Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 10, Oktober 2023
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN
PEMOTONAN HEWAN TERNAK BETINA PRODUKTIF DI KABUPATEN LEBAK BANTEN
Brita Ariyaningsih
Administrasi Pembangunan Negara, Politeknik
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hambatan dan kendala penyebab belum optimalnya implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 pasal 18 ayat 4 Tentang Pelarangan Pemotongan Hewan Ternak
Betina Produktif di Kabupaten
Lebak Banten, serta analisis
strategi apa saja yang dilakukan agar implementasi kebijakan tersebut dapat berjalan dengan optimal. Penelitian ini menggunakan mix method dengan menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif untuk dasar analisis. Populasi penelitian ini diambil dari
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lebak dengan jumlah total 51 responden yang diambil melalui purposive sampling dan 6 key informant. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) variabel ukuran dan tujuan kebijakan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
dengan nilai Uji T Parsial 0,016 < 0,05, 2) variabel
sumber daya berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina
produktif dengan nilai Uji T Parsial 0,009 <
0,05, 3) variabel karakteristik
agen pelaksana berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
dengan nilai Uji T Parsial 0,029 < 0,05, 4) variabel
sikap para pelaksana berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
dengan Uji T Parsial 0,041
< 0,05, 5) variabel komunikasi
antar organisasi dan aktivitas pelaksana berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
0,010 < 0,05, 6) variabel lingkungan
ekonomi, sosial dan politik berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
0,009 < 0,05.
Kata Kunci: Kebijakan, Pelarangan Pemotongan, Hewan Ternak
Produktif, RPH
Abstract
This
research aims to analyze the obstacles and obstacles that cause the
implementation of the policy of Law Number 41 of 2014 article 18 paragraph 4
concerning the Prohibition of the Slaughter of Productive Female Livestock
Animals in Lebak Regency, Banten, as well as analyzing what strategies are
being implemented so that the implementation of this policy can run smoothly.
Optimal. This research uses a mix method by combining quantitative and
qualitative methods for the basis of analysis. The population for this study
was taken from the Lebak Livestock and Animal Health Service with a total of 51
respondents taken through purposive sampling and 6 key informants. The results
of the research show that: 1) the variable size and policy objectives have a
positive and significant effect on the implementation variable of the policy
prohibiting the slaughter of productive female livestock with a Partial T Test
value of 0.016 < 0.05, 2) the resource variable has a positive and
significant effect on the variable implementation of the policy prohibiting the
slaughter of productive female livestock with a Partial T Test value of 0.009
< 0.05, 3) the characteristic variable of the implementing agent has a
positive and significant effect on the implementation of the policy prohibiting
the slaughter of productive female livestock with a Partial T Test value of
0.029 < 0.05, 4) the attitude variable of the implementers has a positive
and significant effect on the implementation of the policy prohibiting the
slaughter of productive female livestock with a Partial T Test of 0.041 <
0.05, 5) the variable of communication between organizations and the activities
of implementers has a positive and significant effect on the implementation of
the policy prohibiting the slaughter of animals productive female livestock
0.010 < 0.05, 6) economic, social and political environmental variables have
a positive and significant effect on the implementation variable of the policy
prohibiting the slaughter of productive female livestock 0.009 < 0.05.
Keywords: Policy,
Prohibition of Slaughter, Productive Livestock, Slaughterhouse
Pendahuluan
Kemajuan
teknologi berkembang sangat pesat di berbagai sektor tak terkecuali disektor
peternakan hewan ternak ruminansia. Teknologi yang dikembangkan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dan permintaan akan produk berupa daging maupun bibit unggul
dari hewan ternak tersebut. Bentuk teknologi yang digunakan meliputi proses
pengembangbiakan (breeding), pembesaran (rearing) dan penggemukan (fattening).
Teknologi
pengembangbiakan tidak hanya dilakukan dengan cara kawin alami namun dapat juga
melalui transfer embrio kepada hewan ternak pendonor yang akan digunakan
rahimnya. Dengan menggunakan metode ini, akan dihasilkan anak-anak hewan ternak
dengan postur tubuh dan jenis kelamin yang seragam. Transfer embrio dapat
menghasilkan bibit embrio unggul dengan efisiensi pakan guna peningkatan dan
pertumbuhan hewan ternak.
Selain dengan
metode transfer embrio, digunakan pula metode inseminasi buatan yang dapat menghasilkan
bibit hewan ternak yang unggul. Dalam proses inseminasi ini, sperma pejantan
unggul yang sudah dikemas dalam bentuk straw dan dibekukan akan disuntikkan
kepada betina untuk dilakukan kawin silang. Dari proses ini dapat menghasilkan
bibit hewan ternak dengan kualitas baru yang belum pernah ada sebelumnya.
Penggunaan teknologi tersebut
tak terlepas dari peningkatan permintaan akan daging ruminansia sebagai bahan
konsumsi baik skala rumah tangga maupun untuk tujuan komersil. Di negara maju
seperti Amerika Serikat yang merupakan negara paling banyak mengkonsumsi daging
hewan ruminansia tercatat memiliki kebutuhan akan daging sapi sebagai bahan
pangan menembus 101 kg per kapita per tahun, sedangkan negara Australia sebagai
negara pengkonsumsi daging hewan terbesar dunia tercatat menghabiskan 91 kg per
kapita per tahun daging sapi, sedangkan di Eropa kebutuhan akan daging sapi
berkisar 70 kg per kapita per tahun (Sapibagus.com, 2022). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia Online, hewan betina
bunting adalah hewan betina dalam keadaan
mengandung anak hewan didalam perutnya
(KBBI, 2021).
Penyembelihan terhadap hewan ternak betina,
terlebih yang sedang
bunting, terjadi juga di Denmark. Sebanyak
825 ekor sapi betina dikirim ke rumah potong
hewan dan 23% atau sebanyak 187 ekor sedang bunting (S. S. Nielsen,
2019). Penyembelihan
ini dianggap tidak etis bagi
para peternak namun mereka tidak memiliki
pilihan untuk tidak melakukannya demi memenuhi permintaan akan daging sapi
dikalangan konsumen yang semakin hari semakin
meningkat pula.
Terhitung dari tahun 2008 hingga 2016, rumah jagal yang berada di daerah tersebut mencatat sebanyak 353.503 ekor atau sebanyak 29.457 ekor rata-rata/tahun hewan ternak betina
mengalami pemotongan yang sebelumnya angka tersebut berada pada 3.726 ekor rata-rata/tahun atau naik sebesar 12,65%, hal ini terjadi
akibat dari pemotongan hewan ternak betina produktif
secara ilegal (Adebowale dkk.,
2020). Peningkatan
pemotongan ini dikhawatirkan dapat merusak populasi hewan ternak unggul
yang diperlukan untuk masa
yang akan datang.
Penelitian mengenai penyembelihan hewan betina produktif diteliti juga oleh Okorie- (Okorie-Kanu
dkk., 2018) pada penelitian
ini mengatakan bahwa di rumah potong hewan Nsukka Nigeria terjadi pemotongan hewan betina produktif
yaitu kambing dalam waktu 3 bulan
telah melakukan pemotongan sebanyak 684 ekor kambing, 617 ekor adalah betina
dan 364 ekor sedang bunting
Maraknya pemotongan
kambing betina produktif ini selain
mengancam kelestarian jumlah kambing produktif juga menghasilkan daging dengan kualitas
yang buruk sehingga dapat menyebabkan orang yang mengkonsumsinya mengalami malnutrisi atau gizi buruk. Ketiadaan
stok kambing betina produktif dapat pula menyebabkan kemerosotan ekonomi di Nigeria, pasalnya saat pasar meminta rantai pasok daging yang terus menerus harus
tersedia namun dipihak peternak tidak dapat memenuhinya.
Pada penelitian ini, peneliti memberikan saran bahwa pemerintah harus dapat mengendalikan
pemotongan hewan betina produktif ini secara cepat
dan tepat agar ketersediaan
stok daging tetap terjaga serta
memperoleh kualitas daging yang sehat dan layak konsumsi.
Kasus maraknya penyembelihan hewan ternak betina
dan produktif di Kabupaten
Aceh Besar pernah diteliti
oleh Samadi (2022) pada penelitian
ini menyebutkan sebanyak 73,13% peternak menjual dan menyembelih sapi dan kerbau betina produktif karena adanya permintaan
yang tinggi terhadap daging hewan tersebut,
selain itu desakan akan kebutuhan
ekonomi peternak juga memicu mereka untuk
menjual dan melakukan penyembelihan terhadap sapi dan kerbau betina yang produktif.
Pemotongan hewan ternak betina
produktif terjadi juga di
wilayah Timor Barat yang merupakan hasil penelitian oleh Maria Krova dkk (Krova dkk.,
2018) menurutnya,
pemotongan sapi di Timor
Barat banyak dilakukan pada
jenis sapi bali yang merupakan sapi betina hasil
dari pengembangbiakan
plasma nutfah. Pemotongan sapi
bali ini sarat berbagai kepentingan oleh beberapa pihak.
Hewan ternak betina yang mengalami pemotongan dalam skala besar
terjadi juga di rumah potong hewan di Kota Ambon. Hal ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh
Bennu Nur dkk (Bennu Nur dkk.,
2019) bahwa menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Ambon, semenjak tahun 2013-2017 sebanyak 3.226 ekor sapi betina
produktif mengalami pemotongan. Pada tahun 2017 sebanyak 556 ekor sapi betina produktif
dipotong untuk memenuhi permintaan konsumen, puncaknya adalah pada tahun 2013 jumlah pemotongan tertinggi sebanyak 804 ekor sapi betina.
Kerugian ekonomi akibat pemotongan sapi betina dalam
kurun waktu 5 tahun tersebut ditaksir sekitar 112.910 miliar atau 22,582 miliar/tahun.
Penurunan paling besar
terjadi di Pulau Jawa yang mencapai 24-27% sedangkan di Bali
mencapai 25%. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah hewan betina
produktif akibat pemotongan yang terus meningkat setiap tahunnya. Penurunan jumlah hewan betina
produktif di Pulau Jawa disebabkan oleh beberapa faktor seperti disebutkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh
Priyanti (2018) yaitu adanya harga sapi
betina yang lebih murah, keterbatasan jumlah hewan jantan,
adanya kuota perdagangan antar pulau, belum konsistennya
penegakan hukum serta belum adanya
kesepahaman kriteria hewan ternak betina
produktif dikalangan peternak.
Pemotongan hewan ternak betina
produktif terjadi juga di Kabupaten Lebak Banten sebagai
salah satu wilayah di Pulau
Jawa yang merupakan daerah penghasil daging berskala nasional. Produksi daging dari daerah Kabupaten
Lebak Banten dikirimkan dan dipasarkan
di sekitar Lebak Banten maupun
dikirim ke luar kota dan luar
pulau. Dengan adanya permintaan yang cukup tinggi pada rumah potong hewan
di Kabupaten Lebak Banten menjadi
suatu polemik akan praktek pemotongan
hewan betina produktif demi mengejar kuota permintaan.
Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten
Lebak menunjukkan bahwa selama kurun waktu
tahun 2019-2021 telah dilakukan pemotongan hewan ternak kategori
sapi dan kerbau jantan sebanyak 23.508 ekor dan 2.160 ekor ternak betina, dengan rincian sebanyak 10.351 ekor kerbau jantan serta
1732 ekor kerbau betina dan 4.805 ekor sapi jantan dan 428 ekor sapi betina.
Pada tahun
2021 terjadi peningkatan pemotongan terutama pada kategori sapi jantan
sebanyak 4654 ekor dan sapi betina sebanyak
178 ekor. Kenaikan pemotongan ini disinyalir adanya peningkatan permintaan daging untuk konsumsi
rumah tangga dikarenakan adanya pengaruh dari pembatasan
pergerakan kegiatan masyarakat pasca ditetapkannya pandemi Covid-19 sehingga masyarakat lebih menghabiskan waktunya di rumah dan hal ini memicu
kenaikan kebutuhan bahan pangan salah satunya daging potong.
Sementara itu, berdasarkan pemantauan Direktorat Jenderal Peternakan, Pemotongan hewan ternak betina produktif
secara nasional yang ditemukan di Rumah Potong Hewan
(RPH) pada tahun 2020 telah
mencapai 31,08% pada skala nasional setiap tahunnya. Jumlah yang sangat besar ini tentu
saja akan memberikan dampak buruk pada populasi dan tingkat produksi daging lokal.
Salah satu dampak buruk
pemotongan hewan betina produktif tersebut adalah meningkatnya harga daging dan merangsang peternak untuk menjual ternaknya lebih cepat. Akibat
dari tingginya jumlah pemotongan ternak betina produktif
tersebut dikhawatirkan akan terjadi penurunan
populasi ternak sapi dan kerbau. Hal ini dikarenakan terkurasnya hewan ternak betina produktif
yang seharusnya dapat meningkatkan kelahiran hewan ternak dan kelestarian hewan ternak agar tidak terancam punah.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hambatan dalam implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
di Kabupaten Lebak Banten serta
untuk menganalisis strategi
yang dapat meningkatkan optimalisasi implementasi kebijakan tersebut.
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan
kontribusi teoritis dengan memperluas wawasan ilmiah dan menjadi referensi bagi masyarakat umum, mahasiswa, dan akademisi dalam bidang penelitian ilmiah, khususnya terkait implementasi kebijakan publik di sektor peternakan. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak
Banten untuk mengembangkan kebijakan yang lebih efektif dalam pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 18 Ayat 4 tentang pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif,
sehingga dapat diimplementasikan dengan lebih baik oleh seluruh masyarakat.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixed methods, yaitu kombinasi antara metode kuantitatif dan kualitatif dengan desain sequential explanatory. Dalam metode
kuantitatif, data diperoleh
melalui penyebaran kuesioner kepada 51 responden yang dipilih secara acak dengan
teknik simple random sampling. Data kuantitatif ini dianalisis menggunakan skala Likert dengan bobot dari sangat kurang baik hingga
sangat baik.
Sedangkan dalam metode kualitatif, data diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan enam narasumber
yang dianggap memiliki pengetahuan tentang implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina
produktif. Analisis data kualitatif dilakukan dengan metode analisis
interaktif, yang melibatkan
reduksi data, penyajian
data dalam bentuk naratif, dan pengambilan kesimpulan berdasarkan deskripsi atau gambaran yang lebih jelas.
Teknik pengumpulan data meliputi penggunaan kuesioner untuk data kuantitatif dan wawancara terstruktur, observasi, dan studi literatur untuk data kualitatif. Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan skala Likert, sedangkan data kualitatif dianalisis secara interaktif dengan proses reduksi data, penyajian data dalam bentuk naratif, dan pengambilan kesimpulan berdasarkan deskripsi yang lebih jelas.
Lokasi penelitian berada di UPTD Rumah Potong
Hewan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lebak Banten. Responden
untuk data kuantitatif dipilih dengan teknik simple random sampling, sedangkan
key informan untuk data kualitatif dipilih secara purposive sampling berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman mereka terkait kebijakan pemotongan hewan ternak betina
produktif.
Hasil analisis data akan digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang implementasi
kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
di Kabupaten Lebak Banten, serta
faktor hambatannya dan
strategi untuk meningkatkan
implementasi kebijakan tersebut.
Dalam metode kuantitatif, kuesioner dibagikan kepada 51 responden yang dipilih secara acak dengan
teknik simple random sampling. Skala Likert digunakan sebagai alat ukur, dengan
rentang dari "Sangat Setuju" (5) hingga
"Sangat Tidak Setuju" (1). Hasil dari kuesioner dianalisis dengan rumus yang menghitung nilai tertinggi dan terendah dari skala
Likert, serta indeks persentase untuk mendapatkan pemahaman tentang pandangan responden.
Dalam metode kualitatif, instrumen penelitian mencakup panduan wawancara, observasi, studi literatur, arsip, perangkat keras perekam, dan bahan tulisan.
Panduan wawancara digunakan
untuk memastikan semua subjek yang ditanyakan dan tidak ditinggalkan. Teknik ad-libbing digunakan
jika jawaban tidak lengkap. Selain itu, tata tertib pertemuan dan strategi USG (Urgency, Seriousness, Growth) digunakan untuk menentukan kebutuhan dalam prosedur penilaian berdasarkan tingkat bahaya dan dampak pada isu-isu lain yang harus ditangani. Penilaian ini dilakukan
dengan skala interval
Likert 1-10 dan berdasarkan penilaian
ahli.
Instrumen penelitian
ini digunakan untuk memperoleh informasi yang relevan mengenai implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
di Kabupaten Lebak Banten, baik
dari segi pandangan kuantitatif maupun kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
A. Penyebab Pelarangan Kurang Efektif
Untuk mendapatkan
informasi mengenai implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina
produktif dari segi pelaksanaan, hambatan dan strategi apa saja yang dilakukan oleh pihak Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kabupaten Lebak Banten, maka penulis menghadirkan
beberapa narasumber yang dapat dijadikan sumber informasi dalam menggali informasi terkait implementasi kebijakan pelarang pemotongan hewan ternak betina.
Berikut narasumber yang dihadirkan dalam penelitian ini:
1. Informan 1: Kepala
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Ternak
Pada penelitian
ini informan ke-1 adalah Kepala Dinas Peternakan dan Hewan Ternak yang dijabat oleh Bapak Rahmat, S. STP, M.Si.
Beliau memiliki kewajiban untuk mewujudkan target kinerja yang diamanahkan kepadanya yaitu membantu Bupati dalam melaksanakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan di bidang pertanian sub urusan peternakan. Untuk mewujudkan target kinerja tersebut, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Ternak.
Adapun tugas
dan fungsi dari Kepala Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Ternak adalah:
(1) penyusunan kebijakan teknis sub urusan peternakan, (2) pelaksana kebijakan sub urusan peternakan, (3) pemantauan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas dibidang kesekretariatan; bidang prasarana, sarana dan pakan ternak serta kelembagaan
peternakan, bidang pembibitan dan produksi; kesehatan hewan, Kesehatan masyarakat veteriner, pengolahan dan pemasaran hasil peternakan; kelompok jabatan fungsional dan unit kerja lainnya di lingkungan Dinas, (4) penerbitan izin/rekomendasi teknis usaha produksi benih/bibit ternak
dan pakan, fasilitas pemeliharaan hewan, rumah sakit hewan/pasar
hewan dan rumah potong hewan, (5) pengawasan dan pengendalian teknis pasca penerbitan
izin/rekomendasi teknis usaha produksi
benih/bibit ternak dan pakan, fasilitas pemeliharaan hewan, rumah sakit
hewan/pasar hewan dan rumah porong hewan,
(6) pelaksanaan administrasi
dinas di bidang peternakan, (7) pembinaan penyelenggaraan pelayanan publik di lingkungan Dinas, (8) penyelenggaraan fungsi lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas
dan fungsinya, (9) pelaksanaan
koordinasi dan kerjasama di
bidang tugasnya, (10) pelaksanaan monitoring dan evaluasi
hasil pelaksanaan, dan (11)
pelaporan hasil pelaksanaan tugas.
2. Informan 2: Kepala
Bagian Hukum Setda Lebak
Informan ke-2 pada penelitian
ini adalah Kepala Bagian Hukum Sekretaris
Daerah Kabupaten Lebak Banten yang dikepalai oleh Ibu drh, Sri
Henny. Adapun tugas Kepala
Bagian Hukum Sekda adalah:
(1) penyiapan bahan perumusan kebijakan daerah dibidang perundang-undangan, bantuan hukum serta dokumentasi
dan informasi, (2) penyiapan
bahan pengkoordinasian perumusan kebijakan daerah di bidang perundang-undangan, bantuan hukum serta dokumentasi
dan informasi, (3) penyiapan
bahan pengkoordinasian pelaksanaan tugas Perangkat Daerah dibidang perundang-undangan, bantuan hukum serta dokumentasi
dan informasi, (4) penyiapan
bahan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dibidang perundang-undangan, bantuan hukum serta
dokumentasi dan informasi,
(5) pelaksanaan fungsi lain
yang diberikan oleh asisten
pemerintahan dan kesejahteraan
rakyat yang berkaitan dengan
tugasnya, (6) mengkoordinasikan
pelaksanaan tugas bawahan sesuai dengan bidang tugasnya,
(7) memonitor serta mengevaluasi hasil pelaksanaan tugas bawahan agar sasaran dapat dicapai sesuai
dengan program kerja, (8) menilai prestasi kerja bawahan sebagai
bahan pengembangan karier, (9) menginventarisasikan permasalahan bagian hukum dan mengupayakan alternatif pemecahannya, (10) melaksanakan tugas kedinasan lainnya sesuai perintah atasan, dan (11) melaporkan hasil kegiatan kepada atasan sebagai
bahan informasi dan pertanggungjawaban.
3. Informan 3: Kepala
Bidang Kesehatan Hewan Lebak
Informan ke-3 pada penelitian
ini adalah Kepala Bidang Kesehatan Hewan Kabupaten Lebak Banten yang dikepalai
oleh drh, Hanik Malichatin,
M.Sc. Tugas pokoknya adalah membantu Kepala Dinas dalam mengkoordinasikan, merumuskan dan
melaksanakan kebijakan teknis bidang kesehatan
hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Adapun fungsi
dan uraian tugas dari Kepala Bidang
Kesehatan Hewan berdasarkan hasil
wawancara adalah: (1) perumusan kebijakan teknis bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veterenir, (2) pelaksanaan kebijakan teknis bidang Kesehatan hewan dan
Kesehatan masyarakat veterenir,
(3) melaksanakan evaluasi
dan pelaporan bidang Kesehatan
hewan dan Kesehatan masyarakat
veterenir, (4) pelaksanaan administrasi bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veterenir, (5) melaksanakan tugas kedinasan lain sesuai dengan tugasnya,
(6) menyusun rencana kegiatan bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veterenir sebagai pedoman dalam pelaksanaan
tugas,
(7) mendistribusikan
dan memberi petunjuk pelaksanaan tugas, (8) membantu, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan tugas dalam lingkungan
bidang Kesehatan hewan dan
Kesehatan masyarakat veteriner
untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan tugas, (9) Menyusun rancangan, mengoreksi dan menandatangani naskah dinas, (10) mengikuti rapat-rapat sesuai dengan bidang
tugasnya, (11) menyiapkan bahan dan merumuskan kebijakan teknis bidang Kesehatan hewan dan
Kesehatan masyarakat veteriner
obat hewan, (12) mengkoordinasikan dan melaksanakan
kebijakan teknis bidang Kesehatan hewan, Kesehatan
masayarakat veteriner dan obat hewan, (13) mengkoordinasikan dan melaksanakan
fasilitas pelayanan perizinan dalam bentuk penerbitan pertimbangan teknis berkaitan dengan izin bidang Kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner berdasarkan kewenangan pemerintah daerah,
(14) mengkoordinasikan
dan melaksanakan pemantauan,
pengendalian dan evaluasi pelaksanaan izin bidang Kesehatan hewan dan
Kesehatan masyarakat veteriner
berdasarkan kewenangan pemerintah daerah, (15) mengkoordinasikan dan melaksanakan
inventarisasi perusahaan dibidang perdgangan obat hewan, panga nasal hewan dan hasil pangan asal hewan,
(16) mengkoordinasikan dan melaksanakan
peramalan wabah penyakit hewan, pengamatan penyakit, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular ( zoonosis dan non zoonosis), dan (17)
Menyusun laporan hasil pelaksanaan tugas kepala bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veteriner serta memberikan saran pertimbangan kepada atasan sebagai
bahan perumusan kebijakan.
4. Informan 4: Sub Koordinator
Pelayanan Kesehatan Hewan
Informan selanjutnya
pada penelitian ini adalah Sub Koordinator Pelayanan dan Kesehatan Hewan yang dijabat
oleh dr. Imam Alriadi selaku UPTD Lab Keswan dan Kesmavet. Dalam kaitannya dengan tugasnya tersebut, dr. Imam bertanggungjawab langsung kepada Kepala Dinas dengan tugas dan fungsinya adalah: (1) penyusunan program kerja Bidang Peternakan dan Kesehatan
Hewan, (2) Penyiapan bahan rumusan kebijakan teknis pengelolaan peternakan, (3) Perumusan bahan kebijakan teknis pengembangan produksi, sarana dan prasarana, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, pengolahan dan pemasaran hasil peternakan, (4) Fasilitas pengembangan sarana teknis produksi,
(5) Fasilitas pengembangan sarana prasarana teknis produksi peternakan, Kesehatan hewan dan
Kesehatan masyarakat veteriner,
pengolahan dan pemasaran hasil peternakan, (6) Penyelenggara kemitraan bidang peternakan, (7) Penyelenggara bimbingan penerapan, pengembangan, teknis produksi, pengembangan sarana prasarana, serta pengolahan dan pemasaran hasil peternakan, (8) Penyelenggara pembinaan status
Kesehatan hewan dan keamanan
pangan asal hewan, (9) pengawasan peredaran ternak, produk asal hewan
dan hewan kesayangan, (10) Penyelenggara dan pengelola fasilitas pembiayaan usaha peternakan, (11) Penyelenggara pembinaan usaha, fasilitas kegiatan, pemberdayaan sumber daya peternakan
dan kelembagaan pengolahan hasil peternakan, (12) Penyelenggara pembinaan dan fasilitas pengembangan mutu dan standarisasi hasil peternakan, (13) Pelestarian tradisi peternakan dan kesehatan hewan, (14) Pelaksana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, (15) Pelaksana pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan program bidang peternakan dan kesehatan hewan, dan (16) Pelaksana tugas lain yang dberikan oleh atasan sesuai tugas dan fungsi dinas.
5. Informan 5: Kepala
UPTD Rumah Potong Hewan Ternak
Informan kelima
pada penelitian ini adalah Kepala UPTD Rumah Potong Hewan Ternak yang dikepalai oleh Bapak Eli Suhaeli,
S.ST. Adapun tugas pokok dari UPTD Rumah Potong Hewan Ternak adalah memimpin,
mengkoordinasikan dan mengendalikan
UPTD dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan Kesehatan hewan, baik sebelum
dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi. Sedangkan fungsi dari UPTD Rumah Potong Hewan adalah: (1) Menyusun
rencana kegiatan teknis dalam pelaksanaan
pelayanan pemeriksaan
Kesehatan hewan, baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (2) Pelaksana kegiatan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum dipotong
maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi,
(3) pelaksana
administrasi UPTD dalam melaksanakan pelayanan Kesehatan hewan baik sebelum
dipotong maupun sesudah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (4) pelaksana administrasi UPTD dalam pelaksanaan pelayanan, pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum
dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (5) pelaksana koordinasi konsultasi dan kerjasama dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum
dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, dan (6) pelaksana tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas terkait tugas dan fungsinya.
B. Implementasi Kebijakan Pelarangan Pemotongan Hewan Ternak Produktif di Kabupaten Lebak Banten
Implementasi kebijakan
pelarangan pemotongan hewan ternak produktif
di Kabupaten Lebak Banten telah
dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 18 ayat 4 yang menyebutkan bahwa ternak ruminansia
betina produktif adalah ternak ruminansia
betina yang organ reproduksinya
masih berfungsi secara normal dan dapat beranak. Jika ditinjau dari pasal tersebut
bahwa betapa pentingnya menjaga dan melestarikan hewan betina produktif sehingga Pemerintah melalui perundang-undangan tersebut melarang keras dan memberikan sanksi terhadap pelaku pemotongan hewan betina produktif
demi menjaga populasi ternak baik di Kabupaten Lebak Banten maupun
pada skala nasional.
Untuk mengukur sejauhmana keefektifan pelaksanaan implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
di Kabupaten Lebak Banten, diperlukan
suatu pengukuran. Adapun teori implementasi kebijakan yang digunakan untuk dijadikan acuan pengukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
di Kabupaten Lebak Banten pada penelitian
pembinaan dan fasilitas pengembangan mutu dan standarisasi hasil peternakan, (13) Pelestarian tradisi peternakan dan kesehatan hewan, (14) Pelaksana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, (15) Pelaksana pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan program bidang peternakan dan kesehatan hewan, dan (16) Pelaksana tugas lain yang dberikan oleh atasan sesuai tugas
dan fungsi dinas.
6.
Informan 5: Kepala UPTD Rumah
Potong Hewan Ternak
Informan kelima
pada penelitian ini adalah Kepala UPTD Rumah Potong Hewan Ternak yang dikepalai oleh Bapak Eli Suhaeli,
S.ST. Adapun tugas pokok dari UPTD Rumah Potong Hewan Ternak adalah memimpin,
mengkoordinasikan dan mengendalikan
UPTD dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan Kesehatan hewan, baik sebelum
dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi.
Sedangkan fungsi dari UPTD Rumah Potong Hewan adalah: (1) Menyusun rencana kegiatan teknis dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan Kesehatan hewan, baik sebelum
dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (2) Pelaksana kegiatan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum
dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (3) pelaksana administrasi UPTD dalam melaksanakan pelayanan Kesehatan hewan baik sebelum
dipotong maupun sesudah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (4) pelaksana administrasi UPTD dalam pelaksanaan pelayanan, pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum
dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (5) pelaksana koordinasi konsultasi dan kerjasama dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum
dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, dan (6) pelaksana tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas terkait tugas dan fungsinya.
C. Implementasi Kebijakan Pelarangan Pemotongan Hewan Ternak Produktif di Kabupaten Lebak Banten
Implementasi kebijakan
pelarangan pemotongan hewan ternak produktif
di Kabupaten Lebak Banten telah
dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 18 ayat 4 yang menyebutkan bahwa ternak ruminansia
betina produktif adalah ternak ruminansia
betina yang organ reproduksinya
masih berfungsi secara normal dan dapat beranak. Jika ditinjau dari pasal tersebut
bahwa betapa pentingnya menjaga dan melestarikan hewan betina produktif sehingga Pemerintah melalui perundang-undangan tersebut melarang keras dan memberikan sanksi terhadap pelaku pemotongan hewan betina produktif
demi menjaga populasi ternak baik di Kabupaten Lebak Banten maupun
pada skala nasional.
Untuk mengukur sejauhmana keefektifan pelaksanaan implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
di Kabupaten Lebak Banten, diperlukan
suatu pengukuran. Adapun teori implementasi kebijakan yang digunakan untuk dijadikan acuan pengukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
di Kabupaten Lebak Banten pada penelitian
ini adalah Van Meter dan
Van Horn. Menurut Van Meter dan Van Horn (Van Meter,
D & Van Horn, 1975) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh organisasi publik yang
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.
Implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Carl Van Horn mengandaikan
bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana dan kinerja kebijakan politik. Ada enam variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik yang digunakan pada penelitian ini. Untuk mengetahui
pengaruh dari variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan, penulis menggunakan 2 jenis penelitian yaitu kuantitatif dan kualitatatif yang
diuraikan sebagai berikut:
1.
Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Pada penelitian
ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) terhadap implementasi kebijakan (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y), namun jika nilai
level of significance > 0,05 maka variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif
(Y). Adapun hasil uji T Parsial
ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for
window, berikut hasil datanya:
Tabel 1 Uji T Parsial pengaruh
variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y)
Sumber: data primer diolah (2023)
Berdasarkan hasil uji
T Parsial pada tabel 4.2 di atas, variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) memiliki nilai correlation
sebesar 0,201(positif) dan nilai significance sebesar
0,016 < 0,05, artinya variabel
ukuran dan tujuan kebijakan (X1) berpengaruh
secara positif dan significance
terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif
(Y).
�� Selanjutnya analisis
yang dilakukan adalah untuk mengetahui pengaruh variabel independent (X)
secara simultan terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y) dengan menggunakan uji F simultan yang diolah dengan menggunakan software
SPSS versi 27 for window. Adapun dasar
pengambilan keputusan untuk pengujian uji F simultan adalah dengan membandingkan nilai significance dengan menggunakan nilai α = 5%
(0,05). Jika nilai sig < 0,05 maka
seluruh variabel
independent berpengaruh secara
simultan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y). Hasil dari uji F simultan tersebut tercantum pada tabel 2:
Tabel 2 Hasil Uji F simultan pengaruh variabel independent (X) terhadap
implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif
(Y)
Sumber: data primer diolah (2023)
�����������
Pengujian selanjutnya
dengan menggunakan uji koefisien Determinasi (R2)
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh semua variabel independent terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y). Dasar pengambilan uji Koefisien Determinasi (R2) adalah
berkisar 0 sampai 1. Jika nilai R2 menjauhi angka 1 memiliki arti bahwa variabel independent kurang mampu menjelaskan
variasi dari variabel dependent, namun jika nilai R2 mendekati angka 1 maka variabel independent mampu memberikan semua informasi yang dibutuhkan dalam memprediksi variasi variabel dependent. Hasil dari
uji Koefisien Determinasi
(R2) digambarkan pada tabel
berikut ini:
Tabel 3 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)
Model
Summary |
||||
Model |
R |
R Square |
Adjusted
R Square |
Std.
Error of the Estimate |
1 |
.440a |
0,193 |
0,083 |
1,84677 |
a.
Predictors: (Constant), X6, X4, X1, X5, X2, X3 |
Sumber: data primer diolah (2023)
Berdasarkan hasil Uji
Koefisien Determinasi (R2)
menunjukkan bahwa nilai R2 adalah 0,193 atau 19,3% yang artinya bahwa pengaruh seluruh variabel independent berpengaruh terhadap variabel dependent yaitu implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif
sebesar 19,3% dimana sisanya sebesar 80,7% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dijelaskan pada penelitian ini.
2. Sumber Daya
Pada penelitian
ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel sumber daya (X2) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina
produktif (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel sumber daya (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap variable implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina produktif
(Y), namun jika nilai level of significance > 0,05 maka variabel sumber
daya (X2) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
(Y). Adapun hasil uji T Parsial
ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for
window, berikut hasil datanya:
Tabel 4 Uji T Parsial pengaruh variabel sumber daya (X2) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina
produktif (Y)
Sumber: data primer diolah (2023)
��
Berdasarkan hasil uji
T Parsial pada tabel 4.6 di atas, variabel sumber daya (X2) memiliki nilai correlation sebesar
0,237 (positif) dan nilai significance
sebesar 0,009 < 0,05, artinya
variabel sumber daya (X2) berpengaruh secara positif dan significance
terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif
(Y).
2. Karakteristik Agen Pelaksana
Pada penelitian ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel karakteristik agen pelaksana (X3) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina produktif
(Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan
nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel karakteristik agen pelaksana (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina produktif
(Y).
Namun jika nilai level
of significance > 0,05 maka variabel karakteristik agen pelaksana (X3) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina
produktif (Y). Adapun hasil
uji T Parsial ini diolah dengan menggunakan
bantuan software SPSS versi
27 for window, berikut hasil
datanya:
Tabel 5 Hasil
Uji T Parsial variabel karakterisitik agen pelaksana terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
(Y)
Sumber: data primer diolah (2023)
Berdasarkan hasil uji
T Parsial pada tabel 4.8 di
atas, variabel karakteristik agen pelaksana (X3) memiliki
nilai correlation sebesar
0,123 (positif) dan nilai significance
sebesar 0,029 < 0,05, artinya
variabel karakteristik agen pelaksana (X3) berpengaruh secara positif dan significance terhadap
variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y).
Sikap
Para Pelaksana
Pada penelitian
ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel sikap para pelaksana (X4) terhadap
implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina
produktif (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel karakteristik agen pelaksana (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina produktif
(Y).
Namun jika nilai level of significance > 0,05 maka variabel sikap
para pelaksana (X4) tidak
berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
(Y). Adapun hasil uji T Parsial
ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for
window, berikut hasil datanya:
Tabel 6 Hasil Uji T Parsial variabel sikap para pelaksana (X4) terhadap variabel implementasi pelarangan pemotongan hewan ternak betina
produktif (Y)
Sumber: data primer diolah (2023)
Berdasarkan hasil perhitungan olah data uji T Parsial pada tabel 4.10 di atas, dihasilkan nilai correlation sebesar 0,117
dan nilai significance sebesar
0,041 < 0,05 yang mengartikan bahwa
variabel sikap para pelaksana (X4) memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap variabel implementasi pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
(Y).
3. Komunikasi Antar Organisasi
dan Aktivitas Pelaksana
Pada penelitian ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana (X5) terhadap
implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina
produktif (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana (X5)
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina produktif
(Y).
Namun jika nilai level of significance
> 0,05 maka variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana (X5) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
(Y). Adapun hasil uji T Parsial
ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for
window, berikut hasil datanya:
Tabel 7 Hasil
uji T Parsial variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina
produktif
Sumber: data primer diolah (2023)
Berdasarkan hasil perhitungan olah data uji T Parsial pada tabel 4.12 di atas, dihasilkan nilai correlation
sebesar 0,770 dan nilai
significance sebesar 0,010 < 0,05 yang mengartikan bahwa variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana (X5)
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel implementasi pelarangan pemotongan hewan ternak betina
produktif (Y).
4. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
Pada penelitian
ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel lingkungan ekonomi, sosial dan politik (X6) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina
produktif (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel lingkungan ekonomi, sosial dan politik (X6) berpengaruh
secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina
produktif (Y).
Namun jika nilai level of significance > 0,05 maka lingkungan ekonomi, sosial dan politik (X6) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
(Y). Adapun hasil uji T Parsial
ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for
window, berikut hasil datanya:
Tabel 8 Hasil uji T Parsial variabel lingkungan ekonomi, sosial dan politik terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif
Sumber: data primer di olah (2023)
Berdasarkan hasil perhitungan olah data uji T Parsial pada tabel 4.14 di atas, dihasilkan nilai correlation sebesar
0,240 dan nilai significance sebesar 0,009 < 0,05 yang mengartikan
bahwa variabel lingkungan ekonomi, sosial dan politik (X6)
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel implementasi pelarangan pemotongan hewan ternak betina
produktif (Y).
D. Strategi Implementasi Kebijakan Pelarangan Pemotongan Hewan Ternak Produktif di Kabupaten Lebak Banten
Untuk mewujudkan
implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan produktif di Kabupaten Lebak Banten, penulis menggunakan 6 variabel sebagai tolak ukur
untuk mengukur sejauhmana pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut dilaksanakan.
Adapun variabel
yang digunakan tersebut merupakan teori dari Van Meter dan
Van Horn (Winarno, 2016) yang menyebutkan beberapa faktor penentu keberhasilan suatu kebijakan yaitu: 1) Ukuran dan tujuan kebijakan yang akan dicapai, baik dalam
bentuk berwujud maupun tidak berwujud,
dalam jangka pendek, jangka menengah dan panjang haruslah terukur dan jelas serta berkolaborasi ke arah tujuan
kebijakan yang akan dicapai. 2) Sumber Daya adalah sumber daya manusia
(SDM) dan sumber daya non manusia lainnya yang mendukung implementasi kebijakan publik; 3) Karakteristik agen pelaksana ialah dari para agen unit atau sub unit ialah karateristik atau sifat yang ditunjukan baik penanggung jawab kebijakan maupun pelaksana yang terlibat dalam implementasi kebijakan; 4) Sikap kecenderungan
para pelaksana, yaitu sikap atau disposisi
yang ditunjukkan para implementor terhadap keberhasilan implementasi kebijakan; 5) Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana. 6) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik, mencakup sumber daya ekonomi
lingkungan, kelompok kepentingan yang memberikan bentuk dukungan, karakteristik para partisipan, ataupun juga tanggapan dan sifat opini dari
publik.
E.
Pencapaian
Target Implementasi Kebijakan Pelarangan
Pemotongan Hewan Ternak Ruminansia
Produktif di Kabupaten
Lebak Banten
Dari hasil wawancara dengan narasumber dan hasil kuesioner yang telah didistribusikan kepada responden terkait implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak produktif di Kabupaten Lebak Banten, bahwa tujuan dari implementasi
kebijakan ini adalah untuk memberhentikan
kegiatan pemotongan hewan ternak produktif
khususnya hewan betina peoduktif dengan tujuan memenuhi
kuota atau permintaan daging segar di pasaran, karena kegiatan ini dapat
mengancam populasi ketersediaan hewan ternak lokal sebagaimana
yang diamanahkan oleh Undang-Undang
Republik Indonesia No 41 Tahun
2014 Pasal 18 ayat (4) yang
berbunyi setiap orang dilarang menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif
atau ternak ruminansia besar betina produktif.
Selain itu, jika hewan ternak produktif ini terus menerus berkurang maka pemerintah akan sangat bergantung pada import daging dari luar negeri yang keberadaannya dapat mengancam perekonomian peternak lokal karena hewan ternak yang dimilikinya tidak memiliki nilai jual di pasaran. Atas dasar permasalahan tersebut, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak Banten sebagai salah satu daerah penghasil hewan ternak dan pedaging terbesar di Indonesia berupaya untuk terus melaksanakan dan mensosialisasikan kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak produktif kepada para peternak, pedagang hewan ternak, pedagang daging serta pengguna rumah potong hewan.
Kesimpulan
Hasil analisis data primer yang mencakup
kuesioner dan wawancara dalam penelitian tentang implementasi kebijakan
pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif di Kabupaten Lebak Banten
mengungkapkan beberapa kesimpulan penting. Pertama, implementasi kebijakan ini
belum berjalan dengan baik karena kurangnya standar tertulis yang menyertai,
seperti program jangka pendek, menengah, dan panjang yang terukur dan jelas.
Kedua, untuk meningkatkan implementasi
kebijakan ini, diperlukan sikap tanggungjawab, kerja keras, dan pelayanan yang
baik dari para pelaksana, serta komunikasi yang efektif antar organisasi dan
koordinasi yang terpadu. Peran aktif masyarakat, khususnya para peternak,
pedagang, dan pengguna rumah potong hewan, juga diperlukan dalam mendukung
implementasi kebijakan ini. Faktor-faktor seperti lingkungan ekonomi, sosial,
dan politik juga berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Dalam rangka meningkatkan implementasi
kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif, perlu dilakukan
upaya untuk memperjelas standar tertulis, mengoptimalkan peran serta
stakeholder, meningkatkan sikap para pelaksana, meningkatkan komunikasi antar
organisasi, dan melibatkan aktif masyarakat dalam proses ini.
BIBLIOGRAFI
�Adebowale, O.
O., Ekundayo, O., & Awoseyi, A. A. (2020). Female cattle slaughter and
foetal wastage: A case study of the Lafenwa abattoir, Ogun state, Nigeria. Cogent
Food and Agriculture, 6(1). https://doi.org/10.1080/23311932.2020.1809308
Bennu Nur, R., Pattiselanno, A. E., & Girsang, W.
(2019). Perilaku Peternak Dalam Pemotongan Sapi Betina Produktif (Studi Kasus
Rph Kota Ambon). Agrilan : Jurnal Agribisnis Kepulauan, 7(1),
1. https://doi.org/10.30598/agrilan.v7i1.848
Gaznur, Z. M., Nuraini, H., & Priyanto, R. (2017).
Evaluasi Penerapan Standar Sanitasi dan Higien di Rumah Potong Hewan Kategori
II (Evaluation Of Sanitation And Hygiene Standard Implementation At Category Ii
Abattoir). Jurnal Veteriner, 18(1), 108.
Grindle, M. S. (1980). Politics and Policy
Implementation in The Third World. Princeton University Press.
Krova, M., Sogen, J. G., & Luruk, M. Y. (2018). Alternatif
Kebijakan Pengendalian Pemotongan Sapi Bali Betina Produktif di Timor Barat.
5(3), 62�71.
Lole, U. R., & Keban, A. (2020). Policies to
Increase Calves Production in East Nusa Tenggara as a National Production
Center. Animal Production, 22(2), 98�104.
https://doi.org/10.20884/1.jap.2020.22.2.11
Mazmanian, D, H & Sabatier, P. A. (1983). Implementation
and Public Policy. Harper Collins.
muhami, & Haifan, M. (2019). Evaluasi Kinerja
Rumah Potong Hewan (RPH) Bayur, Kota Tangerang. Jurnal IPTEK, 3(2).
Okorie-Kanu, O. J., Ezenduka, E. V., Okorie-Kanu, C.
O., Anyaoha, C. O., Attah, C. A., Ejiofor, T. E., & Onwumere-Idolor, S. O.
(2018). Slaughter of pregnant goats for meat at Nsukka slaughterhouse and its
economic implications: A public health concern. Veterinary World, 11(8),
1139�1144. https://doi.org/10.14202/vetworld.2018.1139-1144
Patriani, P., & Saptaji, I. (2019). Socialization
of the Animal Husbandry and Animal Health Act concerning slaughtering
productive female livestock in Tebo Regency. 2(2), 150�157.
Priyanti, A., Inounu, I., & Ilham, N. (2018).
Prevention of Productive Cows Slaughter through Management of Local State
Enterprises. Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences, 27(2),
53. https://doi.org/10.14334/wartazoa.v27i2.1405
S. S. Nielsen, P. Sand�e, S. U. Kj�lsted, J. S. A.
(2019). Gestational Age , and Reasons. Animals, 9, 1�14.
Samadi, S., Sugito, S., & Saputra, Y. (2022).
Evaluating the Implementation of the Local Regulations (Qanun) to Control
Productive Female Cattle and Buffaloes in Aceh Besar. Animal Production,
24(1), 45�56. https://doi.org/10.20884/1.jap.2022.24.1.128
Sapibagus.com. (2022). Negara Konsumsi Daging
Tertinggi Di Dunia.
https://www.sapibagus.com/negara-konsumsi-daging-tertinggi/
Saputro, B., Firmansyah, F., & Hoesni, F. (2021).
Analisis Kelayakan Usaha Rumah Potong Hewan di Kabupaten Muaro Jambi: Studi
Kasus RPH Cahaya 9. J-MAS Adebowale, O. O., Ekundayo,
O., & Awoseyi, A. A. (2020). Female cattle slaughter and foetal wastage: A
case study of the Lafenwa abattoir, Ogun state, Nigeria. Cogent Food and
Agriculture, 6(1). https://doi.org/10.1080/23311932.2020.1809308
Gaznur, Z.
M., Nuraini, H., & Priyanto, R. (2017). Evaluasi Penerapan Standar Sanitasi
dan Higien di Rumah Potong Hewan Kategori II (Evaluation Of Sanitation And
Hygiene Standard Implementation At Category Ii Abattoir). Jurnal Veteriner,
18(1), 108.
Grindle, M.
S. (1980). Politics and Policy Implementation in The Third World.
Princeton University Press.
KBBI. (2021).
Definisi Bunting. https://kbbi.web.id/bunting
Krova, M.,
Sogen, J. G., & Luruk, M. Y. (2018). Alternatif Kebijakan Pengendalian
Pemotongan Sapi Bali Betina Produktif di Timor Barat. 5(3), 62�71.
Lole, U. R.,
& Keban, A. (2020). Policies to Increase Calves Production in East Nusa Tenggara as a National
Production Center. Animal Production, 22(2), 98�104.
https://doi.org/10.20884/1.jap.2020.22.2.11
Mazmanian, D,
H & Sabatier, P. A. (1983). Implementation and Public Policy. Harper
Collins.
muhami, &
Haifan, M. (2019). Evaluasi Kinerja Rumah Potong Hewan (RPH) Bayur, Kota
Tangerang. Jurnal IPTEK, 3(2).
Narundhana,
D., Tawaf, R., & Arief, H. (2017). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pemotongan Sapi Impor Di Rumah Potong Hewan (Rph) Pemerintah Kota Bandung
(Factors That Affected Slaughter Cattle Import In Slaughter House Bandung City
Goverment). Jurnal Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran,.
Okorie-Kanu,
O. J., Ezenduka, E. V., Okorie-Kanu, C. O., Anyaoha, C. O., Attah, C. A.,
Ejiofor, T. E., & Onwumere-Idolor, S. O. (2018). Slaughter of pregnant
goats for meat at Nsukka slaughterhouse and its economic implications: A public
health concern. Veterinary World, 11(8), 1139�1144.
https://doi.org/10.14202/vetworld.2018.1139-1144
Priyanti, A.,
Inounu, I., & Ilham, N. (2018). Prevention of Productive Cows Slaughter
through Management of Local State Enterprises. Indonesian Bulletin of Animal
and Veterinary Sciences, 27(2), 53.
https://doi.org/10.14334/wartazoa.v27i2.1405
Samadi, S.,
Sugito, S., & Saputra, Y. (2022). Evaluating the Implementation of the
Local Regulations (Qanun) to Control Productive Female Cattle and Buffaloes in
Aceh Besar. Animal Production, 24(1), 45�56.
https://doi.org/10.20884/1.jap.2022.24.1.128
Sapibagus.com.
(2022). Negara Konsumsi Daging Tertinggi Di Dunia.
https://www.sapibagus.com/negara-konsumsi-daging-tertinggi/
Soegiyono. (2020). Cara Mudah Menyusun :
Skripsi, Tesis dan Disertasi. Alfabeta Bandung.
Sugiyono. (2020). Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Alfabeta Bandung.
Van Meter, D & Van Horn, C. E. (1975). The
Policy Implementation Process. Sage Publications, Inc.
Winarno. (2016). Kebijakan Publik. CAPS (Center
of Academic Publising Service).
Copyright holder: Brita Ariyaningsih
(2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |