Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 10, Oktober
2023
FUNGSIONALISASI
SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN PEMIDANAAN
Rahmat Bayu Wibisono, Rani Yuwafi
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah
dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak
memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini menghasilkan kesimpulan fungsionalisasi sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
dalam mewujudkan tujuan pemidanaan adalah sebagai lembaga pelaksana pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan
yang berasaskan pengayoman melalui fungsinya yaitu memberikan pendidikan, rehabilitasi dan juga
reintegrasi. Adapun faktor-faktor
yang menjadi penghambat terselenggaranya tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan
adalah dipengaruhi oleh faktor keterpaduan diantara sub sistem peradilan pidana, faktor undang-undang yang masih terkesan �berseberangan� dengan spirit pembinaan, faktor pelaku kejahatan, faktor sumber daya
manusia, dalam hal ini Petugas
Lapas, faktor sarana prasarana dan faktor budaya hukum.
Kata Kunci: Sistem Pembinaan, Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan.
Abstract
The model of coaching for prisoners in Correctional
Institutions is inseparable from a dynamic, which aims to provide more
provisions for prisoners in facing life after completing their sentence (free).
The research method used is normative juridical. The results of this study
conclude that the functionalization of the prisoner development system in the
Penitentiary in realizing the purpose of punishment is as an implementing
agency for the guidance of prisoners based on protection through its functions,
namely providing education, rehabilitation and also reintegration. The factors
that hinder the implementation of the purpose of sentencing in Correctional
Institutions are influenced by the factor of integration between the criminal
justice sub-systems, the factors of the law that still seem
"opposite" to the spirit of development, the factor of the
perpetrators of the crime, the factor of human resources, in this case Prison
officers, infrastructure factors and legal culture factors.
Keywords: Guidance System, Prisoners, Correctional Institution.
Pendahuluan
Pada dasarnya sistem peradilan pidana, merupakan sistem dalam suatu masyarakat
untuk menanggulangi masalah kejahatan (Mulyadi, 2004). Di Indonesia sistem peradilan pidana terbagi dan dilaksanakan oleh 4 (empat) lembaga penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian, Lembaga Kejaksaan,
Lembaga Peradilan dan Lembaga Pemasyarakatan
(Kadri
Husin & Budi Rizki Husin, 2022). Lembaga Pemasyarakatan
merupakan komponen terakhir dalam Sistem Peradilan Pidana yang berfungsi memberikan pembinaan kepada narapidana. Sebagai komponen terakhir dalam suatu Sistem Peradilan
Pidana, keberadaan lembaga ini diatur
oleh Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Secara normatif,
lembaga eksekusi dalam perkara pidana
ini, berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Pemasyarakatan, Lapas adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak-anak didik pemasyarakatan. Pembinaan tersebut merupakan bagian akhir dari sistem
pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Lembaga pemasyarakatan (Lapas) dibebani tugas guna mewujudkan, tujuan sistem peradilan
pidana, yaitu (Harsono, 1995): 1) Tujuan jangka
pendek yaitu sistem peradilan pidana bertujuan merehabilitasi, meresosialisasi atau memperbaiki pelaku tindak pidana.
2) Tujuan jangka menengah yaitu sebagaimana fungsi peradilan hukum pidana dan fungsi khusus hukum
pidana adalah menciptakan ketertiban umum dan mengendalikan kejahatan sampai pada titik yang paling rendah. 3) Tujuan
jangka panjang yaitu sistem peradilan
pidana bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial masyarakat.
Dalam menjalankan wewenangnya, Lapas berorientasi kepada sebuah sistem
pemasyarakatan yang berdasarkan
Pancasila. Tujuannya untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat (Petrus, 1995).
Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah
dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak
memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya,
peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan.
Tentang lahirnya
istilah Lembaga Pemasyarakatan
dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu
untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H. yang menjabat
Menteri Kehakiman RI saat itu.
Menurut Gillin beberapa
ciri umum lembaga kemasyarakatan antara lain, sebagai berikut Susanto Anthon (2004): 1) Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan
terdiri dari adat-istiadat, tata-kelakuan, kebiasaan serta unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional.
2) Suatu tingkat kekekalan
tertentu merupakan ciri dari semua
lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan,
baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relatif lama. 3) Lembaga
kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa
tujuan tertentu. 4) Lembaga
kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti bangunan, peralatan, mesin dan lain sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan antara satu masyarakat
dengan masyarakat lain. 5) Lambang-lambang biasanya merupakan ciri khas dari lembaga
kemasyarakatan. Lambang-lambang
tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan. 6) Suatu Lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis atau yang tidak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku dan
lain-lain.
Mengingat perubahan
sistem kepenjaraan mejadi sistem pemasyarakatan,
serta eksistensi Lapas yang diakui oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan tersebut diatas, seyogiyanya pelaksanaan sistem pemasyarakatan diarahkan pada tujuan pemidanaan sebagaimana dirumuskan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, yang berbunyi: �Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk
Warga Binaan Pemasyarakatan
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab�.
Sehingga para warga
binaan seyogiyanya diperlakukan sebagai seorang manusia. Pandangan umum masa kini terhadap pemidanaan
ternyata tidak hanya diarahkan pada aspek pembinaan, melainkan telah menunjukkan suatu sikap pembalasan. Menurut Romli Atmasasmita,
diakui bahwa masih ada anggapan
dikalangan masyarakat dan aparatur pemerintah, bahwa masalah narapidana
dan penempatannya di Lembaga Pemasyarakatan
merupakan tempat buangan sampah masyarakat dan penghamburan dana
yang sia-sia.
Selain itu sikap masyarakat
yang masih belum sepenuhnya dapat menerima bekas narapidana. Konsekuensinya tidak sedikit terpidana
yang kembali melakukan aktifitas kejahatan setelah mereka kembali pada masyarakat. Munculnya para residivis dikalangan masyarakat juga ditimbulkan oleh tidak efektifnya system pembinaan terhadap narapidana (Atmasasmita & Atmasasmita, 1995). Sehingga
di sini fungsi lembaga pemasyarakatan di dalam membina narapidana
perlu lebih diperhatikan.
Berdasarkan uraian
di atas permasalahan pelaksanaan tugas lembaga pemasyarakatan dalam mewujudkan tujuan pemidanaan adalah salah satu masalah yang penting saat ini. Menurut
Romli Atmasasmita, masalah narapidana sudah merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan bangsa-bangsa yang beradab. Pelbagai konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Prevention of Crime and Treatment of offender, sejak tahun 1955 sudah mengakui bahwa masalah perlakuan
terhadap khusunya narapidana, merupakan masalah internasional dan sekaligus telah ditetapkan standard minimum rules for the treatment of
prisoners.�
Berdasarkan uraian
tersebut di atas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul �Fungsionalisasi Sistem Pembinaan Narapidana Dalam Mewujudkan Tujuan
Pemidanaan�. �Adapun
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana fungsionalisasi sistem pembinaan narapidana dalam mewujudkan tujuan pemidanaan? 2) Bagaimana faktor penghambat dalam mewujudkan tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif (normative legal research) dengan
pendekatan perundang-undangan.
Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut penelitian kepustakaan, karena objek kajiannya
adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan Pustaka (Soejono, 2003).
Pendekatan undang-undang
digunakan untuk mengkaji Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
Hasil dan Pembahasan
A. Fungsionalisasi
Sistem Pembinaan Narapidana Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan
Pembinaan Narapidana
atau sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai
arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarka pancasila untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dan hidup wajar sebagai
warga negara yang bertanggung
jawab.
Menurut Bambang Purnomo, Lembaga Pemasyarakatan merupakan cara pelaksanaan pidana penjara berupa sistem proses konvensi yang melibatkan hubungan interelasi, interaksi dan integrasi antara komponen masyarakat dan komponen petugas penegak hukum yang menyelenggarakan
proses pembinaan terhadap komponen narapidana dengan sasaran untuk menghasilkan pembinaan seseorang menjadi warga yang baik dan berguna dalam masyarakat (Soedarto, 1981).
Fungsi lembaga
pemasyarakatan ialah memberi pengayoman, agar cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara, Lembaga Pemasyarakatan
bukan diadakan atas dasar balas
dendam dari negara. Negara mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana dan terhadap masyarakat. Negara tidak berhak membuat
seseorang lebih buruk atau lebih
jahat dari pada sebelum ia dipenjarakan.
Adapun yang dimaksud Narapidana
adalah seseorang melakukan tindak kejahatan dan telah menjalani persidangan, telah divonis sanksi
pidana serta ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut penjara (Widiada, 1988).
Di Indonesia perlakuan terhadap narapidana dalam sistem penjara dikenal semenjak jaman penjajahan Belanda. Pada saat itu perlakukan
terhadap narapidana tidak bertujuan untuk memperbaiki jiwa si narapidana
melainkan merupakan pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukannya, sehingga tidak ada perhatian
yang bersifat kemanusiaan
dan kesejahtera an bagi
para penghuni penjara.
Dalam sistem kepenjaraan, pandangan terhadap narapidana tidak ubahnya seperti orang yang menebus dosa. Perlakuan yang diberikan kepada narapidana diluar batas kemanusiaan. Hal ini tercermin dari keadaan bangunan penjara, kondisi kamar (sel), tempat-tempat
khusus dari narapidana yang melanggar peraturan penjara, kurangnya makanan, perawatan kesehatan dan sebagainya (Mulyadi, 2004).�
Sebagaimana disebutkan
bahwa perubahan untuk rumah penjara
menjadi Lembaga Pemasyarakatan
dan sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan adalah ide dan gagasan dari Sahardjo
yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Pergantian sebutan tersebut berkaitan dengan gagasannya untuk menjadikan Lembaga Pemasyarakatan bukan saja sebagai tempat
untuk memidana melainkan juga sebagai tempat untuk membina
atau mendidik orang-orang terpidana. Agar setelah selesai menjalani pidananya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lembaga Pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku (Petrus, 1995).�
Pokok-pokok pikiran
Sahardjo tersebut kemudian dijadikan prinsip-prinsip pokok dari konsepsi pemasyarakatan,
sehingga bukan lagi semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara,
melainkan merupakan sistem pembinaan narapidana yang sekaligus merupakan metodologi di bidang�treatment of offenders�.
Memahami fungsi
Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan
Sahardjo, sejak itu dipakai sistem
pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan
yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi Sujatno (2004): a) Pembinaan
berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina; b) Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui
keteladanan; c) Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis; �d) Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental
spiritual.
Selanjutnya, dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, disebutkan bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas Soemodiprojo (1989): a) Pengayoman,
adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi
masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan,
juga memberikan bekal hidup kepada warga
binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat. b) Persamaan perlakuan dan pelayanan, adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga
binaan pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.� c) Pendidikan dan pembimbingan
adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara
lain penanaman jiwa kekeluargaaketrampilan, pendidikan,
kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah. D Penghormatan harkat dan martabat manusia, adalah bahwa sebagai
orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlakukan
sebagai manusia.
e) Kehilangan
kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, adalah warga pemasyarakatan
harus berada dalam Lapas untuk
jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan untuk memperbaikinya. f) Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan
dengan keluarga dan
orang-orang tertentu, adalah
bahwa walaupun warga binaan pemasyarakatan
berada di Lapas, tetapi harus dekat
dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan,
hiburan ke Lapas dari anggota
masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.
Dalam sistem pemasyarakatan, praktek pemenjaraan lebih dimaksudkan sebagai suatu proses �pemanusiaan kembali� (resosialisasi) seorang narapidana yang dipandang telah mengalami ketersesatan hidup sehingga menabrak rambu-rambu sosial. Dalam presepsi demikian, maka orang tersebut perlu dibimbing dan dibina agar dapat kembali menjadi warga yang baik dan berguna dalam masyarakat (Pettanase, 2020).
Dalam Sistem Pemasyarakatan ditegaskan bahwa pembinaan narapidana tetap harus memperhatikan
hak-haknya sebagai manusia.� Kalaupun boleh memberangus hak-hak sebagai manifestasi dari suatu pemidanaan
yang harus mencerminkan
rasa derita nestapa, maka satu-satunya sumber penderitaan yang dapat dibenarkan ialah karena si
narapidana dihilangkan kemerdekaan bergeraknya baik untuk sementara
waktu maupun untuk seumur hidup.
Tidak boleh menderitakan
dan merendahkan martabat kemanusiaan terpidana, harus memperhatikan dan menghormati hak-hak asasi terpidana. Hak-hak asasi terpidana
tersebut, tidak saja perlu dihormati
oleh pembina (petugas Lapas), tetapi juga oleh masyarakat.
Dikarenakan, pembinaan
narapidana yang mengikutsertakan
peran masyarakat luas tersebut sangat sejalan dengan konsep communitybased treatment
yang sudah menjadi pemikiran luas dari perkembangan akhir mengenai idealita pelaksaan pidana penjara. Akomodasi terhadap konsep di atas, setidaknya tercermin dalam Pasal 1 angka
2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menegaskan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan
mengenai arah dan batas serta pembinaan warga binaan pemasyarakatan
berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan
secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat.
Dipertimbangkannya unsur masyarakat sebagai salah satu komponen Sistem
Pemasyarakatan adalah rasional dan tepat, mengingat narapidana bagaimanapun adalah anggota masyarakat dan nantinya setelah lepas menjalani hukuman, ia akan
kembali juga ke masyarakat.
Sistem pembinaan
narapidana, dilakukan melalui beberapa tahap pembinaan yang terdiri atas:
a. Tahap
pertama (maksimum security)
atau tahap awal
Pada tahap ini terhadap
narapidana diberikan pengawasan dimulai sejak yang bersangkuan berstatus sebagai narapidana sampai dengan sepertiga (1/3) dari masa pidana.
b. Tahap
kedua (medium security) atau
tahap lanjutan pertama
Pada tahap ini pembinaan
dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai
dengan � (satu per dua) dari masa pidana.
c. Tahap
ketiga (minimum security) atau
tahap lanjutan kedua
Pada tahap ini pembinaan
narapidana dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap-tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana yang sebenarnya, narapidana sudah dapat diasimilasikan
keluar lembaga pemasyarakatan tanpa pengawalan.
d. Tahap
keempat (interograsi) atau pembinaan tahap akhir
Pada tahap ini diberikan
sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan berakhirnya
masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. Apabila sudah menjalani
masa tersebut dan paling sedikit
sembilan bulan seorang narapidana dapat diusulkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan
asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan dari pemidanaan,
melalui fungsinya yang memberikan pendidikan, rehabilitasi dan juga reintegrasi
dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga diterima kembali oleh lingkungan masyarakat (Pettanase, 2020).
B. Faktor
Penghambat Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan
Keterbatasan kemampuan
hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan telah banyak diungkapkan oleh para sarjana. Menurut Rubin bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki)
sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. Selanjutnya Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan didalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhungan dengan bekerjanya atau fungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat (Widiada, 1988).
Adapun Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya
harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan
faktor-faktor lain yang membentuk
sikap dan tindakan kita. Kemudian Wolf Middendorf menyatakan, bahwa sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari �general
deterrence� karena mekanisme
pencegahan (deterrence) itu
tidak diketahui. Kita tidak dapat mengetahui
hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan akibat.
Orang mungkin melakukan kejahatan atau mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan
dengan ada tidaknya undang-undang atau pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah
perbuatan yang sama kuatnya dengan kekuatan orang pada pidana (Wulandari,
2016).
Dikemukakan pula oleh Wolf Middendorf, bahwa dalam prakteknya
sulit menetapkan jumlah (lamanya) pidana yang sangat cocok dengan kejahatan dan kepribadian sipelanggar karena tidak ada
hubungan logis antara kejahatan dengan jumlah lamanya
pidana. Akhirnya ditegaskan olehnya, bahwa kita masih
sangat sedikit mengetahui tentang apa yang membuat seorang terpidana kembali melakukan atau tidak melakukan aktivitas kejahatan.
Kedudukan, sifat
dan fungsi hukum ternyata sangat luas dan penting peranannya terutama di dalam masyarakat yang sedang membangun, seperti Indonesia. Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari bebagai
sisi yang berbeda. Plato menyatakan bahwa emas, manusia adalah
merupakan sumber dari banyak kejahatan.
Aristoteles menyatakan bahwa
kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan.
Thomas Aquino memberikan pendapatnya
tentang pengaruh kemiskinan atas kejahatan. �Orang kaya yang hidup
untuk kesenangan dan memboros-boroskan kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah menjadi pencuri�.
Tujuan dari norma adalah untuk ditaati diperlukan
untuk suatu sanksi. Dalam ilmu hukum dikenal berbagai
norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan,
norma kesusilaan, norma adat,
norma agama dan norma hukum. Diantara
norma-norma tersebut bentuk
sanksi yang paling hebat terdapat dalam hukum pidana yaitu
sanksi berupa derita atau nestapa
yang diberikan secara sadar dan sengaja pada seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Pasal 10 KUHP menetapkan empat bentuk hukuman
pokok bagi seorang pelaku tindak pidana yaitu
hukuman mati, penjara, kurungan dan denda (Lamintang, 2004).
Adalah suatu kenyataan bahwa hukum pidana
tidaklah efektif. Thomas
More membuktikan bahwa sanksi yang berat bukanlah faktor yang utama untuk memacu
efektivitas dari hukum pidana. Adalah suatu kenyataan pada zamannya para pencopet tetap bereaksi ditengah kerumunan masyarakat yang tengah menyaksikan suatu eksekusi hukuman mati pada 24 penjahat. Suatu gambaran bahwa orang menjadi masa bodoh dengan hukum
pidana.
Menurut Mochtar
Kusumaatmadja, Pemasyarakatan
sebagai suatu sistem, menghadapi beberapa masalah pokok dalam mewujudkan
tujuan pemidanaan, yakni Kusumaatmadja (1975): a) masalah
sarana peraturan perundang-undangan; b) masalah
personalia; c) masalah sarana
administrasi keuangan; dan d)
masalah sarana fisik.
Pemasayarakatan sebagai
sistem pembinaan narapidana sesungguhnya telah mencerminkan konsep-konsep ideal mengenai bagaimana seharusnya mengenai seseorang yang sedang tersesat jalan hidupnya karena terlibat sesuatu perilaku kriminal. Namun realitas menunjukkan bahwa operasionalisasi sistem pemasyarakatannya dalam praktek sering
terbentur oleh berbagai kendala baik yang bersifat yuridis, kultural-sosiologis maupun teknis sehingga aplikasinya tidak optimal.
Akan tetapi idealitas Sistem Pemasyarakatan di atas masih sering
hanya merupakan das Sollen (konsep normatif). Sedangkan dalam realitas, praktek pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tersebut tidak jarang diwarnai dengan munculnya berbagai macam kasus yang justru dapat menjauhkan dari tujuan pemasyarakatan
itu sendiri.
Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat terselenggaranya tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
a. Keterpaduan
diantara sub sistem peradilan pidana
Posisi strategis
sekaligus urgensif dari sistem pemasyarakatan
bagai upaya pencapaian tujuan pemidanaan bahkan tujuan penegakan hukum secara keseluruhan
ialah kedudukan Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi pelaksana sistem pemasyarakatan yang merupakan mata rantai (sub sistem) terakhir dari bekerjanya
sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub-sub sistem lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Posisi strategis
yang dimiliki lembaga pemasyarakatan sebagai institusi operator sistem pemasyarakatan, dalam kinerjanya ternyata tidak selalu bersesuaian
dengan idealita yang dikonsepkan. Justru karena posisi strategis
dan urgensif tersebut, keberadaan lembaga pemasyarakatan sering terhalang oleh berbagai kendala yang sekaligus merupakan sisi kelemahannya.
Kendala-kendala tersebut antara lain ialah adanya mispersepsion di antara sub sistem dalam sistem peradilan
pidana mengenai tugas dan tanggung jawab pembinaan seorang yang sedang tersesat perilakunya karena suatu tindakan
pidana. Artinya, baik kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan pada umumnya berpandangan bahwa urusan pembinaan pelaku tindakan pidana adalah merupakan
tugas dan tanggung jawab lembaga pemasyarakatan.
b. Undang-undang
Adanya kendala/kelemahan internal yang bersumber pada Undang-undang Nomor 12 tahun 1995tentang Pemasyarakatan sebagai basis yuridis normatif bagi penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Artinya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai pengganti reglement kepenjaraan yang kelahirannya telah ditunggu puluhan tahun, ternyata masih mencantumkan ketentuan-ketentuan yang justru �menampilkan� sisi kelemahan.
c. Pelaku
kejahatan
Ada orang yang dilahirkan jahat, namun lingkunganpun memiliki pengaruh dalam pembentukan perilaku jahat tersebut. Bonger menulis dalam bukunya Pengantar
Tentang Kriminologi bahwa kejahatan anak-anak dan pemuda sudah merupakan bagian yang besar dalam kejaha
tan. Lagi pula, kebanyakan penjahat-penjahat dewasa sejak mudanya
sudah menjadi penjahat dan merosot susilanya sejak masa anak-anak. E. Sutherland, seorang
kriminolog Amerika, mengatakan
bahwa tingkah laku kriminal itu
dipelajari, sebagaimana halnya tingkah laku non kriminal. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan
yang akrab. Karena itu sering kita dengar
sindiran bahwa �penjahat kelas teri� bersekolah dengan �penjahat kelas kakap�.
d. Sumber
Daya Manusia, dalam hal ini Petugas
Lapas
Kemampuan personil
(human resource) lembaga pemasyarakatan
yang secara umum kurang memadai untuk �menerjemahkan� konsep pemasyarakatan dalam menjalankan tugas pembinaan. Kendala ini biasanya bermuara
pada latar belakang status pendidikan petugas Lapas yang sebagian besar di bawah tamatan SLTA. Ditambah lagi para petugas yang berpola pikir pada ajaran absolud, yaitu mereka beranggapan
bahwa pidana adalah konsekuensi logis (yang harus ada) karena telah
dilakukannya suatu kejahatan oleh seseorang.
e. Sarana
Masalah sarana dan prasarana operasional sistem pemasyarakatan khususnya yang berupa sarana fisik
(gedung bangunan Lapas) yang sebagian masih berwujud gedung-gedung penjara warisan masa kolonial. Sekalipun sebagian diantaranya ada yang sudah direnovasi dan dimodifikasi, namun kenyataan demikian tetap kurang kondusif
bagi implementasi sistem pemasyarakatan secara optimal.
Bukan hanya itu, sarana untuk
menunjang program pembinaan
saja sering menimbulkan permasalahan, misalnya dalam hal kesehatan. Kehidupan di lembaga pemasyarakatan sangat berat dirasakan oleh para warga binaan dari latar
belakang ekonomi menengah kebawah. Betapa tidak, bahwa
untuk perlengkapan mandi saja seperti sabun,
para warga binaan harus membeli sendiri
karena tidak disediakan secara gratis.
f. Budaya
Hukum
Keperansertaan pemasyarakatan
sebagai salah satu unit kegiatan di lingkungan Departeman Kehakiman Republik Indonesia, belum dilaksanakan secara optimal terutama di dalam upaya menunjang program pembangunan dalam meningkatkan sumber daya manusia. Adanya persepsi negatif di kalangan masyarakat luas bahwa Lapas
tidak lebih dari sebuah �sekolah
kejahatan�. Image demikian ini muncul karena
di dalam Lapas berkumpul segala macam jenis pelaku
tindak pidana yang bisa saling berkomunikasi
sehingga potensi bagi terjadinya suasana saling mempengaruhi.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa
begitu banyaknya faktor yang menghambat terselenggaranya tujuan pemidanaan dalam pelaksanaan fungsi lembaga pemasyarakatan. Faktor-faktor tersebut telah mempengaruhi pelaksaan fungsi pembinaan yang merupakan salah satu fungsi lembaga
pemasyarakatan yang bertujuan
agar seseorang tidak melakukan kejahatan serta agar narapidana dapat kembali ke
dalam masyarakat setelah mereka selesai menjalani hukuman dan tidak melakukan kejahatan lagi dalam masyarakat.
Tidak terlaksananya dengan baik fungsi lembaga
pemasyarakatan ini terlihat dari semakin
meningkatnya jumlah residivis.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut
di atas, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan sebagai berikut:
Pembinaan Narapidana atau
sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan
mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
Warga Binaan Pemasyarakatan
berdasarkan pancasila untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dan hidup wajar sebagai
warga negara yang bertanggung
jawab.�
Untuk itu fungsionalisasi
sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
dalam mewujudkan tujuan pemidanaan adalah sebagai lembaga pelaksana pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan
yang berasaskan pengayoman melalui fungsinya yaitu memberikan pendidikan, rehabilitasi dan juga
reintegrasi dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, sehingga dapat mencapai tujuan pemidanaan yang tidak berorientasi pada pembalasan.
Dalam realitanya, praktek pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tidak jarang diwarnai
dengan munculnya berbagai macam kasus yang justru dapat menjauhkan dari tujuan pemidanaan
itu sendiri. Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat terselenggaranya tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan adalah dipengaruhi oleh faktor keterpaduan diantara sub sistem peradilan pidana, faktor undang-undang yang masih terkesan �berseberangan� dengan spirit pembinaan, faktor pelaku kejahatan,
faktor sumber daya manusia, dalam
hal ini Petugas
Lapas, faktor sarana prasarana dan faktor budaya hukum.
Faktor-faktor tersebut telah mempengaruhi pelaksaan fungsi pembinaan yang merupakan salah satu fungsi lembaga pemasyarakatan yang bertujuan
agar seseorang tidak melakukan kejahatan serta agar narapidana dapat kembali ke
dalam masyarakat setelah mereka selesai menjalani hukuman dan tidak melakukan kejahatan lagi dalam masyarakat.
Tidak terlaksananya dengan baik fungsi lembaga
pemasyarakatan ini terlihat dari semakin
meningkatnya jumlah residivis.
BIBLIOGRAPHY
Atmasasmita, R., & Atmasasmita, R. (1995). Kapita
selekta hukum pidana dan kriminologi. Mandar Maju.
Harsono, C. I. (1995). Sistem baru
pembinaan narapidana. Djambatan.
Kadri
Husin, S., & Budi Rizki Husin, S. (2022). Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia. Sinar Grafika.
Kusumaatmadja,
M. (1975). Pembinaan Hukum dalam rangka pembangunan nasional. (No Title).
Lamintang,
P. A. F. (2004). Hukum Penitensier Indonesia, CV. Armico, Bandung.
Mulyadi,
L. (2004). Kapita selekta hukum pidana kriminologi & victimologi.
Djambatan.
Petrus,
I. P. (1995). Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Pettanase,
I. (2020). Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan. Jurnal Hukum
Tri Pantang, 6(1), 5�14.
Soedarto.
(1981). Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.
Soejono,
H. A. (2003). Metode penelitian hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soemodiprojo,
R. A. S., & Atmasasmita, R. (1989). Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Bandung.
Bina Aksara.
Sujatno,
A. (2004). Sistem Pemasyarakatan membangun manusia mandiri. Jakarta:
Direktorat Pemasyarakatan Departemen Hukum Dan HAM RI.
Susanto
Anthon, F. (2004). Wajah Peradilan Kita. PT. Refika Aditama, Bandung.
Widiada,
G. A. (1988). Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung: Armico.
Wulandari,
S. (2016). Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan
Terhadap Tujuan Pemidanaan. Jurnal Ilmiah Hukum Dan Dinamika Masyarakat,
9(2).
Copyright holder: Rahmat Bayu Wibisono, Rani Yuwafi (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |