Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 10, Oktober 2023

 

FUNGSIONALISASI SISTEM PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM MEWUJUDKAN TUJUAN PEMIDANAAN

 

Rahmat Bayu Wibisono, Rani Yuwafi

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini menghasilkan kesimpulan fungsionalisasi sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam mewujudkan tujuan pemidanaan adalah sebagai lembaga pelaksana pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang berasaskan pengayoman melalui fungsinya yaitu memberikan pendidikan, rehabilitasi dan juga reintegrasi. Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat terselenggaranya tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan adalah dipengaruhi oleh faktor keterpaduan diantara sub sistem peradilan pidana, faktor undang-undang yang masih terkesanberseberangandengan spirit pembinaan, faktor pelaku kejahatan, faktor sumber daya manusia, dalam hal ini Petugas Lapas, faktor sarana prasarana dan faktor budaya hukum.

 

Kata Kunci: Sistem Pembinaan, Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan.

 

Abstract

The model of coaching for prisoners in Correctional Institutions is inseparable from a dynamic, which aims to provide more provisions for prisoners in facing life after completing their sentence (free). The research method used is normative juridical. The results of this study conclude that the functionalization of the prisoner development system in the Penitentiary in realizing the purpose of punishment is as an implementing agency for the guidance of prisoners based on protection through its functions, namely providing education, rehabilitation and also reintegration. The factors that hinder the implementation of the purpose of sentencing in Correctional Institutions are influenced by the factor of integration between the criminal justice sub-systems, the factors of the law that still seem "opposite" to the spirit of development, the factor of the perpetrators of the crime, the factor of human resources, in this case Prison officers, infrastructure factors and legal culture factors.

 

Keywords: Guidance System, Prisoners, Correctional Institution.

Pendahuluan

Pada dasarnya sistem peradilan pidana, merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan (Mulyadi, 2004). Di Indonesia sistem peradilan pidana terbagi dan dilaksanakan oleh 4 (empat) lembaga penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian, Lembaga Kejaksaan, Lembaga Peradilan dan Lembaga Pemasyarakatan (Kadri Husin & Budi Rizki Husin, 2022). Lembaga Pemasyarakatan merupakan komponen terakhir dalam Sistem Peradilan Pidana yang berfungsi memberikan pembinaan kepada narapidana. Sebagai komponen terakhir dalam suatu Sistem Peradilan Pidana, keberadaan lembaga ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

Secara normatif, lembaga eksekusi dalam perkara pidana ini, berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Pemasyarakatan, Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak-anak didik pemasyarakatan. Pembinaan tersebut merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Lembaga pemasyarakatan (Lapas) dibebani tugas guna mewujudkan, tujuan sistem peradilan pidana, yaitu (Harsono, 1995): 1) Tujuan jangka pendek yaitu sistem peradilan pidana bertujuan merehabilitasi, meresosialisasi atau memperbaiki pelaku tindak pidana. 2) Tujuan jangka menengah yaitu sebagaimana fungsi peradilan hukum pidana dan fungsi khusus hukum pidana adalah menciptakan ketertiban umum dan mengendalikan kejahatan sampai pada titik yang paling rendah. 3) Tujuan jangka panjang yaitu sistem peradilan pidana bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial masyarakat.

Dalam menjalankan wewenangnya, Lapas berorientasi kepada sebuah sistem pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila. Tujuannya untuk membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat (Petrus, 1995).

Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan.

Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Rahardjo, S.H. yang menjabat Menteri Kehakiman RI saat itu.

Menurut Gillin beberapa ciri umum lembaga kemasyarakatan antara lain, sebagai berikut Susanto Anthon (2004): 1) Suatu lembaga kemasyarakatan adalah organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri dari adat-istiadat, tata-kelakuan, kebiasaan serta unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional.

2) Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem kepercayaan dan aneka macam tindakan, baru akan menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah melewati waktu yang relatif lama. 3) Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. 4) Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan, seperti bangunan, peralatan, mesin dan lain sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-alat tersebut biasanya berlainan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. 5) Lambang-lambang biasanya merupakan ciri khas dari lembaga kemasyarakatan. Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan. 6) Suatu Lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi tertulis atau yang tidak tertulis, yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku dan lain-lain.

Mengingat perubahan sistem kepenjaraan mejadi sistem pemasyarakatan, serta eksistensi Lapas yang diakui oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan tersebut diatas, seyogiyanya pelaksanaan sistem pemasyarakatan diarahkan pada tujuan pemidanaan sebagaimana dirumuskan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, yang berbunyi: �Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab�.

Sehingga para warga binaan seyogiyanya diperlakukan sebagai seorang manusia. Pandangan umum masa kini terhadap pemidanaan ternyata tidak hanya diarahkan pada aspek pembinaan, melainkan telah menunjukkan suatu sikap pembalasan. Menurut Romli Atmasasmita, diakui bahwa masih ada anggapan dikalangan masyarakat dan aparatur pemerintah, bahwa masalah narapidana dan penempatannya di Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat buangan sampah masyarakat dan penghamburan dana yang sia-sia.

Selain itu sikap masyarakat yang masih belum sepenuhnya dapat menerima bekas narapidana. Konsekuensinya tidak sedikit terpidana yang kembali melakukan aktifitas kejahatan setelah mereka kembali pada masyarakat. Munculnya para residivis dikalangan masyarakat juga ditimbulkan oleh tidak efektifnya system pembinaan terhadap narapidana (Atmasasmita & Atmasasmita, 1995). Sehingga di sini fungsi lembaga pemasyarakatan di dalam membina narapidana perlu lebih diperhatikan.

Berdasarkan uraian di atas permasalahan pelaksanaan tugas lembaga pemasyarakatan dalam mewujudkan tujuan pemidanaan adalah salah satu masalah yang penting saat ini. Menurut Romli Atmasasmita, masalah narapidana sudah merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan bangsa-bangsa yang beradab. Pelbagai konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Prevention of Crime and Treatment of offender, sejak tahun 1955 sudah mengakui bahwa masalah perlakuan terhadap khusunya narapidana, merupakan masalah internasional dan sekaligus telah ditetapkan standard minimum rules for the treatment of prisoners.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judulFungsionalisasi Sistem Pembinaan Narapidana Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan�. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana fungsionalisasi sistem pembinaan narapidana dalam mewujudkan tujuan pemidanaan? 2) Bagaimana faktor penghambat dalam mewujudkan tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan?

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif (normative legal research) dengan pendekatan perundang-undangan. Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut penelitian kepustakaan, karena objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan Pustaka (Soejono, 2003).

Pendekatan undang-undang digunakan untuk mengkaji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Fungsionalisasi Sistem Pembinaan Narapidana Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan

Pembinaan Narapidana atau sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarka pancasila untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dan hidup wajar sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Menurut Bambang Purnomo, Lembaga Pemasyarakatan merupakan cara pelaksanaan pidana penjara berupa sistem proses konvensi yang melibatkan hubungan interelasi, interaksi dan integrasi antara komponen masyarakat dan komponen petugas penegak hukum yang menyelenggarakan proses pembinaan terhadap komponen narapidana dengan sasaran untuk menghasilkan pembinaan seseorang menjadi warga yang baik dan berguna dalam masyarakat (Soedarto, 1981).

Fungsi lembaga pemasyarakatan ialah memberi pengayoman, agar cita-cita luhur bangsa tercapai dan terpelihara, Lembaga Pemasyarakatan bukan diadakan atas dasar balas dendam dari negara. Negara mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana dan terhadap masyarakat. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia dipenjarakan. Adapun yang dimaksud Narapidana adalah seseorang melakukan tindak kejahatan dan telah menjalani persidangan, telah divonis sanksi pidana serta ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut penjara (Widiada, 1988).

Di Indonesia perlakuan terhadap narapidana dalam sistem penjara dikenal semenjak jaman penjajahan Belanda. Pada saat itu perlakukan terhadap narapidana tidak bertujuan untuk memperbaiki jiwa si narapidana melainkan merupakan pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukannya, sehingga tidak ada perhatian yang bersifat kemanusiaan dan kesejahtera an bagi para penghuni penjara.

Dalam sistem kepenjaraan, pandangan terhadap narapidana tidak ubahnya seperti orang yang menebus dosa. Perlakuan yang diberikan kepada narapidana diluar batas kemanusiaan. Hal ini tercermin dari keadaan bangunan penjara, kondisi kamar (sel), tempat-tempat khusus dari narapidana yang melanggar peraturan penjara, kurangnya makanan, perawatan kesehatan dan sebagainya (Mulyadi, 2004).

Sebagaimana disebutkan bahwa perubahan untuk rumah penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan dan sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan adalah ide dan gagasan dari Sahardjo yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Pergantian sebutan tersebut berkaitan dengan gagasannya untuk menjadikan Lembaga Pemasyarakatan bukan saja sebagai tempat untuk memidana melainkan juga sebagai tempat untuk membina atau mendidik orang-orang terpidana. Agar setelah selesai menjalani pidananya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lembaga Pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku (Petrus, 1995).

Pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut kemudian dijadikan prinsip-prinsip pokok dari konsepsi pemasyarakatan, sehingga bukan lagi semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan sistem pembinaan narapidana yang sekaligus merupakan metodologi di bidang�treatment of offenders�.

Memahami fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang dilontarkan Sahardjo, sejak itu dipakai sistem pemasyarakatan sebagai metode dan pemasyarakatan sebagai proses. Dengan dipakainya sistem pemasyarakatan sebagai metode pembinaan narapidana, jelas terjadi perubahan fungsi Lembaga Pemasyarakatan yang tadinya sebagai tempat pembalasan berganti sebagai tempat pembinaan. Di dalam perjalanannya, bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana yang meliputi Sujatno (2004): a) Pembinaan berupa interaksi langsung sifatnya kekeluargaan antara pembina dan yang dibina; b) Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku melalui keteladanan; c) Pembinaan berencana, terus-menerus dan sistematis; d) Pembinaan kepribadian yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, keterampilan, mental spiritual.

Selanjutnya, dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, disebutkan bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas Soemodiprojo (1989): a) Pengayoman, adalah perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat. b) Persamaan perlakuan dan pelayanan, adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.c) Pendidikan dan pembimbingan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaaketrampilan, pendidikan, kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah. D Penghormatan harkat dan martabat manusia, adalah bahwa sebagai orang yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

e) Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, adalah warga pemasyarakatan harus berada dalam Lapas untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan untuk memperbaikinya. f) Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu, adalah bahwa walaupun warga binaan pemasyarakatan berada di Lapas, tetapi harus dekat dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke Lapas dari anggota masyarakat yang bebas dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.

Dalam sistem pemasyarakatan, praktek pemenjaraan lebih dimaksudkan sebagai suatu proses �pemanusiaan kembali� (resosialisasi) seorang narapidana yang dipandang telah mengalami ketersesatan hidup sehingga menabrak rambu-rambu sosial. Dalam presepsi demikian, maka orang tersebut perlu dibimbing dan dibina agar dapat kembali menjadi warga yang baik dan berguna dalam masyarakat (Pettanase, 2020).

Dalam Sistem Pemasyarakatan ditegaskan bahwa pembinaan narapidana tetap harus memperhatikan hak-haknya sebagai manusia.Kalaupun boleh memberangus hak-hak sebagai manifestasi dari suatu pemidanaan yang harus mencerminkan rasa derita nestapa, maka satu-satunya sumber penderitaan yang dapat dibenarkan ialah karena si narapidana dihilangkan kemerdekaan bergeraknya baik untuk sementara waktu maupun untuk seumur hidup. Tidak boleh menderitakan dan merendahkan martabat kemanusiaan terpidana, harus memperhatikan dan menghormati hak-hak asasi terpidana. Hak-hak asasi terpidana tersebut, tidak saja perlu dihormati oleh pembina (petugas Lapas), tetapi juga oleh masyarakat.

Dikarenakan, pembinaan narapidana yang mengikutsertakan peran masyarakat luas tersebut sangat sejalan dengan konsep communitybased treatment yang sudah menjadi pemikiran luas dari perkembangan akhir mengenai idealita pelaksaan pidana penjara. Akomodasi terhadap konsep di atas, setidaknya tercermin dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menegaskan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat.

Dipertimbangkannya unsur masyarakat sebagai salah satu komponen Sistem Pemasyarakatan adalah rasional dan tepat, mengingat narapidana bagaimanapun adalah anggota masyarakat dan nantinya setelah lepas menjalani hukuman, ia akan kembali juga ke masyarakat.

Sistem pembinaan narapidana, dilakukan melalui beberapa tahap pembinaan yang terdiri atas:

a. Tahap pertama (maksimum security) atau tahap awal

Pada tahap ini terhadap narapidana diberikan pengawasan dimulai sejak yang bersangkuan berstatus sebagai narapidana sampai dengan sepertiga (1/3) dari masa pidana.

b. Tahap kedua (medium security) atau tahap lanjutan pertama

Pada tahap ini pembinaan dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan � (satu per dua) dari masa pidana.

c. Tahap ketiga (minimum security) atau tahap lanjutan kedua

Pada tahap ini pembinaan narapidana dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap-tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana yang sebenarnya, narapidana sudah dapat diasimilasikan keluar lembaga pemasyarakatan tanpa pengawalan.

d. Tahap keempat (interograsi) atau pembinaan tahap akhir

Pada tahap ini diberikan sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. Apabila sudah menjalani masa tersebut dan paling sedikit sembilan bulan seorang narapidana dapat diusulkan untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.

Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan dari pemidanaan, melalui fungsinya yang memberikan pendidikan, rehabilitasi dan juga reintegrasi dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga diterima kembali oleh lingkungan masyarakat (Pettanase, 2020).

 

B.     Faktor Penghambat Dalam Mewujudkan Tujuan Pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan

Keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan telah banyak diungkapkan oleh para sarjana. Menurut Rubin bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. Selanjutnya Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan didalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhungan dengan bekerjanya atau fungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat (Widiada, 1988).

Adapun Johannes Andenaes menyatakan, bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan kita. Kemudian Wolf Middendorf menyatakan, bahwa sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari �general deterrence� karena mekanisme pencegahan (deterrence) itu tidak diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan akibat.

Orang mungkin melakukan kejahatan atau mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya undang-undang atau pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan yang sama kuatnya dengan kekuatan orang pada pidana (Wulandari, 2016).

Dikemukakan pula oleh Wolf Middendorf, bahwa dalam prakteknya sulit menetapkan jumlah (lamanya) pidana yang sangat cocok dengan kejahatan dan kepribadian sipelanggar karena tidak ada hubungan logis antara kejahatan dengan jumlah lamanya pidana. Akhirnya ditegaskan olehnya, bahwa kita masih sangat sedikit mengetahui tentang apa yang membuat seorang terpidana kembali melakukan atau tidak melakukan aktivitas kejahatan.

Kedudukan, sifat dan fungsi hukum ternyata sangat luas dan penting peranannya terutama di dalam masyarakat yang sedang membangun, seperti Indonesia. Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari bebagai sisi yang berbeda. Plato menyatakan bahwa emas, manusia adalah merupakan sumber dari banyak kejahatan. Aristoteles menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Thomas Aquino memberikan pendapatnya tentang pengaruh kemiskinan atas kejahatan. �Orang kaya yang hidup untuk kesenangan dan memboros-boroskan kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah menjadi pencuri�.

Tujuan dari norma adalah untuk ditaati diperlukan untuk suatu sanksi. Dalam ilmu hukum dikenal berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat, norma agama dan norma hukum. Diantara norma-norma tersebut bentuk sanksi yang paling hebat terdapat dalam hukum pidana yaitu sanksi berupa derita atau nestapa yang diberikan secara sadar dan sengaja pada seseorang yang telah melakukan suatu pelanggaran hukum. Pasal 10 KUHP menetapkan empat bentuk hukuman pokok bagi seorang pelaku tindak pidana yaitu hukuman mati, penjara, kurungan dan denda (Lamintang, 2004).

Adalah suatu kenyataan bahwa hukum pidana tidaklah efektif. Thomas More membuktikan bahwa sanksi yang berat bukanlah faktor yang utama untuk memacu efektivitas dari hukum pidana. Adalah suatu kenyataan pada zamannya para pencopet tetap bereaksi ditengah kerumunan masyarakat yang tengah menyaksikan suatu eksekusi hukuman mati pada 24 penjahat. Suatu gambaran bahwa orang menjadi masa bodoh dengan hukum pidana.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Pemasyarakatan sebagai suatu sistem, menghadapi beberapa masalah pokok dalam mewujudkan tujuan pemidanaan, yakni Kusumaatmadja (1975): a) masalah sarana peraturan perundang-undangan; b) masalah personalia; c) masalah sarana administrasi keuangan; dan d) masalah sarana fisik.

Pemasayarakatan sebagai sistem pembinaan narapidana sesungguhnya telah mencerminkan konsep-konsep ideal mengenai bagaimana seharusnya mengenai seseorang yang sedang tersesat jalan hidupnya karena terlibat sesuatu perilaku kriminal. Namun realitas menunjukkan bahwa operasionalisasi sistem pemasyarakatannya dalam praktek sering terbentur oleh berbagai kendala baik yang bersifat yuridis, kultural-sosiologis maupun teknis sehingga aplikasinya tidak optimal.

Akan tetapi idealitas Sistem Pemasyarakatan di atas masih sering hanya merupakan das Sollen (konsep normatif). Sedangkan dalam realitas, praktek pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tersebut tidak jarang diwarnai dengan munculnya berbagai macam kasus yang justru dapat menjauhkan dari tujuan pemasyarakatan itu sendiri.

Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat terselenggaranya tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai berikut:

a. Keterpaduan diantara sub sistem peradilan pidana

Posisi strategis sekaligus urgensif dari sistem pemasyarakatan bagai upaya pencapaian tujuan pemidanaan bahkan tujuan penegakan hukum secara keseluruhan ialah kedudukan Lembaga Pemasyarakatan sebagai institusi pelaksana sistem pemasyarakatan yang merupakan mata rantai (sub sistem) terakhir dari bekerjanya sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub-sub sistem lainnya seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Posisi strategis yang dimiliki lembaga pemasyarakatan sebagai institusi operator sistem pemasyarakatan, dalam kinerjanya ternyata tidak selalu bersesuaian dengan idealita yang dikonsepkan. Justru karena posisi strategis dan urgensif tersebut, keberadaan lembaga pemasyarakatan sering terhalang oleh berbagai kendala yang sekaligus merupakan sisi kelemahannya.

Kendala-kendala tersebut antara lain ialah adanya mispersepsion di antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana mengenai tugas dan tanggung jawab pembinaan seorang yang sedang tersesat perilakunya karena suatu tindakan pidana. Artinya, baik kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan pada umumnya berpandangan bahwa urusan pembinaan pelaku tindakan pidana adalah merupakan tugas dan tanggung jawab lembaga pemasyarakatan.

 

b. Undang-undang

Adanya kendala/kelemahan internal yang bersumber pada Undang-undang Nomor 12 tahun 1995tentang Pemasyarakatan sebagai basis yuridis normatif bagi penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Artinya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagai pengganti reglement kepenjaraan yang kelahirannya telah ditunggu puluhan tahun, ternyata masih mencantumkan ketentuan-ketentuan yang justrumenampilkansisi kelemahan.

 

c. Pelaku kejahatan

Ada orang yang dilahirkan jahat, namun lingkunganpun memiliki pengaruh dalam pembentukan perilaku jahat tersebut. Bonger menulis dalam bukunya Pengantar Tentang Kriminologi bahwa kejahatan anak-anak dan pemuda sudah merupakan bagian yang besar dalam kejaha tan. Lagi pula, kebanyakan penjahat-penjahat dewasa sejak mudanya sudah menjadi penjahat dan merosot susilanya sejak masa anak-anak. E. Sutherland, seorang kriminolog Amerika, mengatakan bahwa tingkah laku kriminal itu dipelajari, sebagaimana halnya tingkah laku non kriminal. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Karena itu sering kita dengar sindiran bahwapenjahat kelas teribersekolah denganpenjahat kelas kakap�.

 

d. Sumber Daya Manusia, dalam hal ini Petugas Lapas

Kemampuan personil (human resource) lembaga pemasyarakatan yang secara umum kurang memadai untukmenerjemahkankonsep pemasyarakatan dalam menjalankan tugas pembinaan. Kendala ini biasanya bermuara pada latar belakang status pendidikan petugas Lapas yang sebagian besar di bawah tamatan SLTA. Ditambah lagi para petugas yang berpola pikir pada ajaran absolud, yaitu mereka beranggapan bahwa pidana adalah konsekuensi logis (yang harus ada) karena telah dilakukannya suatu kejahatan oleh seseorang.

 

e. Sarana

Masalah sarana dan prasarana operasional sistem pemasyarakatan khususnya yang berupa sarana fisik (gedung bangunan Lapas) yang sebagian masih berwujud gedung-gedung penjara warisan masa kolonial. Sekalipun sebagian diantaranya ada yang sudah direnovasi dan dimodifikasi, namun kenyataan demikian tetap kurang kondusif bagi implementasi sistem pemasyarakatan secara optimal.

Bukan hanya itu, sarana untuk menunjang program pembinaan saja sering menimbulkan permasalahan, misalnya dalam hal kesehatan. Kehidupan di lembaga pemasyarakatan sangat berat dirasakan oleh para warga binaan dari latar belakang ekonomi menengah kebawah. Betapa tidak, bahwa untuk perlengkapan mandi saja seperti sabun, para warga binaan harus membeli sendiri karena tidak disediakan secara gratis.

 

f. Budaya Hukum

Keperansertaan pemasyarakatan sebagai salah satu unit kegiatan di lingkungan Departeman Kehakiman Republik Indonesia, belum dilaksanakan secara optimal terutama di dalam upaya menunjang program pembangunan dalam meningkatkan sumber daya manusia. Adanya persepsi negatif di kalangan masyarakat luas bahwa Lapas tidak lebih dari sebuahsekolah kejahatan�. Image demikian ini muncul karena di dalam Lapas berkumpul segala macam jenis pelaku tindak pidana yang bisa saling berkomunikasi sehingga potensi bagi terjadinya suasana saling mempengaruhi.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa begitu banyaknya faktor yang menghambat terselenggaranya tujuan pemidanaan dalam pelaksanaan fungsi lembaga pemasyarakatan. Faktor-faktor tersebut telah mempengaruhi pelaksaan fungsi pembinaan yang merupakan salah satu fungsi lembaga pemasyarakatan yang bertujuan agar seseorang tidak melakukan kejahatan serta agar narapidana dapat kembali ke dalam masyarakat setelah mereka selesai menjalani hukuman dan tidak melakukan kejahatan lagi dalam masyarakat. Tidak terlaksananya dengan baik fungsi lembaga pemasyarakatan ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah residivis.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

Pembinaan Narapidana atau sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan pancasila untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dan hidup wajar sebagai warga negara yang bertanggung jawab.

Untuk itu fungsionalisasi sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dalam mewujudkan tujuan pemidanaan adalah sebagai lembaga pelaksana pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang berasaskan pengayoman melalui fungsinya yaitu memberikan pendidikan, rehabilitasi dan juga reintegrasi dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, sehingga dapat mencapai tujuan pemidanaan yang tidak berorientasi pada pembalasan.

Dalam realitanya, praktek pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tidak jarang diwarnai dengan munculnya berbagai macam kasus yang justru dapat menjauhkan dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Adapun faktor-faktor yang menjadi penghambat terselenggaranya tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan adalah dipengaruhi oleh faktor keterpaduan diantara sub sistem peradilan pidana, faktor undang-undang yang masih terkesanberseberangandengan spirit pembinaan, faktor pelaku kejahatan, faktor sumber daya manusia, dalam hal ini Petugas Lapas, faktor sarana prasarana dan faktor budaya hukum.

Faktor-faktor tersebut telah mempengaruhi pelaksaan fungsi pembinaan yang merupakan salah satu fungsi lembaga pemasyarakatan yang bertujuan agar seseorang tidak melakukan kejahatan serta agar narapidana dapat kembali ke dalam masyarakat setelah mereka selesai menjalani hukuman dan tidak melakukan kejahatan lagi dalam masyarakat. Tidak terlaksananya dengan baik fungsi lembaga pemasyarakatan ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah residivis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAPHY

Atmasasmita, R., & Atmasasmita, R. (1995). Kapita selekta hukum pidana dan kriminologi. Mandar Maju.

 

Harsono, C. I. (1995). Sistem baru pembinaan narapidana. Djambatan.

 

Kadri Husin, S., & Budi Rizki Husin, S. (2022). Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Sinar Grafika.

 

Kusumaatmadja, M. (1975). Pembinaan Hukum dalam rangka pembangunan nasional. (No Title).

 

Lamintang, P. A. F. (2004). Hukum Penitensier Indonesia, CV. Armico, Bandung.

 

Mulyadi, L. (2004). Kapita selekta hukum pidana kriminologi & victimologi. Djambatan.

 

Petrus, I. P. (1995). Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

 

Pettanase, I. (2020). Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan. Jurnal Hukum Tri Pantang, 6(1), 5�14.

 

Soedarto. (1981). Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.

 

Soejono, H. A. (2003). Metode penelitian hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Soemodiprojo, R. A. S., & Atmasasmita, R. (1989). Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Bandung. Bina Aksara.

 

Sujatno, A. (2004). Sistem Pemasyarakatan membangun manusia mandiri. Jakarta: Direktorat Pemasyarakatan Departemen Hukum Dan HAM RI.

 

Susanto Anthon, F. (2004). Wajah Peradilan Kita. PT. Refika Aditama, Bandung.

 

Widiada, G. A. (1988). Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung: Armico.

 

Wulandari, S. (2016). Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Tujuan Pemidanaan. Jurnal Ilmiah Hukum Dan Dinamika Masyarakat, 9(2).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright holder:

Rahmat Bayu Wibisono, Rani Yuwafi (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: