Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 09, September 2022
POLITIK HUKUM
PADA MASA KHULAFAURRASYIDIN SEBAGAI SOLUSI KENEGARAAN
Kusnul Khotimah1*,
Frenty Oktasari2
1*Magister Ilmu Forensik, Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga,
Surabaya, Indonesia
2UIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia
Email: 1*[email protected], 2[email protected]
Abstrak
Persoalan yang terjadi pada masa khulafaur rasyidin tidak
hanyak menyangkut persoalan suksesi kepemimpinan Pasca wafatnya Rasulullah,
tepai juga menyangkut persoalan penegakan hukum terhadap permasalahn yang
terjadi dalam masyarakat, terlebih sepeninggal Rasulullah, kondisi Umat Islam
semakin kuat dan wilayah kekuasanya semakian luas, hal ini juga berimplikasi
pada permasalahan yang muncul dalam masyarakat, lebih-lebih pada permasalahan
yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah dan hukumnya tidak ditemukan di
dalam syara�. Maka untuk mengkaji hal tersebut penulis menggunakan metode
penelitian, nomrtaif dengan pendekatan historical approach, dan conseptual
approach, yang diperoleh hasil penelitian bahwa persoalan yang dialami pada
masa khulafaur Rasyidin di tangani dengan menggunakan beberapa metode atau
cara, petama menggali hukum yang ada di dalam al-Quran, jika tidak
ditemukan maka mencari dari Sunnah, begitupun seterusnya akan menggunakan
metode Ijtihad, sampai pada posisi penggunaan Ro�yu, metode ini digunakan oleh
khalifah dimasing-masing era. dengan meminta pertimbangan (musyawarah) dari
para sahabat senior, sehingga memunculkan sebuah produk hukum yang dapat
menyelesaikan permasalahan yang ada, disisi lain produk hukum juga diperoleh
dari hasil ijtihad yang dilakukan oleh qadi> (hakim) dalam memutuskan suatu
perkara yang ada, dari hasil putusan tersebut daoat dijadikan sumber bagai hakim-hakim
lainya dalam memutus perkara yang sama.
Kata Kunci: Politik Hukum, Khulafaur Rasyidin, Solusi Kenegaraan.
Abstract
The issues that arose during the era of the Rightly
Guided Caliphs not only pertained to matters of leadership succession following
the passing of the Prophet Muhammad but also extended to the enforcement of
laws concerning the problems that emerged within society. Furthermore, after
the demise of the Prophet, the Islamic community grew stronger, and the expanse
of its territories increased, which in turn led to new challenges, particularly
those for which there were no precedents during the time of the Prophet, and
the solutions were not explicitly found in religious texts. To investigate
these matters, the author employed a research method that included a
quantitative approach, a historical approach, and a conceptual approach. The
research results revealed that the challenges faced during the era of the
Rightly Guided Caliphs were addressed through several methods. Initially,
existing laws from the Quran were sought, and if not found, guidance was drawn
from the Sunnah. Subsequently, the method of Ijtihad was employed, and, in
certain cases, opinions (Ro'yu) were considered. Each caliph in their
respective era also engaged in consultation (musyawarah) with senior companions
to formulate legal solutions to the problems at hand. Additionally, legal
decisions were made by qadi (judges) through their independent Ijtihad, which
served as precedents for other judges in similar cases.
Keywords: Legal
Politics, Rightly Guided Caliphs, State Solutions.
Pendahuluan
Periode kedua pada masa perkembangan fiqh atau hukum
Islam bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir
ketika Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada mas adinasi
Umayyah (tahun 41 H). Pada peridoe-periode ini hiduplah para sahabat terkemuka
yang mengibatrkan bendera dakwah Islam setelah Wafatnya Rasulullah. Masa
Khulafaur Rasyidin Atau masa Kibarus Sahabat, bisa dibilang sebagai masa yang
penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan. Disebut sebagai masa kekuatan
Islam, karena pada masa ini, jiwa dan akidah umat Islam masih melekat erat pada
diri masing-masing identitas pada mas itu sebagai hasil usaha dan kerja keras
Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama Islam dan mengajarkan ketauhidan pada
diri mereka, sehingga akidah umat Islam masa ini masih kuat
(Al-Qaththan, 2007).
Namun masa ini juga disebut sebagai masa permulaan
perpecahan umat Islam, karena setelah Nabi Muhammad Saw meninggal dunia, para
sahabat mulai berselisih paham mengenai siapakah yang akan menjadi suskesi
Rasulullah dalam memimpin umat Islam berikutnya (Baihaki, 2019). Yang bermula dari persitiwa Tsaqifah bani Saidah yang
berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi Muhammad di Madinah saat masa
wafatnya. Hal ini muncul karena Nabi Muhammad sebagai panutan dan petunjuk bagi
mereka tidak mewasiatkan atau menunjuk seseoranng sebagai pennggantinya kelak.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat
berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman masing-masing sahabat itu
(Firdaus et al., 2023).
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Hadits Rasulullah
yang artinya Kalian-kalian semua lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.
Dalam berbagai hal, sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi Muhammad
Saw, terutama empat sahabat yang dikenal dengan sebutan khulafa��ur rasyidin.
Dalam hadits juga disebutkan yang artinya sahabat-sahabatku ibarat
bintang-bintang siapa saja yang kallian ikuti maka kalian akan mendapat
petunjuk (hidayah) (Rahmah & Iskandar, 2021).
Berbeda dengan Nabi Muhammad yang ma�sum tentu saja para
sahabat sebagai manusia biasa juga pernah membuat kesalahan, dan dalam
menetapkan hukumnya juga pasti akan berhubungan dengan dasar pemikiran, sosio
kultural di samping ilmu-ilmu agama yang dimiliki mereka. Oleh karena itu
sering terjadi perbedaan tasyri� dalam suatu permaslahan terutama tanpa
qoth�iyyud dialah.
Persoalan inilah kemudian dalam konteks hukum modern
diartikan sebagai politik hukum yang diartikan oleh Profesir Mahfud MD,
menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan)
resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Sedangkan dalam
konteks politik hukum islam diartikan sebagai upaya kebijakan pemberlakuan
hukum Islam sebagai salah satu hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu dengan
memperhatikan tentang segi ke-bhinekaan (pluralitas), dan dalam proses
pemberlakuan harus memperhatikan pula atau berorientasi kepada kepentingan
umat.
Berdarakan hal diatas penulis mencoba untuk merumuskan
sebauh konsep pembentukan suatu produk hukum baik dalam bentuk interprestasi
(penjelas) berdasarkan al-Quran dan Hdits, ataupun produk hukum yang belum
diatur dalam syariat berdasarkan permasalahn yang plural dalam bingkai
pemerintahan Islam pada mas Khulafaur Rasyidin sebagai ajukan politik hukum
Pada masa Modern ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kepemimpinan pada masa
Khulaf'ur Rasyidin, mengeksplorasi hukum dalam produk siyasah dusturiyah, serta
mengembangkan konsep politik hukum pada masa Khulafa'ur Rasyidin sebagai solusi
kenegaraan.
Metode
penelitian
Penelitian hukum (legal research) ini dilakukan
dengan metode yang sesuai dengan karkter yang khas (suei generis) dari
ilmu hukum (jurisprudence) yang berbeda dengan ilmu sosial (social
science) dan/atau ilmu alam (naturall science) (Hadjon & Djatmiati, 2005). Berdasarkan karakteristik tersebut, Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif atau
yuridis normatif (Kadir, 2004). Dengan menggunakan pendekatan historical approach (pendekatan
sejarah) dan conseptual approach (pedekatan konsep).
Hasil dan Pembahasan
A. Pemerintahan Pada Masa Khulfa�ur Rasyidin
1. Abu
Bakar al-Shiddiq
Pengankatan
Khalifah
Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad Saw
wafat pada 632 M/10 H adalah seksesi. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad Saw,
memang tidak pernah menunjuk siapa yang akan menggantikanya. Ketiadaan
pentuujuk ini menimbulkan permasalahan dikalangan umat Isslam setelah Nabi
Muhammad Saw wafat, sehingga hampir membawa perpecahpada pendirian mereka,
antara kaum muhajirin dan Anshar. Bahkan jenazah beliau sendiri terlantar oleh
pembicaraab seputar khilafah.
Sehari setelah Rasulullah wafat, kaum anshar memprakarsai
musyawarah besar di Tsaqifah Bani Sa�adah. Mereka sibuk membicarakan siapa yang
akan diangkat menjadi khalifah pengganti kekuasaan politimm Nabi. Dalam
pertemuan ini, suku Khazraj menunjukan Sa�ad ibn Ubadah sebagai khalfah, namun
suku Aws belum bersedia menerima pencalonan Sa�ad tersebut, karena mereka juga
mempertimbangkan kemungkinan golongan Muhajirin menentukan sendiri calonya.
Menghadapi keberata suku Aws, sebagian suku Khjraz bersikukuh meskipun
Muhajirin juga akan mempertahankan pemimpin dari kalangan mereka.
Sementara orang-orang Anshar masih berkumpul di Tsaqifah
Bani Sa�idah, Umar, Abu Ubaidah ibn Jarrah dan beberapa kaum muslimin lainya
juga sibuk membicarakan wafatnya Rasulullah. Sedangkan Abu Bakarr, Ali serta
keluarga Rasulullah sibuk mengurus persiapan pemakaman Rasulullah, ketika
itulah Umar mulai berpikir tentang umat Islam setelah Muhammad Saw wafat, Umar
langsung meminta Aabu Ubaidah menguliurkan tanganya untuk di bai�at. Namun Abu
Ubaidah keberatan dengan alasan bahwa Abu Bakar lah figur yang lebih tepat
untuk menggantikan Nabi (Aburrohman, 2018).
Sewaktu terjadi dialog tersebut, berita pertemuan Anshar
di Tsaqifah pun sampai ke telinga Umar dan Abu Ubidah. Umar segera mengutus
seseorang kepada Abu Bakar untuk datang segera menemuinya. Namun Abu Bakar
tidak bersedia karena sibuk mengurus jenazah Nabi Muhammad. Umar pun menyuruh
utusan tersebut untuk kembali ke Abu Bakar dengan membawa ppesan bahwa ada sesuatu
yang penting terjadi dan memerlukan kehadiranya untuk dibicarakan bersama.
Akhirnya Abu Bakar datang kepada Umar diliputi rasa heran. Umar pun
menceritakan tentang pertemuan di Tsaqifat tersebut, kemudian segera mereka
bertiga yaitu Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah berangkat menuju balai pertemuan
tersebut di Tsaqifah Bani Sa�idah.
Ketika mereka tiga kaum Anshar masih terlibat diskusi
yang alot. Mereka pun mencapai kata sepakat tentang persoalan Sa�ad Ibn Ubadah.
Melihat kedatangan ketiga orang ini, semua hadirin berhenti berbicara.
Sebenarnya Umar ingin berbicara lebih dahulu kepada kaum Anshar, namun Abu
Bakar menceghnya. Is kawatir kalau-kalau sikap Umar yang keras menimbulkan
gejolak di kalangan Anshar dan perpecahan di tubuh umat Islam. Akhirnya Abu
Bakar angkat bicara lebih dahulu. Pembicaraan Abu Bakar ternyata juga menimbulkan
reaksi dikalangan Anshar. Mereka menolak kepemimpinan berada di tangan
Muhajirin, sebagaimana perkataan Abu Bakar nah}ru al-umara>, wa antum
al-wizara> (kami menjadi pemimpinya, dan kalian menjadi wazirnya)
(Zulhamdani, 2021).
Akhirnya dalam suasana tegang dan tarik ulur ini, Abu
Bakar terpilih menjadi khalliah. Umarlah orang pertama yang melakukan ba�iat
terhadap Abu Bakar, diikuti oleh Abu Ubaidah dan kaum Muslimin lainya.
Sementara Sa�ad ibn Ubadah sampai akhir kepemimpinan Abu Bakar tidak pernah
memberikan ba�iat kepada Abu Bakar.
Peristiwa Tsaqifah ini juga merupakan batu ujian pertama
umat Islam dalam mengimplementasikan nilai-nilai syura yang digariskan
al-Quran. Dalam pertemuan ini, masing-masing pihak mengeluarkan pendapatnya
dengan berbagai argumentasinya. Meskipun diwarnai suasana yang panas dan
menegakan, baik Muhajirin maupun Anshar masih tetap berpegang pada koridor
semangat ukhuwah dan kebersamaan. Akhirnya setelah beradu argumentasi, mereka
menerima keputusan musyawarah tersebut. Uniknya pribadi-pribadi yang menolak keputusan tesrebut
dihargai, sebagaimana terjadi pada kasus Sa�ad ibn Ubadah. Ini menujukan bahwa
umat Islam berhasil melewati saat-saat genting dengan tercapainya suatu
kesepakatan atas kepemimpinan Abu Bakar.
Suksesi Kepemimpinan
Seperti dijelaskan dimuka, setelah Nabi Muhammad Saw
wafat umat Islam mengalami goncangan. Hampir saja negara Madinah yang baru
seumur jagung mengalami disintegrasi karena masalah suksesi kepemimpinan pasca
Rasulullah. Peristiwa Tsaqifah Bani Sa�idah mengisyaratkan kepada Abu Bakar
betapa masalah ini sangat krusial dan sensitif bagi persatuan dan kesatuan umat
Islam. Namun yang lebih dikawatirkan oleh Abu Bakar adalah pemberontakan
suku-suku Arabb atas kepemimpinanya. Boleh jadi setelah mengalami kekalahan
mereka akan menyusun kekuatan kembali manakal melihat Umat Islam sedang sibuk
mengurusi masalah suksesi dan menghabiskan waktu serta tenaga untuk
memperebukan jabatan tertinggi di negara Madinah. Bertolak dari hal tersebut
Abu Bakar menempuh kebijakan melakukan wasiat untuk meneruskan kepemimpinanya
kelak setelah ia meninggal. Ini dimaksudkan untuk memantapkan stabilias
keamanan dalam negeri pada saat terjadinya pergantian kepemimpinanya
(Munir, 2018).
Pada tahun ketiga pemerintahanya, Abu Bakar Mendadak
jatuh sakit. Selama lima belas hari ia tidak bisa memmimpin shalat berjamaah di
Masjid. Seabagi wakil, Abu Bakar meminta Ummar menjadi imam shalat. Karena
merasa sakitnya semakin berat, dan kemungkinan ajal sudah semakin dekt. Abu
Bakar merasa perlu memnerikan wasiat tentang penggantinya kelak. Maka Abu Bakar
menetapkan Umar ibn Khattab sebagai khalifah. Dalam penetapan ini, Abu Bakar
tetap melaksanakan musyawarah dengan shabat-sahabat lainya. Diantara para sahat
yang diajak musyawarah adalah Abd al-Rahman ibn Awf dan Utsman bin Affan serta
Said Ibn Khudaid. Pada prisipnya para sahabat tersebut menyatakan setuju dengan
pilihan Abu Bakar (Fadilah et al., 2024).
2. Umar
ibn al-Khattab
Sistem
Pemerintahan
Setelah dilantik khalifah, Umar berpidato dihadapan umat
Islam untuk menjelaskan visi politik dan arah kebijakan yang akan dilaksanakan
dalam memimpin kaum muslimin. Setelah dilantik enjadi kepala negara Umar segera
melaksnakan tugas-tugas kenegaraan. Secara prinsip Umar melanjutkan garis-garis
kebijaksanaan yang ditempuh oleh Abu Bakar. Namun karena permasalahan yang
dihadapi Umar semakin berkembang dan kompleks seiring dengan perluasan daerah
Islam. Umar melakukan berbagai kebiaakan yang aantisipatif terhadap
perkembangan dan tantangan yang dihadapinya.
Kebijakan yang dilakukan oleh Umar sebagai khalifah
meliputi pengembangan daerah kekuasaan Islam, pembentukan birokrasi
pemerintahan, peningkatan kesejahteraan rakkyat, pembentukan tentara reguler
yang digaji oleh negara. Luasaya daerah kekuasaan Islam membuat Umar merasa
perlu membenahi dan menyempurnnakan sistem pemerintahan yang telah dijalankan
khalifah Abu Bakar sebelumnya. Umar mengadakan pembaharuan yang signifikan
dalam bidang administrasi negara. Dengan tetap menjadikan kota Madinah sebagai
pusat pemerintaha Islam, Umar meminta kepada para tokoh sahabat senior (al-sa>biqu>n
al-awwalu>n), untuk tidak meninggalkan Kota Madinah.
Umar membutuhkan tenaga mereka untuk memberikan
masukan-masukan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Para sahabat senior inilah
yang menjadi anggota majelis syuro sebagai teman bermusyawarah atau penasihat
untuk menentukan kebijakan politik. Anggota lembaga ini, selain mereka yang
menjabat dalam masa pemerintahan sebelumnya, juga ditambah dengan beberapa
sahabat lainya. Umar juga menetapkan Utsman ibn Affan sebagai sekretaris
negara.
Pada masa Umar, lembaga-lembaga penting untuk pertama
kalinya mulai dibentuk. Umar membentuk kepolisian (di>wa>n
al-ah}da>ts) untuk menjaga keamanan dan etertiban dalam masyarakat, dan
lembaga pekerjaan umum (nazha>rat al-Na>fi�ah), lembaga peradilan
(al-Qadha>) juga mulai berdiri sendiri diluar dan terpisah dari
kekuasaan eksekutif. Umar juga membentuk departemen perpajakan (al-Kharaj),
selain itu untuk urusan keamanan terutama potensi serangan dari luar Umar
mebnentuk departemen pertahanan dan keamanan (diwa>n alJund) yang
mengurus dan mengorganisasikan urusan ketentaraan (Muhammad & Siyasah, 2014).
Disamping itu Umar juga mendirikan Kantor Pembendaharaan
dan keuangan Negara (Bayt al-Ma>l) yang permanen, menempa mata uang
dan menetapkan tahun hijriyah sebagai penanggalan resmi umat Islam.. menurut
al-Thabari Umar membrntuk lembaga-lembaga negara tersebut pada tahun 15 H, atau
pada� tahun ketiga pemerintahanya. Adapun
Ibn Sa�ad mengatakan bahwa pembentukan itu dimulai pada bulan Muharram tahun 20
H. Pendapat keduan ini lebih kuat lantangan menurut Haykal kkarena pada tahun
tersebutlaj penakhlukan besar-besaran dilakukan oleh Umar, termasuk negara
adidaya Bizantium dan Persia, Umar sendiri membentuk lembaga-lembaga tersebut
diilhami oleh sistem pemerintahan yang dijalankan oleh kedua negara besar
tersebut.
Untuk pemerintahan di daerah Umar mengangkat gubernur
yang mempunnyai otonomi luas. Mereka menjalankan tugas dan fungsi sebagai
pembantu khalifah. Sebagaimana hanlnya peradilan di puusat yang terpisah dari
kekuasaan eksekutif, dibeberpa daerah juga diangkat beberpa hakim yang bebas
dari pengaruh gubernur dan khalifah. Mereka melaksanakan peradilan yang bebas
dan mandiri (Nuruddin, 1991).
Suksesi
Kepemimpinan
Dalam maslaah suksesi, Umar menempuh cara yanng berbeda
dengan yang dilakukan oleh Abu Bakar sebelumnya. Setelah mengalami luka parah
akibat tikaman seorang budak Persia bernama Abu Lu�luah para sahabat merasa
khawatir kalau-kalau Umar meninggal dunia dan tidak sempat meninggalkan pesan
tentang penggantinya, hal ini bisa membahayakan umat Islam. Diantara sahabat
kemudian mengusulkan Umar menunjuk puutranya Abdullah menjadi penggantinya.
Mendengar permintaan ini Umar pun marah dan menegaskan bahwa cukup hanya
seorang Umar dari keluarganya yang mendapat kehormatan menjadi pemimpin umat
Islam.
Namun mengingat bahaya perpecahan semakin kelihatan bila
Umar tidak meninggalkan wasiat tentang penggantinya, para sahabat mengunjungi
Umar lagi dan mendesaknya untuk menunjuk penggantinya. Umar pun tidak bisa
mengelak dari permintaan tersebut. hannya saja Umar tidak langsung menunjuk
seseorang sebagai penggantinya, Umar memilih enam sahabat senior yang terdiri
dari Utsman bin Affan, Ali Ibn Abi Thalib, Abd al-Rahman ibn Awf, Thalhah Ibn
Ubaidillah, Zubeir ibn Awwam, Sa�ad ibn Abi Waqas dan Putranya sendiri
Abdullah. Mereka inilah tim formatur yang akan menunjuk siapa diantara mereka
yang akan menjadi khalifah.
Setelah Umar wafat mulailah tim formatur Tha;hah tidak
ikut karena tidak berada di Madinah untuk melakukan musyawarah akhirnya
disepakati bahwa Utsman ibn Affan terpilih menjadi khalifah. Dari sistem
pemilihan yang digariskan diatas, agaknya Umar merasakan kekuatan politik Islam
sudah semakin kuat. Umar tidak khawatir akan perpecahan dalam tubuh umat Islam,
karena ia telah meletakan sendi-sendi demokrasi dan memperkukuh daulah
Islamiyah. Oleh sebab itu, Umar memberikan kesempatan kepada sahabat
sepeninggalnya untuk melaksanakan sistem musyawarah yang digariskan dalam
memmilih penggantinya.
3.
Utsman
Ibn Affan
Setelah dibaiat menjadi khalifah, Utsman ibn Affan
membuat kebijakan-kebijakan yang mencoba mengacu kepada kebijakan khalifah Abu
Bakar dan Umar ibn Khattab. Seperti halnya Umar Utsman juga melakukan perluasan
wilayah Islam. Selain itu Utsamn juga membuat kebijakan perluasan Masjid
al-Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Disamping itu Utsman juga
melakukan pembangunan fisik lainya seperti perumahan pendudk, gedung peradilan,
jalan-jalan, jembatan-jembatan, dan fasilitas umum lainya. Hal-hal lain yang
dilakukan Utsman dalam sistem pemerintahanya. Utsman agak tidak merubaha sistem
yang ditinggalkan oleh Umar.
Dalam emnjalankan roda pemerintahanya Utsman dibantu oleh
pejabat Di>wa>n al-Kharaj (perpajakan), Bait al-ma>l (bendahara
negara), diwa.n al-Ahdats (kepolisian), diwa>n Nafi�at (pekerjaan
umum) dan diwan Jund (militer dan keammanan). Dalam hal ini Utsman hanya
melanjutkan pendahulunya saja, untukk jabatn di daerah Utsman juga dibantu oleh
gubernur-gubernur. Disamping itu pada wal pemerintahanya, Utsman juga
mengadakan konsultasi dengan beberapa sahabat tentang berbagai masalah
pemerintahan.
Dalam bidang politik, banyak sejarawan yang menilai
Utsman melakukan praktik sistem nepotisme. Ia mengangkat pejabat dari kalangan
keluarganya, meskipun tidak layak memegang jabatan tersebut. banyak pejabat
lama yang dipecatnya. Kebijakan demikian menimbulkan implikasi yang luas di
kalangan umat Islam. Pengangkatan pejabat dari kalangan keluarga menyebabkan
gerakan oposisi. Sementara itu di berbagai daerah lahir pula rasa tidak puas
atas kepemimpinan Utsman, mereka menuntut Utsman agar mundur dari jabatanya.
Dari sistem pemerintahan yang dijalankan Utsman ini dapat
dikemukakan beberapa catatan, pertama kebijakan Utsman lebih
mengutamakan kaum keluarga untuk menduduki jabatan penting adalah karena
kepercayaan yang terlalu besar bagi mereka, kedua kebijakanya memberikan
izin kepada sahabat-sahabat senior untuk meninggalkan Madinah, hal ini
menyebabkan kontrol terhadap kekuasaan Utsman semakin berkurang, ketiga besarnya
arus oposisi dari berbagai daerah terhadap pemerintahan Utsman dapat dipahami
dalam konteks berebdaanya perlakuan yang mereka alami antara pemerintahahan
Umar dan Utsman. Pada mas Umar masyarakat merasa mendapatkan keadilan, apalagi
mereka bisa langsung menyampaikan kritik dan saran secara terbuka. Hal ini yang
kemudian tidak mereka rasakan ketika dipimpin oleh Utsman bin Affan
(Muhammad & Siyasah, 2014).
4.
Ali
Ibn Abi Thalib
Setelah pembunuhan Utsman para pemberontak dari berbagai
daerah mencari beberapa sahabat senior seperti Thalhah, Zubeir dan Sa�ad ibn
Abi Waqqash untuk di ba�iat menjadi khalifah. Namun diantaraa mereka tidak ada
yang bersedia, akhirnya mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak
bersedia, karena pengangkatanya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk
Madinah dan veteran perang badar (sahabat senior). Menurutnya orang yang
didukung oleh komunitas inilah yang lebih berhak menjadi khalifah. Akhirnya
Malik al-Asytar al-Nakha�i melakukan baiat dan diikuti oleh sahabat besar
sepperti Thalhah dan Zubeir. Menurut sebuah riwayat Thalhah dan Zubeir membaiat
Ali di bawah ancaman pedang oleh Malik al-Asytar.
Hal pertama yang dilakukan Ali setelah menjabat khalifah
adalah memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat oleh Utsman sebelumnya dan
menarik kembali tanah yang dibagikan oleh Utsman kepada kerbatnya, dan diangkat
gubernur-gubernur baru untuk menjabat sebagai pemimpin di daerah daerah
kekuasan Islam. Pengangkatan itupun tidak berjalan mulus, meskipun sebagian
besar mereka diterima di daerah tidak jarang pula ada pejabat lama yang
menolaknya.
Disisi lain penduduk Madinah sendiri tidak bulat
mendukung Ali, posisi Ali benar-benar sulit, ia terjepit di antara keinginan
untuk memperbaiki situasi negara yang sudah chaos dengan ambisi lawan-lawan
politiknya yang selalu berusaha menjegalnya. Melihat kondisi Madinah yang tidak
mungkin baginya untuk menjalankan pemerintahan, Ali memindahkan ibu kota ke
Kufah. Disini Ali mendapatkan dukungan dari rakyat, sementara itu di Syam,
Muawiyah menyatakan dirinya sebagai khalifah tandingan dan bersiap untuk
memerangi Ali.
Tidak hanya muamiyah saja tetapi ada beberpa
kelompok-kelompok yang melakukan gerakan untuk memerangi Ali salah satunya
gerakahn yang dilakukan oleh Aisyah bersama dengan Thalhah dan Zubeir.
Pemberontakan tersebut menjadi fokus utama Ali sebelum berangkat untuk
memerangi Muawiyah di Syam, akhirnya Ali berhasil mengalkan Aisyah dan sekutu
dalam sebuah pertempuran yang dikenal dengan perang Jamal.
Selanjutnya perhatian Ali tertuju kepada Muawiyah,
akhirnya terjadi peperangan antara pasukan Ali dengan pasukan yang dipimpin
oleh Muawiyah, ketika hampir meraih kemenangan seorang Sabahar Amr ibn al-Ash
yang berada dibarisan Muamiyah mengangkat mushaf dan menandakan damai, maka
seketika perangpun dihentikan dan diadakan tahkim antara kedua pihak. Dalam
tahkim ini pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asyari dipecundangi oleh Amr
yang mewakili Muamiyah. Tahkim ini menghasilkan keputusan yang timpang, Ali
diturunkan dari jabatanya, sedangkan Muawiyah naik memperkuat posisinya menjadi
khalifah (Madjid, 1992).
B.
Hukum
dalam Produk Siyasah Dusturiyahw
Pada masa Rasulullah masih hidup, yang berhak memutus
suatu perkara dan pelerai pertikaian dalam masyarakat adalah beliau sendiri.
Belaiu sebagai referensi dtertinggi untuk meminta fatwa dan keputusan
(Darmawati, 2012). Keputusan beliau itu didasarkan atas wahyu atau sunnah,
termasuk musyawarah dengan para sahabat. Sehingga pada masa Rasulullah setiap
persoalan dapat dengan mudah dikembalikan kepada Rasulullah.
Dengan wafatnnya Rasulullah, berhentilah wahyu yang turun
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima dari malaikat Jibril baik
sewaktu beliau masih berada di Mekkah maupun setelah hijrah ke Madinah.
Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir dengan meninggalnya Rasulullah
(Hanafi, 1989). Kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak
mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan
kepala negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Maka dengan demikian timbulah
permaslahan tentang bagaimana cara pemutus dan pelerai perkara dilakaksanakan
dan siapa yang mempunyai wewenang untuk memutuskan perkara tersebut.
Untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai
seorang pemimpin ummat dan kepala negara, dipilihlah seorang pengganti yang
disebut khalifah dan kalangan sahabat Nabi sendiri (Darmawati, 2012). Oleh karena itu, maka sebagai pengganti Nabi, Umat
Islam secara otomatis� menganggap bahwa
khalifah juga bertugas untuk memutuskan perkara yang terjadi dalam masyarakat.
selain itu, para sahabat yang terkenal dengan kedalaman ilmunya juga menjadi
pemutus perkara-perkara yang terjadi saat itu, semisal Abdullah Ibn Abbas, Zaid
ibn Tsabit, Abdullahh Ibn Umar di Madinah. Abdullah Ibn Mas�ud di Kuffah.
Abdullah ibn amr ibn ash di Mesir. Aisyah dan Zahdi yang mashur, Abu Musa
al-Asyari dan Muadz ibn Jabl, mereka terpencar di berbagai kota dan membimbing
peletakan dasar fiqh Islam dan perkembanganya (bin Sutarip, 2020).
1.
Metode
Pengambilan Keputusan pada Masa Khulafa�ur Rasyidin
Pada masa ini sumber Tasyri�i Islam adalah al-Quran dan
Sunnah Rasul. Keduanya disebut nash atau naql. Apabila ada masalah yang tidak
jelas di dalam nash, para sahabat memakai ijtihad untuk memperoleh hukum yang
di cari. Jalan dalam ijtihadnya adalah berpegang pada ma�qul annas dan
mengeluarkan illah atau hikmah yang dimaksud dari pada nash itu, kemudian
menerpkanya pada semua masalah yang sesuai dengan illahnya dengan illah yang
dinashkan, hal demikian kemudian dinamakan qiyas (Khallaf, 2002).
Dalam hal lain, para sahabat bermusyawarah dalam mencari
hukum yang tidak ada nashnya, kemudian mereka sepakat dalam hukum yang mereka
temukan dalam suatu masalah itu, yang kemudian dinai al-Ijma�. Para ulama telah
menyebutkan bahwa dari praktek ke khalifahan ini terdapat perluasan dasar
tasyri� Islam di samping Khulafa�ur Rasyidin itu terdapat juga qiyas dan ijma�
sumber hukum Islam yang dipakai pada mas Khulafaur Rasyidin adalah sebagai
berikut (Insani, 2019):
a.
Al-Quran
dan Sunnah
Sepeninggal Rasulullah, terjjadi banyak permaslahan yang
muncul dan harus dipecahkan. Padahal para sahabat tidak bisa lagi menanyakan
penyelesaian masalah tersebut kepada Nabi karena beliau sudah wafat. Sehingga,
mereka sendirilah yang harus memutuskan penyelesaian masalah tersebut.keharusan
untuk menyelesaikan permasalahan yang terjjadi ini mendorong umat Islam untuk
menyelidiki al-Quran dan Sunnah. Dalam berfatwa, para sahabat selalu berpegang
teguh pada al-Quran, karena dialah asas dan tiang agama.
Mereka selalu memahaminya dengan jelas dan terang karena
al-Quran diturunkan dengan lidah (bahasa) mereka serta keistimewaan mereka
mengetahui sebab-sebab turunya dan ketika itu belum seorangpun selain bangsa
Arab. Para sahabat telah sepakat untuk mengikuti sunnah Nabi kapan saja mereka
mendapatkanya dan percaya pada perawi yang benar riwayatanya
(Insani, 2019). Hal ini didasarkan pada hadits: �aku tinggalkan dua
pusaka pada kalian, jika kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya tidak
akan tersesat selamnya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
b.
Ijtihad
Sahabat
Namun ternyata ada maslah yang tidak ditemukan
penyelesaianya di dalam al-Quran dan Sunnah. Hal ini disebabkan karena pada
masa Rasulullah, wilayah kekuasaan Islam hanya sebatas semenanjung arabia. Tapi
hal ini berbeda pada masa Khulafaur Rasyidin kekuasaan Islam mulai meluas dan
membentang keluar dari Jazirah Arab, meliputi Mesir, Syiria, Persia dan Irak
(Daud, 2005).
Luasnya wilayah tersebut menyebabkan kaum Muslimin
menghadapi banyka kejadian dan persoalan yang belum pernah dialami pada masa
Rasulullah. Hal ini mendorong umat muslim untuk berijtihad, yakni mengerahkan
kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara� dari apa yang dianggap syar�i
sebagai dalil yaitu kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Ijtihad para sahabat dalam
arti luas adalah bahwa mereka melihat dilalah (indikasi), menganalogi,
menganggap hal-hal dan lain sebagainya.
Dalam mebagianya ijtihad dibedakan menjadi dua yaitu
mengambil hukum dari dzahir-dzahir nash apabila hukum itu diperoleh dari
nash-nash itu, kedua megambil hukum dari ma�qul nash karena nash
itu mengandung illat yang menerangkanya, atau illat itu dapat diketahui dan
tempat kejadinaya yang di dalamnya mengandung illat, sedang nash tidak memuat
hukum itu. Sebelum adanya Ijtihad dan qiyas itu perlu dijelaskan terlebih
dahulu yaitu tentang pemahaman dalil-dalil. Dalil itu terbagi menjadi dua macam
yaitu dalil yang bersifat qath�i (pasti dan jelas) dan dalil yang bersifat
dhanni (perkiraan dan dugaan berat). Kalau pada dalil yang bersifat qath�i itu
sudah jelas maksud dan hukumnya. Sedangkan pada dalil yang bersifat dhani ini
masih menimbulkan berbagai macam penafsiran, disebabkan karena pada dalil
dhanni ini terdapat ketdakjelasan tentang maksud dan hukumnya. Dalil yang
bersifat dhanni inilah oleh para ulama membuat istilah ijtihad dan qiyas,
dengan tujuan untuk menafsirkan maksud dan hukum yang terdapat pada dalil-dalil
dhanni tersebut.
c.
Ijma�
Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping
individuall, dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan
bermusyawarahkan hukum terhadap suatu permasalahan yang terjadi. Hasil
musyawarah sahabat ini disebut dengan Ijma� (Mubarok et al., 2016). Kemudian Rasulullah telah menyediakan metode-metode
buat ijthad bagi mereka, melatih dan meridhoi mereka serta menetapkan pahala
ijtihadnya baik salah maupun benar.
Tentang ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan dalil bahwa
seorang hakim ketika ia berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kemudian benar
hasilnya, maka ia mendapatkan dua pahala, adapaun ketika dia salah dia
mendapatkan satu pahala.
Sebagaimana diriwayatkan al-Baghawi yangditerima dari
Maimun bin Mahram, yaitu suatu gambaran cara-cara mereka melakukan instinbath
hukum, ia berkata: apabila suatu perselishan diajukan kepada Abu Bakar, maka ia
lihat� Kitab Allah, apabila di temukan di
sana hukum yang dapat memutuskan masalaha yang terjadi di antara mereka, maka
is putusakan dengan hukum tersebut. bila tidak ditemukan dalam Kitab Allah, ia
ketahui dari sunnah Rasull tentang masalah itu, maka ia putuskan dengan sunnah
tersebut. bila tidak ditemukan juga ia keluar dan bertanya pada kaum muslimin,
bila idak ditemukan juga dari sunnah Rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tpkoh
masyarakat dan orang-orang terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh
kesepakatan hukumnya, maka ia putuskan masalah tersebut dengan hasil
kesepakatan itu (Bik, 2003).
d.
Ro�yu
Untuk menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu para
sahabat terlebih dahulu menunjuk kepada al-Quran dan Sunnah. Namun bila para
sahabat tidak menemukan ketetapan hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud,
maka disitulah para sahabat menggunakan akal pikiran (ra�yu) yang dijiwai oleh
ajaran Islam. Sebagai contoh dapat diungkapkan siapa yang menjadi khalifah
sesudah Rasulullah wafat, posisi ini diselesaikan berdasarkan qiyas atas posisi
Aabu Bakar sebagai pengganti Nabi Muhammad menjadi Imam shalat ketika beliau
tidak dapat menjadi imam karena sakit.
Tentang qiyas boleh dipakai selama tidak menyalahi dalil
yang shahih, hanya saja mereka menyebut kata ra�yu (pendapat) terhadap sesuatu
yang dipertimbangkan oleh hati setelah berfikir, mengamati, dan mencari untuk
mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang terlihat. Sebagaimana
didefinisikan oleh Ibnu Qayyim. Dengan demiian menurut merka ra�yu tidak
sebatas qiyas (analogi) saja, sebagaimana dikenal sekarang tetapi juga meliputi
ihtisan, Baarah, Ashliyah, Saddu Dzariah dan Masalahah Mursalah.
2.
Faktor
Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri Islam masa Khulafaur
Rasyidin
a.
Luasnya
wilayah Islam
Periode kekuasaan pemerntahan pada masa Nabi Muhammad
Saw, hanya meliputi semenanjung Arabia tetapi periode Khulafa�ur Rasyidin
meliputi wilayah arab dan non arab sehingga masalah yang muncul semakin
kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam al-Quran dan haadits
terbatas jumlahnya. Oleh karena itu khulafaur�
Rasyidin menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di
masyarakat Arab. Mislanya masalah pengairan, keuangan, cara menetapkan hukum di
Pengadilan dan budaya hukum di Damaskus, Mesir, Irak, Maroko, Samarkand, dan
Andalusia.
Sahabat khawatir akan kehilangan al-Quran karena
banyaknya sahabat hafal al-Quran meninggal dunia dalam perang melawan
orang-orang murtad. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat
terhadap al-Quran akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani terjadi sebelumnya.
Sahabat takut akan terjadi pembohingan terhadap sunnah Rasulullah, sahabat
takut umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam. Banyak persoalan yang
ditemukan sahabat yang memerlukan ketentuan syariat karena Islam petunjuk bagi
mereka tetapi belum ditetapkan ketentuanya dalam al-Quran dan Sunnah.
b.
Pendapat
Sahabat dalam pengistimbatkan Tasyri�
Pengistimbatan pada masa ini sebatas kasus-kasus yang
terjadi saja, mereka tidak memprediksikan masalah - maslaah yang belum terjadi
dan tiidak mengira-ngira bahwa hal itu akan terjadi lalu meneliti hukumnya
sebagaimana ulama mutaakhirin. Sahabat membatasi pada kasus-kasus yang perlu di
fatwakan saja, mereke berpendapat bahwa
1)
Sesungguhnya
menyibukan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi adalah sia-sia,
membuang-bunag waktu untuk perbuatam baik dan bajik serta menyiakan waktu yang
berharga,
2)
Mereka
memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain berfatwa karena
ttakut meleset dan salah. Oleh karena itu mereka menjauhi perluasan fatwa
terhadap kasus-kasus yang belum terjadi. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit
bahwasanya apabila ia dimintai fatwa dalam masalah yang� ditanyakan. Bila kasusnya telah terjadi, maka
Zaid memberikan fatwanya, namun bila kasusnya belum terjadi ia berkata, �biarkanlah
sampai kasusnya terjadi�.
3)
Para
sahabat yang mengeluarkan fatwa dan ra�yu (pendapar) pada masa ini adalah
khalifah dan para pembantunya. Disamping kesibukan mengatur negara Islam dan
politik kaum muslim, baik urusan keagamaan maupun keduniaan. Inilah yang
membuat mereka sibuk sehingga menjauhi menetukan dan mengira-ngira
(Daud, 2005).
c.
Pengaruh
Pengambilan Hukum terhadap perkembangan Tasyri� Islam
Fatwa-fatwa yang diungkapkan para sahabat pada masa
khulafaur Rasyidin mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum Islam. Banyak
para ulama dan imam madzab merujuk pada pendapat para sahabat besar. Sahabat
melakukan penelaahan terhadap al-Quran dan sunnah dalam menyelesaikan
kasus-kasus. Pabila tidak didapatkan dalam al-Quran dan Sunnah, mereka
melakukan ijtihad. Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu
pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi.
Dengan dimulainya ijtihad oleh para sahabat,
permaslahan-permaslahan kontemporer umat Islam dapat terselesikan dengan bijak
dan benar. Hal ini kemudian mendorong para ulama sesudah masa sahabat besar
untuk mengembangkan lagi ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian
permasalahan-permasalahan hukum Islam, bahkan masalag yang belum dihadapi.
Sahabat telah menentukan thuruq al-Istinbath dalam menyelesaikan kasus yang
dihadapi. Thuruq al-Istinbath tersebut digunakan dalam rangka menyelesaikan
kasus yang dihadapi. Sehingga generasi sahabat kecil dan tabiin mengikuti jejak
sahabat besar dalam menyelesaikan suatu hukum.
C.
Politik
Hukum Pada Masa Khulafa�ur Rasyidin Sebagai Solusi Kenegaraan
Politik hukum diartikan sebagai legal policy atau
garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan membuat
hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
negara.� Menurut Padmo Wahjono mengatakan
bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun
isi hukum yang dibentuk. Di dalam tulisan lainya Padmo Wahjono memperjelas
definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan, penerapan dan penegakan hukum.
Satu lain seorang cendekiwan muslim Teuku Muhammad Radhie menedefinisikan
politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara (pemimpin)
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun.
Istilah politik hukum dalam Islam dikenal degan istilah siya>sah
syari>ah merupakan aplikasi dalam konsep maslahah mursalah yaitu
mengatur kesejahteraan manusia dengan hukum yang ketentuanya tidak termuat
dalam syara� (Sufyan, 2017). Sebagian ulama mendefinisikan politik hukum sebagai
perluasan peran penguasa untuk merealisasikan kemaslahatan manusia sepenjang
hal tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama. Sebagian lainya
memberikan pengertian yang lebih umum dari segi bahasa, yaitu mengatur
kesejahteraan manusia sesuai dengan hukum, yang jelas sepenjang ada
kemaslahatan artinya syariat� telah ditegakan.
Prinsip inilah yang menjadikan hukum Islam tidak statis, melainkan meluas
kesemua sisi kehidupan manusia baik secara individual maupun sosial.
Dalam perspektif hukum Islam, sistem hukum terbagi
menjadi dua macam, pertama pokok hukum yang dihasilkan oleh mujtahid
fiqh, berdasarkan metodologi yang mereka ciptakan, kedua kebijakan para
pakar politik dalam merealisasikan kemaslahatan dalam menghadapi perkembangan
zaman. Macam-macam ini dapat disesuaikan dengan mengutamakan kemaslahatan,
sejauh tidak menyimpang dari batasan agama dan dasar-dasarnya sebagai totalitas
(Sufyan, 2017). Dengan demikian juga produk hukum yag harus didasarkan
pada hukum Islam, dengan tetap menyesuaikan situasi dan kondisi yang
mengitarinya, termasuk dalam produk hukum positif. Alasan lain, adalah tugas
umat untuk menciptakan ketertiban di muka bumi, yakni tertib sosio-politis yang
harus ditegakan atas dasar etika yang sah dan viable (Sufyan, 2017).
Studi tentag politik hukum tidak hanya melihat hukum dari
perspektif formal yang mengandung kebijakan-kebijakan dan rumusan resmi sebagai
produk saja, tetapi juga melihat latar belakang lainya legal policy itu sendiri.
Konfigurasi politik diartikan sebagai susunan atau kekuatan politik yang
diartikan sebagai susunan atau konstalansi kekuatan politik
(Sommaliagustina, 2019). Secara historikal penentuan dan penemuan sebuah produk
hukum melalui konfigurasi politik juga dilakukan oleh para sahabat (khulafaur
Rasyidin).
Kamil Musa secara rinci menjelaskan bahwa langkah-langkah
yang ditempuh oleh sahabat dalam menerpakan hukum dari suatu persoalan yang
dihadapinya. Pada tatarn ini yang dimaksud produk hukum adalah apa yang tidak
diatur menurut syariat Islam yang disandarkan pada al-Quran dan Hadits. Kamil
Musa menceritakan tahapan-tahapan, pertama ia akan menelaah al-Quran, bila
tidak ditemukan nash yang cukup jelas dan rinci menunjuk hukum tersebut, maka
ia akan mencari pada sumber yang lain, yaitu sunnah, bila juga masih tidak
ditemukan hukumnya, ia akan bertanya kepada sahabat-sahabat, disini terjadi
diskusi yang panjang mengenai penetapan sebuah hukum apakah para sahabat pernah
menjumpai Rasulullah membuat hukum tentang masalah tersebut, jika tidak
ditemukan juga maka para sahabat melakukan ijtihad baik secara jama�ah dengan
sahabat-sahabat yang lain maupun secara fardi dengan selalu memperhatikan maqa>sid
syariah.
Persepsi dan pemahaman yang berbeda diantara para sahabat
terhadap subtansi masalah yang berkaitan dengan ruh tasyri� dan metode ijtihad
yang berlainan menyebabkan timbulnya hasil ijtihad yang berbeda. Sikap para
sahabat terhadap perbedaan hasil ijtihad mereka perlu mendapat perhatian
khusus, saat itu perbedaan pendapat dianggap suatu hal yang wajar dan disikapi
dengan positif. Tidak ada sahabat yang memaksakan pendapatnya kepada orang
lain. Pada suatu saat ada seseorang datang kepada Umar ibn Khattab dan memberitahukan
Ali dan Zaid telah memutuskan persoalan yang ia hadapi. Jika saya tentu akan
saya putuskan yang lain kata Umar, tetapi saya tahu bahwa ini hanya sekedar
pendapat, pendapatku ini tidak dapat membatalkan pendapat Ali.
Selain khalifah bersama para sahabat senior, produk hukum
pada masa khulafaur Rasyidin juga diperoleh dari Putusan Pengadilan, produk
hukum yang dikeluarkan oleh qadhi (hakim) sifatnya mengikat kepada orang yang
berperkara, selain itu dalam konteks ini juga sudah dikenal prinsi jurisprudensi
(putusan hakim terdahulu), hal ini dapat dilihat dari pesan Umar bin Khattab
kepada Abu Musa al-Asyari sebagai gubernur sekaligus qadhi di kuffah, dalam
amanatnya beliau mengatakan �fahamilah dengan susngguh-sungguh tentang perkara
yang diajukan kepadamu, yang tidak terdapat dalam ketentuan hukumnya di dalam
al-Quran dan al-Sunnah kemudian bandingkanlah perkara-perkara itu dan
perhatikanlah perkara-perkara yang serupa, kemudian pegangilah hukum yang di
ridhoi Allah atau yang mendekati kebenaran menurut pendapatmu�. Konsep yang
ditinggalkan oleh Umar ini kemudian dikuti oleh khlaifah selanjutnya yaitu
Utsman bin Affan dan Alin Ibn Abi Thalib (Imran, 2007).
Kesimpulan
Masa khulafaur Rasyidin disebut sebagai masa permulaan perpecahan umat Islam,
karena setelah Nabi Muhammad Saw meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih
paham mengenai siapakah yang akan menjadi suskesi Rasulullah dalam memimpin
umat Islam berikutnya, setelah terjadi kontelasi politik yang panjang dipilihah
empat khalifah yang masing-masing dipilih menggunakan metode yang berbeda, Abu
Bakar dengan baiat secara langsung melalui musyawarah mufawat, Umar ditunjuk
langsung oleh khalifah sebelumnya untuk menjadi pemimpin kaum muslim, Utsman
dipilih oleh formatur dalam ditunjuk oleh khalifah sebelumnya, serta Ali di
baiat secara langsung oleh masyarakat kota Madinah pada saat itu.
Persoalan lain kemudian muncul adalah terkait produk hukum dan penerapan
hukum dalam permaslaahn yang muncul dalam masyarakat, selepas� wafatnya Nabi dengan wilayah kekuasaan Islam
semakin luas, maka permaslahan yang ada semakin kompleksi yang acap kali tidak
diatur secara inplisit dalam al-Quran ataupun al-Sunnah, maka untuk metode yang
digunakan oleh khulafaur Rasyidin selain berpegang teguh pada al-Quran dan
Al-Sunnah, juga mennggunkan metode ijtihad dan Ra�yu.
Dari metode yang digunakan ini kemudian berhasil memunculkan sebuah produk
hukum yang bisa menyelesaikan masalahn yang ada dan bisa diterima oleh
masyaraat secara umum, dan berlangsung secara turun menurun, selain berasal
dari khalifaf produk hukum juga dihasilkan oleh qadhi (hakim), melalui
putusan-putusanya, yang bisa dijadikan acuan dalam perkara selanjutnya.
BIBLIOGRAFI
Aburrohman,
A. (2018). Metodologi al-Thabari dalam Tafsir Jami�ul al-Bayan fi Ta�wili
al-Qur�an. Kordinat: Jurnal Komunikasi Antar Perguruan Tinggi Agama Islam,
17(1), 65�88.
Al-Qaththan, M. K. (2007). Mabahits fi �Ulumil Qur�an,
diterjemahkan oleh Mudzakir AS. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur�an, Bogor: Pustaka
Litera AntarNusa.
Baihaki, B. (2019). Ideologi Politik dalam Khazanah
Penafsiran: Ayat-ayat Legitimatif al-Qur�ān pada Kasus Suksesi Abū
Bakr al-Ṣiddīq. Islamika Inside: Jurnal Keislaman Dan Humaniora,
5(1), 1�25.
Bik, M. al-K. (2003). Tarikh al-tashri�al-Islami. Dar
al-Fikr.
bin Sutarip, S. (2020). Pembaruan Fiqih Indonesia (Telaah
Tafsir Al-Bayan Karya TM Hasbi Ash-Shiddieqy). Jurnal Kajian Interdisipliner
Islam Indonesia, 10(1), 64�79.
Darmawati, D. (2012). Hukum Islam pada Masa Imam-imam
Mujtahid (101 H�350 H/750 M�961 M). Sulesana: Jurnal Wawasan Keislaman, 7(2),
20�32.
Daud, A. M. (2005). Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Fadilah, N. N., Mawardi, K., & Meidina, A. R. (2024).
Islam Masa Periode Khalifah Rasyidah Masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Transformasi Manageria: Journal of Islamic Education Management,
4(1), 18�29.
Firdaus, M. Y., Malik, N. H. A., Salsabila, H., Zulaiha, E.,
& Yunus, B. M. (2023). Diskursus Tafsir bi al-Ma�tsur. Jurnal Dirosah
Islamiyah, 5(1), 71�77.
Hadjon, P. M., & Djatmiati, T. S. (2005). Argumentasi
Hukum (Legal Arguments). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hanafi, A. (1989). Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, cet. V.
Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Imran, R. (2007). Pelaksanaan Hukum Pada Masa Khulafa
Al-Rasyidin. Al-Hikmah: Jurnal Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, 85�93.
Insani, F. D. (2019). Sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia
sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. As-Salam: Jurnal Studi Hukum Islam
& Pendidikan, 8(1), 43�64.
Kadir, A. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Khallaf, A. W. (2002). Sejarah pembentukan dan perkembangan
hukum Islam, terj. Wajidi Sayadi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Madjid, N. (1992). Islam: Doktrin dan Peradaban.
Yayasan Wakaf Paramadina Jakarta.
Mubarok, J., Hasanudin, H., & Sanrego, Y. D. (2016).
Fatwa tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah. MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu
Keislaman, 37(2).
Muhammad, I., & Siyasah, F. (2014). Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.
Munir, M. (2018). Modernisasi Pendidikan Islam dalam
Perspektif Nurcholish Madjid. Evaluasi: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam,
1(2), 202�222.
Nuruddin, A. (1991). Ijtihad ʼUmar Ibn
Al-Khaththāb: Studi tentang perubahan hukum dalam Islam. Rajawali.
Rahmah, S., & Iskandar, I. (2021). Pendidikan Politik
Dalam Perspektif Al-Qur�an dan Hadits. MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran
Dan Hadis, 1(1), 41�61.
Sommaliagustina, D. (2019). Implementasi Otonomi Daerah dan
Korupsi Kepala Daerah. Journal of Governance Innovation, 1(1),
44�58. https://doi.org/10.36636/jogiv.v1i1.290
Sufyan, A. F. M. (2017). Thariq Dalalah Al-Nash Menurut Abd
Al-Wahhab Khallaf. Kariman: Jurnal Pendidikan Keislaman, 5(2),
79�100.
Zulhamdani, Z. (2021). Religious Freedom and Apostasy in
Islam: Application of Contextual Theory to Verses Riddah in the Qur�an. Alif
Lam: Journal of Islamic Studies and Humanities, 2(1), 1�21.
Copyright holder: Kusnul Khotimah,
Frenty Oktasari (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |