Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 10, Oktober 2023

 

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN PEMOTONAN HEWAN TERNAK BETINA PRODUKTIF DI KABUPATEN LEBAK BANTEN

 

Brita Ariyaningsih

Administrasi Pembangunan Negara, Politeknik Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Negara

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hambatan dan kendala penyebab belum optimalnya implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 pasal 18 ayat 4 Tentang Pelarangan Pemotongan Hewan Ternak Betina Produktif di Kabupaten Lebak Banten, serta analisis strategi apa saja yang dilakukan agar implementasi kebijakan tersebut dapat berjalan dengan optimal. Penelitian ini menggunakan mix method dengan menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif untuk dasar analisis. Populasi penelitian ini diambil dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lebak dengan jumlah total 51 responden yang diambil melalui purposive sampling dan 6 key informant. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) variabel ukuran dan tujuan kebijakan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif dengan nilai Uji T Parsial 0,016 < 0,05, 2) variabel sumber daya berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif dengan nilai Uji T Parsial 0,009 < 0,05, 3) variabel karakteristik agen pelaksana berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif dengan nilai Uji T Parsial 0,029 < 0,05, 4) variabel sikap para pelaksana berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif dengan Uji T Parsial 0,041 < 0,05, 5) variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif 0,010 < 0,05, 6) variabel lingkungan ekonomi, sosial dan politik berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif 0,009 < 0,05.

 

Kata Kunci: Kebijakan, Pelarangan Pemotongan, Hewan Ternak Produktif, RPH

 

Abstract

This research aims to analyze the obstacles and obstacles that cause the implementation of the policy of Law Number 41 of 2014 article 18 paragraph 4 concerning the Prohibition of the Slaughter of Productive Female Livestock Animals in Lebak Regency, Banten, as well as analyzing what strategies are being implemented so that the implementation of this policy can run smoothly. Optimal. This research uses a mix method by combining quantitative and qualitative methods for the basis of analysis. The population for this study was taken from the Lebak Livestock and Animal Health Service with a total of 51 respondents taken through purposive sampling and 6 key informants. The results of the research show that: 1) the variable size and policy objectives have a positive and significant effect on the implementation variable of the policy prohibiting the slaughter of productive female livestock with a Partial T Test value of 0.016 < 0.05, 2) the resource variable has a positive and significant effect on the variable implementation of the policy prohibiting the slaughter of productive female livestock with a Partial T Test value of 0.009 < 0.05, 3) the characteristic variable of the implementing agent has a positive and significant effect on the implementation of the policy prohibiting the slaughter of productive female livestock with a Partial T Test value of 0.029 < 0.05, 4) the attitude variable of the implementers has a positive and significant effect on the implementation of the policy prohibiting the slaughter of productive female livestock with a Partial T Test of 0.041 < 0.05, 5) the variable of communication between organizations and the activities of implementers has a positive and significant effect on the implementation of the policy prohibiting the slaughter of animals productive female livestock 0.010 < 0.05, 6) economic, social and political environmental variables have a positive and significant effect on the implementation variable of the policy prohibiting the slaughter of productive female livestock 0.009 < 0.05.

 

Keywords: Policy, Prohibition of Slaughter, Productive Livestock, Slaughterhouse

 

Pendahuluan

Kemajuan teknologi berkembang sangat pesat di berbagai sektor tak terkecuali disektor peternakan hewan ternak ruminansia. Teknologi yang dikembangkan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan akan produk berupa daging maupun bibit unggul dari hewan ternak tersebut. Bentuk teknologi yang digunakan meliputi proses pengembangbiakan (breeding), pembesaran (rearing) dan penggemukan (fattening).

Teknologi pengembangbiakan tidak hanya dilakukan dengan cara kawin alami namun dapat juga melalui transfer embrio kepada hewan ternak pendonor yang akan digunakan rahimnya. Dengan menggunakan metode ini, akan dihasilkan anak-anak hewan ternak dengan postur tubuh dan jenis kelamin yang seragam. Transfer embrio dapat menghasilkan bibit embrio unggul dengan efisiensi pakan guna peningkatan dan pertumbuhan hewan ternak.

Selain dengan metode transfer embrio, digunakan pula metode inseminasi buatan yang dapat menghasilkan bibit hewan ternak yang unggul. Dalam proses inseminasi ini, sperma pejantan unggul yang sudah dikemas dalam bentuk straw dan dibekukan akan disuntikkan kepada betina untuk dilakukan kawin silang. Dari proses ini dapat menghasilkan bibit hewan ternak dengan kualitas baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Penggunaan teknologi tersebut tak terlepas dari peningkatan permintaan akan daging ruminansia sebagai bahan konsumsi baik skala rumah tangga maupun untuk tujuan komersil. Di negara maju seperti Amerika Serikat yang merupakan negara paling banyak mengkonsumsi daging hewan ruminansia tercatat memiliki kebutuhan akan daging sapi sebagai bahan pangan menembus 101 kg per kapita per tahun, sedangkan negara Australia sebagai negara pengkonsumsi daging hewan terbesar dunia tercatat menghabiskan 91 kg per kapita per tahun daging sapi, sedangkan di Eropa kebutuhan akan daging sapi berkisar 70 kg per kapita per tahun (Sapibagus.com, 2022). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, hewan betina bunting adalah hewan betina dalam keadaan mengandung anak hewan didalam perutnya (KBBI, 2021).

Penyembelihan terhadap hewan ternak betina, terlebih yang sedang bunting, terjadi juga di Denmark. Sebanyak 825 ekor sapi betina dikirim ke rumah potong hewan dan 23% atau sebanyak 187 ekor sedang bunting (S. S. Nielsen, 2019). Penyembelihan ini dianggap tidak etis bagi para peternak namun mereka tidak memiliki pilihan untuk tidak melakukannya demi memenuhi permintaan akan daging sapi dikalangan konsumen yang semakin hari semakin meningkat pula.

Terhitung dari tahun 2008 hingga 2016, rumah jagal yang berada di daerah tersebut mencatat sebanyak 353.503 ekor atau sebanyak 29.457 ekor rata-rata/tahun hewan ternak betina mengalami pemotongan yang sebelumnya angka tersebut berada pada 3.726 ekor rata-rata/tahun atau naik sebesar 12,65%, hal ini terjadi akibat dari pemotongan hewan ternak betina produktif secara ilegal (Adebowale dkk., 2020). Peningkatan pemotongan ini dikhawatirkan dapat merusak populasi hewan ternak unggul yang diperlukan untuk masa yang akan datang.

Penelitian mengenai penyembelihan hewan betina produktif diteliti juga oleh Okorie- (Okorie-Kanu dkk., 2018) pada penelitian ini mengatakan bahwa di rumah potong hewan Nsukka Nigeria terjadi pemotongan hewan betina produktif yaitu kambing dalam waktu 3 bulan telah melakukan pemotongan sebanyak 684 ekor kambing, 617 ekor adalah betina dan 364 ekor sedang bunting

Maraknya pemotongan kambing betina produktif ini selain mengancam kelestarian jumlah kambing produktif juga menghasilkan daging dengan kualitas yang buruk sehingga dapat menyebabkan orang yang mengkonsumsinya mengalami malnutrisi atau gizi buruk. Ketiadaan stok kambing betina produktif dapat pula menyebabkan kemerosotan ekonomi di Nigeria, pasalnya saat pasar meminta rantai pasok daging yang terus menerus harus tersedia namun dipihak peternak tidak dapat memenuhinya. Pada penelitian ini, peneliti memberikan saran bahwa pemerintah harus dapat mengendalikan pemotongan hewan betina produktif ini secara cepat dan tepat agar ketersediaan stok daging tetap terjaga serta memperoleh kualitas daging yang sehat dan layak konsumsi.

Kasus maraknya penyembelihan hewan ternak betina dan produktif di Kabupaten Aceh Besar pernah diteliti oleh Samadi (2022) pada penelitian ini menyebutkan sebanyak 73,13% peternak menjual dan menyembelih sapi dan kerbau betina produktif karena adanya permintaan yang tinggi terhadap daging hewan tersebut, selain itu desakan akan kebutuhan ekonomi peternak juga memicu mereka untuk menjual dan melakukan penyembelihan terhadap sapi dan kerbau betina yang produktif.

Pemotongan hewan ternak betina produktif terjadi juga di wilayah Timor Barat yang merupakan hasil penelitian oleh Maria Krova dkk (Krova dkk., 2018) menurutnya, pemotongan sapi di Timor Barat banyak dilakukan pada jenis sapi bali yang merupakan sapi betina hasil dari pengembangbiakan plasma nutfah. Pemotongan sapi bali ini sarat berbagai kepentingan oleh beberapa pihak.

Hewan ternak betina yang mengalami pemotongan dalam skala besar terjadi juga di rumah potong hewan di Kota Ambon. Hal ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Bennu Nur dkk (Bennu Nur dkk., 2019) bahwa menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Ambon, semenjak tahun 2013-2017 sebanyak 3.226 ekor sapi betina produktif mengalami pemotongan. Pada tahun 2017 sebanyak 556 ekor sapi betina produktif dipotong untuk memenuhi permintaan konsumen, puncaknya adalah pada tahun 2013 jumlah pemotongan tertinggi sebanyak 804 ekor sapi betina. Kerugian ekonomi akibat pemotongan sapi betina dalam kurun waktu 5 tahun tersebut ditaksir sekitar 112.910 miliar atau 22,582 miliar/tahun.

Penurunan paling besar terjadi di Pulau Jawa yang mencapai 24-27% sedangkan di Bali mencapai 25%. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah hewan betina produktif akibat pemotongan yang terus meningkat setiap tahunnya. Penurunan jumlah hewan betina produktif di Pulau Jawa disebabkan oleh beberapa faktor seperti disebutkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Priyanti (2018) yaitu adanya harga sapi betina yang lebih murah, keterbatasan jumlah hewan jantan, adanya kuota perdagangan antar pulau, belum konsistennya penegakan hukum serta belum adanya kesepahaman kriteria hewan ternak betina produktif dikalangan peternak.

Pemotongan hewan ternak betina produktif terjadi juga di Kabupaten Lebak Banten sebagai salah satu wilayah di Pulau Jawa yang merupakan daerah penghasil daging berskala nasional. Produksi daging dari daerah Kabupaten Lebak Banten dikirimkan dan dipasarkan di sekitar Lebak Banten maupun dikirim ke luar kota dan luar pulau. Dengan adanya permintaan yang cukup tinggi pada rumah potong hewan di Kabupaten Lebak Banten menjadi suatu polemik akan praktek pemotongan hewan betina produktif demi mengejar kuota permintaan.

Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lebak menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun 2019-2021 telah dilakukan pemotongan hewan ternak kategori sapi dan kerbau jantan sebanyak 23.508 ekor dan 2.160 ekor ternak betina, dengan rincian sebanyak 10.351 ekor kerbau jantan serta 1732 ekor kerbau betina dan 4.805 ekor sapi jantan dan 428 ekor sapi betina.

Pada tahun 2021 terjadi peningkatan pemotongan terutama pada kategori sapi jantan sebanyak 4654 ekor dan sapi betina sebanyak 178 ekor. Kenaikan pemotongan ini disinyalir adanya peningkatan permintaan daging untuk konsumsi rumah tangga dikarenakan adanya pengaruh dari pembatasan pergerakan kegiatan masyarakat pasca ditetapkannya pandemi Covid-19 sehingga masyarakat lebih menghabiskan waktunya di rumah dan hal ini memicu kenaikan kebutuhan bahan pangan salah satunya daging potong.

Sementara itu, berdasarkan pemantauan Direktorat Jenderal Peternakan, Pemotongan hewan ternak betina produktif secara nasional yang ditemukan di Rumah Potong Hewan (RPH) pada tahun 2020 telah mencapai 31,08% pada skala nasional setiap tahunnya. Jumlah yang sangat besar ini tentu saja akan memberikan dampak buruk pada populasi dan tingkat produksi daging lokal.

Salah satu dampak buruk pemotongan hewan betina produktif tersebut adalah meningkatnya harga daging dan merangsang peternak untuk menjual ternaknya lebih cepat. Akibat dari tingginya jumlah pemotongan ternak betina produktif tersebut dikhawatirkan akan terjadi penurunan populasi ternak sapi dan kerbau. Hal ini dikarenakan terkurasnya hewan ternak betina produktif yang seharusnya dapat meningkatkan kelahiran hewan ternak dan kelestarian hewan ternak agar tidak terancam punah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hambatan dalam implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif di Kabupaten Lebak Banten serta untuk menganalisis strategi yang dapat meningkatkan optimalisasi implementasi kebijakan tersebut.

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi teoritis dengan memperluas wawasan ilmiah dan menjadi referensi bagi masyarakat umum, mahasiswa, dan akademisi dalam bidang penelitian ilmiah, khususnya terkait implementasi kebijakan publik di sektor peternakan. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak Banten untuk mengembangkan kebijakan yang lebih efektif dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 18 Ayat 4 tentang pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif, sehingga dapat diimplementasikan dengan lebih baik oleh seluruh masyarakat.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixed methods, yaitu kombinasi antara metode kuantitatif dan kualitatif dengan desain sequential explanatory. Dalam metode kuantitatif, data diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada 51 responden yang dipilih secara acak dengan teknik simple random sampling. Data kuantitatif ini dianalisis menggunakan skala Likert dengan bobot dari sangat kurang baik hingga sangat baik.

Sedangkan dalam metode kualitatif, data diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan enam narasumber yang dianggap memiliki pengetahuan tentang implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif. Analisis data kualitatif dilakukan dengan metode analisis interaktif, yang melibatkan reduksi data, penyajian data dalam bentuk naratif, dan pengambilan kesimpulan berdasarkan deskripsi atau gambaran yang lebih jelas.

Teknik pengumpulan data meliputi penggunaan kuesioner untuk data kuantitatif dan wawancara terstruktur, observasi, dan studi literatur untuk data kualitatif. Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan skala Likert, sedangkan data kualitatif dianalisis secara interaktif dengan proses reduksi data, penyajian data dalam bentuk naratif, dan pengambilan kesimpulan berdasarkan deskripsi yang lebih jelas.

Lokasi penelitian berada di UPTD Rumah Potong Hewan, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lebak Banten. Responden untuk data kuantitatif dipilih dengan teknik simple random sampling, sedangkan key informan untuk data kualitatif dipilih secara purposive sampling berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka terkait kebijakan pemotongan hewan ternak betina produktif.

Hasil analisis data akan digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif di Kabupaten Lebak Banten, serta faktor hambatannya dan strategi untuk meningkatkan implementasi kebijakan tersebut.

Dalam metode kuantitatif, kuesioner dibagikan kepada 51 responden yang dipilih secara acak dengan teknik simple random sampling. Skala Likert digunakan sebagai alat ukur, dengan rentang dari "Sangat Setuju" (5) hingga "Sangat Tidak Setuju" (1). Hasil dari kuesioner dianalisis dengan rumus yang menghitung nilai tertinggi dan terendah dari skala Likert, serta indeks persentase untuk mendapatkan pemahaman tentang pandangan responden.

Dalam metode kualitatif, instrumen penelitian mencakup panduan wawancara, observasi, studi literatur, arsip, perangkat keras perekam, dan bahan tulisan. Panduan wawancara digunakan untuk memastikan semua subjek yang ditanyakan dan tidak ditinggalkan. Teknik ad-libbing digunakan jika jawaban tidak lengkap. Selain itu, tata tertib pertemuan dan strategi USG (Urgency, Seriousness, Growth) digunakan untuk menentukan kebutuhan dalam prosedur penilaian berdasarkan tingkat bahaya dan dampak pada isu-isu lain yang harus ditangani. Penilaian ini dilakukan dengan skala interval Likert 1-10 dan berdasarkan penilaian ahli.

Instrumen penelitian ini digunakan untuk memperoleh informasi yang relevan mengenai implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif di Kabupaten Lebak Banten, baik dari segi pandangan kuantitatif maupun kualitatif.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Penyebab Pelarangan Kurang Efektif

Untuk mendapatkan informasi mengenai implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif dari segi pelaksanaan, hambatan dan strategi apa saja yang dilakukan oleh pihak Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Lebak Banten, maka penulis menghadirkan beberapa narasumber yang dapat dijadikan sumber informasi dalam menggali informasi terkait implementasi kebijakan pelarang pemotongan hewan ternak betina. Berikut narasumber yang dihadirkan dalam penelitian ini:

1.   Informan 1: Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Ternak

Pada penelitian ini informan ke-1 adalah Kepala Dinas Peternakan dan Hewan Ternak yang dijabat oleh Bapak Rahmat, S. STP, M.Si. Beliau memiliki kewajiban untuk mewujudkan target kinerja yang diamanahkan kepadanya yaitu membantu Bupati dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan di bidang pertanian sub urusan peternakan. Untuk mewujudkan target kinerja tersebut, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Ternak.

Adapun tugas dan fungsi dari Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Ternak adalah: (1) penyusunan kebijakan teknis sub urusan peternakan, (2) pelaksana kebijakan sub urusan peternakan, (3) pemantauan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas dibidang kesekretariatan; bidang prasarana, sarana dan pakan ternak serta kelembagaan peternakan, bidang pembibitan dan produksi; kesehatan hewan, Kesehatan masyarakat veteriner, pengolahan dan pemasaran hasil peternakan; kelompok jabatan fungsional dan unit kerja lainnya di lingkungan Dinas, (4) penerbitan izin/rekomendasi teknis usaha produksi benih/bibit ternak dan pakan, fasilitas pemeliharaan hewan, rumah sakit hewan/pasar hewan dan rumah potong hewan, (5) pengawasan dan pengendalian teknis pasca penerbitan izin/rekomendasi teknis usaha produksi benih/bibit ternak dan pakan, fasilitas pemeliharaan hewan, rumah sakit hewan/pasar hewan dan rumah porong hewan, (6) pelaksanaan administrasi dinas di bidang peternakan, (7) pembinaan penyelenggaraan pelayanan publik di lingkungan Dinas, (8) penyelenggaraan fungsi lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya, (9) pelaksanaan koordinasi dan kerjasama di bidang tugasnya, (10) pelaksanaan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan, dan (11) pelaporan hasil pelaksanaan tugas.

 

2.   Informan 2: Kepala Bagian Hukum Setda Lebak

Informan ke-2 pada penelitian ini adalah Kepala Bagian Hukum Sekretaris Daerah Kabupaten Lebak Banten yang dikepalai oleh Ibu drh, Sri Henny. Adapun tugas Kepala Bagian Hukum Sekda adalah: (1) penyiapan bahan perumusan kebijakan daerah dibidang perundang-undangan, bantuan hukum serta dokumentasi dan informasi, (2) penyiapan bahan pengkoordinasian perumusan kebijakan daerah di bidang perundang-undangan, bantuan hukum serta dokumentasi dan informasi, (3) penyiapan bahan pengkoordinasian pelaksanaan tugas Perangkat Daerah dibidang perundang-undangan, bantuan hukum serta dokumentasi dan informasi, (4) penyiapan bahan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi dibidang perundang-undangan, bantuan hukum serta dokumentasi dan informasi, (5) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh asisten pemerintahan dan kesejahteraan rakyat yang berkaitan dengan tugasnya, (6) mengkoordinasikan pelaksanaan tugas bawahan sesuai dengan bidang tugasnya, (7) memonitor serta mengevaluasi hasil pelaksanaan tugas bawahan agar sasaran dapat dicapai sesuai dengan program kerja, (8) menilai prestasi kerja bawahan sebagai bahan pengembangan karier, (9) menginventarisasikan permasalahan bagian hukum dan mengupayakan alternatif pemecahannya, (10) melaksanakan tugas kedinasan lainnya sesuai perintah atasan, dan (11) melaporkan hasil kegiatan kepada atasan sebagai bahan informasi dan pertanggungjawaban.

 

3.   Informan 3: Kepala Bidang Kesehatan Hewan Lebak

Informan ke-3 pada penelitian ini adalah Kepala Bidang Kesehatan Hewan Kabupaten Lebak Banten yang dikepalai oleh drh, Hanik Malichatin, M.Sc. Tugas pokoknya adalah membantu Kepala Dinas dalam mengkoordinasikan, merumuskan dan melaksanakan kebijakan teknis bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

Adapun fungsi dan uraian tugas dari Kepala Bidang Kesehatan Hewan berdasarkan hasil wawancara adalah: (1) perumusan kebijakan teknis bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veterenir, (2) pelaksanaan kebijakan teknis bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veterenir, (3) melaksanakan evaluasi dan pelaporan bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veterenir, (4) pelaksanaan administrasi bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veterenir, (5) melaksanakan tugas kedinasan lain sesuai dengan tugasnya, (6) menyusun rencana kegiatan bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veterenir sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas,

(7) mendistribusikan dan memberi petunjuk pelaksanaan tugas, (8) membantu, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan tugas dalam lingkungan bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veteriner untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan tugas, (9) Menyusun rancangan, mengoreksi dan menandatangani naskah dinas, (10) mengikuti rapat-rapat sesuai dengan bidang tugasnya, (11) menyiapkan bahan dan merumuskan kebijakan teknis bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veteriner obat hewan, (12) mengkoordinasikan dan melaksanakan kebijakan teknis bidang Kesehatan hewan, Kesehatan masayarakat veteriner dan obat hewan, (13) mengkoordinasikan dan melaksanakan fasilitas pelayanan perizinan dalam bentuk penerbitan pertimbangan teknis berkaitan dengan izin bidang Kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner berdasarkan kewenangan pemerintah daerah,

(14) mengkoordinasikan dan melaksanakan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan izin bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veteriner berdasarkan kewenangan pemerintah daerah, (15) mengkoordinasikan dan melaksanakan inventarisasi perusahaan dibidang perdgangan obat hewan, panga nasal hewan dan hasil pangan asal hewan, (16) mengkoordinasikan dan melaksanakan peramalan wabah penyakit hewan, pengamatan penyakit, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular ( zoonosis dan non zoonosis), dan (17) Menyusun laporan hasil pelaksanaan tugas kepala bidang Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veteriner serta memberikan saran pertimbangan kepada atasan sebagai bahan perumusan kebijakan.

 

4.   Informan 4: Sub Koordinator Pelayanan Kesehatan Hewan

Informan selanjutnya pada penelitian ini adalah Sub Koordinator Pelayanan dan Kesehatan Hewan yang dijabat oleh dr. Imam Alriadi selaku UPTD Lab Keswan dan Kesmavet. Dalam kaitannya dengan tugasnya tersebut, dr. Imam bertanggungjawab langsung kepada Kepala Dinas dengan tugas dan fungsinya adalah: (1) penyusunan program kerja Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, (2) Penyiapan bahan rumusan kebijakan teknis pengelolaan peternakan, (3) Perumusan bahan kebijakan teknis pengembangan produksi, sarana dan prasarana, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, pengolahan dan pemasaran hasil peternakan, (4) Fasilitas pengembangan sarana teknis produksi, (5) Fasilitas pengembangan sarana prasarana teknis produksi peternakan, Kesehatan hewan dan Kesehatan masyarakat veteriner, pengolahan dan pemasaran hasil peternakan, (6) Penyelenggara kemitraan bidang peternakan, (7) Penyelenggara bimbingan penerapan, pengembangan, teknis produksi, pengembangan sarana prasarana, serta pengolahan dan pemasaran hasil peternakan, (8) Penyelenggara pembinaan status Kesehatan hewan dan keamanan pangan asal hewan, (9) pengawasan peredaran ternak, produk asal hewan dan hewan kesayangan, (10) Penyelenggara dan pengelola fasilitas pembiayaan usaha peternakan, (11) Penyelenggara pembinaan usaha, fasilitas kegiatan, pemberdayaan sumber daya peternakan dan kelembagaan pengolahan hasil peternakan, (12) Penyelenggara pembinaan dan fasilitas pengembangan mutu dan standarisasi hasil peternakan, (13) Pelestarian tradisi peternakan dan kesehatan hewan, (14) Pelaksana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, (15) Pelaksana pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan program bidang peternakan dan kesehatan hewan, dan (16) Pelaksana tugas lain yang dberikan oleh atasan sesuai tugas dan fungsi dinas.

 

5.   Informan 5: Kepala UPTD Rumah Potong Hewan Ternak

Informan kelima pada penelitian ini adalah Kepala UPTD Rumah Potong Hewan Ternak yang dikepalai oleh Bapak Eli Suhaeli, S.ST. Adapun tugas pokok dari UPTD Rumah Potong Hewan Ternak adalah memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan UPTD dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan Kesehatan hewan, baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi. Sedangkan fungsi dari UPTD Rumah Potong Hewan adalah: (1) Menyusun rencana kegiatan teknis dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan Kesehatan hewan, baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (2) Pelaksana kegiatan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi,

(3) pelaksana administrasi UPTD dalam melaksanakan pelayanan Kesehatan hewan baik sebelum dipotong maupun sesudah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (4) pelaksana administrasi UPTD dalam pelaksanaan pelayanan, pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (5) pelaksana koordinasi konsultasi dan kerjasama dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, dan (6) pelaksana tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas terkait tugas dan fungsinya.

 

B.     Implementasi Kebijakan Pelarangan Pemotongan Hewan Ternak Produktif di Kabupaten Lebak Banten

Implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak produktif di Kabupaten Lebak Banten telah dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 18 ayat 4 yang menyebutkan bahwa ternak ruminansia betina produktif adalah ternak ruminansia betina yang organ reproduksinya masih berfungsi secara normal dan dapat beranak. Jika ditinjau dari pasal tersebut bahwa betapa pentingnya menjaga dan melestarikan hewan betina produktif sehingga Pemerintah melalui perundang-undangan tersebut melarang keras dan memberikan sanksi terhadap pelaku pemotongan hewan betina produktif demi menjaga populasi ternak baik di Kabupaten Lebak Banten maupun pada skala nasional.

Untuk mengukur sejauhmana keefektifan pelaksanaan implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif di Kabupaten Lebak Banten, diperlukan suatu pengukuran. Adapun teori implementasi kebijakan yang digunakan untuk dijadikan acuan pengukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif di Kabupaten Lebak Banten pada penelitian pembinaan dan fasilitas pengembangan mutu dan standarisasi hasil peternakan, (13) Pelestarian tradisi peternakan dan kesehatan hewan, (14) Pelaksana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, (15) Pelaksana pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan program bidang peternakan dan kesehatan hewan, dan (16) Pelaksana tugas lain yang dberikan oleh atasan sesuai tugas dan fungsi dinas.

 

6.             Informan 5: Kepala UPTD Rumah Potong Hewan Ternak

Informan kelima pada penelitian ini adalah Kepala UPTD Rumah Potong Hewan Ternak yang dikepalai oleh Bapak Eli Suhaeli, S.ST. Adapun tugas pokok dari UPTD Rumah Potong Hewan Ternak adalah memimpin, mengkoordinasikan dan mengendalikan UPTD dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan Kesehatan hewan, baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi.

Sedangkan fungsi dari UPTD Rumah Potong Hewan adalah: (1) Menyusun rencana kegiatan teknis dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan Kesehatan hewan, baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (2) Pelaksana kegiatan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (3) pelaksana administrasi UPTD dalam melaksanakan pelayanan Kesehatan hewan baik sebelum dipotong maupun sesudah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (4) pelaksana administrasi UPTD dalam pelaksanaan pelayanan, pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, (5) pelaksana koordinasi konsultasi dan kerjasama dalam pelaksanaan pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan baik sebelum dipotong maupun setelah dipotong, pengambilan specimen penyakit hewan dan pemungutan retribusi, dan (6) pelaksana tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas terkait tugas dan fungsinya.

 

C.    Implementasi Kebijakan Pelarangan Pemotongan Hewan Ternak Produktif di Kabupaten Lebak Banten

Implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak produktif di Kabupaten Lebak Banten telah dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Pasal 18 ayat 4 yang menyebutkan bahwa ternak ruminansia betina produktif adalah ternak ruminansia betina yang organ reproduksinya masih berfungsi secara normal dan dapat beranak. Jika ditinjau dari pasal tersebut bahwa betapa pentingnya menjaga dan melestarikan hewan betina produktif sehingga Pemerintah melalui perundang-undangan tersebut melarang keras dan memberikan sanksi terhadap pelaku pemotongan hewan betina produktif demi menjaga populasi ternak baik di Kabupaten Lebak Banten maupun pada skala nasional.

Untuk mengukur sejauhmana keefektifan pelaksanaan implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif di Kabupaten Lebak Banten, diperlukan suatu pengukuran. Adapun teori implementasi kebijakan yang digunakan untuk dijadikan acuan pengukuran keberhasilan pelaksanaan kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif di Kabupaten Lebak Banten pada penelitian ini adalah Van Meter dan Van Horn. Menurut Van Meter dan Van Horn (Van Meter, D & Van Horn, 1975) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.

Implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Carl Van Horn mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana dan kinerja kebijakan politik. Ada enam variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik yang digunakan pada penelitian ini. Untuk mengetahui pengaruh dari variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan, penulis menggunakan 2 jenis penelitian yaitu kuantitatif dan kualitatatif yang diuraikan sebagai berikut:

1.             Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Pada penelitian ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) terhadap implementasi kebijakan (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y), namun jika nilai level of significance > 0,05 maka variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y). Adapun hasil uji T Parsial ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for window, berikut hasil datanya:

Tabel 1 Uji T Parsial pengaruh variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y)

Sumber: data primer diolah (2023)

 

Berdasarkan hasil uji T Parsial pada tabel 4.2 di atas, variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) memiliki nilai correlation sebesar 0,201(positif) dan nilai significance sebesar 0,016 < 0,05, artinya variabel ukuran dan tujuan kebijakan (X1) berpengaruh secara positif dan significance terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y).

�� Selanjutnya analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui pengaruh variabel independent (X) secara simultan terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y) dengan menggunakan uji F simultan yang diolah dengan menggunakan software SPSS versi 27 for window. Adapun dasar pengambilan keputusan untuk pengujian uji F simultan adalah dengan membandingkan nilai significance dengan menggunakan nilai α = 5% (0,05). Jika nilai sig < 0,05 maka seluruh variabel independent berpengaruh secara simultan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y). Hasil dari uji F simultan tersebut tercantum pada tabel 2:

 

Tabel 2 Hasil Uji F simultan pengaruh variabel independent (X) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y)

Sumber: data primer diolah (2023)

�����������

Pengujian selanjutnya dengan menggunakan uji koefisien Determinasi (R2) untuk mengetahui seberapa besar pengaruh semua variabel independent terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y). Dasar pengambilan uji Koefisien Determinasi (R2) adalah berkisar 0 sampai 1. Jika nilai R2 menjauhi angka 1 memiliki arti bahwa variabel independent kurang mampu menjelaskan variasi dari variabel dependent, namun jika nilai R2 mendekati angka 1 maka variabel independent mampu memberikan semua informasi yang dibutuhkan dalam memprediksi variasi variabel dependent. Hasil dari uji Koefisien Determinasi (R2) digambarkan pada tabel berikut ini:

 

Tabel 3 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2)

Model Summary

Model

R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1

.440a

0,193

0,083

1,84677

a. Predictors: (Constant), X6, X4, X1, X5, X2, X3

Sumber: data primer diolah (2023)

 

Berdasarkan hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) menunjukkan bahwa nilai R2 adalah 0,193 atau 19,3% yang artinya bahwa pengaruh seluruh variabel independent berpengaruh terhadap variabel dependent yaitu implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif sebesar 19,3% dimana sisanya sebesar 80,7% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dijelaskan pada penelitian ini.

 

2.   Sumber Daya

Pada penelitian ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel sumber daya (X2) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina produktif (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel sumber daya (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap variable implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina produktif (Y), namun jika nilai level of significance > 0,05 maka variabel sumber daya (X2) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y). Adapun hasil uji T Parsial ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for window, berikut hasil datanya:

 

Tabel 4 Uji T Parsial pengaruh variabel sumber daya (X2) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y)

Sumber: data primer diolah (2023)

��

Berdasarkan hasil uji T Parsial pada tabel 4.6 di atas, variabel sumber daya (X2) memiliki nilai correlation sebesar 0,237 (positif) dan nilai significance sebesar 0,009 < 0,05, artinya variabel sumber daya (X2) berpengaruh secara positif dan significance terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y).

 

 

 

2.   Karakteristik Agen Pelaksana

Pada penelitian ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel karakteristik agen pelaksana (X3) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina produktif (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel karakteristik agen pelaksana (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina produktif (Y).

Namun jika nilai level of significance > 0,05 maka variabel karakteristik agen pelaksana (X3) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y). Adapun hasil uji T Parsial ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for window, berikut hasil datanya:

 

Tabel 5 Hasil Uji T Parsial variabel karakterisitik agen pelaksana terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y)

Sumber: data primer diolah (2023)

 

Berdasarkan hasil uji T Parsial pada tabel 4.8 di atas, variabel karakteristik agen pelaksana (X3) memiliki nilai correlation sebesar 0,123 (positif) dan nilai significance sebesar 0,029 < 0,05, artinya variabel karakteristik agen pelaksana (X3) berpengaruh secara positif dan significance terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan betina produktif (Y).

 

Sikap Para Pelaksana

Pada penelitian ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel sikap para pelaksana (X4) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina produktif (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel karakteristik agen pelaksana (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina produktif (Y).

Namun jika nilai level of significance > 0,05 maka variabel sikap para pelaksana (X4) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y). Adapun hasil uji T Parsial ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for window, berikut hasil datanya:

 

Tabel 6 Hasil Uji T Parsial variabel sikap para pelaksana (X4) terhadap variabel implementasi pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y)

Sumber: data primer diolah (2023)

 

Berdasarkan hasil perhitungan olah data uji T Parsial pada tabel 4.10 di atas, dihasilkan nilai correlation sebesar 0,117 dan nilai significance sebesar 0,041 < 0,05 yang mengartikan bahwa variabel sikap para pelaksana (X4) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel implementasi pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y).

 

3.   Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana

Pada penelitian ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana (X5) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina produktif (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana (X5) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina produktif (Y).

Namun jika nilai level of significance > 0,05 maka variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana (X5) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y). Adapun hasil uji T Parsial ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for window, berikut hasil datanya:

 

Tabel 7 Hasil uji T Parsial variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif

Sumber: data primer diolah (2023)

 

Berdasarkan hasil perhitungan olah data uji T Parsial pada tabel 4.12 di atas, dihasilkan nilai correlation sebesar 0,770 dan nilai significance sebesar 0,010 < 0,05 yang mengartikan bahwa variabel komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana (X5) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel implementasi pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y).

 

4.   Lingkungan ekonomi, sosial dan politik

Pada penelitian ini dalam mengukur sejauhmana tingkat pengaruh variabel lingkungan ekonomi, sosial dan politik (X6) terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotoangan hewan ternak betina produktif (Y) di ukur dengan menggunakan Uji T Parsial dengan menggunakan data kuesioner yang didistribusikan kepada 51 responden. Uji T Parsial ini menggunakan nilai level of significance < 0,05 yang mengindikasikan bahwa variabel lingkungan ekonomi, sosial dan politik (X6) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternka betina produktif (Y).

Namun jika nilai level of significance > 0,05 maka lingkungan ekonomi, sosial dan politik (X6) tidak berpengaruh terhadap variabel implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y). Adapun hasil uji T Parsial ini diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 27 for window, berikut hasil datanya:

 

Tabel 8 Hasil uji T Parsial variabel lingkungan ekonomi, sosial dan politik terhadap implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif

Sumber: data primer di olah (2023)

 

Berdasarkan hasil perhitungan olah data uji T Parsial pada tabel 4.14 di atas, dihasilkan nilai correlation sebesar 0,240 dan nilai significance sebesar 0,009 < 0,05 yang mengartikan bahwa variabel lingkungan ekonomi, sosial dan politik (X6) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel implementasi pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif (Y).

 

D. Strategi Implementasi Kebijakan Pelarangan Pemotongan Hewan Ternak Produktif di Kabupaten Lebak Banten

Untuk mewujudkan implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan produktif di Kabupaten Lebak Banten, penulis menggunakan 6 variabel sebagai tolak ukur untuk mengukur sejauhmana pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut dilaksanakan.

Adapun variabel yang digunakan tersebut merupakan teori dari Van Meter dan Van Horn (Winarno, 2016) yang menyebutkan beberapa faktor penentu keberhasilan suatu kebijakan yaitu: 1) Ukuran dan tujuan kebijakan yang akan dicapai, baik dalam bentuk berwujud maupun tidak berwujud, dalam jangka pendek, jangka menengah dan panjang haruslah terukur dan jelas serta berkolaborasi ke arah tujuan kebijakan yang akan dicapai. 2) Sumber Daya adalah sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya non manusia lainnya yang mendukung implementasi kebijakan publik; 3) Karakteristik agen pelaksana ialah dari para agen unit atau sub unit ialah karateristik atau sifat yang ditunjukan baik penanggung jawab kebijakan maupun pelaksana yang terlibat dalam implementasi kebijakan; 4) Sikap kecenderungan para pelaksana, yaitu sikap atau disposisi yang ditunjukkan para implementor terhadap keberhasilan implementasi kebijakan; 5) Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana. 6) Lingkungan sosial, ekonomi dan politik, mencakup sumber daya ekonomi lingkungan, kelompok kepentingan yang memberikan bentuk dukungan, karakteristik para partisipan, ataupun juga tanggapan dan sifat opini dari publik.

 

E.     Pencapaian Target Implementasi Kebijakan Pelarangan Pemotongan Hewan Ternak Ruminansia Produktif di Kabupaten Lebak Banten

Dari hasil wawancara dengan narasumber dan hasil kuesioner yang telah didistribusikan kepada responden terkait implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak produktif di Kabupaten Lebak Banten, bahwa tujuan dari implementasi kebijakan ini adalah untuk memberhentikan kegiatan pemotongan hewan ternak produktif khususnya hewan betina peoduktif dengan tujuan memenuhi kuota atau permintaan daging segar di pasaran, karena kegiatan ini dapat mengancam populasi ketersediaan hewan ternak lokal sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia No 41 Tahun 2014 Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi setiap orang dilarang menyembelih ternak ruminansia kecil betina produktif atau ternak ruminansia besar betina produktif.

Selain itu, jika hewan ternak produktif ini terus menerus berkurang maka pemerintah akan sangat bergantung pada import daging dari luar negeri yang keberadaannya dapat mengancam perekonomian peternak lokal karena hewan ternak yang dimilikinya tidak memiliki nilai jual di pasaran. Atas dasar permasalahan tersebut, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak Banten sebagai salah satu daerah penghasil hewan ternak dan pedaging terbesar di Indonesia berupaya untuk terus melaksanakan dan mensosialisasikan kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak produktif kepada para peternak, pedagang hewan ternak, pedagang daging serta pengguna rumah potong hewan.

 

Kesimpulan

Hasil analisis data primer yang mencakup kuesioner dan wawancara dalam penelitian tentang implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif di Kabupaten Lebak Banten mengungkapkan beberapa kesimpulan penting. Pertama, implementasi kebijakan ini belum berjalan dengan baik karena kurangnya standar tertulis yang menyertai, seperti program jangka pendek, menengah, dan panjang yang terukur dan jelas.

Kedua, untuk meningkatkan implementasi kebijakan ini, diperlukan sikap tanggungjawab, kerja keras, dan pelayanan yang baik dari para pelaksana, serta komunikasi yang efektif antar organisasi dan koordinasi yang terpadu. Peran aktif masyarakat, khususnya para peternak, pedagang, dan pengguna rumah potong hewan, juga diperlukan dalam mendukung implementasi kebijakan ini. Faktor-faktor seperti lingkungan ekonomi, sosial, dan politik juga berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan ini.

Dalam rangka meningkatkan implementasi kebijakan pelarangan pemotongan hewan ternak betina produktif, perlu dilakukan upaya untuk memperjelas standar tertulis, mengoptimalkan peran serta stakeholder, meningkatkan sikap para pelaksana, meningkatkan komunikasi antar organisasi, dan melibatkan aktif masyarakat dalam proses ini.

 

BIBLIOGRAFI

�Adebowale, O. O., Ekundayo, O., & Awoseyi, A. A. (2020). Female cattle slaughter and foetal wastage: A case study of the Lafenwa abattoir, Ogun state, Nigeria. Cogent Food and Agriculture, 6(1). https://doi.org/10.1080/23311932.2020.1809308

 

Bennu Nur, R., Pattiselanno, A. E., & Girsang, W. (2019). Perilaku Peternak Dalam Pemotongan Sapi Betina Produktif (Studi Kasus Rph Kota Ambon). Agrilan : Jurnal Agribisnis Kepulauan, 7(1), 1. https://doi.org/10.30598/agrilan.v7i1.848

 

Gaznur, Z. M., Nuraini, H., & Priyanto, R. (2017). Evaluasi Penerapan Standar Sanitasi dan Higien di Rumah Potong Hewan Kategori II (Evaluation Of Sanitation And Hygiene Standard Implementation At Category Ii Abattoir). Jurnal Veteriner, 18(1), 108.

 

Grindle, M. S. (1980). Politics and Policy Implementation in The Third World. Princeton University Press.

 

Krova, M., Sogen, J. G., & Luruk, M. Y. (2018). Alternatif Kebijakan Pengendalian Pemotongan Sapi Bali Betina Produktif di Timor Barat. 5(3), 62�71.

 

Lole, U. R., & Keban, A. (2020). Policies to Increase Calves Production in East Nusa Tenggara as a National Production Center. Animal Production, 22(2), 98�104. https://doi.org/10.20884/1.jap.2020.22.2.11

 

Mazmanian, D, H & Sabatier, P. A. (1983). Implementation and Public Policy. Harper Collins.

 

muhami, & Haifan, M. (2019). Evaluasi Kinerja Rumah Potong Hewan (RPH) Bayur, Kota Tangerang. Jurnal IPTEK, 3(2).

 

Okorie-Kanu, O. J., Ezenduka, E. V., Okorie-Kanu, C. O., Anyaoha, C. O., Attah, C. A., Ejiofor, T. E., & Onwumere-Idolor, S. O. (2018). Slaughter of pregnant goats for meat at Nsukka slaughterhouse and its economic implications: A public health concern. Veterinary World, 11(8), 1139�1144. https://doi.org/10.14202/vetworld.2018.1139-1144

 

Patriani, P., & Saptaji, I. (2019). Socialization of the Animal Husbandry and Animal Health Act concerning slaughtering productive female livestock in Tebo Regency. 2(2), 150�157.

 

Priyanti, A., Inounu, I., & Ilham, N. (2018). Prevention of Productive Cows Slaughter through Management of Local State Enterprises. Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences, 27(2), 53. https://doi.org/10.14334/wartazoa.v27i2.1405

 

S. S. Nielsen, P. Sand�e, S. U. Kj�lsted, J. S. A. (2019). Gestational Age , and Reasons. Animals, 9, 1�14.

 

Samadi, S., Sugito, S., & Saputra, Y. (2022). Evaluating the Implementation of the Local Regulations (Qanun) to Control Productive Female Cattle and Buffaloes in Aceh Besar. Animal Production, 24(1), 45�56. https://doi.org/10.20884/1.jap.2022.24.1.128

 

Sapibagus.com. (2022). Negara Konsumsi Daging Tertinggi Di Dunia. https://www.sapibagus.com/negara-konsumsi-daging-tertinggi/

 

Saputro, B., Firmansyah, F., & Hoesni, F. (2021). Analisis Kelayakan Usaha Rumah Potong Hewan di Kabupaten Muaro Jambi: Studi Kasus RPH Cahaya 9. J-MAS Adebowale, O. O., Ekundayo, O., & Awoseyi, A. A. (2020). Female cattle slaughter and foetal wastage: A case study of the Lafenwa abattoir, Ogun state, Nigeria. Cogent Food and Agriculture, 6(1). https://doi.org/10.1080/23311932.2020.1809308

 

Gaznur, Z. M., Nuraini, H., & Priyanto, R. (2017). Evaluasi Penerapan Standar Sanitasi dan Higien di Rumah Potong Hewan Kategori II (Evaluation Of Sanitation And Hygiene Standard Implementation At Category Ii Abattoir). Jurnal Veteriner, 18(1), 108.

 

Grindle, M. S. (1980). Politics and Policy Implementation in The Third World. Princeton University Press.

 

KBBI. (2021). Definisi Bunting. https://kbbi.web.id/bunting

 

Krova, M., Sogen, J. G., & Luruk, M. Y. (2018). Alternatif Kebijakan Pengendalian Pemotongan Sapi Bali Betina Produktif di Timor Barat. 5(3), 62�71.

 

Lole, U. R., & Keban, A. (2020). Policies to Increase Calves Production in East Nusa Tenggara as a National Production Center. Animal Production, 22(2), 98�104. https://doi.org/10.20884/1.jap.2020.22.2.11

 

Mazmanian, D, H & Sabatier, P. A. (1983). Implementation and Public Policy. Harper Collins.

 

muhami, & Haifan, M. (2019). Evaluasi Kinerja Rumah Potong Hewan (RPH) Bayur, Kota Tangerang. Jurnal IPTEK, 3(2).

 

Narundhana, D., Tawaf, R., & Arief, H. (2017). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemotongan Sapi Impor Di Rumah Potong Hewan (Rph) Pemerintah Kota Bandung (Factors That Affected Slaughter Cattle Import In Slaughter House Bandung City Goverment). Jurnal Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran,.

 

Okorie-Kanu, O. J., Ezenduka, E. V., Okorie-Kanu, C. O., Anyaoha, C. O., Attah, C. A., Ejiofor, T. E., & Onwumere-Idolor, S. O. (2018). Slaughter of pregnant goats for meat at Nsukka slaughterhouse and its economic implications: A public health concern. Veterinary World, 11(8), 1139�1144. https://doi.org/10.14202/vetworld.2018.1139-1144

 

Priyanti, A., Inounu, I., & Ilham, N. (2018). Prevention of Productive Cows Slaughter through Management of Local State Enterprises. Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences, 27(2), 53. https://doi.org/10.14334/wartazoa.v27i2.1405

 

Samadi, S., Sugito, S., & Saputra, Y. (2022). Evaluating the Implementation of the Local Regulations (Qanun) to Control Productive Female Cattle and Buffaloes in Aceh Besar. Animal Production, 24(1), 45�56. https://doi.org/10.20884/1.jap.2022.24.1.128

 

Sapibagus.com. (2022). Negara Konsumsi Daging Tertinggi Di Dunia. https://www.sapibagus.com/negara-konsumsi-daging-tertinggi/

 

Soegiyono. (2020). Cara Mudah Menyusun : Skripsi, Tesis dan Disertasi. Alfabeta Bandung.

 

Sugiyono. (2020). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta Bandung.

 

Van Meter, D & Van Horn, C. E. (1975). The Policy Implementation Process. Sage Publications, Inc.

 

 

Winarno. (2016). Kebijakan Publik. CAPS (Center of Academic Publising Service).

 

 

Copyright holder:

Brita Ariyaningsih (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: