Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 10, Oktober 2023
PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP MALPRAKTIK HIPNOTERAPIS DALAM KASUS
PERCABULAN ANAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM
Lucy Lidiawati
Santioso, Marjan Miharja,
Dadang Herli
Program Studi Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM
Jakarta
Email:
[email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengkaji
tentang psikologi kriminal terhadap malpraktik hipnoterapis dalam kasus percabulan
anak ditinjau dari perspektif penegakan hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif,
dengan menggunakan Data Sekunder (dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, jurnal-jurnal dan sebagainya). Hasil
dari penelitian ini penulis menelaah
bahwa adanya sikap batin dan hati nurani terdakwa
yang lemah sehingga egonya mencari kepuasan dan sulit mengontrol dorongan-dorongan dari insting seksual
yang tidak terpuaskan, sesuai dengan teori
psikoanalisa, Sigmund Freud.
Kata Kunci:
Psikologi, Hipnoterapis, Pencabulan Anak, Penegakan Hukum
Abstract
The
purpose of this study is to examine criminal psychology towards hypnotherapist
malpractice in child fornication cases from a law enforcement perspective. The
research method used in this study is normative juridical, namely research
focused on examining rules or norms in positive law, using Secondary Data
(official documents, books, research results in the form of reports, journals
and so on). And the results of this study the author examines that there is a
weak mental attitude and conscience of the defendant so that his ego seeks
satisfaction and is difficult to control the impulses of an insatiable sexual
instinct, in accordance with the theory of psychoanalysis, Sigmund Freud.
Keywords: Psychology,
Hypnotherapist, Child Abuse, Law Enforcement
Pendahuluan
Pembangunan
Indonesia dalam berbagai sektor dengan
adanya adanya
kemajuan teknologi, dengan berita sosial media berdampak pada psikologis
manusia yang memengaruhi gaya hidup, pola berpikir,
berperilaku dan bahkan empati. Ini
menyebabkan masalah kesehatan mental karena banyak orang tidak lagi mampu
beradaptasi dengan tuntutan jaman, dan
berdampak pada stres. sehingga tidak sedikit orang mengalami stres negatif dan
akhirnya berpengaruh buruk karena akan merusak sistem metabolisme tubuh� dan memengaruhi kesehatan fisik seseorang
bahkan berakhir dengan kematian.
Sementara setiap orang memiliki
jaminan terhadap kesehatan fisik maupun jiwa sesuai dengan yang tercantum dalam
Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, Pasal 28H (1), ditambah dengan Ketentuan Umum Pasal 1 butir 1
Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesehatan itu meliputi fisik, mental, spiritual, sosial untuk
seseorang dapat hidup produktif.
Dalam hal ini tampak bahwa kesehatan fisik penting
namun kesehatan mental juga
merupakan hal yang tidak kalah penting karena mental yang sehat
akan membuat pikiran menjadi positif sehingga tubuh akan berfungsi dengan
dengan optimal, baik secara emosional, psikologis, sosial dan akan memengaruhi
cara berpikir, merasakan, dan berperilaku (Amin, 2019).
Menurut
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018,�
lebih dari 19 juta orang berusia di atas 15 tahun menderita� gangguan mental dan emosional, dan
lebih dari 12 juta orang berusia di atas 15 tahun menderita depresi. Menurut sistem registrasi spesimen
yang dilaksanakan oleh Badan Litbang pada tahun
2016,� data kasus bunuh diri adalah 1.800
orang per tahun, yaitu 5 orang bunuh diri setiap hari, dan 47,7% kasus bunuh
diri berusia antara 10-39 tahun tergolong usia
anak-anak dan remaja (Hikmah, 2015).
Untuk saat
ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5
penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai
potensi-potensi masalah gangguan jiwa. Ini masalah yang sangat tinggi karena
20% dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan
jiwa.� Jika kita melihat bahwa begitu
banyaknya penderita gangguan jiwa belum tertangani secara medis dengan baik
dikarenakan kurangnya tenaga kesehatan di Indonesia (Aristawati, Cahyono, &
Huda, 2022);(Ilahi, 2018).
Jumlah
tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia masih belum mampu memenuhi kuota
minimal yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Padahal
WHO menetapkan� standar jumlah tenaga psikolog
dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per
100.000 penduduk. Tenaga profesional Kesehatan jiwa yang tidak mencukupi jumlah
penyandang gangguan Kesehatan jiwa membuat bermunculan tenaga Kesehatan
komplementer lainnya, diantaranya adalah hipnoterapis (Roeslie & Bachtiar,
2018).
Hipnoterapis
adalah orang yang berperan membantu klien memahami situasi yang sebenarnya
sehingga pasien mampu memecahkan masalah psikologisnya sendiri (Ibrahim, 2018). Ini membuka peluang bagi banyak
orang untuk mengemban profesi baru sebagai hipnoterapis. Sebelum belajar
menjadi hipnoterapis, mereka perlu mendalami dulu bagaimana melakukan hipnosis,
tetapi ternyata tidak semua orang yang belajar hipnosis ini memiliki itikad baik.�
Maraknya kasus kejahatan berkedok kriminal hipnotis di Indonesia, menjadi suatu keprihatinan tersendiri, dimana tampak
perubahan pola kehidupan masyarakat sosial yang
terus
berkembang dengan adanya kemajuan
dalam bidang teknologi sehingga mempermudah orang untuk mengakses cara belajar
menjadi hipnotis atau hipnoterapis dengan cara yang instan (Farid, Hapsari, & Iskandar, 2022). Salah satunya adalah percabulan
pada anak di bawah umur. Jika dilihat dari segi korban, maka kelompok yang
rentan menjadi korban kejahatan adalah anak-anak, dikarenakan anak-anak masih lemah, rentan terhadap bujukan dan rayuan,
mudah dipengaruhi dengan sesuatu yang menyenangkan.
Data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) angka
kekerasan seksual pada anak meningkat secara signifikan setiap tahunnya (Oktaviani,
2020). Jika dibandingkan dari tahun 2016 sampai dengan 2019, angka
kekerasan seksual anak meningkat lebih dari 14 kali lipat atau bertambah 1300%.
Kenaikan yang signifikan ini membutuhkan perhatian dan penanganan yang cukup
serius (Ibrahim,
2018).
Banyaknya
kasus di Indonesia terhadap malpraktik atau pelanggaran kode etik disebabkan
karena belum adanya penegakan hukum berdasarkan hukum positif yang berlaku dan
mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui Pemerintah (Koto & Asmadi, 2021). Layanan kesehatan� tradisional�
tentu� saja perlu� dibarengi dengan� kajian penguatan hukum� terhadapnya. Dalam hal ini peran� tenaga Kesehatan masyarakat perlu dijamin� secara�
legal.
Di
Indonesia, jika ada seseorang yang melakukan kejahatan atas nama hipnoterapis,
maka dia tidak bisa dilindungi sebagai profesinya, namun pelaku kejahatan atas
nama hipnotis atau hipnoterapis ini akan mendapatkan hukuman sesuai Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Segala bentuk kejahatan dan
pelanggaran yang bersifat publik telah diatur oleh hukum pidana yang dimuat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Salah satu
contoh yang akan dibahas dalam penulisan kali ini adalah tentang percabulan
pada anak dengan metode hipnosis, perbuatan percabulan� termasuk�
dalam kejahatan� terhadap�
kesusilaan yang dituangkan�
dalam� Pasal 289 KUHP. Oleh
karenanya, pentingnya aturan hukum di Indonesia dalam bentuk Undang-undang yang
mengatur tentang praktik hipnoterapis. Aturan hukum ditegakkan agar membuat
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum ditujukan guna
meningkatkan keadilan, kebermanfaatan dan kepastian hukum dalam
masyarakat.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka penulis menetapkan judul dalam tesis ini adalah:
�Psikologi Kriminal terhadap malpraktik Hipnoterapis dalam kasus
percabulan anak ditinjau dari perspektif Penegakan Hukum.�
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian
yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif. Tipe atau sifat penelitian yang digunakan
adalah penelitian deskriptif (descriptive reasearch). Jenis data yang digunakan adalah data sekunder (dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, jurnal-jurnal dan sebagainya).�
Hasil dan Pembahasan
A. Analisis putusan
Hakim pertanggungjawaban Pidana
terhadap Malpraktik Hipnoterapis dalam Kasus Percabulan pada anak berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 4/Pid.Sus/2017/PN Pgp ditinjau dari Psikologi
Kriminal
Pelecehan seksual yang dialami Saksi Korban
Risnadia yang berusia 16 tahun tentu saja
menimbulkan dampak traumatis baik dampak fisik maupun
trauma psikologis seumur hidupnya. Apakah karena kejadian ini, korban masih mendapatkan haknya sebagai anak untuk
bertumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya,
lalu bagaimana korban dapat menghadapi stigma masyarakat serta mengatasi trauma yang dialami akibat kejadian ini.
Terdapat sejumlah simptom yang dialaminya seperti perasaan tidak tenang dan nyaman karena hal yang terjadi pada dirinya, malam harinya merasa
sakit perut hingga menangis, lalu merasa kemaluannya
sakit ketika buang air kecil, bahkan hingga pingsan
karena traumanya. Selain itu hal yang buruk
terjadi pula terhadap fisik Risnadia yaitu luka pada alat kelamin dan terdapat robekan pada selaput dara akibat
kekerasan dengan benda tumpul.�
Dampak psikologis dan fisik ini tentunya merusak
masa depan Risnadia. Pada awalnya, Risnadia juga bingung atas apa
yang terjadi pada dirinya, banyak yang menyimpan sendiri berbagai pikiran dan perasaannya secara subyektif mengenai peristiwa yang dialaminya dan bereaksi dengan caranya sendiri, sehingga dia takut bercerita
kepada orang tuanya maupun orang lain.
Sementara Risnadia sebagai anak yang berada didalam lingkungan pendidikan khususnya sekolah sudah seharusnya
mendapat perlindungan, terdapat dalam Pasal 54 Undang�Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang�Undang Nomor
23 tahun 2002 mengenai Perlindungan anak.
Mengapa anak dapat dengan
mudah tunduk pada gurunya adalah karena sebelumnya Risnadia pernah mengalami dibully oleh teman-temannya hingga minder sehingga gurunya menawarkan bantuan untuk membuatnya lebih percaya diri
dan menjadi pemimpin bagi teman-teman teater lainnya. Risnadia dalam hal ini di bawah
kekuasaan orang dewasa, yaitu gurunya sebagai
pendidik dan memiliki figur otoritas yang dapat membuat anak
tunduk apapun perintahnya dengan bujuk rayu gurunya
berupa iming-iming untuk dijadikan pemimpin dan membuat anak percaya diri
lalu korban mengikuti perintah gurunya untuk datang lebih
awal dengan harapan dia akan
menjadi lebih percaya diri dibandingkan
teman-temannya.�
Jika kita
bahas tentang hipnosis, fase yang dilakukan itu dikenal
dengan sebutan Pre-induksi, dimana
pada fase ini, Terdakwa berkomunikasi dengan bawah sadarnya
dan masuk ke dalam keyakinan Anak korban sehingga Anak menjadi percaya karena ingin berubah menjadi
percaya diri. Sepertinya gurunya tahu kelemahan dan kebutuhan Risnadia, maka Terdakwa menggunakan
figur otoritasnya sehingga Risnadia pada awalnya sudah bersedia
untuk mengikuti semua instruksi lanjutan gurunya. Maksud dari proses hipnosis yang dilakukan gurunya adalah melakukan hipnoterapi dalam meningkatkan rasa percaya diri Risnadia.
Adapun kronologisnya
adalah sebagai berikut :
1) Adanya bujuk rayu yang dilakukan guru J dengan menggunakan pesan melalui BBM dengan mengatakan �Nadia sebelum acara kegiatan pembekalan materi kelas X dan XI, Nadia mesti dilatih, dibekal tuk pemantapan
materi n praktek e, biar mantap ngajar
tau ngelatih anak-anak kelas X dan XI, jadi kelasnya Nadia lebih hebat dari mereka,
jadi Nadia bisa disegani n dihargai kelas X dan XI, kapan mo saya gembleng
n latih�, lalu R spontan menanggapi hingga dicapai kesepakatan harinya.
2) Melakukan
tes sugesti (pre induksi), seperti focus training,
kemudian tangan menempel/locking the hands dan tangan
yang diletakkan batako dan balon yang melayang/arm rising
and falling test
3) Induksi,
contohnya seperti �bayangkan jika anda melihat sebuah
daun yang sedang melambai semakin anda melihatnya semakin mengantuk, kemudian terdakwa menghitung sampai 20 hitungan mundur�
4) Deepening, terdakwa memutar Instrumen musik dari laptop sehingga membuat saksi korban Risnadia dan saksi Suci menjadi rileks
kemudian terdakwa menyuruh saksi korban Risnadia dan saksi Suci untuk membayangkan
suasana yang menyenangkan. Setelah masuk kondisi
trance, maka Terdakwa mulai melakukan percabulan kepada R dengan mencium bibir, membuka baju, lalu meremas payudara
kemudian menghisap kedua payudara saksi korban Risnadia, lalu terdakwa memasukan
tangan ke dalam celana saksi
korban Risnadia hingga memegang kemaluan saksi korban Risnadia, setelah itu terdakwa
memegang tangan saksi korban Risnadia untuk memegang penis terdakwa.
5) Sugesti,
ditambah dengan sugesti lainnya yaitu �untuk orang yang saya sentuh bayangkan
anda sedang menunggangi kuda� sehingga saksi korban Risnadia membayangkan sedang berada di Bromo dan sedang menunggangi kuda, kemudian terdakwa mengangkat dan menurunkan badan saksi korban Risnadia berulang � ulang. Lalu diberikan lagi sugesti �Bayangkan
Anda Sedang Berada di kamar
Mandi Sedang Membasuh Tubuh
Anda�.
Sambil menyentuh
badan saksi korban Risnadia,
terdakwa mengarahkan tubuh saksi korban Risnadia berdiri memegang sandaran kursi sambil membukukkan
badan lalu terdakwa kembali berkata �Bayangkan Anda Sedang Membersihkan
Tubuh Anda, Bayangkan Anda
Sedang Membersihkan Kemaluan
Anda sambil bayangkan anda mansturbasi�, pada saat itu juga terdakwa
membuka celana saksi korban Risnadia dan memasukkan kemaluannya yang sudah tegang kedalam
kemaluan saksi korban Risnadia dari belakang
keluar masuk berulang kali selama kurang lebih 5 (lima) menit.
6) Terminasi,
terdakwa memberikan saran sekaligus menutup proses hipnosis dengan berkata �lupakan kejadian hari ini
dan kamu adalah pemimpin, kamu lebih hebat dari
mereka, setelah kamu buka mata,
kamu akan lebih percaya diri�.
Perbuatan-perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh gurunya sangat erat hubungannya dengan kejiwaan individu, dimana dia hidup
dalam norma bermasyarakat ditambah dengan posisinya sebagai pendidik sehingga menyebabkan individu tidak dapat memisahkan
antara perbuatan baik maupun perbuatan
jahat. Jadi kejahatan ditinjau dari psikologis
jelas menitikberatkan seberapa jauh adanya
pengaruh kejiwaan yang dapat digolongkan perbuatan jahat sesuai dengan penyimpangan
terhadap kaedah-kaedah yang
berlaku dalam suatu masyarakat.
Dalam bidang
penegakan hukum, psikologi kriminal digunakan sebagai metode untuk menelaah
faktor�faktor psikologi apakah yang mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah hukum (berperilaku
normal) dan meneliti faktor�faktor apakah yang mendorong seseorang dalam melanggar kaidah hukum (berperilaku
abnormal).
Dilihat dari sisi kepribadiannya,
meninjau dari teori psikoanalisa dari Sigmund Freud bahwa setiap manusia memiliki libido (nafsu birahi) yang selalu menuntut untuk dilampiaskan namuntidak selalu dapat direalisasikan
oleh manusia. Penyebabnya adalah karena adanya
norma-norma sosial yang hidup
dalam masyarakat yakni norma agama, kesusilaan maupun norma hukum. Seharusnya diikuti dengan kontrol yang tegas terhadap pemberlakuan dan pentaatan
norma-norma sosial yang ada.
Jika kontrol
secara Bersama (kontrol kolektif) ini tidak
dilakukan, maka hal ini tidak
menutup kemungkinan akan mendorong munculnya tindakan pengalihan nafsu dalam bentuk yang negatif. Ini juga terjadi karena dalam diri
individu selalu ada perasaan tidak
puas yang didasari keyakinan bahwa lingkungan dan masyarakat telah bertindak tidak adil kepada
individu, sehingga terjadinya pelampiasan dari perasaan bahwa
dirinya diperlakukan tidak adil sehingga
menimbulkan rasa ketidakpuasan.
Dari tinjauan
Psikologi kriminal, penulis melihat bahwa adanya gangguan
kejiwaan yang dialami oleh Terdakwa. Dalam hal ini, Jepry sebagai
pelaku melakukan kejahatan percabulan dikarenakan hati nuraninya atau super egonya yang lemah atau tidak sempurna
sehingga ego-nya (yang mempunyai peran sebagai penengah antara super ego dengan id) tidak mampu melakukan
kontrol atas dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian
yang mengandung keinginan
dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi) dari insting seksual yang tidak terpuaskan (Lestari Pradana, 2020).
Namun Jepri Permana alias Jepri bin Laksita dengan segala identitasnya adalah orang yang cakap dan mampu untuk mempertanggungjawabkan
akibat dari segala perbuatannya itu, sehingga dengan
demikian unsur setiap orang ini telah terpenuhi secara hukum dan walaupun tampak adanya unsur kejiwaan,
hal ini tidak
seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP karena Terdakwa masih terbukti dapat diajak berkomunikasi,
dia memahami serangkaian proses lengkap, sadar, insaf, bahwa
tindakan yang dia lakukan dilarang atau tidak dapat
dibenarkan dari sudut pandang hukum,
sosial dan moral.�
Terdakwa juga memahami mekanisme ego pertahanan diri dan tidak merasa bersalah
dan tidak mengakui perbuatannya itu, hal ini menunjukkan
adanya kematangan pemikiran sehingga dapat memberikan argumentasi-argumentasi serta pengalihan topik permasalahan, tidak mudah frustasi dan terlihat santai, tenang, bahkan dia mengatakan bahwa Risnadia telah berhalusinasi, Terdakwa juga paham tentang ilmu sugesti
sehingga dapat memengaruhi pikiran serta alam bawah
sadar seseorang.
Selain itu,
teori kesempatan dalam kriminologi, Richard A.
Cloward dan Llyod E. Ohlin (2013) dalam
buku Delinguency and
Opportunity berpendapat bahwa
munculnya kejahatan dan bentuk-bentuk perilaku tergantung pada kesempatan, baik kesempatan patuh norma maupun kesempatan penyimpangan
norma.�� Kesempatan
ini dikaitkan pada keinginan dari Terdakwa untuk memenuhi kepuasan seksualnya, dan ini merujuk pada sikap batin yang melekat dari kondisi internal Terdakwa yang bagian dari niat (pikiran)
dan menjadi bagian dari pertanggungjawaban pidana.��
Penulis menelaah terhadap putusan Majelis Hakim yang membuktikan dakwaan ketiga yang menyatakan bahwa terdakwa melanggar Pasal 82 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.� Unsur dalam pasal
tersebut sudah terpenuhi semua, yaitu perbuatan dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh
anak, pendidik atau tenaga kependidikan.
Ditambah dengan Pasal 89 KUHP menyebutkan �yang disamakan melakukan kekerasan itu membuatnya jadi pingsan atau
tidak berdaya�. Pingsan artinya tidak ingat atau
tidak sadar akan dirinya, sedangkan
tidak berdaya artinya tidak mempunyai
kekuatan atau tenaga sama sekali,
sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun.
Dalam hal
ini, korban dilakukan hipnosis. Hipnosis adalah teknik yang membuat seseorang berada dalam keadaan
rileks dan tenang agar bisa lebih fokus
dan dengan begitu, Risnadia akan lebih
mudah merespons sugesti yang diberikan oleh juru hipnosis (dalam hal ini
guru Risnadia) sehingga Risnadia menjadi tidak berdaya dan mau melakukan apapun
yang diperintahkan tanpa mampu melawan. Pelaku menggunakan cara hipnosis untuk
memperdaya korbannya, tingkat Hipnosis adalah teknik yang kesadaran yang dimiliki oleh
korban menjadi menurun,
korban tidak lagi memiliki kendali atas dirinya sendiri.
Pertanggungjawaban pidana terhadap praktik hipnoterapi yang menyimpang seperti yang dilakukan Terdakwa dapat disebut dengan
malpraktik. Dalam hal perbuatan melawan Undang-Undang jika dilakukan oleh tenaga kesehatan, termasuk tenaga kesehatan tradisional yang di dalamnya adalah terapis oleh pikir atau hipnoterapis,
dapat dikatakan malpraktik. Terjadinya malpraktik atau tidak bukan hanya
didasarkan pada hasil �buruk� yang terjadi setelah praktik yang dilakukan terhadap pasien namun berdasarkan
prosedur atau bagaimana tindakan dilaksanakan. Malpraktik disini merujuk kepada profesi kedokteran, yakni Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus
menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori absolut
dari Imanuel Kant,� dasar hukuman harus dicari
dari kejahatan itu sendiri, karena
kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi
penderitaan. Lalu, adanya efek jera dan memberikan
rehabilitasi dari pemidanaan dan akibat dari perbuatan perlaku.
Penulis mempertimbangkan kepu-tusan pengadilan yang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000.- (delapan ratus juta rupiah) mengingat akibat yang ditimbulkannya, ditambah dengan gangguan kejiwaan yang akan berulang saat dia
bebas dari tahanan, lalu kemungkinan
akan dialami oleh korban berikutnya.
Dalam hukum
pidana, pemidanaan digunakan sebagai pencegah karena semua orang tidak melakukan kejahatan (teori pencegahan umum/algemene preventie
theorieen), tetapi selain untuk pencegahan,
juga untuk merehabilitasi pelaku kejahatan tersebut dan membuat mereka tidak berdaya
dan melakukan kejahatan lagi (teori pencegahan
khusus/bijzondere preventie theorieen) (Lamintang, 1997). Menurut
Grohlman, seorang pendukung teori pencegahan khusus, tujuan dari pidana
adalah untuk melindungi masyarakat dengan membuat penjahat-nya menjadi tidak berbahaya atau menghalangi mereka melakukan keja-hatan lain dan menjadi jera melakukan kejahatan.
Bertitik tolak dari hal
ini, tujuan pemidanaan dalam hubungannya dengan teori tujuan/relatif
dan teori gabungan, yaitu disamping membuat penjahat jera untuk tidak
melakukan suatu kejahatan lagi atau menimbulkan rasa takut untuk tidak
mengulangi berbuat jahat, juga diberikan bimbingan dan pembinaan jasmani dan rohani sesuai dengan minat
dan bakat terpidana tidak tercapai atau tidak dapat
diwujudkan.
Hal ini
dimaksudkan agar terpidana setelah selesai menjalani pidananya, memiliki mental dan moral yang baik
serta memiliki bekal ketrampilan dalam berintegritas dengan kehidupan masyarakat dimana terpidana itu akan
hidup dan bertempat tinggal. Oleh karena itu hukum harus
berani menjatuhkan pidana yang setimpal/ sebanding atau sesuai dengan per-buatannya dan dengan ancaman pidana yang tercantum didalam suatu ketentuan perundang-undangan atau hukum yang berlaku.
Tambahan lagi, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari amanat Pasal
81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, untuk memberikan efek jera bagi
pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan,
yaitu tindakan kebiri kimia.
Tindakan kebiri
kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun sesuai
dengan Pasal 5 dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku
baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila
kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan
layak dikenakan tindakan kebiri kimia dan dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi.
Namun dikarenakan ada masa waktunya, maka pelaku juga dilakukan rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan.
Rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku dengan tindakan
kebiri kimia berupa rehabilitasi psikiatrik, psikologis, sosial, dan medik. Menurut Penulis, keberadaan tindakan kebiri kimia bukan
hanya sebagai suatu sanksi yang bertujuan rehabilitasi, namun memiliki tujuan sebagai pembalasan dan pertanggungjawaban
atas tindak pidana yang telah dilakukan.
B. Proses Penegakan hukum
terhadap Profesi Hipnoterapis
Penegakan hukum merupakan suatu rangkaian langkah aparat penegak hukum dalam
melakukan penindakan hukum terhadap setiap tindakan atau peristiwa pelanggaran melawan hukum.� Secara konkret penegakan hukum adalah berlakunya hukum positif yang dalam praktiknya sudah seharusnya patut untuk dipatuhi.
Secara objektif, penegakan hukum ialah norma yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan materiil, dimana hukum formal berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis,
sedangkan hukum materiil mencakup segala pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam hal ini, dengan maksud menegaskan
bahwa hukum yang harus ditegakkan tidak hanya norma aturan itu sendiri
melainkan juga dengan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya.�
Lalu dalam
hal penegakan hukum perlu ada
tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu unsur kepastian
hukum, kemanfaatan dan keadilan. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan
hakim yang mengandung keadilan
(ex aequo et bono) dan mengandung kepastian
hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan.
1.
Keadilan
Penegakan hukum dalam menja-tuhkan
putusan dengan pertimbangan hakim tentu saja harus mencerminkan
rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa. Fokus untuk keadilan
adalah berhubungan dengan mem-betulkan atau membenarkan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi bagi pihak yang dirugikan atau memberikan hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan.
Maka pelanggaran pada kasus
percabulan dalam hal ini, hukuman
yang diberikan sepantasnya terhadap pelaku jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya tersebut terhadap kasus Risnadia..
Dari berbagai
temuan dan pertimbangan, akhirnya� Hakim ber-pendapat bahwa sugesti yang diberikan terdakwa tersebut dapat dikategorikan telah melakukan tipu muslihat, karena pada penutupnya terdakwa memberikan sugesti kepada saksi Risnadia untuk melupakan apa yang telah terjadi, sehingga dengan demikian unsur melakukan tipu muslihat untuk
melakukan perbuatan cabul tersebut telah terpenuhi; saksi Risnadia dalam keadaan antara
sadar dan tidak sadar terdakwa telah melakukan perbuatan cabul sebagaimana pertimbangan tersebut, hal ini
sesuai dengan Pasal 89 KUHP bahwa terdakwa juga dengan sengaja membuatnya jadi pingsan atau
tidak berdaya. Selain itu adanya bukti
secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana �dengan sengaja melakukan tipu muslihat terhadap
anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh pendidik� telah terpenuhi.
Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 memberikan sanksi ancaman pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal sebanyak Rp
5.000.000.000, - (lima miliar rupiah). Yang lebih khusus dalam
undang-undang ini adalah jika pelaku
pencabulan dilakukan oleh
orang tua, wali, pengasuh anak, atau tenaga pendidik
maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah atau tidak,
hakim harus berpedoman pada
sistem pembuktian sebagai mana diatur dalam pasal 183 KUHAP. Sementara dalam Pasal 184 KUHAP, menggunakan lima
macam alat bukti, yaitu keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk
dan keterangan terdakwa berdasarkan rumusan Pasal diatas. Sistem
pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara gabungan antara sistem pembuktian
positif dan negatif, yaitu menggunakan pembuktian engan alat-alat bukti yang sah (mendengar keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, barang bukti dan visum et repertum), adanya kesesuaian antara masing-masing alat bukti serta barang
bukti, maka diperoleh fakta hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk memperoleh keyakinan dan mengambil serta menjatuhkan keputusan yang sesuai kepada terdakwa setelah proses pemeriksaan.
Pelecehan seksual dalam artian
melakukan pencabulan terhadap anak didik
merupakan suatu perbuatan yang melanggar dan melawan hukum sehingga
hukum pidana berperan penting dalam menyelesaikan perkara tindak pidana kesusilaan dan mencari kebenaran fakta hukum dari
peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap anak didiknya
(Silvia Ningsih S, 2022);(Ayuningtyas & Parman,
2019). Setelah mendapatkan fakta hukum atas
peristiwa tersebut maka baru dapat
diberikan penjatuhan hukuman seberat-beratnya dan seadil-adilnya, sesuai dengan teori absolut
atau pembalasan dari Immanuel Kant. Didukung dengan teori tujuan/relatif dan teori gabungan hukuman yang seadil-adilnya untuk melindungi masyarakat dan membuat penjahatnya jera, tidak lagi
menimbulkan keresahan dalam masyarakat, khususnya di lingkungan pendidikan.
Dengan demikian keadaan yang menyangkal keadilan itu harus dilenyapkan
dengan ketidakadilan pula, yaitu dengan menjatuhkan
pidana, karena pidana itupun merupakan
suatu ketidakadilan. Dalam hal terjadinya kejahatan, maka masyarakat itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana, sehingga rasa puas dapat dikembalikan
lagi.
2.
Kemanfaatan
Dalam memutuskan
perkara atau menjatuhi sanksi pidana, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan juga
hal-hal yang meringankan. Dengan nomor putusan
Nomor 4/Pid.Sus/2017/PNPgp jelaslah mengandung unsur kemanfaatan, karena putusan tersebut memperhatikan dan mempertimbangkan
hal-hal yang meringankan
dan juga yang memberatkan tersangka,
sehingga jadilah putusan tersebut yang dapat diterima oleh kedua belah pihak
(korban dan tersangka).
Dalam putusan
tersebut majelis hakim telah mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam kasus tersebut,
seperti memperhatikan hal yang memberatkan dan meringankan ter-sangka. Penulis juga setuju pada hal-hal yang memberatkan, yakni perbuatan terdakwa telah merusak masa depan anak Risnadia Anggraini,
membuat malu keluarga dan mencoreng nama baik profesi
guru pada umumnya terlebih lagi profesinya sebagai hipnoterapis
Namun penulis masih menganalisa
hal yang meringankan yaitu berkaitan dengan usia Terdakwa
masih muda, diharapkan dapat merubah perilakunya yang buruk. Apakah ini
menjadi jaminan bahwa Terdakwa dapat merubah perilakunya
tanpa adanya proses rehabilitasi mental misalnya?
Banyak faktor yang memengaruhi
dalam perubahan perilaku (internal maupun eksternal) sehingga tidak dengan mudah
hanya karena usia masih relatif
muda diharapkan Terdakwa dapat merubah perilakunya tanpa didampingi oleh rehabilitasi (psikiatrik, psikologis, sosial, dan medik).
3.
Kepastian Hukum
Hakim dalam
memutus perkara kasus pencabulan yang dilakukan oleh Jepry terhadap Risnadia telah memenuhi unsur kepastian hukum karena hakim yang bertugas mengadili dan memutus perkara telah memperhatikan fakta-fakta yang terjadi pada kasus pencabulan tersebut, sebagai salah satu contohnya adalah bahwa majelis
hakim mendengarkan keterangan
dari para saksi, kemudian mempertimbangkan hasil VER (Visum Et Repertum)
korban dalam memutus perkara, dan lain-lain.
Adanya penegakan
hukum dan pertanggungjawaban
pidana, membutuh-kan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa yakni, melakukan serangkaian proses hipnosis cabul kepada korban, erbuatannya melawan hukum pasal 289 KUHP, melanggar hak korban di bawah umur yang dijamin oleh hukum, kesalahan pelaku dengan melakukan percabulan kepada anak didiknya dan dalam melakukan tindakan guru yang bertindak sebagai hipnoterapis mengandung unsur kesalahan dan dapat dimintai pertanggung jawabannya secara hukum karena memenuhi
unsur-unsur pidana yaitu adanya unsur
kesengajaan�
yang dilakukan oleh hipnoterapis,
maksudnya adalah terdakwa� sudah mengetahui akibat dari perbuatan
yang dilakukan.
Terdakwa dalam hal ini
memiliki kehendak, artinya sudah mengetahui
apa yang akan dilakukan dan merupakan kehendak dari diri
Terdakwa tersebut, hal ini berarti
bahwa pelaku yang sudah tau mengenai maksud dan akibat yang timbul tindakan tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa sengaja dan dikehendaki serta dilakukan dengan penuh kesadaran.
Kelalaian dalam menunaikan tugasnya sebagai guru yang perlu mengajarkan hal yang tidak melanggar norma kesusilaan dan agama.
Dam hal
ini tidak ada alasan Pembenar
atau Pemaaf, dikarenakan Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dan sepanjang pemeriksaan di persidangan tidak ditemukan adanya alasan-alasan pemaaf yang dapat menghapuskan sifat kesalahan terdakwa ataupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan terdakwa, maka oleh karena itu terdakwa harus
dipersalahkan dan harus
pula dipidana. Dilihat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab maka hanya seorang yang �mampu bertanggung jawab� yang dapat dipertanggungjawab pidanakan.�
Salah satu
indikator negara hukum adalah keberhasilan dalam penegakan hukumnya. Dikatakan berhasil karena hukum yang telah diaturnya, sudah seharusnya dan sudah waktunya, dijalankan dan ditaati oleh seluruh elemen masyarakat. Untuk itulah, maka
menjadi penting untuk diketahui apakah penegakan hukum itu sesungguhnya.
Dari analisis kasus yang dibahas dan hal yang relevan pada penegakan hukum dalam penelitian
ini tampak bahwa proses penegakan hukumnya dilakukan sebagai hukum itu
sendiri yaitu Undang-Undang (�UU�) atau peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah namun undang-undangnya itu sendiri bermasalah
yang disebabkan :
1) Tidak diikutinya
azas-azas berlakunya. Dalam
asas hukum pidana yang berlaku adalah asas legalitas
atau yang biasa disebut sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang artinya adalah tiada suatu perbuatan
dapat dihukum tanpa ada suatu
peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Hal ini diartikan bahwa tidak dapat ditindaknya
pelaku sebagai kelalaian malpraktik hipnoterapis karena tidak adanya peraturan
perundang-undangan yang mengatur
hal tersebut.
Dalam hal
ini pemerintah tidak dapat memberikan
sanksi atas profesi hipnoterapis, belum ada peraturan
pelaksanaan yang sangat dibutuh-kan
untuk menerapkan Undang-Undang yang mengatur tentang hipnoterapi. Dalam kasus ini, terdakwa
diberikan sanksi atas perbuatannya yang tercela. Hukum yang dimaksud adalah aturan perundang-undangan
itu sendiri yang masih belum efektif
mengenai pengaturan ketentuan yang mengaturnya.�
Selain itu,
tidak ada juga pengertian tentang malpraktik yang jelas. Pengaturan tindak pidana malpraktik hipnoterapis mengacu pada Undang-Undang Kesehatan pada profesi
tenaga kesehatan dokter, dan hal yang tercantum adalah akibat dari perbuatan
malpraktik tersebut (Ishaq, 2019). Makna
atau pengertian malpraktik didapat di Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 Tentang Kesehatan (�UU
Tenaga Kesehatan�).
2) Ketidakjelasan
arti kata-kata dalam Undang-Undang
yang akan berakibat� kesimpang
siuran dalam penafsiran serta penerapannya. Ketidakjelasan arti
dapat dijumpai, misalnya, tentang terapi oleh pikir. Sesuai dengan pengertiannya
sama dengan tujuan dari pengobatan
pada hipnoterapi. Hal ini
yang tidak jelas maksudnya, sehingga ketidakjelasan arti kata-kata itu
di dalam Undang-Undang yang
mengakibatkan terjadinya kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya di dalam prakteknya.
Selain itu,
Faktor Penegak Hukum menjadi
hal yang penting, namun masih terdapat
endala yang dialami dalam mengatasi tindak kejahatan yang menggunakan hipnosis. Pasal 61 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pemerintah mengatur dan mengawasi hipnoterapis dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya
peraturan tersebut merupakan suatu bentuk komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi hipnoterapis.
Namun pada pelaksanaannya, peranan ini tidak terlaksana
dengan baik. Belum adanya kontrol terhadap organisasi profesi yang secara ketat mengawasi profesi hipnoterapis sehingga tidak diketahui jika ada pelanggaran kode etik. Masyarakat juga membutuhkan ketenangan dan rasa keadilan sehingga penegakan hukum harus berjalan dalam koridor yang benar untuk melindungi
masyarakat, menghindari budaya suap dan kompromi yang masih terlihat jelas di Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut :
Tinjauan dari
psikologi kriminal ditemukan bahwa penulis menelaah adanya sikap batin dan hati
nurani Terdakwa yang lemah sehingga egonya mencari kepuasan dan sulit
mengontrol dorongan-dorongan dari insting seksual yang tidak terpuaskan, sesuai
dengan teori psikoanalisa, Sigmund Freud. Dalam hal ini, tampak Terdakwa yang
tidak mengakui perbuatan terlihat adanya mekanisme pertahanan diri untuk
menghindari kesalahan, sehingga Terdakwa dapat dimintai pertanggungjawa- ban
pidana dengan sanksi yang seadil-adilnya.
Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa sengaja dan dikehendaki serta dilakukan dengan penuh
kesadaran. Dan dalam hal ini tidak ada alasan Pembenar atau Pemaaf,
dikarena-kan Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya dan sepan-jang pemeriksaan di persidangan tidak ditemukan adanya
alasan-alasan pemaaf yang dapat menghapuskan sifat kesalahan terdakwa ataupun
alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan
terdakwa, maka oleh karena itu terdakwa harus dipersalahkan dan harus pula
dipidana.
Proses Penegakan
Hukum pada profesi Hipnoterapis yang mengutamakan keadilan, keman-faatan dan
kepastian hukum.
Keadilan
Keputusan hakim
dalam menjatuhkan hukuman men-cerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun
terdakwa disertai dengan adanya bukti-bukti sesuai dengan sistem pembuktian.
Mengingat teori Immanuel Kant bahwa kejahatan menyebabkan ketidakadilan,
kejahatan juga harus dibalas dengan ketidakadilan. Hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim pantas jika dibandingkan
dengan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya tersebut ter-hadap kasus Risnadia.
Kemanfaatan
Dalam memutuskan perkara atau menjatuhi
sanksi pidana, hakim mempertim-bangkan hal-hal yang memberatkan dan juga hal-hal yang
meringankan berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam kasus tersebut.
Namun penulis masih menganalisa hal yang meringankan yaitu berkaitan dengan usia Terdakwa
muda, diharapkan dapat merubah perilakunya
yang buruk dikarenakan gangguan dalam perilaku perlu dilakukan serangkaian pengobatan proses rehabilitasi.
Kepastian Hukum
Hakim dalam memutus perkara kasus pencabulan memenuhi unsur kepastian hukum dengan memperhatikan fakta-fakta yang terjadi pada kasus pencabulan tersebut, menelaah bahwa perbuatan terdakwa melawan hukum dan memenuhi unsur pidana. Namun
belum dapat dikatakan secara jelas tentang kepastian
hukum pada Undang-Undang profesi hipnoterapis. Belum ada aturan jelas
yang mengatur Undang-Undang
Hipnoterapis, sehingga ketika terjadi malpraktik pada profesi hipnoterapis, penulis mengkaji dari malpraktik
kedoktern. Penulis menemu-kan bahwa Undang-Undang tentang tindak pidana percabulan
khususnya meng-gunakan hipnosis perlu ditegakkan, dan para penegak hukum perlu bekerja
sama untuk membuat hukum berjalan
sesuai dengan yang dicita-citakan. Termasuk dalam menyikapi para pelapor Tindak Kekerasan Seksual dan melenyapkan budaya kompromi atas masalah
ini.
BIBLIOGRAFI
Amin, Subhan. (2019). Keadilan Dalam Perspektif
Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat. El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan
Tafsir Hadis, 8(1), 1�10.
Aristawati, Evy, Cahyono, Bagus Dwi, & Huda,
Nurul. (2022). Community Education In Overcoming Stigmatiztion Family With
Mental Disorders In The Agricultural Area Of Mojoparon Pasurun Regency. UNEJ
E-Proceeding, 251�254.
Ayuningtyas, Eka, & Parman, Lalu. (2019). Konsep
Pencabulan Verbal Dan Non Verbal Dalam Hukum Pidana. Jurnal Education And
Development, 7(3), 242.
Cloward, Richard A., & Ohlin, Lloyd E. (2013). Delinquency
and opportunity: A study of delinquent gangs. Routledge.
Farid, Hami, Hapsari, Ifahda Pratama, & Iskandar,
Hardian. (2022). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pencabulan Anak Di
Bawa Umur. Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah, Gresik, Jawa Timur.
Hikmah, Nurul. (2015). Kualitas Hidup Perawat Jiwa
Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Universitas Airlangga.
Ibrahim, Ibrahim. (2018). Kesehatan Ala Hipnoterapi
Islam. Jurnal Ilmiah Syi�ar, 18(2), 103�115.
Ilahi, Wahyu Rizki Kartika. (2018). Resiko medis dan
kelalaian medis dalam aspek pertanggungjawaban pidana. Jurnal Hukum
Volkgeist, 2(2), 170�186.
Ishaq, Yanuar. (2019). PErlindungan Hukum Bagi
Dokter Yang Di Duga Malpraktik. Universitas Narotama.
Koto, Ismail, & Asmadi, Erwin. (2021).
Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Tindakan Malpraktik Tenaga Medis di Rumah
Sakit. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi, 181�192.
Lamintang, P. A. F. (1997). Dasar-Dasar untuk
mempelajari Hukum Pidana Yang berlaku di Indonesia, cetakan ketiga. Bandung:
Citra Aditya Bhakti.
Lestari Pradana, Dian. (2020). Tinjauan
Kriminologis Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual Di Kabupaten Sinjai
(Studi Kasus Tahun 2017-2019). Universitas Hasanuddin.
Oktaviani, Neng Risma. (2020). Analisis
Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pencabulan) Pada Anak Di
Bawah Umur Di Kota Sukabumi Dihubungkan Dengan Uu No 17 Tahun 2016 Tentang
Perlindungan Anak (Studi Kasus Putusan Nomor246/Pid. Sus/2019/PN Skb).
Universitas Muhammadiyah Sukabumi.
Roeslie, Ernawati, & Bachtiar, Adang. (2018).
Analisis persiapan implementasi program indonesia sehat dengan pendekatan
keluarga (indikator 8: kesehatan jiwa) di kota depok tahun 2018. Jurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia: JKKI, 7(02), 64�73.
Silvia Ningsih S, Eva. (2022). Penegakan Hukum
Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Di Wilayah Hukum Pengadilan
Negeri Muara Bulian. Ilmu Hukum.
Copyright holder: Lucy Lidiawati
Santioso, Marjan Miharja,
Dadang Herli (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |