-perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata, sedangkan kontrak innominaat adalah kontrak-kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang di dalamp raktek. Menurutnya juga bahwa berdasarkan aspek pengaturan, terdapat 3 (tiga) macam kontrak innominaat, yaitu: (S, 2003)

a.       Kontrak innominaat yang telah diatur secara khusus dan dituangkan dalambentuk undang-undang dan atau telah diatur dalam pasal-pasal tersendiri;

b.      Kontrak innominaat yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah;

c.       Kontrak innominaat yang belum ada undang-undangnya di Indonesia.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka perjanjian waralaba termasuk ke dalam kontrak innominaat yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. Perjanjian waralaba dianggap sebagai perjanjian baku, Perjanjian baku semakin lazim digunakan dalam transaksi perdagangan, dengan alasan untuk memperlancar sirkulasi perdagangan. Hal ini berkembang dipakai secara meluas dalam dunia bisnis, dan kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat itu sendiri (Sjahdeini, 1993).

Dimana perjanjian waralaba ini hanya dibuat oleh salah satu pihak dan pihak lainnya tidak dapat mengungkapkan keinginannya secara bebas. Dengan demikian didalam perjanjian baku berlaku suatu anggapan �apabila menyetujui silahkan diambil, dan jika tidak silahkan tinggalkan�, anggapan ini dapat dikatakan sangat cocok untuk perjanjian baku. Pemberlakuan perjanjian baku telah menjadi suatu kebutuhan di masyarakat, untuk itu perlu diatur agar tidak terjadi penyalahgunaan dan kerugian bagi pihak lain.

Berkaca dengan yang telah tercantum dalam� Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata mengenai asas itikad baik, yang berbunyi Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam perjanjian waralaba harus dilakukan dengan itikad baik, Agar seluruh rangkaian proses waralaba berjalan lancar dan tidak merugikan salah satu pihak yang terlibat dalam perjanjian kerjasamat tersebut. Itikad baik dalam suatu perjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakti, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi persepakatan perjanjian, itikad baik dalam perjanjian harus ada seblum terjadinya kesepakatan, dan saat pelaksanaan perjanjian hingga telah terpenuhinya kesepakatan tersebut.

Selaras dengan yang dipaparkan� oleh� Wiryono� Projodikoro� bahwa� itikad� baik� dibagi� menjadi� dua� macam, yakni itikad baik pada tahap mulai berlakunya serta itikad baik pada tahap pelaksanaan hak dan kewajiban. Asas itikad baik umumnya dianut oleh negara dengan sistem civil law sehingga di negara-negara penganut common� law asas� ini� tidak� berlaku� di� dalam �perjanjian.� Menurut� mereka� asas� ini� dianggap� tak� sesuai� dengan kepastian� hukum� karena� tidak� memiliki� landasan� bagi� penggunaannya� dan� juga� maknanya� dianggap� sangat interpretative sehingga dikhawatirkan menganggu kepastian hukum (Winarni, 2015).

Pengertian itikad baik demi keadilan berkembang sejalan dengan perkembangan hukum kontrak Romawi, yang semula hanya memberikan ruang bagi kontrak-kontrak yang telah diatur dalam undang-undang (iudicia stricti iuris yang bersumber pada Civil Law). Di terimanya kontrak-kontrak yang didasarkan pada bonae fides yang mengharuskan diterapkannya Asas Itikad Baik demi keadilan dalam pembuatan dalam pelaksanaan perjanjian (Khairandy, 2004). Kepatutan atau keadilan dikonkritkan ke dalam aturan hukum Pasal 1321, 1323, 1328 BW tentang kekhilafan, paksaan dan penipuan dalam pembuatan kontrak. Itikad baik sebagai asas hukum kontrak, memiliki tiga fungsi dalam pelaksanaan kontrak:

a.    Itikad baik berfungsi mengajarkan bahwasanya kontrak harus ditafsirkan secara patut dan wajar (fair);

b.    Itikad baik berfungsi melengkapi/menambah (aanvullende werking van de goede trouw) isi perjanjian, artinya itikad baik dapat menambah isi atau kata-kata perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang timbul diantara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak;

c.    Itikad baik berfungsi meniadakan atau membatasi pelaksanaan perjanjian (derogorende werking van de goede trouw), artinya fungsi ini hanya dapat diterapkan apabila terdapat alasan-alasan yang amat penting (allen in spreekende gevallen).

Salah satu cara untuk mengetahui apakah asas itikad baik dan kepatutan diterapkan dalam pembuatan perjanjian waralaba adalah dengan mencermati ketentuan/pasal-pasal yang mengatur hak dan kewajiban para pihak, tetapi dalam prakteknya sering kita jumpai menunjukkan pasal-pasal yang mengatur hak-hak franchisee jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan pasal-pasal yang mengatur kewajiban-kewajiban franchisee.

Sebagai contoh lainnya, penyimpangan asas itikad baik yang dipaparkan dalam penelitian Ery Agus Priyono (Priyono, 2015) bahwa dapat diketahui jumlah pasal yang mengatur Hak franchisee jumlahnya ada lima pasal, yaitu Pasal 4, Pasal 16, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 26. Kewajiban Franchise dalam perjanjian ini jumlahnya ada 15 pasal, yaitu Pasal 10 s/d Pasal 15, Pasal 17 s/d Pasal 25, yang terjadi dalam praktek franchisor membebankan target pembukaan 3 outlet baru kepada franchisee dalam jangka 1 tahun pertama. Frenchisee melihat bahwa potensi pasar yang ada sangat baik dan merasa dapat melampaui target yang dibebankan kepadanya, akan tetapi karena itikad yang kurang baik maka secara sengaja franchisee melanggar target yang ada.

Sehingga frachisor mengakhiri perjanjian franchise karena menilai franchisee tidak dapat memenuhi target yang ditetapkan. Franchisee tersebut melakukan kerjasama dengan pihak lain serta memakai nama pihak lain untuk membuka pula bisnis yang sejenis dengan bidang usaha franchesor terdahulu. Hal tersebut yang menyangkut asas itikad baik harus perlu dicermati agar tidak terjadi hal yang dapat merugikan kedua belah pihak. Apabila kontrak tersebut seimbang maka dilakukan negoisasi dengan terapan itikad baik antara franchisor dan franchisee di tahap awal perjanjian kontrak.

Franchisor harus menjelaskan dan transparan terkait bisnis franchise-nya, hal ini dilakukan� agar� kontrak� tersebut� tidak� saling� timpang� tindih� sehingga� hanya� menguntungkan� salah� satu pihak� saja.� Meskipun� kontrak� waralaba� merupakan� kontrak� baku, namun franchisee memiliki� hak� untuk mengajukan keberatan jika terdapat salah satu unsur kontrak yang memberatkan (Lukman, 2017). Menurut hemat penulis, dengan penerapan asad itikad baik ini, ditujukan agar perjanjian waralaba atau perjanjian lainnya dapat berjalan sebagaimana yang disepakati para pihak, sesuai tujuan para pihak, sehingga menimbulkan keuntungan bagi keduanya, serta tercapailah pemenuhan hak dan kewajiban para pihak.

 

2.      Akibat Hukum Dari Pelanggaran Asas Itikad Baik Dalam Kontrak Waralaba

Dengan semakin berkembangnya tingkat penipuan atau kejatan, tentunya akan mengakibatkan timbulnya akibat-akibat hukum, salah satunya terkait pelanggaran terhadap asas itikad baik yang dilakukan oleh para pihak yang bersepakat. Konsekuensi dari adanya itikad yang tidak baik didalam perjanjian waralaba yaitu dapat berakibat dituntutnya pihak yang beritikad tidak baik tersebut tidak hanya secara perdata namun dapat juga dibawa keranah hukum pidana, dikaitkan dengan kasus penipuan.

Seperti pemaparan diatas bahwa Perjanjian Waralaba dari segi isinya terdapat ketidakseimbangan anatara hak dan kewajiban para pihak yang artinya salah satu pihak cenderung melindungi kepentingannya masing-masing, perjanjian ini dengan menetapkan sejumlah hak sekaligus membatasi hak-hak pihak penerima waralaba, namun sebaliknya meminimalkan kewajibannya sendiri dan mengatur sebanyak mungkin kewajiban pihak penerima waralaba, dapat dikatakan bahwa kedudukan para pihak tidak seimbang dalam perjanjian baku, Suatu perjanjian ini yang dibuat oleh para pihak dapat memiliki akibat hukum. Tercantum dalam Pasal 1338 KUHPerdata terdapat 3 macam Akibat Hukum, yakni:

a.       Perjanjian bersifat mengikat para pihak. Dalam rumusan Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebagai kreditur yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh debitur dapat atau berhak memaksakan pelaksanaannya dengan meminta bantuan kepada pejabat negara yang berwenang yang akan memutuskan dan menentukan sampai seberapa jauh suatu prestasi yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan, atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan masih dapat dilaksanakan.

b.        Segala bentuk perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. Ketentuan ini dimaksudkan agar setiap orang yang membuat perjanjian harus berkomitmen penuh untuk melaksanakan semua isi perjanjian dan tidak mudah mempermainkan sebuah perjanjian.

c.       Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang tidak didasari itikad baik, misalnya di dasari motif penipuan dan atau penggelapan, dapat berpotensi untuk dinyatakan batal demi hukum karena melanggar salah satu asas perjanjian. Jika unsur penipuan dan penggelapan tersebut dapat dibuktikan maka pelakunya dapat dikenai sanksi pidana penjara sesuai aturan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Semua pengaturan mengenai perjanjian diatur oleh hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba, jika para pihak mematuhi semua peraturan tersebut, maka tidak akan muncul masalah dalam pelaksanaan perjanjian waralaba, namun tidak sepenuhnya dapat berjalan dengan baik. Sering terjadi penyimpangan, penyimpangan dalam hal tidak adanya asas itikad baik dalam perjanjian waralaba tersebut akan menimbulkan wanprestasi, wanprestasi terjadi apabila salah satu pihak tidak menjalankan hal-hal yang menjadi kewajibannya dalam perjanjian waralaba.

Timbulnya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam perjanjian waralaba ini berlaku perlindungan hukum bagi para pihak yang dirugikan, yaitu pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan kerugian, kemungkinan pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum di Indonesia.

Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh franchisee dalam perjanjian waralaba dapat berbentuk tidak membayar biaya waralaba tepat pada waktunya, melakukan hal-hal yang dilarang dilakukan franchisee, melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem waralaba (Widjaja, 2006). Contoh dalam prakteknya franchisor yang tidak pernah memperhatikan franchisee nya dalam menjalankan usaha waralaba tanpa terkecuali dengan alasan apapun, serta tidak memberikan pelatihan-pelatihan kepada franchisee sesuai denga isi perjanjian yang telah dibuat, menarik biaya royalti tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati, memutuskan kontrak secara sepihak dengan alasan keadaan franchisee yang tidak memenuhi syarat lagi untuk menjalankan bisnis waralaba ini. Masih banyak contoh-contoh lainnya yang sering terjadi dimasyarakat. Maka akibat hukumnya bila terjadi wanprestasi tersebut, penerima waralaba dapat memilih tuntutannya, yakni: (Pramono, 2003)

a.       Pemenuhan perjanjian, maka dalam hal pemenuhan perjanjian, segala hal yang telah ditetapkan dalam perjanjian akan dilaksanakan dan disanggupi oleh para pihak sampai batas waktu berakhirnya perjanjian tersebut.

b.      Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi, maka pemenuhan ini menimbulkan adanya ganti rugi yang harus dilakukan tetapi pembayaran kerugian yang ditimbulkan harus dibayarkan.

c.       Ganti rugi saja, Undang-Undang mencantumkan ketentuan tetang apa yang dapat dimasukan dalam ganti rugi tersebut, dengan tujuan untuk membatasi tentang jumlah ganti rugi yang harus dibayarkan pemberi waralaba. Hubungan sebab akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita.

d.      Pembatalan perjanjian, disebut juga pembatalan mutlak yakni suatu perjanjian, yang klausulnya bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Pembatalan lain adalah tak mutlak apabila hanya terjadi jikalau diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu.

Pengaturan Hukum di Indonesia belum ada secara khusus mengatur tentang penyelesaian perselisihan dalam waralaba dan pilihan forum penyelesaiannya. Di dalam perjanjian waralaba, biasanya dicantumkan klausul dalam perjanjian tersebutyang mengenai penyelesaian sengketa. Apabila dalam perjanjian tidak ada kesepakatan dalam penyelesaian sengketa maka bisa melalui proses litigasi yakni melalui pengadilan.

Sehingga pihak yang dirugikan bisa mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan Pasal 1266 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Penyelesaian perselisihan tersebut bilamana dilakukan dengan proses litigasi dapat menguntungkan pihak penerima waralaba, dikarenakan forum pengadilan sebagai forum yang membuktikan bagi pihak pemberi waralaba bahwa tidak adanya itikad baik. Dengan dicantumkannya klausul penyelesaian perselisihan dalam perjanjian waralaba beserta forum penyelesainnya, maka dalam menerapkan perjanjian tersebut dapat berjalan dengan baik, dengan adanya asas itikad baik para pihak.

 

KESIMPULAN

Perjanjian waralaba merupakan perjanjian baku, sehingga sebagian besar pihak penerima waralaba tidak memiliki hak untuk mengajukan isi klausula, maka demikian di dalam perjanjian baku berlaku suatu anggapan �apabila menyetujui silahkan diambil, dan jika tidak silahkan tinggalkan�. Maka dari itu penerapan asas itikad baik harus dilakukan untuk menghindari terjadinya ketidakseimbangan dan ketidakadilan para pihak.

Dengan demikian para pihak memiliki niat untuk memenuhi hak serta kewajibannya masing-masing agar dapat bersama-sama merasakan keuntungannya. Itikad baik merupakan asas yang penting dalam memberikan perlindungan kepada pihak yang kedudukannya lebih lemah, yang biasanya pada perjanjian waralaba pihak pertamanya memiliki kedudukan yang lebih kuat.

Akibat hukum yang terjadi manakala ketidakadanya asas itikad baik, terjadinya wanprestasi dalam perjanjian waralaba tersebut. Timbulnya wanprestasi ini dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam perjanjian waralaba ini berlaku perlindungan hukum bagi para pihak yang dirugikan, yaitu pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan kerugian, kemungkinan pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum di Indonesia.


 

BIBLIOGRAFI

Amiruddin, & Asikin, H. Z. (2014). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

 

Busro, A. (2011). Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata. Yogyakarta: Pohon Cahaya.

 

Busro, A. (2016). Pengaruh Perkembangan Perjanjian baku terhadap Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dalam rangka Menghadapi Era Masyarakat Ekomomi Asean. Semarang: UNDIP Press.

 

Khairandy, R. (2004). Itikad Baik dalam kebebasan Berkontrak. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

 

Khairandy, R. (2015). Kebebasan Berkontrak dan Pacta Sunt Servanda versus Itikad Baik. Yogyakarta: FH. UII Press.

 

Lukman, S. (2017). Dinamika Hukum Kontrak Indonesia. Yogyakarta: Trussmedia Grafika.

 

Mertokusumo, S. (1995). Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.

 

Pramono, N. (2003). Hukum Komersil. Jakarta: Pusat Penerbitan UT.

 

Rhiti, H. (2015). Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme) (Cetakan ke). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

 

S, S. H. (2003). Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

 

Sjahdeini, S. R. (1993). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia. Jakarta: Institut Bank Indonesia.

 

Soekanto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII Press.

 

Widjaja, G. (2006). Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

 

Badriah, S. M. (2013). Reorientasi Perjanjian Franchise Sebagai Upaya, Vol. 43, (no.2).

 

Judd, J. M. (1988). The Implied Covenant of Good Faith and Fair Dealing : Examinng Employees � Good Faith Duties The Implied Covenant of Good Faith and Fair Dealing, Vol. 39, (no. 2).

 

Priyono, E. A. (2015). Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Pembuatan Perjanjian Franchise Es Teler 77 (Suatu Pendekatan Normatif). Masalah-Masalah Hukum, Vol. 44, (no. 2).

 

Priyono, E. A. (2016). Asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian. HUMANI (Hukum Dan Masyarakat Madani), Vol. 6,(no.3).

 

Wijaya, I. G. K. W., & Dananjaya, N. S. (2018). Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Online. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 6, (no. 8), p.1�15.

 

Winarni, L. N. (2015). Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 11, (no. 21), p.1�12.

 

Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek.

 

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba.

 

Copyright holder:

Muhammad Masudi, Budi Santoso (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: