Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 8, No. 10, Oktober
2023
KEPASTIAN
HUKUM TERHADAP PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PERBANKAN (PRUDENTIAL BANKING
PRINCIPLE) DALAM OPERASIONAL PERBANKAN
Erdiana
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam
E-mail:
Abstrak
Perbankan adalah lembaga yang mempunyai peran utama dalam
pembangunan suatu Negara.
Peran ini terwujud dalam fungsi bank sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial
intermediary institution), yakni menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat. Salah satu� prinsip� atau asas dalam hukum
perbankan adalah Prinsip� kehati-hatian yang� menegaskan� bahwa� bank� dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam
penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada� masyarakat� harus� sangat� berhati� hati.� Dalam penerapan prinsip kehati-hatian bertujuan agar bank selalu dalam keadaan sehat
menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan
norma-norma hukum yang berlaku
di dunia perbankan.�
Penelitian ini menggunakan jenis Pendekatan yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang menekankan pada norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan, tetapi disamping itu juga berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat serta� diharapkan� kepentingan manusia/masyarakat akan terlindungi.
Kata kunci: Prinsip Kehati-Hatian, Asas Dalam
Hukum Perbankan.
Abstract
Banking is an institution that has a major role in the
development of a country. This role is manifested in the function of the bank
as a financial intermediary institution, namely collecting funds from the
public in the form of deposits and distributing them to the public in the form
of credit or other forms in order to improve the people's standard of living. One
of the principles or principles in banking law is the precautionary /
prudential principle which emphasizes that banks in carrying out business
activities both in collecting, especially in channeling funds to the public
must be very careful. In the application of the precautionary/ prudential
principle, it is intended that banks are always in a healthy condition to run
their business properly and comply with the provisions and legal norms that
apply in the banking world. This study uses a normative juridical approach,
which is a study that emphasizes the legal norms contained in legislation and
court decisions, but besides that it also tries to examine the legal rules that
apply in society and it is hoped that the interests of humans / society will be
protected.
Keywords: Prudent Principle, Principles in Banking Law.
Pendahuluan
Perbankan merupakan
suatu lembaga yang memiliki peran utama dalam perekonomian
negara, perbankan tidak luput dari peraturan
perundang-undangan yang menaunginya
yaitu UU No.7 tahun 1992 kemudian dilakukan perubahan pada UU No.10 tahun
1998 tentang Perbankan (Djoni & Rachmadi, 2012). Di Indonesia, tindak pidana perbankan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Di dalam undang-undang tersebut diatur secara tegas mengenai
ancaman sanksi berupa pidana bagi
pelanggarnya. Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah mengatur ancaman pidana untuk tindak
pidana perbankan dengan sistem minimum khusus, yaitu paling singkat tiga tahun
penjara dan denda paling sedikit Rp.5.000.000.000, - (lima miliar
rupiah). Bahwa inti dari pengenaan pidana dalam pasal tersebut
adalah karena tidak melaksanakan langah-langkah yang diperlukan dalam memastikan ketaatan bank yang dilakukan oleh
pelaku perbankan yakni Direksi, Komisaris bahkan pegawai bank kaitannya dengan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking principle).
Dari pasal tersebut dapat kita lihat
pelaku perbankan harus memastikan ketaatan bank, Ketaatan bank berarti bukan ketaatan
individu sehingga jelas subjek hukum
yang disasar adalah para pejabat bank yakni dewan komisaris, direksi dan pejabat eksekutif, adapun pegawai bank dalam hal ini
adalah pegawai bank yang memang mempunyai kewenangan, komitmen suatu bank guna melakukan langkah-langkah yang telah dibuat oleh pihak pengawas bank tersebut dalam hal ini Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), komitmen
bank untuk taat tercermin pada persetujuan pimpinan bank untuk melakukan langkah-langkah yang dibuat oleh OJK tersebut yang dicantumkan pada �surat pembinaan�, �action plan�,�
atau risalah rapat antara bank dengan otoritasnya.
Proses pembinaan yang dilakukan oleh otoritas terhadap bank inilah yang dapat kita sebut penerapan
asas ultimum remedium karena otoritas bank melakukan pembinaan dahulu secara administratif atau bisa disebut
juga administrative penal, jadi upaya
perbaikan secara administratif yang diminta oleh pihak otoritas harus dilaksanakan guna terpenuhinya unsur ketaatan bank (Sembiring, 2000).
�Langkah-langkah� yang dimaksud adalah pengawasan/pembinaan dan administratif yang diperintahkan kepada bank oleh otoritas, yang bersumber dari Pasal 52 UU Perbankan dan dalam Pasal 9 huruf d UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK, penyimpangan bank dalam kegiatan perbankan harus ditegakkan dengan hukum / tindakan administratif
Supervisory action terlebih dahulu,
apabila Tindakan administrative / pembinaan
tidak dipenuhi, barulah unsur �tidak melaksanakan langkah-langkah.� dapat dipenuhi
Contoh
Suatu bank diduga
melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK), terhadap dugaan pelanggaran ini, bank diminta untuk memperbaiki
pelanggarannya dengan menambah setoran modal atau menurunkan fasilitas pinjaman nasabah dalam waktu
tertentu. Apabila dalam waktu tertentu
ini bank masih tidak melaksanakan perintah pengawas dan telah diberikan peringatan, maka dapat dikatakan melanggar ketentuan Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan dan barulah otoritas dapat melakukan tindakan hukum yakni melaporkan pejabat bank kepada aparat hukum yakni
kepolisian.
Untuk memastikan
ketaatan bank terhadap ketentuan undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya�, perlu dilihat bahwa
empat unsur peraturan perundang-undangan: a) Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum. b) Dibuat oleh Lembaga
Negara atau Pejabat yang berwenang. c) Melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. d) Harus diundangkan
dengan menempatkannya pada
salah satu tempat pengumuman seperti LN, TLN dst.
Bahwa terdapat
kasus Bank Swadesi dimana mantan Direktur
terkait tindak pidana perbankan (Putusan No.469/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Pst.) dalam
pemberian fasilitas kredit, dan ternyata hakim membebaskan mantan direktur tersebut pada tingkat Pengadilan Negeri dan dalam upaya hukum
luar biasa yakni Peninjauan Kembali karena menganggap mantan direktur tersebut hanya melanggar SOP sehingga tidak termasuk ranah pidana.
Namun adapula
perkara Bank Permata (Putusan
No.666/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel) dimana pelapornya adalah Penyidik Tindak Pidana Khusus Bareskrim
POLRI, padahal dari otoritasnya yakni OJK tidak pernah membuat
laporan investigasi terhadap para pejabat Bank
Permata bahkan pejabat tersebut tidak pernah dinyatakan melakukan pelanggaran oleh OJK, namun para pejabat tersebut bernasib tidak baik dan tetap dihukum oleh Majelis Hakim.
Bahwa terkait
dengan perkara No.666/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel. Direksi Bank permata tersebut juga dibawa ke meja hijau
dan diadili namun dengan Putusan yang membebaskan Terdakwa sebagaimana Putusan No.937/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel. Dari ketiga kasus tersebut
terdapat pertentangan terhadap Putusan satu sama lain padahal ketiga kasus tersebut kalaupun dianggap bersalah hanya sebatas kesalahan administrasi yang sama sekali tidak merugikan
bank, quo vadis keadilan.
Atas dasar hal tersebut
penulis bertanya-tanya dimanakah keadilan, apakah para pelaku bank yang melakukan suatu kesalahan administratif harus dipidana padahal Bank mempunyai aturan khusus yakni
UU Perbankan dan memiliki sendiri pengawasnya yakni Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, keadilan bagi mereka apakah
harus dicari pada saat mereka didudukkan
di meja hijau, hal ini memberikan
preseden buruk terhadap masyarakat, dimana bank merupakan lembaga kepercayaan masyarakat, para pejabat bank pun
juga bukanlah orang-orang sembarangan
karena harus melewati serangkaian tes fit and proper sebelum menjabat sehingga pelaku bank sebenarnya adalah orang-orang yang paham akan tindakannya dalam dunia perbankan sehingga apakah perlu pemidanaan terhadap mereka sebagai efek jera.
Bukankah irah-irah
dalam setiap Putusan mengedepankan Keadilan, yakni �Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa� dikaitkan
dengan Teori Keadilan bahwa Keadilan tidak dapat dipisahkan
dari Hukum. Diktum terkenal St. Agustin menggambarkan
hubungan itu, lex inusta non est lex atau unjust law is not law, hukum
yang tidak adil bukanlah hukum atau sebagaimana dikatakan immoral rules are not legally valid, aturan yang bertentangan dengam moral tidak sah secara hukum.
Dengan ini, dalam kasus konflik
antara kepastian hukum dan keadilan, prioritas absolut diberikan pada keadilan (A�an Efendi et al., 2021).�
Ungkapan klasik
lainnya untuk menggambarkan tidak terpisahnya keadilan dari Hukum, �bahwa hukum yang ketidakadilannya cukup parah dapat
dan harus ditolak untuk memiliki karakter hukum, warga negara dan pengadilan, secara moral dan yuridis berhak untuk memperlakukan
sebagai, atau seolah-olah bukan hukum.
Rumusan masalah
dari penelitian ini yaitu; 1) Bagaimana
Kepastian Hukum Terhadap Prinsip Kehati-hatian Perbankan (prudential banking principle) dalam Undang-Undang Perbankan? 2) Bagaimana Batasan
(parameter) Terhadap prinsip
kehati-hatian (prudential banking principle) dalam melaksanakan operasional Perbankan Ditinjau Dari Hukum Perbankan? Maka
tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut: a) Untuk mengetahui dan menganalisis Prinsip Kehati-hatian Perbankan dalam UU Perbankan. b) Untuk mengetahui dan menganalisis batasan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan operasional perbankan sehubungan dengan adanya kepastian
hukum guna pemenuhan rasa keadilan.
Metode Penelitian
Pada penelitiam ini penulis menggunakan bentuk penelitian deskriptif evaluatif yang artinya adalah suatu gambaran baik secara sistematis,
akurat, maupun faktual tentang hubungan antar fenomena yang akan diteliti (Suprayogo, 2003). Dalam Penelitian
evaluatif ini rekomendasi akhir yang menjelaskan obyek evaluatif dapat ditingatkan, dipertahankan dan atau bahkan diberhentikan
seiring dengan data yang diperoleh merupakan evaluatif yang dasarnya terpusat pada rekomendasi akhir sehingga pada pelaksanaannya mendapatkan data
dan kesimpulan yang peroleh
di lapangan (Suharsimi, 2006).
Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif, adapaun pengertian dari penelitian normatif adalah suatu penelitian yang memiliki tujuan untuk mengilustrasikan mengenai penemuan, norma dan asas hukum positif,
sistematika hukum yang telah ada dan terdapat
dalam data sekunder (Soerjono, 1986). Sedangkan
sifat atau tipe penelitian yang penulis gunakanadalah deskriptif analisis, diartikan sebagai suatu gambaran kenyataan mengenai situasi yang sebenarnya dalam penelitian ini dan juga menganalisis aturan hukum maupun
teori-teori hukum yang kesemuanya saling berkaitan
Sumber data terdiri
dari bahan hukum dan bahan non-hukum yakni:
Bahan Hukum Primer (hukum positif, hukum yang diberlakukan saat ini, ius
consitutum), Yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan; Bahan Hukum Sekunder (hukum yang akan diberlakukan di masa yang akan datang, ius
constituendum), dan Bahan Hukum Tertier
(buku, makalah, dan laporan-laporan yang memuat pendapat ahli hukum
tentang bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder).
Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif.
Metode analisis kualitatif dalam penelitian juridis normatif adalah analisis yang menggunakan tafsir hukum, nalar hukum, dan argumentasi rasional (Tommy, 2007).
Lokasi Penelitian yang menjadikan tujuan dari penelitian
ini adalah di wilayah Propinsi DKI Jakarta dan hal tersebut sehubungan dengan aktifitas dan tempat bekerja dari penulis. Jadwal penelitian yang Penulis lakukan dimulai dari pengajuan proposal tesis, sidang proposal tesis, melakukan penelitian, bimbingan dengan dosen pembimbing
hingga terbentuknya tesis penulis yang selanjutnya melakukan pertanggungjawaban atas hasil yang penulis teliti melalui sidang tesis, keseluruhan
rangkaian tersebut penulis lakukan selama 4 (empat) bulan yakni terhitung
sejak bulan Agustus 2022
s/d Nopember 2022.
Hasil dan Pembahasan
A. Kepastian Hukum Terhadap
Prinsip Kehati-Hatian Perbankan (Prudential Banking Principle) Dalam Undang-Undang
Perbankan
1.
Prinsip
Kehati-hatian
Prinsip kehati-hatian
(prudent banking principle) merupakan suatu asas atau
prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya (Dona
et al., 2023). Hal ini
disebutkan dalam Pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 1998 bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Prinsip kehati-hatian
juga merupakan suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam
penghimpunan dana dan terutama
dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan
dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan
sehat dalam menjalankan usahanya dengan baik serta
mematuhi ketentuan-ketentuan
dan norma-norma hukum yang berlaku
di dunia perbankan (Perwirasari
& Ikrardini, 2020).
Istilah prudent sangat
erat kaitannya dengan fungsi pengawasan
bank dan manajemen bank. Kata prudent itu sendiri secara
harfiah dalam bahasa indonesia berarti bijaksana, namun dalam dunia perbankan istilah yang sering digunakan adalah asas kehati-hatian.
Prinsip kehati-hatian atau disebut juga prudential
banking mengharuskan bank untuk
selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti diharuskan konsisten dalam melaksanakan peraturan (Sakti
& Ahmad, 2023).
2. Dasar Hukum
Prinsip Kehati - hatian (Prudential Banking)
Meskipun Undang
- Undang Perbankan tidak menjelaskan secara pasti mengenai
pengertian prinsip kehati - hatian namun pengaturan mengenai prinsip kehati - hatian (prudential
banking) secara eksplisit tersirat pada Undang - Undang nomor 10 Tahun 1998 sebagai perubahan atas Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yaitu pada pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 yang menyatakan:
1) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip
kehati - hatian. 2) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara - cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang memercayakan dananya kepada bank. 3) untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank (Tektona & Risma, 2020).
Berdasarkan ketentuan
Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak
ada alasan apapun bagi pihak
bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dimaksud didalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati - hatian.� Ini mengandung
arti, bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan serta kebijakan yang dibuat dalam rangka
melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang - undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.�
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) mengandung makna perlunya diterapkan prinsip kehati - hatian dalam rangka penyaluran
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada nasabah debitor.� Sedangkan ketentuan pasal 29 ayat (4) sangat erat kaitannya dengan dua pasal sebelumnya menyangkut perlindungan bagi kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya. Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati - hatian bank adalah kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank sebagaimana dinyatakan dalam pasal 29 ayat 4 diatas (Santoso,
2023).
Penyediaan informasi tersebut dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi mengenai bank menjadi lebih terbuka,
apabila informasi tersebut telah dilaksanakan, maka bank dianggap telah melaksanakan ketentuan pasal 29 ayat (4) dimaksud, ketentuan ini juga menunjukkan bahwa bank benar - benar memiliki tanggung jawab dengan nasabahnya karena hal ini
sangat relevan dengan konsep hubungan antara bank dengan nasabahnya yang bukan hanya sekedar hubungan
antara debitur dengan kreditur melainkan juga hubungan kepercayaan. Sebenarnya dalam pasal - pasal
sebelumnya, Undang - Undang Perbankan secara tersirat juga mengatur mengenai prinsip kehati � hatian yaitu pada pasal 8 dan 11, sebagai berikut:
Pasal 8: �Dalam
memberikan kredit, Bank
Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
utangnya sesuai yang diperjanjikan�
Pasal 11:
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok
peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan - perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen)
dari modal bank yang sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada : a) pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen) atau lebih
dari modal disetor bank; b)
anggota Dewan Komisaris; c)
anggota Direksi; d) keluarga dari pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c; e) pejabat bank lainnya; dan f) perusahaan - perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak - pihak sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen)
dari modal bank yang sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank
dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah
sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Pengertian prinsip kehati - hatian dalam Undang
- Undang Perbankan baik dalam ketentuan
maupun penjelasannya tidak dijelaskan secara pasti, melainkan
hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal - pasal
diatas.
B. Analisis Penerapan Pengaturan
Prinsip Kehati-hatian (prudential banking principle) terkait Undang-Undang
Perbankan dalam upaya menjamin kepastian hukum
1.
Undang-undang
Nomor: 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Penerapan pengaturan
mengenai prinsip kehati-hatian terdapat dalam pasal 7, yakni sebagai berikut:
Pasal 7
Untuk melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:
1) Pengaturan
dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
a) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank. b) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
2) Pengaturan
dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: 1) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan
modal minimum, batas maksimum pemberian
kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; 2)
laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; 3) sistem informasi debitur; 4) pengujian kredit (credit testing).
�5) standar akuntansi bank.
3) Pengaturan
dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: a) manajemen risiko; b) tata kelola bank; c) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang;
d) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
4) Pemeriksaan
Bank
Dalam penjelasan pasal 7 dijelaskan pula bahwa Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan
bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK.
2. Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia
Bank Indonesia mempunyai tugas yang disebutkan di dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(selanjutnya disebut Undang Undang Bank Indonesia), antara lain yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta mengatur dan mengawasi bank.
Selain melakukan tugas-tugas yang telah disebutkan dalam pasal tersebut,
Bank Indonesia juga memiliki kewajiban
untuk memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah bank dari praktik-praktik perbankan yang merugikan (Efrianto
& Wiyanti, 2022). Sebagai
bank sentral, Bank Indonesia memiliki
fungsi yang paling utama yakni mengatur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian (to managenations money supply). Tujuannya
guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang merupakan
single objective dari Bank Indonesia. Kestabilan ini akan berdampak pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang lain.
Menurut Pasal
25 ayat (1) Undang-Undang
Bank Indonesia, menerangkan bahwa:
�Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank
Indonesia berwenang menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan
yang memuat prinsip kehati-hatian.� Dalam penjelasan pasal tersebut, ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat.
Untuk mewujudkan
sistem perbankan yang sehat, maka peraturan
- peraturan di bidang perbankan yang ditetapkan Bank
Indonesia harus didukung dengan sanksi-sanksi yang adil, dan pengaturan Bank
Indonesia tersebut disesuaikan
pula dengan standar yang berlaku secara Internasional (Prasetio,
2018).�
3. Peraturan
Bank Indonesia
Menurut ketentuan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KE/DIR, menetapkan bagi semua bank untuk melakukan kegiatan usahanya berpedoman dengan Kebijaksanaan Perkreditan Bank
(KPB) dan melampirkan Pedoman
Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (PPKPB) yang sekurang-kurangnya
memuat: 1) Prinsip Kehati-hatian dalam perkreditan. 2) Organisasi dan manajemen perkreditan. 3) Kebijakan persetujuan kredit. 4) Dokumentasi dan administrasi kredit. 5) Pengawasan kredit. 6) Penyelesaian kredit bermasalah.
Dari ketentuan tersebut di atas, salah satu yang menjadi poin utama
dalam melaksanakan kegiatan pemberian kredit adalah dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian. Agar dalam setiap pemberian kredit yang diberikan suatu bank kepada nasabahnya, tidak akan timbul masalah
nantinya seperti kredit macet.
C. Batasan (parameter) Terhadap
Prinsip Kehati-Hatian Perbankan (prudential banking principle) Dalam Melaksanakan
Operasional Perbankan Ditinjau Dari Hukum Perbankan.
1.
Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor: 1607 K/PID.SUS/2022 tanggal 9 Juni 2022 juncto Putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 437/PID.SUS/2020/PT.DKI tanggal 2 Desember
2020 juncto Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:
666/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel. tanggal 3 September 2020,
Adapun duduk perkara bermula dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum yakni:
Surat Dakwaan:
����������� Jaksa Penuntut
Umum mendakwa terdakwa AS
dan LZ dengan pasal: 49 ayat (2) b Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1992 Tentang Perbankan juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP;�
Surat Tuntutan:
Menuntut Terdakwa
AS dan LZ terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 49 ayat 2 (b) UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1992 Tentang Perbankan juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP, dan menghukum Terdakwa dengan pidana penjara
selama 3 (tiga) tahun dengan denda
masing-masing Rp. 5 milyar atau
apabila denda tidak dibayarkan maka diganti dengan
pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Pertimbangan Hukum / Hakim
Dalam Putusan Kasasi lebih kurang diambil
dari Pertimbangan Hukum /
Hakim pada Tingkat Pengadilan Negeri yakni sebagai berikut:
1) Terkait dengan unsur
��tidak
melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank.� �Menimbang, bahwa dalam menyusun
Proposal Kredit atau Credit
Facility Request (CFR) Pack, informasi dalam CFR tersebut hanya berdasarkan informasi yang diperoleh dari debitor (in casu PT. MJPL - PT. Megah Jaya Prima Lestari);
Menimbang, bahwa
seorang Analis Kredit harus mempunyai sifat independensi agar tidak terpengaruh oleh beberapa hal secara
subyektif, karena seorang analisis kredit suatu instansi
(perbankan) biasanya dihadapkan pada beberapa prinsip untuk menilai
kredit seseorang atau suatu instansi;
Menimbang, bahwa Analisis Kredit haruslah melakukan penilaian kredit dalam segala aspek,
baik keuangan maupun non keuangan. Menurut Tarmizi (2018), Analisis
Kredit adalah suatu proses analisis kredit dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan dan rasio-rasio
keuangan untuk menentukan kebutuhan kredit yang wajar.
Menimbang, bahwa
pendekatan-pendekatan atau metode-metode yang biasa dipakai dalam menganalisis
kredit modal kerja adalah Turn Over Method, sedangkan
untuk menganalisis kredit investasi adalah PP Method, NPV Method dan IRR Method;
Menimbang, bahwa
dalam melakukan persetujuan dalam penyaluran kredit perbankan perlu diperhatikan prinsip 5C; yaitu: (1) Character, adalah keadaan watak dari
nasabah, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. (2) Capital, adalah jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon nasabah. Semakin besar modal sendiri dalam perusahaan,
tentu semakin tinggi kesungguhan calon nasabah dalam
menjalankan usahanya dan
bank akan merasa lebih yakin dalam
memberikan kredit. (3) Capacity,
adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah dalam menjalankan
usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan. (4) Collateral, adalah
barang-barang yang diserahkan
nasabah sebagai agunan terhadap kredit yang diterimanya. (5)������� Condition of Economy, yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi,budaya
yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat yang kemungkinannya mempengaruhi kelancaran perusahaan calon debitur.
Batasan Prinsip Kehati-Hatian Perbankan
Bahwa kredit
macet merupakan jalan masuk terjadinya
suatu dugaan tindak pidana, dan untuk mengkriminalisasikan hal tersebut tergantung
kasus perkasus (Khalimi & Alam, 2022). Bahwa pemberian
kredit yang seharusnya diterapkan pada calon nasabah / nasabah yakni melalui prosedur
sebagai berikut: a) Debitur harus mengajukan
permohonan; b) Terhadap permohonan tersebut kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan dasar 5C (Capital,
Character, Collateral, Capacity dan Conditios of
Economic. c) eputusan persetujuan
atau penolakan kredit (Sihotang,
2022).
Bahwa pelanggaran
terhadap Prinsip kehati-hatian adalah sangat mudah dijadikan suatu pertimbangan dalam suatu putusan
terkait pemberian kredit apabila kredit tersebut macet, generalisasi pemikiran pelanggaran Prinsip Kehati-hatian karena terjadinya suatu kredit macet
terkait dengan tugas dan tanggung jawab para pelaku perbankan. Untuk memastikan prinsip kehati-hatian perbankan ada beberapa hal
yang perlu dilakukan oleh pelaku perbankan sesuai dengan deskripsi
pekerjaannya seperti dalam pemberian kredit, maka seorang
analisis kredit mempunyai tugas dan tanggung jawab diantaranya sebagai berikut: a) Melaksanakan tugasnya dengan berdasarkan kemahiran dan keprofesionalannya dengan jujur, objektif, cermat dan seksama; b) Setiap kredit yangdiprakarsainya
harus sesuai dengan ketentuan perbankan dan asas perkreditan yang sehat dan prinsip kehati-hatian. c) Meneliti dan memastikan bahwa dokumen yang mendukung putusan kredit masih berlaku,
sah dan berkekuatan hukum.
Dari beberapa tanggung jawab pelaku perbankan
tersebut dapat diperoleh suatu batasan prinsip kehati-hatian dalam suatu operasional perbankan sehingga pelaku perbankan terlindungi dari adanya pelanggaran tindak pidana perbankan
karena telah melakukan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan prinsip kehati-hatian perbankan tersebut. Bahwa batasan prinsip kehati-hatian juga dinilai apabila tugas dan kewenangan dari pelaku perbankan telah dijalankan dengan benar dan sesuai dengan peraturan
perbankan, maka prinsip kehati-hatian tersebut telah terpenuhi sehingga apabila terjadi suatu permalahan dalam operasional perbankan, pelaku perbankan tersebut tidak serta merta
dapat dikenakan pemidanaan.
Sesuai dengan
fungsi bank yang menghimpun
dana dan menyalurkannya kembali
kepada masyarakat, kepercayaan dan masyarakat menjadi yang paling utama, namun demikian penyaluran dana melalui suatu kredit kepada
masyarakat inilah yang senantiasa harus berdasarkan prinsip kehati-hatian karena kasus yang paling sering ditemui dalam dunia perbankan adalah kredit macet dan seringkali penyebabnya adalah pelaku perbankan
tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dan menjadi suatu yang lazim yang menajdi dasar pemidanaan pelaku perbankan karena prinsip tersebut.
Standar moral dari
suatu bank harus diperkuat dengan suatu standar baku
guna menjaga ketaatan bank sehingga proses kegiatan perbankan yang berdasarkan Prinsip kehati-hatian dapat mencegah suatu bank terjerumus dalam suatu permasalahan hukum. Profesionalisme dan integritas pelaku perbankan yang mengedepankan Prinsip kehati-hatian perbankan tersebut dapat membuat bank menjadi sesuai dan sejalan dengan fungsinya yakni sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.�
Analisis Penulis
Bahwa Pasal
49 ayat (2) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 1998 adalah sebagai berikut: �Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai
bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank�
Bahwa hakekat
dari Pasal 49 ayat 2 b Undang-undang Perbankan adalah sebagai berikut: a) Pasal ini merupakan
ketentuan pidana yang berhubungan dengan pengawasan dan pembinaan bank. b)
Pasal ini diterapkan dalam situasi bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya yang ditandai dengan berubahnya status bank dari bank
yang sehat/ normal menjadi
�bank dalam pengawasan intensif� atau �bank dalam pengawasan khusus�. c) Untuk memperbaiki keadaan bank tersebut, otoritas meminta �ketaatan bank�, sebagai badan usaha dan sebenarnya bukan �ketaatan individu�, namun jelas subyek
hukum yang disasar adalah tetap para pejabat bank yakni: dewan komisaris, direksi dan pejabat eksekutif,� dan pegawai bank disini bukan menyasar
pegawai yang tidak punya kewenangan, namun yang berinteraksi dengan pihak OJK saja; Komitmen bank untuk taat, tercermin pada persetujuan pimpinan bank untuk melakukan langkah-langkah yang dicantumkan
pada �surat pembinaan�,
�action plan� atau �risalah
rapat� antara bank dan otoritas.� Semua ini dikenal
dengan Cease and Desist Order (CDO).
Cease and Desist Order
(CDO) merupakan perintah untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan
kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan
di sektor perbankan dan / atau mencegah dan mengurangi kerugian konsumen, masyarakat dan sektor perbankan.
Kesimpulan
Penerapan Prinsip Kehati-hatian
Perbankan (Prudent Banking Principle) dalam operasional perbankan dikaitkan dengan praktek penegakan hukum pidana telah terjadi
perbedaan terkait suatu putusan pengadilan
sehingga sesungguhnya masih ada hal
yang menurut hemat penulis perlu dilakukan
sebuah penguatan didalam pelaksanaan Undang - Undang tersebut, maka dari itu dalam
penelitian ini mempunyai gagasan hukum yaitu dengan
tujuan agar tidak terjadi korban yang menurut hemat penulis tidak
seharusnya terdampak dan menjadi begitu penting disebabkan bukan karena perbuatannya
tapi karena profesinya, maka dalam peraturan Bank Indonesia atau peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dibuatlah peraturan yang lebih khusus tentang
definisi, pelaksanaan dan sanksinya serta dilakukan pelaksanaan dan pengawasan secara periodik didalam memastikan agar semua mekanisme keputusan dapat tetap menggunakan
prinsip kehati-hatian yang bisa digunakan secara permanen peraturannya agar tidak terjadi problem hukum yang menyasar terhadap orang-orang
yang salah;
Batasan bank dan petugas bank dalam melaksanakan Prinsip Kehati-hatian Perbankan (Prudential Banking Principle) dalam operasional perbankan menjadi tidak jelas sehingga
terjadi keberagaman penerapan prinsip kehati-hatian. Adapun yang menjadi
titik penyelesaian persoalan ini adalah
perlunya diperkuat peraturan Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan yang secara spesifik yang lebih menjelaskan tentang prinsip kehati-hatian dari definisi hingga peaksanaannya, sehingga prinsip kehati-hatian itu tidak hanya
sebatas diatas kertas namun mempunyai
langkah-langkah secara periodik yang menyebabkan adanya kepastian hukum.
BIBLIOGRAPHY
A�an Efendi, S. H., Susanti, D. O., & SH, M.
(2021). Ilmu Hukum. Prenada Media.
Djoni, G. S., & Rachmadi, U. (2012).
Hukum Perbankan. Sinar Grafika, Jakarta.
Dona,
N. G. R., Rafidah, R., & Anggraeni, L. (2023). Pelaksanaan Prinsip
Kehati-Hatian Dalam Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah Indonesia KC Jambi
Gatot Subroto. Ekonomica Sharia: Jurnal Pemikiran Dan Pengembangan Ekonomi
Syariah, 8(2), 205�220.
Efrianto,
L. B. P., & Wiyanti, D. (2022). Tanggung Jawab Bank Terhadap Nasabah yang
Dananya Terbukti Digunakan oleh Karyawan Bank. Jurnal Riset Ilmu Hukum,
107�112.
Khalimi,
K., & Alam, K. (2022). Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Prinsip
Kehati-Hatian Dalam Pemberian Kredit Perbankan. Yustitia, 8(1),
15�35.
Perwirasari,
D. P., & Ikrardini, Z. (2020). PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PENYALURAN KREDIT USAHA RAKYAT NON AGUNAN DITINJAU DARI SISI HUKUM PERIKATAN. Jurnal
Dialektika Hukum, 2(2), 148�172.
Prasetio,
R. (2018). Penerapan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dalam
pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) mikro pada Bank Rakyat Indonesia KC Depok
Kota Depok. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
Sakti,
M. A. P., & Ahmad, E. S. (2023). Penerapan Prinsip Kehati-Hatian
(Prudential Principle) Dalam Proses Pembiayaan Pada Bank Syariah Di
Indonesia:(Studi Kasus Bank Syariah Indonesia Kantor Cabang Mataram Nusa
Tenggara Barat). Jurnal Risalah Kenotariatan, 4(1).
Santoso,
R. (2023). Urgensi Prinsip Kehati-Hatian dalam Penyaluran Kredit Produk Digital
Lending Perbankan Nasional. Edunity: Social and Educational Studies, 2(2),
202�216.
Sembiring,
S. (2000). Hukum Perbankan. Mandar Maju.
Sihotang,
L. K. (2022). PROSEDUR PEMBERIAN DAN PENAGIHAN KREDIT PADA PT. BTN KANTOR
CABANG MEDAN.
Soerjono,
S. (1986). Pengantar penelitian hukum. Universitas Indonesia, Jakarta.
Suharsimi,
A. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka
Cipta, 134.
Suprayogo,
I. (2003). Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Rosdakarya,
103.
Tarmizi,
T. (2018). Analisis Kredit Usaha Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Islam dan
Konvensional. EKOMBIS: JURNAL FAKULTAS EKONOMI, 3(1).
Tektona,
R. I., & Risma, Q. (2020). Penerapan Prinsip Character Dalam Pelaksanaan
Prinsip Kehati-Hatian Pada Analisis Pemberian Kredit Usaha Mikro. Batulis
Civil Law Review, 1(1), 1�13.
Tommy,
H. P. (2007). Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Atma
Jaya.
Copyright holder: Erdiana (2023) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |