Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 8, No. 10, Oktober 2023

 

PSIKOLOGI KRIMINAL TERHADAP MALPRAKTIK HIPNOTERAPIS DALAM KASUS PERCABULAN ANAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM

 

Lucy Lidiawati Santioso, Marjan Miharja, Dadang Herli

Program Studi Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM Jakarta

Email: [email protected]

 

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengkaji tentang psikologi kriminal terhadap malpraktik hipnoterapis dalam kasus percabulan anak ditinjau dari perspektif penegakan hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif, dengan menggunakan Data Sekunder (dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, jurnal-jurnal dan sebagainya). Hasil dari penelitian ini penulis menelaah bahwa adanya sikap batin dan hati nurani terdakwa yang lemah sehingga egonya mencari kepuasan dan sulit mengontrol dorongan-dorongan dari insting seksual yang tidak terpuaskan, sesuai dengan teori psikoanalisa, Sigmund Freud.

 

Kata Kunci: Psikologi, Hipnoterapis, Pencabulan Anak, Penegakan Hukum

 

Abstract

The purpose of this study is to examine criminal psychology towards hypnotherapist malpractice in child fornication cases from a law enforcement perspective. The research method used in this study is normative juridical, namely research focused on examining rules or norms in positive law, using Secondary Data (official documents, books, research results in the form of reports, journals and so on). And the results of this study the author examines that there is a weak mental attitude and conscience of the defendant so that his ego seeks satisfaction and is difficult to control the impulses of an insatiable sexual instinct, in accordance with the theory of psychoanalysis, Sigmund Freud.

 

Keywords: Psychology, Hypnotherapist, Child Abuse, Law Enforcement

 

Pendahuluan

Pembangunan Indonesia dalam berbagai sektor dengan adanya adanya kemajuan teknologi, dengan berita sosial media berdampak pada psikologis manusia yang memengaruhi gaya hidup, pola berpikir, berperilaku dan bahkan empati. Ini menyebabkan masalah kesehatan mental karena banyak orang tidak lagi mampu beradaptasi dengan tuntutan jaman, dan berdampak pada stres. sehingga tidak sedikit orang mengalami stres negatif dan akhirnya berpengaruh buruk karena akan merusak sistem metabolisme tubuhdan memengaruhi kesehatan fisik seseorang bahkan berakhir dengan kematian.

Sementara setiap orang memiliki jaminan terhadap kesehatan fisik maupun jiwa sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 28H (1), ditambah dengan Ketentuan Umum Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesehatan itu meliputi fisik, mental, spiritual, sosial untuk seseorang dapat hidup produktif. Dalam hal ini tampak bahwa kesehatan fisik penting namun kesehatan mental juga merupakan hal yang tidak kalah penting karena mental yang sehat akan membuat pikiran menjadi positif sehingga tubuh akan berfungsi dengan dengan optimal, baik secara emosional, psikologis, sosial dan akan memengaruhi cara berpikir, merasakan, dan berperilaku (Amin, 2019).

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018,lebih dari 19 juta orang berusia di atas 15 tahun menderitagangguan mental dan emosional, dan lebih dari 12 juta orang berusia di atas 15 tahun menderita depresi. Menurut sistem registrasi spesimen yang dilaksanakan oleh Badan Litbang pada tahun 2016,data kasus bunuh diri adalah 1.800 orang per tahun, yaitu 5 orang bunuh diri setiap hari, dan 47,7% kasus bunuh diri berusia antara 10-39 tahun tergolong usia anak-anak dan remaja (Hikmah, 2015).

Untuk saat ini Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk, artinya sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa. Ini masalah yang sangat tinggi karena 20% dari 250 juta jiwa secara keseluruhan potensial mengalami masalah kesehatan jiwa.Jika kita melihat bahwa begitu banyaknya penderita gangguan jiwa belum tertangani secara medis dengan baik dikarenakan kurangnya tenaga kesehatan di Indonesia (Aristawati, Cahyono, & Huda, 2022);(Ilahi, 2018).

Jumlah tenaga kesehatan jiwa profesional di Indonesia masih belum mampu memenuhi kuota minimal yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Padahal WHO menetapkanstandar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 penduduk. Tenaga profesional Kesehatan jiwa yang tidak mencukupi jumlah penyandang gangguan Kesehatan jiwa membuat bermunculan tenaga Kesehatan komplementer lainnya, diantaranya adalah hipnoterapis (Roeslie & Bachtiar, 2018).

Hipnoterapis adalah orang yang berperan membantu klien memahami situasi yang sebenarnya sehingga pasien mampu memecahkan masalah psikologisnya sendiri (Ibrahim, 2018). Ini membuka peluang bagi banyak orang untuk mengemban profesi baru sebagai hipnoterapis. Sebelum belajar menjadi hipnoterapis, mereka perlu mendalami dulu bagaimana melakukan hipnosis, tetapi ternyata tidak semua orang yang belajar hipnosis ini memiliki itikad baik.

Maraknya kasus kejahatan berkedok kriminal hipnotis di Indonesia, menjadi suatu keprihatinan tersendiri, dimana tampak perubahan pola kehidupan masyarakat sosial yang terus berkembang dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi sehingga mempermudah orang untuk mengakses cara belajar menjadi hipnotis atau hipnoterapis dengan cara yang instan (Farid, Hapsari, & Iskandar, 2022). Salah satunya adalah percabulan pada anak di bawah umur. Jika dilihat dari segi korban, maka kelompok yang rentan menjadi korban kejahatan adalah anak-anak, dikarenakan anak-anak masih lemah, rentan terhadap bujukan dan rayuan, mudah dipengaruhi dengan sesuatu yang menyenangkan.

Data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) angka kekerasan seksual pada anak meningkat secara signifikan setiap tahunnya (Oktaviani, 2020). Jika dibandingkan dari tahun 2016 sampai dengan 2019, angka kekerasan seksual anak meningkat lebih dari 14 kali lipat atau bertambah 1300%. Kenaikan yang signifikan ini membutuhkan perhatian dan penanganan yang cukup serius (Ibrahim, 2018).

Banyaknya kasus di Indonesia terhadap malpraktik atau pelanggaran kode etik disebabkan karena belum adanya penegakan hukum berdasarkan hukum positif yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui Pemerintah (Koto & Asmadi, 2021). Layanan kesehatantradisionaltentusaja perludibarengi dengankajian penguatan hukumterhadapnya. Dalam hal ini perantenaga Kesehatan masyarakat perlu dijaminsecaralegal.

Di Indonesia, jika ada seseorang yang melakukan kejahatan atas nama hipnoterapis, maka dia tidak bisa dilindungi sebagai profesinya, namun pelaku kejahatan atas nama hipnotis atau hipnoterapis ini akan mendapatkan hukuman sesuai Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Segala bentuk kejahatan dan pelanggaran yang bersifat publik telah diatur oleh hukum pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Salah satu contoh yang akan dibahas dalam penulisan kali ini adalah tentang percabulan pada anak dengan metode hipnosis, perbuatan percabulantermasukdalam kejahatanterhadapkesusilaan yang dituangkandalamPasal 289 KUHP. Oleh karenanya, pentingnya aturan hukum di Indonesia dalam bentuk Undang-undang yang mengatur tentang praktik hipnoterapis. Aturan hukum ditegakkan agar membuat berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum ditujukan guna meningkatkan keadilan, kebermanfaatan dan kepastian hukum dalam masyarakat.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis menetapkan judul dalam tesis ini adalah: �Psikologi Kriminal terhadap malpraktik Hipnoterapis dalam kasus percabulan anak ditinjau dari perspektif Penegakan Hukum.�

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Tipe atau sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif (descriptive reasearch). Jenis data yang digunakan adalah data sekunder (dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, jurnal-jurnal dan sebagainya).

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Analisis putusan Hakim pertanggungjawaban Pidana terhadap Malpraktik Hipnoterapis dalam Kasus Percabulan pada anak berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 4/Pid.Sus/2017/PN Pgp ditinjau dari Psikologi Kriminal

Pelecehan seksual yang dialami Saksi Korban Risnadia yang berusia 16 tahun tentu saja menimbulkan dampak traumatis baik dampak fisik maupun trauma psikologis seumur hidupnya. Apakah karena kejadian ini, korban masih mendapatkan haknya sebagai anak untuk bertumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, lalu bagaimana korban dapat menghadapi stigma masyarakat serta mengatasi trauma yang dialami akibat kejadian ini.

Terdapat sejumlah simptom yang dialaminya seperti perasaan tidak tenang dan nyaman karena hal yang terjadi pada dirinya, malam harinya merasa sakit perut hingga menangis, lalu merasa kemaluannya sakit ketika buang air kecil, bahkan hingga pingsan karena traumanya. Selain itu hal yang buruk terjadi pula terhadap fisik Risnadia yaitu luka pada alat kelamin dan terdapat robekan pada selaput dara akibat kekerasan dengan benda tumpul.

Dampak psikologis dan fisik ini tentunya merusak masa depan Risnadia. Pada awalnya, Risnadia juga bingung atas apa yang terjadi pada dirinya, banyak yang menyimpan sendiri berbagai pikiran dan perasaannya secara subyektif mengenai peristiwa yang dialaminya dan bereaksi dengan caranya sendiri, sehingga dia takut bercerita kepada orang tuanya maupun orang lain.

Sementara Risnadia sebagai anak yang berada didalam lingkungan pendidikan khususnya sekolah sudah seharusnya mendapat perlindungan, terdapat dalam Pasal 54 UndangUndang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan anak.

Mengapa anak dapat dengan mudah tunduk pada gurunya adalah karena sebelumnya Risnadia pernah mengalami dibully oleh teman-temannya hingga minder sehingga gurunya menawarkan bantuan untuk membuatnya lebih percaya diri dan menjadi pemimpin bagi teman-teman teater lainnya. Risnadia dalam hal ini di bawah kekuasaan orang dewasa, yaitu gurunya sebagai pendidik dan memiliki figur otoritas yang dapat membuat anak tunduk apapun perintahnya dengan bujuk rayu gurunya berupa iming-iming untuk dijadikan pemimpin dan membuat anak percaya diri lalu korban mengikuti perintah gurunya untuk datang lebih awal dengan harapan dia akan menjadi lebih percaya diri dibandingkan teman-temannya.

Jika kita bahas tentang hipnosis, fase yang dilakukan itu dikenal dengan sebutan Pre-induksi, dimana pada fase ini, Terdakwa berkomunikasi dengan bawah sadarnya dan masuk ke dalam keyakinan Anak korban sehingga Anak menjadi percaya karena ingin berubah menjadi percaya diri. Sepertinya gurunya tahu kelemahan dan kebutuhan Risnadia, maka Terdakwa menggunakan figur otoritasnya sehingga Risnadia pada awalnya sudah bersedia untuk mengikuti semua instruksi lanjutan gurunya. Maksud dari proses hipnosis yang dilakukan gurunya adalah melakukan hipnoterapi dalam meningkatkan rasa percaya diri Risnadia.

Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut :

1) Adanya bujuk rayu yang dilakukan guru J dengan menggunakan pesan melalui BBM dengan mengatakan �Nadia sebelum acara kegiatan pembekalan materi kelas X dan XI, Nadia mesti dilatih, dibekal tuk pemantapan materi n praktek e, biar mantap ngajar tau ngelatih anak-anak kelas X dan XI, jadi kelasnya Nadia lebih hebat dari mereka, jadi Nadia bisa disegani n dihargai kelas X dan XI, kapan mo saya gembleng n latih�, lalu R spontan menanggapi hingga dicapai kesepakatan harinya.

2) Melakukan tes sugesti (pre induksi), seperti focus training, kemudian tangan menempel/locking the hands dan tangan yang diletakkan batako dan balon yang melayang/arm rising and falling test

3) Induksi, contohnya sepertibayangkan jika anda melihat sebuah daun yang sedang melambai semakin anda melihatnya semakin mengantuk, kemudian terdakwa menghitung sampai 20 hitungan mundur

4) Deepening, terdakwa memutar Instrumen musik dari laptop sehingga membuat saksi korban Risnadia dan saksi Suci menjadi rileks kemudian terdakwa menyuruh saksi korban Risnadia dan saksi Suci untuk membayangkan suasana yang menyenangkan. Setelah masuk kondisi trance, maka Terdakwa mulai melakukan percabulan kepada R dengan mencium bibir, membuka baju, lalu meremas payudara kemudian menghisap kedua payudara saksi korban Risnadia, lalu terdakwa memasukan tangan ke dalam celana saksi korban Risnadia hingga memegang kemaluan saksi korban Risnadia, setelah itu terdakwa memegang tangan saksi korban Risnadia untuk memegang penis terdakwa.

5) Sugesti, ditambah dengan sugesti lainnya yaituuntuk orang yang saya sentuh bayangkan anda sedang menunggangi kudasehingga saksi korban Risnadia membayangkan sedang berada di Bromo dan sedang menunggangi kuda, kemudian terdakwa mengangkat dan menurunkan badan saksi korban Risnadia berulangulang. Lalu diberikan lagi sugestiBayangkan Anda Sedang Berada di kamar Mandi Sedang Membasuh Tubuh Anda�.

Sambil menyentuh badan saksi korban Risnadia, terdakwa mengarahkan tubuh saksi korban Risnadia berdiri memegang sandaran kursi sambil membukukkan badan lalu terdakwa kembali berkataBayangkan Anda Sedang Membersihkan Tubuh Anda, Bayangkan Anda Sedang Membersihkan Kemaluan Anda sambil bayangkan anda mansturbasi�, pada saat itu juga terdakwa membuka celana saksi korban Risnadia dan memasukkan kemaluannya yang sudah tegang kedalam kemaluan saksi korban Risnadia dari belakang keluar masuk berulang kali selama kurang lebih 5 (lima) menit.

6) Terminasi, terdakwa memberikan saran sekaligus menutup proses hipnosis dengan berkatalupakan kejadian hari ini dan kamu adalah pemimpin, kamu lebih hebat dari mereka, setelah kamu buka mata, kamu akan lebih percaya diri�.

Perbuatan-perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh gurunya sangat erat hubungannya dengan kejiwaan individu, dimana dia hidup dalam norma bermasyarakat ditambah dengan posisinya sebagai pendidik sehingga menyebabkan individu tidak dapat memisahkan antara perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Jadi kejahatan ditinjau dari psikologis jelas menitikberatkan seberapa jauh adanya pengaruh kejiwaan yang dapat digolongkan perbuatan jahat sesuai dengan penyimpangan terhadap kaedah-kaedah yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Dalam bidang penegakan hukum, psikologi kriminal digunakan sebagai metode untuk menelaah faktorfaktor psikologi apakah yang mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah hukum (berperilaku normal) dan meneliti faktorfaktor apakah yang mendorong seseorang dalam melanggar kaidah hukum (berperilaku abnormal).

Dilihat dari sisi kepribadiannya, meninjau dari teori psikoanalisa dari Sigmund Freud bahwa setiap manusia memiliki libido (nafsu birahi) yang selalu menuntut untuk dilampiaskan namuntidak selalu dapat direalisasikan oleh manusia. Penyebabnya adalah karena adanya norma-norma sosial yang hidup dalam masyarakat yakni norma agama, kesusilaan maupun norma hukum. Seharusnya diikuti dengan kontrol yang tegas terhadap pemberlakuan dan pentaatan norma-norma sosial yang ada.

Jika kontrol secara Bersama (kontrol kolektif) ini tidak dilakukan, maka hal ini tidak menutup kemungkinan akan mendorong munculnya tindakan pengalihan nafsu dalam bentuk yang negatif. Ini juga terjadi karena dalam diri individu selalu ada perasaan tidak puas yang didasari keyakinan bahwa lingkungan dan masyarakat telah bertindak tidak adil kepada individu, sehingga terjadinya pelampiasan dari perasaan bahwa dirinya diperlakukan tidak adil sehingga menimbulkan rasa ketidakpuasan.

Dari tinjauan Psikologi kriminal, penulis melihat bahwa adanya gangguan kejiwaan yang dialami oleh Terdakwa. Dalam hal ini, Jepry sebagai pelaku melakukan kejahatan percabulan dikarenakan hati nuraninya atau super egonya yang lemah atau tidak sempurna sehingga ego-nya (yang mempunyai peran sebagai penengah antara super ego dengan id) tidak mampu melakukan kontrol atas dorongan-dorongan dari id (bagian dari kepribadian yang mengandung keinginan dan dorongan yang kuat untuk dipuaskan dan dipenuhi) dari insting seksual yang tidak terpuaskan (Lestari Pradana, 2020).

Namun Jepri Permana alias Jepri bin Laksita dengan segala identitasnya adalah orang yang cakap dan mampu untuk mempertanggungjawabkan akibat dari segala perbuatannya itu, sehingga dengan demikian unsur setiap orang ini telah terpenuhi secara hukum dan walaupun tampak adanya unsur kejiwaan, hal ini tidak seperti yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP karena Terdakwa masih terbukti dapat diajak berkomunikasi, dia memahami serangkaian proses lengkap, sadar, insaf, bahwa tindakan yang dia lakukan dilarang atau tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang hukum, sosial dan moral.

Terdakwa juga memahami mekanisme ego pertahanan diri dan tidak merasa bersalah dan tidak mengakui perbuatannya itu, hal ini menunjukkan adanya kematangan pemikiran sehingga dapat memberikan argumentasi-argumentasi serta pengalihan topik permasalahan, tidak mudah frustasi dan terlihat santai, tenang, bahkan dia mengatakan bahwa Risnadia telah berhalusinasi, Terdakwa juga paham tentang ilmu sugesti sehingga dapat memengaruhi pikiran serta alam bawah sadar seseorang.

Selain itu, teori kesempatan dalam kriminologi, Richard A. Cloward dan Llyod E. Ohlin (2013) dalam buku Delinguency and Opportunity berpendapat bahwa munculnya kejahatan dan bentuk-bentuk perilaku tergantung pada kesempatan, baik kesempatan patuh norma maupun kesempatan penyimpangan norma.�� Kesempatan ini dikaitkan pada keinginan dari Terdakwa untuk memenuhi kepuasan seksualnya, dan ini merujuk pada sikap batin yang melekat dari kondisi internal Terdakwa yang bagian dari niat (pikiran) dan menjadi bagian dari pertanggungjawaban pidana.��

Penulis menelaah terhadap putusan Majelis Hakim yang membuktikan dakwaan ketiga yang menyatakan bahwa terdakwa melanggar Pasal 82 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.Unsur dalam pasal tersebut sudah terpenuhi semua, yaitu perbuatan dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan.

Ditambah dengan Pasal 89 KUHP menyebutkan �yang disamakan melakukan kekerasan itu membuatnya jadi pingsan atau tidak berdaya�. Pingsan artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya, sedangkan tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun.

Dalam hal ini, korban dilakukan hipnosis. Hipnosis adalah teknik yang membuat seseorang berada dalam keadaan rileks dan tenang agar bisa lebih fokus dan dengan begitu, Risnadia akan lebih mudah merespons sugesti yang diberikan oleh juru hipnosis (dalam hal ini guru Risnadia) sehingga Risnadia menjadi tidak berdaya dan mau melakukan apapun yang diperintahkan tanpa mampu melawan. Pelaku menggunakan cara hipnosis untuk memperdaya korbannya, tingkat Hipnosis adalah teknik yang kesadaran yang dimiliki oleh korban menjadi menurun, korban tidak lagi memiliki kendali atas dirinya sendiri.

Pertanggungjawaban pidana terhadap praktik hipnoterapi yang menyimpang seperti yang dilakukan Terdakwa dapat disebut dengan malpraktik. Dalam hal perbuatan melawan Undang-Undang jika dilakukan oleh tenaga kesehatan, termasuk tenaga kesehatan tradisional yang di dalamnya adalah terapis oleh pikir atau hipnoterapis, dapat dikatakan malpraktik. Terjadinya malpraktik atau tidak bukan hanya didasarkan pada hasilburuk� yang terjadi setelah praktik yang dilakukan terhadap pasien namun berdasarkan prosedur atau bagaimana tindakan dilaksanakan. Malpraktik disini merujuk kepada profesi kedokteran, yakni Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori absolut dari Imanuel Kant,dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan. Lalu, adanya efek jera dan memberikan rehabilitasi dari pemidanaan dan akibat dari perbuatan perlaku.

Penulis mempertimbangkan kepu-tusan pengadilan yang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000.- (delapan ratus juta rupiah) mengingat akibat yang ditimbulkannya, ditambah dengan gangguan kejiwaan yang akan berulang saat dia bebas dari tahanan, lalu kemungkinan akan dialami oleh korban berikutnya.

Dalam hukum pidana, pemidanaan digunakan sebagai pencegah karena semua orang tidak melakukan kejahatan (teori pencegahan umum/algemene preventie theorieen), tetapi selain untuk pencegahan, juga untuk merehabilitasi pelaku kejahatan tersebut dan membuat mereka tidak berdaya dan melakukan kejahatan lagi (teori pencegahan khusus/bijzondere preventie theorieen) (Lamintang, 1997). Menurut Grohlman, seorang pendukung teori pencegahan khusus, tujuan dari pidana adalah untuk melindungi masyarakat dengan membuat penjahat-nya menjadi tidak berbahaya atau menghalangi mereka melakukan keja-hatan lain dan menjadi jera melakukan kejahatan.

Bertitik tolak dari hal ini, tujuan pemidanaan dalam hubungannya dengan teori tujuan/relatif dan teori gabungan, yaitu disamping membuat penjahat jera untuk tidak melakukan suatu kejahatan lagi atau menimbulkan rasa takut untuk tidak mengulangi berbuat jahat, juga diberikan bimbingan dan pembinaan jasmani dan rohani sesuai dengan minat dan bakat terpidana tidak tercapai atau tidak dapat diwujudkan.

Hal ini dimaksudkan agar terpidana setelah selesai menjalani pidananya, memiliki mental dan moral yang baik serta memiliki bekal ketrampilan dalam berintegritas dengan kehidupan masyarakat dimana terpidana itu akan hidup dan bertempat tinggal. Oleh karena itu hukum harus berani menjatuhkan pidana yang setimpal/ sebanding atau sesuai dengan per-buatannya dan dengan ancaman pidana yang tercantum didalam suatu ketentuan perundang-undangan atau hukum yang berlaku.

Tambahan lagi, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari amanat Pasal 81A ayat (4) dan Pasal 82A ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, untuk memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku tindak pencabulan, yaitu tindakan kebiri kimia.

Tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sesuai dengan Pasal 5 dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaku baru dapat diberikan tindakan kebiri kimia apabila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan layak dikenakan tindakan kebiri kimia dan dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi.

Namun dikarenakan ada masa waktunya, maka pelaku juga dilakukan rehabilitasi untuk menekan hasrat seksual berlebih pelaku dan agar perilaku penyimpangan seksual pelaku dapat dihilangkan.

Rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku dengan tindakan kebiri kimia berupa rehabilitasi psikiatrik, psikologis, sosial, dan medik. Menurut Penulis, keberadaan tindakan kebiri kimia bukan hanya sebagai suatu sanksi yang bertujuan rehabilitasi, namun memiliki tujuan sebagai pembalasan dan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang telah dilakukan.

 

 

B.     Proses Penegakan hukum terhadap Profesi Hipnoterapis

Penegakan hukum merupakan suatu rangkaian langkah aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan hukum terhadap setiap tindakan atau peristiwa pelanggaran melawan hukum.Secara konkret penegakan hukum adalah berlakunya hukum positif yang dalam praktiknya sudah seharusnya patut untuk dipatuhi. Secara objektif, penegakan hukum ialah norma yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan materiil, dimana hukum formal berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup segala pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini, dengan maksud menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan tidak hanya norma aturan itu sendiri melainkan juga dengan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya.

Lalu dalam hal penegakan hukum perlu ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan.

1.      Keadilan

Penegakan hukum dalam menja-tuhkan putusan dengan pertimbangan hakim tentu saja harus mencerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun bagi terdakwa. Fokus untuk keadilan adalah berhubungan dengan mem-betulkan atau membenarkan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi bagi pihak yang dirugikan atau memberikan hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Maka pelanggaran pada kasus percabulan dalam hal ini, hukuman yang diberikan sepantasnya terhadap pelaku jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya tersebut terhadap kasus Risnadia..

Dari berbagai temuan dan pertimbangan, akhirnyaHakim ber-pendapat bahwa sugesti yang diberikan terdakwa tersebut dapat dikategorikan telah melakukan tipu muslihat, karena pada penutupnya terdakwa memberikan sugesti kepada saksi Risnadia untuk melupakan apa yang telah terjadi, sehingga dengan demikian unsur melakukan tipu muslihat untuk melakukan perbuatan cabul tersebut telah terpenuhi; saksi Risnadia dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar terdakwa telah melakukan perbuatan cabul sebagaimana pertimbangan tersebut, hal ini sesuai dengan Pasal 89 KUHP bahwa terdakwa juga dengan sengaja membuatnya jadi pingsan atau tidak berdaya. Selain itu adanya bukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidanadengan sengaja melakukan tipu muslihat terhadap anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dilakukan oleh pendidiktelah terpenuhi.

Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 memberikan sanksi ancaman pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal sebanyak Rp 5.000.000.000, - (lima miliar rupiah). Yang lebih khusus dalam undang-undang ini adalah jika pelaku pencabulan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, atau tenaga pendidik maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Untuk menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah atau tidak, hakim harus berpedoman pada sistem pembuktian sebagai mana diatur dalam pasal 183 KUHAP. Sementara dalam Pasal 184 KUHAP, menggunakan lima macam alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa berdasarkan rumusan Pasal diatas. Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara gabungan antara sistem pembuktian positif dan negatif, yaitu menggunakan pembuktian engan alat-alat bukti yang sah (mendengar keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa, barang bukti dan visum et repertum), adanya kesesuaian antara masing-masing alat bukti serta barang bukti, maka diperoleh fakta hukum yang menjadi dasar bagi hakim untuk memperoleh keyakinan dan mengambil serta menjatuhkan keputusan yang sesuai kepada terdakwa setelah proses pemeriksaan.

Pelecehan seksual dalam artian melakukan pencabulan terhadap anak didik merupakan suatu perbuatan yang melanggar dan melawan hukum sehingga hukum pidana berperan penting dalam menyelesaikan perkara tindak pidana kesusilaan dan mencari kebenaran fakta hukum dari peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap anak didiknya (Silvia Ningsih S, 2022);(Ayuningtyas & Parman, 2019). Setelah mendapatkan fakta hukum atas peristiwa tersebut maka baru dapat diberikan penjatuhan hukuman seberat-beratnya dan seadil-adilnya, sesuai dengan teori absolut atau pembalasan dari Immanuel Kant. Didukung dengan teori tujuan/relatif dan teori gabungan hukuman yang seadil-adilnya untuk melindungi masyarakat dan membuat penjahatnya jera, tidak lagi menimbulkan keresahan dalam masyarakat, khususnya di lingkungan pendidikan.

Dengan demikian keadaan yang menyangkal keadilan itu harus dilenyapkan dengan ketidakadilan pula, yaitu dengan menjatuhkan pidana, karena pidana itupun merupakan suatu ketidakadilan. Dalam hal terjadinya kejahatan, maka masyarakat itu harus diberikan kepuasan dengan cara menjatuhkan pidana, sehingga rasa puas dapat dikembalikan lagi.

 

2.      Kemanfaatan

Dalam memutuskan perkara atau menjatuhi sanksi pidana, hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan juga hal-hal yang meringankan. Dengan nomor putusan Nomor 4/Pid.Sus/2017/PNPgp jelaslah mengandung unsur kemanfaatan, karena putusan tersebut memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan juga yang memberatkan tersangka, sehingga jadilah putusan tersebut yang dapat diterima oleh kedua belah pihak (korban dan tersangka).

Dalam putusan tersebut majelis hakim telah mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam kasus tersebut, seperti memperhatikan hal yang memberatkan dan meringankan ter-sangka. Penulis juga setuju pada hal-hal yang memberatkan, yakni perbuatan terdakwa telah merusak masa depan anak Risnadia Anggraini, membuat malu keluarga dan mencoreng nama baik profesi guru pada umumnya terlebih lagi profesinya sebagai hipnoterapis

Namun penulis masih menganalisa hal yang meringankan yaitu berkaitan dengan usia Terdakwa masih muda, diharapkan dapat merubah perilakunya yang buruk. Apakah ini menjadi jaminan bahwa Terdakwa dapat merubah perilakunya tanpa adanya proses rehabilitasi mental misalnya? Banyak faktor yang memengaruhi dalam perubahan perilaku (internal maupun eksternal) sehingga tidak dengan mudah hanya karena usia masih relatif muda diharapkan Terdakwa dapat merubah perilakunya tanpa didampingi oleh rehabilitasi (psikiatrik, psikologis, sosial, dan medik).

 

3.      Kepastian Hukum

Hakim dalam memutus perkara kasus pencabulan yang dilakukan oleh Jepry terhadap Risnadia telah memenuhi unsur kepastian hukum karena hakim yang bertugas mengadili dan memutus perkara telah memperhatikan fakta-fakta yang terjadi pada kasus pencabulan tersebut, sebagai salah satu contohnya adalah bahwa majelis hakim mendengarkan keterangan dari para saksi, kemudian mempertimbangkan hasil VER (Visum Et Repertum) korban dalam memutus perkara, dan lain-lain.

Adanya penegakan hukum dan pertanggungjawaban pidana, membutuh-kan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa yakni, melakukan serangkaian proses hipnosis cabul kepada korban, erbuatannya melawan hukum pasal 289 KUHP, melanggar hak korban di bawah umur yang dijamin oleh hukum, kesalahan pelaku dengan melakukan percabulan kepada anak didiknya dan dalam melakukan tindakan guru yang bertindak sebagai hipnoterapis mengandung unsur kesalahan dan dapat dimintai pertanggung jawabannya secara hukum karena memenuhi unsur-unsur pidana yaitu adanya unsur kesengajaanyang dilakukan oleh hipnoterapis, maksudnya adalah terdakwasudah mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukan.

Terdakwa dalam hal ini memiliki kehendak, artinya sudah mengetahui apa yang akan dilakukan dan merupakan kehendak dari diri Terdakwa tersebut, hal ini berarti bahwa pelaku yang sudah tau mengenai maksud dan akibat yang timbul tindakan tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa sengaja dan dikehendaki serta dilakukan dengan penuh kesadaran. Kelalaian dalam menunaikan tugasnya sebagai guru yang perlu mengajarkan hal yang tidak melanggar norma kesusilaan dan agama.

Dam hal ini tidak ada alasan Pembenar atau Pemaaf, dikarenakan Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dan sepanjang pemeriksaan di persidangan tidak ditemukan adanya alasan-alasan pemaaf yang dapat menghapuskan sifat kesalahan terdakwa ataupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan terdakwa, maka oleh karena itu terdakwa harus dipersalahkan dan harus pula dipidana. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seorang yang �mampu bertanggung jawab� yang dapat dipertanggungjawab pidanakan.

Salah satu indikator negara hukum adalah keberhasilan dalam penegakan hukumnya. Dikatakan berhasil karena hukum yang telah diaturnya, sudah seharusnya dan sudah waktunya, dijalankan dan ditaati oleh seluruh elemen masyarakat. Untuk itulah, maka menjadi penting untuk diketahui apakah penegakan hukum itu sesungguhnya. Dari analisis kasus yang dibahas dan hal yang relevan pada penegakan hukum dalam penelitian ini tampak bahwa proses penegakan hukumnya dilakukan sebagai hukum itu sendiri yaitu Undang-Undang (�UU�) atau peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh Pemerintah namun undang-undangnya itu sendiri bermasalah yang disebabkan :

1) Tidak diikutinya azas-azas berlakunya. Dalam asas hukum pidana yang berlaku adalah asas legalitas atau yang biasa disebut sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang artinya adalah tiada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa ada suatu peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Hal ini diartikan bahwa tidak dapat ditindaknya pelaku sebagai kelalaian malpraktik hipnoterapis karena tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut.

Dalam hal ini pemerintah tidak dapat memberikan sanksi atas profesi hipnoterapis, belum ada peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuh-kan untuk menerapkan Undang-Undang yang mengatur tentang hipnoterapi. Dalam kasus ini, terdakwa diberikan sanksi atas perbuatannya yang tercela. Hukum yang dimaksud adalah aturan perundang-undangan itu sendiri yang masih belum efektif mengenai pengaturan ketentuan yang mengaturnya.

Selain itu, tidak ada juga pengertian tentang malpraktik yang jelas. Pengaturan tindak pidana malpraktik hipnoterapis mengacu pada Undang-Undang Kesehatan pada profesi tenaga kesehatan dokter, dan hal yang tercantum adalah akibat dari perbuatan malpraktik tersebut (Ishaq, 2019). Makna atau pengertian malpraktik didapat di Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 1963 Tentang Kesehatan (�UU Tenaga Kesehatan�).

2) Ketidakjelasan arti kata-kata dalam Undang-Undang yang akan berakibatkesimpang siuran dalam penafsiran serta penerapannya. Ketidakjelasan arti dapat dijumpai, misalnya, tentang terapi oleh pikir. Sesuai dengan pengertiannya sama dengan tujuan dari pengobatan pada hipnoterapi. Hal ini yang tidak jelas maksudnya, sehingga ketidakjelasan arti kata-kata itu di dalam Undang-Undang yang mengakibatkan terjadinya kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya di dalam prakteknya.

Selain itu, Faktor Penegak Hukum menjadi hal yang penting, namun masih terdapat endala yang dialami dalam mengatasi tindak kejahatan yang menggunakan hipnosis. Pasal 61 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pemerintah mengatur dan mengawasi hipnoterapis dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya peraturan tersebut merupakan suatu bentuk komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi hipnoterapis.

Namun pada pelaksanaannya, peranan ini tidak terlaksana dengan baik. Belum adanya kontrol terhadap organisasi profesi yang secara ketat mengawasi profesi hipnoterapis sehingga tidak diketahui jika ada pelanggaran kode etik. Masyarakat juga membutuhkan ketenangan dan rasa keadilan sehingga penegakan hukum harus berjalan dalam koridor yang benar untuk melindungi masyarakat, menghindari budaya suap dan kompromi yang masih terlihat jelas di Indonesia.

 

 

 

 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

Tinjauan dari psikologi kriminal ditemukan bahwa penulis menelaah adanya sikap batin dan hati nurani Terdakwa yang lemah sehingga egonya mencari kepuasan dan sulit mengontrol dorongan-dorongan dari insting seksual yang tidak terpuaskan, sesuai dengan teori psikoanalisa, Sigmund Freud. Dalam hal ini, tampak Terdakwa yang tidak mengakui perbuatan terlihat adanya mekanisme pertahanan diri untuk menghindari kesalahan, sehingga Terdakwa dapat dimintai pertanggungjawa- ban pidana dengan sanksi yang seadil-adilnya.

Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa sengaja dan dikehendaki serta dilakukan dengan penuh kesadaran. Dan dalam hal ini tidak ada alasan Pembenar atau Pemaaf, dikarena-kan Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dan sepan-jang pemeriksaan di persidangan tidak ditemukan adanya alasan-alasan pemaaf yang dapat menghapuskan sifat kesalahan terdakwa ataupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan terdakwa, maka oleh karena itu terdakwa harus dipersalahkan dan harus pula dipidana.

Proses Penegakan Hukum pada profesi Hipnoterapis yang mengutamakan keadilan, keman-faatan dan kepastian hukum.

Keadilan

Keputusan hakim dalam menjatuhkan hukuman men-cerminkan rasa keadilan baik bagi korban maupun terdakwa disertai dengan adanya bukti-bukti sesuai dengan sistem pembuktian. Mengingat teori Immanuel Kant bahwa kejahatan menyebabkan ketidakadilan, kejahatan juga harus dibalas dengan ketidakadilan. Hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim pantas jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya tersebut ter-hadap kasus Risnadia.

Kemanfaatan

Dalam memutuskan perkara atau menjatuhi sanksi pidana, hakim mempertim-bangkan hal-hal yang memberatkan dan juga hal-hal yang meringankan berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam kasus tersebut. Namun penulis masih menganalisa hal yang meringankan yaitu berkaitan dengan usia Terdakwa muda, diharapkan dapat merubah perilakunya yang buruk dikarenakan gangguan dalam perilaku perlu dilakukan serangkaian pengobatan proses rehabilitasi.

Kepastian Hukum

Hakim dalam memutus perkara kasus pencabulan memenuhi unsur kepastian hukum dengan memperhatikan fakta-fakta yang terjadi pada kasus pencabulan tersebut, menelaah bahwa perbuatan terdakwa melawan hukum dan memenuhi unsur pidana. Namun belum dapat dikatakan secara jelas tentang kepastian hukum pada Undang-Undang profesi hipnoterapis. Belum ada aturan jelas yang mengatur Undang-Undang Hipnoterapis, sehingga ketika terjadi malpraktik pada profesi hipnoterapis, penulis mengkaji dari malpraktik kedoktern. Penulis menemu-kan bahwa Undang-Undang tentang tindak pidana percabulan khususnya meng-gunakan hipnosis perlu ditegakkan, dan para penegak hukum perlu bekerja sama untuk membuat hukum berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan. Termasuk dalam menyikapi para pelapor Tindak Kekerasan Seksual dan melenyapkan budaya kompromi atas masalah ini.

 

BIBLIOGRAFI

Amin, Subhan. (2019). Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap Masyarakat. El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 8(1), 1�10.

 

Aristawati, Evy, Cahyono, Bagus Dwi, & Huda, Nurul. (2022). Community Education In Overcoming Stigmatiztion Family With Mental Disorders In The Agricultural Area Of Mojoparon Pasurun Regency. UNEJ E-Proceeding, 251�254.

 

Ayuningtyas, Eka, & Parman, Lalu. (2019). Konsep Pencabulan Verbal Dan Non Verbal Dalam Hukum Pidana. Jurnal Education And Development, 7(3), 242.

 

Cloward, Richard A., & Ohlin, Lloyd E. (2013). Delinquency and opportunity: A study of delinquent gangs. Routledge.

 

Farid, Hami, Hapsari, Ifahda Pratama, & Iskandar, Hardian. (2022). Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Pencabulan Anak Di Bawa Umur. Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah, Gresik, Jawa Timur.

 

Hikmah, Nurul. (2015). Kualitas Hidup Perawat Jiwa Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Universitas Airlangga.

 

Ibrahim, Ibrahim. (2018). Kesehatan Ala Hipnoterapi Islam. Jurnal Ilmiah Syi�ar, 18(2), 103�115.

 

Ilahi, Wahyu Rizki Kartika. (2018). Resiko medis dan kelalaian medis dalam aspek pertanggungjawaban pidana. Jurnal Hukum Volkgeist, 2(2), 170�186.

 

Ishaq, Yanuar. (2019). PErlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Di Duga Malpraktik. Universitas Narotama.

 

Koto, Ismail, & Asmadi, Erwin. (2021). Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Tindakan Malpraktik Tenaga Medis di Rumah Sakit. Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi, 181�192.

 

Lamintang, P. A. F. (1997). Dasar-Dasar untuk mempelajari Hukum Pidana Yang berlaku di Indonesia, cetakan ketiga. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

 

Lestari Pradana, Dian. (2020). Tinjauan Kriminologis Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kekerasan Seksual Di Kabupaten Sinjai (Studi Kasus Tahun 2017-2019). Universitas Hasanuddin.

 

Oktaviani, Neng Risma. (2020). Analisis Kriminologis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pencabulan) Pada Anak Di Bawah Umur Di Kota Sukabumi Dihubungkan Dengan Uu No 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Putusan Nomor246/Pid. Sus/2019/PN Skb). Universitas Muhammadiyah Sukabumi.

 

Roeslie, Ernawati, & Bachtiar, Adang. (2018). Analisis persiapan implementasi program indonesia sehat dengan pendekatan keluarga (indikator 8: kesehatan jiwa) di kota depok tahun 2018. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia: JKKI, 7(02), 64�73.

 

Silvia Ningsih S, Eva. (2022). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Muara Bulian. Ilmu Hukum.

 

Copyright holder:

Lucy Lidiawati Santioso, Marjan Miharja, Dadang Herli (2023)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: