Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 09, September 2022
EVALUASI
KINERJA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Ahmad Hanif Firdaus
Universitas
Indonesia, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Korupsi merupakan masalah serius
dalam berbagai sektor pemerintahan dan bisnis, merugikan negara dan masyarakat
secara luas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia dibentuk sebagai
lembaga independen untuk memerangi korupsi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data pada
penelitian ini yakni dengan studi kepustakaan dengan mengeksplorasi buku,
jurnal, dan informasi lain yang relevan degan penelitian. Data yang telah
terkumpul kemudian dianalisis melalui tiga tahapan yakni reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa
evaluasi terhadap kinerja KPK menunjukkan bahwa tingkat korupsi masih tinggi,
dan beberapa berpendapat menyatakan bahwa pengawasan pidana korupsi sebaiknya
dikembalikan kepada Polri atau Jaksa. Selain itu, KPK masih dianggap belum
mencapai kinerja yang memuaskan.
Kata
Kunci: Kinerja,
Komisi Pemberantasan Korupsi, Korupsi
Abstract
Corruption is a serious problem in
many sectors of government and business, harming the state and society at
large. The Corruption Eradication Commission (KPK) in Indonesia was established
as an independent institution to combat corruption. The purpose of this study
is to evaluate the performance of the KPK in eradicating corruption in
Indonesia. This research uses qualitative research methods. The data collection technique in this
research is a literature study by exploring books, journals, and other
information relevant to the research. The data that has been collected is then
analyzed through three stages, namely data reduction, data presentation and
conclusion drawing. The results show that the evaluation of the KPK's
performance shows that the level of corruption is still high, and some argue
that the supervision of corruption crimes should be returned to the Police or
Prosecutors. In addition, the KPK is still considered to have not achieved
satisfactory performance.
Keywords:
Performance,
Corruption Eradication Commission, Corruption
Pendahuluan
Korupsi merupakan masalah serius yang melanda berbagai
sektor, baik itu sektor pemerintahan maupun bisnis. Dampaknya sangat merugikan
negara dan masyarakat secara luas. Tindakan korupsi berdampak pada perlambatan
pertumbuhan ekonomi negara, penurunan investasi, peningkatan tingkat kemiskinan,
serta meningkatkan ketidaksetaraan dalam distribusi pendapatan. Selain itu,
korupsi juga memiliki potensi untuk mengurangi tingkat kebahagiaan dalam
masyarakat suatu negara (Pahlevi, 2022).
Kasus korupsi besar-besaran mulai terungkap dalam beberapa
tahun terakhir. Dalam lima tahun terakhir, terdapat tiga kasus korupsi terbesar
yang merugikan negara. Kerugian negara yang disebabkan oleh oknum tak
bertanggung jawab dalam kasus-kasus ini hampir menyamai jumlah dana yang
disalahgunakan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hampir
seperempat abad yang lalu saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998 (Sugema
& Simorangkir, 2004).
Ketiga kasus korupsi terbesar di Indonesia ini adalah Surya
Darmadi dengan perkiraan kerugian negara mencapai Rp 78 triliun, kasus mega
korupsi Asabri dengan nilai Rp 23 triliun, dan Jiwasraya dengan kerugian negara
masing-masing Rp 17 triliun. Jika dijumlahkan, ketiga kasus tersebut telah
mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 118 triliun. Meskipun jumlah ini
masih lebih kecil dibandingkan dengan kerugian negara dalam kasus penyelewengan
dana BLBI yang mencapai Rp 138 triliun menurut hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) pada Agustus 2000 (Binekasri, 2023).
Di Indonesia, upaya untuk menghadapi ancaman korupsi
tersebut, dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK merupakan sebuah
entitas pemerintah yang dibentuk dengan maksud untuk mengatasi permasalahan
korupsi di Indonesia. Lembaga ini resmi didirikan pada tahun 2002 atas
inisiatif Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan niatan untuk menangani
tindakan korupsi yang dianggap sulit diatasi oleh lembaga kejaksaan dan
kepolisian (Sari, 2023).
Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menjadi pencetus lahirnya KPK. UU ini kemudian
disempurnakan dengan revisi UU KPK pada 2019 dgn terbitnya Undang-Undang No 19
Tahun 2019. Dalam UU 2019 diatur soal peningkatan sinergitas antara KPK,
kepolisian dan kejaksaan untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi. KPK
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun (Asyikin & Setiawan, 2020).
Keberadaan KPK sangat penting karena korupsi bukan hanya
masalah moral, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi dan keadilan sosial. Sebagai
lembaga independen, KPK memiliki peran yang sangat vital dalam memerangi
korupsi, mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah dan
pelaku bisnis, serta menjalankan proses hukum yang adil dan transparan. Kinerja
KPK harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa lembaga ini dapat
berfungsi secara efektif dan efisien dalam mengatasi korupsi. Evaluasi ini
mencakup berbagai aspek, seperti kemampuan KPK dalam mendeteksi,
menginvestigasi, dan menindak pelaku korupsi, serta transparansi dan
akuntabilitas dalam operasionalnya.
Penelitian terdahulu dilakukan oleh (Widayati
& Ginting, 2014) meneliti kinerja komisi pemberantasan korupsi dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, hasil penelitian
menunjukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak menuai hambatan
seperti dalam hal penegakan hukum atas tindak pidana korupsi, konflik yang
melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tumpang tindih kekuasaan
diantara para penegak hukum, adanya indikasi pelemahan terhadap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-undang tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), adanya pengaruh dari unsur politik, serta
kurangnya peran serta masyarakat dalam memerangi korupsi.
Penelitian serupa dilakukan oleh (Sugiarto,
2013) mengkaji peranan komisi pemberantasan korupsi (KPK) dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia, hasil penelitian menunjukan bahwa peran dan
fungsi KPK adalah melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang
lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara
sekurang-kurangnya Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Selain memiliki
beberapa kelebihan, dalam praktik pemberantasan korupsi, KPK juga memiliki
banyak tantangan, antara lain wilayah kerja KPK yang terlalu luas, masalah
hubungan antar lembaga pemberantasan korupsi, dan sosialisasi KPK yang belum
menyentuh masyarakat.
Kebaharuan pada penelitian ini adalah dengan
menguraikan upaya pemberantasan korupsi. penelitian ini dapat memberikan
kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum dan
pemerintahan. Penelitian ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang
kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi, mulai dari aspek kewenangan, tugas,
dan fungsi. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti
lain yang tertarik untuk melakukan penelitian serupa. Selain itu, penelitian
ini juga dapat menjadi bahan rujukan bagi para akademisi dan praktisi hukum
untuk memahami lebih lanjut tentang pemberantasan korupsi di Indonesia. Batasan
penelitian in adalah praktik pemberantasan korupsi di pada sektor pemerintahan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
Menurut (Moleong, 2014) penelitian kualitatif merupakan prosedur dalam
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis ataupun
lisan dari perilaku orang-orang yang dapat diamati. Teknik pengumpulan data
pada penelitian ini yakni dengan studi kepustakaan dengan mengeksplorasi buku,
jurnal, dan informasi lain yang relevan degan penelitian. Data yang terkumpul
kemudian diolah melalui tiga tahapan analisis, yaitu:
1.
Reduksi
Data
Data yang terkumpul dari berbagai
sumber direduksi atau disusun sedemikian rupa agar dapat dianalisis dengan
lebih efisien. Ini melibatkan pemilihan informasi yang paling relevan dengan
tujuan penelitian.
2.
Penyajian
Data
Setelah data direduksi, data
tersebut disajikan dengan cara yang sesuai dengan tujuan penelitian. Ini bisa
melibatkan penyusunan data dalam bentuk tabel, grafik, atau narasi yang
memudahkan pemahaman.
3.
Penarikan
Kesimpulan
Setelah data disajikan, penelitian
ini akan mencapai tahap penarikan kesimpulan. Kesimpulan ini didasarkan pada
analisis data yang telah dilakukan dan akan menggambarkan hasil dari evaluasi
kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi.
Hasil
dan Pembahasan
Tindak pidana korupsi sebagaimana pada hakikatnya merupakan tindak pidana yang berada di bawah naungan hukum pidana (Laku et al, 2021). Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra- ordinary crimes) (Dewi, 2014).
Di Indonesia lembaga Khusus pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada, kepastian hukum, keterbukaan akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Organisasi KPK di Indonesia terdiri atas Pimpinan yaitu seorang Ketua merangkap anggota dan empat orang Wakil Ketua merangkap anggota, Tim Penasehat terdiri dari empat orang (Sosisawan, 2019). Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai 4 (empat) bidang, yaitu:
1.
Deputi
Bidang Pencegahan
2.
Deputi
Bidang Penindakan
3.
Deputi
Bidang Informasi dan Data, dan
4.
Deputi
Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
KPK dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 (Widayati, 2014). Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai tugas sebagai berikut:
a.
koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.
supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.
melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.
melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugas koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, berwenang untuk:
a.
mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
b.
menetapkan
sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;�
c.
meminta
informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi
yang terkait;
d.
melaksanakan
dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e.
meminta
laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Sedangkan, kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi diatur dalam Pasal 6 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi (Aziz, 2018). KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih perkara korupsi walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU KPK). Akan tetapi, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus dengan alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK: Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
a.
Laporan
masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti.
b.
Proses
penanganan Tindak Pidana Korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c.
Penanganan
Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi
yang sesungguhnya.
d.
Penanganan
Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur korupsi.
e.
Hambatan
penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari eksekutif,
yudikatif, atau legislatif; atau
f.
Keadaan
lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan Tindak
Pidana Korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selain kewenangan untuk mengambil alih perkara korupsi, ada
hal lain yang menjadi kewenangan KPK yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU
KPK dan Pasal 50 UU KPK: Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang:
a.
melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara.
b.
mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau
c.
menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) diatur mengenai hal-hal sebagai berikut:
1)
Dalam
melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.
2)
Dalam
melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
3)
Dalam
hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan,
kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas
perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya
permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
4)
Penyerahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani
berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau
kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah merinci
tugas dari KPK yang mana salah satunya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan UU KPK hasil revisi,
saat ini KPK memiliki mandat di dalam sektor pencegahan yang cukup luas (Husodo
et al, 2020) Sebagaimana UU Nomor 19 Tahun 2019, kedeputian pencegahan di KPK
menyelenggarakan fungsi yang meliputi :
1)
Perumusan
kebijakan untuk sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan
Penyelenggara Negara (PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan
Masyarakat serta Penelitian dan Pengembangan;
2)
Pelaksanaan
pencegahan korupsi melalui pendataan, pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN;
3)
Pelaksanaan
pencegahan korupsi melalui penerimaan pelaporan dan penanganan gratifikasi yang
diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
4)
Pelaksanaan
pencegahan korupsi melalui pendidikan anti korupsi, sosialisasi pemberantasan
tindak pidana korupsi dan kampanye antikorupsi;
5)
Pelaksanaan
pencegahan korupsi melalui penelitian, pengkajian dan pengembangan
pemberantasan korupsi;
6)
Koordinasi
dan supervisi pencegahan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait dan
instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik;
7)
Pelaksanaan
kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di lingkungan Deputi Bidang
Pencegahan.
8)
Koordinasi,
sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan hubungan kerja pada sub
bidang Pendaftaran dan Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(PP LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian
dan Pengembangan;
9)
Pelaksanaan
tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan bidangnya.
Walaupun di Indonesia telah ada KPK namun, tingkat korupsi
masih tinggi. Sehingga perlunya mengembalikan fungsi polri atau jaksa sebagai
pengawas pidana korupsi. Hingga saat ini penyidikan tindak pidana korupsi di
Indonesia dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan
Kejaksaan. Ketiga lembaga tersebut mempunyai kewenangan melakukan penyidikan
tindak pidana korupsi. Perbedaannya adalah dasar pelaksanaannya yaitu,
Kepolisian dan Kejaksaan dalam penyidikannya berdasarkan pada KUHAP, sedangkan
KPK dalam penyidikannya tidak hanya berdasarkan pada KUHAP, namun juga
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) jo.Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut
UU KPK-Perubahan) dan UU TPK. Dalam menjalankan kewenangan yang sama yaitu
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, ketiga institusi tersebut secara
struktural tidak mempunyai hubungan langsung dan bertanggung jawab terhadap
kinerja masing-masing, Kepolisian bertanggungjawab kepada Kapolri, Kejaksaan
bertanggungjawab kepada Jaksa Agung dan KPK bertanggungjawab kepada pimpinan
KPK (Masyhudi, 2019).
Upaya melakukan pemberantasan korupsi bukanlah hal yang
mudah. Masih terdapat beberapa hambatan dalam pemberantasan korupsi, meskipun
sudah dilakukan dengan berbagai cara. Menurut Pahlevi (2022) hambatan dalam
pemberantasan korupsi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.
Hambatan
Struktural, yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan
negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
b.
Hambatan
Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang
di masyarakat.
c.
Hambatan
Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung
dalam bentuk peraturan perundangundangan yang membuat penanganan tindak pidana
korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
d.
Hambatan
Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak
diterapkannya prinsip-prinsip manajemen yang baik (komitmen yang tinggi
dilaksanakan secara adil, transparan dan akuntabel) yang membuat penanganan
tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Dengan demikian perlunya upaya pemberantasan korupsi.
Menurut Setiadi (2018) upaya yang perlu dilakukan dalam pemberantasan korupsi
adalah sebagai berikut.
1.
Mendesain
ulang pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang berhubungan langsung
dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat sehari-hari.
2.
Memperkuat
transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang
berhubungan dengan ekonomi dan sumber daya manusia.
3.
Meningkatkan
pemberdayaan perangkat-perangkat pendukung dalam pengawasan korupsi.
4.
Tampaknya
memasukan ke lembaga pemasyarakatan (penjara) bagi koruptor bukan merupakan
cara yang menjerakan atau cara yang paling efektif untuk memberantas korupsi.
5.
Penegakan
hukum dalam rangka pemberantasan korupsi ini harus dilakukan secara terpadu dan
terintegrasi dengan satu tujuan, yaitu untuk memberantas korupsi.
Perlunya evaluasi kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi adalah untuk mengetahui berbagai hambatan yang menjadi tantangan KPK dalam melakukan tugas dan wewenang. Dengan diketahui hal tersebut KPK dapat memperbaiki kekurangannya sehingga dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan maksimal. ��������
Kesimpulan
Evaluasi terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mengindikasikan bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi. Sebagai
respons terhadap temuan ini, beberapa pihak berpendapat bahwa pengawasan
terhadap kasus pidana korupsi seharusnya dikembalikan kepada Kepolisian
Republik Indonesia (Polri) atau Kejaksaan, dengan harapan dapat lebih efektif.
Selain itu, meskipun KPK telah berupaya keras, masih ada pandangan yang
menyatakan bahwa lembaga ini belum sepenuhnya berhasil mencapai tingkat kinerja
yang memuaskan dalam upaya pemberantasan korupsi. Evaluasi ini mencerminkan
pentingnya terus meningkatkan efektivitas lembaga penegak hukum untuk mengatasi
permasalahan korupsi yang masih menjadi tantangan serius di Indonesia.
BIBLIOGRAFI
Asyikin, N.,
& Setiawan, A. (2020). Kedudukan kpk dalam sistem ketatanegaraan pasca
diterbitkannya revisi undang-undang kpk. Justitia Jurnal Hukum, 4(1).
Aziz, A.
(2018). Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Berdasarkan Teori Negara Hukum. Jurnal Surya Kencana Satu :
Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan. 10(2), 71-90.
Binekasri,
Romys. (2023). 3 Kasus Mega Korupsi Raksasa Terbesar RI. https://www.cnbcindonesia.com/market/20230115060048-17-405468/3-kasus-mega-korupsi-raksasa-terbesar-ri.
Diakses pada 5 September 2023.
Dewi, P.
(2014). Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia. Proseding Seminar Unsa.
Laku, F., et
al. (2021). Wewenang Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi.
Lex Crimen. 10(1), 55-62.
Masyhudi.
(2019). Membangun Sistem Integritas Untuk Pemberantasan Korupsi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. 1(26), 44 �
66.
Moleong, L.
J. (2014). Metodologi penelitian kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Pahlevi, F.
S. (2022). Strategi Ideal Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Al-Syakhsiyyah:
Journal of Law & Family Studies, 4(1), 44.
Sari, Annisa
Medina. (2023). KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi): Sejarah, Tugas dan
Perannya. https://fahum.umsu.ac.id/kpk-komisi-pemberantasan-korupsi-sejarah-tugas-dan-perannya/#:~:text=KPK%20adalah%20lembaga%20negara%20yang,oleh%20institusi%20kejaksaan%20dan%20kepolisian.
Diakses pada 5 September 2023.
Setiadi, W.
(2018). Korupsi di Indonesia (Penyebab, Bahaya, Hambatan dan Upaya
Pemberantasan, Serta Regulasi). Jurnal Legislasi Indonesia. 15(3),
249-262.
Sosiawan, U.
(2019). Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pencegahan Dan
Pemberantasan Korupsi. Jurnal Penelitian Hukum DE JURE. 9(4), 517-538.
Sugema, I.,
& Simorangkir, I. (2004). Peranan The Lender Of Last Resort (Lolr) Terhadap
Perekonomian: Suatu Kajian Empiris Terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI). Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 7(1), 53-88.
Sugiarto,
T. (2013). Peranan komisi pemberantasan korupsi (KPK) dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia. Jurnal Cakrawala Hukum, 18(2).
Widayati,
D. K., & Ginting, R. (2014). Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Recidive, 3(2),
199-208.
Copyright holder: Ahmad Hanif Firdaus (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |